Anda di halaman 1dari 28

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Eosinofil

Eosinofil diidentifikasi sebagai bagian dari leukosit pertama kali oleh Paul Ehrlich.

Dinamakan demikian dimana pada saat itu sel ini memiliki kemampuan untuk menyerap

pewarna asam eosin. Sel ini dapat terlihat dengan menggunakan mikroskop cahaya, bagian yang

menyerap pewarnaan eosin merupakan protein katationik yang terdapat di dalam granulanya.

Meskipun terdeteksi lebih dari 80 penanda permukaan sel dari eosinofil, dan setidaknya ada 20

molekul permukaan yang tidak terkluster dengan penandaan Cluster of Differentiation, sampai

saat ini tidak satupun molekul permukaan eosinofil yang teridentifikasi (Gleich, 2004).

Struktur dari eosinofil dapat dibedakan dengan leukosit lainnya dengan melihat populasi

unik dari granulanya. Granula dari eosinofil yang terdiri atas matrix, inti kristaloid, dan badan

lemak merupakan organel yang dijumpai pada eosinofil dewasa (Gleich, 2004).

Eosinofil berasal dari sel stem hematopoetik. Dalam pengaruh dari interleukin-5 (IL-5)

dan beberapa pengaruh dari IL-3 dan GM-CSF, progenitor sel hematopoietik berdiferensiasi

menjadi sel matur di sum-sum tulang. Eosinofil dewasa merupakan sel yang menetap dalam

jaringan dan hanya dalam porsi kecil beredar pada sirkulasi darah. Eosinofil beraktivitas pada

jaringan epitel yang berkontak dengan lingkungan luar. Akan tetapi, walaupun dalam keadaan

sehat, eosinofil ditemukan secara ekslusif dan terbatas pada daerah mukosa traktus digestivus.

Sedikit diketahu i sebagai tempat menghabiskan hidup dari sel eosinofil pada jaringan in vivo

(Wardlaw, 2007).
10

Penelitian secara ex vivo dengan memeriksa polip nasal memberikan penjelasan bahwa

eosinofil dapat bertahan hingga 14 hari dalam keadaan inflamasi. Eosinofil merupakan leukosit

pro-inflamasi dengan spectrum luas dengan efek fungsi yang kuat. Eliminasi dari cacing dan
9
parasite merupakan salah satu efek yang menguntungkan, namun masih banyak efek samping

yang merugikan yaitu kerusakan pada jaringan (Wardlaw, 2007).

2.1.1 Diferensiasi eosinofil

Eosinofil dalam darah dan jaringan berdiferensiasi dari hemopoesis CD34+, progenitor

mielositik ditemukan pada sum-sum tulang dan jaringan inflamasi. Eosinofil diproduksi hingga

3% pada sumsum tulang pada individu yang sehat, dimana 37% akan mengalami diferensiasi

yang lengkap, dan sisanya dalam bentuk promielosit atau mielosit dan metamielosit (Spry,

2008). Penampakan sel dewasa muncul pada hari ke 2-3 dari waktu terakhir mengalami

pembelahan mitosis. Pembentukan eosinofil dapat mencapai 2,2x108 sel per kilogram per hari,

dan maksimum sel yang dapat dibentuk oleh sum-sum tulang belakang pada aanak sehat adalah

9-14x108 per kilogram per hari (Walle, 2007). Progenitor berdiferensiasi akibat paparan pada

sitokin dan kemokin untuk membentuk menjadi eosinofil. Eosinofil merupakan sel yang lebih

dekat dengan basofil dibandingkan dengan neutrofil dan monosit (Denburg, 2000). Sebagai

tambahan eosinofi mendapatkan elemen ekspresi reseptor afinitas tinggi Fce dari sel mas dan

basofil (Donbrowicz, 2000).

Terdapat tiga sitokin kunci yang berperan dalam produksi eosinofil pada sumsum tulang

yaitu IL-3, IL-5, dan GM-CSF. Ketiga sitokin ini diproduksi oleh sel limfosit T CD4 + dan CD8+

dari darah perifer dan jaringan yang mengalami inflamasi. Pada aspirasi sumsum tulang,

prekursor dari eosinofil dapat ditandai dengan ekspresi reseptor IL-5 dan reseptor kemokin C-C,
11

CCR3, dan CD34 (Sutherland, 2009). Saat ini diketahui bahwa IL-5 adalah sitokin penting dalam

diferensiasi eosinofil. Ekspresi dari IL-5R hanya dimiliki secara ekslusif oleh progenitor

eosinofil dan sel eosinofil matur yang terdapat pada aliran darah perifer. Distribusi dari reseptor

ini mengindikasikan peran utama IL-5 sebagai sitokin eosinopoietik (Miyajima,2002).

2.1.2 Distribusi eosinofil

Waktu paruh dari eosinofil pada sirkulasi berkisar antara 18 jam dengan reraata waktu

transit 26 jam, walaupun beberapa kondisi dapat terekstensi, hal ini dikarenakan elevasi dari

sistem aktivasi eosinofil dari sitokin yang mempromosi eosinofil untuk bertahan (Steinbach,

2007). Berdasarkan studi kadar normal dari eosinofil berkisr antara 0-0,5x109 (Krause, 2007).

Sirkulasi dari eosinofil bergantung dengan variasi fase diurnal dari manusia, dimana dapat

meningkat dan menurun pada pagi hari dan malam hari, bahkan dapat bervariasi hingga 40% dari

nilai normal per hari (Horn, 2005). Eosinofilia ringan berkisar antara 0,5-1,5x109, eosinofilia

sedang 1,5-5x109 dan eosinofilia berat dikatakan lebih dari 5x109. Alergi selalu berkaitan dengan

eosinofilia ringan, sedangkan infestasi parasit selalu berkaitan dengan eosinofilia berat (Spry,

2003).

Eosinofil umumnya terletak pada sel jaringan dan target organ mayor umumnya pada

traktus gastrointestinal, paru, dan kulit. Ketika eosinofil sudah berada pada di jaringan, mereka

tidak dapat kembali ke aliran darah (Rothenberg, 2007).

2.1.3 Produksi eosinofil dan keberlangsungan pada jaringan perifer

Perkembangan eosinofil dan maturasi dapat terjadi secara in situ pada situs perifer diluar

sum-sum tulang. Pada kasus ini prekursor eosinofil dilepaskan ke aliran darah langsung dari
12

sum-sum tulang untuk menuju ke situs dimana mereka nantinya ditransmigrasikan sebagai

respon jaringan lokal yang memproduksi sitokin dan kemokin.

Seperti neutrofil, eosinofil merupakan sel bentuk akhir dimana secara kultur dapat

mengalami apoptosis dan nekrosis secara cepat. Akan tetapi, sitokin aktif eosinofil seperti IL-

3,IL-5, GMCSF dan interferon (IFN) memperpanjang keberlangsungan hidup dari eosinofil

hingga 2 minggu (Anwar, 2003). Eosinofil yang teraktivasi dapat membentuk sejumlah sitokin

untuk diri mereka sendiri. Hal ini dapat memicu prolongasi dari maturasi eosinofil dan

keberlangsungan hidup pada jaringan setempat. Jaringan lokal seperti sel endotel, fibroblas, dan

sel epitel dapat berkontribusi pada produksi IL-5 dan GMCSF untuk maturasi in situ dari

eosinofil dan diferensiasi pada jalan napas dan mukosa usus (Simon, 2007).

2.1.4 Akumulasi eosinofil pada jaringan

Migrasi dari eosinofil pada paru dan traktus gastrointestinal selama masa perkembangan

normal mereka memungkinkan sebagai respon terhadap faktor lingkungan terhadap parasit.

Mekanisme tersebut terdapat 4 langkah hingga eosinofil berhasil menuju jaringan yang dituju.

Keempat langkah tersebut adalah 1. Menuju endotel (tethering), 2. Berguling sepanjang endotel

(rolling), 3. Adhesi eosinofil ke sel endotel (adhesion), 4. Transmigasi eosinofil menuju jaringan

melalui endotelium (transmigrasi). Setiap langkah tersebut dikendalikan oleh jaringan faktor

kemotaktik yang kompleks dan molekul adhesi. Selektin dan intergrin 4a memiliki peran penting

dalam proses tethering dan rolling. Proses adhesi dari eosinofil dikendalikan oleh intergrin beta

2 (CD18). Transmigrasi dari eosinofil dikendalikan oleh intergrin beta 2 yang sama baiknya

dengasn kemokin c-c seperti eotaxin. Sitokin dan kemokin mengelilingi jaringan untuk
13

memodulasi eosinofil agar bertransmigasi menuju jaringan. Banyak dari mekanisme ini

dikendalikan oleh respon sel T terhadap antigen presenting cell (Pazdrak, 2008).

2.1.5 Mediator dan sitokin

Eosinofil dipercayai berperan sebagai pembentuk dan penyimpan dari beberapa mediator

yang akan dilepaskan ketika diaktivasi dan beberapa inflamasi dipercayai berkaitan dengan sel

ini. Beberapa mediator dapat dijabarkan secara garis besar sebagai berikut :

A. Mediator yang berasal dari membran sel

Eosinofil memproduksi beberapa mediator yang berasal dari lipid yang

memiliki aktivitas biologi yang paling dasar. Beberapa produk yang penting

adalah eicosanoid, yang diantaranya adalah leukotrien (khususnya LTC4),

prostaglandin (PG khususnya PGE2), tromboksan dan lipoksin (khususnya

lipoksin A4) yang sama baiknya dengan platelet activating factor (PAF).

Substrat dasar dari mediator ini adalah asam arakhidonat (AA), dimana secara

spesifik dibebaskan dari membran fosfolipid (Matsumoto,2008).

B. Mediator yang berasal dari granula

Eosinofil setidaknya memliki 5 populasi berbeda dari granula dua lapis yang

berikatan dengan fosfolipid. Granula kristaloid merupakan granula spesial dan

unik yang berdiameter 0.5 dan 0.8 mikrometer. Granula ini berisi inti elektron

kristalin dikelilingi oleh matriks elektrolusen dan dapat menyerap pewarnaan

asam yang dikarenakan sifat alami kationik mereka. Granul ini berisi protein

kationik dalam jumlah besar termasuk diantaranya major basic protein

(MBP), eosinofil peroksidase (EPO), eosinophil cationic protein (ECP), dan


14

EDN. Setiap sel memiliki 200 granula kristaloid. Granula primer dari granula

yang tidak berinti diperkayai pleh protein kristal Charcot-Leyden (CLC) dan

dijumpai pada sel eosinofil imatur dan matur (Hartnell, 2000) .

C. Sitokin berasal dari eosinofil

Eosinofil pada manusia telah dibuktikan memproduksi hingga 29 sitokin,

kemokin dan growth factor yang berbeda yang berpotensi mengatur berbagai

macam respon imun. Sitokin ini berkerja secara autokrin, parakrin atau

jukstakrin dalam mengatur inflamasi lokal. Beberapa studi telah membuktikan

bahwa produksi dari sitokin yang mengaktivasi eosinofil (IL-3 dan GM-CSF)

oleh eosinofil sendiri memiliki peranan penting dalam memperpanjang usia sel

melalui siklus autokrin (Hamid, 2002).

2.1.6 Mekanisme degranulasi

Degranulasi didefenisikan sebagai fusi eksositotik dari granul dengan membran plasma

selama sekresi yang dimediasi reseptor. Selama eksositosis, bagian terluar dari membran lipid

bertemu dengan bagian dalam membran plasma, proses ini sering disebut dengan Docking.

Setelah proses docking, granula dan membran plasma menyatu dan membentuk struktur

reversibel yang disebut fusion pore. Bergantung dari instensitas stimulus yang berujung

pelepasan kembali dari granul dari membran plasma atau dapat berekspansi dan menjadi

integrasi sempurna dari membran granul menuju plasma membran sebagai lapisan berkelanjutan.

Mekanisme yang berkaitan dengan pelepasan granula pada eosinofil merupakan fungsi kritikal

eosinofil. Tanpa adanya degranulasi dan sekresi dari mediator, eosinofil merupakan sel yang

inaktif yang tidak berefek pada jaringan target (Juniper, 2000).


15

2.1.7 Eosinopenia dan eosinofilia

Eosinofil dapat dihitung pada darah baik dengan perhitungan basah pada ruang Neubauer,

perhitungan pada lapisan kering, atau menggunakan perhitungan automatis menggunakan

flowsitometri. Perhitungan automatis menggunakan deteksi enzim peroksidase eosinofil

(Laviolette, 2007). Perhitungan eosinofil sebaiknya menggunakan nilai absolut daripada

menggunakan persentase berdasarkan jumlah sel darah putih. Nilai normal dari eosinofil

umumnya berada dibawah 0.4x109/liter. Perhitungan eosinofil meningkat pada neonatus.

Perhitungan eosinofil bervariasi pada usia, waktu pengambilan, stimulus dari lingkungan,

eksposure terhadap alergen (Kimura, 2003).

2.1.8 Eosinofil dan penyakit alergi

Hubungan antara eosinofil dan penyakit alergi telah diketahui selama beberapa tahun.

Eosinofil merupakan fitur yang penting pada asma karena alergi dan non-alergi. Eosinofil dalam

jumlah banyak dan produk dari granula banyak ditemukan di daerah bronkus pada pasien yang

meninggal karena asma (Juniper, 2000).

2.1.8.1 Skoring atopi keluarga

Besarnya permasalahan yang ditimbulkan oleh atopi diperlukan alat yang dapat

mengidentifikasi secara dini kemungkinan terjadinya atopi pada anak. Skin prick test (SPT)

adalah salah satu metode in vivo untuk diagnosis penyakit alergi. Uji ini dianggap sebagai baku

emas untuk diagnosis reaksi alergi yang diperantai oleh IgE (Turkeltaub, 2000). Seorang anak

dapat dianggap atopi jika setidaknya memiliki satu hasil indurasi positif terhadap salah satu

alergen yang digunakan dalam SPT (Turkeltaub, 2000; Leung dkk, 2000). SPT memiliki
16

beberapa keuntungan seperti cepat, dapat dilakukan pada hampir semua kelompok usia serta

memiliki nilai diagnosis tinggi (Demoly dkk, 2003). Terdapat beberapa kerugian dari SPT yakni

nyeri, tidak tersedia di daerah terpencil, mahal, teknik pengerjaan yang sulit dan butuh waktu

yang lama serta adanya pengaruh hasil negatif palsu dan positif palsu (Cantani, 2000; Demoly

dkk, 2003; Turkeltaub, 2000).

Yadav mengemukakan nilai prediksi keluarga berdasar riwayat penyakit alergi pada

ayah, ibu dan saudara kandung yang berguna untuk identifikasi risiko alergi pada bayi atau anak

(Yadav, 2005). Nilai keluarga ini kemudian diadaptasi oleh IDAI menjadi kartu deteksi dini

risiko alergi untuk digunakan sebagai diagnosis atopi pada bayi dan anak. Penelitian oleh

Chandra Dewi menyebutkan temuan risiko tinggi pada kartu deteksi memiliki sensitisasi positif

dengan alergi sebesar 100%, sedangkan sensitisasi positif pada risiko sedang sebesar 68% (Dewi

dan Sumadiono, 2007).

2.1.9 Eosinofilia berkaitan dengan keganasan darah

Eosinofilia dapat ditemukan pada pasien dengan leukemia eosinofilik dan berkaitan

dengan keganasan limfoid dan karsinoma bronkogenik. Eosinofilia pada kasus ini diduga

berkaitan dengan produksi dari IL-5 dan kemungkinan sitokin yang dilepaskan oleh sel tumor.

Studi pada penyakit Hodgkin telah menunjukkan kehadiran dari mRNA yang mengkode

inteleukin yang terekspresi pada sel Reed-Sternberg (David, 2001).

2.1.10 Eosinofilia pada infeksi helmintes

Telah banyak terpublikasi efek dari helmintisidal eosinofil pada manusia, primata, dan

binatang pengerat melawan metazoa yang telah diselubungi dengan IgG, IgA, IgE, dan
17

komponen dari komplemen. Pada konteks ini, sejumlah parasit yang telah diteliti termasuk

Schistosomula dari Schistosoma manoni, larva dari Trichinella spiralis, Nippostrongylus

brasiliensis, Fasciola hepatica, dan lainnya. Eosinofil ditemukan melekat pada larva yang telah

terselubung dengan imunoglobulin, dan kemudian akan menjalani eksositosis yang berujung

pada pelepasan dari protein dasar dan granula sitotoksik. Produk yang berkaitan dengan eosinofil

(termasuk MBP, ECP, dan EPO) memiliki helmintisidal yang potensial (Behm, 2000).

2.1.11 Efek pemberian kortikosteroid pada eosinofil

Salah satu efek dari kortikosteroid adalah menurunkan jumlah dari limfosit dan monosit

di pembuluh darah perifer dalam waktu 4 jam. Hal ini terjadi karena redistribusi temporer

limfosit dari intravaskular ke dalam limpa, kelenjar limfe, duktus torasikus, dan sumsum tulang

(Azis, 2008). Pemberian glukokortikoid menyebabkan penurunan jumlah limfosit, eosinofil,

monosit, dan basofil dalam sirkulasi, tetapi glukokortikoid juga menyebabkan peningkatan

leukosit polimorfonuklear (neutrofil) dalam sirkulasi. Penggunaan kortikosteroid dalam jumlah

yang banyak dan dalam waktu yang lama juga dapat menurunkan proses pembentukan fibroblas

serta menurunkan jumlah gerakan dan fungsi dari leukosit (Azis, 2006). Kortikosteroid

memengaruhi sel darah putih (leukosit) dengan cara menurunkan migrasi sel inflamasi

(PMN,monosit, dan limfosit) sehingga penggunaan kortikosteroid dalam waktu yang lama dapat

meningkatkan terjadinya infeksi.

Jumlah leukosit dalam sirkulasi sangat mudah dan cepat berubah. Nilai absolut maupun

relatif dapat berubah oleh stimulasi selama beberapa menit hingga beberapa jam. Perubahan

jumlah leukosit bisa dipicu oleh beberapa penyebab, termasuk didalamnya adalah pemberian

kortikosteroid (Azis, 2006).


18

2.1.12 Eosinofilia pada malnutrisi

Status nutrisi pada anak memiliki peran pada jumlah eosinofil dalam darah tepi. Status

malnutrisi peran terhadap daya tahan tubuh manusia. Pasien dengan malnutrisi menyebabkan

risiko untuk terkena penyakit infeksi maupun investasi parasit menjadi meningkat. Beberapa

penelitian menunjukkan peningkatan eosinofil pada penderita malnutrisi. Hal ini dikaitkan

karena penderita dengan undernutrisi dan malnutrisi cenderung untuk mengalami infeksi

helmintes dan parasit lainnya yang berulang (John R, 2010).

2.1.13 Eosinofilia pada obstruksi jalan napas

Eosinofilia berkaitan dengan obstruksi jalan napas yang reversibel telah banyak

ditemukan pada era tahun 1900an, tetapi peran pasti dari eosinofilia sendiri belum diketahui

banyak. Mekanisme yang paling mungkin adalah melalui dua jalan, yang pertama dengan adanya

pelepasan dari enzim yang dapat mendegradasi mediator sel mast dan meningkatkan efek dari

mediator tersebut. Pada sisi lain berkontribusi pada kerusakan jaringan akibat tertumpuknya

protein besar pada bronkus. Pada pasien dengan asma yang stabil kadar eosinofil pada darah

perifer menunjukkan nilai rentang yang luas dan eosinofilia tidak dapat membedakan antara

asma non-atopik dan atopik. Pada asma non-atopik hubungan antara kadar eosinofil darah tepi

dan FEV1 telah diteliti dan kadar eosinofil berguna dalam memonitoring aktivitas dari penyakit.

Sebagaimana diketahui inflamasi persissten pada jalan napas disimpulkan sebagai fitur

esensial dari asma bronkial. Beberapa peneliti berdebat bahwa pada balita muda dengan infeksi
19

saluran napas bawah, khususnya respiratory synctial virus, dapat berkembang menjadi wheezing

berulang yang pada akhirnya menjadi asma bronkial. Inflamasi pada infeksi respiratory synctial

virus umumnya proses multiseluler yang dimana sel epitel, makrofag, sel T sitotoksik, dan

eosinofil diketahui terlibat di dalamnya.

Sejauh ini, masih sedikit penelitian yang menggambarkan karakteristik inflamasi dari

bronkus yang disebabkan oleh RSV, hal ini dikarenakan BAL bronkoskopi pada anak sulit

dilakukan dan terlalu invasif. Studi menggunakan ECP sebagai protein inflamasi yang diinduksi

oleh eosinofil di Jepang dengan sampel balita usia 3 tahun dengan bronkiolitis difus ditemukan

peningkatan kadar eosinofil darah tepi (6,9 g/L) dan kadar eosinofil alveoli dengan

menggunakan bronchoalveolar lavage 91%. Baik asma dan bronkiolitis ditandai dengan adanya

peningkatan dari aktivitas sel inflamasi dimana markernya dapat terukur pada urin, darah atau

aspirasi nasofaringeal (Nakamoto, 2011)

2.1.14 Aktivitas eosinofil pada penyakit jantung bawaan sianotik

Pada penyakit jantung bawaan sianotik sering terjadi polisitemia vera. Keadaan hipoksia

jaringan menyebabkan peningkatan dari progenitor hematopoetik pada sumsum tulang. Terjadi

peningkatan aktivitas dari burst forming unit-erytroid (BFU-E) ,sebagai respon terhadap

hipoksia, menyebabkan peningkatan sensitivitas dari rekombinan IL-3 dan GM-CSF.

Meningkatnya sensitivitas dari GM-CSF berpengaruh terhadap produksi dari eosinofil. Peneltiian

yang dilakukan oleh Dittrich (2000) menemukan terjadi penumpukan eosinofil pada mesangium

dari glomerulus pada pasien dengan penyakit jantung bawaan sianotik (Dittrich, 2000).
20

2.1.15 Eosinofilia sebagai respon paparan asap rokok

Paparan asap rokok merupakan salah satu penyebab terjadinya asma dan penyakit paru

obstruktif. Asap rokok dapat merangsang proses inflamasi. Penelitian yang dilakukan pada tikus

menunjukkan eosinofilia pada BAL. Proses tersebut diperantarai dari aktivitas dari T sel CD4,

ekspresi dari IL-5, IL-3, dan TGF-β yang berpengaruh pada aktivasi dari eosinofil (Fernando,

2011)

2.1.16 Eosinofilia berkaitan dengan imunodefisiensi

Peningkatan kadar eosinofil berhubungan dengan kelainan multipel dari penyakit

imunodefisiensi. Eosinofilia sering ditemukan pada penderita dengan penyakit imunodefisiensi

terutama imunodefisiensi primer. Eosinofilia pada penyakit imunodefisiensi sering disebabkan

oleh syndrome IgE autosomal dominan, defisiensi DOCK8, defisiensi PGM3, sindrom Omen,

syndrome, sindrom Wiskott-Aldrich, sindrom Loeys-Dietz (William, 2015).

2.2 Bronkiolitis

2.2.1 Defenisi bronkiolitis

Bronkiolitis penyakit infeksi saluran napas bawah yang ditandai dengan adanya

inflamasi pada bronkhiolus. Umumnya infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Umumnya

menyerang anak dibawah umur tahun, dengan puncak kejadian infeksi pada utimur 3-6 bulan.

Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi,

dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada (Orenstein, 2004).


21

2.2.2 Etiologi

Penyebab terbanyak kasus bronkiolitis merupakan hasil dari infeksi virus, seperti RSV,

human metapneumovirus, parainfluenza virus, atau adenovirus. Penyebaran virus ini dapat

menyebar melalui kontak personal yang melalui kontak langsung sekresi nasal, air liur, dan

muntahan. RSV merupakan agen utama yang berhasil terisolasi pada 75 % dari anak-anak

dengan umur di bawah 2 tahun, dimana anak ini biasanya dirawat di rumah sakit dengan

bronkiolitis (Orenstein, 2004).

Virus parainfluenza merupakan penyebab 10-30% kasus bronkiolitis. Epidemiologi dari

bronkiolitis dengan penyebab virus parainfluenza. Epidemik dari bronkiolitis yang disebabkan

oleh parainfluenza virus umumnya bermula pada awal tahun dan cenderung berulang pada tiap

tahunnya. Adenovirus merupakan penyebab sebanyak 5-10% pada kasus bronkiolitis dan

sebanyak 10-20% disebabkan oleh virus influenza (Counihan, 2001).

Pada studi prospektif multisenter mengenai etiologi virus dari bronkiolitis pada unit

gawat darurat (UGD), sebanyak 277 sampel telah diuji dan sampel positif terdapat virus berikut

ini (Mansbach, 2008) :

a. RSV sebanyak 64%

b. Human metapneumovirus (hMPV) sebanyak 9-30% (Williams, 2004).

c. Rhinovirus sebanyak 16%

d. Virus influenza sebanyak 6%

2.2.3 Epidemiologi
22

Menurut catatan statistik internasional, bronkiolitis merupakan penyebab signifikan pada

penyakit respirasi secara global. Berdasarkan bulletin dari WHO, terprediksi hingga 150 juta

kasus baru yang terjadi. Sebelas hingga dua puluh juta (7-13%) dari kasus tersebut terlalu parah

sebelum masuk rumah sakit. Sembilan puluh lima persen dari seluruh kasus terjadi pada negara

yang berkembang (Orenstein, 2004).

Frekuensi dari bronkiolitis pada negara berkembang memiliki gambaran yang sama pada

Amerika. Negara yang belum berkembang memiliki data yang belum lengkap. Data epidemologi

dari negara yang belum berkembang menunjukkan RSV merupakan penyebab utama infeksi

viral pada infeksi akut saluran napas bawah dan tercatat sekitar 65% penderita dirawat inap

karena infeksi virus tersebut (Orenstein, 2004).

Menurut catatan statistik di Amerika, infeksi saluran napas ditemukan pada 25% anak

pada umur dibawah 12 tahun dan 13% pada anak-anak berumur 1-2 tahun. Dari 25% penderita

ini sebanyak 75% memiliki gejala klinis mengi yang berkaitan dengan infeksi saluran napas.

RSV ditemukan pada sepertiga pada pasien rawat jalan dari kelompok pasien di atas dan 80%

pada anak berumur di bawah 6 bulan yang dirawat inap (Orenstein, 2004).

Diantara bayi cukup bulan yang sehat, 80% mengalami rawat inap pada awal tahun

pertama, dan 50% mengalami rawat inap pada umur 1-3 bulan. Kurang dari 5% mengalami rawat

inap pada umur 30 hari, hal ini diduga karena transfer transplasenta dari antibodi maternal

(Rudan, 2004).

Di Amerika, infeksi RSV meningkat pada musim dingin, kecuali pada daerah subtropis

dari negara bagian tenggara (Florida) dari Amerika dimana RSV merupakan penyakit endemis

tiap tahunnya, dengan puncak insidens terjadi pada bulan Oktober hingga Februari dan insiden

relatif pada bulan Maret hingga Juli (Shay, 1999).


23

Infeksi sekunder terjadi pada 46% anggota keluarga yang menderita, 98% terjadi pada

anak-anak yang dirawat satu ruangan dengan penderita, 42% terjadi pada pegawai rumah sakit,

dan 45% pada bayi yang sebelumnya belum pernah menderita RSV. Infeksi RSV dapat

menyebar melalui kontak langsung dan permukaan dilingkungan nasofaring atau membran

mukosa dari mata. RSV dapat bertahan beberapa jam pada tangan dan permukaan. Akan tetapi,

cuci tangan dan penggunaan sarung tangan sekali pakai dapat mengurangi penyebaran

nosocomial (Isaac, 1991).

2.2.4 Faktor risiko

Faktor risiko untuk berkembangnya bronkiolitis menyangkut didalamnya adalah

a. Bayi dengan berat badan lahir rendah, khususnya pada bayi prematur

b. Usia gestasional

c. Kelompok sosioekonomi yang rendah

d. Lingkungan tinggal yang padat

e. Orang tua perokok

f. Penyakit paru kronis, khususnya dysplasia bronkopulmoner

g. Penyakit jantung kongenital dengan hipertensi pulomonal; akan tetapi studi di Swiss

menunjukkan tidak ada peningkatan factor risiko bronkiolitis pada anak dengan

penyakit jantung kongenital.

h. Penyakit defisiensi imun

i. Usia dibawah 3 tahun

j. Anomali saluran napas.


24

Pada studi yang mengumpulkan data mengenai epidemologik, gambaran klinis, dan

virologi untuk menentukan insidens dan faktor predisposisi dari 310 bayi berusia 12 tahun

keawah yang sebelumnya sehat dan kemudian mengalami episode pertama dari bronkiolitis,

gambaran bronkiolitis yang berat sering dijumpai pada berat badan lahir yang rendah, usia

gestasional yang muda, berat badan lahir yang rendah, prematuritas, dan pada bayi dengan

riwayat kelahiran sesaria (Orenstein, 2004).

Gambaran C-reactive protein (CRP) yang positif (>0.8mg/dL) dan gambaran konsolidasi

pada rontgen paru sering dijumpai pada bronkiolitis yang berat, walaupun tidak ditemukan

perbedaan signifikan pada varibel epidemologi yang ditemukan (Titus, 2003).

Di Indonesia sendiri telah dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berkaitan

dengan terjadinya bronkiolitis akut. Beberapa faktor seperti riwayat pemberian ASI dan paparan

dengan asap rokok tidak memberikan hubungan langsung terhadap bronkiolitis. Faktor-faktor

seperti riwayat atopi pada orangtua, bekas skar BCG dan jenis kelamin berhubungan dengan

bronkiolitis akut (Subanada, 2009).

2.2.5 Patofisiologi

Bronkiolus merupakan saluran napas yang kecil (berdiameter < 2 mm) memiliki struktur

kartilago dan glandula submucosa yang kurang. Struktur asinus terdiri atas bronkiolus, ductus

alveolus, dan alveoli. Saluran pada bronkiolus terdapat sel Clara yang menyekresi surfaktan dan

cel neuroendokrin, yang merupakan sumber dari produk bioaktif seperti somatostatin, endotelin,

dan serotonin seperti yang tampak pada Gambar 2.1 (Dornelles, 2007).
25

Gambar 2.1 Proses terjadinya inflamasi pada alveoli setelah terjadi infeksi RSV. Setelah infeksi
RSV terjadi reaksi inflamasi yang dipicu oleh proses imunologi seluler oleh sel B dan sel T,
eosinofil disini berperan pada proses inflamasi langsung maupun tidak langsung dengan recruit
dari eosinofil terhadap epitel pada saluran napas. (Disadur dari www.cmr.asm.org)

Cedera pada bronkial dan efek antara inflamasi dan sel mesenkimal dapat menyebabkan

perubahan pada gejala klinis dan gambaran patologi. Efek dari cedera bronkial berujung pada :

a. Peningkatan sekresi mukus

b. Obstruksi dan konstriksi bronkial

c. Kematian sel alveolar, debris mukus, invasi virus

d. Air trapping

e. Atelektasis

f. Penurunan ventilasi yang berujung pada ketidaksesuaian ventilasi-perfusi


26

g. Usaha napas yang berat

Mekanisme komplek imunologis memiliki peran yang penting pada pathogenesis dari

bronkiolitis. Reaksi alergi tipe 1 yang dimediasi oleh immunoglobulin E memiliki peranan pada

bronkiolitis. Bayi dengan ASI yang mengandung kolostrum (kaya akan immunoglobulin A)

cenderung terproteksi dari bronkiolitis.

Nekrosis dari epitel saluran napas merupakan gambaran awal dari bronkiolitis dan terjadi

pada 24 jam setelah terjadinya infeksi. Proliferasi dari sel goblet dapat menyebabkan produksi

mukus yang berlebihan, sedangkan regenerasi dari epitel menjadi epitel non-silia berujung pada

penurunan sekresi mukus. Infiltasi dari limfosit dapat menyebabkan udema submukosa.

Sitokin dan kemokin, yang dilepaskan ketika terjadi infeksi pada epitel saluran napas,

memperkuat respon imun dengan meningkatkan rekruitmen celuler menuju saluran napas yang

terinfeksi. Interferon dan interleukin (IL-4, IL-8, dan IL-9) ditemukan dengan konsentrasi yang

tinggi di sekret penderita yang mengalami infeksi (Marguet, 2008).

Beberapa peneliti menganalisa temuan hasil autopsy pada anak-anak yang meninggal

dengan kemungkinan infeksi RSV pada tahun 1925 dan 1959 (sebelum perawatan intesif

modern) dan pada anak-anak dengan bronkiolitis RSV yang meninggal dikarenakan kecelakan

kendaraan bermotor. Mereka menemukan epitel dari brionkiolus dikelilingi oleh infeksi, namun

pada bagian sel basal tidak ditemukan. Pneumosit alveolus tipe 1 dan tipe 2 keduanya memiliki

gambaran infeksi.

Pada studi ini, obstruksi saluran napas terjadi dikarenakan debris sel inflamasi dan epitel

bercampur dengan fibrin, mukus, dan cairan edema, tetapi bukan karena konstriksi dari otot

polos. Penelitian lain mengungkapkan inflamasi neutrofil, bukan inflamasi oleh eosinofil,

menunjukkan hubungan perburukan dari infeksi pada anak.


27

Inflamasi, edema, dan debris menyebabkan obstruksi dari bronkilus, berujung pada

hiperventilasi, meningkatnya resistensi jalan napas,atelektasis, dan ketidaksesuaian ventilasi-

perfusi. Bronkokonstriksi masih belum dapat dijelaskan.

Anak-anak sering menimbulkan gejala klinis yang khas disebabkan karena saluran napas

mereka yang masih kecil, penutupan volume yang tinggi dan insufiensi ventilasi kolateral.

Penyembuhan berawal pada regenerasi dari epitel bronkiolus pada hari ke 3-4. Akan tetapi, silia

belum muncul selama 2 minggu. Proses pembersihan mukus dilakukan oleh makrofag (Johnsson,

2007).

Infeksi menyebar melalui kontak dengan sekret. Data epidemik Amerika pada akhir

umur 2-4 bulan, bermula pada bulan November dan memuncak pada bulan Januari atau Februari.

Dimana 93% kasus terjadi antara bulan November dan awal April, kasus sporadik dapat terjadi

setiap tahunnya. Kemungkinan infeksi berasal dari keluarga sebesar 45% dan cenderung

meningkat pada perawatan di bangsal anak. Persentase infeksi yang didapat di rumah sakit

berkisar antara 20-47%.

2.2.6 Gambaran klinis

2.2.6.1 Gejala klinis

Infeksi bronkiolitis lebih sering terjadi pada bayi berusia muda, maka gejala klinis tidak

terlalu jelas. Adapun gejalanya adalah sebagai berikut :

o Anak menjadi rewel dan berkurang nafsu makan pada saat periode inkubasi 2-5 hari

o Gejala demam yang sumer-sumer; kemungkinan terjadi hipotermia pada bayi muda di

bawah usia 1 bulan

o Meningkatnya gejala coriza dan kongesti


28

o Apne yang mungkin muncul pada gejala awal dari penyakit (Orenstien, 2004).

Pada periode 2-5 hari, infeksi RSV menjalar dari saluran napas atas menuju saluran napas

bawah, dan penjalaran ini berujung pada perkembangan batuk, dispne, wheezing, dan kesulitan

makan.

Pada kasus berat dari bronkiolitis mungkin memburuk pada 48 jam dengan gejala dan

gambaran klinis sebagai berikut :

o Distress pernapasan dengan takipne, napas cuping hidung, dan retraksi

o Iritabilitas

o Kemungkinan sianosis

2.2.6.2 Tanda klinis

Pemeriksaan fisis pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya

tekipnea, takikardi, dan peningkatan suhu di atas 38,5 0C. Selain itu, dapat juga ditemukan

konjungtivis ringan dan faringitis.

Obstruksi saluran respiratori bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan

gejala ekspirasi memanjang hingga mengi. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk

mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi intercostal. Selain itu,

dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi, dan bila

gejala menghebat, dapat terjadi apne, terutama pada bayi berusia < 6 minggu (Black, 2003).

2.2.6.3 Pemeriksaan penunjang


29

Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya normal,

demikian pula dengan elektrolit. Analisis gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan sakit

berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik.

Pada foto rontgen thoraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat (patchy

infiltrates), tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral

atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat

konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbar, air trapping,

diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior. Untuk menemukan RSV dilakukan

kultur virus, rapid antigen detection tests (direct immunoflouresence assay dan enzyme-linked

immunoabsorbent assay, ELISA) atau polymerase chain reaction (PCR), dan pengukuran titer

antibodi pada fase akut dan konvalesens.

Beratnya penyakit ditemukan berdasarkan skala klinis. Digunakan berbagai skala klinisi,

misalnya Respiratory Distress Assesment Instrument (RDAI) atau modifikasinya yang mengukur

laju pernapasan/respiratory rate (RR), usaha napas, beratnya mengi, dan oksigenasi (Klassen,

1991).

Skala klinis yang digunakan Abul-Ainie dan Luyt adalah :

1. Respiratory rate (RR) : dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat gerakan

dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali perhitungan dan diambil reratanya

2. Heart rate (HR) : diambil dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama

pengamatan 1 menit, diambil reratanya.

3. Saturasi O2 : diambil dari pulse oksimetri yang dibaca lima kali selama

pengamatan 1 menit dan diambil reratanya.

4. Status aktivitas bayi (empat tingkat : tidur, tenang, rewel, dan menangis).
30

Skoring klinis berdasarkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson sebagai berikut :

1. Keadaan umum : diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel).

2. Penggunaan otot bantu napas : skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi berat).

3. Mengi : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (mengi hebat inspiratorik dan ekspiratorik).

Diagnosis banding sebaiknya dipikirkan, misalnya asma, bronkitis, gagal jantung

kongestif, dan edema paru, yang memiliki gambaran klinis menyerupai bronkiolitis. Selain itu,

pneumonia dengan berbagai sebab (aspirasi, virus, bakteri, dan mikoplasma) juga dapat

memberikan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang menyerupai bronkiolitis. Oleh

karena itu, untuk menentukan diagnosis bronkiolitis pada anak, penting untuk memperhatikan

epidemiologi, rentang usia terjadinya kasus, dan musim-musim tertentu dalam satu tahun (Shuh,

2002).

2.3 Respiratory Syncytial Virus

Respiratory syncytial virus adalah virus RNA rantai tunggal yang berukuran sedang (80-

350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian

penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel

dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel

tetangganya (Steiner, 2004).

Respiratory syncytial virus tersusun atas RNA rantai tunggal , terdiri atas 10 macam

mRNA. Masing-masing terdiri dari 10 jenis protein virus. Delapan daripadanya merupakan

protein structural dan dua non-struktural. Tujuh protein terbesar yang menyusun protein

struktural tersebut adalah protein L,G,F,N,P,M, dan SH. Protein non-struktural adalah protein
31

NS1 dan NS2. Tiga dari protein nonstruktual merupakan protein permukaan transmembrane yaitu

protein F glikosilat (fusion), protein G (attachment), dan protein SH.

Agen infeksius utama yang terdapat pada RSV adalah (Giovanni, 2014):

- Virion, yaitu suatu nukleokapsul yang terdapat dalam selubung lipid, bersifat

labil terhadap sinar ultraviolet.

- Glikoprotein F (fusion), yang dapat menghambat pembetukan sinstium pada

biakan jaringan.

- Protein G (attachment), adalah suatu glikoprotein, dapat dikenali melalui

terbentuknya antibodi spesifik terhadapnya.

Protein F dan G merupakan antigen permukaan utama virus yang bersifat

labil terhadap perubahan suhu dan paparan sinar ultraviolet. Pada suhu 550 C

virus akan segera mati, pada suhu 370C dapat bertahan hingga 24 jam dan

pada suhu 40 dapat bertahan dalam waktu 1 minggu. seperti yang ditunjukkan

pada Gambar 2.2 (Giovanni, 2014).


32

Gambar 2.2 Gambaran struktur dari virus RSV dimana tersusun oleh virion yang merupakan
susunan nukleokapsul yang terdiri dari lipid. Pada RSV terdapat 2 protein yang berfungsi penting
pada infeksi yaitu protein F dan protein G (Gambar disadur dari www.studyblue.com )

Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian

menyebar dari saluran napas atas ke saluran napas bawah melalui penyebaran langsung pada

epitel saluran napas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV memengaruhi sistem saluran

napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi

gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas

menyebabkan terjadi udema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen

bronkiolus. Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus

tertimbu n di dalam bronkiolus .

Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar

terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P)

yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran

napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi

sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena
33

kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran napas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta

spasme otot polos saluran napas (Giovanni, 2014). Resoiratory syncytial virus adalah virus

RNA berkapsul yang merupakan bagian dari genus pneumovirus dan famili dari

paramyxoviridae, termasuk dalam ordo Mononegavirus yang merupakan virus RNA. Ada 2

subtipe RSV yang dikenal yaitu tipe A dan B.

2.4 Virus non-RSV Penyebab Bronkiolitis

Seperti yang diketahui selain virus RSV, bronkiolitis juga disebabkan oleh karena virus

lain. Virus terbanyak yang merupakan penyebab dari bronkiolitis adalah Human

metapneumovirus, parainfluenza virus, atau adenovirus.

2.4.1 Human metapneumovirus

Human metampneumovirus merupakan virus patogen yang menyebabkan penyakit yang

berspektrum luas mulai dari infeksi yang tidak bergejala hingga bronkiolitis derajat berat. Pada

tahun 2001, Van de Hoogen mengidentifikasi virus yang bersifat patogen pada manusia ini dari

sampel kultur pada saluran napas selama musim dingin. Setengah dari 28 human

metapneumovirus terisolasi pada kultur pasien berusia 1 tahun dan 96% terisolasi pada anak

berusia di bawah 6 tahun (Van de Hoogen, 2001).

Penelitian seroprevalensi menunjukkan bahwa 25% anak usia 6-12 bulan yang diteliti di

Belanda telah memiliki antibodi terhadap human metapneumovirus, dan pada usia 5 tahun, 100%

dari pasien menunjukkan bukti infeksi di waktu sebelumnya. Laporan terpisah dari seluruh dunia

mengatakan bahwa virus yang baru ditemukan ini bersifat sproadik dan seperti RSV, dipengaruhi

oleh musim (Van de Hoogen, 2001).


34

Human metapneumovirus merupakan virus RNA rantai tunggal negatif yang berasal dari

family Pneumoviridae dan berhubungan dekat avian metapneumovirus (AMPV) subgroup C.

Struktur genom dari hMPV analog dengan virus RSV,akan tetapi virus hMPV memiliki gen non-

struktural (NS1 dan NS2) dan genom RNA antisense dari hMPV memiliki delapan open reading

frame yang sangat berbeda dibandingkan pada gen order pada RSV. Analisa filogenik dari

Human metapneumovirus menunjukkan keberadaan 2 turunan genetik yang dinamakan subtipe A

dan B yang didalamnya dibagi kedalam subgroup A1/A2 dan B1/B2.

Identifikasi dari hMPV secara dominan bergantung pada enzim reverse-transcriptase

polymerase chain reaction (RT-PCR) yang mengamplifikasi secara langsung dari RNA

spesimen. Alternatif lain untuk mendeteksi HMPV secara efektif adalah dengan pendekatan

asam nukleat seperti tes antibodi imunoflouresen, antibodi monoklonal, dan antibodi poliklonal.

Patofisiologi dari infeksi human metapneumovirus diyakini berhubungan dekat dengan

human pneumovirus lainnya, dalam hal ini adalah RSV. Human metapneumovirus memiliki situs

infeksi pada epitel saluran napas. Pasien biasanya asimtomatis, atau bergejala dengan derajat

keparahan ringan hingga bronkiolitis berat atau pneumonia. Lebih dari 20% balita dengan

bronkiolitis ditemukan dengan lebih dari satu agen infeksi saluran napas pada saat yang

bersamaan. Dari hal tersebut dikatakan berkaitan dengan metapneumovirus. Proses infeksi virus

dari human metapneumovirus belum diketahui dengan pasti, namun terdapat laporan pada tahun

2005 dimana didapatkan dengan ensepalitis dengan human metapneumovirus yang bersamaan

dengan penyakit paru, menguatkan dugaan kemungkinan virus sangat jarang beredar pada aliran

darah (Van de Hoogen, 2001).


35

2.4.2 Parainfluenza virus

Virus parainfluenza merupakan paramyxovirus, bagian dari famili paramyxoviridae, dan

sub-famili dari paramyxovirinae. Virus parainfluenza terbagi dalam 5 serotipe HPIV-1, HPIV-2,

HPIV-3, HPIV-4a, dan HPIV-4b. virus ini biasanya berefek pada anak, dengan spektrum

patogenik yang luas termasuk di dalamnya infeksi saluran napas atas dan saluran napas bawah.

Virus ini bertanggung jawab terhadap 30-40% dari infeksi saluran napas akut pada anak.

Penyakit yang sering ditimbulkan adalah croup, bronkiolitis, dan pneumonia (Fry, 1990).

Pada virus ini juga menyebabkan peningkatan aktivasi dari eosinofil. Ketika virus

parainfluenza menginfeksi sel, hal yang terjadi pada sel adalah bertumbuhnya sitoplasma dan

nucleus serta menurunnya aktivitas mitosis dari sel host. Perunbahan lainnya adalah perubahan

pada vakuola dari basofil atau eosinofil, dan formasi dari sel giant yang berinti banyak (Senchi,

2013).

Infeksi dari virus ini akan berujung pada sekresi dalam jumlah yang besar dari sitokin

inflamasi seperti interferon alfa, IL-2, IL-6 dan TNF-α. Puncak dari sekresi ini berada pada hari

ke 7-10 setelah paparan pertama. Pada infeksi virus ini juga ditemukan peningkatan dari

RANTES dan protein inflamasi dari makrofag yang terdeteksi pada hidung penderita (Liu,

2013).

2.4.3 Adenovirus

Adenovirus merupakan virus DNA rantai ganda dengan ukuran 70-90 yang memiliki

kapsid icosahedral. Jalur infeksi dari virus ini umumnya ditentukan pada lokasi infeksi. Infeksi

saluran napas berasal dari inhalasi droplet, sementara infeksi pada gastrointestinal berasal dari

transmisi feko-oral. Terdapat tiga interaksi sel pada infeksi dari adenovirus. Pertama infeksi lisis,
36

terjadi ketika virus adenovirus masuk ke sel manusia melalui siklus replikasi yang berakibat pada

sitolisis, produksi sitokin, dan menginduksi respon inflamasi host. Kedua infeksi laten, dimana

mekanismenya sendiri masih belum diketahui, yang paling sering menimbulan infeksi yang

asimtomatik dari jaringan limfoid. Ketiga transformasi onkogenik yang telah diobservasi pada

tikus. Selama onkogenesis, siklus dari replikasi terpotong, dan DNA dari adenoviral berintegrasi

dengan DNA sel host (Kapecky, 2009).

2.5 Bakteri Penyebab Bronkiolitis

2.5.1 Mycoplasma penumoniae

Mycoplasma pneumoniae merupakan golongan bakteri yang berbentuk batang pendek

dan memiliki dinding sel yang tipis. Bakteri ini termasuk ke dalam kelas Mollucutes dan

termasuk mikroorganisme terkecil yang hidup di alam bebas. Organisme ini sulit untk

dibiakkan di laboratorium, masa inkubasi dari bakteri ini berkisar antara 2-3 minggu yang

sangat berbeda dibandingkan dengan influenza dan virus pneumonia yang dapat

dibiakkan dalam beberapa hari. Mycoplasma pneumonia ditemukan menjadi etiologi dari

bronkkiolitis pada anak yang lebih besar. Beberapa penelitian menemukan infeksi dari

Mycoplasma pneumonia ditemukan pada usia 6 bulan sampai 1 tahun dengan angka

kejadidan 23.9% dari grup pasien dengan bronkiolitis. (Wang, 2014)

Anda mungkin juga menyukai