Anda di halaman 1dari 2

1.

Latar belakang Masalah


Manusia memiliki jasmani dan juga rohani. Badan/jasmani akan sehat apabila dirawat
dan diperhatikan dengan baik seperti makan, minum dan olahraga, begitupun dengan
jiwa/rohani akan sehat apabila dipenuhi kebutuhannya seperti berpikir dan berdzikir.
Menurut seorang tokoh filsuf Islam Ibnu Thufail bahwa manusia yang terdiri dari
badan dan jiwa yang memiliki akal pikiran, ia selalu menggunakan akalnya untuk berpikir
mengetahui hal-hal yang belum ia ketahui, tetapi akal tersebut kadang-kadang mengalami
kebuntuan dan ketidak mampuan dalam memahami rahasia Ilahi, mengungkap misteri
kehidupan dan mengemukakan dalil-dalil pikiran. Akal yang sehat akan berpikir dengan
sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan kedua-duanya dapat bertemu dalam
satu titik tanpa harus diperselisihkan lagi.1
Manusia yang terdiri dua unsur tidak dapat dipisahkan, kedua unsur tersebut adalah
jasad dan jiwa yang keduanya merupakan satu kesatuan. Karena bila dipisahkan ia bukan
manusia lagi.2 Jasad dapat bergerak karena adanya jiwa, dan jiwa itu adalah tuan daripada
jasad, dimana keduanya membutuhkan kebutuhan dalam menjalani kepuasan hidup.
Tokoh barat yang mengembangkan teori psikologi humanistik Abraham Maslow,
memiliki asumsi dasar, bahwa tingkah laku manusia dapat ditelaah melalui kecenderungan
dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga bermakna dan terpuaskan.3
Demi melangsungkan kehidupan manusia tentunya memerlukan kebutuhan dasarnya,
meskipun kebutuhan manusia sudah terpenuhi tetapi manusia memiliki sifat dasar yang tidak
akan pernah merasa puas atau serakah karena kepuasan manusia lebih banyak bersifat
sementara, sehingga manusia harus mampu memotivasi dirinya sendiri dengan sejumlah
kebutuhan dasar yang bersifat sama antara raga dan jiwa, seperti : kebutuhan fisiologis,
kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki, dan kebutuhan akan
aktualisasi diri,4 supaya hal itu terpenuhi dan terdapat keseimbangan dalam kehidupan, maka
harus ada kontrol diri, baik yang bersifat lahir maupun batin.
Apabila dipandang dengan kaca mata Islam, tidak terpenuhinya keinginan-keinginan
atau kebutuhan-kebutuhan lahiriah dan merasa tidak puas (merasa selalu kurang) dengan
keadaan hidup yang sudah digariskan oleh Allah Swt. itu adalah sebuah kesalahan karena

1
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Yogyakarta, 1990, hlm. 163
2
Quraish Shihab, wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, 1997,
hlm. 282
3
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi; Telaah Atas Pemikiran Psikologi Humanistik
Abraham Maslow, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 76
4
Quraish Shihab, wawasan Al-Quran, Op. cit hlm.278
telah mengingkari nikmat yang sebelumnya telah diberikan, sebagaimana firman-Nya dalam
al-Quran :

Artinya : “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
(Qs. al-Baqarah :152)

Artinya : “dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat
pedih." (Qs. Ibrahim : 7)

Maka Allah Swt. memberi peringatan kepada hamba-Nya yang mengingkari nikmat
untuk dapat bersyukur. Karena dengan syukur sekaligus sebagai obat setiap orang yang rakus.
Sebagaimana dalam firman-Nya yang berbunyi :

Artinya : “Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia


bersyukur untuk dirinya sendiri” (Qs. Lukman : 12)
Dari ayat diatas dapat diartikan bahwa dengan bersyukur manusia bisa memberikan
kebaikan untuk dirinya sendiri atas kehendak-Nya.
Pengarang Manazilus Sa’irin menyatakan bahwa, “Syukur merupakan istilah untuk
mengetahui nikmat, karena mengetahui nikmat ini merupakan jalan untuk mengetahui
Pemberi nikmat. Karena itu Allah menamakan Islam dan iman di dalam Al-Quran dengan
syukur”5 orang yang mengetahui cara mensyukuri nikmat yaitu orang yang mengetahui
nikmat, menerima nikmat dan memuji karena nikmat itu. Mengetahui nikmat artinya
menghadirkan nikmat itu dalam pikiran, mempersaksikan dan membedakannya. Menerima
nikmat artinya menerima dari Pemberi nikmat. Memuji karena nikmat itu artinya memuji
Pemberi nikmat.6

Salah satu tokoh besar yang menjelaskan tentang syukur adalah Imam Al-Ghozali
dengan nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghozali.
Beliau adalah pemikir ulung Islam yang menyandang beberapa gelar, salah satunya Hujjatul
Islam (pembela Islam). Dalam dunia tasawuf ia merupakan tokoh yang memiliki banyak
karya-karya yang sampai saat ini masih banyak orang yang mempelajari karya beliau, salah
satunya adalah kitab Ihya ‘Ulumuddin dan Minhajul Abidin.

5
Ibnu Qayyim Al-Jauziah, Madarijus Salikin, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, hlm. 294
6
Ibud., hlm. 294

Anda mungkin juga menyukai