Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH IDENTITAS SUKU TOLAKI

BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Sulawesi merupakan sebuah pulau dengan panjang garis pantai sekitar 3.500 mil, terdiri
atas empat semenanjung utama yang terpisahkan oleh teluk dalam, dengan dua semenanjung
mengarah ke selatan dan dua lainnya ke utara.

Secara geografis suku Tolaki mendiami wilayah daratan Sulawesi bagian Tenggara, yang
mendiami beberapa daerah kabupaten yaitu Kabupaten Konawe, Kota Kendari, Konawe
Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur. Beberapa daerah kabupaten
tersebut berada di daerah daratan Sulawesi bagian Tenggara.

Setiap manusia memiliki kebudayaan yang berbeda-beda itu di sebabkan mereka


memiliki komunitas tersendiri di wilayahnya sehingga apabila kita amati manusia di belahan
dunia manapun memiliki kebudayaannya masing-masing tak terkecuali di indonesia yang
memiliki banyak keberagaman budaya. Perbedaan kebudayaan ini sangatlah wajar karna
perbedaan yang dimiliki seperti faktor Lingkungan, faktor alam, manusia itu sendiri dan
berbagai faktor lainnya yang menimbulkan Keberagaman budaya tersebut.

Demikian pula dengan suku Tolaki di Sulawesi Tenggara, Kendari atau tepatnya di
Konawe. Mereka memiliki simbol adat yang yakni “Kalo.‘ Sedangkan tradisinya
disebut Kalosara. Kalo sendiri terbuat dari rotan dan dibuat secara
melingkar. Kalo merupakan simbol persatuan dan kesatuan. Biasanya, masyarakat Mekongga
dan Tolaki jika terjadi suatu masalah sosial yang memerlukan penyelesaian, maka mereka
akan kembali pada makna Kalo.

2. RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian Suku Tolaki

2. Tarian Suku Tolaki

3. Nilai-Nilai Kebudayaan Suku Tolaki

4. Rumah Adat Suku Tolaki

3. TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah yaitu untuk mengetahui lebih dalam tentang identitas dan
kebudayaan suku Tolaki, Dan Untuk menyelesaikan tugas MID yang diberikan kepada bapak
dosen penganjar.

BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN SUKU TOLAKI

Suku Tolaki adalah sebuah komunitas masyarakat yang mendiami pulau Sulawesi di
sebelah Tenggara persisnya di Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe
Utara. Kebanyakan dari mereka punya profesi sebagai petani yang rajin dalam bekerja. Selain
itu mereka juga punya semangat gotong royong yang tinggi.

Nama suku Tolaki tidak begitu saja ada dan terjadi dibalik nama tersebut tentu
mengandung arti atau sejarahnya, nama suku Tolaki ini berasal dari kata TOLAKI, TO=orang
atau manusia, LAKI= Jenis kelamin laki-laki, jadi artinya adalah manusia yang memiliki
kejantanan yang tinggi, berani dan menjunjung tinggi kehormatan diri/harga diri.
Sehingga dari hal tersebut akhirnya Suku Tolaki menjadi salah satu suku terbesar yang
ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna yang tersebar di Kab.
Kendari dan Kab. Kolaka, yang berada di Kab. Kolaka dan mendiami daerah Mowewe, Rate-
rate dan Lambuya sedangkan yang berada di Kab. Kendari mendiami daerah Asera, Lasolo,
Wawotobi, Abuki dan Tinanggea. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga
(orang dari langit). Mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana
dikenal dalam budaya Cina. Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam
bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.

2. TARIAN SUKU TOLAKI

Mengenakan busana tradisional berwarna kuning menyala, dilengkapi selendang biru,


dan ikat kepala merah, serta aksesoris kalung etnik. Para penari wanita muda dan cantik ini
berlenggak-lenggok atraktif dan kadang gemulai mengikuti irama musik. Tarian itu kerap
disuguhkan di berbagai acara khusus untuk menerima atau menjemput tamu kehormatan.

Soal seni budaya, Kota Kendari pun tak kalah dengan daerah lain. Kalau Aceh identik
dengan Tari Seudati, Jakarta tersohor dengan Tari Topeng Betawi, maka Kota Kendari pun
memiliki beberapa tarian tradisional yang khas dan pantas dibanggakan, seperti Tari
Monotambe dan Lulo.

Tari Monotambe atau tari penjemputan misalnya merupakan tarian khas Suku Tolaki
yang kerap ditampilkan saat ada event berskala besar untuk menjemput tamu besar. Misalnya
saat pembukaan Festival Tekuk Kendari (Festek) yang kerap dihadiri beberapa tamu penting
dari Jakarta dan daerahlain. Sebagai catatan Suku Tolaki merupakan penduduk asli Kota
Kendari sebagaimana Suku Betawi di Kota Jakarta.

Tarian ini dilakoni oleh 12 penari perempuan muda dan 2 penari lelaki sebagai
pengawal. Para penari perempuanyya mengenakan busana motif Tabere atau hiasan, sarung
tenun Tolaki, dan aksesoris seperti Ngaluh atau ikat kepala, dan kalung. Dalam tarian
berdurasi sekitar 5 sampai 10 menit ini, beberapa penari perempuan membawa Bosara atau
bokor dari rotan, sedangkan dua penari lelakinya memegang senjata tradisional.

Sementar Tari Lulo merupakan tari pergaulan khas Sulawesi Tenggara yang juga populer di
Kota Kendari. Tarian ini biasanya dilakukan oleh kawula muda sebagai ajang perkenalan. Kini
Tari Lulo juga kerap disuguhkan saat ada tamu kehormatan sebagai tanda persahabatan
antara warga Kota Kendari dengan pendatang, dalam hal ini wisatawan.

Gerakan Tari Lulo tidaklah serumit tarian tradisonal lain. Para penarinya saling berpegang
tangan satu sama lain membetuk lingkaran yang saling menyambung. Dalam sebuah acara
besar yang dihadiri pengujung dari luar Kota Kendari, para penari Lulo selalu mengajak tamu
dengan ramah untuk ikut menari. Setiap tamu yang tidak bisa menari akan dianjarkan cara
melangkah atau menari ala Tari Lulo oleh penari yang mengajaknya hingga terbiasa.

Tari Lulo ini pun kerap ditampilkan pada Festek. Bahkan pada perayaan tersebut, tari ini
pernah ditampilkan secara kolosal dengan mengikutsertakan warga kota dan wisatawan yang
datang

3. NILAI-NILAI KEBUDAYAAN SUKU TOLAKI

ota Kendari terdiri dari beberapa suku bangsa, salah satunya adalah suku bangsa Tolaki.
Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna
dan Suku Buton yang berasal dari pulau Buton. Sekitar abad ke-10 daratan Sulawesi Tenggara
memiliki dua kerajaan besar yaitu kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan
Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan ini serumpun
dan dikenal sebagai suku Tolaki. Dalam artikel ini saya akan membahas secara singkat tentang
Kebudayaan masyarakat Tolaki.

Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha pernah


menerapkan perangkat pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE MBATOHU sekitar tahun
1602/1666 yaitu :

1) Tambo I ´Losoano Oleo


2) Tambo I´ Tepuliano Oleo
3) Bharata I´Hana;
4) Bharata I´ Moeri
Ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan mereka terdapat satu simbol peradaban
yang mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau persoalan yang mampu mengangkat
martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA” serta kebudayaan Tolaki ini yang
lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan
kebersamaan dan kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat.
Didalam berinteraksi sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya
yang merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi kebudayaan
masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain sebagai
berikut :
– Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat), masyarakat
Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih menyelesaikan secara adat sebelum
dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang
timbul dalam masyarakat tolaki, misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan.
Masyarakat tolaki akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya
masyarakat tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih jalan damai
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
– Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari pertahanan diri dari
setiap pribadi masyarakat tolaki yang setiap saat, dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga,
dipelihara dan dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang akan
tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan miskin,
dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk setiap
pribadi masyarakat tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu
meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan.
– Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini merupakan budaya untuk
selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan santun, saling hormat-menghormati sesama
manusia. Hal ini sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan
antara lain sebagai berikut:
Ø “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :
Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan banyak sopan
kepadanya.
Ø “Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela oleh hukum,
namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan dikenakan sanksi /
hukuman
Ø “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”
Artinya :
Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan
– Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong menolong dan
saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap permasalahan sosial dan
pemerintahan baik itu berupa upacara adat,pesta pernikahan, kematian maupun dalam
melaksanakan peran dan fungsinya sebagai warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling
tolong menolong dan bantu-membantu .
– Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang
tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya malu) namun ada
perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat mandiri,kebanggaan, percaya diri dan
rendah hati sebagai orang tolaki .
Mudah-mudahan dari sekian banyak nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki yang ada, apa
yang saya berikan pada artikel ini bisa lebih membuka mata dan memberi sedikit gambaran
tentang kebudayaan Masyarakat Tolaki.
Khasanah kehidupan masyarakat di Kota Kendari Khususnya dan Sulawesi Tenggara
Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur suku bangsa Tolaki tetapi juga oleh
masyarakat suku lainnya yang berada di “bumi anoa”, kesemuanya menjadi daya perekat dalam
kehidupan bemasyarakat di daerah ini .kerukunan antar ummat beragama juga memberi warna
tersendiri ditengah- tengah kepercayaan dan keyakinan untuk menyerahkan diri kepada
Tuhannya masing-masing.
4. RUMAH ADAT SUKU TOLAKI
Rumah adat Tolaki telah lenyap. Upaya rekonstruksi digalakkan, antara lain lewat Seminar
Penelusuran Arsitektur Tradisional Tolaki Fak. Tek. Universitas Haluoleo, Maret 2004 . Dari
studi intensif dan keterangan para nara sumber yang ada, beberapa hal dapat disimpulkan (Faslih,
2004). Antara lain, bahwa rumah adat Tolaki dapat berupa komali (rumah istana raja) atau laika
(rumah tempat orang tinggal). Namun antara rumah raja dan rumah rakyat, yang membedakan
adalah besar dan luasnya saja: rumah raja 40 depa rumah rakyat minimal 3 depa. Rumah hanya
salah satu dari beberapa jenis shelter dalam peradaban arsitektur Tolaki, yaitu: tempat berlindung
sementara (pineworu), pondok berlantai tanah ditengah ladang (laikawatu), tempat berlindung
yang dipindah-pindahkan (payu), dangau (patande) dan lumbung (o ala). Pola tatanan
permukiman pun tak lepas dari konsep kalo: konsentrik dengan posisi rumah raja/kepala suku
berada di bagian tengah (Tarimana 1993).
Menurut para nara sumber adat dalam hasil studi arsitektural dan etnografi, yang menjadi
core element dalam rumah adat Tolaki adalah 9 jajar tiang dengan diperkuat balok melintang
(powuatako) dan memanjang (nambea). Dalam jajaran tiang ini terdapat satu tiang utama yang
disebut dengan tiang petumbu yang terletak ditengah baris dan lajur ke-9 tiang ini. Tiang
petumbu adalah tiang yang pertama kali ditanam dan pemasangannya dilakukan pada waktu
subuh (sebelum matahari terbit). Setelah petumbu didirikan, 4 hari atau lebih baru didirikan
tiang-tiang lainnya dengan maksud untuk melihat dalam jangka waktu tertentu apakah akan
terjadi sesuatu pada tiang petumbu. Jika tidak terjadi sesuatu maka dilakukan pemasangan ke-9
tiang yang lainnya.
Setelah ke-9 tiang berdiri yang pertama dipasang adalah balok powuatako (A) pada sisi
dalam tiang arah bagian belakang rumah, selanjutnya balok B dan C. Setelah balok powuatako
dipasang selanjutnya pemasangan balok nambea (1) dimulai dari arah kanan rumah, kemudian
menyusul nambea 2 dan nambea 3. Semua Powuatako dan nambea, baik yang melintang maupun
yang memanjang yang menempel pada tiang dipinggir luar badan bangunan, harus ditempatkan
di belakang tiang. Agar setelah dinding dipasang tiang tak akan kelihatan dari luar, karena
terhalang oleh dinding.
Rumah Komali berbentuk rumah panggung yang menggunakan tiang-tiang bundar (tusa),
tidak menggunakan pondasi seperti halnya rumah-rumah adat yang lain. Tiang ditanam sedalam
satu hasta, tiang yang akan ditanam ke dalam tanah sebelumnya dibakar pada bagian selubung
(permukaan tiang) hingga menjadi arang, selanjutnya tiang yang dibakar tadi dibungkus dengan
ijuk dan diikat persegmen dengan menggunakan rotan. Makna kedalaman satu hasta tidak ada,
hanya terkait dengan kemudahan penggalian dan pengang-katan tanah ke permukaan. Tiamh
dibakar dan dibung-kus bertujuan agar permukaan selubung tiang menjadi arang agar tiang tidak
mudah dimakan rayap dan agar arang tersebut tetap melekat pada selubung tiang.
Tinggi tiang dari permukaan tanah hingga ke permukaan lantai diperkirakan kerbau bisa
masuk dibawahnya, kurang lebih 2 m. Jumlah tiang untuk Komali adalah 40 tiang di luar tiang
dapur dan tiang teras. Makna dari jumlah 40 tiang ini terkait dengan suatu jumlah yang
disaratkan dalam meminang yaitu 40 pinang dan 40 lembar daun sirih. Jadi perwujudan ini
diejawantahkan dalam tiang-tiang penopang rumah. Jika dianalisis dari segi fungsi maka jumlah
40 tiang merupakan jumlah tiang yang mewakili satu rumah besar, yang hanya dibangun oleh
tokoh tertinggi adat (Mokole).
Hubungan antara balok powuatako, nambe dengan tiang, diikat dengan rotan. Cara
mengikat; pertama rotan pengikat diikatkan pada powuatako atau nambea bukan pada tiang.
Putaran pertama kali silang ke arah kanan sebanyak 4 putaran selanjutnya pada arah silang kiri
sebanyak 3 kali putaran terakhir di tinohe di antara tiang dan powuatako atau nambea. Setelah
pemasangan kesembilan tiang ini barulah bisa dilakukan pemasangan tiang-tiang tambahan
lainnya sesuai dengan luasan dan kebutuhan yang dikehendaki.
Kesembilan tiang yang merupakan core element dalam rumah adat Tolaki merupakan
symbol dari siwolembatohu yaitu delapan penjuru mata angin. Tiang petumbu merupakan pusat
dari siwolembatohu. Oleh karena itu, inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa tiang
petumbulah yang pertama kali dibangun bahkan dalam pemasangannya diikuti oleh upacara
ritual dan pada bagian puncaknya diberi ramuan guna memohon kepada Tuhan agar seisi rumah
yang menempati rumah ini dapat terhindar dari berbagai bahaya yang datang dari delapan
penjuru mata angin.

BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Kebudayaan di Indonesia sungguhlah sangat banyak ragamnya dan seluruhnya hampir
menyebar diseluruh daerah di Indonesia. Dan disetiap daerah tersebut memiliki keunikan
masing-masing dan antara satu daerah dengan daerah lainnya itu sangatlah berbeda.
Salah satu kebudayaan tersebut adalah di Sulawesi Tenggara yaitu yang terdapat pada
suku Tolaki di Konawe. Disana ada ada sebuah simbol tradisi yang menjadi pemersatu dan
juga bisa dikenal sebagai sumber hukum didalam suku tersebut yaitu Kalo. Jika dilihat
kebudayaan itu sungguh sarat dengan pesan dan makna yang baik misalnya saja untuk
menyelesaikan masalah antar masyarakat disana maka digunakanlah Kalo sebagai media untuk
menyelesaikan masalah.
Bisa dibilang keunikan dari setiap kebudyaan tersebut perlu kita lestarikan dan kita
budayakan ataupun mungkin kita jadikan pedoman. Sewajarnya juga kita sebagai generasi
muda harus bisa mengenali karena hal tersebut adalah jati diri bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

http://arta-suharta.blogspot.com/2010/04/sejarah-kebudayaan-dan-adat-suku-tolaki.html
http://lumanda.wordpress.com/2010/03/11/pengertian-tolaki/
http://anwarhapid.blogspot.com/2013/01/kalosara-sebagai-instrumen-utama-dalam.html
http://lucykeroppi.wordpress.com/

Anda mungkin juga menyukai