BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Eosinofil
Eosinofil diidentifikasi sebagai bagian dari leukosit pertama kali oleh Paul Ehrlich.
Dinamakan demikian dimana pada saat itu sel ini memiliki kemampuan untuk menyerap
pewarna asam eosin. Sel ini dapat terlihat dengan menggunakan mikroskop cahaya, bagian yang
menyerap pewarnaan eosin merupakan protein katationik yang terdapat di dalam granulanya.
Meskipun terdeteksi lebih dari 80 penanda permukaan sel dari eosinofil, dan setidaknya ada 20
molekul permukaan yang tidak terkluster dengan penandaan Cluster of Differentiation, sampai
saat ini tidak satupun molekul permukaan eosinofil yang teridentifikasi (Gleich, 2004).
Struktur dari eosinofil dapat dibedakan dengan leukosit lainnya dengan melihat populasi
unik dari granulanya. Granula dari eosinofil yang terdiri atas matrix, inti kristaloid, dan badan
lemak merupakan organel yang dijumpai pada eosinofil dewasa (Gleich, 2004).
Eosinofil berasal dari sel stem hematopoetik. Dalam pengaruh dari interleukin-5 (IL-5)
dan beberapa pengaruh dari IL-3 dan GM-CSF, progenitor sel hematopoietik berdiferensiasi
menjadi sel matur di sum-sum tulang. Eosinofil dewasa merupakan sel yang menetap dalam
jaringan dan hanya dalam porsi kecil beredar pada sirkulasi darah. Eosinofil beraktivitas pada
jaringan epitel yang berkontak dengan lingkungan luar. Akan tetapi, walaupun dalam keadaan
sehat, eosinofil ditemukan secara ekslusif dan terbatas pada daerah mukosa traktus digestivus.
Sedikit diketahu i sebagai tempat menghabiskan hidup dari sel eosinofil pada jaringan in vivo
(Wardlaw, 2007).
10
Penelitian secara ex vivo dengan memeriksa polip nasal memberikan penjelasan bahwa
eosinofil dapat bertahan hingga 14 hari dalam keadaan inflamasi. Eosinofil merupakan leukosit
pro-inflamasi dengan spectrum luas dengan efek fungsi yang kuat. Eliminasi dari cacing dan
9
parasite merupakan salah satu efek yang menguntungkan, namun masih banyak efek samping
Eosinofil dalam darah dan jaringan berdiferensiasi dari hemopoesis CD34+, progenitor
mielositik ditemukan pada sum-sum tulang dan jaringan inflamasi. Eosinofil diproduksi hingga
3% pada sumsum tulang pada individu yang sehat, dimana 37% akan mengalami diferensiasi
yang lengkap, dan sisanya dalam bentuk promielosit atau mielosit dan metamielosit (Spry,
2008). Penampakan sel dewasa muncul pada hari ke 2-3 dari waktu terakhir mengalami
pembelahan mitosis. Pembentukan eosinofil dapat mencapai 2,2x108 sel per kilogram per hari,
dan maksimum sel yang dapat dibentuk oleh sum-sum tulang belakang pada aanak sehat adalah
9-14x108 per kilogram per hari (Walle, 2007). Progenitor berdiferensiasi akibat paparan pada
sitokin dan kemokin untuk membentuk menjadi eosinofil. Eosinofil merupakan sel yang lebih
dekat dengan basofil dibandingkan dengan neutrofil dan monosit (Denburg, 2000). Sebagai
tambahan eosinofi mendapatkan elemen ekspresi reseptor afinitas tinggi Fce dari sel mas dan
Terdapat tiga sitokin kunci yang berperan dalam produksi eosinofil pada sumsum tulang
yaitu IL-3, IL-5, dan GM-CSF. Ketiga sitokin ini diproduksi oleh sel limfosit T CD4 + dan CD8+
dari darah perifer dan jaringan yang mengalami inflamasi. Pada aspirasi sumsum tulang,
prekursor dari eosinofil dapat ditandai dengan ekspresi reseptor IL-5 dan reseptor kemokin C-C,
11
CCR3, dan CD34 (Sutherland, 2009). Saat ini diketahui bahwa IL-5 adalah sitokin penting dalam
diferensiasi eosinofil. Ekspresi dari IL-5R hanya dimiliki secara ekslusif oleh progenitor
eosinofil dan sel eosinofil matur yang terdapat pada aliran darah perifer. Distribusi dari reseptor
Waktu paruh dari eosinofil pada sirkulasi berkisar antara 18 jam dengan reraata waktu
transit 26 jam, walaupun beberapa kondisi dapat terekstensi, hal ini dikarenakan elevasi dari
sistem aktivasi eosinofil dari sitokin yang mempromosi eosinofil untuk bertahan (Steinbach,
2007). Berdasarkan studi kadar normal dari eosinofil berkisr antara 0-0,5x109 (Krause, 2007).
Sirkulasi dari eosinofil bergantung dengan variasi fase diurnal dari manusia, dimana dapat
meningkat dan menurun pada pagi hari dan malam hari, bahkan dapat bervariasi hingga 40% dari
nilai normal per hari (Horn, 2005). Eosinofilia ringan berkisar antara 0,5-1,5x109, eosinofilia
sedang 1,5-5x109 dan eosinofilia berat dikatakan lebih dari 5x109. Alergi selalu berkaitan dengan
eosinofilia ringan, sedangkan infestasi parasit selalu berkaitan dengan eosinofilia berat (Spry,
2003).
Eosinofil umumnya terletak pada sel jaringan dan target organ mayor umumnya pada
traktus gastrointestinal, paru, dan kulit. Ketika eosinofil sudah berada pada di jaringan, mereka
Perkembangan eosinofil dan maturasi dapat terjadi secara in situ pada situs perifer diluar
sum-sum tulang. Pada kasus ini prekursor eosinofil dilepaskan ke aliran darah langsung dari
12
sum-sum tulang untuk menuju ke situs dimana mereka nantinya ditransmigrasikan sebagai
Seperti neutrofil, eosinofil merupakan sel bentuk akhir dimana secara kultur dapat
mengalami apoptosis dan nekrosis secara cepat. Akan tetapi, sitokin aktif eosinofil seperti IL-
3,IL-5, GMCSF dan interferon (IFN) memperpanjang keberlangsungan hidup dari eosinofil
hingga 2 minggu (Anwar, 2003). Eosinofil yang teraktivasi dapat membentuk sejumlah sitokin
untuk diri mereka sendiri. Hal ini dapat memicu prolongasi dari maturasi eosinofil dan
keberlangsungan hidup pada jaringan setempat. Jaringan lokal seperti sel endotel, fibroblas, dan
sel epitel dapat berkontribusi pada produksi IL-5 dan GMCSF untuk maturasi in situ dari
eosinofil dan diferensiasi pada jalan napas dan mukosa usus (Simon, 2007).
Migrasi dari eosinofil pada paru dan traktus gastrointestinal selama masa perkembangan
normal mereka memungkinkan sebagai respon terhadap faktor lingkungan terhadap parasit.
Mekanisme tersebut terdapat 4 langkah hingga eosinofil berhasil menuju jaringan yang dituju.
Keempat langkah tersebut adalah 1. Menuju endotel (tethering), 2. Berguling sepanjang endotel
(rolling), 3. Adhesi eosinofil ke sel endotel (adhesion), 4. Transmigasi eosinofil menuju jaringan
melalui endotelium (transmigrasi). Setiap langkah tersebut dikendalikan oleh jaringan faktor
kemotaktik yang kompleks dan molekul adhesi. Selektin dan intergrin 4a memiliki peran penting
dalam proses tethering dan rolling. Proses adhesi dari eosinofil dikendalikan oleh intergrin beta
2 (CD18). Transmigrasi dari eosinofil dikendalikan oleh intergrin beta 2 yang sama baiknya
dengasn kemokin c-c seperti eotaxin. Sitokin dan kemokin mengelilingi jaringan untuk
13
memodulasi eosinofil agar bertransmigasi menuju jaringan. Banyak dari mekanisme ini
dikendalikan oleh respon sel T terhadap antigen presenting cell (Pazdrak, 2008).
Eosinofil dipercayai berperan sebagai pembentuk dan penyimpan dari beberapa mediator
yang akan dilepaskan ketika diaktivasi dan beberapa inflamasi dipercayai berkaitan dengan sel
ini. Beberapa mediator dapat dijabarkan secara garis besar sebagai berikut :
memiliki aktivitas biologi yang paling dasar. Beberapa produk yang penting
lipoksin A4) yang sama baiknya dengan platelet activating factor (PAF).
Substrat dasar dari mediator ini adalah asam arakhidonat (AA), dimana secara
Eosinofil setidaknya memliki 5 populasi berbeda dari granula dua lapis yang
unik yang berdiameter 0.5 dan 0.8 mikrometer. Granula ini berisi inti elektron
asam yang dikarenakan sifat alami kationik mereka. Granul ini berisi protein
EDN. Setiap sel memiliki 200 granula kristaloid. Granula primer dari granula
yang tidak berinti diperkayai pleh protein kristal Charcot-Leyden (CLC) dan
kemokin dan growth factor yang berbeda yang berpotensi mengatur berbagai
macam respon imun. Sitokin ini berkerja secara autokrin, parakrin atau
bahwa produksi dari sitokin yang mengaktivasi eosinofil (IL-3 dan GM-CSF)
oleh eosinofil sendiri memiliki peranan penting dalam memperpanjang usia sel
Degranulasi didefenisikan sebagai fusi eksositotik dari granul dengan membran plasma
selama sekresi yang dimediasi reseptor. Selama eksositosis, bagian terluar dari membran lipid
bertemu dengan bagian dalam membran plasma, proses ini sering disebut dengan Docking.
Setelah proses docking, granula dan membran plasma menyatu dan membentuk struktur
reversibel yang disebut fusion pore. Bergantung dari instensitas stimulus yang berujung
pelepasan kembali dari granul dari membran plasma atau dapat berekspansi dan menjadi
integrasi sempurna dari membran granul menuju plasma membran sebagai lapisan berkelanjutan.
Mekanisme yang berkaitan dengan pelepasan granula pada eosinofil merupakan fungsi kritikal
eosinofil. Tanpa adanya degranulasi dan sekresi dari mediator, eosinofil merupakan sel yang
Eosinofil dapat dihitung pada darah baik dengan perhitungan basah pada ruang Neubauer,
menggunakan persentase berdasarkan jumlah sel darah putih. Nilai normal dari eosinofil
Perhitungan eosinofil bervariasi pada usia, waktu pengambilan, stimulus dari lingkungan,
Hubungan antara eosinofil dan penyakit alergi telah diketahui selama beberapa tahun.
Eosinofil merupakan fitur yang penting pada asma karena alergi dan non-alergi. Eosinofil dalam
jumlah banyak dan produk dari granula banyak ditemukan di daerah bronkus pada pasien yang
Besarnya permasalahan yang ditimbulkan oleh atopi diperlukan alat yang dapat
mengidentifikasi secara dini kemungkinan terjadinya atopi pada anak. Skin prick test (SPT)
adalah salah satu metode in vivo untuk diagnosis penyakit alergi. Uji ini dianggap sebagai baku
emas untuk diagnosis reaksi alergi yang diperantai oleh IgE (Turkeltaub, 2000). Seorang anak
dapat dianggap atopi jika setidaknya memiliki satu hasil indurasi positif terhadap salah satu
alergen yang digunakan dalam SPT (Turkeltaub, 2000; Leung dkk, 2000). SPT memiliki
16
beberapa keuntungan seperti cepat, dapat dilakukan pada hampir semua kelompok usia serta
memiliki nilai diagnosis tinggi (Demoly dkk, 2003). Terdapat beberapa kerugian dari SPT yakni
nyeri, tidak tersedia di daerah terpencil, mahal, teknik pengerjaan yang sulit dan butuh waktu
yang lama serta adanya pengaruh hasil negatif palsu dan positif palsu (Cantani, 2000; Demoly
Yadav mengemukakan nilai prediksi keluarga berdasar riwayat penyakit alergi pada
ayah, ibu dan saudara kandung yang berguna untuk identifikasi risiko alergi pada bayi atau anak
(Yadav, 2005). Nilai keluarga ini kemudian diadaptasi oleh IDAI menjadi kartu deteksi dini
risiko alergi untuk digunakan sebagai diagnosis atopi pada bayi dan anak. Penelitian oleh
Chandra Dewi menyebutkan temuan risiko tinggi pada kartu deteksi memiliki sensitisasi positif
dengan alergi sebesar 100%, sedangkan sensitisasi positif pada risiko sedang sebesar 68% (Dewi
Eosinofilia dapat ditemukan pada pasien dengan leukemia eosinofilik dan berkaitan
dengan keganasan limfoid dan karsinoma bronkogenik. Eosinofilia pada kasus ini diduga
berkaitan dengan produksi dari IL-5 dan kemungkinan sitokin yang dilepaskan oleh sel tumor.
Studi pada penyakit Hodgkin telah menunjukkan kehadiran dari mRNA yang mengkode
Telah banyak terpublikasi efek dari helmintisidal eosinofil pada manusia, primata, dan
binatang pengerat melawan metazoa yang telah diselubungi dengan IgG, IgA, IgE, dan
17
komponen dari komplemen. Pada konteks ini, sejumlah parasit yang telah diteliti termasuk
brasiliensis, Fasciola hepatica, dan lainnya. Eosinofil ditemukan melekat pada larva yang telah
terselubung dengan imunoglobulin, dan kemudian akan menjalani eksositosis yang berujung
pada pelepasan dari protein dasar dan granula sitotoksik. Produk yang berkaitan dengan eosinofil
(termasuk MBP, ECP, dan EPO) memiliki helmintisidal yang potensial (Behm, 2000).
Salah satu efek dari kortikosteroid adalah menurunkan jumlah dari limfosit dan monosit
di pembuluh darah perifer dalam waktu 4 jam. Hal ini terjadi karena redistribusi temporer
limfosit dari intravaskular ke dalam limpa, kelenjar limfe, duktus torasikus, dan sumsum tulang
monosit, dan basofil dalam sirkulasi, tetapi glukokortikoid juga menyebabkan peningkatan
yang banyak dan dalam waktu yang lama juga dapat menurunkan proses pembentukan fibroblas
serta menurunkan jumlah gerakan dan fungsi dari leukosit (Azis, 2006). Kortikosteroid
memengaruhi sel darah putih (leukosit) dengan cara menurunkan migrasi sel inflamasi
(PMN,monosit, dan limfosit) sehingga penggunaan kortikosteroid dalam waktu yang lama dapat
Jumlah leukosit dalam sirkulasi sangat mudah dan cepat berubah. Nilai absolut maupun
relatif dapat berubah oleh stimulasi selama beberapa menit hingga beberapa jam. Perubahan
jumlah leukosit bisa dipicu oleh beberapa penyebab, termasuk didalamnya adalah pemberian
Status nutrisi pada anak memiliki peran pada jumlah eosinofil dalam darah tepi. Status
malnutrisi peran terhadap daya tahan tubuh manusia. Pasien dengan malnutrisi menyebabkan
risiko untuk terkena penyakit infeksi maupun investasi parasit menjadi meningkat. Beberapa
penelitian menunjukkan peningkatan eosinofil pada penderita malnutrisi. Hal ini dikaitkan
karena penderita dengan undernutrisi dan malnutrisi cenderung untuk mengalami infeksi
Eosinofilia berkaitan dengan obstruksi jalan napas yang reversibel telah banyak
ditemukan pada era tahun 1900an, tetapi peran pasti dari eosinofilia sendiri belum diketahui
banyak. Mekanisme yang paling mungkin adalah melalui dua jalan, yang pertama dengan adanya
pelepasan dari enzim yang dapat mendegradasi mediator sel mast dan meningkatkan efek dari
mediator tersebut. Pada sisi lain berkontribusi pada kerusakan jaringan akibat tertumpuknya
protein besar pada bronkus. Pada pasien dengan asma yang stabil kadar eosinofil pada darah
perifer menunjukkan nilai rentang yang luas dan eosinofilia tidak dapat membedakan antara
asma non-atopik dan atopik. Pada asma non-atopik hubungan antara kadar eosinofil darah tepi
dan FEV1 telah diteliti dan kadar eosinofil berguna dalam memonitoring aktivitas dari penyakit.
Sebagaimana diketahui inflamasi persissten pada jalan napas disimpulkan sebagai fitur
esensial dari asma bronkial. Beberapa peneliti berdebat bahwa pada balita muda dengan infeksi
19
saluran napas bawah, khususnya respiratory synctial virus, dapat berkembang menjadi wheezing
berulang yang pada akhirnya menjadi asma bronkial. Inflamasi pada infeksi respiratory synctial
virus umumnya proses multiseluler yang dimana sel epitel, makrofag, sel T sitotoksik, dan
Sejauh ini, masih sedikit penelitian yang menggambarkan karakteristik inflamasi dari
bronkus yang disebabkan oleh RSV, hal ini dikarenakan BAL bronkoskopi pada anak sulit
dilakukan dan terlalu invasif. Studi menggunakan ECP sebagai protein inflamasi yang diinduksi
oleh eosinofil di Jepang dengan sampel balita usia 3 tahun dengan bronkiolitis difus ditemukan
peningkatan kadar eosinofil darah tepi (6,9 g/L) dan kadar eosinofil alveoli dengan
menggunakan bronchoalveolar lavage 91%. Baik asma dan bronkiolitis ditandai dengan adanya
peningkatan dari aktivitas sel inflamasi dimana markernya dapat terukur pada urin, darah atau
Pada penyakit jantung bawaan sianotik sering terjadi polisitemia vera. Keadaan hipoksia
jaringan menyebabkan peningkatan dari progenitor hematopoetik pada sumsum tulang. Terjadi
peningkatan aktivitas dari burst forming unit-erytroid (BFU-E) ,sebagai respon terhadap
Meningkatnya sensitivitas dari GM-CSF berpengaruh terhadap produksi dari eosinofil. Peneltiian
yang dilakukan oleh Dittrich (2000) menemukan terjadi penumpukan eosinofil pada mesangium
dari glomerulus pada pasien dengan penyakit jantung bawaan sianotik (Dittrich, 2000).
20
Paparan asap rokok merupakan salah satu penyebab terjadinya asma dan penyakit paru
obstruktif. Asap rokok dapat merangsang proses inflamasi. Penelitian yang dilakukan pada tikus
menunjukkan eosinofilia pada BAL. Proses tersebut diperantarai dari aktivitas dari T sel CD4,
ekspresi dari IL-5, IL-3, dan TGF-β yang berpengaruh pada aktivasi dari eosinofil (Fernando,
2011)
oleh syndrome IgE autosomal dominan, defisiensi DOCK8, defisiensi PGM3, sindrom Omen,
2.2 Bronkiolitis
Bronkiolitis penyakit infeksi saluran napas bawah yang ditandai dengan adanya
inflamasi pada bronkhiolus. Umumnya infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Umumnya
menyerang anak dibawah umur tahun, dengan puncak kejadian infeksi pada utimur 3-6 bulan.
Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi,
2.2.2 Etiologi
Penyebab terbanyak kasus bronkiolitis merupakan hasil dari infeksi virus, seperti RSV,
human metapneumovirus, parainfluenza virus, atau adenovirus. Penyebaran virus ini dapat
menyebar melalui kontak personal yang melalui kontak langsung sekresi nasal, air liur, dan
muntahan. RSV merupakan agen utama yang berhasil terisolasi pada 75 % dari anak-anak
dengan umur di bawah 2 tahun, dimana anak ini biasanya dirawat di rumah sakit dengan
bronkiolitis dengan penyebab virus parainfluenza. Epidemik dari bronkiolitis yang disebabkan
oleh parainfluenza virus umumnya bermula pada awal tahun dan cenderung berulang pada tiap
tahunnya. Adenovirus merupakan penyebab sebanyak 5-10% pada kasus bronkiolitis dan
Pada studi prospektif multisenter mengenai etiologi virus dari bronkiolitis pada unit
gawat darurat (UGD), sebanyak 277 sampel telah diuji dan sampel positif terdapat virus berikut
2.2.3 Epidemiologi
22
penyakit respirasi secara global. Berdasarkan bulletin dari WHO, terprediksi hingga 150 juta
kasus baru yang terjadi. Sebelas hingga dua puluh juta (7-13%) dari kasus tersebut terlalu parah
sebelum masuk rumah sakit. Sembilan puluh lima persen dari seluruh kasus terjadi pada negara
Frekuensi dari bronkiolitis pada negara berkembang memiliki gambaran yang sama pada
Amerika. Negara yang belum berkembang memiliki data yang belum lengkap. Data epidemologi
dari negara yang belum berkembang menunjukkan RSV merupakan penyebab utama infeksi
viral pada infeksi akut saluran napas bawah dan tercatat sekitar 65% penderita dirawat inap
Menurut catatan statistik di Amerika, infeksi saluran napas ditemukan pada 25% anak
pada umur dibawah 12 tahun dan 13% pada anak-anak berumur 1-2 tahun. Dari 25% penderita
ini sebanyak 75% memiliki gejala klinis mengi yang berkaitan dengan infeksi saluran napas.
RSV ditemukan pada sepertiga pada pasien rawat jalan dari kelompok pasien di atas dan 80%
pada anak berumur di bawah 6 bulan yang dirawat inap (Orenstein, 2004).
Diantara bayi cukup bulan yang sehat, 80% mengalami rawat inap pada awal tahun
pertama, dan 50% mengalami rawat inap pada umur 1-3 bulan. Kurang dari 5% mengalami rawat
inap pada umur 30 hari, hal ini diduga karena transfer transplasenta dari antibodi maternal
(Rudan, 2004).
Di Amerika, infeksi RSV meningkat pada musim dingin, kecuali pada daerah subtropis
dari negara bagian tenggara (Florida) dari Amerika dimana RSV merupakan penyakit endemis
tiap tahunnya, dengan puncak insidens terjadi pada bulan Oktober hingga Februari dan insiden
Infeksi sekunder terjadi pada 46% anggota keluarga yang menderita, 98% terjadi pada
anak-anak yang dirawat satu ruangan dengan penderita, 42% terjadi pada pegawai rumah sakit,
dan 45% pada bayi yang sebelumnya belum pernah menderita RSV. Infeksi RSV dapat
menyebar melalui kontak langsung dan permukaan dilingkungan nasofaring atau membran
mukosa dari mata. RSV dapat bertahan beberapa jam pada tangan dan permukaan. Akan tetapi,
cuci tangan dan penggunaan sarung tangan sekali pakai dapat mengurangi penyebaran
a. Bayi dengan berat badan lahir rendah, khususnya pada bayi prematur
b. Usia gestasional
g. Penyakit jantung kongenital dengan hipertensi pulomonal; akan tetapi studi di Swiss
menunjukkan tidak ada peningkatan factor risiko bronkiolitis pada anak dengan
Pada studi yang mengumpulkan data mengenai epidemologik, gambaran klinis, dan
virologi untuk menentukan insidens dan faktor predisposisi dari 310 bayi berusia 12 tahun
keawah yang sebelumnya sehat dan kemudian mengalami episode pertama dari bronkiolitis,
gambaran bronkiolitis yang berat sering dijumpai pada berat badan lahir yang rendah, usia
gestasional yang muda, berat badan lahir yang rendah, prematuritas, dan pada bayi dengan
Gambaran C-reactive protein (CRP) yang positif (>0.8mg/dL) dan gambaran konsolidasi
pada rontgen paru sering dijumpai pada bronkiolitis yang berat, walaupun tidak ditemukan
dengan terjadinya bronkiolitis akut. Beberapa faktor seperti riwayat pemberian ASI dan paparan
dengan asap rokok tidak memberikan hubungan langsung terhadap bronkiolitis. Faktor-faktor
seperti riwayat atopi pada orangtua, bekas skar BCG dan jenis kelamin berhubungan dengan
2.2.5 Patofisiologi
Bronkiolus merupakan saluran napas yang kecil (berdiameter < 2 mm) memiliki struktur
kartilago dan glandula submucosa yang kurang. Struktur asinus terdiri atas bronkiolus, ductus
alveolus, dan alveoli. Saluran pada bronkiolus terdapat sel Clara yang menyekresi surfaktan dan
cel neuroendokrin, yang merupakan sumber dari produk bioaktif seperti somatostatin, endotelin,
dan serotonin seperti yang tampak pada Gambar 2.1 (Dornelles, 2007).
25
Gambar 2.1 Proses terjadinya inflamasi pada alveoli setelah terjadi infeksi RSV. Setelah infeksi
RSV terjadi reaksi inflamasi yang dipicu oleh proses imunologi seluler oleh sel B dan sel T,
eosinofil disini berperan pada proses inflamasi langsung maupun tidak langsung dengan recruit
dari eosinofil terhadap epitel pada saluran napas. (Disadur dari www.cmr.asm.org)
Cedera pada bronkial dan efek antara inflamasi dan sel mesenkimal dapat menyebabkan
perubahan pada gejala klinis dan gambaran patologi. Efek dari cedera bronkial berujung pada :
d. Air trapping
e. Atelektasis
Mekanisme komplek imunologis memiliki peran yang penting pada pathogenesis dari
bronkiolitis. Reaksi alergi tipe 1 yang dimediasi oleh immunoglobulin E memiliki peranan pada
bronkiolitis. Bayi dengan ASI yang mengandung kolostrum (kaya akan immunoglobulin A)
Nekrosis dari epitel saluran napas merupakan gambaran awal dari bronkiolitis dan terjadi
pada 24 jam setelah terjadinya infeksi. Proliferasi dari sel goblet dapat menyebabkan produksi
mukus yang berlebihan, sedangkan regenerasi dari epitel menjadi epitel non-silia berujung pada
penurunan sekresi mukus. Infiltasi dari limfosit dapat menyebabkan udema submukosa.
Sitokin dan kemokin, yang dilepaskan ketika terjadi infeksi pada epitel saluran napas,
memperkuat respon imun dengan meningkatkan rekruitmen celuler menuju saluran napas yang
terinfeksi. Interferon dan interleukin (IL-4, IL-8, dan IL-9) ditemukan dengan konsentrasi yang
Beberapa peneliti menganalisa temuan hasil autopsy pada anak-anak yang meninggal
dengan kemungkinan infeksi RSV pada tahun 1925 dan 1959 (sebelum perawatan intesif
modern) dan pada anak-anak dengan bronkiolitis RSV yang meninggal dikarenakan kecelakan
kendaraan bermotor. Mereka menemukan epitel dari brionkiolus dikelilingi oleh infeksi, namun
pada bagian sel basal tidak ditemukan. Pneumosit alveolus tipe 1 dan tipe 2 keduanya memiliki
gambaran infeksi.
Pada studi ini, obstruksi saluran napas terjadi dikarenakan debris sel inflamasi dan epitel
bercampur dengan fibrin, mukus, dan cairan edema, tetapi bukan karena konstriksi dari otot
polos. Penelitian lain mengungkapkan inflamasi neutrofil, bukan inflamasi oleh eosinofil,
Inflamasi, edema, dan debris menyebabkan obstruksi dari bronkilus, berujung pada
Anak-anak sering menimbulkan gejala klinis yang khas disebabkan karena saluran napas
mereka yang masih kecil, penutupan volume yang tinggi dan insufiensi ventilasi kolateral.
Penyembuhan berawal pada regenerasi dari epitel bronkiolus pada hari ke 3-4. Akan tetapi, silia
belum muncul selama 2 minggu. Proses pembersihan mukus dilakukan oleh makrofag (Johnsson,
2007).
Infeksi menyebar melalui kontak dengan sekret. Data epidemik Amerika pada akhir
umur 2-4 bulan, bermula pada bulan November dan memuncak pada bulan Januari atau Februari.
Dimana 93% kasus terjadi antara bulan November dan awal April, kasus sporadik dapat terjadi
setiap tahunnya. Kemungkinan infeksi berasal dari keluarga sebesar 45% dan cenderung
meningkat pada perawatan di bangsal anak. Persentase infeksi yang didapat di rumah sakit
Infeksi bronkiolitis lebih sering terjadi pada bayi berusia muda, maka gejala klinis tidak
o Anak menjadi rewel dan berkurang nafsu makan pada saat periode inkubasi 2-5 hari
o Gejala demam yang sumer-sumer; kemungkinan terjadi hipotermia pada bayi muda di
o Apne yang mungkin muncul pada gejala awal dari penyakit (Orenstien, 2004).
Pada periode 2-5 hari, infeksi RSV menjalar dari saluran napas atas menuju saluran napas
bawah, dan penjalaran ini berujung pada perkembangan batuk, dispne, wheezing, dan kesulitan
makan.
Pada kasus berat dari bronkiolitis mungkin memburuk pada 48 jam dengan gejala dan
o Iritabilitas
o Kemungkinan sianosis
Pemeriksaan fisis pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya
tekipnea, takikardi, dan peningkatan suhu di atas 38,5 0C. Selain itu, dapat juga ditemukan
Obstruksi saluran respiratori bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan
gejala ekspirasi memanjang hingga mengi. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk
mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi intercostal. Selain itu,
dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi, dan bila
gejala menghebat, dapat terjadi apne, terutama pada bayi berusia < 6 minggu (Black, 2003).
Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya normal,
demikian pula dengan elektrolit. Analisis gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan sakit
Pada foto rontgen thoraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat (patchy
infiltrates), tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral
atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat
konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbar, air trapping,
diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior. Untuk menemukan RSV dilakukan
kultur virus, rapid antigen detection tests (direct immunoflouresence assay dan enzyme-linked
immunoabsorbent assay, ELISA) atau polymerase chain reaction (PCR), dan pengukuran titer
Beratnya penyakit ditemukan berdasarkan skala klinis. Digunakan berbagai skala klinisi,
misalnya Respiratory Distress Assesment Instrument (RDAI) atau modifikasinya yang mengukur
laju pernapasan/respiratory rate (RR), usaha napas, beratnya mengi, dan oksigenasi (Klassen,
1991).
1. Respiratory rate (RR) : dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat gerakan
dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali perhitungan dan diambil reratanya
2. Heart rate (HR) : diambil dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama
3. Saturasi O2 : diambil dari pulse oksimetri yang dibaca lima kali selama
4. Status aktivitas bayi (empat tingkat : tidur, tenang, rewel, dan menangis).
30
Skoring klinis berdasarkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson sebagai berikut :
2. Penggunaan otot bantu napas : skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi berat).
3. Mengi : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (mengi hebat inspiratorik dan ekspiratorik).
kongestif, dan edema paru, yang memiliki gambaran klinis menyerupai bronkiolitis. Selain itu,
pneumonia dengan berbagai sebab (aspirasi, virus, bakteri, dan mikoplasma) juga dapat
memberikan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang menyerupai bronkiolitis. Oleh
karena itu, untuk menentukan diagnosis bronkiolitis pada anak, penting untuk memperhatikan
epidemiologi, rentang usia terjadinya kasus, dan musim-musim tertentu dalam satu tahun (Shuh,
2002).
Respiratory syncytial virus adalah virus RNA rantai tunggal yang berukuran sedang (80-
350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian
penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel
dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel
Respiratory syncytial virus tersusun atas RNA rantai tunggal , terdiri atas 10 macam
mRNA. Masing-masing terdiri dari 10 jenis protein virus. Delapan daripadanya merupakan
protein structural dan dua non-struktural. Tujuh protein terbesar yang menyusun protein
struktural tersebut adalah protein L,G,F,N,P,M, dan SH. Protein non-struktural adalah protein
31
NS1 dan NS2. Tiga dari protein nonstruktual merupakan protein permukaan transmembrane yaitu
Agen infeksius utama yang terdapat pada RSV adalah (Giovanni, 2014):
- Virion, yaitu suatu nukleokapsul yang terdapat dalam selubung lipid, bersifat
biakan jaringan.
labil terhadap perubahan suhu dan paparan sinar ultraviolet. Pada suhu 550 C
virus akan segera mati, pada suhu 370C dapat bertahan hingga 24 jam dan
pada suhu 40 dapat bertahan dalam waktu 1 minggu. seperti yang ditunjukkan
Gambar 2.2 Gambaran struktur dari virus RSV dimana tersusun oleh virion yang merupakan
susunan nukleokapsul yang terdiri dari lipid. Pada RSV terdapat 2 protein yang berfungsi penting
pada infeksi yaitu protein F dan protein G (Gambar disadur dari www.studyblue.com )
menyebar dari saluran napas atas ke saluran napas bawah melalui penyebaran langsung pada
epitel saluran napas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV memengaruhi sistem saluran
napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi
gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas
menyebabkan terjadi udema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen
bronkiolus. Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus
Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar
yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran
napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi
sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena
33
kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran napas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta
spasme otot polos saluran napas (Giovanni, 2014). Resoiratory syncytial virus adalah virus
RNA berkapsul yang merupakan bagian dari genus pneumovirus dan famili dari
paramyxoviridae, termasuk dalam ordo Mononegavirus yang merupakan virus RNA. Ada 2
Seperti yang diketahui selain virus RSV, bronkiolitis juga disebabkan oleh karena virus
lain. Virus terbanyak yang merupakan penyebab dari bronkiolitis adalah Human
berspektrum luas mulai dari infeksi yang tidak bergejala hingga bronkiolitis derajat berat. Pada
tahun 2001, Van de Hoogen mengidentifikasi virus yang bersifat patogen pada manusia ini dari
sampel kultur pada saluran napas selama musim dingin. Setengah dari 28 human
metapneumovirus terisolasi pada kultur pasien berusia 1 tahun dan 96% terisolasi pada anak
Penelitian seroprevalensi menunjukkan bahwa 25% anak usia 6-12 bulan yang diteliti di
Belanda telah memiliki antibodi terhadap human metapneumovirus, dan pada usia 5 tahun, 100%
dari pasien menunjukkan bukti infeksi di waktu sebelumnya. Laporan terpisah dari seluruh dunia
mengatakan bahwa virus yang baru ditemukan ini bersifat sproadik dan seperti RSV, dipengaruhi
Human metapneumovirus merupakan virus RNA rantai tunggal negatif yang berasal dari
Struktur genom dari hMPV analog dengan virus RSV,akan tetapi virus hMPV memiliki gen non-
struktural (NS1 dan NS2) dan genom RNA antisense dari hMPV memiliki delapan open reading
frame yang sangat berbeda dibandingkan pada gen order pada RSV. Analisa filogenik dari
polymerase chain reaction (RT-PCR) yang mengamplifikasi secara langsung dari RNA
spesimen. Alternatif lain untuk mendeteksi HMPV secara efektif adalah dengan pendekatan
asam nukleat seperti tes antibodi imunoflouresen, antibodi monoklonal, dan antibodi poliklonal.
human pneumovirus lainnya, dalam hal ini adalah RSV. Human metapneumovirus memiliki situs
infeksi pada epitel saluran napas. Pasien biasanya asimtomatis, atau bergejala dengan derajat
keparahan ringan hingga bronkiolitis berat atau pneumonia. Lebih dari 20% balita dengan
bronkiolitis ditemukan dengan lebih dari satu agen infeksi saluran napas pada saat yang
bersamaan. Dari hal tersebut dikatakan berkaitan dengan metapneumovirus. Proses infeksi virus
dari human metapneumovirus belum diketahui dengan pasti, namun terdapat laporan pada tahun
2005 dimana didapatkan dengan ensepalitis dengan human metapneumovirus yang bersamaan
dengan penyakit paru, menguatkan dugaan kemungkinan virus sangat jarang beredar pada aliran
sub-famili dari paramyxovirinae. Virus parainfluenza terbagi dalam 5 serotipe HPIV-1, HPIV-2,
HPIV-3, HPIV-4a, dan HPIV-4b. virus ini biasanya berefek pada anak, dengan spektrum
patogenik yang luas termasuk di dalamnya infeksi saluran napas atas dan saluran napas bawah.
Virus ini bertanggung jawab terhadap 30-40% dari infeksi saluran napas akut pada anak.
Penyakit yang sering ditimbulkan adalah croup, bronkiolitis, dan pneumonia (Fry, 1990).
Pada virus ini juga menyebabkan peningkatan aktivasi dari eosinofil. Ketika virus
parainfluenza menginfeksi sel, hal yang terjadi pada sel adalah bertumbuhnya sitoplasma dan
nucleus serta menurunnya aktivitas mitosis dari sel host. Perunbahan lainnya adalah perubahan
pada vakuola dari basofil atau eosinofil, dan formasi dari sel giant yang berinti banyak (Senchi,
2013).
Infeksi dari virus ini akan berujung pada sekresi dalam jumlah yang besar dari sitokin
inflamasi seperti interferon alfa, IL-2, IL-6 dan TNF-α. Puncak dari sekresi ini berada pada hari
ke 7-10 setelah paparan pertama. Pada infeksi virus ini juga ditemukan peningkatan dari
RANTES dan protein inflamasi dari makrofag yang terdeteksi pada hidung penderita (Liu,
2013).
2.4.3 Adenovirus
Adenovirus merupakan virus DNA rantai ganda dengan ukuran 70-90 yang memiliki
kapsid icosahedral. Jalur infeksi dari virus ini umumnya ditentukan pada lokasi infeksi. Infeksi
saluran napas berasal dari inhalasi droplet, sementara infeksi pada gastrointestinal berasal dari
transmisi feko-oral. Terdapat tiga interaksi sel pada infeksi dari adenovirus. Pertama infeksi lisis,
36
terjadi ketika virus adenovirus masuk ke sel manusia melalui siklus replikasi yang berakibat pada
sitolisis, produksi sitokin, dan menginduksi respon inflamasi host. Kedua infeksi laten, dimana
mekanismenya sendiri masih belum diketahui, yang paling sering menimbulan infeksi yang
asimtomatik dari jaringan limfoid. Ketiga transformasi onkogenik yang telah diobservasi pada
tikus. Selama onkogenesis, siklus dari replikasi terpotong, dan DNA dari adenoviral berintegrasi
dan memiliki dinding sel yang tipis. Bakteri ini termasuk ke dalam kelas Mollucutes dan
termasuk mikroorganisme terkecil yang hidup di alam bebas. Organisme ini sulit untk
dibiakkan di laboratorium, masa inkubasi dari bakteri ini berkisar antara 2-3 minggu yang
sangat berbeda dibandingkan dengan influenza dan virus pneumonia yang dapat
dibiakkan dalam beberapa hari. Mycoplasma pneumonia ditemukan menjadi etiologi dari
bronkkiolitis pada anak yang lebih besar. Beberapa penelitian menemukan infeksi dari
Mycoplasma pneumonia ditemukan pada usia 6 bulan sampai 1 tahun dengan angka