Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK (PJR)/

Rheumatic Heart Disease (RHD)

A. PENGERTIAN
 Penyakit jantung reumatik adalah penyakit yang di tandai dengan kerusakan pada katup
jantung akibat serangan karditis reumatik akut yang berulang kali. (kapita selekta, edisi 3,
2000)
 Demam Reumatik / penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau
kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus
Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor
yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Korea minor, Nodul subkutan dan Eritema
marginatum.

B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi
autoimun (kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi streptococcus β
hemolitikus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik baik
demam reumatik serangan pertama maupun demam reumatik serangan ulang.
Faktor-faktor predisposisi terjadinya penyakit jantung rematik / Rheumatic Heart
Desease terdapat pada diri individu itu sendiri dan juga faktor lingkungan.
Faktor dari Individu diantaranya yaitu :

1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik
menunjukan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal
dengan status reumatikus.

2. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik /
penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun
dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun
dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini
dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi
Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur
2-6 tahun.
3. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan
faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.

4. Golongan etnik dan ras


Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam
reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih.
Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang
berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang
sebenarnya.

5. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki.
Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun
manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.

6. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel
streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini
mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.
Faktor-faktor dari lingkungan itu sendiri :

1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk


Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk
terjadinya demam rematik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju,
jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk
sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan
sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang;
pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain.
Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik.

2. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian
atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.

3. Iklim dan geografi


Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah
yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun
mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang
letaknya agak tinggi agaknya angka kejadian demam rematik lebih tinggi daripada didataran
rendah.

C. PATOFISIOLOGI
Terjadinya jantung rematik disebabkan langsung oleh demam rematik, suatu penyakit
sistemik yang disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A. demam rematik mempengaruhi
semua persendian, menyebabkan poliartritis. Jantung merupakan organ sasaran dan
merupakan bagian yang kerusakannya paling serius.
Kerusakan jantung dan lesi sendi bukan akibat infeksi, artinya jaringan tersebut tidak
mengalami infeksi atau secara langsung dirusak oleh organism tersebut, namun hal ini
merupakan fenomena sensitivitas atau reaksi, yang terjadi sebagai respon
terhadap streptokokus hemolitikus. Leukosit darah akan tertimbun pada jaringan yang
terkena dan membentuk nodul, yang kemudian akan diganti dengan jaringan parut.
Miokardium tentu saja terlibat dalam proses inflamasi ini; artinya, berkembanglah
miokarditis rematik, yang sementara melemahkan tenaga kontraksi jantung. Demikian pula
pericardium juga terlibat; artinya, juga terjadi pericarditis rematik selama perjalanan akut
penyakit. Komplikasi miokardial dan pericardial biasanya tanpa meninggalkan gejala sisa
yang serius. Namun sebaliknya endokarditis rematik mengakibatkan efek samping
kecacatan permanen.
Endokarditis rematik secara anatomis dimanifestasikan dengan adanya tumbuhan
kecil yang transparan, yang menyerupai manik dengan ukuran sebesar kepala jarum pentul,
tersusun dalam deretan sepanjang tepi bilah katup. Manic-manik kecil itu tidak tampak
berbahaya dan dapat menghilang tanpa merusak bilah katup, namun yang lebih sering mereka
menimbulkan efek serius. Mereka menjadi awal terjadinya suatu proses yang secara bertahap
menebalkan bilah-bilah katup, menyebabkan menjadi memendek dan menebal disbanding
yang normal, sehingga tidak dapat menutup dengan sempurna. Terjadilah kebocoran, suatu
keadaan yang disebut regurgitasi katup. Tempat yang palinh sering mengalami regurgitasi
katup adalah katup mitral.
Penyimpangan KDM
DEMAM REMATIK
streptococcus beta-hemolyticus grup A.

reaksi imonolgy ( anti body )

sarcolemma myocardial

toxin myocard rusak


stretolysin titer o

Bersifat toxik
terhadap jaringan myocard
D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala jantung yang muncul tergantung pada bagian jantung yang terkena. Katup
mitral adalah yang sering terkena, menimbulkan gejala gagal jantung kiri: sesak napas
dengan krekels dan wheezing pada paru. Beratnya gejala tergantung pada ukuran dan lokasi
lesi.
Gejala sistemik yang terjadi akan sesuai dengan virulensi organisme yang menyerang. Bila
ditemukan murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik, maka harus dicurigai
adanya infeksi endokarditis.

E.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pasien demam rematik 80% mempunyai ASTO positif. Ukuran proses inflamasi dapat
dilakukan dengan pengukuran LED dan protein C-reaktif.

G. PENATALAKSANAAN
Tata laksana demam rematik aktif atau reaktivitas adalah sebagai berikut:
1. Tirah baring dan mobilisasi bertahap sesuai keadaan jantung.
2. Eradikasi terhadap kuman streptokokus dengan pemberian penisilin benzatin 1,2 juta unit IM
bila berat badan > 30 kg dan 600.000-900.000 unit bila berat badan < 30 kg, atau penisilin
2x500.000 unit/hari selama 10 hari. Jika alergi penisilin, diberikan eritromisin 2x20 mg/kg
BB/hari untuk 10 hari. Untuk profilaksis diberikan penisilin benzatin tiap 3 atau 4 minggu
sekali. Bila alergi penisilin, diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari untuk berat badan < 30 kg atau 1
g untuk yang lebih besar. Jangan lupa menghitung sel darah putih pada minggu-minggu
pertama, jika leukosit < 4.000 dan neutrofil < 35% sebaiknya obat dihentikan. Diberikan
sampai 5-10 tahun pertama terutama bila ada kelainan jantung dan rekurensi.
3. Antiinflamasi
Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa karditis, dan ditambah kortikosteroid
jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi
dengan gejala tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan artralgia saja cukup diberikan
analgesik.
Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa kardiomegali, salisilat diberikan 100
mg/kg BB/hari dengan maksimal 6 g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian
dilanjutkan 75 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu kemudian.
Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis dan kardiomegali. Obat terpilih adalah
prednison dengan dosis awal 2 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis maksimal 80
mg/hari. Bila gawat, diberikan metilprednisolon IV 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah
2-3 minggu secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap 2-3 hari. Secara
bersamaan, salisilat dimulai dengan 75 mg/kg BB/hari dan dilanjutkan selama 6 minggu
sesudah prednison dihentikan. Tujuannya untuk menghindari efek rebound atau infeksi
streptokokus baru.

H. PENCEGAHAN
Dapat dicegah melalui penatalaksanaan awal dan adekuat terhadap infeksi
streptokokus pada semua orang.
Langkah pertama dalam mencegah serangan awal adalah mendeteksi adanya infeksi
streptokokus untuk penatalaksanaan yang adekuat, dan pemantauan epidemi dalam
komunitas. Setiap perawat harus mengenal dengan baik tanda dan gejala faringitis
streptokokus; panas tinggi (38,9 sampai 40C atau 101 sampai 104F), menggigil, sakit
tenggorokan, kemerahan pada tenggorokan disertai aksudat, nyeri abdomen, dan infeksi
hidung akut.
Kultur tenggorok merupakan satu-satunya metode untuk menegakkan diagnosa secara akurat.
Pasien yang rentan memerlukan terapi antibiotika oral jangka panjang atau perlu menelan
antibiotika profilaksis sebelum menjalani prosedur yang dapat menimbulkan invasi oleh
mikroorganisme ini. Pemberian penisilin sebelum pemeriksaan gigi merupakan contoh yang
baik. Pasien juga harus diingatkan untuk menggunakan antibiotika profilaksis pada prosedur
yang lebih jarang dilakukan seperti sitoskopi.
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

A. PENGKAJIAN
a. Aktivitas/istrahat
Gejala : Kelelahan, kelemahan.
Tanda : Takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.

b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung. Palpitasi, jatuh pingsan.
Tanda : Takikardia, disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior, Friction rub, murmur, edema,
petekie, hemoragi splinter.

c. Eliminasi
Gejala : Riwayat penyakit ginjal, penurunan frekuensi/jumlah urine.
Tanda : Urine pekat gelap.

d. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakan menelan, berbaring;
nyeri dada/punggung/ sendi.
Tanda : Perilaku distraksi, mis: gelisah.

e. Pernapasan
Gejala : dispnea, batuk menetap atau nokturnal (sputum mungkin/tidak produktif).
Tanda : takipnea, bunyi nafas adventisius (krekels dan mengi), sputum banyak dan berbercak darah
(edema pulmonal).

f. Keamanan
Gejala : Riwayat infeksi virus, bakteri, jamur, penurunan sistem imun.
Tanda : Demam.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
b. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan
kebutuhan.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan dalam preload/peningkatan tekanan
atrium dan kongesti vena.
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan filtrasi glomerulus.
e. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

C. INTERVENSI
a. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
Tujuan : nyeri hilang/ terkontrol.
Intervensi :
1. Selidiki laporan nyeri dada dan bandingkan dengan episode sebelumnya. Gunakan skala
nyeri (0-10) untuk rentang intensitas. Catat ekspresi verbal/non verbal nyeri, respons otomatis
terhadap nyeri (berkeringat, TD dan nadi berubah, peningkatan atau penurunan frekuensi
pernapasan).
R/ : Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri. Perilaku dan perubahan tanda
vital membantu menentukan derajat/ adanya ketidaknyamanan pasien khususnya bila pasien
menolak adanya nyeri.
2. Berikan lingkungan istirahat dan batasi aktivitas sesuai kebutuhan.
R/ : aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokardia (contoh; kerja tiba-tiba, stress,
makan banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada.
3. Berikan aktivitas hiburan yang tepat.
R/ : Mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu.
4. Dorong menggunakan teknik relaksasi. Berikan aktivitas senggang.
R/ : Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian sehingga
menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.
5. Kolaborasi pemberian obat nonsteroid dan antipiretik sesuai indikasi.
R/ : Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi dan meningkatkan kenyamanan.
b. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan
kebutuhan.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
Intervensi :
1. Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas menggunakan parameter berikut: frekuensi nadi
20/menit diatas frekuensi istirahat; catat peningkatan TD, dispnea atau nyeri dada; kelelahan
berat dan kelemahan; berkeringat; pusing; atau pingsan.
R/ : Parameter menunjukkan respons fisiologis pasien terhadap stres aktivitas dan indikator
derajat pengaruh kelebihan kerja/jantung.
2. Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh penurunan kelemahan/kelelahan, TD
stabil/frekuensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.
R/ : Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual.
3. Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.
R/ : Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen
yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
4. Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat
gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
R/ : Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi sehingga membantu
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
5. Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.
R/ : Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah
kelemahan.

c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan dalam preload/peningkatan tekanan


atrium dan kongesti vena.
Tujuan : menunjukan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan ditritmia.
Intervensi :
1. Pantau TD, nadi apikal, nadi perifer.
R/ : Indikator klinis dari keadekuatan curah jantung. Pemantauan memungkinkan deteksi
dini/tindakan terhadap dekompensasi.
2. Tingkatkan/dorong tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 45 derajat.
R/ : Menurunkan volume darah yang kembali ke jantung (preload), yang memungkinkan
oksigenasi, menurunkan dispnea dan regangan jantung.
3. Bantu dengan aktivitas sesuai indikasi (mis: berjalan) bila pasien mampu turun dari tempat
tidur.
R/ : Melakukan kembali aktivitas secara bertahap mencegah pemaksaan terhadap
cadangan jantung.
4. Berikan oksigen suplemen sesuai indikasi. Pantau DGA/nadi oksimetri.
R/ : Memberikan oksigen untuk ambilan miokard dalam upaya untuk mengkompensasi
peningkatan kebutuhan oksigen.
5. Berikan obat-obatan sesuai indikasi. Mis: antidisritmia, obat inotropik, vasodilator, diuretik.
R/ : pengobatan distritmia atrial dan ventrikuler khusnya mendasari kondisi dan
simtomatologi tetapi ditujukan pada berlangsungnya/meningkatnya efisiensi/curah jantung.
Vasodilator digunakan untuk menurunkan hipertensi dengan menurunkan tahanan vaskuler
sistemik (afterload). Penurunan ini mengembalikan dan menghilangkan tahanan. Diuretic
menurunkan volume sirkulasi (preload), yang menurunkan TD lewat katup yang tak
berfungsi, meskipun memperbaiki fungsi jantung dan menurunkan kongesti vena.

d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan filtrasi glomerulus.


Tujuan : Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam
rentang normal, dan tak ada edema.
Intervensi :
1. Pantau pemasukan dan pengeluaran, catat keseimbangan cairan (positif atau negatif),
timbang berat badan tiap hari.
R/ : Penting pada pengkajian jantung dan fungsi ginjal dan keefektifan terapi diuretik.
Keseimbangan cairan positif berlanjut (pemasukan lebih besar dari pengeluaran) dan berat
badan meningkat menunjukkan makin buruknya gagal jantung.
2. Berikan diuretik contoh furosemid (Lazix), asam etakrinik (Edecrin) sesuai indikasi.
R/ : Menghambat reabsorpsi natrium/klorida, yang meningkatkan ekskresi cairan, dan
menurunkan kelebihan cairan total tubuh dan edema paru.
3. Pantau elektrolit serum, khususnya kalium. Berikan kalium pada diet dan kalium tambahan
bila diindikasikan.
R/ : Nilai elektrolit berubah sebagai respons diuresis dan gangguan oksigenasi dan metabolisme.
Hipokalemia mencetus pasien pada gangguan irama jantung.
4. Berikan cairan IV melalui alat pengontrol.
R/ : Pompa IV mencegah kelebihan pemberian cairan.
5. Batasi cairan sesuai indikasi (oral dan IV).
Diperlukan untuk menurunkan volume cairan ekstrasel/ edema.
6. Berikan batasan diet natrium sesuai indikasi.
R/ : Menurunkan retensi cairan.

e. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan


Tujuan : menunjukan perilaku untuk menangani stress.
Intervensi :
1. Pantau respons fisik, contoh palpitasi, takikardi, gerakan berulang, gelisah.
R/ : Membantu menentukan derajat cemas sesuai status jantung. Penggunaan evaluasi seirama
dengan respons verbal dan non verbal.
2. Berikan tindakan kenyamanan (contoh mandi, gosokan punggung, perubahan posisi).
R/ : Membantu perhatian mengarahkan kembali dan meningkatkan relaksasi, meningkatkan
kemampuan koping.
3. Dorong ventilasi perasaan tentang penyakit-efeknya terhadap pola hidup dan status kesehatan
akan datang. Kaji keefektifan koping dengan stressor.
R/ : Mekanisme adaptif perlu untuk mengkoping dengan penyakit katup jantung kronis dan
secara tepat mengganggu pola hidup seseorang, sehubungan dengan terapi pada aktivitas
sehari-hari.
4. Libatkan pasien/orang terdekat dalam rencana perawatan dan dorong partisipasi maksimum
pada rencana pengobatan.
R/ : Keterlibatan akan membantu memfokuskan perhatian pasien dalam arti positif dan
memberikan rasa kontrol.
5. Anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi, contoh napas dalam, bimbingan imajinasi,
relaksasi progresif.
R/ : Memberikan arti penghilangan respons ansietas, menurunkan perhatian,
meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping.
D. EVALUASI
a. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
b. Menunjukan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
c. Melaporkan/menunjukan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.
d. Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam
rentang normal, dan tak ada edema.
e. Menunjukan perilaku untuk menganani stress.
DAFTAR PUSTAKA

 Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
 Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
 Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.
 Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 1. Media Aesculapius.
Jakarta.
 Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Ed. 6 Vol 1.
EGC. Jakarta.
 Slamet suyono, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.3. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.
A. KONSEP DASAR

1. Definisi
Penyakit jantung rematik adalah penyakit yang ditandai dengan kerusakan pada katup jantung
akibat serangan karditis reumatik akut yang berkali-kali.

2. Etiologi
Patogenesis pasti demam rematik masih belum diketahui. Dua mekanisme dugaan yang telah
diajukan adalah (1) respons hiperimun yang bersifat autoimun maupun alergi, dan (2) efek
langsung organisme streptokokus atau toksinnya. Penjelasan dari sudut imunologi dianggap
sebagai penjelasan yang paling dapat diterima, meskipun demikian mekanisme yang terakhir
tidak dapat dikesampingkan seluruhnya.

3. Patofisiologi
Perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi stadium akut dan kronik. Pada stadium akut, katup
membengkak dan kemerahan akibat adanya reaksi peradangan. Dapat terbentuk lesi-lesi di
daun katup. Setelah peradangan akut mereda, terbentuk jaringan parut. Hal ini dapat
menyebabkan deformitas katup dan pada sebagian kasus, menyebabkan daun-daun katup
berfusi sehingga orifisium menyempit. Dapat muncul stadium kronik yang ditandai oleh
peradangan berulang dan pembentukan jaringan parut yang terus berlanjut.

4. Manifestasi Klinik
Gejala jantung yang muncul tergantung pada bagian jantung yang terkena. Katup mitral
adalah yang sering terkena, menimbulkan gejala gagal jantung kiri: sesak napas dengan
krekels dan wheezing pada paru. Beratnya gejala tergantung pada ukuran dan lokasi lesi.
Gejala sistemik yang terjadi akan sesuai dengan virulensi organisme yang menyerang. Bila
ditemukan murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik, maka harus dicurigai
adanya infeksi endokarditis.

5. Komplikasi
Gagal jantung dapat terjadi pada beberapa kasus. Komplikasi lainnya termasuk aritmia
jantung, pankarditis dengan efusi yang luas, pneumonitis reumatik, emboli paru, infark, dan
kelainan katup jantung.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pasien demam rematik 80% mempunyai ASTO positif. Ukuran proses inflamasi dapat
dilakukan dengan pengukuran LED dan protein C-reaktif.

7. Penatalaksanaan
Tata laksana demam rematik aktif atau reaktivitas adalah sebagai berikut:
1) Tirah baring dan mobilisasi bertahap sesuai keadaan jantung.
2) Eradikasi terhadap kuman streptokokus dengan pemberian penisilin benzatin 1,2 juta unit
IM bila berat badan > 30 kg dan 600.000-900.000 unit bila berat badan < 30 kg, atau penisilin
2x500.000 unit/hari selama 10 hari. Jika alergi penisilin, diberikan eritromisin 2x20 mg/kg
BB/hari untuk 10 hari. Untuk profilaksis diberikan penisilin benzatin tiap 3 atau 4 minggu
sekali. Bila alergi penisilin, diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari untuk berat badan < 30 kg atau 1
g untuk yang lebih besar. Jangan lupa menghitung sel darah putih pada minggu-minggu
pertama, jika leukosit < 4.000 dan neutrofil < 35% sebaiknya obat dihentikan. Diberikan
sampai 5-10 tahun pertama terutama bila ada kelainan jantung dan rekurensi.
3) Antiinflamasi
Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa karditis, dan ditambah kortikosteroid
jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi
dengan gejala tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan artralgia saja cukup diberikan
analgesik.
Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa kardiomegali, salisilat diberikan 100
mg/kg BB/hari dengan maksimal 6 g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian
dilanjutkan 75 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu kemudian.
Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis dan kardiomegali. Obat terpilih adalah
prednison dengan dosis awal 2 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis maksimal 80
mg/hari. Bila gawat, diberikan metilprednisolon IV 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah
2-3 minggu secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap 2-3 hari. Secara
bersamaan, salisilat dimulai dengan 75 mg/kg BB/hari dan dilanjutkan selama 6 minggu
sesudah prednison dihentikan. Tujuannya untuk menghindari efek rebound atau infeksi
streptokokus baru.

8. Pencegahan
Dapat dicegah melalui penatalaksanaan awal dan adekuat terhadap infeksi streptokokus pada
semua orang.
Langkah pertama dalam mencegah serangan awal adalah mendeteksi adanya infeksi
streptokokus untuk penatalaksanaan yang adekuat, dan pemantauan epidemi dalam
komunitas. Setiap perawat harus mengenal dengan baik tanda dan gejala faringitis
streptokokus; panas tinggi (38,9o sampai 40oC, atau 101o sampai 104oF), menggigil, sakit
tenggorokan, kemerahan pada tenggorokan disertai aksudat, nyeri abdomen, dan infeksi
hidung akut.
Kultur tenggorok merupakan satu-satunya metode untuk menegakkan diagnosa secara akurat.
Pasien yang rentan memerlukan terapi antibiotika oral jangka panjang atau perlu menelan
antibiotika profilaksis sebelum menjalani prosedur yang dapat menimbulkan invasi oleh
mikroorganisme ini. Pemberian penisilin sebelum pemeriksaan gigi merupakan contoh yang
baik. Pasien juga harus diingatkan untuk menggunakan antibiotika profilaksis pada prosedur
yang lebih jarang dilakukan seperti sitoskopi.
B. ASUHAN KEPERAWATAN

I. Pengkajian

 Aktivitas/istirahat
Gejala: Kelelahan, kelemahan.
Tanda: Takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.
 Sirkulasi
Gejala: Riwayat penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung. Palpitasi, jatuh
pingsan.
Tanda: Takikardia, disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior, Friction rub,
murmur, irama gallop, edema, petekie, hemoragi splinter, nodus Osler, lesi Janeway.
 Eliminasi
Gejala: Riwayat penyakit ginjal, penurunan frekuensi/jumlah urine.
Tanda: Urine pekat gelap.
 Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala: Nyeri pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakan
menelan, berbaring; nyeri dada/punggung/ sendi.
Tanda: Perilaku distraksi, mis: gelisah.
 Pernapasan
Gejala: Napas pendek, napas pendek kronik memburuk pada malam hari.
Tanda: Dispnea, dispnea nokturnal, batuk, inspirasi mengi, takipnea, krekels, dan
ronki, pernapasan dangkal.
 Keamanan
Gejala: Riwayat infeksi virus, bakteri, jamur, penurunan sistem imun, SLE, atau
penyakit kolagen lain.
Tanda: Demam.

II. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut b/d proses inflamasi.


2. Intoleran aktivitas b/d penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan.
3. Penurunan curah jantung b/d penurunan volume sekuncup.
4. Kelebihan volume cairan b/d gangguan filtrasi glomerulus.
5. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.

III. Intervensi
1. Nyeri akut b/d proses inflamasi.
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
Intervensi :
1) Selidiki laporan nyeri dada dan bandingkan dengan episode sebelumnya. Gunakan skala
nyeri (0-10) untuk rentang intensitas. Catat ekspresi verbal/non verbal nyeri, respons otomatis
terhadap nyeri (berkeringat, TD dan nadi berubah, peningkatan atau penurunan frekuensi
pernapasan).
R/ Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri. Perilaku dan perubahan
tanda vital membantu menentukan derajat/ adanya ketidaknyamanan pasien khususnya bila
pasien menolak adanya nyeri.
2) Berikan lingkungan istirahat dan batasi aktivitas sesuai kebutuhan.
R/ Aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen (contoh kerja tiba-tiba, stres, makan
banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada.
3) Berikan aktivitas hiburan yang tepat.
R/ Mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu.
4) Dorong menggunakan teknik relaksasi. Berikan aktivitas senggang.
R/ Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian
sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.
5) Kolaborasi pemberian obat nonsteroid dan antipiretik sesuai indikasi.
R/ Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi dan meningkatkan
kenyamanan.

2. Intoleran aktivitas b/d penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan.


Tujuan : Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
Intervensi :
1) Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas menggunakan parameter berikut: frekuensi nadi
20/menit diatas frekuensi istirahat; catat peningkatan TD, dispnea atau nyeri dada; kelelahan
berat dan kelemahan; berkeringat; pusing; atau pingsan.
R/ Parameter menunjukkan respons fisiologis pasien terhadap stres aktivitas dan indikator
derajat pengaruh kelebihan kerja/jantung.
2) Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh penurunan kelemahan/kelelahan, TD
stabil/frekuensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.
R/ Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual.
3) Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.
R/ Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah
oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja
jantung.
4) Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat
gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
R/ Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi sehingga membantu
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
5) Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.
R/ Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah
kelemahan.

3. Penurunan curah jantung b/d penurunan volume sekuncup.


Tujuan : Menunjukkan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.
Intervensi :
1) Pantau TD, nadi apikal, nadi perifer.
R/ Indikator klinis dari keadekuatan curah jantung. Pemantauan memungkinkan deteksi
dini/tindakan terhadap dekompensasi.
2) Tingkatkan/dorong tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 45 derajat.
R/ Menurunkan volume darah yang kembali ke jantung (preload), yang memungkinkan
oksigenasi, menurunkan dispnea dan regangan jantung.
3) Bantu dengan aktivitas sesuai indikasi (mis: berjalan) bila pasien mampu turun dari tempat
tidur.
R/ Melakukan kembali aktivitas secara bertahap mencegah pemaksaan terhadap cadangan
jantung.
4) Berikan oksigen suplemen sesuai indikasi. Pantau DGA/nadi oksimetri.
R/ Memberikan oksigen untuk ambilan miokard dalam upaya untuk mengkompensasi
peningkatan kebutuhan oksigen.
5) Berikan obat-obatan sesuai indikasi. Mis: antidisritmia, obat inotropik, vasodilator,
diuretik.

4. Kelebihan volume cairan b/d gangguan filtrasi glomerulus.


Tujuan : Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital
dalam rentang normal, dan tak ada edema.
Intervensi :
1) Pantau pemasukan dan pengeluaran, catat keseimbangan cairan (positif atau negatif),
timbang berat badan tiap hari.
R/ Penting pada pengkajian jantung dan fungsi ginjal dan keefektifan terapi diuretik.
Keseimbangan cairan positif berlanjut (pemasukan lebih besar dari pengeluaran) dan berat
badan meningkat menunjukkan makin buruknya gagal jantung.
2) Berikan diuretik contoh furosemid (Lazix), asam etakrinik (Edecrin) sesuai indikasi.
R/ Menghambat reabsorpsi natrium/klorida, yang meningkatkan ekskresi cairan, dan
menurunkan kelebihan cairan total tubuh dan edema paru.
3) Pantau elektrolit serum, khususnya kalium. Berikan kalium pada diet dan kalium tambahan
bila diindikasikan.
R/ Nilai elektrolit berubah sebagai respons diuresis dan gangguan oksigenasi dan
metabolisme. Hipokalemia mencetus pasien pada gangguan irama jantung.
4) Berikan cairan IV melalui alat pengontrol.
R/ Pompa IV mencegah kelebihan pemberian cairan.
5) Batasi cairan sesuai indikasi (oral dan IV).
R/ Diperlukan untuk menurunkan volume cairan ekstrasel/ edema.
6) Berikan batasan diet natrium sesuai indikasi.
R/ Menurunkan retensi cairan.

5. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.


Tujuan : Menunjukkan penurunan ansietas/terkontrol.
Intervensi :
1) Pantau respons fisik, contoh palpitasi, takikardi, gerakan berulang, gelisah.
R/ Membantu menentukan derajat cemas sesuai status jantung. Penggunaan evaluasi seirama
dengan respons verbal dan non verbal.
2) Berikan tindakan kenyamanan (contoh mandi, gosokan punggung, perubahan posisi).
R/ Membantu perhatian mengarahkan kembali dan meningkatkan relaksasi, meningkatkan
kemampuan koping.
3) Dorong ventilasi perasaan tentang penyakit-efeknya terhadap pola hidup dan status
kesehatan akan datang. Kaji keefektifan koping dengan stressor.
R/ Mekanisme adaptif perlu untuk mengkoping dengan penyakit katup jantung kronis dan
secara tepat mengganggu pola hidup seseorang, sehubungan dengan terapi pada aktivitas
sehari-hari.
4) Libatkan pasien/orang terdekat dalam rencana perawatan dan dorong partisipasi
maksimum pada rencana pengobatan.
R/ Keterlibatan akan membantu memfokuskan perhatian pasien dalam arti positif dan
memberikan rasa kontrol.
5) Anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi, contoh napas dalam, bimbingan imajinasi,
relaksasi progresif.
R/ Memberikan arti penghilangan respons ansietas, menurunkan perhatian, meningkatkan
relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping.

IV. Evaluasi

1. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.


2. Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
3. Menunjukkan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.
4. Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital
dalam rentang normal, dan tak ada edema.
5. Menunjukkan penurunan ansietas/terkontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 1. Media Aesculapius.
Jakarta.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Ed. 6 Vol
1. EGC. Jakarta.
Slamet suyono, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.3. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai