Anda di halaman 1dari 27

BAB I

IDENTITAS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : NY. Y
Umur : 21 tahun
Alamat : Sawah Lama
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Warga Negara : Indonesia

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara auto dan allo-anamnesis pada tanggal 3 Juli 2019, pada pukul
10.00 WIB di Poli Umum UPT Puskemas Kampung Sawah.

Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan bersin-bersin terus menerus sejak 2 hari yang
lalu sebelum datang ke Puskesmas.

Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang dengan keluhan bersin-bersin terus menerus setiap hari sejak 1
bulan yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 4-5 kali. Bersin dirasakan
terutama pada malam hari dan pagi hari setelah pasien bangun tidur. Bersin
meningkat apabila terpapar debu dan dingin. Bersin didapatkan selama 3-4 hari
dalam 1 minggu. Keluhan juga disertai dengan pilek, hidung kadang tersumbat
dirasakan penderita disaaat terpapar debu yang banyak. Pilek dengan cairan
berwarna bening, encer, dan banyak, namun tidak berbau. Pasien juga sering
merasakan gatal pada hidung, dan kemudian menggaruk hidung dengan
menggunakan punggung tangan. Keluhan pada pasien tidak mengganggu
aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja pada siang hari. Keluhan tidak
disertai dengan batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan fungsi
pendengaran.

Riwayat penyakit terdahulu


Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Asma (-)

Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada riwayat penyakit dengan keluhan yang sama pada keluarga pasien

Riwayat alergi
Pasien memiliki alergi terhadap debu dan udara yang dingin. Alergi terhadap
makanan, dan obat-obatan (-)

Riwayat pengobatan
Pasien belum mendapatkan pengobatan sebelumnya

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaan


o Pasien seorang karyawan swasta
o Sering terpapar debu rumah, asap kendaraan dan rokok

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital : - Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Suhu : 36.7 oC
- Nadi : 80 x/menit
- Pernapasan : 20 x/menit
Status Generalis
 Kepala : normocephali, distribusi rambut merata
 Mata : terlampir pada status oftalmologis
 Tht : status lokalis
 Leher : pembesaran KGB dan tiroid (-)
 Thorax :
Inspeksi : bentuk normal, simetris, gerakan napas simetris
Palpasi : pergerakan napas kiri dan kanan simetris, tidak ada bagian
yang tertinggal
Perkusi : kedua lapang paru sonor
Auskultasi : suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-Bunyi
jantung I-II normal, regular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen :
Inspeksi : bentuk normal, datar, warna kulit sawo matang
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan(-),tidak teraba massa
 Ekstremitas : akral hangat, edema (-), capillary refill time < 2 detik.

Status Lokalis THT


1) Telinga
Auris
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Aurikula Kelainan kongenital - -
Radang - -
Tumor - -
Trauma - -
Nyeritarik - -
Nyeri tekan - -
Sikatrik - -
Canalis Cukup Lapang /Sempit Cukup Lapang Cukup Lapang
Acustikus Kelainan kongenital -
Externa Hiperemis - -
Sekret - -
Kloting - -
Serumen - -
Edema - -
Jaringan granulasi - -
Massa - -
Cholesteatoma - -
Membrana Intak + +
Timpani Reflek cahaya + +

2) Pemeriksaan Hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri


Hidung luar Bentuk normal, hiperemis (- Bentuk normal, hiperemis
), nyeri tekan (-), deformitas (-), nyeri tekan (-
(-) ),deformitas (-)

Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)


Cavum nasi edema, mukosa warna edema, mukosa warna
pucat, rhinorrhea (+) pucat, rhinorrhea (+)
Meatus nasi media Mukosa edema, sekret (+) Mukosa edema, sekret
(+)
Konka nasi inferior Edema (+), mukosa pucat Edema (+), mukosa
(+) pucat (+)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus (-), mukosa warna
merah muda
3) Pemeriksaan Tenggorok
Uvula

Tonsila palatina

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda


Mulut Mukosa mulut basah, berwarna merah muda
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembran (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemis (-), edema (-),
pseudomembran (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemis (-), edema (-)
Faring Mukosa hiperemis (-), refleks muntah (+),
pseudomembran (-), sekret (-)
Tonsila Kanan Kiri
palatina
T1 T1
Fossa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
tonsilaris dan
arkus
faringeus

IV. DIAGNOSIS KERJA


Rinitis Alergi

V. DIAGNOSIS BANDING
Rinitis Vasomotor
VI. PENATALAKSANAAN
 Non Medikamentosa
1. Edukasi untuk menghindari faktor iritan dan faktor allergen
2. Edukasi untuk menggunakan masker terutama saat berkendaraan atau
saat membersihkan rumah.
3. Edukasi untuk menghindari paparan asap rokok
 Medikamentosa
- CTM 3x4 mg
- Antipiretik : Paracetamol 3 x 500 mg

VII. PROGNOSIS
- Ad vitam : ad bonam
- Ad functionam : ad bonam
- Ad sanationam : ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung


Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2)
dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung
(nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os
nasalis, 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari.1) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala
mayor), 3) beberapa pasang kartilago ala minor, dan 4) tepi inferior kartilago
septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os
etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian
tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema.Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.Meatus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula
etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus
semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara
sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf
olfaktorius.
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting
yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang
letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.(1)

Gambar 3.1 Anatomi Eksternal Hidung


Gambar 3.2 Anatomi Hidung

Vaskularisasi Hidung

Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis
anterior, arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri
sfenopalatina. Arteri etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian superior
anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior memperdarahi
septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi menjadi arteri
nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi
posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Innervasi Hidung
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya
mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis
dari nerus petrosus profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai
arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke
arah nasofaring.Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang tidak bersilia.Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung
dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai
mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit mengandung pembuluh darah.(1)
2.2. Fisiologi Hidung
1. Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu
udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara
akan disaring di hidung oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi,
silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.

2. Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan
kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan.

Gambar 3.3. Bagian Rongga Hidung.


3. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang
atau hilang,sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis
rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan
anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering
terjadi karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan
benda cair (ketika pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang
menyumbat.

4. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan
saluran cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.

2.3. Definisi Rinitis Alergi


Rinitis alergi yaitu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and It’s Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan
gejala gatal, bersin-bersin, rinore dan rasa tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(1)

2.4. Epidemiologi Rinitis Alergi


Prevalensi rinitis alergi di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan
pada tahun 2009 mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Dapat timbul pada semuagolongan umur, terutam anak dan
dewasa, namun menurun sejalan denganbertambahnya umur. Faktor herediter
berperan, sedangkan jenis kelamin,golongan etnis dan ras tidak berpengaruh.(2)
2.5. Etiologi Rinitis Alergi
Penyebab tersering adalah alergen inhalan dan alergen ingestan. Pada anak-
anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dangangguan pencernaan.
Dipeberat oleh faktor non-spesifik, seperti asap rokok, bauyang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembapan yang tinggi. Berdasarkan cara masuknya,
alergen dibagi atas :
a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan dengan udara
pernafasan,misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit
binatang, rerumputanserta jamur.
b. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-
kacangan.
c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,misalnya
penisilin, sengatan lebah dan bisa ular
d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau
jaringanmukosa, misalnya bahan kosmetika, perhiasan dan lain-lain.(1)
e. Temuan lainnya radiasi komputer atau laptop

2.6. Patomekanisme Rinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reactionatau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL)yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fasehiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(1)
Gambar 3.4 Tahap Sensitisasi

Seperti ditunjukkan pada gambar 3.4, sensitisasi melibatkan penyerapan


alergen oleh sel antigen (sel dendritik) di situs mukosa, yang menyebabkan
aktivasi sel T antigen spesifik, yang kemungkinan besar dialirkan oleh kelenjar
getah bening. Aktivasi simultan sel epitel oleh jalur nonantigenic (misalnya
protease) dapat menyebabkan pelepasan sitokin epitel (stroma thymus
lymphopoietin [TSLP], interleukin-25, dan interleukin-33), yang dapat
mempolarisasi proses sensitisasi menjadi T-helper tipe 2 (Th2) respon sel.
Polarisasi ini diarahkan menuju sel dendritik dan mungkin melibatkan partisipasi
type 2 innate lymphoid sel (ILC2) dan basofil, yang melepaskan sitokin Th2-
pembawa sitokin (interleukin-13 dan interleukin-4). Hasil dari proses ini adalah
generasi sel Th2, yang pada gilirannya, mendorong sel B menjadi IgE-sel plasma-
alergen tertentu. MHC menunjukkan major histocompatibility kompleks.
Gambar 3.5 Tahap Reexposure

Seperti ditunjukkan pada gambar 3.5, antibodi IgE alergen tertentu memiliki
afinitas tinggireseptor pada permukaan sel jaringan yang berisi mast sel dan
basofil yang sedang bersirkulasi. Pada paparan ulang, alergen berikatan dengan
IgE pada permukaan sel-sel dan cross-link reseptor IgE, yang mengakibatkan mast
sel dan aktivasi basofil serta pelepasan mediator neuroaktif dan vasoaktif seperti
histamin dan cysteinylleukotrien. Zat-zat ini menghasilkan gejala khas dari
rhinitis alergi. Selain itu, aktivasi lokal limfosit Th2 oleh sel
dendritikmenghasilkan pelepasan kemokin dan sitokin yang mengatur masuknya
sel-sel inflamasi (eosinofil, basofil, neutrofil, sel T, dan sel B) pada mukosa,
memberikan lebih banyak target alergen dan meningkat pada organ-organ akhir
hidung (saraf, pembuluh darah, dan kelenjar). Sel Th2 inflamasi membuat mukosa
hidung lebih sensitif terhadap alergen tetapi juga terhadap iritasi lingkungan.
Selain itu, paparan alergen lanjut merangsang produksi IgE.
Gambar 3.6 Gejala di hidung yang timbul pada paparan alergen.

Seperti ditunjukkan dalam gambar 3.6 mediator yang dilepaskan oleh sel
mast dan basofil dapat langsung mengaktifkan ujung-ujung saraf sensori,
pembuluh darah, dan kelenjar melalui reseptor spesifik. Histamin tampaknya
memiliki efek langsung pada pembuluh darah (yang mengarah ke permeabilitas
pembuluh darah dan kebocoran plasma) dan sarafsensorik, sedangkan leukotrien
lebih mungkin menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi saraf sensorik mengarah ke
gejala pruritus dan berbagai refleks pusat. Ini termasuk refleks motorik untuk
bersin dan refleks parasimpatis yang merangsang sekresi kelenjar hidung dan
menghasilkan vasodilatasi. Selain itu, refleks simpatis mengakibatkan vena
sinusoid melebar, dan terjadi pembengkakan pembuluh darah dan obstruksi pada
saluran hidung. Dengan adanya peradangan alergi, respons pada organ akhir ini
meningkat dan lebih berat. Respon yang berlebihan dari saraf sensorik adalah ciri-
ciri umum dari patofisiologi rinitis alergi.(4)
2.7. Klasifikasi Rinitis Alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat
adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang
tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai
lakrimasi).
Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu
terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua
golongan umur dan biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan
dewasa muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke
tahun, tergantung pada banyaknya alergen di udara. Faktor herediter
pada penyakit ini sangat berperan.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada
orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah
alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen
inhalan dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur,
selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa.
Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit dan feses
tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan
bulu binatang peliharaan (anijng, kucing, burung). Alergen inhalan di
luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan
penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang
lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada
golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman
tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 munggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari
4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas.(1,5)

2.8. Gejala Klinis Rinitis Alergi


Gejala klinis pada rinitis alergi adalah gatal, bersin berulang, keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak dan hidung tersumbat. Pada mata dapat
menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa
terbakar, dan lakrimasi.Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi
telinga bagian tengah.(1)

2.9. Diagnosis Rinitis Alergi


1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi di
hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari diagnosis
saja. Anamnesis yang dapat ditanyakan yaitu apakah rinitis terjadi pada
musim tertentu ataukah terjadi sepanjang tahun, gejala-gejala yang timbul
pada paparan alergen tertentu (hewan, tanaman tertentu), pengobatan yang
dijalani saat ini, riwayat penyakit atopi keluarga atau penyakit alergi, gejala
yang timbul akibat paparan iritan, gejala dari infeksi saluran pernapasan
atas.(1,6)
Gejala yang dapat ditanyakan antara lain gatal pada daerah hidung yang
disebabkan oleh histamin yang merangsang nervus vidianus, bersin-bersin,
rinore yang biasanya cair jernih (kalau kental berwarna kuning berarti
terdapat infeksi sekunder) dan rasa hidung tersumbat.
Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima
kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.
2. Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Perlu juga dilihat apakah terdapat
kelainan septum (lurus, deviasi, spina, krista), dan polip hidung yang dapat
memperberat gejala hidung tersumbat. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia, apakah ada gambaran konka bulosa atau
polip kecil di daerah meatus medius serta komplek osteomeatal. Pada anak
dapat ditemukan juga allergic shiner, allergic salute dan allergic crease.
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid).
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti
gambaran peta (geographic tongue). (1,3,6)
3. Pemeriksaan penunjang
In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent
test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada
pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil sari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE
spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksa pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.(1)

In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun
sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi
(“Challenge Test”).Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam
waktu lima hari. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari
menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan
suatu jenis makanan.
2.10. Diagnosis Banding
Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan
mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.
Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis
vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit
untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung
tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang.
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif
lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban
udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dansebagainya, yang pada
keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh
individu tersebut.
Tabel 3.1 Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor.

Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya


gejala dandapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif. Beberapa
faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
- obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis,
seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat
vasokonstriktor topikal.
- faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
- faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil
anti hamil dan hipotiroidisme.
- faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

2.11. Penatalaksanaan Rinitis Alergi


1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Lindungi dengan masker dan salap.
3. Terapi medikamentosa :
- Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3
macam reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin
yang diblok pada pengobatan rinitis alergi adalah H1 yang terdapat
di bronkus, gastrointestinal, otot polos, dan otak.

Gambar 3.7 Target-target terapi rhinitis alergika.

Saat ini antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah generasi


pertama dan kedua. Perbedaan antara AH1 dan kedua terletak pada
kemampuan menembus sawar darah otak dan
selektivitas/spesifisitas. AH1 generasi kedua bersifat lipofobik
sehingga kurang mampu menembus sawar darah otak, yang akhirnya
mengakibatkan penurunan efek sedasi. Di samping itu, generasi
kedua lebih selektif sehingga tidak mempengaruhi reseptor fisiologik
yang lain seperti muskarinik dan adrenergik alfa.
Kelebihan lain generasi dua adalah mempunyai efek antialergi dan
antiinflamasi. Dikatakan antialergi karena dapat menghambat
pelepasan histamin, prostaglandin, kinin, dan leukotrien. Sedangkan
antiinflamasi dikarenakan dapat mengurangi ekspresi ICAM-1.
- Kortikosteroid
Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu
topikal dan sistemik. Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama
untuk penderita rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan
persisten (menetap), karena mempunyai efek antiinflamasi jangka
panjang. Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan
hidung yang timbul pada fase lambat.
Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase
cepat dan lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2,
sel mast dan basofil, mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B,
menekan pengerahan lokal dan migrasi transepitel dari sel mast,
basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GM-CSF, IL-6, IL-8,
RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di mukosa
hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi,
kemotaksis dan apoptosis eosinofil 1.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek
pada penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi
pilihan pertama.
- Obat-obatan bronkodilatasi dan dekongestan untuk mengurangi
rhinore dan obstruksi atau sumbatan pada hidung
Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti
dengan cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat
topikal bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12
jam. Efek samping adalah rasa panas dan kering di hidung, ulserasi
mukosa, serta perforasi septum. Yang terakhir jarang terjadi.
Takifilaksis dan gejala rebound (rinitis medikamentosa) dapat terjadi
pada pemakaian dekongestan topikal jangka panjang.
Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir
6 jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk
sediaanya adalah tablet lepas lambat (sustained release). Efek
samping berupa iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit
kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.
- Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala
yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan
cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari
imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan
yaitu intradermal dan sublingual.(1)

2.8. Komplikasi Rinitis Alergi


Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Sinusitis paranasal
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Polip hidung(1)

2.9. Prognosis Rinitis Alergi


Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah
dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak)
semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai
aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu,
maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam jangka
panjang.(7)
BAB III
KESIMPULAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien perempuan, berusia 21 tahun.


Pasien datang dengan keluhan bersin-bersin sejak 1 bulan terakhir. Pada
anamnesis ditemukan gejala gatal pada hidung, bersin-bersin, keluar cairan encer
banyak dari hidung dan rasa tersumbat pada hidung. Keluhan ini terutama
dirasakan pada malam hari dan pagi hari setelah pasien bangun tidur. Faktor
penyebab dari pasien adalah debu, terpapar asap rokok dan kendaraan. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan, tampak mukosa hidung edema, basah, berwarna
pucat disertai adanya sekret encer berwarna bening yang banyak, namun tidak
bau.. Pasien diedukasi untuk menghindari faktor allergen dan bahan iritan,
menggunakan masker saat berkendaraan, menghindari asap rokok, penggunaan
zalf hydrocortisone 2,5%, obat-obatan yang diberikan eflagen 2 x 1 tablet,
paratusin 2 x 1 tablet. Prognosis pada pasien ini baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI;2007; 128-134.
2. Rambe A Y F, Munir D, Haryuna T S, Eyanoer PC. Hubungan rinitis alergi
dan disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. ORLI.
2015;43.
3. Ghanie A. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini. Temu Ilmiah Akbar
Lustrum IX Oktober 2007; Palembang. 2011.
4. Wheatley L M TA. Allergic Rhinitis. The new england journal of medicine.
2015;372:456-63.
5. Brozek J ea. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)2010 Revision
Journal of Allergy and Clinical Immunology 2010:22 of 153.
6. Seidman M, et al. Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis.
Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 2015;152(1S): S1 –S43.
7. National Library of Medicine. Allergic Rhinitis. Diunduh dari :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm.[Diakses 16
Juni2016].

Anda mungkin juga menyukai