Anda di halaman 1dari 7

Tentang Kematian; Alam

Kubur/Alam Barzakh
Adzab Kubur yang Menakutkan atau Nikmat
Kubur yang Menyenangkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala di awal surat Al-Baqarah menyebutkan sifat hamba-
hamba-Nya yang bertakwa bahwa mereka beriman kepada yang ghaib serta
memiliki amalan-amalan yang nampak maupun tidak nampak. Karena kata takwa
mencakup semua hal itu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “(Yaitu) mereka yang beriman kepada


yang ghaib.” (Al-Baqarah: 3)

Karena, hakikat iman itu adalah pembenaran secara total terhadap segala yang
diberitakan oleh para rasul (dalam perkara yang ghaib) yang mengandung
konsekuensi ketaatan seluruh anggota tubuh. Sehingga bukanlah termasuk iman
yang benar, keyakinan terhadap hal-hal yang hanya bisa disaksikan oleh panca
indera saja. Karena tidak akan terbedakan antara yang mukmin dan yang kafir
dalam perkara tersebut. Hanya saja permasalahan iman itu ialah terhadap perkara
ghaib, yang kita tidak bisa melihat dan merasakannya dengan panca indera yang
lainnya.

Kita beriman terhadap yang ghaib itu hanyalah karena adanya berita dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam semata. Inilah
iman yang akan membedakan antara orang yang mukmin dengan orang kafir.
Sehingga, seorang mukmin akan beriman kepada seluruh perkara yang diberitakan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sama saja baginya, apakah dia mampu mengetahuinya
dengan panca inderanya atau tidak. Sama saja baginya, apakah akalnya mampu
menjangkaunya atau tidak.

Sikap seorang mukmin yang demikian ini berbeda dengan sikap orang-orang
zindiq (munafik) yang mendustakan perkara-perkara ghaib karena telah rusak
akalnya. Mereka mendustakan perkara-perkara ghaib tersebut karena akalnya
tidak mampu menjangkaunya. Rusaklah akalnya dan kacaulah pemikirannya.
Sedangkan akal seorang mukmin menjadi bersih dan suci dengan bimbingan
wahyu ilahi.

Termasuk beriman dengan perkara ghaib adalah beriman dengan seluruh perkara
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
beritakan berupa berbagai peristiwa yang telah terjadi maupun yang akan terjadi.
Demikian pula hal-hal yang akan terjadi di akhirat nanti. (Taisir Al-
Karimirrahman, hal. 40)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Termasuk beriman
kepada hari akhir adalah

beriman dengan seluruh perkara yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan
berupa hal-hal yang akan terjadi setelah kematian. Sehingga, Ahlus Sunnah
beriman kepada adanya fitnah (ujian pertanyaan) di kubur dan azab kubur.”

Dalil-dalil dari Al-Qur’an tentang Azab Kubur

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya azab kubur dari Al-Qur’an adalah
sebagai berikut:

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka Allah memeliharanya dari


kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab
yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang,
dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): ‘Masukkanlah
Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras’.” (Ghafir: 45-46)

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Ayat ini adalah dalil yang paling kuat
bagi Ahlus Sunnah untuk menetapkan adanya azab kubur, yaitu firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala: “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan
petang.” (Ghafir: 46)

Yakni, diperlihatkan kepada mereka neraka di pagi dan sore hari.

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka biarkanlah mereka hingga


mereka menemui hari (yang dijanjikan kepada) mereka yang pada hari itu
mereka dibinasakan, (yaitu) hari ketika tidak berguna bagi mereka sedikit pun
tipu daya mereka dan mereka tidak ditolong. Dan sesungguhnya untuk orang-
orang yang zalim ada azab selain itu. Tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.” (Ath-Thur: 45-47)

Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullahu berkata: “Firman Allah Subhanahu


wa Ta’ala ini, kemungkinan yang dimaksud adalah mereka diazab di dunia
dengan dimatikan atau yang lainnya. Kemungkinan (yang kedua) mereka
diazab di alam barzakh. Makna yang kedua ini yang lebih nampak jelas,
karena kebanyakan mereka mati dalam keadaan belum diazab di dunia. Atau
kemungkinan (ketiga) maksudnya adalah umum, yaitu azab di dunia dan di
akhirat (termasuk azab kubur).” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal.
612-613)

3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Nanti mereka akan Kami siksa dua
kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (At-
Taubah: 101)

Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami rahimahullahu berkata: “Ibnu


Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Abu Malik, Ibnu Juraid, Al-Hasan Al-Bashri,
Sa’id, Qatadah, dan Ibnu Ishaq rahimahumullah, mereka mengatakan (yang
kesimpulannya) bahwa yang dimaksudkan dengan ayat tersebut adalah azab di
dunia dan azab di kubur. Kemudian mereka dikembalikan ke azab yang besar
yaitu neraka jahannam.” (Ma’arijul Qabul, 2/719)

4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Kami merasakan


kepada mereka sebagian azab yang dekat sebelum azab yang lebih besar (di
akhirat). Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (As-Sajdah:
21)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Al-Bara’ bin ‘Azib, Mujahid,


dan Abu Ubaidah berkata bahwa yang dimaksud adalah azab kubur.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 3/405)

Dalil-dalil dari As-Sunnah

Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami rahimahullahu berkata: “Dalil-dalil


dari As-Sunnah yang menunjukkan adanya azab kubur sungguh telah mencapai
derajat mutawatir, karena para imam As-Sunnah, para periwayat hadits dan para
pakarnya (kritikus, penelitinya) dari sejumlah besar kalangan sahabat (telah
meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Di antaranya Anas
bin Malik, Abdullah bin Abbas, Al-Bara’ bin Azib, Umar bin Al-Khaththab,
Abdullah bin Umar, Aisyah, dll. (Ma’arijul Qabul, 2/721)

1. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda; “Dan aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur.”
(Muttafaqun ‘alaih)

Dalam riwayat Muslim, dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau kalian tidak saling menguburkan (jenazah),
sungguh aku akan meminta kepada Allah agar memperdengarkan sebagian
azab kubur yang aku dengar kepada kalian.”

2. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam melewati dua kuburan. Beliau bersabda: “Sesungguhnya keduanya
sedang diazab, dan tidaklah keduanya diazab disebabkan suatu perkara yang
besar (menurut kalian). Salah satunya tidak menjaga diri dari percikan air
kencing, sedangkan yang lain suka mengadu domba antara manusia.” Beliau
lalu mengambil sebuah pelepah kurma yang masih basah, kemudian beliau
belah menjadi dua bagian dan beliau tancapkan satu bagian pada masing-
masing kuburan. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau
melakukan hal ini?” Beliau menjawab: “Mudah-mudahan diringankan azab
tersebut dari keduanya selama pelepah kurma itu belum kering.” (Muttafaqun
‘alaih)

3. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: Aku masuk kepada seorang
wanita Yahudi, kemudian dia menceritakan azab kubur, maka aku
mendustakannya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk
kepadaku, aku pun menceritakan kejadian itu kepada beliau. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku di
tangan-Nya, sungguh mereka akan diazab di kubur mereka, sehingga hewan-
hewan pun mendengarkan jeritan-jeritan mereka.” (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari azab kubur dan


memerintahkan umatnya untuk berlindung darinya. Dari Aisyah radhiyallahu
‘anha, dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
azab kubur, maka beliau menjawab: “Ya. Azab kubur itu benar adanya.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Setelah kejadian tersebut, aku tidak
pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat
kecuali berlindung dari azab kubur.” (HR. Al-Bukhari no. 1049)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: Apabila salah seorang kalian bertasyahud, hendaklah dia
meminta perlindungan dari empat perkara, hendaknya dia berdoa: Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab neraka jahannam, azab kubur,
fitnah kehidupan dan kematian, serta dari kejelekan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.”
(Muttafaqun ‘alaih).

Keutamaan Mengingat Mati


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati
mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka),
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-
Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang
yang fasik.” (Al-Hadid: 16)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau berkata: “Perbanyaklah mengingat hal yang akan memutuskan berbagai
kenikmatan.” –Yaitu maut. (HR. Ashabus Sunan, dishahihkan Al-Albani dalam
Al-Irwa’)

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ziarah kubur dan


menganjurkannya, karena ziarah kubur akan mengingatkan pada kematian.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Dahulu aku melarang kalian dari ziarah kubur, maka
(sekarang) berziarahlah kalian ke kubur.” (HR. Muslim)

Dalam sebuah riwayat: “Maka sesungguhnya ziarah kubur itu akan mengingatkan
kita kepada akhirat.”

Di antara faedah yang akan didapatkan oleh orang-orang yang senantiasa


mengingat mati adalah:

1. Melembutkan hatinya untuk bersegera memohon ampun atas dosa-dosanya


dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Rabbmu serta kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi
yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali ‘Imran: 133)

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat


yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi
dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka
memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: ‘Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’.”
(At-Tahrim: 8)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa


sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
menerima taubat seorang hamba selama ruhnya belum sampai di
tenggorokan.” (HR. At-Tirmidzi)

Penyesalan setelah datangnya kematian tidaklah akan mendatangkan kebaikan


dan keberuntungan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang
kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Rabbku,
kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap
yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah
perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding
sampai hari mereka dibangkitkan.” (Al-Mu’minun: 99-100)

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan bertaubatlah


kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.” (An-Nur: 31)

2. Membangkitkan semangatnya untuk beribadah sebagai bekal untuk


menghadapi kehidupan setelah kematian, dan itulah sebaik-baik perbekalan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan sembahlah Rabbmu sampai


datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (Al-Hijr: 99)

“Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu
memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan
yang paling besar pahalanya.” (Al-Muzzammil: 20)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersemangatlah kamu


untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan
kepada Allah, serta janganlah kamu malas.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)

3. Menyebabkan hati memiliki sikap qana’ah (merasa cukup) terhadap dunia.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Tetapi kamu (orang-orang kafir)
memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik
dan lebih kekal.” (Al-A’la: 16-17)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Didatangkan orang yang


paling nikmat hidupnya di dunia dari kalangan penghuni neraka pada hari
kiamat, kemudian dia dicelupkan ke dalam neraka sekali celupan. Kemudian
dia ditanya: ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan?
Apakah pernah terlintas pada dirimu kenikmatan?’ Maka dia menjawab:
Tidak, demi Allah, wahai Rabbku. Didatangkan pula orang yang paling susah
hidupnya di dunia namun dia dari kalangan penghuni surga, kemudian
dicelupkan ke dalam surga sekali celupan. Kemudian dia ditanya: ‘Wahai
anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesusahan? Apakah pernah terlintas
pada dirimu kesempitan hidup?’ Maka dia menjawab: ‘Tidak, demi Allah,
wahai Rabbku. Tidak pernah terlintas padaku kesempitan dan aku tidak
pernah melihat kesusahan’.” (HR. Muslim)

Ad-Daqqaq rahimahullahu berkata: “Barangsiapa banyak mengingat mati


maka dia akan dimuliakan dengan tiga perkara: segera bertaubat, hatinya
qana’ah terhadap dunia, dan semangat beribadah. Sedangkan barangsiapa
yang melupakan mati, dia akan dibalas dengan tiga perkara: menunda-nunda
taubat, hatinya tidak qana’ah terhadap dunia, dan malas beribadah. Maka
ingat-ingatlah kematian, sakaratul maut, dan susah serta sakitnya, wahai orang
yang tertipu dengan dunia!” (At-Tadzkirah, hal. 10)

4. Meringankan beban musibah yang menimpa dirinya, seperti penyakit,


kefakiran, kezaliman, dan kesempitan hidup yang lain di dunia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seseorang


mengingat mati pada waktu lapang hidupnya, kecuali akan menjadikan dia
merasa sempit (umurnya terasa pendek dan semakin dekat ajalnya). Dan
tidaklah (dia mengingat mati) pada waktu sempit hidupnya (karena sakit,
fakir, dll) kecuali akan menjadikan dia merasa lapang (karena mengharapkan
balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebab keikhlasan dan
kesabaran ketika menghadapinya).” (HR. Ibnu Hibban, Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu mengatakan dalam Al-Irwa’ [no. 682] bahwa sanadnya hasan)

Seseorang tidaklah diperbolehkan mengharapkan kematian disebabkan


musibah yang menimpanya, kecuali karena takut terfitnah agamanya. Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Janganlah salah seorang kalian mengharap-harapkan
kematian. Karena mungkin dirinya orang yang baik, maka mudah-mudahan
bertambah kebaikannya. Atau mungkin dirinya orang yang berbuat dosa,
barangkali dia akan minta diberi kesempatan (bertaubat).” (Muttafaqun ‘alaih,
dan ini lafadz Al-Bukhari rahimahullahu)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah salah seorang kalian mengharap-
harapkan kematian karena suatu kesempitan hidup yang menimpanya. Namun
apabila dia harus melakukannya, hendaknya dia berdoa: ‘Ya Allah,
hidupkanlah aku selama kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku
bila kematian itu lebih baik bagiku’.” (Muttafaqun ‘alaih)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata: “Apabila seseorang


ditimpa musibah, dia tidak boleh mengharap-harapkan kematian, karena hal
ini adalah kesalahan dan kebodohan yang ada pada dirinya, serta kesesatan
dalam agama. Karena, apabila dia hidup, mungkin dia adalah orang yang baik
sehingga akan bertambah kebaikannya. Atau mungkin dia adalah orang yang
berbuat kejelekan sehingga dia sadar dan bertaubat darinya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan bila dia mati dalam keadaan yang paling
jelek (kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari yang
demikian). Oleh karena itulah kita katakan: Janganlah engkau mengharap-
harapkan kematian, karena hal ini adalah sikap orang yang bodoh. Sikap yang
demikian ini adalah sikap yang sesat dalam agama, karena dia telah
melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan mengharap-harapkan kematian adalah bukti ketidakridhaannya
terhadap ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal seorang mukmin
harus ridha terhadap takdir.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/239-240)

Bagaimanapun keadaan seorang mukmin, baik dalam keadaan lapang maupun


sempit, senang maupun susah, sehat maupun sakit, bahkan tatkala dia telah
merasakan bahwa ajalnya telah dekat, dia wajib untuk tetap berbaik sangka
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mewasiatkan: “Janganlah salah seorang kalian mati kecuali dalam
keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR.
Muslim)

Pada akhirnya, ya Allah hidupkanlah dan wafatkanlah kami di atas Islam dan As-
Sunnah. Allahumma taqabbal minna, innaka sami’ud du’a. (asysyariah.com)

Anda mungkin juga menyukai