Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat

irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari mana sel itu

berasal. Sel-sel tesebut, pada berbagai stadium akan membanjiri aliran darah.

Pada kasus Leukemia (kanker darah), sel darah putih tidak merespon kepada

tanda/signal yang diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol

(abnormal) akan keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah

perifer atau darah tepi. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan

dapat mengganggu fungsi normal sel lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti

ini (Leukemia) akan menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena

penyakit infeksi, anemia dan perdarahan. 1

Leukemia mieloid adalah kelompok penyakit heterogen ditandai dengan

infiltrasi sel neoplastik sistem hemopoitik pada darah, sumsum tulang, dan

jaringan lain oleh. Pada tahun 2006 perkiraan jumlah kasus baru leukemia mieloid

di Amerika Serikat sebesar 16.430. Leukemia tersebut termasuk spektrum

keganasan, tidak dapat diobati, mulai dari yang progresif cepat hingga progresif

lambat. Berdasarkan hal tersebut, leukemia mieloid dibagi menjadi akut dan

kronis. 2

1
Insiden leukemia mieloid akut (AML) adalah + 3,7 per 100.000 orang per

tahun, dan kejadian yang disesuaikan menurut umur lebih tinggi pada pria

dibandingkan pada wanita (4.6 versus 3.0). Insiden AML meningkat sesuai umur,

yaitu 1,9 pada individu <65 tahun dan 18,6 pada mereka yang berusia >65.

Sebuah peningkatan yang signifikan pada insiden AML telah terjadi selama 10

tahun terakhir. Etiologinya meliputi hereditas, radiasi dan paparan pekerjaan serta

obat-obatan dan virus. 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. LEUKIMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA)

A. DEFINISI

Leukimia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai

dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari

seri mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara

2
cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum

tahun 1960 pengobatan LMA terutam bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun

yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini

banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan

pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik,

kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi

suportif yang lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen

darah untuk mengatasi efek samping pengobatan. 3

B. ETIOLOGI

Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun

demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya

menjadi faktor prediposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa

kimia yang banyak digunakan pada insidens penyamakan kulit di negara

berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu

radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini diketahui dari

penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk LMA, pada

orang-orang yang selamat bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek

leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun

sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah

pengeboman. Faktor lain yang diketahui sebagai predisposisi untuk LMA adalah

trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom down.

Pasien Sindrom Down dengan trisommi kromosom 21 mempunyai resiko 10

3
hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7.

Selain itu pada beberapa pasien sindrom genetik seperti sindrom bloom dan

anemia Fanconi juga diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi

dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA. 3

Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan

kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah

komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma

multipel, kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker testis. Jenis terapi yang

paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkylating agent dan

topoisomerase II inhibitor. 3

C. EPIDEMIOLOGI

Acute myeloid leukaemia (AML), yaitu leukemia yang terjadi pada seri

myeloid, meliputi (neutrofil, eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan lain -

lain). Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh

kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada

anak (15%). 3

D. KLASIFIKASI

4
Klasifikasi menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) termasuk

perbedaan secara biologi berdasarkan imunofenotip, kondisi klinis, sitogenetik

dan molekul aabnormal serta morfologinya. Berbeda dengan klasifikasi French-

American-British (FAB), klasifikasi WHO hanya terbatas pada sitokimia.

Perbedaan utama antara klasifikasi WHO dan FAB terletak pada diagnosis AML,

pada klasifikasi WHO terdapat 20% sindrom mielodisplastik (MDS), sedangkan

pada pada FAB 30% MDS. WHO mengklasifikasikan AML dengan 20-30% blast

dapat mendapatkan terapi untuk MDS (seperti desitabin atau 5-azacitidin), dimana

dahulu pernah Badan Pengelola Obat dan Makanan (FDA). 1

5
E. PATOGENESIS

Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang

menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda

(blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast

di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan

pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone

marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia ( anemia,

leukopeni, trombositopeni). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah

lelah dan pada kasus yang lebih berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia

akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan

menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termausk infeksi oportunis dari flora

normal bakteri yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel blast yang

terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan

berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem

syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.3

6
Gambar. Hematopoiesis

Spesifik sitogenetika kelainan dapat ditemukan pada banyak pasien

dengan AML, jenis kelainan kromosom sering memiliki makna prognostik. Pada

translokasi kromosom yang abnormal menyandikan protein fusi, biasanya faktor

transkripsi yang mengubah sifat dapat menyebabkan "penangkapan diferensiasi."

Sebagai contoh, pada leukemia promyelocytic akut, t (15; 17) translokasi

menghasilkan protein fusi PML-RARα yang mengikat ke reseptor unsur asam

retinoat dalam beberapa promotor myeloid-gen spesifik dan menghambat

diferensiasi myeloid. Klinis tanda dan gejala hasil AML dari kenyataan bahwa,

sebagai klon leukemia sel tumbuh, ia cenderung untuk menggantikan atau

mengganggu perkembangan sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Hal ini

menyebabkan neutropenia, anemia, dan trombositopenia.

Patogenesis utama AML adalah blockade maturitas yang menyebabkan

proses diferensiasi sel-sel mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat

terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Keadaan ini akan menyebabkan

gangguan hematopoiesis normal yang pada gilirannya akan mengakibatnkan

sindrom kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan adanya sitopenia.

Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang berat

dapat disertai dengans sesak napas, adanya trombositopenia akan menyebabkan

tanda-tanda perdarahan sedang adanya leucopenia akan menyebabkan pasien

7
rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunitis dari for a normal yang ada di

dalama tubuh manusia. Selain itu sel-sel blast yang terbentuk juga punya

kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ

lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak, dan system saraf pusat serta merusak

organ-organ tersebut dengan segala akibatnya. 2

Berikut merupakan jenis sel blast yang akan diidentifikasi: 6

 Myeloblast

Myeloblast merupakan sel yang cukup besar dengan diameter 15 sampai

20 μm perbandingan nukleus dengan sitoplasma (N : C) dari 5 : 1 hingga 7 : 1.

Myeloblast terkadang lebih kecil dan mirip dengan ukuran sel myeloid matang.

Sel dan inti berbentuk bulat namun tidak beraturan.

 Promyelocyte

Promyelocyte berbentuk bulat atau oval, ukuran sel sedikit lebih besar dari

myeloblast yaitu berdiameter 12 sampai 24 μm. Rasio nukleus dengan sitoplasma

dari 3 : 1 hingga 5 : 1. Inti berbentuk bulat atau oval dan memiliki kromatin halus

serta terdapat nukleoli.

 Monoblast

Monoblast mempunyai ukuran sel yang besar dengan diameter 15 sampai

24 μm. Rasio nukleus dengan sitoplasma mulai dari 3 : 1 sampai 7 : 1. Inti

berbentuk bulat atau oval dan terdapat kromatin halus dan nukleoli. Gambar 2(d)

merupakan bentuk morfologi dari monoblast.

 Promonocyte

8
Promonocyte mempunyai ukuran 15 sampai 20 μm dengan rasio nukleus

dengan sitoplasma berada diantara monoblast dan monocyte. Inti berbetuk seperti

lipatan dan terdapat nukleoli.

F. MANIFESTASI KLINIK

Pasien dengan AML seringkali menunjukkan gejala tidak spesifik yang

dimulai dengan anemia, leukositosis, leucopenia atau disfungsi leukosit, atau

trombositopeni baik secara berangsur-angsur maupun tiba-tiba. Hampir sebagian

besar menunjukkan gejala tersebut selama + 3 bulan sebelum didiagnosis

leukemia. 2

Sebagian besar menyebutkan gejala awal adalah fatigue (kelemahan) atau

anoreksia dan penurunan berat badan. Demam dengan atau tanpa infeksi

merupakan gejala awal pada 10% pasien. Tanda perdarahan abnormal (berdarah,

mudah lebam) terjadi pada 5% pasien. Selain itu juga didapatkan nyeri tulang,

limfadenopati, sakit kepala non spesifik atau diaphoresis. 2

Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan

infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana

telah disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau

petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis,

perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali

pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini pling sering dijumpai pada

kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan

9
daerah peri rektl, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada

pasien LMA dengan demam.

Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100

ribu/mm3), sering terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit yang menyumbat

aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukositosis sangat bervariasi,

tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan

kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.

G. PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan dapat ditemukan demam, splenomegali, hepatomegali,

limfadenopati, sternum melunak, dan adanya bukti infeksi dan perdarahan.

Perdarahan gastrointestinal, intrapulmonary, atau intracranial seringkali

didapatkan pada akut premyelosit leukemia (APL). Perdarahan akibat koagulopati

dapat terjadi pada monositik AML disertai leukositosis atau trobositopenia yang

parah. Perdarahan retinal ditemukan pada 15% pasien. Infiltrasi leukemik blast

pada gingival, kulit, jaringan lunak atau meningen saat diagnosis merupakan

karakteristik subtype monositik dan kromosom 11q23 yang abnormal. 2

H. HEMATOLOGI

Pada umumnya didapatkan anemia yang parah. Derajat keparahan tersebut

terlepas dari temuan hematologi, splenomegali atau durasi dari gejala. Anemia

yang terjadi biasanya normositik normokrom. Penurunan eritropoiesis seringkali

10
menurunkan jumlah retikulosit dan sel darah merah (SDM) yang beredar pada

pembuluh darah menurun akibat destruksi. Perdarahan aktif juga mempengaruhi

timbulnya anemia. 2

Rata-rata pada hitung leukosit didapatkan 15.000/SL. Sekitar 25-40%

pasien didapatkan hitung leukosit < 5000/ SL dan >100.000/ SL. Kurang dari 5%

tidak terdeteksi sel leukemia dalam darahnya. Morfologi sel ganas bervariasi,

pada AML seringkali sitoplasmanya terutama mengandung granula (nonspesifik),

nukleus tajam, kromatinnya kasar dengan satu atau lebih nukleolus yang

menandakan sel immature. Granula rod-shaped abnormal disebu auer rods tidak

selalu ada, namun jika ada hamper selalu merupakan mieloid yang diturunkan.

Gambar: Morfologi sel AML. A. Populasi sel myeloblas dengan kromatin imatur,

nucleolus pada beberapa sel, dan didominasi granula sitoplasmik. B. Myeloblas

leukemik yang mengandung auer rod. C. Sel promyelositik leukemia dengan

11
sitoplasma prominen yang didominasi granula. D. Pewarnaan peroksidase

menunjukkan warna biru gelap yang merupakan karakteristik granula pada AML.2

Hitung platelet <100.000/SL ditemukan pada 75% pasien AML, dan

sekitar 25% didapatkan hitung platelet <25.000/SL. Morfologi dan fungsi

abnormal platelet dapat diobservasi, termasuk besar dan bentuk yang aneh dengan

granulasi abnormal dan ketidakmampuan platelet untuk agregasi (berumpul) dan

adesi (menempel) secara normal antara yang satu dengan yang lain. 2

I. DIAGNOSIS BANDING

Leukemia mieloblastik akut harus dibuat diagnosa banding dan semua

leukemia akut dan anemia aplastik. Apabila ditemukan “Auer body” maka

diagnosabanding tidak sulit ditegakkan, oleh karena kelainan ini patogonomis

untuk leukemia mieloblastik akut.

Apabila tidak ditemukan Auer body maka harus dikerjakan reaksi peroksidase

dimana pada mieloblas pereksidase akan positif.

Anemia aplastik dengan mieloblastik akut yang alekemik di bedakan atas

dasar pemeriksaan sumsum tulang. Secara klinis endokarditis bakterialis mirip

leukemia mieloblastik akut karena adanya febris, anemia, splenomegali, dan

ptechiae. Tentu adanya riwayat penyakit jantung, splenomegali yang lebih besar

dan tidak adanya kelainan pada gusi dapat membedakan kedua keadaan ini.7,8

J. PENATALAKSANAAN

12
Perbaiki keadaan umum yaitu : anemia diberikan tranfusi darah dengan

PCR (Packed red cell) atau darah lengkap. Trombositopeni yang mengancam

diatasi dengan transfusi konsetrat trombosit. Apa bila ada infeksi diberikan

antibiotika yang adekuat. Terapi spesifik seperti terapi leukemia pada umumnya

dimulai dengan tahap induksi dengan : Doxorubicin 40 mg/mm 2 /berat badan/hari

1-5. Dilanjutkan dengan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam/hari 1-7. Untuk pasien usia

di atas 50 tahun dosis dikurangi dengan Adriamycin hanya 3 hari dan Ara C 5

hari. Obat pengganti adriamycin adalah Farmorubicin. Dilakukan evaluasi klinis

dan hematologis. Pemeriksaan sumsum tulang pada akhir minggu ketiga. Apabila

tidak terjadi remisi atau remisi hanya bersifat parsiil maka terapi harus diganti

dengan regimen lain.9

Apabila terjadi remisi lengkap (klinis dan hematologis) maka dimulai tahap

konsolidasi. Pada tahap ini diberikan doxorubicin 40 mg/mm 2 hari 1-2 dan Ara C

1-5. Refimen ini diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu.

Apabila keadaan memungkinkan maka diberikan cangkok sumsum tulang

pada saat terjadi remisi lengkap.1

Terapi standar adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan

daunorubisin dengan protokol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus

kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari.

Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan

dounorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedangkan bila diberikan

sebagai obat kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien.3

13
14
II. LIMFADENOPATI

A. DEFINISI

Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening dengan

ukuran lebih besar dari 1 cm. Kepustakaan lain mendefinisikan limfadenopati

sebagai abnormalitas ukuran atau karakter kelenjar getah bening. Limfadenopati

adalah hiperplasia limfoid sebagai respon terhadap proliferasi limfosit T atau

limfosit B. Limfadenopati biasanya terjadi setelah infeksi suatu mikroorganisme.10

B. KLASIFIKASI

Limfadenopati dapat dibagi menjadi dua berdasarkan luas daerah yang

terkena, yaitu sebagai berikut : 11

• Generalisata, yaitu limfadenopati pada dua atau lebih regio anatomi yang

berbeda.

• Lokalisata, yaitu limfadenopati yang terbatas hanya pada satu regio.

Dari semua kasus pasien yang berobat ke sarana layanan kesehatan primer,

sekitar 3/4 penderita datang dengan limfadenopati lokalisata dan 1/4 sisanya

datang dengan limfadenopati generalisata. 12

C. ETIOLOGI

Secara umum yang dapat menyebabkan timbulnya limfadenopati dapat

disingkat dengan MIAMI, yaitu Malignancies, Infectins, Autoimune disorders,

Miscellaneous and unusual conditions, dan Iatrogenics. Kelenjar getah bening

servikal teraba pada sebagian besar anak, tetapi ditemukan juga pada 56% orang

dewasa. Penyebab utama limfadenopati servikal adalah infeksi; pada anak,

15
umumnya berupa infeksi virus akut yang swasirna. Pada infeksi mikobakterium

atipikal, cat-scratch disease, toksoplasmosis, limfadenitis Kikuchi, sarkoidosis,

dan penyakit Kawasaki, limfadenopati dapat berlangsung selama beberapa bulan.

Limfadenopati supraklavikula kemungkinan besar (54%- 85%) disebabkan oleh

keganasan.11

D. DIAGNOSIS

 Anamnesis

• Umur penderita dan lamanya limfadenopati

Kemungkinan penyebab keganasan sangat rendah pada anak dan

meningkat seiring bertambahnya usia. Kelenjar getah bening teraba pada periode

neonatal dan sebagian besar anak sehat mempunyai kelenjar getah bening

servikal, inguinal, dan aksila yang teraba. Sebagian besar penyebab limfadenopati

pada anak adalah infeksi atau penyebab yang bersifat jinak. 11

• Pajanan

Anamnesis pajanan penting untuk menentukan penyebab limfadenopati.

Pajanan binatang dan gigitan serangga, penggunaan obat, kontak dengan penderita

infeksi dan riwayat infeksi rekuren penting dalam evaluasi limfadenopati

persisten. Pajanan setelah bepergian dan riwayat vaksinasi penting diketahui

karena dapat berkaitan dengan limfadenopati persisten, seperti tuberkulosis,

tripanosomiasis, scrub typhus, leishmaniasis, tularemia, bruselosis, sampar, dan

anthrax. Pajanan rokok, alkohol, dan radiasi ultraviolet dapat berhubungan dengan

metastasis karsinoma organ dalam, kanker kepala dan leher, atau kanker kulit.

16
Pajanan silikon dan berilium dapat menimbulkan limfadenopati. Riwayat kontak

seksual penting dalam menentukan penyebab limfadenopati inguinal dan servikal

yang ditransmisikan secara seksual. Penderita acquired immunodeficiency

syndrome (AIDS) mempunyai beberapa kemungkinan penyebab limfadenopati;

risiko keganasan, seperti sarkoma Kaposi dan limfoma maligna non-Hodgkin

meningkat pada kelompok ini. Riwayat keganasan pada keluarga, seperti kanker

payudara atau familial dysplastic nevus syndrome dan melanoma, dapat

membantu menduga penyebab limfadenopati.11

• Gejala yang menyertai

Gejala konstitusi, seperti fatigue, malaise, dan demam, sering menyertai

limfadenopati servikal dan limfositosis atipikal pada sindrom mononukleosis.

Demam, keringat malam, dan penurunan berat badan lebih dari 10% dapat

merupakan gejala limfoma B symptom. Pada limfoma Hodgkin, B symptom

didapatkan pada 8% penderita stadium I dan 68% penderita stadium IV. B

symptom juga didapatkan pada 10% penderita limfoma non-Hodgkin. Gejala

artralgia, kelemahan otot, atau ruam dapat menunjukkan kemungkinan adanya

penyakit autoimun, seperti artritis reumatoid, lupus eritematosus, atau

dermatomiositis. Nyeri pada limfadenopati setelah penggunaan alkohol

merupakan hal yang jarang, tetapi spesifik untuk limfoma Hodgkin.11

 Pemeriksaan Fisik

• Karakter dan ukuran kelenjar getah bening

Kelenjar getah bening yang keras dan tidak nyeri meningkatkan

17
kemungkinan penyebab keganasan atau penyakit granulomatosa. Limfadenopati

karena virus mempunyai karakteristik bilateral, dapat digerakkan, tidak nyeri, dan

berbatas tegas. Limfadenopati dengan konsistensi lunak dan nyeri biasanya

disebabkan oleh inflamasi karena infeksi. Pada kasus yang jarang, limfadenopati

yang nyeri disebabkan oleh perdarahan pada kelenjar yang nekrotik atau tekanan

dari kapsul kelenjar karena ekspansi tumor yang cepat.11

Pada umumnya, kelenjar getah bening normal berukuran sampai diameter

1cm, tetapi beberapa literatur menyatakan bahwa kelenjar epitroklear lebih dari

0,5cm atau kelenjar getah bening inguinal lebih dari 1,5 cm merupakan hal yang

abnormal. Terdapat laporan bahwa pada 213 penderita dewasa, tidak ada

keganasan pada penderita dengan ukuran kelenjar di bawah 1 cm, keganasan

ditemukan pada 8% penderita dengan ukuran kelenjar 1-2,25 cm dan pada 38%

penderita dengan ukuran kelenjar di atas 2,25 cm. Pada anak, kelenjar getah

bening berukuran lebih besar dari 2 cm disertai gambaran radiologi toraks

abnormal tanpa adanya gejala kelainan telinga, hidung, dan tenggorokan

merupakan gambaran prediktif untuk penyakit granulomatosa (tuberkulosis,

catscratch disease, atau sarkoidosis) atau kanker (terutama limfoma). 7 Tidak ada

ketentuan pasti mengenai batas ukuran kelenjar yang menjadi tanda kecurigaan

keganasan. Ada laporan bahwa ukuran kelenjar maksimum 2 cm merupakan batas

ukuran yang memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan ada tidaknya

keganasan dan penyakit granulomatosa.11

Lokasi kelenjar getah bening daerah leher dapat dibagi menjadi 6 level.

18
Pembagian ini berguna untuk memperkirakan sumber keganasan primer yang

mungkin bermetastasis ke kelenjar getah bening tersebut dan tindakan diseksi

leher. 13

Gambar : Level dan Sublevel Kelenjar Limfe Leher

> Pemeriksaan Penunjang Limfadenopati 11,12

a. Laboratorium :

- Darah lengkap, apusan darah, Laju Endap Darah (LED)


Darah lengkap dan apusan darah berguna untuk melihat adanya

kemungkinan infeksi atau keganasan darah, sedangkan LED untuk melihat

adanya tanda inflamasi.


- Fungsi hati dan analisis urin untuk melihat penyakit sistemik penyebab

limfadenopati, sebagai tambahan dapat diperiksan Laktat Dehiroginase

19
(LDH), asam urat, kadar kalsium dan fosfat, untuk melihat tanda

keganasan.
- Serologi (toxoplasma, EBV, CMV, HIV,dll)
- Tes mantoux jika dicurigai adanya infeksi tuberculosis.
b. Rontgen Thoraks
Foto rontgen dilakukan apabila dicurigai adanya kelainan di paru seperti

tuberculosis, lymphoma dan neuroblastoma.


c. Ultrasonografi (USG)
USG merupakan salah satu teknik yang dapat mendiagnosis limfadenopati

servikalis. Dengan menggunakan USG dapat mengetahui ukuran, bentuk,

gambaran mikronodular, nekrosis intranodular serta ada atau tidaknya kalsifikasi.


d. CT Scan

Pemeriksaan CT – Scan dapat mendeteksi adanya pembesaran KGB

servikalis dengan diameter 5 mm atau lebih.

e. Biopsi
Fine Needle Aspiration (FNA) dilakukan untuk menentukan histologi

kelenjar limfe. Pemeriksaan ini cukup akurat karena memiliki angka sensitifitas

94-100% dan spesifisitas 92-98%. FNA dapat membedakan keganasan yang

berasal dari sel limfoid maupun sel epitelial.


E. PENATALAKSANAAN

Pengobatan limfadenopati KGB leher didasarkan kepada penyebabnya.

Banyak kasus dari pembesaran KGB leher sembuh dengan sendirinya dan tidak

membutuhkan pengobatan apapun selain observasi. Kegagalan untuk mengecil

setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsi KGB.

Biopsi dilakukan terutama bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan

kepada keganasan. KGB yang menetap atau bertambah besar walau dengan

pengobatan yang adekuat mengindikasikan diagnosis yang belum tepat. 8

20
Antibiotik perlu diberikan apabila terjadi limfadenitis supuratif yang biasa

disebabkan oleh Staphyilococcus. aureus dan Streptococcus pyogenes (group A).

Pemberian antibiotik dalam 10-14 hari dan organisme ini akan memberikan

respon positif dalam 72 jam. Kegagalan terapi menuntut untuk dipertimbangkan

kembali diagnosis dan penanganannya.8

Apabila penyebab dari limfadenopati colli ini adalah akibat dari metastasis

keganasan kepala – leher dapat dipertimbangkan untuk melakukan terapi operatif,

salah satunya adalah diseksi leher.8

DAFTAR PUSTAKA

1. Supandiman, Iman. Prof. dr. DSPD. H. Hematologi Klinik Ed. 2. Penerbit

Alumni : Bandung. 2000.


2. Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald,

Eugene; Hauser, Stephen L.; Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;.

Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition. USA: McGraw-

hill, 2008.
3. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata

K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Departemen

21
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta,

2006.
4. ES Jaffe et al: World Health Organization Classification of Tumours.

Lyon, ARC Press, 2001.


5. JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 2000.
6. Hematology and Clinical Microscopy Resource Committee, (2012).

Hematology and Clinical Microscopy Glossary. College of American

Pathologists.
7. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-

Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,

2005
8. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Penerbit

Buku Kedokteran EGC. 2008


9. Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. Kapita Selekta Hematologi edisi

4.Jakarta: EGC, 2005


10. Elisabeth. J.C., Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke 3. Jakarta : Penebit

Buku Kedokteran; 2009.


11. Bazemore AW. Smucker DR. Lymphadenopathy and malignancy. Am Fam

Physician; 2002:66:2103-10.
12. Ferrer R. Lymphadenopathy: Differential diagnosis and evaluation. Am

Fam Physician; 2013:58:1315.

13. Robbins KT, Clayman G, Levine PA, Medina J, Sessions R. Neck

dissetion clasifi cation update. Revision proposed by the American Head

and Neck Society and the American Academy of Otolaryngology-Head

and Neck Surgery. Arch Otolaryngol Head Neck Surg; 2002:128:751-8

22

Anda mungkin juga menyukai