ASTIGMATISME
Preseptor :
dr. Weni Helvinda, Sp.M (K)
PADANG
2018
BAB 1
PENDAHULUAN
Astigmatisma biasanya bersifat diturunkan atau terjadi sejak lahir, dan biasanya
berjalan bersama dengan miopia dan hipermetropia dan tidak banyak terjadi perubahan selama
hidup. Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang di dalam
perkembangannya terjadi keadaan yang disebut astigmatism with the rule (astigmat lazim)
yang berarti kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau-jari-
jarinya lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang horisontal.1
Letak kelainan pada astigmatisma terdapat di dua tempat yaitu kelainan pada kornea
dan kelainan pada lensa. Pada kelainan kornea terdapat perubahan lengkung kornea dengan
atau tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anterior- posterior bola mata. Kelainan ini
bisa merupakan kelainan kongenital atau didapat akibat kecelakaan, peradangan kornea atau
operasi.2.3
Bed Side Teaching ini membahas definisi, epidemiologi, anatomi dan fisiologi,
klasifikasi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, diagnosis banding, manifestasi klinis, tatalaksana,
komplikasi dan prognosis pada astigmatisme.
Metode yang dipakai adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk kepada beberapa
literatur berupa buku teks, jurnal dan makalah ilmiah.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Refraksi Mata adalah: perubahan jalannya cahaya, akibat media refrakta mata,
dimana mata dalam keadaan istirahat. Mata dalam keadaan istirahat berarti mata dalam
keadaan tidak berakomodasi.5,6,7
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas :
- Kornea
- Humour aquous
- Lensa
- Vitreus humour
- Panjangnya bola mata.5,6,7
Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola
mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan
dibiaskan tepat di daerah macula lutea.5
Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan
benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak berakomodasi atau istirahat melihat jauh.
5,6,7
Pada keadaan normal cahaya tidak terhingga akan terfokus pada retina, demikian
pula bila benda jauh didekatkan, maka dengan adanya daya akomodasi benda dapat
difokuskan pada retina atau macula lutea. Dengan berakomodasi, maka benda pada jarak
yang berbeda-beda akan terfokus pada retina. Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk
mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot siliari.Akomodasi, daya pembiasan lensa
bertambah kuat. Kekuatan akomodasi akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, makin
dekat benda makin kuat mata harus berakomodasi (mencembung). Kekuatan akomodasi
diatur oleh reflex akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur dan
pada waktu konvergensi atau melihat dekat.5
1. Teori Helmholzt : Jika mm. siliaris berkontraksi, maka iris dan badan siliare, digerakkan
kedepan bawah, sehingga zonulla zinii jadi kendor, lensa menjadi lebih cembung,
karena elastisitasnya sendiri. Banyak yang mengikuti teori ini.
2. Teori Tschering : Jika mm. siliaris berkontraksi, maka iris dan badan siliaris digerakkan
kebelakang atas sehingga zonula zinii menjadi tegang, juga bagian perifer lensa menjadi
tegang sedang bagian tengahnya didorong ke senteral dan menjadi cembung.
Cahaya bergerak lebih cepat melalui udara daripada melalui media transparan
lainnya misalnya : kaca, air. Ketika suatu berkas cahaya masuk ke medium dengan densitas
yang lebih tinggi, cahaya tersebut melambat (sebaliknya juga berlaku). Berkas cahaya
mengubah arah perjalanannya jika mengenai medium baru pada tiap sudut selain tegak
lurus.
Dua faktor penting dalam refraksi : densitas komparatif antara 2 media (semakin
besar perbedaan densitas, semakin besar derajat pembelokan) dan sudut jatuhnya berkas
cahaya di medium kedua (semakin besar sudut, semakin besar pembiasan). Dua struktur
yang paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah kornea dan lensa. Permukaan
kornea, struktur pertama yang dilalui cahaya sewaktu masuk mata, yang melengkung
berperan besar dalam reftraktif total karena perbedaan densitas pertemuan udara/kornea
jauh lebih besar dari pada perbedaan densitas antara lensa dan cairan yang mengelilinginya.
Kemampuan refraksi kornea seseorang tetap konstan karena kelengkungan kornea tidak
pernah berubah. Sebaliknya kemampuan refraksi lensa dapat disesuaikan dengan
mengubah kelengkungannya sesuai keperluan untuk melihat dekat/jauh.6
Untuk kekuatan refraktif mata tertentu, sumber cahaya dekat memerlukan jarak yang
lebih besar di belakang lensa agar dapat memfokuskan daripada sumber cahaya jauh,
karena berkas dari sumber cahaya dekat masih berdivergensi sewaktu mencapai mata.
Untuk mata tertentu, jarak antara lensa dan retina selalu sama. Untuk membawa sumber
cahaya jauhdan dekat terfokus di retina (dalam jarak yang sama), harus dipergunakan lensa
yang lebih kuat untuk sumber dekat. Kekuatan lensa dapat disesuaikan melalui proses
akomodasi.7
2.4 Definisi
2.5 Epidemiologi
Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta sampai 2,3 milyar.
Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata.
Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Ditemukan
jumlah penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar
55 juta jiwa.3,4
Insidensi myopia dalam suatu populasi sangat bervariasi dalam hal umur, negara, jenis
kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan factor lainnya. Prevalensi miopia bervariasi
berdasar negara dan kelompok etnis, hingga mencapai 70-90% di beberapa negara.
Sedangkan menurut Maths Abrahamsson dan Johan Sjostrand tahun 2003, angka kejadian
astigmat bervariasi antara 30%-70%.
2.6 Etiologi
a. Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur. Media refrakta
yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling besar adalah kornea, yaitu mencapai
80% s/d 90% dari astigmatismus, sedangkan media lainnya adalah lensa kristalin.
Kesalahan pembiasan pada kornea ini terjadi karena perubahan lengkung kornea
dengan tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anterior posterior bolamata.
Perubahan lengkung permukaan kornea ini terjadi karena kelainan kongenital,
kecelakaan, luka atau parut di kornea, peradangan kornea serta akibat pembedahan
kornea.
b. Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa. Semakin bertambah
umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga semakin berkurang dan
lama kelamaan lensa kristalin akan mengalami kekeruhan yang dapat menyebabkan
astigmatismus.
c. Intoleransi lensa atau lensa kontak pada postkeratoplasty
d. Trauma pada kornea
e. Tumor
2.7 Klasifikasi
Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina Astigmatisme dibagi sebagai berikut:
1) Astigmatisme Reguler
Pada jenis ini didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua
bidang yang saling tegak lurus pada bidang yang lain sehingga pada salah satu bidang
memiliki daya bias yang lebih kuat dari pada bidang yang lain. Astigmatisme jenis ini,
jika mendapat koreksi lensa cylindris yang tepat, akan bisa menghasilkan tajam
penglihatan normal. Tentunya jika tidak disertai dengan adanya kelainan penglihatan
yang lain.
Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisme regular ini dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu:
2) Astigmatisme Irreguler
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada
tepat pada retina (dimana titik A adalah titik fokus dari daya bias terkuat sedangkan
titik B adalah titik fokus dari daya bias terlemah). Pola ukuran lensa koreksi
astigmatisme jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl -Y atau Sph -X Cyl +Y di mana X dan
Y memiliki angka yang sama.
Astigmatisme jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik B berada
di belakang retina.
5. Astigmatisme Mixtus
1. Astigmatismus Rendah
2. Astigmatismus Sedang
Astigmatismus yang ukuran powernya berada pada 0,75 Dioptri s/d 2,75 Dioptri.
Pada astigmatismus ini pasien sangat mutlak diberikan kacamata koreksi.
3. Astigmatismus Tinggi
Astigmatismus yang ukuran powernya > 3,00 Dioptri. Astigmatismus ini sangat
mutlak diberikan kacamata koreksi.
2.8 Patogenesis dan Patofisiologi
Astigmatisma adalah kondisi pada mata dimana berkas cahaya dari sebuah benda
tidak terfokus pada satu titik, karena adanya perbedaan-perbedaan pada kelengkungan
kornea ataupun lensa pada meridian-meridian yang berbeda. Namun penyebab umum
astigmatisma adalah kelainan bentuk kornea, meskipun lensa kristalina juga dapat
berperan. Kornea pada mata normal melengkung seperti bola basket, dengan sudut dan
kebulatan yang sama di semua areanya. Namun mata dengan astigmatisma memiliki
kornea yang lebih melengkung lagi seperti bola football Amerika, dengan beberapa area
lebih curam atau lebih bulat dibandingkan yang lainnya. Hal ini dapat menyebabkan
bayangan yang muncul menjadi kabur dan melebar.17
a. Astigmatisma Reguler
Manifestasi Klinis
Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya tajam
penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan pada media penglihatan,
atau kelainan retina lainnya. Bila ketajaman penglihatan bertambah setelah dilakukan
pin hole berarti pada pasien tersebut terdapat kelainan refraksi yang belum dikoreksi
baik. Bila ketajaman penglihatan berkurang berarti pada pasien terdapat kekeruhan
media penglihatan atau pun retina yang menggangu penglihatan.3,5
3. Uji refraksi
Gambar 11. Gerakan refleks retina. Perhatikan gerakan lintasan dari wajah dan dari retina
dalam gerakan searah versus gerakan berlawanan1
Refleks retinoskopi bergerak memiliki tiga karateristik utama yaitu10
1. Kecepatan. Refleks bergerak paling lambat ketika pemeriksa berada jauh dari
titik fokus dan menjadi lebih cepat ketika titik fokus didekati. Dengan kata lain
kesalahan-kesalahan refraktif besar memiliki refleks pergerakan yang lambat,
sedangkan kesalahan-kesalahan kecil memiliki refleks yang cepat
2. Kecerahan. Refleks tumpul ketika pemeriksa jauh dari titik fokus, menjadi lebih
cerah ketika netralitas didekati. Refleks berlawanan (against reflexes) biasanya
redup daripada refleks searah (with reflexes).
3. Lebar. Lintasan sempit ketika pemeriksa jauh dari titik fokus. Meluas dengan
mendekati titik fokus dan tentu saja mengisi seluruh pupil pada titik fokus itu
sendiri.
Pada saat pemeriksa menggunakan lensa koreksi yang sesuai (dengan lensa
lepas atau phoropter), refleks retinoskopik bisa menjadi netral. Dengan kata lain,
pada saat pemeriksa mengarahkan titik jauh pasien kelubang intip, seluruh pupil
pasien teriluminasi dan refleks tidak akan bergerak. Kekuatan dari lensa koreksi
yang menetralisir refleks menunjukkan suatu ukuran kesalahan dari refraksi pada
pasien.10
1. Break.Break terlihat ketika lintasan tidak sejajar dengan salah satu meridian.
Orientasi refleks dalam pupil tidak sama dengan lintasan yang kita proyeksikan,
garis tersebut putus atau patah. Break hilang (yakni garis terlihat berlanjut)
ketika lintasan diputar ke dalam aksis yang tepat. Silinder koreksi harus
ditempatkan pada aksis ini.
2. Width. Width dari lintasan berbeda-beda ketika dia berputar sekitar aksis yang
tepat. Lebar terlihat paling sempit ketika lintasan sejajar dengan aksis
Gambar 12. Width/ lebar atau ketebalan, refleks retina. Kita tentukan lokasi aksis
di tempat dimana refleks paling tipis14
3. Intensitas. Intensitas garis lebih terang apabila lintasan berada pada aksis yang
tepat (ini merupakan temuan subtil, yang hanya berguna pada silinder-silinder
kecil).
4. Skew. Skew (gerakan oblik dari lintasan refleks) dapat digunakan untuk
menempatkan aksis pada silinder-silinder kecil. Jika lintasan di luar aksis, maka
akan bergerak dengan arah yang agak berbeda dari refleks pupil. Refleks dan
lintasan gerak dalam arah yang sama (keduanya tegak lurus pada orientasi
lintasan) apabila lintasan sejajar dengan salah satu meridian utama.
1) Keratoskop
Keratoskop atau Placido disk digunakan untuk pemeriksaan astigmatisme.
Pemeriksa memerhatikan imej “ring” pada kornea pasien. Pada astigmatisme regular,
“ring” tersebut berbentuk oval. Pada astigmatisme irregular, imej tersebut tidak
terbentuk sempurna.11,12
2) Javal ophtalmometer
Boleh digunakan untuk mengukur kelengkungan sentral dari kornea, dimana akan
menentukan kekuatan refraktif dari kornea.11,12
1. Miopia
2. Hipermetropia
3. Katarak
2.12 Tatalaksana
Terapi non operatif pada pasien astigmatisme mencakup kacamata dan lensa kontak
a. Kacamata
Kacamata adalah tatalaksana yang paling mudah dan aman dalam koreksi kelainan
refraksi termasuk astigmatisme, karena itu peresepan kacamata harus
dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum lensa kontak atau terapi operatif.
Kacamata denga lensa silindris berbeda dengan lensa sferis dimana lensa sferis
memiliki kurvatura dan daya refraksi hanya pada satu meridian. Berbeda dengan
lensa sferis, lensa silindris memfokuskan sinar cahaya ke garis fokus, bukan ke titik
tertentu. Garis meridian tegak lurus terhadap (90odari) garis meridian dengan
kelengkungan disebut sebagai axis silinder. Kekuatan meridian maksimum selalu
berjarak 90o dari axis. Artinya, jika axis 45o, maka kekuatan meridian
maksimumnya 135o.10
• Untuk anak-anak, berikan koreksi astigmatik penuh pada sumbu yang benar.
• Untuk orang dewasa, coba koreksi penuh pada awalnya. Berikan pasien
percobaan berjalan-jalan dengan trial frames sebelum meresepkan, jika
memungkinkan. Informasikan kepada pasien tentang kebutuhan adaptasi. Untuk
mengurangi distorsi, gunakan lensa minus silindris (juga lensa silindris yang tersedia
hanya lensa minus silindris) dan meminimalkan jarak vertex.
• Jika perlu, kurangi distorsi dengan memutar sumbu silinder ke arah 180 ° atau
90 ° (atau ke arah sumbu lama) dan/atau kurangi kekuatan silinder. Sesuaikan mata
untuk menjaga kesetaraan sferis, namun tetap lakukan cek subjektif akhir untuk
mendapatkan hasil visual yang paling memuaskan.
• Jika distorsi tidak berkurang secara adekuat, pertimbangkan lensa kontak atau
koreksi iseikonik.17
b. Lensa kontak
Sebelum menentukan lensa kontak, riwayat okular harus dievaluasi termasuk
pemakaian lensa kontak sebelumnya dan pemeriksaan mata harus dilakukan secara
komprehensif. Pasien juga harus diberikan edukasi bahwa pemakaian soft lens yang
salah berkaitan dengan berbagai penyakit mata.10
Lensa kontak untuk astigmatisme yaitu soft toric dan RGP (Rigid Gas
Permeable). Keduanya dapat menetralisasi astigmatisme pada permukaan kornea
sehingga meridional anisekonia yang dihasilkan dua kekuatan yang berbeda dapat
dihindari. Meridional anisekonia adalah pembesaran gambar retina yang tidak sama
di berbagai meridian.Soft lens digunakan pada kelainan sferis dan astigmatisme
regular, sedangkan hard lens dapat digunakan pada kelainan sferis,astigmatisme
regular, dan beberapa kasus astigmatisme irregular.
2. Terapi Operatif
Terapi operatif pada astigmatisme terdiri dari laser in situ keratomileusis (LASIK) dan
photorefractive keratotomy (PRK). Saat ini prosedur LASIK lebih banyak dilakukan
karena kurang menyebabkan nyeri dan rehabilitasi visual lebih cepat. Meskipun begitu,
PRK masih menjadi opsi pada kasus tertentu, seperti mata dengan kornea yang tipis atau
pupil yang besar dan kornea yang terlalu datar atau curam.16, 17
2.13 Komplikasi
2.14 Prognosis
Tingkat astigmatisme yang tinggi pada bayi dan balita sering terjadi, namun pada
kebanyakan kasus, kornea merata dan astigmatisme semakin berkurang pada masa kanak-
kanak. Bagaimanapun, penting untuk mendeteksi kondisi astigmatisme tinggi yang
menetap untuk menentukan koreksi dan mengurangi risiko ambliopia.19
Pada pasien dewasa dengan astigmatisme regular, tingkat astigmatisme biasanya stabil
dan ketajaman visual dapat dicapai dengan koreksi refraksi. Astigmatisme iregular sering
disebabkan keratokonus.19 Keratokonus sering pada awalnya mengenai satu mata dan
mengenai mata lainnya setelah beberapa tahun. Akibatnya, mata yang terkena pertama
cenderung mengalami distorsi kornea yang lebih berat. Memprediksi tingkat perkembangan
pasien secara individual sulit dilakukan. Beberapa pasien mengalami periode bolak-balik,
progresifitas cepat dan stabilisasi. Satu studi besar pada pasien keratokonus, > 20% pasien
memerlukan transplantasi kornea rata-rata 8,8 tahun setelah
diagnosis.20
DAFTAR PUSTAKA
1. Olver J and Cassidy L, Basic Optics and Refraction. In Olver J and Cassidy L,
2. James B, Chew C and Bron A, Lecture Notes on Ophtalmology. New York: Blackwell
3. Whitcher J P and Eva P R, Low Vision. In Whitcher J P and Eva P R, Vaughan &
4. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi ke tiga.
6. Riordan P. Whitcher P John Eva. Optik dan refraksi dalam : Vaugan dan Asbury
7. Olujic, SM, 2012. Etiology and Clinical Presentation of Astigmatism. Dalam: Advances
8. Sidharta, Ilyas. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Halaman: 81 –
83.
from:www.intechopen.com
11. Anonym. 2011. Clinical Optics. American Academy of Ophthalmology: Singapore. P.121-
129
13. Harvey M. E., 2009. Development and Treatment of Astigmatism-Related Amblyopia.
14. Choi H. Y., Jung J. H. and Kim. M. N., 2010. The Effect of Epiblepharon Surgery on
24(6):325-330
15. Gerhard K. Lang, Ophthalmology A Short Textbook :Optics and Refractive Errors,
17. American Academy of Ophtalmology. (2014). Clinical Optics. Section 3. Italy: American
18. Levin LA, Nilsson SFE, Wu SM, Hoeve JV. (2011). Adler‟s physiology of the eye. 11 th
19. Read SA, Collins MJ, Carney LG. (2007). A review of astigmatism and its possible