RINITIS ALERGI Upload Scribh
RINITIS ALERGI Upload Scribh
IDENTITAS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : NY. Y
Umur : 21 tahun
Alamat : Sawah Lama
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Warga Negara : Indonesia
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara auto dan allo-anamnesis pada tanggal 3 Juli 2019, pada pukul
10.00 WIB di Poli Umum UPT Puskemas Kampung Sawah.
Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan bersin-bersin terus menerus sejak 2 hari yang
lalu sebelum datang ke Puskesmas.
Riwayat alergi
Pasien memiliki alergi terhadap debu dan udara yang dingin. Alergi terhadap
makanan, dan obat-obatan (-)
Riwayat pengobatan
Pasien belum mendapatkan pengobatan sebelumnya
2) Pemeriksaan Hidung
Tonsila palatina
V. DIAGNOSIS BANDING
Rinitis Vasomotor
VI. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
1. Edukasi untuk menghindari faktor iritan dan faktor allergen
2. Edukasi untuk menggunakan masker terutama saat berkendaraan atau
saat membersihkan rumah.
3. Edukasi untuk menghindari paparan asap rokok
Medikamentosa
- CTM 3x4 mg
- Antipiretik : Paracetamol 3 x 500 mg
VII. PROGNOSIS
- Ad vitam : ad bonam
- Ad functionam : ad bonam
- Ad sanationam : ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Vaskularisasi Hidung
Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis
anterior, arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri
sfenopalatina. Arteri etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian superior
anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior memperdarahi
septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi menjadi arteri
nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi
posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Innervasi Hidung
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya
mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis
dari nerus petrosus profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai
arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke
arah nasofaring.Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang tidak bersilia.Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung
dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai
mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit mengandung pembuluh darah.(1)
2.2. Fisiologi Hidung
1. Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu
udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara
akan disaring di hidung oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi,
silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.
2. Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan
kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan.
4. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan
saluran cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.
Seperti ditunjukkan pada gambar 3.5, antibodi IgE alergen tertentu memiliki
afinitas tinggireseptor pada permukaan sel jaringan yang berisi mast sel dan
basofil yang sedang bersirkulasi. Pada paparan ulang, alergen berikatan dengan
IgE pada permukaan sel-sel dan cross-link reseptor IgE, yang mengakibatkan mast
sel dan aktivasi basofil serta pelepasan mediator neuroaktif dan vasoaktif seperti
histamin dan cysteinylleukotrien. Zat-zat ini menghasilkan gejala khas dari
rhinitis alergi. Selain itu, aktivasi lokal limfosit Th2 oleh sel
dendritikmenghasilkan pelepasan kemokin dan sitokin yang mengatur masuknya
sel-sel inflamasi (eosinofil, basofil, neutrofil, sel T, dan sel B) pada mukosa,
memberikan lebih banyak target alergen dan meningkat pada organ-organ akhir
hidung (saraf, pembuluh darah, dan kelenjar). Sel Th2 inflamasi membuat mukosa
hidung lebih sensitif terhadap alergen tetapi juga terhadap iritasi lingkungan.
Selain itu, paparan alergen lanjut merangsang produksi IgE.
Gambar 3.6 Gejala di hidung yang timbul pada paparan alergen.
Seperti ditunjukkan dalam gambar 3.6 mediator yang dilepaskan oleh sel
mast dan basofil dapat langsung mengaktifkan ujung-ujung saraf sensori,
pembuluh darah, dan kelenjar melalui reseptor spesifik. Histamin tampaknya
memiliki efek langsung pada pembuluh darah (yang mengarah ke permeabilitas
pembuluh darah dan kebocoran plasma) dan sarafsensorik, sedangkan leukotrien
lebih mungkin menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi saraf sensorik mengarah ke
gejala pruritus dan berbagai refleks pusat. Ini termasuk refleks motorik untuk
bersin dan refleks parasimpatis yang merangsang sekresi kelenjar hidung dan
menghasilkan vasodilatasi. Selain itu, refleks simpatis mengakibatkan vena
sinusoid melebar, dan terjadi pembengkakan pembuluh darah dan obstruksi pada
saluran hidung. Dengan adanya peradangan alergi, respons pada organ akhir ini
meningkat dan lebih berat. Respon yang berlebihan dari saraf sensorik adalah ciri-
ciri umum dari patofisiologi rinitis alergi.(4)
2.7. Klasifikasi Rinitis Alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat
adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang
tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai
lakrimasi).
Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu
terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua
golongan umur dan biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan
dewasa muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke
tahun, tergantung pada banyaknya alergen di udara. Faktor herediter
pada penyakit ini sangat berperan.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada
orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah
alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen
inhalan dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur,
selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa.
Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit dan feses
tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan
bulu binatang peliharaan (anijng, kucing, burung). Alergen inhalan di
luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan
penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang
lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada
golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman
tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 munggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari
4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas.(1,5)
In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun
sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi
(“Challenge Test”).Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam
waktu lima hari. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari
menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan
suatu jenis makanan.
2.10. Diagnosis Banding
Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan
mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.
Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis
vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit
untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung
tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang.
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif
lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban
udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dansebagainya, yang pada
keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh
individu tersebut.
Tabel 3.1 Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor.
1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI;2007; 128-134.
2. Rambe A Y F, Munir D, Haryuna T S, Eyanoer PC. Hubungan rinitis alergi
dan disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. ORLI.
2015;43.
3. Ghanie A. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini. Temu Ilmiah Akbar
Lustrum IX Oktober 2007; Palembang. 2011.
4. Wheatley L M TA. Allergic Rhinitis. The new england journal of medicine.
2015;372:456-63.
5. Brozek J ea. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)2010 Revision
Journal of Allergy and Clinical Immunology 2010:22 of 153.
6. Seidman M, et al. Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis.
Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 2015;152(1S): S1 –S43.
7. National Library of Medicine. Allergic Rhinitis. Diunduh dari :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm.[Diakses 16
Juni2016].