CLIL Program Pengembangan Profesi Dan PR
CLIL Program Pengembangan Profesi Dan PR
FAUZIATUL HUSNA
1206188553
LINGUISTIK PENGAJARAN BAHASA
ISU-ISU MUTAKHIR DALAM PENGAJARAN BAHASA ASING
programnya (Fernandez, 2009). Dalam hal ini, perbedaan yang ada lebih
signifikan dibandingkan perbedaan antara CLIL dan CBI yang disebutkan di atas.
Perbedaan yang paling mendasar terletak pada fokus dari kedua konsep
pengajaran ini. Jika CLIL berfokus pada penguasaan bahasa dan konten subjek
yang diajarkan melalui pengajaran subjek tersebut menggunakan bahasa target,
ESP berfokus pada penguasaan bahasa target melalui pengajaran bahasa target
tersebut dengan menggunakan konteks dimana bahasa tersebut akan digunakan
(situasi target).
Program pemelajaran bahasa Inggris yang diikuti oleh karyawan
PT.Telkom dengan tujuan mampu menggunakan bahasa tersebut dengan baik
dalam konteks pekerjaan mereka merupakan satu contoh program ESP. Dalam
proses ini, topik-topik mengenai ketelomunikasi memang tetap dijadikan sebagai
materi ajar di dalam kelas, namun topik-topik tersebut telah dipahami oleh para
pemelajar dan bukanlah salah satu dari tujuan pemelajaran.
Konsep pengajaran CLIL, CBI dan ESP merupakan konsep yang sangat
banyak diterapkan dewasa ini karena karakteristiknya yang sangat komunikatif
yaitu dengan menggabungkan pemelajaran bahasa dengan konten-konten tertentu
yang relevan bagi pemelajarnya. Namun disamping beberapa fitur-fitur yang
sama, ketiga konsep pengajaran ini juga memiliki berbagai poin yang
membedakannya satu sama lain.
Referensi:
Coyle, D., Hood, P., dan Marsh, D. 2010. CLIL: Content and Language
Integrated Learning. Cambridge: Cambridge University Press.
Fernandez, D.J. 2009. CLIL at the university level: Relating language teaching
with and through content teaching. Latin American Journal of Content
5
pemelajaran. Rapat kerja ini terdiri dari dua sesi dimana sesi pertama digunakan
untuk membahasa soal-soal yang akan dibahas di kelas selama satu semester
sedangkan sesi kedua digunakan untuk kegiatan micro-teaching. Dalam kegiatan
micro-teaching ini para pengajar mendiskusikan berbagai metode pengajaran
sekaligus bersama-sama mencari solusi untuk berbagai permasalahan yang
ditemui pada semester sebelumnya. Sesi kedua ini cenderung berlangsung lebih
lama dan sengit karena tak jarang para pengajar saling beradu argumen mengenai
berbagai topik seputar proses pemelajaran di kelas. Menurut saya, program
sumatif semacam ini memang seharusnya dilakukan dan hasil yang didapat pun
cukup memuaskan. Akan tetapi, jika dilihat dari kacamata konsep CPD yang
sesungguhnya, program ini tentunya masih harus dibarengi dengan pelaksanaan
program pengembangan profesi lain yang lebih bersifar formatif yang
berlangsung sepanjang semester.
Dalam hal ini saya merancang sebuah program pengembangan profesi
yang berbasis self-reflective evaluation. Para pengajar Bahasa Inggris akan
diharuskan untuk membuat sebuah jurnal mengajar yang merekam setiap proses
pemelajaran yang merela laksanakan lengkap dengan berbagai isu yang muncul
selama proses tersebut. Para pengajar dibebaskan untuk menyusun sendiri jurnal
mengajar sesuai dengan pilihan masing-masing. Selanjutnya, pertemuan besar
antar sesama pengajar bahasa Inggris untuk membahas jurnal ini akan dilakukan
setiap dua minggu sekali. Dalam pertemuan inilah, pemelajar saling memberikan
komentar mengenai masalah yang dihadapi ataupun meminta pendapat rekan
sesama pengajar lain. Program ini akan dipimpin oleh koordinator Bahasa Inggris
yang selama ini juga memimpin program rapat kerja setiap semester. Dengan
demikian, para pengajar akan termotivasi untuk datang karena koordinator ini
sendiri merupakan seseorang yang sangat disegani dan berpengaruh dalam
institusi ini.
Program ini akan sangat menguntungkan pengajar dalam aspek waktu dan
juga menjaga self-esteem. Pertama, karena jurnal semacam ini dapat ditulis secara
individual dan hanya didiskusikan bersama dengan pengajar lain dalam pertemuan
yang diadakan sekali dalam dua minggu, pengajar tidak harus menyisihkan terlalu
banyak waktu. Hal ini menjadi penting karena sebagian besar pengajar paruh
9
waktu di BKB Nurul Fikri memiliki kesibukan lain di luar mengajar sedang
pengajar penuh memiliki beban mengajar yang sangat banyak. Selain itu, karena
mereka tidak dinilai dan diobservasi oleh pihak lain, para pengajar tidak akan
merasa tertekan dalam mengajar sehingga konsentrasi mengajar tetap dapat
dipertahankan. Hal ini perlu menjadi perhatian karena berbagai penelitian telah
membuktikan bahwa observasi pihak lain dalam proses pemelajaran akan
mengganggu konsentrasi pengajar sekaligus memberikan tekanan yang membuat
pengajar merasa tidak nyaman.
Rasionalisasi lain dari program ini adalah untuk menyesuaikan dengan
bentuk program pengambangan profesi yang telah ada selama ini. Dengan sebuah
program yang memiliki berbagai kesamaan seperti ini, pengajar akan lebih siap
menjalankannya sehingga hasil dari program ini dapat dilihat dengan lebih cepat
mengingat mereka tidak memerlukan proses pengenalan dan pembiasaan yang
panjang. Bagaimanapun juga, sebuah program hanya akan membuahkan hasil jika
pengajar yang terlibat di dalamnya telah mengenal dan mampu menjalankan
program tersebut dengan baik. Selain itu, seperti dikatakan dalam petunjuk
pelaksanaan program pengembangan profesi dari Institutu for Learning (IFL),
sebuah program akan efektif jika teridiri dari kegiatan yang relevan terhadap
konteks pengajaran pengajar. Pertanyaan yang harus dijawab saat ini adalah
seperti apa sistem asesmen atau evaluasi yang tepat sehingga efekifitas program
ini dapat diukur.
Dalam setiap program pengembangan profesi, evaluasi keberhasilan
program adalah aspek yang sangat penting untuk memastikan sejauh mana
program tersebut telah memberikan hasil. Hasil evaluasi ini juga menjadi dasar
para pengambil keputusan disuatu lembaga untuk menindak lanjuti program ini;
apakah akan diteruskan atau justru diganti dengan program lain jika hasilnya
mengecewakan. Pada program ini, sistem evaluasi yang akan digunakan adalah
dengan melihat perkembangan kemampuan pemelajar dalam TO (Try-Out) yang
diadakan setiap bulan. Selain itu, sebuah kuesioner yang berisi penilaian terhadap
kinerja pengajar akan diberikan kepada pemelajar pada awal dan akhir semester.
Kuesioner ini diharapkan mampu menunjukkan terjadinya peningkatan kualitas
10
Referensi
Institute for Learning. 2009. Guidelines for your continuing professional
development. Retrieved from www.ifl.ac.uk
terpercaya bagi pengajar baru untuk dapat mengatur kelas dan menyampaikan
materi pelajaran dengan baik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi kelas yang dihadapi pengajar baru
berbeda dari situasi yang dihadapi pengajar senior. Berbagai aspek kelas dan
pemelajar akan selalu beragam dan menjadikan setiap kelas pemelajaran bahasa
asing tidak pernah sama. Akan tetapi setidaknya informasi-informasi ini dapat
menjadi pegangan awal bagi pengajar baru untuk kemudian dimodifikasi sesuai
dengan karakteristik dan kebutuhan spesifik pemelajar yang mereka hadapi.
Kenyataannya, seperti terungkap dalam penelitian yang dilakukan Cumming
(2007), para pengajar senior yang berpengalaman cenderung memiliki pandangan
yang sama dalam hal konsep bagaimana mereka memandang pemelajaran bahasa
asing sebagai suatu bidang ilmu. Perbedaan yang ada terletak pada aplikasi dari
berbagai metode pengajaran yang dipengaruhi oleh kurikulum dan tujuan
pemelajaran.
Selanjutnya, jurnal mengajar yang mencakup berbagai masalah yang
dihadapi serta usaha yang dilakukan untuk menyiasatinya dapat menjadi dasar
penyusunan sebuah korpus pengajaran. Dengan membuat sebuah jurnal mengajar,
pengajar baru akan dapat melakukan proses refleksi sehingga dapat terus
memperbaiki kompetensi mereka dalam mengajar. Selanjutnya, dengan menyusun
korpus mengenai permasalahan dalam pemelajaran, pengajar baru tidak hanya
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya sendiri melainkan memiliki
kesempatan untuk ikut berkontribusi dalam bidang pemelajaran bahasa asing pada
tingkat yang tinggi karena data-data yang terdapat dalam korpus tersebut tentunya
dapat dimanfaatkan oleh pengajar lain.
Program penyusunan korpus bagi pengajar baru ini pada hakikatnya juga
memanfaatkan keunggulan mereka sebagai kalangan yang lebih aware terhadap
kemajuan teknologi dan mampu menggunakannya. Dalam sebuah penelitian yang
dilaksanakan dengan calon pengajar sebagai subjek penelitian, Ozbilgin dan
Neufeld (2013) menjelaskan berbagai tahapan dalam pembuatan korpus yang
cukup sederhana bagi para pengajar baru. Di Indonesia sendiri, masih jarang
pengajar yang mampu menciptakan korpus sendiri sehingga dengan mengikuti
14
Referensi
Ashcraft, N. and Ali, S. (2013). A course on continuing professional development.
In Edge, J. and Mann, S. Innovations in pre-service education and
training for Engish language teachers (pp. 147-162). London:British
Council 2013 Brand and Design.
Özbilgin, A. and Neufeld, S. (2013). iCorpus: Making corpora meaningful for pre-
service teacher education. In Edge, J. and Mann, S. Innovations in pre-
service education and training for Engish language teachers (pp. 181-
200). London:British Council 2013 Brand and Design