Anda di halaman 1dari 12

PRAKTIKUM FARMASI PENULISAN RESEP RASIONAL

BLOK ENDOCRINE, METABOLIC, AND NUTRITION

OLEH

ADITYA GLORIA MONALISA SIANTURI


1518011021

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek


sehari-hari. WHO memperkirakan lebih dari separuh dari seluruh obat di
dunia yang diresepkan, dibuat dengan tidak rasional, tidak tepat persiapan,
dan penyaluran obat. Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan
masalah utama di dunia.Peresepan obat yang tidak rasional bisa
dideskripsikan sebagai tidak tepat secara medis dan tidak efektif dalam
pembiayaan pengobatan (Agabna, 2014).

Pada kenyataannya, masih ada penulisan resep yang belum sesuai dengan
pedoman pengobatan yang telah ditetapkan. Seperti pada penelitian Ragil
Setia Dianingati dan Septimawanto Dwi Prasetyo (2014) yang telah dilakukan
di RSUD Ungaran, kesesuaian dokter dalam meresepkan obat berdasarkan
fornas sebesar 61,76%. Penelitian oleh Angela Erlitha Tanner, dkk (2014)
yang dilakukan pada pasien BPJS rawat jalan RSUP. Prof. DR. R.D. Kandou
Manado mendapatkan ratarata resep obat yang sesuai dengan fornas sebesar
91,87%.Data tersebut menunjukkan persentase kesesuaian peresepan dengan
fornas belum mencapai 100%.Pihak rumah sakit perlu mengadakan
evaluasiterhadap penulisan resep apakah sesuai dengan formularium atau
tidak.Hal ini untuk meningkatkan pelayanan pada pasien khususnya dalam
penggunaan obat yang sesuai dengan formularium (Fitriani, 2015).

Penggunaan obat secara rasional di masyarakat merupakan salah satu hal


penting untuk membangun pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pengobatan
yang tidak rasional selama ini telah memberikan dampak negatif berupa
pemborosan dana, efek samping dari penggunaan obat yang kurang tepat akan
menyebabkan terjadinya resistensi, interaksi obat yang berbahaya, dapat
menurunkan mutu pengobatan dan mutu pelayanan kesehatan. Untuk
meningkatkan kerasionalan obat pada masyarakat hingga mutu pelayanan
kesehatan yang optimal maka perlu dilakukan pengelolaan obat secara
rasional dan sistematis (Yuliastuti dkk., 2013).

Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial menetapkan bahwa Jaminan Sosial Nasional akan
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS
adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial, yang terdiri dari BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.BPJS
menggantikan jaminan sosial yang telah dirintis pemerintah sebelumnya,
yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan PT Askes dan lembaga jaminan
sosial ketenagakerjaan PT Jamsostek.Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan telah beroperasi sejak tanggal 1
Januari 2014 (UU RI No. 24 tahun 2011).

Suatu pengobatan dikatakan rasional apabila memenuhi beberapa kriteria


antara lain tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat, tepat
dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat lama
pemberian, waspada terhadap efek samping, tepat penilaian kondisi pasien.
Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau, tepat informasi, tepat
tindak lanjut, tepat penyerahan obat, pasien patuh dalam pengobatan
(Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan monitoring kebijakan obat nasional, seharusnya ketersediaan
dan penulisan obat esensial dan generik di rumah sakit adalah 100%. Hasil
observasi terhadap resep yang disalin dari rumah sakit, puskesmas, dan
apotek menunjukkan bahwa kisaran persentase obat generik yang diresepkan
di rumah sakit pemerintah sangat bervariasi yaitu berkisar antara 14,58-100%
dengan ratarata 55,38%. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban dokter
menulis resep obat generik atau penggunaan obat generik di fasilitas
pelayanan kesehatan pemerintah belum sepenuhnya dilaksanakan (Handayani
et al., 2009).
Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat
dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih
bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan
yang setinggitingginya (Depkes RI, 2009).
Self Medication menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk
meningkatkan keterjangkauan pengobatan. Pada pelaksanaanya self
medication dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan
(medication error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat (Ariastuti,
2011). Self Medication banyak dipilih masyarakat untuk meredakan atau
menyembuhkan keluhan kesehatan ringan atau untuk meningkatkan
keterjangkauan akses terhadap pengobatan (Kartajaya, 2011).
Pelaksanaan swamedikasi didasari oleh pemikiran bahwa pengobatan
sendiri cukup untuk mengobati masalah kesehatan yang dialami tanpa
melibatkan tenaga kesehatan (Fleckentein, 2011). Alasan lain adalah karena
semakin mahalnya biaya pengobatan ke dokter, tidak cukupnya waktu yang
dimiliki untuk berobat, atau kurangnya akses ke fasilitas– fasilitas kesehatan
(Atmoko, 2009).
Self Medication merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perawatan
diri, yang dapat didefinisikan sebagai sumber daya kesehatan masyarakat
dalam sistem perawatan kesehatan. Self medication biasanya dilakukan untuk
penanggulangan secara cepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan
konsultasi medis. Keluhan dan penyakit ringan seperti demam, hipertensi,
diare, dan lain-lain. Banyak masyarakat yang mengunjungi apotik atau toko
untuk melakukan pengobatan sendiri. Keuntungan pengobatan sendiri antara
lain yaitu, aman bila digunakan sesuai dengan aturan, efektif menghilangkan
keluhan (80% keluhan sakit bersifat self limiting), efesiensi biaya, efesiensi
waktu, ikut berperan dalam mengambil keputusan terapi, dan meringankan
beban pemerintah dalam keterbatasan jumlah tenaga dan sarana kesehatan di
masyarakat (Rifa Fauzia, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Marini (2012) di apotek Kota Pontianak
menunjukan bahwa ketidaklengkapan resep terjadi karena kurangnya
sosialisasi yang dilakukan pemerintah tentang cara penulisan resep yang
benar dan tidak adanya standar yang baku dalam penulisan resep membuat
dokter tidak terlalu memperhatikan aspek kelengkapan resep dalam peresepan
atau penulisan resep.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rivana (2013), tentang
analisis kelengkapan resep obat psikotropika dan narkotika di apotek Era
sehat Kota Gorontalo, menunjukkan bahwa tidak ada resep yang lengkap
sesuai peraturan yang berlaku. Dari 1353 lembar resep, terdapat 1170 lembar
resep yang tidak mencantumkan alamat pasien, 1052 lembar resep yang tidak
mencantumkan paraf dokter, 877 lembar resep yang tidak mencantumkan
surat izin praktek dokter, 850 lembar resep yang tidak mencantumkan umur
pasien, 472 resep yang tidak termasuk resep tunggal, 454 resep yang tidak
mencantumkan jenis kelamin, 384 resep yang tidak mencantumkan dosis
obat, 317 resep yang tidak mencantumkan tanggal resep, 250 resep yang
ditulis secara angka nominal, 154 resep yang tidak mencantumkan alamat
praktek dokter, 16 lembar resep yang tidak mencantumkan nama pasien, 8
lembar resep yang tidak mencantumkan jumlah permintaan obat.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan
penelitian yaitu apakah penggunaan obat dengan pedoman standar pelayanan
medis, formularium, dan DOEN sudah sesuai dengan ketentuan peresepan
obat rasional.
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 TUJUAN UMUM
Meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan
Propinsi dan Kabupaten/ Kota dalam memahami pengertian dan batasan
penggunaan obat yang rasional, Mengenal dan memahami berbagai
faktor yang mempengaruhi terjadinya penggunaan obat yang tidak
rasional, Memahami Indikator penggunaan obat rasional dan melakukan
pembinaan untuk melakukan upaya perbaikan penggunaan obat
rasional.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS


Tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota
diharapkan mampu melakukan:
a. Menerapkan penggunaan obat yang rasional dalam praktek
b. Mengenal dan mengidentifikasi berbagai masalah pengggunaan
obat yang tidak rasional
c. Mengindentifikasi berbagai dampak ketidakrasionalan
penggunaan obat
d. Mengindentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi
terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional
e. Melakukan upaya-upaya perbaikan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional.
f. Menetapkan upaya intervensi yang sesuai berdasarkan masalah
ketidakrasionalan penggunaan obat yang ada.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penggunaan Obat yang Rasional


Idealnya, penggunaan terapi obat oleh profesional kesehatan haruslah
hemat biaya serta efektif dan aman bagi pasien. Keamanan dan keefektifan
obat dimaksudkan untuk mengurangi tingkat morbiditas, mortalitas, interaksi
obat dengan obat, dan kecendrungan kemungkinan bertambahkan biaya
perawatan di rumah sakit karena terjadinya adverse drug reaction maupun
DRP dari peresepan yang tidak rasional (Yusmainita, 2009).
Berdasarkan Kemenkes RI (2011), kriteria penggunaan obat yang rasional
terutama terkait peresepan obat meliputi :
a. Tepat indikasi
Keputusan pemilihan obat yang diresepkan didasari indikasi
penyakit serta pemilihan terapi obat yang efektif dan aman.
b. Tepat obat
Pemilihan obat didasari efficacy, safety, suitability, dan cost
considerations.
c. Tepat pasien
Tidak diberikan terhadap pasien yang kontraindikasi, kemungkinan
adverse reactions minimal dan obat dapat diterima pasien.
d. Tepat informasi
Pasien diupayakan menerima informasi yang relevan, akurat,
penting dan jelas mengenai kondisinya dan pengobatan yang
diresepkan.
e. Tepat evaluasi
f. Antisipasi kemungkinan efek samping dari pengobatan ditafsirkan
dan dimonitoring dengan tepat.
Untuk menghindari penggunaan obat irasional dalam pelayanan kesehatan,
maka hal-hal yang perlu ditinjau diantaranya terkait polifarmasi yang dapat
memicu interaksi obat, obat yang diberikan tidak mempertimbangkan kondisi
finansial pasien, pemberian antibiotik yang memicu resistensi, serta obat yang
diresepkan beresiko menimbulkan efek yang berbahaya jika diberikan secara
non oral (Zunilda, 2011).
Lebih lanjut WHO (2012) menyarankan beberapa intervensi yang dapat
meningkatkan pemakaian obat secara rasional:
a. Pembentukan badan multi-disiplin di tingkat nasional yang
mengkordinasi kebijakan penggunaan obat
b. Penggunaan pedoman klinik (clinical guidelines)
c. Pembuatan daftar obat esensial nasional (DOEN)
d. Pembentukan Komite Obat/Farmasi dan Terapi (KFT) di wilayah
dan rumah sakit
e. Memasukkan pembelajaran farmakoterapi model belajar-berbasis
masalah (problem-based learning/PBL) di pendidikan dokter
f. Pendidikan medik berkelanjutan sebagai syarat pengajuan/
perpanjangan ijin praktek
g. Supervisi, audit dan umpan-balik terhadap (pola) penggunaan obat
h. Menggunakan sumber informasi yang mandiri/independen tentang
obat
i. Pendidikan tentang obat kepada masyarakat
j. Penggunaan dan pelaksanaan kebijakan (obat) yang konsisten
k. Kecukupan anggaran dalam menjamin ketersediaan staf dan obat
l. Menghindari insentif finansial (dari produsen farmasi) yang
berlebihan dengan pihak penyelenggara pelayanan kesehatan.
Pengobatan yang rasional merupakan suatu proses yang kompleks dan
dinamis, dimana terkait komponen, mulai dari diagnosis, pemilihan dan
penentuan dosis obat, penyediaan dan pelayanan obat, petunjuk pemakaian
obat, bentuk sediaan yang tepat, cara pengemasan, pemberian label, dan
kepatuhan penggunaan obat secara rasional adalah pemilihan dan penentuan
dosis lewat peresepan yang rasional. Peresepan yang rasional, selain akan
menambah mutu pelayanan kesehatan juga akan menambah efektifitas dan
efesiensi. Melalui obat yang tepat, dosis yang tepat dan cara pemakaian yang
tepat penyakit dapat disembuhkan lebigh cepat dengan resiko yang lebih kecil
kepada penderita (Kimin,2010).

2.2 Obat Generik


Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No HK.03.123.10.11.08481, obat generik adalah obat dengan nama
resmi yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat
yang dikandungnya berdasarkan tata nama obat Internasional Nonproprietary
names (INN). Obat generik biasanya hanya dapat diproduksi oleh semua
perusahaan farmasi setelah habis masa patennya, sehingga harganya lebih
murah dari obat paten karena diproduksi tanpa perlu membayar biaya riset
penemuan dan promosi (Anonim, 2011).
Obat generik mudah dikenali dari logo lingkaran hijau bergaris-garis putih
dengan tulisan "Generik" di bagian tengah lingkaran. Logo tersebut
menunjukan bahwa telah lulus uji kualitas, khasiat dan keamanan sedangkan
garis-garis putih menunjukkan obat generik dapat digunakan oleh berbagai
lapisan masyarakat.
a. Penggolongan obat generik
1) Generik bermerek, yaitu obat yang serupa dengan produk
asli tapi dipasarkan di bawah nama merek perusahaan lain.
2) Generik berlogo, sering diproduksi oleh lebih dari satu
perusahaan yang bersaing.
Tidak ada perbedaan khasiat antara generik bermerek dengan
generik berlogo yang membedakan hanya kemasan dan harga
(Fellitha, 2013).
b. Mutu obat generik
Mutu obat generik tidak sama dengan obat paten. Obat generik di
Indonesia dibuat sesuai standar Indonesia dan dijamin mutunya
oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM).
Untuk meningkatkan penggunaan obat generik di sektor pemerintah maka
Kemenkes menetapkan kewajiban menggunakan obat generik di fasilitas
umum pelayanan kesehatan dan pedoman umum pengadaan obat (Handayani
dkk., 2010).

2.3 Penggunaan Obat yang Tidak Rasional (Anonim, 2010)


Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan dampak negatif
yang diterima oleh pasien lebih besar dibanding manfaatnya.
Dampak negatif dapat berupa:
a. Dampak klinis (misalnya terjadi efek samping dan resistensi
kuman)
b. ekonomi (biaya tak terjangkau karena penggunaan obat yang tidak
rasional dan waktu perawatan yang lebih aman).
c. Dampak sosial (ketergantungan pasien terhadap intervensi obat).
Kriteria penggunaan obat yang tidak rasional:
a. Peresepan berlebihan
Pemberian obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit
yang bersangkutan.
b. Peresepan kurang
Pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik
dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak
diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit yang diderita
juga termasuk dalam kategori ini.
c. Peresepan majemuk
Pemberian beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama.
Dalam kelompok ini termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk
penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.
d. Peresepan salah
1) Pemberian obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.
2) Pemberian obat untuk kondisi yang sebenarnya merupakan
kontaindikasi pada pasien.
3) Pemberian obat yang memberikan kemungkinan risiko efek
samping yang lebih besar.
2.3 Peresepan Rasional
Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan menyebutkan bahwa “Penggunaan obat harus dilakukan secara
rasional”. Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima
pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai,
dalam periode waktu yang adekuat dan dengan biaya yang terjangkau oleh
masyarakat. Alasan penggunaan obat rasional adalah untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi belanja obat yang merupakan salah satu upaya cost
effective medical interventions. Selain itu untuk mempermudah akses
masyarakat memperoleh obat dengan harga yang terjangkau, mencegah
dampak penggunaan obat yang tidak tepat yang dapat membahayakan pasien
dan meningkatkan kepercayaan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan
(Bahaudin, 2010).
Jika pasien terbiasa mendapatkan jumlah obat yang banyak maka pasien
akan memiliki kecenderungan untuk memilih dokter yang akan meresepkan
banyak obat dengan keyakinan bahwa dokter tersebut lebih mengetahui terapi
untuk penyakitnya (Bashrahil, 2010).
Pemerintah sudah membuat Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas
(2007), yang merupakan salah satu perangkat untuk tercapainya penggunaan
obat rasional dan salah satu manfaatnya yaitu pasien hanya memperoleh obat
yang dibutuhkan, namun masih belum terlaksana pengobatan yang mengacu
pada Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas (Permatasari, 2011).
Perkembangan dunia farmasi di Indonesia. Perkembangan farmasi di
Indonesia menyebabkan adanya peningkatan pilihan sediaan obat yang
beredar. Dengan demikian, sediaan obat yang beredar tidak lagi terbatas pada
sediaan injeksi. Ketersediaan obat berpengaruh terhadap peresepan obat
(Permatasari, 2011).
Waktu konsultasi yang cepat dapat membuat informasi yang diterima
mengenai pengobatan tidak cukup jelas bagi pasien. Penyebab pemahaman
pasien yang rendah dapat terjadi karena obat dengan pelabelan yang tidak
cukup sehingga informasi yang diterima pasien kurang dan kurangnya
kualitas interaksi antara petugas penyerahan obat dengan pasien (Bashrahil,
2010).
Pasien yang berobat ke puskesmas memiliki latar belakang pendidikan
yang berbeda, oleh karena itu seharusnya dilakukan upaya berupa edukasi
tentang pemakaian obat yang tepat oleh apoteker yang bertugas (Menkes RI,
2010).
Pada saat penyerahan obat, salah satu hal yang dilakukan oleh petugas
adalah memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal lain yang
terkait dengan obat tersebut, antara lain manfaat obat, makanan dan minuman
yang harus dihindari, kemungkinan efek samping dan cara penyimpanan obat
(Permatasari, 2011)
Namun karena tidak seimbangnya tenaga farmasi dengan jum- lah pasien
dan kurangnya pengetahuan tenaga farmasi yang bertugas memungkinkan hal
ini tidak sepenuhnya terjadi. Tanpa pengetahuan yang cukup mengenai resiko
dan manfaat penggunaan obat, kapan dan bagaimana cara menggunakan obat,
pengobatan pasien tidak seperti yang diharapkan dan pasien beresiko terhadap
efek obat yang merugikan. Strategi edukasi dan pelatihan dapat diterapkan,
bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk tenaga kesehatan yang
bertugas di puskesmas dalam mendorong kerasionalan penggunaan obat
(Menkes RI, 2010).

2.4 Ukuran Lembaran Resep


Lembaran resep umumnya berbentuk empat persegi panjang, ukuran ideal
lebar 10-12 cm dan panjang 15-20 cm (Jas, 2009).

2.5 Jenis-jenis Resep


1. Resep standar (R/. Officinalis), yaitu resep yang komposisinya telah
dibakukan dan dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku
standar lainnya. Penulisan resep sesuai dengan buku standar.
2. Resep magistrales (R/. Polifarmasi), yaitu resep yang sudah
dimodifikasi atau diformat oleh dokter, bisa berupa campuran atau
tunggal yang diencerkan dalam pelayanannya harus diracik terlebih
dahulu.
3. Resep medicinal. Yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek
dagang maupun generik, dalam pelayanannya tidak mangalami
peracikan. Buku referensi : Organisasi Internasional untuk
Standarisasi (ISO), Indonesia Index Medical Specialities (IIMS),
Daftar Obat di Indonesia (DOI), dan lain-lain.
4. Resep obat generik, yaitu penulisan resep obat dengan nama generik
dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanannya bisa
atau tidak mengalami peracikan (Jas, 2009).

2.6 Penulisan Resep


2.6.1 Pengertian Penulisan Resep
Secara definisi dan teknis, resep artinya pemberian obat secara
tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan pada kop resmi
kepada pasien, format dan kaidah penulisan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang mana permintaan tersebut
disampaikan kepada farmasi atau apoteker di apotek agar diberikan obat
dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu sesuai permintaan kepada
pasien yang berhak.
Dengan kata lain :
1. Penulisan resep artinya mengaplikasikan pengetahuan
dokter dalam memberikan obat kepada pasien melalui
kertas resep menurut kaidah dan peraturan yang berlaku,
diajukan secara tertulis kepada apoteker di apotek agar obat
diberikan sesuai dengan yang tertulis. Pihak apoteker
berkewajiban melayani secara cermat, memberikan
informasi terutama yang menyangkut dengan penggunaan
dan mengkoreksinya bila terjadi kesalahan dalam penulisan.
Dengan demikian pemberian obat lebih rasional, artinya
tepat, aman, efektif, dan ekonomis.
2. Wujud akhir kompetensi dokter dalam medical care, secara
komprehensif menerapkan ilmu pengetahuan dan
keahliannya di bidang farmakologi & teraupetik secara
tepat, aman dan rasional kepada pasien khususnya
masyarakat pada umumnya (Jas, 2009).

2.6.2 Penulis Resep


Menurut Jas (2009) yang berhak menulis resep adalah :
1. Dokter Umum.
2. Dokter gigi, terbatas pada pengobatan gigi dan mulut.
3. Dokter hewan, terbatas pada pengobatan pada hewan/
pasien hanya hewan.

2.6.3 Latar Belakang Penulisan Resep


Demi keamanan penggunaan, obat dibagi dalam beberapa
golongan. Secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu
obat bebas (OTC = Other of the counter) dan Ethical (obat narkotika,
psikotropika, dan keras), harus dilayani dengan resep dokter. Jadi
sebagian obat tidak bisa diserahkan langsung pada pasien atau
masyarakat tetapi harus melalui resep dokter (on medical prescription
only). Dalam sistem distribusi obat nasional, peran dokter sebagai
“medical care” dan alat kesehatan ikut mengawasi penggunaan obat
oleh masyarakat, apotek sebagai organ distributor terdepan berhadapan
langsung dengan masyarakat atau pasien, dan apoteker berperan sebagai
“pharmaceutical care” dan informan obat, serta melakukan pekerjaan
kefarmasian di apotek. Di dalam sistem pelayanan kesehatan
masyarakat, kedua profesi ini harus berada dalam satu tim yang solid
dengan tujuan yang sama yaitu melayani kesehatan dan menyembuhkan
pasien (Jas, 2009).

Anda mungkin juga menyukai