Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
MODUL
NI WAYAN SEPTARINI
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
i
TUBERKULOSIS (TB)………………………………………………….. 2
HEPATITIS B………………….………………………………………… 10
CAMPAK…………………………………………………………………. 25
HIV DAN AIDS…………………………………………………………… 37
i
PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman/bakteri yang
menyebar dari orang ke orang melalui udara. TB biasanya mempengaruhi paru-paru,
tetapi juga dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh, seperti otak, ginjal, atau tulang
belakang. Seseorang yang memiliki penyakit TB dapat mati jika mereka tidak
mendapatkan perawatan dengan baik (CDC, 2011). Orang yang terinfeksi bakteri TB
yang tidak sakit mungkin masih perlu pengobatan untuk mencegah penyakit TB yang
bisa berkembang di masa depan. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu ancaman
kesehatan masyarakat yang utama, bersaing dengan human immunodeficiency virus
(HIV) sebagai penyebab kematian akibat penyakit menular di seluruh dunia. Meskipun
kecenderungan telah terjadi penurunan kejadian TB, prevalensi dan kematian yang
diamati selama dekade terakhir.
1
gambar. 1
1.3 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu penyakit menular di dunia paling
mematikan. Pada tahun 2013, diperkirakan 9,0 juta orang mengembangkan TB dan 1,5
juta meninggal karena disertai penyakit lain, dimana 360.000 di antaranya adalah HIV-
positif. TB secara perlahan menurun setiap tahun dan diperkirakan bahwa 37 juta
kehidupan diselamatkan antara tahun 2000 dan 2013 melalui efektif diagnosis dan
pengobatan(WHO,2014).
Menurut data dari WHO pada tahun 2015 kawasan Asia tenggara merupakan
kawasan yang paling tinggi dalam kasus tuberkolosis yaitu mencapai 2.656.560 kasus
dibandingkan dengan kawasan yang lainnya.
2
Di Indonesia sendiri pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberculosis
sebanyak 330.910 kasus, dimana jumlah kasus itu lebih tinggi dari tahun sebelumnya
yaitu sebesar 324.539 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi
dengan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah
yang mencapai 38% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Menurut jenis kelamin,
kasus pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yaitu 1,5 kali. Menurut
kelompok umur, kasus tuberculosis paling banyak pada kelompok umur 25-34 tahun
yaitu sebesar 18,65% diikuti kelompok umur 45-54 tahun sebesar 17,33% dan pada
kelompok umur 35-44 tahun sebesar 17,18% (KEMENKES RI,2016).
Berdasarkan CNR Provinsi Bali pada tahun 2015 yaitu 70/100.000 penduduk,
angka ini lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 74/100.000 penduduk.
angka yang dicapai tahun 2015 dibawah target renstra Dinas kesehatan Provinsi Bali pada
tahun 2015 sebesar 73/100.000 penduduk (DINKES PROVINSI BALI).
3
Gambar 4. CNR Kasusu TB di Provinsi Bali
4
PENCEGAHAN TUBERKULOSIS
a. Promosi kesehatan
penyuluhan dengan melibatkan pasien & masyarakat dalam kampanye
advokasi, penyuluhan rencana pengendalian infeksi, Koleksi dahak Aman,
penyuluhan Etika batuk dan batuk yang higienis, penyuluhan pasien TB triase
dilakukan untuk saluran cepat atau pemisahan, penyuluhan mendiagnosis TB yang
cepat dan pengobatan, Meningkatkan ventilasi udara kamar, Melindungi pekerja
perawat kesehatan, Pengembangan kapasitas dan Memonitor praktek pengendalian
infeksi (WHO)
b. Proteksi spesifik
Vaksinasi BCG secara signifikan yang bisa mengurangi risiko TB dan
penggunaan alat pelindung diri di tempat kerja yang berisiko terkena TB, Terapi
pencegahan isoniazid (IPT) dan Terapi antiretroviral (ART) untuk orang-orang
dengan HIV (WHO).
.
a. Deteksi dini
Skrining atau penemuan kasus baru yang benar-benar positif TB dengan
melakukan pemerikasaan dahak. melakukan diagnosis TB paru dengan memeriksa
semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam 2 hari, diagnosis TB ekstra
paru dengan gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB. Diagnosis TB pada Orang Dengan
HIV AIDS (ODHA) 1.TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan
dahak positif. 2.TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan
gambaran klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur
TB positif. 3.TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
5
bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena
(KEMENKES RI,2011)
b. Pengobatan tepat
Pada tahap ini, pencegahan sekunder dilakukan dengan pengobatan tepat.
Pengobatan untuk penyakit TB yaitu mengonsumsi obat kombinasi pada orang
dengan TB aktif, dengan jadwal dosis pada anak-anak dan remaja dengan TB aktif
yang tepat, jadwal dosis pada orang dewasa dengan TB aktif yang tepat, Lama
pengobatan pada orang dewasa dengan TB paru aktif yang benar, Lama pengobatan
pada anak-anak dan remaja dengan TB paru aktif dengan benar, Lama pengobatan
pada penderita TB paru aktif dengan benar.
a. Pencegahan ketidakmampuan
Penggunaan kortikosteroid tambahan pada pengobatan TB aktif, Penggunaan
operasi tambahan pada orang dengan TB aktif serta Pengobatan TB aktif pada
orang dengan penyakit penyerta atau kondisi co-ada
b. Rehabilitasi
Pasien paru BTA positif dengan pengobatan ulang kategori 2, bila masih
positif TB maka hentikan pengobatan dan rujuk ke layanan TB-MDR
6
PENUTUP
Dari ketiga pencegahan diatas menurut saya pencegahan primerlah yang paling
efektif, dimana pencegahan primer bisa memotong rantai penyebaran penularan TB dari
satu orang ke orang lain, dengan melakukan vaksin yang meningkatkan kekebalan tubuh
dan mengendalikan factor penyebab serta menggunakan pelindung agar terhindar dari
penyakit TB, penyuluhan dengan melibatkan pasien & masyarakat dalam kampanye
advokasi, penyuluhan Etika batuk dan batuk yang higienis, penyuluhan pasien TB triase
dilakukan untuk saluran cepat atau pemisahan agar lebih tanggap dalam pencegahan
penyebaran tuberculosis.
7
8
DAFTAR PUSTAKA
DINKES PROVINSI BALI. (2016). Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2015.
http://www.diskes.baliprov.go.id/files/subdomain/diskes/Profil%20Kesehatan%20Provinsi%20Bali
/Tahun%202015/Bali_Profil_2015.pdf. Diakses pada tanggal 23 maret 2017.
9
PENDAHULUAN
DEFINISI HEPATITIS B
Menurut WHO tahun 2016 menyebutkan bahwa Hepatitis B adalah infeksi virus yang
menyerang hati dan dapat menyebabkan baik penyakit akut dan kronis. Virus ini ditularkan
melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya dari orang yang terinfeksi. hepatitis B
sendiri merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB), suatu anggota famili
hepadnavirus yang dapat mengakibatkan peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut
menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika kejadian sakit kurang dari 6 bulan
sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium
atau pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan (Mustofa, 2013).
Penyakit Hepatitis dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu Hepatitis B akut dan Hepatitis B
kronis. Dari kedua jenis HBV memiliki masing – masing fase yang berbeda sampai
menimbulkan sakit pada host yang terinfeksi HBV. Perjalanan hepatitis B akut terjadi dalam
10
empat (4) tahap yang timbul sebagai akibat dari proses peradangan pada hati yaitu :
1. Masa Inkubasi
Masa inkubasi yang merupakan waktu antara saat terjadi penularan infeksi dan
saat terjadinya gejala, berkisar antara 1-6 bulan, biasanya 60-75 hari. Panjangnya
masa inkubasi tergantung dari dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan
11
HBV, makin besar dosis virus yang ditularkan, makin pendek masa inkubasi.
(WHO.2016).
2. Fase Prodormal
Fase ini adalah waktu antara timbulnya keluhan-keluhan awal dan timbulnya gejala dan ikterus.
Keluhan yang sering terjadi seperti : malaise, rasa lemas, lelah, anoreksia, mual, terjadi
perubahan pada indera perasa dan penciuman, panas yang tidak tinggi, nyeri kepala, nyeri otot-
otot, rasa tidak enak/nyeri di abdomen, dan perubahan warna urine menjadi cokelat, dapat dilihat
antara 1-5 hari sebelum timbul ikterus, fase prodromal ini berlangsung antara 3-14 hari.
3. Fase Ikterus
Pada saat munculnya ikterus maka gejala gejala pada fase prodromal akan
berkurang, namun anoreksia dan malaise kadang juga masih berlangsung. Untuk
deteksi ikterus sebaiknya dilihat pada sklera mata. Lama berlangsungnya ikterus
dapat berkisar antara 1-6 minggu.
4. Fase Penyembuhan
Sedangkan pada Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut
lebih dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik
dibagi menjadi tiga (3) fase penting yaitu :
1. Fase Imunotoleransi
Pada masa anak-anak atau pada awal dewasa atau dewasa muda, sistem imun
tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah tinggi, tetapi
tidak terjadi peradanngan hati yang berarti. Pada fase ini, VHB ada dalam fase
replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tiinggi.
12
2. Fase Imunoaktif (Fase clearance)
Pada sekitar 30% individu dengan persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi VHB
yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi
Alanine Amino Transferase (ALT). Pada keadaan ini pasien sudah mulai kehilangan
toleransi imun terhadap VHB (WHO, 2016)
3. Fase Residual
Pada fase ini tubuh mulai berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu yang terkena
HBV akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel HBV tanpa ada
kerusakan sel hati yang signfikan.
3 (tiga) macam daerah yaitu daerah dengan status endemisitas tinggi 10-15%, daerah dengan
endemiditas sedang yaitu 2-10%, dan daerah dengan endemisitas rendah kurang dari 2%. Di
seluruh dunia, sekitar 240 juta orang memiliki virus hepatitis B kronis (HBV), dengan tingkat
infeksi tertinggi di Afrika dan Asia. pemahaman kita tentang sejarah infeksi HBV dan potensi
untuk terapi penyakit yang dihasilkan terus meni ingkat (Sarin, S. K et al. 2016)
Negara endemisitasnya tinggi terutama Asia yaitu Cina,( Zhang, Q.2015) Vietnam,
Korea. Prevalensi VHB berbeda-beda dari satu tempat dengan tempat yang lain. Prevalensi
terendah didapatkan di Amerika Utara dan di Eropa Barat dimana infeksi tersebut didapatkan
pada 0,1-0,5%. Penduduk di Asia Tenggara dan Afrika Sahara 5-20% penduduk mengidap
13
infeksi ini. Prevalensi infeksi VHB tertinggi didapat di Pulau Rapa di Samudera Atlantik dimana
14
Berdasarkan kondisi data di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2013 secara Nasional
diperkirakan terdapat 1,2 % penduduk di Indonesia mengidap penyakit Hepatitis, dan kondisi ini
meningkat 2 kali lipat dibandingkan tahun 2007, yaitu sekitar 0,6 %. Apabila dikonversikan ke
dalam jumlah absolut penduduk Indonesia tahun 2013 sekitar 248.422.956 jiwa, maka bisa
dikatakan bahwa 2.981.075 jiwa penduduk Indonesia terinfeksi Hepatitis.Dari sejumlah itu
21,8% atau sekitar 649.875 jiwa terindikasi Hepatitis B.(Depkes.2014) Dari grafik di atas juga
dapat dilihat pada tahun 2007, lima provinsi dengan prevalensi Hepatitis tertingggi adalah Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Aceh, Gorontalo dan Papua Barat sedangkan pada tahun
2013 ada 13 provinsi yang memiliki angka prevalensi di atas rata-rata Nasional yaitu Nusa
Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Utara, Aceh, Nusa Tengara Barat, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara,
Kalimantan Selatan.(Depkes.2014) prevalensi HBsAg sangat bervariasi di Indonesia. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa prevalensi HBsAg ditemukan lebih tinggi dari 10% di luar Pulau
Jawa yaitu : Bali, Lombok, Sumbar, Irian Jaya. Hal ini dapat dimengerti karena Indonesia
memiliki daerah yang sangat luas, dengan perilaku dan budaya yang beraneka-ragam.
15
1
PENCEGAHAN HEPATITIS B
Untuk menurunkan angka kesakitan maupun kematian akibat infeksi VHB perlu
dilakukan pencegahan yang meliputi pencegahan primordial, primer, sekunder, dan tersier.
1. Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial adalah upaya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat
mengenai suat penyakiyt dimana kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak
mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup, maupun kondisi lain yang merupakan faktor
risiko untuk munculnya suatu penyakit. Pencegahan primordial yang dapat dilakukan adalah :
a. Konsumsi makanan berserat seperti buah dan sayur serta konsumsi makanan dengan gizi
seimbang.
b. Bagi ibu agar memberikan ASI pada bayinya karena ASI mengandung antibodi yang
penting untuk melawan penyakit.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan saat seseorang belum terserang
penyakit atau ketika seseorang sudah terpapar suatu risiko penyakit. Pencegahan pada tingkat
primer dibagi menjadi dua yaitu melakui promosi kesehatan dan juga proteksi spesifik. Dalam
konteks penyakit hepatitis B proteksi spesifik dilakukan melalui program imunisasi. Pencegahan
primer yang dilakukan antara lain :
17
yang tercemar VHB, pemakaian alat-alat kedokteran yang harus steril, menghindari
pemakaian peralatan pribadi terutama peralatan yang digunakan bersama sama. (NSW
Ministry of Health.2014)
b. Proteksi Spesifik
Dalam pencegahan di tingkat primer, Pemberian imunisasi hepatitis B dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Menurut NSW Misitry of Health menetapkan beberapa
target sebagai sasaran imunisasi sebagai tindak pencegahan terhadap penyakit hepatitis B
antara lain dengan mentargetkan pencapaian terhadap cakupan vaksinasi anak anak
ditetapkan sebesar 95% dari total populasi anak anak di New South Wales, memastikan
semua bayi yang lahir dari ibu yan positif Hepatitis B mendapatkan HBig atau Hepatitis
B Immunoglobulin dalam 12 jam setelah kelahiran. Secara rinci program imunisasi dasar
yang dilaksanakan di Indonesia adalah sebagai berikut :
18
Selain Pemberian vaksin hepatitis B pada bayi, pemberian vaksin Hepatitis B
juga dianjurkan kepada pasangan seksual yang kontak langsung dengan penderita HBsAg
positif, kelompok berisiko yang berganti ganti pasangan, terutama yang telah terdiagnosa
terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS), pasangan homoseksual, pasien yang
mendapatkan tindakan pengobatan dengan cuci darah, dan Petugas kesehatan yang
sehari-hari kontak dengan darah atau jaringan tubuh penderita HBsAg positif, seperti
perawat dan petugas laboratorium.
19
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan terhadap orang yang sudah
terpapar risiko ata bahkan dilakukan terhadap orang sudah mengalami gejala gejala klinis
terhadap suatu penyakit. Maka dari itu pada tingkat pencegahan sekunder yang dapat dilakukan
adalah deteksi dini atau mengetahui sedini mungkin suatu penyakit serta melakukan pengobatan
tepat yang sesuai dengan penyakit yang telah terdeteksi sehingga dapat mencegah penyakit
menjadi lebih parah serta mempersingkat kesakitan serta mencegah terjadinya kecacatan akibat
sakit. Pada penyakit Hepatitis B deteksi dan pengobatan tepat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut WHO (1994) untuk mendeteksi virus hepatitis digolongkan dengan
tiga (3) cara yaitu : Cara Radioimmunoassay (RIA), Enzim Linked Imunonusorbent
Assay (Elisa), imunofluorensi mempunyai sensitifitas yang tinggi. Untuk
meningkatkan spesifisitas digunakan antibodi monoklonal dan untuk mendeteksi
DNA dalam serum digunakan probe DNA dengan teknik hibridasi. Deteksi dini
terhadap HBV dapat dilakukan melalui tes darah, tes darah dasar untuk HBV terdiri
dari tigas tes skrining. yang pertama adalah tes antigen permukan HBV yang
menentukan apakah seseorang terinfeksi HBV, yang kedua adalah tes anti bodi inti
HBV, yang menentukan apakah seseorang yang pernah terinfeksi, dan yang ketiga
tes antibody permukan HBV yang menentukan apakah seseorang telah bebas dari
virus setelah terinfeksi,atau telah divaksinasi dan sekarang kebal terhadap infeksi di
masa mendatang (SAMHSA.2011). Menganjurkan pada wanita hamil untuk
memastikan wanita hamil melakukan screening terhadap hepatitis B juga diperlukan
sebagai langkah deteksi dini terhadap HBV (NSW Ministry of Health.2014)
20
4. Pencegahan Tersier
Sebagiian besar pencegahan pada penderita hepatitis B akut akan membaik atau sembuh
dengan sempurna tanpa meninggalkan bekas atau kecacatan pada penderita hepatitis B. Tetaapi
sebagian kecil akan menetap dan menjadi kronis, kemudian menjadi buruk atau mengalami
kegagalan faal hati. Biasanya penderita dengan gejala seperti ini akan berakhir dengan
meninggal dunia. Usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut maka perlu diadakan
pemeriksaan berkala. Sebelum dilaksanakan pembedahan, pada waktu pembedahan, dan pasca
pembedahan. Dalam pencegahan di tingkat tersier dapat di bedakan menjadi dua yaitu :
a. Pembatasan Ketidakmampuan.
Pembatasan ketidakmampuan atau kecacatan berusaha untuk menghilangkan
gangguan kemampuan berpikir dan bekerja yang diakibatkan oleh penyakit hepatitis.
Usaha ini merupakan lanjutan dari usaha deteksi dini danpengobatan tepat agar penderita
mampu sembuh sempurna tanpa cacat. Bil sudah terjadi kecacatan maka dicegah agar
kecacatan tidak menimbulkan dampak yang lebih parah terhadap kesehtan penderita
sehingga fungisi tubuh penderita HBV dapat dipertahankan semaksimal mungkin.
b. Rehabilitasi
Tahap rehabilitasi adalah usaha untuk mencegah terjadinya efek samping dai fase
penyembuhan penyakit dan pengembalian fungsi fisik, sosial, dan psikologik.tindakan ini
dilakukan pada seseorang yang proses penakitnya telah berhenti. Tujuannya adalah
mengembalikan penerita pada keadaan semula saat sebelum sakit atau lebih baik daripada
saat sebelum sakit. Dalam proses rehabilitasi meliputi rehabilitasi mental, rehabilitasi
social vokasional, dan rehabiliasi aesthetis (WHO.2014).
21
22
PENUTUP
Kesimpulan
Penyakit hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis virus, hepatitis B
sendiri disebabkan oleh HBV atau Hepatitis B Virus yang merupakan family dari hepadnavirus
uang menyerang dan menyebabkan peradangan serta merusak sel atau organ hati manusia.di
Indonesia penderitapenyakit hepatitis umunya cenderung mengalami penyakit Hepatitis A, B,
dan C. berdasarkan bahasan diatas dapat dilihat bahwa Hepatitis dapat DIcegah maupun diobati
pada semua tingkatan pencegahan baik pada tingkat Primordial, Primer, Sekunder, maupun
Tersier. Namun dilihat dari efektifitas dalam pengendalian dan pencegahan penyakitnya fase
sekunder pada tahap pencegahan merupakan fase dimana deteksi dan engobatan secara tepat
dapat dilakukan sehingga kecacatan atau kesakitan dapat diminimalisir.
23
DAFTAR USTAKA
Sarin, S. K., Kumar, M., Lau, G. K., Abbas, Z., Chan, H. L. Y., Chen, C. J., … Kao, J. H. (2016).
Asian-Pacific clinical practice guidelines on the management of hepatitis B: a 2015
update. Hepatology International, 10(1), page : 26-40. http://doi.org/10.1007/s12072-015-
9675-4 diakses pada tanggal : 20 Maret 2017
Substance Abuse and Mental Health Services Administration (US). (2011)Center for Substance
Abuse Treatment. Addressing Viral Hepatitis in People With Substance Use Disorders.):
(Treatment Improvement Protocol (TIP) Series, No. 53.) 2, Screening for Viral
Hepatitis. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK92029/ diakses pada
tanggal : 25 Maret 2017
Zhang, Q., Liao, Y., Chen, J., Cai, B., Su, Z., Ying, B., … Wang, L. (2015). Epidemiology study
of HBV genotypes and antiviral drug resistance in multi-ethnic regions from Western
China. Scientific Reports, 5, 17413. http://doi.org/10.1038/srep17413 diakses pada
tanggal : 25 Maret 2017
World Health Organization. (2016). Hepatitis B.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/ diakses pada tanggal : 20 Maret
2017
Mustofa S. 2013. Manajemen gangguan saluran serna : Panduan bagi dokter umum. Bandar
Lampung: Aura Printing & Publishing. hlm.272-
Kementerian Kesehatan RI.(2014). Situasi dan Analisis Hepatitis.
www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-hepatitis.pdf diakses
pada tanggal : 25 Maret 2017
Gerlich, W. H. (2013). Medical Virology Of Hepatitis B: How It Began And Where We Are Now.
Virology Journal, 10, 239. http://doi.org/10.1186/1743-422X-10-239 diakses pada
tanggal : 25 Maret 2017
Spiritia. (2005). Hepatitis Virus dan HIV. http://spiritia.or.id/dokumen/buku-hepatitis.pdf pada
tanggal : 25 Maret 2017
24
PENDAHULUAN
Definisi Campak
Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola (bahasa Latin), yang
kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama masern, dalam bahasa Islandia dikenal
dengan nama mislingar dan measles dalam bahasa Inggris . Campak adalah penyakit infeksi
yang sangat menular yang disebabkan oleh virus, dengan gejala -gejala eksantem akut,
demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran pernapasan, gejala -gejala mata,
kemudian diikuti erupsi makulo papula yang berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi
Perjalanan alamiah penyakit campak terdiri dari 3 stadium sebagai berikut (Setya
Ningrum, 2013)
25
2. Stadium erupsi
Stadium ini berlangsung selama 4 -7 hari. Gejala yang biasanya
mencapai anggota bagian bawah pada hari ketiga dan akan menghilang
3. Stadium Konvalensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua
anak- anak di seluruh dunia yang meningkat sepanjang tahun. Pada tahun
dan sekitar
311.000 kematian terjadi pada anak -anak usia dibawah lima tahun.
26
2008 kematian Campak yang meliputi seluruh dunia pada tahun 2007
adalah
197.000 dengan interval 141.000 hingga 267.000 kematian dimana 177.000
kematian terjadi pada anak-anak usia dibawah lima tahun. Lebih dari 95%
cukup tinggi. Pada tahun 2008, angka absolut Campak di Indonesia adalah
15.369 kasus. Data dari profil kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2010
dilaporkan Incidence Rate (IR) penyakit Campak di Indonesia sebesar 0,73 per
10.000 penduduk, sedangkan Case Fatality Rate (CFR) pada KLB campak
pada tahun 2010 adalah 0,233. Kasus penyakit Campak tersebar di seluruh
2010 adalah 8,7 per 10.000 penduduk. Sementara itu, pada tahun 2011 terjadi
peningkatan menjadi 10,77 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2011 telah
27
karena kasus campak masih cukup tinggi dan masih sering terjadi kejadian
cukup tinggi dan masih sering terjadi KLB. Pada tahun 2010 dilaporkan 256
kasus campak dengan Incidence Rate (IR) sebesar 0,41 per 10.000 penduduk
sebesar 2,47 per 10.000 penduduk dengan CFR sebesar 2,04%. Sejak bulan
Januari 2010 sampai dengan bulan Desember 2011 di Provinsi Bali telah
28
29
30
PENCEGAHAN CAMPAK
Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial dilakukan dalam mencegah munculnya faktor
adalah anak-anak yang masih sehat dan belum memiliki resiko yang tinggi agar tidak
memiliki faktor resiko yang tinggi untuk penyakit Campak. Edukasi kepada orang tua
anak sangat penting peranannya dalam upaya pencegahan primordial. Tindakan yang
Pencegahan Primer
Sasaran dari pencegahan primer adalah orang -orang yang termasuk kelompok
beresiko, yakni anak yang belum terkena Campak, tetapi berpotensi untuk terkena
penyakit Campak. Pada pencegahan primer ini harus mengenal faktor -faktor yang
faktor tersebut. Pencegahan primer dapat dilaukan dengan cara sebagai berikut.
v Promosi kesehatan
Promosi kesehatan dapat dilakukan dengan memberikan edukasi
31
Campak.
v Proteksi spesifik
Proteksi spesifik dapat dilakukan dengan pemberian vaksi. vaksin di
diberikan secara subkutan sebanyak 0,5 ml. vaksin campak tidak boleh
diberikan pada wanita hamil, anak dengan TBC yang tidak diobati, penderita
diberikan pada bayi usia 9 bulan, sedangkan vaksin polivalen diberikan pada
harus pada temperature antara 2ºC - 8ºC atau ± 4ºC, vaksin tersebut harus
dihindarkan dari sinar matahari. Mudah rusak oleh zat pengawet atau bahan
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya untuk mencegah atau menghambat
ditujukan untuk pendeteksian dini Campak serta penanganan segera dan efektif.
orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau penderita yang beresiko tinggi untuk
dilaukan dengan
32
v Deteksi dini
Deteksi dini dilaukan untuk menghindari terjadinya sakit, maka perlu upaya
sedini mungkin untukmengenal kondisi, maka dari itu harap diketahui faktor-
diterima dan diakui dalam lingkungan sosialnya sebagai sosokinsan yang sehat
secara sempurna.
v Pengobatan Tepat
Penderita Campak tanpa komplikasi dapat berobat jalan. tidak ada obat
yang secara langsung dapat bekerja pada virus Campak. Anak memerlukan
istirahat di tempat tidur, kompres dengan air hangat bila demam tinggi. Anak
harus diberi cukup cairan dan kalori, sedangkan pasien perlu diperhatikan
penderita dan berikan vitamin A 100.000 IU per oral satu kali. Apabila
33
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan
kematian. Adapun tindakan -tindakan yang dilakukan pada pencegahan tertier yaitu
secara cepat terutama pada anak kurang gizi yang akan menurunkan imunitas
mereka.
34
PENUTUP
Kesimpulan
Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus,
dengan gejala -gejala eksantem akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran
pernapasan, gejala -gejala mata, kemudian diikuti erupsi makulo papula yang berwarna merah
dan diakhiri dengan deskuamasi dari kulit Pencegahan penyakit campak dapat dilaukan
terjadinya penyakit campak dikarenakan pencegahan primer merupakan tingkat pertama upaya
untuk mencegah seseorang terkena penyakit campak. Pada pencegahan primer ini harus
mengenal faktor -faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya Campak dan upaya untuk
35
Daftar Pustaka
Setyaningrum. 2013. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Campak di
Universitas Muhammadiyah. .
36
PENDAHULUAN
DEFINISI
Menurut WHO,1981 AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome adalah kumpulan
dari beberapa gejala penurunan kekebalan sistem imunitas manusia yang disebabkan adanya
infeksi dari virus HIV atau Human Immunodeficiency Virus yang masuk kedalam tubuh manusia.
Virus ini menyebar melalui cairan tubuh manusia dan menyerang sistem imunitas tubuh
khususnya pada CD4 + ( atau yang dikenal dengan sel T ) < 200/cu mm atau penderita dengan
CD4 + dan prosentase T Limfosit dari total limfosit < 14 % (Chin & Editor 2000). Virus ini
dapat merusak dan menghancurkan sel-sel tubuh lain dan berakibat mudahnya tubuh terinfeksi
ini, menurut CDC,1987 definisi dari AIDS diperbaharui dengan memasukkan indikator penyakit-
penyakit oportunistik sebagai satu diagnosa presumatif dari hasil tes laboratorium. Kemudian
pada tahun 1994, WHO merubah definisi AIDS yang sebelumnya dari perumusan kasus di afrika
Penyakit HIV/AIDS pertama kali muncul pada tahun 1978 yang sudah ada di negara
afrika,Haiti, dan Amerika serikat. Dan hingga saat ini penyakit ini telah menjadi beban kesehatan
masyarakat baik negara maju maupun negara berkembang. Hal itu disebabkan karena
perkembangan dan penularan virus HIV ini dalam waktu relatif cepat pada peningkatan jumlah
Namun pada tahun 1981, penyakit AIDS ini baru dikenal pertama kali sebagai sebuah
sindroma penyakit yang selama ini menggambarkan pada tahap klinis. Bagi penderita yang
terinfeksi virus ini, mungkin sebagian besar tidak menujukkan gejala atau tanda selama beberapa
Dari karakteristik virus, Virus HIV terdapat dua tipe yaitu HIV-1 dan HIV-2. Adapun tipe HIV-1
terbagi atas :
-‐ Grup : terdiri dari 3 grup yaitu grup M atau kelompok terbesar (main,major), grup O atau
kelompok lain (outlier) dan grup N (non grup M dan O). Ternyata grup M yang menjadi
-‐ Subtipe disini adalah penjabaran dari grup M yang dikenal dengan abjad ( Subtipe
A,B,C,D,F,G,H,J dan K )
-‐ Circulating recombinant form ( CFR ) tersusun akibat dari subtipe –subtipe yang
membentuk rekombinan. Hingga saat ini telah ditemukan CFR sebanyak 34.
Berbeda dengan tipe HIV-2 dimana tipe ini hanya dikenal memiliki 2 subtipe yaitu A dan B. Dan
potensi untuk penyebaran HIV/AIDS lebih berpotensi tipe HIV-1 dibandingkan tipe HIV-2 (Di
et al. n.d.).
Proporsi orang yang terinfeksi virus HIV bisa dipastikan > 90% akan mencapai pada tahap AIDS
karena tidak adanya pengobatan anti-HIV yang efektif. Selain itu penyakit ini memiliki Case
Fatality Rate ( CFR ) sangat tinggi kebanyakan di negara berkembang antara 80 -90% berujung
38
Penyakit HIV/AIDS disebabkan adanya penularan oleh virus HIV yang berakibat pada
penurunan dan perusakan sistem imun tubuh manusia. Virus ini memiliki masa inkubasi antara 5
tahun – 10 tahun. Sehingga sekitar 50% orang yang sudah terinfeksi tidak merasakan gejala (An
et al. 2015).
Setelah virus ini menginfeksi tubuh manusia, dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan untuk
menunjang hasil lab HIV positif. Dan virus ini awalnya berbentuk RNA akan melepas bungkus
dan merubah bentuk menjadi DNA supaya bisa bersatu dengan DNA sel target. Setelah itu
virus ini akan memproduksi virus-virus HIV baru yang akan siap menyerang sel baru dan begitu
seterusnya hingga seumur hidup. Virus ini dapat dipantau dengan mengukur jumlah virus dalam
serum penderita dan menghitung sel CD4 + T dalam darah perifer (Chin & Editor 2000).
Akibatnya virus ini akan merusak sel limfosit T dan berdampak pada penurunan dan perusakan
sistem imun manusia. Penderita akan mudah terinfeksi penyakit lainnya disebabkan sistem
imunitas tubuh yang sudah diserang dan fungsinya mengalami penurunan. (Chin & Editor 2000)
Setelah itu pada periode tertentu, gejala penyakit seakan berhenti berkembang yang dikenal
dengan masa laten. Beberapa kemudian baru muncul gejala klinis AIDS yang lengkap berupa
kumpulan dari sindrom-sindrom dan penyakit oportunistik yang lainnya (Kakaire et al. 2015).
EPIDEMIOLOGI
39
Bagan 1 Gambaran peningkatan yang dibutuhkan pada tahap kasus tes HIV dan Pelayanan
Pengobatan ( WHO,2015 )
Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2015, diestimasikan jumlah kasus ODHA ( Orang
dengan HIV/AIDS ) di seluruh dunia mencapai 36,7 juta orang. Angka tersebut telah mewakili
hampir di seluruh negara di dunia baik negara maju maupun negara berkembang. Angka ini
dipastikan akan mengalami peningkatan terus menerus tiap tahunnya. Akan tetapi hanya ada
sekitar 22,2 juta orang ( 60% ) ODHA sudah mengetahui status HIV. Kasus HIV/AIDS layaknya
seperti fenomena gunung es dimana angka tersebut hanya yang berhasil terlaporkan dan masih
40
Bagan 2 Gambaran Jumlah Kasus Baru HIV positif sampai tahun 2015 ( Profil Kesehatan
Indonesia,2015 )
Bagan 3 Gambaran Jumlah Kasus Insiden AIDS sampai Tahun 2015 ( Profil Kesehatan
Indonesia,2015 )
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai beban permasalahan HIV/AIDS yang
menghawatirkan. Didapatkan dara dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015 menunjukkan
adanya peningkatan yang signifikan tiap tahunnya. Peningkatan itu terlaporkan pada kasus baru
41
atau insiden orang yang terinfeksi HIV positif dan orang yang positif AIDS sampai tahun 2015.
Cukup mengejutkan trend kasus HIV positif di Indonesia dimana pada tahun 2005 Insiden HIV
positif sekitar 859 kasus. Akan tetapi pada tahun 2015, angka tersebut mencapai 30,935 kasus (
sebesar 36% ).
Lain halnya dengan trend pada kasus baru AIDS yang menunjukkan kecenderungan peningkatan
penemuan kasus hingga tahun 2013. Namun pada tahun 2014 dan 2015 trend mengalami
penurunan. Akan tetapi secara kumulatif prevelansi kasus AIDS yang ada sampai tahun 2015
Bagan 4 Gambaran Situasi Estimasi Kasus HIV/AIDS di Provinsi Bali Tahun 2010 - 2015 (
42
Bali merupakan provinsi pertama kali ditemukan kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 1987.
Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Bali tahun 2015, Provinsi Bali memiliki permasalahan
kasus HIV/AIDS yang cukup tinggi. Bali menduduki peringkat 4 tertinggi kasus HIV/AIDS di
Indonesia. Berdasarkan data dari, dilaporkan ada sebanyak 1563 kasus HIV positif di Bali dan
43
44
PENCEGAHAN HIV/AIDS
Permasalahan HIV/AIDS telah menjadi beban kesehatan masyarakat global dimana kasusnya
telah tercatat peningkatannya terus menerus baik di negara maju maupun negara berkembang.
Sehingga perlu adanya upaya yang lebih efektif untuk menangani penyakit AIDS ini dengan
upaya pencegahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata pencegahan diartikan
sebagai proses, cara, perbuatan mencegah atau penolakan terhadap suatu hal. Bila
dispesialisasikan dalam bahasa kesehatan , pengertian dari pencegahan adalah segala bentuk aksi
yang bertujuan untuk mencegah penyakit agar tidak sampai terjadi. Pencegahan juga bisa berarti
upaya untuk mengeradikasi, eliminasi dan mengurangi dampak dari penyakit dan
PENCEGAHAN PRIMER
Pencegahan primer merupakan pencegahan garda terdepan dimana pencegahan ini bertujuan
untuk mengurangi insiden dari suatu penyakit. Pencegahan ini lebih mensasar pada pendekatan
perseorangan dan komunitas seperti promosi kesehatan dan upaya proteksi spesifik (Porta 2008).
Pencegahan ini hanya dapat efektif apabila dilakukan dan dipatuhi dengan komitmen masyarakat
Dalam permasalahan HIV/AIDS , pencegahan primer sangatlah diharapkan untuk menjadi upaya
terbaik dalam menekan peningkatan kejadian kasus HIV/AIDS. Biasanya pencegahan primer
45
komunitas terhadap penyakit HIV/AIDS dan metode penularannya. Berikut contoh upaya
PROMOSI KESEHATAN
HIV/AIDS. Upaya ini sebagai upaya pencerdasan bagi sasaran komunitas untuk
dan pencegahan dari Penyakit HIV/AIDS (Chin & Editor 2000). Kegiatan penyuluhan ini
dilakukan pada kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV yaitu anak-anak,
remaja, kelompok Penasun ( pengguna Narkoba dan suntik ), Kelompok pekerja seks,
berganti-ganti pasangan seks dan lain lain. Hampir seluruh kelompok umur berisiko
untuk penyakit ini. Akan tetapi sekitar 40% kelompok yang berisiko adalah kelompok
b) Beberapa survei menyebutkan adanya pemahaman masyarakat yang masih minim terkait
penyakit HIV/AIDS, sehingga upaya penyuluhan ini menjadi langkah awal dalam
melalui ceramah dengan media poster dan leaflet, diskusi, Forum Group Discussion dan
membentuk KSPAN ( Kelompok Siswa Peduli HIV/AIDS ) pada tiap sekolah yang
dilatih dan dibina untuk menjadi edukator untuk melakukan penyuluhan kepada teman-
c) Pada negara afrika tepatnya di morogoro, ada sebuah program sosial yang bersinergi
kepada kelompok ibu-ibu khususnya ibu hamil pada program Integrated maternal and
newborn health care. Program ini diimplementasikan oleh kementerian kesehatan dan
46
wilayah rural dan peri-urban. Jadi program ini dilakukan pada daerah rural dan peri-
urban. Jadi program ini diintegrasikan dengan dilakukannya tes HIV dan dilanjutkan pada
PROTEKSI SPESIFIK
Penularan virus HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual dengan orang yang berisiko,
penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan bebarengan, dan penularan dari ibu hamil ke
janinnya. Adapun upaya proteksi spesifik yang sudah direkomendasikan untuk pengendalian
melalui :
47
b) Adapun proteksi penularan HIV/AIDS yang tidak melalui hubungan seksual diantaranya
pembuatan program layanan alat suntik steril dan tes darah sebelum melakukan transfusi
darah.
PENCEGAHAN SEKUNDER
Pencegahan sekunder merupakan pencegahan lini kedua dari teori pencegahan penyakit.
dengan durasi waktu yang cukup singkat. Pencegahan sekunder terdiri dari deteksi dini dan
pengobatan tepat (Porta 2008). Berikut salah satu contoh upaya pencegahan sekunder sebagai
berikut :
DETEKSI DINI
Salah satu deteksi dini yang dapat diupayakan adalah perlindungan buruh migran Indonesia
khususnya BMI ( Buruh Migran Indonesia ) melalui upaya deteksi dini di bandara dan
pelabuhan. Deteksi dini yang dilakukan berupa mencermati aktivitas oleh BMI ketika proses
pemberangkatan dan kedatangan di bandara dan pelabuhan di Surabaya Jawa timur. Pengamatan
dilakukan dengan pemberian pertanyaan terkait permasalahan kesehatan dan cek kesehatan
48
berdasarkan risiko HIV/AIDS yang ada. Selanjutnya hasil dari pengamatan tersebut di laporkan
oleh petugas di Gedung Pendataan Kepulangan Khusus Tenaga Kerja Indonesia ( GPKTKI ).
Harapannya hasil dari pengamatan tersebut bisa menjadi dasa ran utama untuk intervensi dini
dan pengaturan langkah selanjutnya untuk pengobatan lebih dini (Kinasih et al. 2015).
Contoh dalam upaya deteksi dini HIV/AIDS adalah pada sasaran kelompok berisiko tinggi yaitu
kelompok pekerja seks. Upaya yang dilakukan hampir sama pada penjelasan sebelumnya. Beda
nya dalam pemantauan ini , pihak dari puskesmas setempat yang berwewenang untuk melakukan
PENGOBATAN TEPAT
Pengobatan yang spesifik merupakan upaya tepat setelah mendapatkan pelaporan dari deteksi
dini. Walaupun HIV/AIDS sampai saat ini belum ditemukan obat paten untuk menyembuhkan
HIV/AIDS, namun peranan obat ini dapat menjadi penghambat dan memperpanjang
Sebelum ditemukan pengobatan ARV ( Anti Retrovirus ) yang ada saat ini, pengobatan yang ada
hanya disasarkan pada penyakit opportunistik yang diakibatkan oleh infeksi HIV. Berikut
49
Pada tahun 1999, telah ditemukan satu-satunya obat yang dapat mengurangi risiko penularan
HIV/AIDS perinatal dengan penggunaan AZT. Obat ini diberikan sesuai dengan panduan yang
sesuai.
Akhirnya WHO merekomendasikan untuk penggunaan Anti retroviral bagi para penderita
HIV/AIDS. Keputusan untuk memulai dan merubah terapi ARV harus dipantau dengan
memonitor hasil pemeriksaan lab baik plasma HIV RNA ( Viral load ) maupun jumlah sel CD4
PENCEGAHAN TERSIER
Pencegahan tersier merupakan lini terakhir dari tahap pencegahan penyakit. Pencegahan tersier
bertujuan untuk membatasi akibat dari penyakit yang dapat terjadi pada jangka waktu yang
relatif lama dan juga memperbaiki kualitas hidup seseorang untuk bisa lebih membaik (Porta
2008).
Dalam topik penyakit HIV/AIDS hampir dipastikan orang yang terinfeksi HIV/AIDS akan
berujung pada kematian. Beberapa contoh yang bisa diterapkan adalah penggunaan terapi ARV.
Hingga sampai saat ini, hanya ARV yang masih menjadi terapi efektif untuk menghambat
perkembangan virus HIV dalam menyerang CD4+T. Keterlambatan dalam penggunaan terapi
50
PENUTUP
Penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus HIV yang dapat
menyerang sel limfosit T yang berujung pada penurunan dan kerusakan sistem imunitas manusia.
Penyakit ini tergolong penyakit yang mengkhawatirkan disebabkan jumlah kasus HIV/AIDS
Penyakit ini dapat ditularkan melaui 3 cara yaitu hubungan seksual, non hubungan seksual dan
dari ibu ke janinnya. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan secara efektif adalah menekan
peningkatan kasus dengan mengintervensi dari metode penularan. Menurut penulis, hingga saat
ini pencegahan prmer merupakan langkah yang diprioritaskan untuk mengendalikan penularan
penyakit HIV/AIDS. Pencegahan primer ini dilakukan pada kelompok-kelompok yang berisiko
tinggi terhadap penularan HIV/AIDS seperti anak-anak remaja, para ibu hamil, pekerja seks,
Pencegahan primer akan berjalan optimal apabila disertai dengan adanya deteksi dini pada setiap
pos-pos kelompok berisiko yang harapannya akan ada upaya tindak lanjut segera untuk
perlunya support dari segala pihak untuk penggunaan terapi ARV. Sehingga penyebaran
HIV/AIDS bisa mulai diminimalisir mulai dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat sekitar.
51
DAFTAR PUSTAKA
1. An, S.J. et al., 2015. Program synergies and social relations : implications of integrating
HIV testing and counselling into maternal health care on care seeking. , pp.1–12.
6. Kakaire, O. et al., 2015. Clinical versus laboratory screening for sexually transmitted
infections prior to insertion of intrauterine contraception among women living with HIV /
8. Kinasih, S.E. et al., 2015. Perlindungan buruh migran Indonesia melalui deteksi dini HIV
/ AIDS pada saat reintegrasi ke daerah asal The protection of Indonesian migrant workers
through early detection of HIV / AIDS at the time of reintegration into the place of
origin. , pp.198–210.
9. Men, H. & Estimate, E., 2015. Effectiveness of Prevention Strategies to Reduce the Risk
52
12. Rumah, D.I. & Sanglah, S., 2011. PENGARUH PEMBERIAN KOMBINASI ANTI
53