Anda di halaman 1dari 57

1

ACARA I
PENGAMATAN SEL

PENDAHULUAN

Sel merupakan unit struktural terkecil yang menyusun tubuh suatu


organisme. Sel dapat berupa sel prokariotik dan eukariotik. Pada sel prokariotik
tidak terdapat inti dan tidak mempunyai organel sel yang jelas, sedangkan pada
sel eukariotik inti dan organel-organel selnya jelas serta lengkap, seperti retikulum
endoplasma, mitokondria, badan golgi, lisosom dan kloroplas. Sel hewan dan
tumbuhan merupakan sel eukariotik, namun keduanya memiliki perbedaan. Pada
sel hewan tidak ditemukannya kloroplas dan dinding sel, sedangkan pada sel
tumbuhan terdapat dinding sel yang merupakan ciri khas dari sel tumbuhan,
namun sel tumbuhan tidak memiliki lisosom dan sentriol.

TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengamati sel epitel bawang merah
dan mengetahui bagian-bagian sel dari bawang merah. Manfaat dari praktikum ini
adalah dapat meningkatkan pemahaman tentang sel dan mengetahui bagian –
bagian sel umbi bawang merah.

TINJAUAN PUSTAKA

Sel merupakan unit struktural dan fungsional terkecil pada makhluk hidup.
Sel sebagai unit struktural terkecil karena sel merupakan penyusun yang mendasar
bagi tubuh makhluk hidup. Sel tersusun dari membran plasma, intisel (nukleus)
dan sitoplasma. Sitoplasma merupakan cairan yang berfungsi sebagai bengkel sel
karena didalamnya berlangsung sebagian besar proses kimiawi antar sel
(Novitriani et al., 2013). Nukleus berfungsi mengatur proses penting yang terjadi
didalam sel (Karmana, 2008).
2

Sel memiliki semua kemampuan zat hidup, termasuk pertahanan diri dan
perkembangbiakan (Isnaeni, 2006). Selain itu, sel juga merupakan unit hereditas
atau pewaris yang menurunkan sifat genetis dari satu generasi kegenerasi
berikutnya. Sebagia nmakhluk hidup tersusun atas satu sel (uniseluler) dan
sebagian lain tersusun atas banyak sel (multiseluler). Sel memiliki ukuran yang
sangat kecil. Sel tubuh adalah sel mikroskopik yang berdiameter 10-30 µm
(Sekadi, 2007).
Bawang merah (Allium ascalonicum L) merupakan salah satu komoditas
tanaman hortikultura yang dapat dibudidayakan dengan cara vegetatif atau
generatif. Perbesaran umbi pada bawang merah disebabkan karena pembesaran sel
bukan karena pembelahan sel (Setiyowati et al., 2010). Pertumbuhan pada
tumbuhan dasarnya karena baiknya pertumbuhan akar sehingga mampu menyerap
hara sehingga mendukung untuk proses pembelahan sel atau pembesaran sel
untuk pertumbuhan tanaman. Hal terpenting dari pertumbuhan suatu tanaman
adalah pembesaran dan pembelahan pada sel (Davies, 2004).
Terdapat dua jenis utama sel yaitu sel prokariotik dan sel eukariotik yang
dapat dibedakan berdasarkan organisasi strukturalnya (Campbell, 2002). Sel
eukariotik jauh lebih kompleks daripada sel prokariotik. Pada sel eukariotik, DNA
tersusun bersama beberapa jenis protein tertentu menjadi kromosom yang ada di
nukleus. Sedangkan pada sel prokariotik lebih sederhana karena DNA tidak
terpisah dari bagian sel lain yang ada di nukleus. Sel prokariotik adalah kelompok
makhluk hidup yang nukleusnya tidak diselubungi oleh membrane dan DNAnya
tidak berada dalam kromosom sedangkan sel eukariotik merupakan kelompok
makhluk hidup yang nukleusnya diselubungi oleh membrane dan DNAnya
tersusun rapi di dalam kromosom (Suhartati et al., 2005). Sel prokariotik tidak
memiliki organel sitoplasmik seperti sel eukariotik. Membran sel dapat membelah
dan mampu melakukan penambahan ukuran pada sel serta memacu pembentukan
jaringan pada tumbuhan (Kusumaningrum, 2007).
3

MATERI DAN METODE

Praktikum pengamatan sel dilakukan pada hari kamis, 15 Oktober 2015


pukul 14.00 – 15.00 WIB di Laboratorium Fisiologi dan Pemuliaan Tanaman,
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
Alat yang digunakan dalam pengamatan sel adalah mikroskop dengan
kamera berfungsi untuk mengamati objek, gelas objek berfungsi untuk
meletakkan objek yang akan dilihat di bawah mikroskop, gelas penutup berfungsi
untuk menutup objek yang telah diletakkan di atas gelas objek, pipet tetes
berfungsi untuk memindahkan cairan dari wadah yang satu kewadah yang lain
dalam jumlah yang sangat kecil, sedangkan silet/pisau berfungsi untuk menyayat
umbi bawang merah. Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah umbi
bawang merah sebagai objek pengamatan sel. Metode yang dilakukan adalah
dengan membuat irisan melintang pada umbi bawang merah secara tipis,
mengambil irisan tersebut dan meletakkan diatas gelas objek lalu menetesi air dan
menutupnya dengan gelas penutup, kemudian mengamati dibawah mikroskop.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh gambar sebagai


berikut :

Ilustrasi 1. Gambar sel umbi bawang merah (pembesaran 10 x10 kali)


4

Keterangan : 1. Sitoplasma
2. Dinding Sel
3. Inti Sel (Nukleus)

Berdasarkan pengamatan sel bawang merah dibawah mikroskop dengan


pembesaran 100x, dapat terlihat bagian sel seperti inti sel, dinding sel dan
sitoplasma. Bagian sel yang terlihat di bawah mikroskop memiliki fungsinya
masing-masing. Dinding sel tampak seperti sekat pemisah antar sel bawang merah
dan berfungsi dalam absorpsi serta membrane sekresi sel. Dinding sel juga
berperan dalam pembelahan sel. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Kusumaningrum (2007) yang menyatakan bahwa membran sel dapat membelah
dan mampu melakukan penambahan ukuran pada sel serta memacu pembentukan
jaringan pada tumbuhan. Membrane sel yang mengalami pembesaran
menyebabkan besarnya umbi pada bawang merah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Setiyowati et al. (2010) yang menyatakan bahwa pembesaran sel sangat
berpengaruh bagi pertumbuhan tanaman.
Sitoplasma adalah cairan sel tempat organel-organel sel. Hal ini sesuai
dengan pendapat Novitriani (2007) yang menyatakan bahwa sitoplasma
merupakan cairan yang berfungsi sebagai bengkel sel karena didalamnya
berlangsung sebagian besar proses kimiawi antar sel. Inti sel berfungsi dalam
mengontrol kegiatan sel dengan cara menentukan protein mana yang diproduksi
oleh sel dan kapan diproduksinya, nukleus adalah bagian sel yang paling
mendominasi di dalam bagian sel eukariotik. Hal ini sesuai dengan pendapat
Karmana (2008) yang menyatakan bahwa nukleus berfungsi mengatur proses
penting yang terjadi didalam sel.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa


sel umbi bawang merah yang diamati dibawah mikroskop menunjukkan terdapat
adanya susunan sel yang terdiri dari inti sel (nukleus) yang berfungsi mengatur
5

semua proses kegiatan sel, dinding sel sebagai penjaga bentuk sel, dan cairan
sitoplasma sebagai aktivitas kimiawi antar sel.
Saran untuk praktikum pengamatan sel ini adalah sebaiknya dalam
menyayat bawang merah yang akan dijadikan objek penelitian lebih teliti lagi agar
hasil yang didapat sesuai yang diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes S, Suryadi. 2005. Simulasi Identifikasi Daerah Coding pada


Deoxyribonucleic Acid dengan Menggunakan Discete Fourier Transform.
Jurnal Elektro Trisakti 4(2) : 45 – 60.

Campbell, et al. 2002. Biologi Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta : Erlangga.

Carorra, A. F., K. P. Wicaksono dan Y. B. S. Heddy. 2014. Pengaruh Pemberian


Bioaktivator Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bawang Merah
(Allium Ascolanium L). Jurnal Produksi Tanaman. 2(5) : 434 – 442.

Davies, P. J. 2004. Plant Hormone. Prentice-Hall. Inc. New York.

Ishnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Jurgiel, G dan Janina, S. 2008. The Effect of Nitrogen Fertilization on Content of


Microelements is selected onion. J. Elementol. 13(2) : 227 – 234.

Karmana, O. 2008. Biologi. Grafindo Media Pratama. Bandung.

Kusumaningrum, I., Hastuti, R. B., Haryanti, S. 2007. Pengaruh Perasan


Sargassum Crassifolium Dalam Konsentrasi yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Gyicline Max (L) Merill). Buletin
Anatomi dan Fisiologi. 15(2) : 13 – 17.

Noviantrini, K., Kusmiati, M. 2013. Efektifitas Eceng Gondok (Eichormia


crassipes) Dalam Menyerap Logam Berat Timbal (Pb). Jurnal Kesehatan
Bakti Tunas Husada. 9(1) : 97 – 100.

Sekadi. 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Setiyowati., Haryanti, S., Hastuti, R. B. 2010. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi


Pupuk Organik Cair Terhadap Produksi Bawang Merah (Allium
Ascolanium L). Bioma. 12(2) : 44 – 48.
6

Sumadi dan Marianti. 2007. Biologi Sel. Yogyakarta: Graha Ilmu.


7

ACARA 2
JARINGAN TUMBUHAN MONOKOTIL DAN DIKOTIL

PENDAHULUAN

Jaringan adalah sekumpulan sel yang memiliki bentuk dan fungsi yang
sama. Jaringan-jaringan yang berbeda dapat bekerja sama dalam suatu fungsi
fisiologis yang sama untuk membentuk organ. Organ-organ tersebut tersusun dari
bermacam-macam jaringan. Berdasarkan kemampuan sel-selnya untuk membelah,
jaringan pada tumbuhan dapat dibedakan menjadi jaringan meristem dan jaringan
permanen. Jaringan meristem adalah jaringan yang terdiri dari sekelompok sel
tumbuhan yang aktif membelah. Menurut asal pembentukannya jaringan meristem
dapat dikelompokkan menjadi promeristem, meristem primer dan meristem
sekunder. Menurut letaknya jaringan meristem dibedakan menjadi meristem
apikal, interkalar dan lateral. Jaringan permanen adalah jaringan yang bersifat
non-meristematik, yaitu tidak tumbuh dan berkembang lagi. Jaringan ini dibentuk
dari proses diferensiasi sel-sel meristem primer dan sekunder. Menurut fungsinya
jaringan permanen dapat dikelompokkan menjadi jaringan epidermis, jaringan
parenkim, jaringan penyokong, jaringan pengangkut dan jaringan gabus.
Tumbuhan dapat dibedakan menjadi tumbuhan dikotil dan tumbuhan monokotil
dan susunan jaringan pada organ tumbuhan tersebut mempunyai ciri yang
berbeda.

TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan mengetahui bagian-bagian


jaringan tumbuhan dari akar dan batang tumbuhan dikotil maupun monokotil
melalui pengamatan preparat dengan mikroskop.
Manfaat dari praktikum ini adalah menambah pengetahuan tentang jaringan
beserta bagian-bagiannya serta mengetahui perbedaan antara tumbuhan dikotil
dan monokotil.
8

TINJAUAN PUSTAKA

Jaringan adalah struktur fundamental penyusun suatu organ yang memiliki


bentuk dan fungsi yang sama. Jaringan merupakan organisasi sel dengan bentuk
dan fungsi yang sama yang membentuk sistem organ (Mulyani, 2006). Pada
tumbuhan, jaringan dibedakan menjadi dua berdasarkan kemampuan selnya
membelah yaitu jaringan meristem dan jaringan permanen. Jaringan meristem
adalah jaringan muda yang aktif membelah dan jaringan permanen atau jaringan
dewasa adalah jaringan yang berasal dari pembelahan dan diferensiasi jaringan
meristem primer dan sekunder (Abdurahman, 2008).
Tumbuhan berpembuluh dibedakan menjadi dua yaitu tumbuhan dikotil dan
monokotil. Terdapat perbedaan antara tumuhan monokotil dan dikotil. Tumbuhan
monokotil disebut tumbuhan berkeping satu karena memiliki biji yang
berkecambah dengan satu daun lembaga dengan akar serabut, pertulangan daun
sejajar, jumlah mahkota bunga kelipatan tiga, dan batang tidak bercabang
sedangkan tumbuhan dikotil memiliki dua daun lembaga dengan akar tunggang,
pertulangan daun menyirip dan menjari, batang bercabang dan berkambium dan
mahkota bunga kelipatan dua, empat atau lima (Karismayanti dan Mansur, 2014).
Tumbuhan monokotil atau tumbuhan berkeping satu tidak berkambium (Rahardja
dan Wahyu, 2007). Tumbuhan dikotil mempunyai kambium yang dapat berfungsi
untuk penebalan akar dan membentuk xylem serta floem (Soedjadi, 2005).
Salah satu persamaan yang ada pada kedua jenis tumbuhan ini adalah
epidermis yang berada pada bagian luar. Epidermis adalah suatu lapisan tunggal
yang berfungsi untuk menutupi dan melindungi semua bagian tumbuhan
didalamnya (Campbell et al., 2003). Perbedaan kedua jenis tumbuhan ini adalah
pada ada tidaknya kabium. Berkas vaskuler pada tumbuhan monokotil tidak
memiliki kambium diantara xylem dan floem (Fried dan Hademenos, 2005).
Tumbuhan monokotil terdapat ikatan pembuluh yang menyebar dan bertipe
koleteral tertutup yang artinya tidak ada kambium diantara xylem dan floem
(Silaban et al., 2013).
9

Hal yang membedakan tumbuhan monokotil dan dikotil selain ada tidaknya
kambium adalah akarnya. Tumbuhan monokotil khususnya tumbuhan Zea mays
mempunyai akar serabut (Suryaningsih et al., 2013). Tumbuhan dikotil khususnya
tumbuhan Arachis hypogaea berakar tunggang, dengan akar cabang yang tumbuh
tegak lurus pada akar tunggang tersebut (Fachruddin, 2000). Persamaan yang lain
pada kedua tumbuhan ini adalah pada tanaman yang tumbuh di daratan memiliki
stomata di permukaan bawah daun. Tumbuhan dikotil dan monokotil yang
tumbuh di daratan memiliki stomata yan terletak di permukaan bawah daun, pada
tumbuhan dikotil stomatanya tersebar sedangkan pada tumbuhan monokotil
terletak berderet sejajar dan ukuran stomata pada tumbuhan monokotil lebih kecil
daripada tumbuhan dikotil (Haryanti, 2010).

MATERI DAN METODE

Praktikum dilakukan pada 11 November 2015 pukul 15.00-16.30 WIB di


Laboratorium Fisiologi dan Pemuliaan Tanaman, Fakultas Peternakan dan
Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.
Alat yang digunakan adalah silet untuk membuat irisan melintang tipis,
gelas objek untuk meletakkan preparat awetan, gelas penutup untuk menutup
preparat awetan pada gelas objek, pipet untuk menetesi air ke preparat awetan,
dan mikroskop dengan kamera untuk mengamati jaringan pada preparat awetan.
Bahan yang digunakan adalah kecambah Zea mays, kecambah Arachis hypogaea,
dan air.
Metode yang digunakan adalah dengan menyiapkan kecambah Zea mays
dan Arachis hypogaea, kemudian membuat sayatan melintang pada masing-
masing akar dan batang kecambah setipis mungkin. Meletakkan irisan tipis
tersebut pada gelas objek dan menetesi dengan air kemudian menutup dengan
gelas penutup. Mengamati dari masing-masing preparat dengan menggunakan
mikroskop dan memfoto hasil mikroskopiknya. Mengamati perbedaan dari
jaringan monokotil dan dikotil.
10

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengamatan Jaringan Monokotil Akar Tanaman Jagung (Zea mays)

Berdasarkan praktikum biologi mengenai jaringan tumbuhan monokotil dan


dikotil yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :

Ilustrasi 1. Gambar Penampang Melintang Akar Zea mays (Monokotil)

Keterangan : 1. Korteks
2. Epidermis
3. Endodermis
4. Empulur
5. Floem
6. Xylem

Berdasarkan ilustrasi gambar penampang melintang akar Zea mays


(monokotil) menunjukkan bahwa akar kecambah yang terlihat pada akar
tumbuhan Zea mays adalah korteks, epidermis, endodermis, empulur, floem dan
xylem. Akar tumbuhan Zea mays memiliki xylem dan floem yang letaknya
berdekatan dan tidak memiliki kambium sehingga tumbuhan ini termasuk dalam
tumbuhan monokotil. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahardja dan Wahyu (2007)
yang menyatakan bahwa tumbuhan yang tidak berkambium merupakan tumbuhan
berkeping satu atau tumbuhan monokotil. Tumbuhan Zea mays memiliki akar
11

serabut. Hal ini sesuai dengan pendapat Suryaningsih et al., (2013) yang
menyatakan bahwa Zea mays termasuk tumbuhan yang berakar serabut.

2. Pengamatan Jaringan Dikotil Akar Tanaman Kacang Tanah (Arachis


hypogaea)

Berdasarkan praktikum biologi mengenai jaringan tumbuhan monokotil dan


dikotil yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :

2
3

Ilustrasi 2. Gambar Penampang Melintang Akar Arachis hypogaea (Dikotil)

Keterangan : 1. Empulur
2. Epidermis
3. Korteks
4. Endodermis
5. Floem
6. Xylem

Berdasarkan ilustrasi gambar penampang melintang akar Arachis hypogaea


(dikotil) menunjukkan bahwa akar kecambah yang terlihat pada akar tumbuhan
Arachis hypogaea sama seperti yang terlihat pada akar tumbuhan Zea mays yaitu
empulur, epidermis, korteks, endodermis, floem dan xylem. Akar Arachis
hypogaea memiliki kambium yang berfungsi untuk penebalan akar. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soedjadi (2005) yang menyatakan bahwa akar Arachis hypogaea
12

memiliki kambium vaskuler yang berperan dalam proses penebalan akar dan akan
membentuk xylem serta floem. Akar tumbuhan Arachis hypogaea adalah akar
tunggang. Hal ini sesuai dengan pendapat Fachruddin (2000) yang menyatakan
bahwa akar kacang tanah berakar tunggang, dengan akar cabang yang tumbuh
tegak lurus pada akar tunggang tersebut.

3. Pengamatan Jaringan Monokotil Batang Tanaman Jagung (Zea mays)

Berdasarkan praktikum biologi mengenai jaringan tumbuhan monokotil dan


dikotil yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :

3
\\

Ilustrasi 3. Gambar Penampang Melintang Batang Zea mays (Monokotil)


Keterangan : 1. Epidermis
2. Jaringan Dasar
3. Berkas Vaskuler

Berdasarkan ilustrasi gambar penampang melintang batang Zea mays


(monokotil) menunjukkan bahwa yang terlihat adalah epidermis, berkas vaskuler
dan jaringan dasar. Berkas vaskuler terdiri xylem dan floem. Batang Zea mays
tidak ada kambium yang membatasi antara xylem dan floem. Karena tumbuhan
Zea mays tidak mempunyai kambium maka tumbuhan Zea mays termasuk
tumbuhan monokotil. Hal ini sesuai dengan pendapat Fried dan Hademenos
(2005) yang menyatakan bahwa pada tumbuhan monokotil berkas vaskuler tidak
memiliki kambium diantara xylem dan floem. Susunan jaringan pembuluh pada
13

batang kecambah Zea mays tampak menyebar dan tidak tersusun rapi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Silaban et al., (2013) yang menyatakan bahwa pada
tumbuhan monokotil terdapat ikatan pembuluh yang menyebar dan bertipe
koleteral tertutup yang artinya tidak ada kambium diantara xylem dan floem.

4. Pengamatan Jaringan Dikotil Batang Tanaman Kacang Tanah (Arachis


hypogaea)

Berdasarkan praktikum biologi mengenai jaringan tumbuhan monokotil dan


dikotil yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :

Ilustrasi 4. Gambar Penampang Melintang Batang Arachis hypogaea


(Dikotil)

Keterangan : 1. Jaringan Dasar


2. Berkas Vaskuler
3. Epidermis

Berdasarkan ilustrasi gambar penampang melintang batang Arachis


hypogaea (dikotil) menunjukkan bahwa yang terlihat sama seperti batang Zea
mays yaitu jaringan, berkas vaskuler dan epidermis. Epidermis paada tumbuhan
ini berada pada bagian luar. Epidermis berfungsi untuk melindungi semua bagian
dalam tumbuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Campbell et al., (2003) yang
menyatakan bahwa epidermis adalah suatu lapisan tunggal yang berfungsi untuk
menutupi dan melindungi semua bagian tumbuhan didalamnya. Jaringan
14

pembuluh pada batang kecambah Arachis hypogaea susunan jaringan


pembuluhnya tampak tidak menyebar dan tersusun rapi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Mulyani (2006) yang menyatakan bahwa pada tumbuhan dikotil berkas
pengangkut tersusun dalam suatu lingakaran yang mengelilingi empulur.

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil pengamatan jaringan pada batang kecambah dan akar kecambah Zea
mays dan Arachis hypogaea dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara
tumbuhan dikotil dan monokotil. Berkas pembuluh yang dimiliki oleh tumbuhan
dikotil tampak tersusun rapi atau teratur dan lebih lengkap sedangkan pada
tumbuhan monokotil berkas pembuluhnya tidak tersusun rapi atau tidak teratur
dan kurang lengkap jika dibandingkan dengan tumbuhan dikotil. Hasil
mikroskopik menunjukkan bahwa tumbuhan dikotil mempunyai kambium dan
tumbuhan monokotil tidak mempunyai kambium.
Saran bagi percobaan selanjutnya adalah sayatan melintang yang dilakukan
harus dengan menggunakan silet atau alat pemotong yang tajam sehingga hasil
dari sayatan tersebut dapat tersayat tipis dan dapat terlihat jelas pada mikroskop,
selain itu pensayatan harus dilakukan secara hati-hati agar hasil sayatan tetap utuh
dan tidak terpotong sehingga pada mikroskop dapat terlihat seluruh bagian-bagian
yang ada dalam preparat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, D. 2008. Biologi Kelompok Pertanian dan Kesehatan. Grafindo


Media Pratama. Bandung

Campbell, N.A, J. B. Reece dan L.G. Mitchell. 2003. Biologi Edisi Lima Jilid 2.
Erlangga. Jakarta

Fachruddin, L. 2000. Budidaya Kacang-kacangan. Kanisius. Yogyakarta

Fried, G. H dan G. J, Hademenos. 2005. Biologi Edisi Dua. Erlangga. Jakarta


15

Haryanti, S. 2010. Jumlah dan distribusi stomata pada daun beberapa spesies
tanaman dikotil dan monokoti. Buletin Anatomi dan Fisiologi 18 (2): 21-
28

Karismayanti, Y dan Mansur. 2014. Upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada
mata pelajaran ipa pokok bahasan tumbuhan monokotil dan dikotil melalui
metode demonstrasi. Ibtida’I 1 (1): 149-166

Mulyani, E. 2006. Anatomi Tumbuhan. Kanisius. Yogyakarta

Rahardja, P.C dan Wahyu Wiryanta. 2007. Cara Memperbanyak Tanaman.


AgroMedia Pustaka. Yogyakarta

Silaban, E. T, E. Purba dan J. Ginting. 2013. Pertumbuhan dan produksi jagung


manis (Zea mays sacaratha Struth.L) pada berbagai jarak tanam dan waktu
olah tanah. Jurnal Online Agroekoteknologi 1 (3): 806-818

Soedjadi, P. 2005. Jaringan Tumbuhan. Erlangga. Jakarta

Suryaningsih, M. Joni dan A. A Ketut D. 2013. Inventarisasi gulma pada tanaman


jagung (Zea mays L.) di lahan sawah kelurahan Padang Galak, Denpasar
Timur, Kodya Denpasar, Provinsi Bali. Jurnal Simbiosis 1 (1): 1-8
16

ACARA 3
FOTOSINTESIS

PENDAHULUAN

Fotosintesis merupakan proses biokimia untuk memproduksi energi berupa


nutrisi, dimana karbondioksida dan air yang berada dibawah pengaruh cahaya
diubah ke dalam persenyawaan organik yang berisi karbon dan kaya akan energi
yang terjadi di khloroplas. Fotosintesis hanya dapat terjadi pada organisme yang
memiliki khlorofil, yaitu pigmen yang dapat menangkap energi cahaya matahari.
Cahaya matahari merupakan sumber energi yang diperlukan tumbuhan untuk
melakukan fotosintesis. Organisme yang mampu melakukan fotosintesis disebut
organisme autotrof yang mampu menangkap energi cahaya untuk mengubah
molekul anorganik (CO2 dan H2O) menjadi molekul organik (C6H12O6) dan
menghasilkan oksigen (O2). Proses fotosintesis dibagi dalam 2 tahap yaitu Reaksi
Terang dan Siklus Calvin. Reaksi fotosintesis yang menghasilkan glukosa ialah
sebagai berikut:
6 H2O + 6 CO2 =======> C6H1206 + 6 O2

TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan dari praktikum pengamatan fotosintesis adalah untuk mengetahui


faktor yang mempengaruhi fotosintesis dan membuktikan adanya amilum pada
daun sebagai hasil dari fotosintesis.
Manfaat dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat membuktikan
adanya amilum pada daun sebagai hasil dari fotosintesis.

TINJAUAN PUSTAKA

Fotosintesis adalah suatu proses biokimia pembentukan zat makanan


karbohidrat yang dilakukan oleh tumbuhan, terutama tumbuhan yang
17

mengandung zat hijau daun atau khlorofil (Hasbiah dan Wahidah, 2013).
Fotosintesis mengubah senyawa anorganik menjadi senyawa organik dan oksigen
dengan bantuan cahaya matahari (Ai dan Banyo, 2011). Fotosintesis sangat
penting pada tumbuhan, hal-hal yang harus terpenuhi dalam fotosintesis adalah
adanya cahaya, CO2, O2, khlorofil dan air (Suryawati et al., 2007).
Cahaya berperan sebagai faktor utama terjadinya fotosintesis, sehingga hasil
fotosintesis bergantung pada adanya cahaya dan seberapa besar intensitas cahaya
tersebut (Fitriningrum et al., 2013). Laju fotosintesis akan berjalan maksimum
ketika banyak cahaya, sehingga tanaman yang tumbuh dengan intensitas cahaya
yang tinggi daunnya berwarna lebih hijau daripada tanaman dengan intensitas
cahaya yang rendah dan akan mengalami perubahan warna menjadi biru
kehitaman dibandingkan yang mendapat sinar matahari yang sedikit
(Pertamawati, 2010).

MATERI DAN METODE

Praktikum pengamatan fotosintesis dilakukan pada Jumat, 7 November


2015 jam 17.00 – 20.00 WIB di Laboratorium Fisiologi dan Pemuliaan Tanaman,
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.
Alat yang digunakan adalah kompor listrik untuk merebus daun, beker glass
untuk meletakkan daun pada saat direbus, pinset untuk mengambil daun yang
sudah direbus, pipet untuk meneteskan larutan JKJ, alumunium foil untuk
menutupi bagian daun, dan penjepit kertas untuk menjepit alumunium foil. Bahan
yang digunakan adalah daun Gliricidia sepium, alkohol 70%, dan larutan JKJ.
Metode yang digunakan adalah dengan memilih daun Gliricidia sepium
pada sore hari untuk ditutupi bagian tengahnya menggunakan alumunium foil dan
jepit dengan penjepit kertas sehingga bagian tengah daun tertutup alumunium foil
sedangkan bagian ujung dan pangkal daun dibiarkan terbuka. Biarkan daun
terkena sinar matahari selama satu hari sehingga bagian daun yang terbuka dapat
melakukan fotosintesis, sedangkan bagian daun yang tertutup tidak dapat
melakukan fotosintesis. Ambil daun Gliricidia sepium dan masukkan ke larutan
18

alkohol yang sudah dipanaskan hingga khlorofil larut. Ambil daun Gliricidia
sepium yang telah dipanaskan dalam alkohol dan rendam dalam larutan JKJ.
Angkat daun Gliricidia sepium dari larutan JKJ dan amati warna daun Gliricidia
sepium pada bagian yang terbuka dan tertutup alumunium foil.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarakan praktikum acara fotosintesis yang telah dilakukan diperoleh


hasil sebagai berikut :

Ilustrasi 1. Gambar Daun yang Tidak Ditutup Alumunium Foil

Ilustrasi 1. Gambar Daun yang Ditutup Alumunium Foil


19

Berdasarkan gambar ilustrasi hasil praktikum didapatkan hasil bahwa proses


fotosintesis pada daun menghasilkan amilum. Hal ini terbukti dengan adanya
perubahan warna daun yang tidak tertutup alumunium foil berubah menjadi biru
kehitaman setelah ditetesi larutan JKJ karena terjadi proses fotosintesis pada daun,
sedangkan bagian daun yang tertutup alumunium foil menghasilkan warna hijau
pucat. Hal ini terjadi karena pada bagian daun Gliricidia sepium yang tertutup
almunium foil tidak mendapatkan rangsangan cahaya matahari sehingga
mengakibatkan daun tidak dapat berfotosintesis, hal ini sesuai dengan pendapat
Fitriningrum et al., (2013) yang menyatakan bahwa cahaya berperan sebagai
faktor utama terjadinya fotosintesis, sehingga hasil fotosintesis bergantung pada
adanya cahaya dan seberapa besar intensitas cahaya tersebut. Perubahan warna
pada daun mengindikasikan bahwa terdapat amilum pada daun. Amilum
merupakan salah satu hasil dari proses fotosintesis, yang berarti pada bagian daun
yang tidak tertutup alumunium foil terjadi proses fotosintesis, sedangkan pada
daun yang tertutup alumunium foil tidak terjadi proses fotosintesis. Hal ini sesuai
dengan pendapat Pertamawati (2010) yang menyatakan bahwa laju fotosintesis
akan berjalan maksimum ketika banyak cahaya, sehingga tanaman yang tumbuh
dengan intensitas cahaya yang tinggi daunnya berwarna lebih hijau daripada
tanaman dengan intensitas cahaya yang rendah dan akan mengalami perubahan
warna menjadi biru kehitaman ketika ditetesi larutan JKJ, dibandingkan yang
mendapat sinar matahari yang sedikit.

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil pengamatan fotosintesis menunjukkan bahwa proses fotosintesis


membutuhkan cahaya matahari dan menghasilkan amilum yang ditandai dengan
adanya perubahan warna daun Gliricidia sepium yang mengalami fotosintesis
menjadi biru kehitaman ketika direndam larutan JKJ, sedangkan daun Gliricidia
sepium yang tidak mengalami fotosintesis berubah warna menjadi hijau pucat.
Saran bagi percobaan selanjutnya yaitu memilih daun Gliricidia sepium
yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua untuk mendapatkan hasil fotosintesis
20

yang maksimal, menutup daun gamal dengan alumunium foil hingga tidak
terdapat celah agar penutup tidak mudah terlepas.

DAFTAR PUSTAKA

Ai, N.S., dan Y. Banyo. 2011. Konsentrasi khlorofil daun sebagai indikator
kekurangan air pada tanaman. Jurnal Ilmiah Sains. 11 (2): 166-173.

Fitriningrum, A., Sugiyarto, dan A. Susilowati. 2013. Analisis kandungan


karbohidrat pada berbagai tingkat kematangan buah karika (Carica
pubescens) di Kejajar dan Sembungan, Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah.
Jurnal Bioteknologi. 10 (1): 6-14

Hasbiah, S.T., dan B.F. Wahidah. 2013. Perbandingan kecepatan fotosintesi pada
tanaman sawi hijau (Brassica juncea) yang diberi pupuk organik dan
anorganik. Jurnal Biogenesis. 1 (1): 61-69.

Pertamawati. 2010. Pengaruh fotosintesis terhadap pertumbuhan tanaman


kentang (Solanum tuberosum L.) dalam lingkungan fotoautotrof secara
invitro. Jurnal Sains dan Teknologi. 12 (1): 31-37

Suryawati, S., A. Djunaedy, dan A. Trieandari. 2007. Respon tanaman sambiloto


(Andrographis paniculata) akibat naungan dan selang penyiraman air.
Jurnal Embrio. 4 (2): 146-155.
21

ACARA 4
PENGAMATAN KHLOROFIL

PENDAHULUAN

Khlorofil merupakan pigmen fotosintesis. Khlorofil terdapat pada organel


khloroplas pada membran tilakoid. Fungsi utama khlorofil adalah memanfaatkan
energi matahari dan memfiksasi CO2 untuk dirombak menjadi karbohidrat.
Khlorofil menyerap spektrum cahaya tampak, yaitu warna merah dan biru serta
memantulkan warna hijau. Khlorofil memanfaatkan energi cahaya berupa foton
untuk diubah menjadi energi kimia sebagai hasil fotosintesis. Khlorofil pada
tumbuhan tingkat tinggi terdiri dari khlorofil a dan khlorofil b. Khlorofil a
merupakan pigmen utama pada fotosintesis, sedangkan khlorofil b membantu
dalam menyerap spektrum cahaya dan meneruskannya ke khlorofil a. Khlorofil a
menyerap cahaya maksimum pada panjang gelombang 673 nm, sedangkan
khlorofil b menyerap pada panjang gelombang 455 – 640 nm. Cahaya pada
panjang gelombang 400 nm dan 600 nm merupakan panjang gelombang yang
paling efektif untuk melakukan fotosintesis, karena pada panjang gelombang
tersebut, laju fotosintesis mengalami peningkatan.

TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui konsentrasi khlorofil a,


khlorofil b dan konsentrasi khlorofil total serta nilai absorbansi khlorofil pada
daun Gliricidia sepium. Manfaat dari praktikum ini adalah dapat mengetahui
konsentrasi khlorofil a, khlorofil b dan konsentrasi khlorofil total serta nilai
absorbansi khlorofil dari daun Gliricidia sepium, dapat mengetahui pengaruh
panjang gelombang cahaya merah dan cahaya biru pada proses fotosintesis serta
mengetahui fungsi dari khlorofil pada proses fotosintesis.
22

TINJAUAN PUSTAKA

Khlorofil adalah salah satu pigmen fotosintesis yang hanya terdapat pada
tumbuhan dan terletak pada membran tilakoid yang berada dalam organel
khloroplas (Proklamasiningsih et al., 2012). Khlorofil merupakan pigmen utama
yang terdapat dalam membran khloroplas (Prastyo et al., 2015). Hal tersebut
menunjukkan bahwa pigmen hijau khlorofil mendominasi pigmen lain yang
terdapat pada tumbuhan. Khlorofil merupakan pigmen fotosintesis yang dapat
menyerap energi cahaya matahari berupa foton. Khlorofil banyak menyerap sinar
dengan panjang gelombang 400 – 700 nm (Handoko et al., 2013). Fungsi utama
khlorofil adalah memanfaatkan energi matahari, memicu terjadinya fiksasi CO2
untuk dirombak menjadi karbohidrat dan menyediakan energi dalam bentuk ATP
yang digunakan untuk proses fotosintesis (Ai et al., 2011). Pada tumbuhan tingkat
tinggi khlorofil yang terdapat pada daun adalah khlorofil a dan khlorofil b. Pada
keadaan normal daun akan memiliki kandungan khlorofil a lebih banyak dari
khlorofil b, yaitu jumlah khlorofil a tiga kali dari khlorofil b (Maulid, 2015). Salah
satu contoh tumbuhan tingkat tinggi adalah Gliricidia sepium (tumbuhan gamal).
Gliricidia sepium merupakan salah satu tumbuhan leguminosa yang memiliki
daun kecil dan tipis (Cakra et al., 2014). Daun yang kecil mengandung lebih
sedikit khlorofil daripada daun yang lebar. Daun Gliricidia sepium yang kecil
memiliki jumlah khlorofil yang lebih sedikit dibandingkan daun lain, hal ini
mengakibatkan jumlah cahaya yang diserap lebih sedikit (Sakya et al., 2008).
Macam-macam pigmen menyerap cahaya maksimum pada panjang
gelombang cahaya tertentu. Khlorofil a dan khlorofil b paling banyak menyerap
warna merah (Ai et al., 2011). Khlorofil a menyerap cahaya pada panjang
gelombang 673 nm, sedangkan khlorofil b menyerap pada panjang gelombang
455 – 640 nm (Regazzoni et al., 2014). Gelombang cahaya merah dan biru paling
efektif dalam melakukan fotosintesis (Handoko et al., 2013). Panjang gelombang
sekitar 400 nm dan 600 nm menyebabkan laju fotosintesis mengalami
peningkatan. Pusat reaksi fotosintesis adalah pada khlorofil a. Khlorofil b hanya
akan meneruskan energi yang diserapnya ke khlorofil a. Perbedaan mendasar dari
23

khlorofil a dan khlorofil b terletak pada kedudukan khlorofil a, hanya molekul


khlorofil a yang berada pada fotosistem, yaitu pusat reaksi kimia pertama yang
digerakkan oleh cahaya, sedangkan khlorofil b tidak berperan secara langsung
pada fotosintesis (Campbell et al., 2002). Daun hijau akan menyerap warna
dengan panjang gelombang yang pendek, namun memiliki energi yang tinggi
serta efektif untuk fotosintesis. Cahaya merah dengan panjang gelombang 700 nm
dapat mengaktivasi khlorofil dan melepaskan elektron untuk dijadikan ATP.
Foton berenergi tinggi pada spektrum biru memiliki energi dua kali lipat
dibanding spektrum cahaya merah (Handoko et al., 2013).

MATERI DAN METODE

Praktikum pengamatan khlorofil pada daun Gliricidia sepium dilakukan


pada Rabu, tanggal 4 November 2015, pukul 15.00 – 17.00 WIB, di Laboratorium
Fisiologi dan Pemuliaan Tanaman, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Alat yang digunakan pada pegamatan khlorofil daun Gliricidia sepium
adalah timbangan untuk mengukur berat daun, mortar untuk menggerus daun,
erlenmeyer untuk menampung filtrat daun Gliricidia sepium yang disaring
menggunakan kertas saring, kertas saring untuk menyaring daun Gliricidia sepium
yang telah digerus dan ditambahkan alkohol 70%, kuvet untuk wadah filtrat daun
Gliricidia sepium yang akan diuji pada spektrofotometer dan spektrofotometer
digunakan untuk mengukur nilai absorbansi filtrat daun Gliricidia sepium. Bahan
yang digunakan adalah daun Gliricidia sepium dan alkohol 70%.
Metode pengamatan khlorofil pada daun Gliricidia sepium adalah dengan
menyiapkan daun Gliricidia sepium dan menimbang daun pada timbangan seberat
0,25 gram, kemudian memotong daun Gliricidia sepium tersebut dan tambahkan
10 ml alkohol 70%, gerus sampai semua khlorofil larut menggunakan mortar,
tambahkan 10 ml lagi alkohol 70% kemudian saring menggunakan kertas saring,
masukkan hasil saringan ke dalam erlenmeyer dan tambahkan lagi alkohol 70%
sampai volume mencapai 25 ml. Masukkan filtrat ke dalam kuvet, lalu masukkan
24

ke dalam spektrofotometer dan membacanya pada panjang gelombang 663 nm


dan 645 nm. Lakukan pengamatan dua kali ulangan. Menghitung konsetrasi
khlorofil a, khlorofil b dan khlorofil total.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum acara pengamatan khlorofil yang telah dilakukan


diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 1. Data Hasil Analisis Pembacaan Absorbansi Daun Gliricidia sepium


ABS A1 A2 Ā
A663 0,841 0,844 0,843
A645 0,327 0,334 0,331
Sumber : Data Primer Praktikum Biologi, 2015

Tabel 2. Hasil Perhitungan Kadar Khlorofil Daun Gliricidia sepium


Elemen Kadar Khlorofil (mg/g)
Khlorofil a 0,97 mg/g
Khlorofil b 0,36 mg/g
Khlorofil total 1,33 mg/g
Sumber : Data Primer Praktikum Biologi, 2015

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data bahwa nilai rata-rata absorban


daun gamal (Gliricidia sepium) pada panjang gelombang 663 nm adalah 0,843
sedangkan nilai rata-rata absorban pada panjang gelombang 645 nm adalah 0,331.
Perhitungan konsentrasi khlorofil a, khlorofil b dan khlorofil total berturut-turut
adalah 0,97; 0,36 dan 1,33. Hasil konsentrasi khlorofil a lebih besar daripada
konsentrasi khlorofil b, konsentrasi khlorofil a hampir tiga kali dari konsentrasi
khlorofil b, hal ini karena khlorofil a merupakan pigmen utama dalam fotosintesis,
selain itu jumlah molekul pigmen khlorofil a lebih banyak pada daun yang
berwarna hijau tua, hal ini sesuai dengan pendapat Maulid et al., (2015) yang
menyatakan bahwa konsentrasi khlorofil a tiga kalinya dari konsentrasi khlorofil
25

b. Khlorofil b hanya meneruskan cahaya ke khlorofil a, sehingga hanya khlorofil a


yang berperan secara langsung pada proses fotosintesis, hal ini sesuai dengan
pendapat Campbell et al., (2002) yang menyatakan bahwa hanya khlorofil a yang
berada pada fotosistem, yaitu pusat reaksi kimia yang berperan menangkap cahaya
pertama kali.
Daun Gliricidia sepium berwarna hijau tua pada daun yang sudah dewasa,
warna hijau pada daun mengindikasikan bahwa semakin banyak cahaya hijau
yang dipantulkan, cahaya yang diserap hanya cahaya merah dan cahaya biru, hal
ini sesuai dengan pendapat Ai et al. (2011) yang menyatakan bahwa khlorofil a
dan khlorofil b paling kuat menyerap cahaya merah, sedangkan cahaya hijau
dipantulkan. Khlorofil memerlukan cahaya merah dan biru, hal ini sesuai dengan
pendapat Campbell et al. (2002) yang menyatakan bahwa pada panjang
gelombang 400 nm dan 600 nm laju fotosintesis mengalami peningkatan,
Handoko et al. (2013) menambahkan bahwa cahaya biru merupakan cahaya yang
berenergi tinggi karena energi foton pada cahaya biru memiliki energi dua kali
lipat dibanding spektrum cahaya merah.

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil pengamatan khlorofil pada daun Gliricidia sepium didapatkan hasil


bahwa konsentrasi khlorofil a sebesar 0,97 dan konsentrasi khlorofil b sebesar
0,36 , sedangkan konsentrasi khlorofil totalnya sebesar 1,33. Nilai absorbansi rata-
rata dengan panjang gelombang 663 nm adalah 0,843 dan rata-rata absorbansi
dengan panjang gelombang 645 nm adalah 0,331. Nilai konsentrasi khlorofil a
lebih tinggi dari konsentrasi khlorofil b adalah karena khlorofil a terletak pada
fotosistem, yaitu tempat pusat reaksi kimia terjadi.
Saran untuk percobaan selanjutnya adalah agar menimbang dan
menambahkan alkohol secara tepat, memastikan kuvet yang akan dimasukkan ke
dalam spektrofotometer bebas dari kotoran, serta menggerus daun hingga halus
agar filtrat yang didapatkan homogen.
26

DAFTAR PUSTAKA

Ai, N. S. dan Y. Banyo. 2011. Konsentrasi klorofil daun sebagai indikator


kekurangan air pada tanaman. Jurnal Ilmiah Sains. 11 (2): 166 – 173.

Cakra, I G. L. O., M. A. P. Duarsa dan S. Putra. 2014. Kecernaan bahan kering


dan nutrien ransum pada kambing peranakan etawah yang diberi hijauan
beragam dengan aras konsentrat “molmik” berbeda. Majalah Ilmiah
Peternakan. 17 (1): 10 – 14.

Campbell, et al. 2002. Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta : Erlangga.

Handoko, P. dan Y. Fajariyanti. 2013. Pengaruh spektrum cahaya tampak


terhadap laju fotosintesis tanaman air Hydrilla Verticillata. Prosiding
Seminar Biologi. 10 (2): 1 – 9.

Maulid, R. R. dan A. N. Laily. 2015. Kadar total pigmen klorofil dan senyawa
antosianin ekstrak kastuba (Euphorbia pulcherrima) berdasarkan umur
daun. Prosiding KPSDA. 1 (1): 225 – 230.

Prastyo, K. A. dan A. N. Laily. 2015. Uji konsentrasi klorofil daun temu mangga
(Curcuma mangga Val.), temulawak (Curcuma xanthorrhiza), dan temu
hitam (Curcuma aeruginosa) dengan tipe kertas saring yang berbeda
menggunakan spektrofotometer. Prosiding KPSDA. 1 (1): 188 – 191.

Proklamasiningsih, E., et al. 2012. Laju fotosintesis dan kandungan khlorofil


kedelai pada media tanam masam dengan pemberian garam aluminium.
Jurnal Agrotrop. 2 (1): 17 – 24.

Regazzoni, O., et al. 2014. Karakteristik fisiologi klon-klon kakao (Theobroma


cacao L.) di bawah tiga spesies tanaman penaung. pelita perkebunan. 30 (3):
198 – 207.

Sakya, A. T., M. Rahayu dan R. Wijayanti. 2008. Pertumbuhan dan kualitas


Anthurium hookeri pada berbagai pemberian boron. Jurnal Ilmiah Ilmu
Tanah dan Agroklimatologi. 5 (2): 95 – 100.
27

LAMPIRAN

Perhitungan konsentrasi khlorofil a, khlorofil b dan khlorofil total.


Khlorofil a
Rumus:
Khlorofil a (mg/g) = [12,7×A663 – 2,69×A645]×(V/1000)×(1/W)
Perhitungan :
Khlorofil a (mg/g) = [12,7×0,843 – 2,69×0,331]×(25/1000)×(1/0,253)
[10,7061 – 0,89039]×(0,025)×(3,953)
9,81571×0,025×3,953
0,97
Khlorofil b
Rumus :
Khlorofil b (mg/g) = [22,9×A645 – 4,68×A663]×(V/1000)×(1/W)
Perhitungan :
Khlorofil b (mg/g) = [22,9×0,331 – 4,68×0,843]×(25/1000)×(1/0,253)
[7,5799 – 3,94524]×(0,025)×(3,953)
3,63466×0,025×3,953
0,36
Khlorofil total
Rumus :
Khlorofil total (mg/g) = [8,02×A663 + 20,20×A645]×(V/1000)×(1/W)
Perhitungan :
Khlorofil total (mg/g) = [8,02×0,843 + 20,20×0,331]×(25/1000)×(1/0,253)
[6,76086 + 6,6862]×(0,025)×(3,953)
13,44706×0,025×3,953
1,33
28

Keterangan :
A663 = Nilai rata-rata absorbansi pada panjang gelombang 663 nm
A645 = Nilai rata-rata absorbansi pada panjang gelombang 645 nm
V = Volume dari ekstrak (mL)
W = Berat basah dari sampel (g)
29

ACARA 5
RESPIRASI

PENDAHULUAN

Respirasi adalah proses oksidasi yang dialami senyawa berenergi tinggi


sebagai unit penyimpan energi kimia pada organism hidup. Dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya tumbuhan melakukan respirasi. Proses untuk mendapatkan
energi yaitu dengan pemecahan molekul besar menjadi molekul yang lebih
sederhana. Proses ini bermula pada glukosa yang dipecah sehingga beberapa
energi diubah menjadi CO2 dan H2O dengan perubahan energy zat makanan
menjadi energy siap pakai yaitu ATP. Semakin besar CO2 yang dihasilkan maka
respirasinya semakin besar pula. Semua sel yang aktif melakukan respirasi secara
terus menerus menyebabkan pengeluaran CO2. Namun respirasi bukan hanya
sekedar pertukaran gas, proses respirasi secara menyeluruh adalah oksidasi-
reduksi, yang mengoksidasi senyawa senyawa menjadi CO2 sedangkan O2 yang
diserap diubah menjadi uap air (H2O).

TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan dari praktikum ini adalah praktikan dapat menentukan kecepatan


respirasi berdasarkan jumlah karbondioksida yang dihasilkan dan dapat
mengetahui proses respirasi pada kecambah. Manfaatnya adalah praktikan dapat
mengetahui kecepatan respirasi pada kecambah berdasarkan jumlah CO2.

TINJAUAN PUSTAKA

Respirasi merupakan proses katabolisme atau penguraian senyawa organik


menjadi senyawa anorganik. Respirasi juga sebagai proses oksidasi senyawa
organik melalui proses aerobik atau anaerobik. Respirasi juga sebagai proses
pelepasan energi secara terkontrol dan berantai dengan melepaskan CO2
30

(Kumolowati et al., 2003). Kandungan CO2 juga berpengaruh pada laju respirasi.
Laju respirasi dapat dikendalikan antara lain dengan memanipulasi kandungan gas
O2 atau CO2 dalam kemasan atau dalam ruang penyimpanan (Paramita, 2010).
Respirasi pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu respirasi aerob dan
respirasi anaerob. Respirasi aerob adalah proses yang memerlukan oksigen
sebagai (akseptor) elektron, terjadi di sitoplasma dan mitokondria dan
menghasilkan 36 ATP dan satu molekul glukosa, respirasi aerob dihasilkan CO2
dan energi (Parent et al., (2008). Respirasi anaerob adalah proses respirasi tanpa
adanya oksigen dan menghasilkan CO2 dan alkohol melalui proses fermentasi.
Respirasi anaerob menghasilkan 2 ATP (Widodo, 2005).
Laju respirasi juga menentukan pertumbuhan akar benih, apabila benih
melakukan respirasi maka benih mempunyai cadangan energi dan cadangan
makanan untuk tumbuh. Dalam respirasi yakni memecah molekul glukosa
menjadi energi untuk melakukan pertumbuhan dengan menghasilkan ATP, energi
yang dihasilkan dari proses respirasi tersebut langsung dipakai untuk mensintesis
protein serta lemak sebagai komponen dari pertumbuhan sel dalam
perkecambahan (Salisbury dan Ross, 2010). Dalam perhitungan jumlah CO2 yang
dihasilkan dari proses respirasi digunakan NaOH untuk mengikat CO2 kemudian
larutan NaOH dititrasi untuk menentukan CO2 yang dihasilkan (Azizah, 2007).

MATERI DAN METODE

Praktikum respirasi dilakukan pada hari Kamis, 20 November 2015, pukul


16.00 – 17.00 WIB di Laboratorium Fisiologi dan Pemulihan Tanaman, Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
Alat yang digunakan dalam praktikum respirasi adalah botol dan
penutupnya digunakan sebagai tempat respirasi kontrol (tanpa kecambah) dan
perlakuan (dengan kecambah), labu erlenmeyer yang digunakan sebagai tempat
NaOH yang diambil dari botol, pipet digunakan untuk meneteskan indikator
phenolphtalein, kain kasa digunakan sebagai pembungkus kecambah, benang
digunakan untuk mengikat kain kasa yang terdapat kecambah dan
31

menggantungkan kecambah agar tidak terkena NaOH, dan karet digunakan untuk
mengeratkan penutup agar tidak ada udara yang masuk kedalam botol. Bahan
yang digunakan adalah aquades, 0,1 N HCl, BaCl2 5%, indikator pp
(phenolphtalein), dan benih kacang hijau.
Metode yang digunakan adalah, rendam benih kacang hijau dengan aquades
kemudian ditiriskan, siapkan masing masing dua botol dengan 20 ml 0,4 N NaOH
dan beri label “kontrol” dan “perlakuan” pada masing masing botol. Timbang 5 gr
kecambah dan bungkus dengan kain kasa serta ikat dengan benang, masukkan
bungkusan kecambah pada botol “perlakuan” dengan posisi menggantung tanpa
menyentuh larutan NaOH dalam botol kemudian tutup rapat rapat botol
“Perlakuan” (dengan kecambah) dan “Kontrol” (tanpa kecambah). Biarkan selama
24 jam (terjadi proses respirasi), catat waktu mulai pengamatan, setelah selesai
(24 jam) ambil 5 ml NaOH dari botol “Kontrol” dan “Perlakuan” dan masukkan
kedalam labu erlenmeyer, tambahkan 2,5 ml BaCl2 5% sampai terjadi endapan
putih, tambahkan 2 tetes indikator pp sampai masing masing larutan berwwarna
pink, kemudian titrasi masing masing erlenmeyer dengan 0,1 N HCl sampai
warna pink hilang (larutan menjadi putih keruh) dan catat volume titrasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum dengan acara respirasi diperoleh hasil sebagai


berikut :

Tabel 1. Hasil pengamatan laju respirasi kecambah kacang hijau.


Pengamatan Nilai
Berat sampel 5,0035 gram
Waktu 25,025 jam
Titrasi HCl (kontrol) 18,83 ml
Titrasi HCl (perlakuan) 7,92 ml

Sumber : Data Primer Praktikum Biologi, 2015.


32

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa respirasi


kecambah kacang hijau menghasilkan kecepatan respirasi 1,992 mg CO2/gr/jam.
CO2 yang berikatan dengan NaOH pada botol “Kontrol” (tanpa kecambah)
menghasilkan 2,574 mg, sedangkan CO2 pada botol “Perlakuan” (dengan
kecambah) menghasilkan 26,576 mg. Menurut Paramita (2010) perbedaan
tersebut dipengaruhi terhadap kadar CO2 dalam botol/ kemasan. NaOH pada botol
“Perlakuan” lebih banyak mengikat CO2 karena terdapat kecambah yang
melakukan respirasi dan menghasilkan lebih banyak CO2, sedangkan NaOH pada
botol “Kontrol” lebih sedikit mengikat CO2 karena hanya mendapatkan CO2 yang
ada didalam botol. Menurut Azizah (2007) NaOH digunakan sebagai pengikat
CO2 dan juga digunakan sebagai pentitrasi untuk menghitung jumlah CO2 yang
dihasilkan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan dari hasil praktikum yang telah dilakukan adalah bahwa respirasi
kecambah menghasilkan nilai CO2 yang berbeda, kadar CO2 pada botol
“Perlakuan” lebih besar dibandingkan dengan kadar CO2 pada botol “Kontrol”,
karena pada botol “Perlakuan” terdapat kecambah yang dapat melakukan respirasi
segingga menghasilkan CO2 yang lebih banyak daripada botol “Kontrol” yang
hanya menggunakan CO2 yang ada didalam botol saja.
Saran dari praktikum respirasi ini adalah dengan memperhatikan penutup
pada botol agar tidak adanya udara yang masuk kedalam sistem, sehingga
respirasi perkecambahan tidak terganggu dengan masuknya CO2 dari udara diluar
botol dan juga memperhatikan perubahan warna saat pentitrasian campuran NaOH
dan BaCl2 dengan larutan HCl.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, R., Subagyo., Rosanti, E. 2007. Pengaruh Kadar Air Terhadap Laju
Respirasi Tanah Tambak Pada Penggunaan Katul Padi Sebagai Primming
Agent. Ilmu Kelautan. 12(2) : 67 – 72.
33

Kumolowati, E., Liang, O. B., Djojosubroto, H., Sumanto. 2003. Dinamika


Fotosintesis 14CO2 Tanaman Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) dan
Kunyit (Curcuma Domestica Val.) Dalam Ruang Penandaan. Jurnal Sains
dan Teknologi Nuklir Indonesia. 4(1) : 79 – 94.

Paramita, O. 2010. Pengaruh Memar Terhadap Pola Respirasi, Produksi Etilen


dan Jaringan Buah Mangga (Magnifera Indica L) Var Gedong Gincu pada
Berbagai Suhu Penyimpanan. Jurnal Kompetisi Teknik. 2(1) : 29-37.

Parent, C., Capelli, N., Crevecouer, J. 2008. An Overview of Responses to Soil


Waterlogging. Plant Tress Global Science Books.

Salisbury dan Ross . 2010. Plant physiology. Wadsworth Pub. Co. from the
University of Michigan.

Widodo, S. E. 2005. Bahan Penyerap KMnO4 dan Asam L-Askorbat Dalam


Pengemasan Aktif (Active Packaging) Untuk Memperpanjang Masa Simpan
dan Mempertahankan Mutu Buah Duku (Lansium Domesticum Corr.).
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 16(2) : 113 – 118.
34

LAMPIRAN

Kontrol (tanpa kecambah)

HCl titrasi = 18,83 ml


0,1 N HCl = 0,1 N x 18,83 = 1,883 mgrek
NaOH awal = 0,4 x 5 ml = 2 mgrek
NaOH bereaksi dengan CO2 = 2 – 1,883 = 0,117 mgrek
1 mgrek CO2 equivalen dengan 2 mgrek NaOH
CO2 terikat NaOH = 0,5 x 0,117 mgrek
= 0,0585 x 44 mg
= 2,574 mg (dalam 5 ml)
20 ml NaOH (Kontrol) = 20/5 x 2,574 mg = 10,296 mg

Perlakuan (dengan kecambah)

HCl titrasi = 7,92 ml


0,1 N HCl = 0,1 N x 7,92 = 0,792 mgrek
NaOH awal = 0,4 x 5 ml = 2 mgrek
NaOH bereaksi dengan CO2 = 2 – 0,792 = 1,208 mgrek
1 mgrek CO2 equivalen dengan 2 mgrek NaOH
CO2 terikat NaOH = 0,5 x 1,208 mgrek
= 0,604 x 44 mg
= 26,576 mg (dalam 5 ml)
20 ml NaOH (Kontrol) = 20/5 x 26,576 mg = 106,304 mg

Kecepatan Respirasi (mg CO2/gr/jam)


= (CO2 Perlakuan – CO2 Kontrol) x (1/berat sampel) x (1/waktu)
= (26,576 – 2,574) x (1/5,033) x (1/24)
= (24,022) x (0,199) x (0,417)
= 1,992 mg CO2/gr/jam
35

ACARA 6
KHROMOSOM DAN PEMBELAHAN SEL

PENDAHULUAN

Khromosom merupakan komponen dalam nukleus yang menyimpan


informasi genetik berupa DNA. DNA terdapat pada semua sel hewan maupun sel
tumbuhan. Proses pembelahan sel melibatkan khromosom, khromosom
mengalami replikasi sebelum pembelahan sel dimulai. Pembelahan sel pada
organisme eukariotik berbeda dengan pembelahan sel pada organisme prokariotik.
Pembelahan sel pada organisme prokariotik dilakukan secara binary fission,
sedangkan pada organisme eukariotik pembelahan sel melalui beberapa fase, yaitu
interfase dan fase mitosis. Interfase merupakan fase istirahat yang terdiri dari G1,
S dan G2, sedangkan fase mitosis terdiri dari profase, prometafase, metafase,
anafase dan telofase, kemudian dilanjutkan dengan pembagian komponen sel
berupa sitoplasma ke kedua sel anakan yang disebut dengan sitokinesis.

TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui fase-fase pembelahan


sel pada Allium cepa (bawang merah) dan ciri-ciri pada tiap fase pembelahan.
Manfaat dari praktikum ini adalah dapat mengetahui fase-fase pembelahan sel
pada Allium cepa, dapat mengetahui bentuk khromosom pada tiap pembelahan sel
dan mengetahui ciri-ciri tiap pembelahan sel pada masing-masing fase.

TINJAUAN PUSTAKA

Khromosom terletak di dalam nukleus dan terdiri dari kumpulan DNA. Proses
pembelahan sel melibatkan khromosom, karena sebelum adanya pembelahan sel,
khromosom terlebih dahulu melakukan replikasi. Pembelahan sel pada organisme
eukariotik melalui beberapa fase, yaitu interfase (fase istirahat) dan fase mitosis.
36

Fase mitosis terdiri dari profase, prometafase, metafase, anafase dan telofase
(Muhlisyah et al., 2014). Interfase terdiri dari fase Gap-1 (G1), fase sintesis (S)
dan fase Gap-2 (G2) (Satriyo et al., 2011). Profase ditandai dengan kromatin yang
mulai memadat dan memendek (Campbell, 2002). Prometafase merupakan fase
sebelum metafase yang ditandai dengan kromosom yang mulai menuju ke tengah
kutub. Metafase ditandai dengan khromosom yang terdapat di tengah seperti
membentuk garis ekuator (Chaniago, 2008). Fase pembelahan setelah metafase
dan sebelum anafase terdapat checkpoint untuk penyusunan gelendong
pembelahan (Becker et al., 2000). Fungsi checkpoint ini untuk megetahui apakah
khromosom telah berada di bidang ekuator dan siap ditarik ke kutub yang
berlawanan. Anafase ditandai dengan kromosom yang bergerak ke arah kutub
yang berlawanan. Telofase ditandai dengan terbelahnya sel menjadi dua sel anak
yang identik (Muhlisyah et al., 2014). Hasil akhir dari pembelahan mitosis adalah
dua sel anak yang sama (Campbell, 2002).
Bawang merah (Allium cepa L.) merupakan salah satu contoh tumbuhan
yang melakukan pembelahan sel secara mitosis. Bagian Allium cepa yang
digunakan dalam pengamatan khromosom adalah ujung akar, hal ini karena ujung
akar merupakan organ paling meristematis yang berhubungan dengan fungsinya
mencari zat hara di dalam tanah (Setyawan et al., 2000). Hidrolisis dengan HCl
berguna dalam melarutkan lamela tengah, pewarnaan dengan aceto orcein
bertujuan untuk pewarnaan khromosom, zat warna aceto orcein digunakan karena
penetrasinya yang cepat dan tahan lama, squash bertujuan agar sel yang diamati di
bawah mikroskop hanya tersusun dari selapis sel saja (Setyawan et al., 2000).
Preparat yang dilewati di atas api spritus bertujuan agar pewarna yang digunakan
meresap dengan sempurna (Imaniar et al., 2014).

MATERI DAN METODE

Praktikum pengamatan khromosom dan pembelahan sel dilakukan pada


Jumat, tanggal 27 November 2015, pukul 17.00 – 20.00 WIB, di Laboratorium
37

Fisiologi dan Pemuliaan Tanaman, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas


Diponegoro, Semarang.
Alat yang digunakan adalah silet yang digunakan untuk memotong ujung
akar Allium cepa L., kaca preparat yang digunakan sebagai tempat preparat ujung
akar Allium cepa L. dan kaca penutup yang digunakan untuk menutup preparat
ujung akar Allium cepa L., cawan petri yang digunakan untuk merendam ujung
akar dengan HCl dan aceto orcein, karet penghapus yang digunakan untuk
menekan (squash) preparat, spritus yang digunakan untuk memfiksasi preparat,
serta mikroskop dengan kamera untuk mengamati fase pembelahan ujung akar
Allium cepa L. Bahan yang digunakan adalah ujung akar tanaman Allium cepa L.,
HCl, dan aceto orcein.
Metode yang dilakukan adalah dengan menyiapkan ujung akar tanaman
Allium cepa L. yang masih segar, memotong ujung akar Allium cepa sekitar 0,5
cm, merendam ujung akar dengan HCl 1 N selama 15 menit, kemudian
memindahkan ujung akar yang telah direndam HCl ke cairan aceto orcein dan
merendam ujung akar dengan aceto orcein selama 15 menit, meletakkan ujung
akar yang telah direndam ke atas kaca preparat, meneteskan aceto orcein ke atas
preparat, menutup preparat dengan kaca penutup, menekan preparat (squash)
menggunakan karet penghapus, melewati preparat ujung akar Allium cepa L. di
atas api spritus, kemudian mengamati fase pembelahannya di bawah mikroskop
dengan kamera.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum pengamatan khromosom dan pembelahan sel yang


telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut :
38

1. Kromosom dan Pembelahan Sel pada Ujung Akar Umbi Bawang Merah
(Allium cepa L.) Tahap Profase

Ilustrasi 1. Fase Pembelahan Profase Allium cepa L.

Berdasarkan praktikum pengamatan khromosom dan pembelahan sel ujung


akar Allium cepa terlihat adanya fase pembelahan profase yang ditandai dengan
khromosom memadat dan membran inti mulai menghilang. Hal ini sesuai dengan
pendapat Campbell (2002) yang menyatakan bahwa profase ditandai dengan
kromatin yang mulai memadat dan memendek. Ciri-ciri dari profase adalah
benang khromosom yang mulai menebal dan memendek serta nukleolus yang
mulai menghilang. Preparat dibuat dari ujung akar Allium cepa karena ujung akar
merupakan organ yang paling meristematik, hal ini dikarenakan akar adalah organ
yang berfungsi dalam mencari air dan nutrisi di dalam tanah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Setyawan et al. (2000) yang menyatakan bahwa ujung akar
merupakan organ tumbuhan yang paling meristematis. Bawang merah memiliki
waktu pembelahan sel yang relatif singkat dibanding tumbuhan yang lain, inilah
mengapa bawang merah digunakan dalam pengamatan khromosom dan
pembelahan sel.
39

2. Kromosom dan Pembelahan Sel pada Ujung Akar Umbi Bawang Merah (Allium
cepa L.) Tahap Metafase

Ilustrasi 2. Fase pembelahan Metafase Allium cepa L.

Berdasarkan praktikum pengamatan khromosom dan pembelahan sel ujung


akar Allium cepa terlihat adanya metafase yang ditandai dengan khromosom
berada di tengah inti sel. Hal ini sesuai dengan pendapat Chaniago (2008) yang
menyatakan bahwa pada metafase khromosom berada di tengah seperti
membentuk garis ekuator. Menurut Becker et al (2000) setelah metafase terdapat
checkpoint, pada saat ini gelendong pembelahan mulai tersusun, fungsi dari
checkpoint sendiri adalah untuk mengetahui apakah khromosom telah siap untuk
ditarik ke kutub yang berlawanan.

3. Kromosom dan Pembelahan Sel pada Ujung Akar Umbi Bawang Merah (Allium
cepa L.) Tahap Anafase

Ilustrasi 3. Fase Pembelahan Anafase Allium cepa L.


40

Berdasarkan praktikum pengamatan khromosom dan fase pembelahan sel


ujung akar Allium cepa terlihat adanya pembelahan anafase yang ditandai dengan
adanya dua kumpulan khromosom yang bergerak menuju kutub yang berlawanan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Muhlisyah et al. (2014) yang menyatakan bahwa
pada anafase khromosom bergerak ke arah kutub yang berlawanan. Menurut
Becker et al (2000) sebelum anafase terdapat checkpoint, pada saat ini gelendong
pembelahan mulai tersusun, fungsi dari checkpoint adalah untuk mengetahui saat
yang tepat kapan khromosom siap untuk ditarik ke kutub yang berlawanan.

4. Kromosom dan Pembelahan Sel pada Ujung Akar Umbi Bawang Merah (Allium
cepa L.) Tahap Telofase

Ilustrasi 4. Fase Pembelahan Telofase Allium cepa L.

Berdasarkan praktikum pengamatan khromosom dan fase pembelahan sel


ujung akar Allium cepa terlihat adanya pembelahan sel pada fase telofase yang
ditandai dengan inti yang terbelah menjadi dua akibat khromosom yang bergerak
ke kutub yang berlawanan. Komponen sel saat telofase terbagi ke kedua sel
anakan yang baru. Komponen tersebut terbagi secara merata. Hal ini sesuai
dengan pendapat Muhlisyah et al. (2014) yang menyatakan bahwa telofase
ditandai dengan khromosom yang terbagi menjadi dua sel anakan. Telofase diikuti
dengan sitokinesis atau sitoplasma yang terbagi ke kedua sel anakan dan akhirnya
membentuk dua sel anak yang sama. Campbell (2002) juga menyatakan bahwa
hasil akhir dari mitosis adalah dua sel anak yang identik.
41

Khromosom yang diamati di bawah mikroskop tidak lepas dari peran HCl,
aceto orcein, squash dan api spritus. Aceto orcein berfungsi dalam pewarnaan
khromosom, squash bertujuan agar sel yang akan diamati hanya terdiri dari
selapis sel saja. Hal ini sesuai dengan pendapat Setyawan et al. (2000) yang
menyatakan bahwa HCL berfungsi dalam melarutkan lamela tengah sel, sehingga
sel dapat terpisah dan pengamatan lebih mudah dilakukan, aceto orcein berfungsi
dalam pewarnaan khromosom, squash bertujuan agar sel yang akan diamati hanya
terdiri dari selapis sel saja. Imaniar et al. (2014) menambahkan bahwa preparat
yang diberi pewarna khromosom dan dilewati di atas api bunsen akan menyerap
pewarna lebih optimal.

SIMPULAN DAN SARAN

Pengamatan khromosom dan pembelahan sel didapatkan hasil bahwa


profase ditandai dengan khromosom yang memadat dan membran inti yang mulai
menghilang, metafase ditandai dengan khromosom yang berada pada bidang
ekuator, anafase ditandai dengan khromosom yang terlihat bergerak ke arah kutub
yang berlawanan sehingga khromosom terlihat akan membelah menjadi dua serta
telofase yang ditandai dengan khromosom yang terbelah menjadi dua sel anak
yang baru.
Saran untuk percobaan selanjutnya adalah agar memilih ujung akar Allium
cepa yang masih segar, lakukan squash dari pinggir preparat bukan dari tengah
preparat dengan tujuan agar sel ujung akar tidak pecah, dan teteskan aceto orcein
sedikit saja pada preparat agar preparat hanya menyerap aceto orcein dalam
jumlah yang sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

Becker, W. M., L. J. Kleinsmith dan J. Hardin. 2000. The World of The Cell. 4th
Ed. San Fransisco : Cummings Imprint.

Campbell, et al. 2002. Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta : Erlangga.


42

Chaniago, I. 2008. Potensi allelokimia padi (Oryza sativa L.) dalam menekan
perkecambahan gulma Echiniochloa crussgalli (L.) Beauv. (kajian
pembelahan sel). Jurnal Jerami. 1 (1): 13 – 17.

Imaniar, E. F. dan M. Pharmawati. 2014. Kerusakan kromosom bawang merah


(Allium cepa L.) akibat perendaman dengan etium bromida. Jurnal
Simbiosis. 2 (2): 173 – 183.

Muhlisyah, N. et al. 2014. Preparasi kromosom fase mitosis markisa ungu


(Passiflora edulis) varietas edulis Sulawesi Selatan. Biogenesis. 2 (1): 48 –
55.

Satriyo, A. et al. 2011. Efluvium anagen. MDVI. 38 (1) : 41 – 48.

Setyawan, A. D. dan Sutikno. 2000. Karyotipe kromosom pada Allium sativum L.


(Bawang Putih) dan Pisum sativum L. (Kacang Kapri). Journal of
Biological Science. 2 (1): 20 – 27.
43

ACARA 7
FREKUENSI ALEL, GENOTIPE DAN FENOTIPE

PENDAHULUAN

Alel adalah gen-gen yang terletak pada lokus yang sama dengan membawa
sifat yang bervariasi bagi keturunan berikutnya karena interaksi gen pada
khromosom. Pada sebuah lokus diploid masing-masing lokus diwakili dua kali
dalam genom. Individu homozigot memiliki dua alel yang sama untuk sebuah
sifat tertentu, sedangkan individu heterozigot memiliki dua alel yang berbeda
untuk sifat tertentu. Penulisan alel dominan dinotasikan dengan simbol huruf
besar, sedangkan alel resesif dinotasikan dengan simbol huruf kecil. Menurut
Teori Hardy-Weinberg jika pada suatu populasi terjadi secara acak, tidak terjadi
mutasi, tidak terjadi migrasi dan tidak terjadi seleksi alam maka nilai frekuensi
gen akan konstan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Apabila kudua alel
pada sebuah lokus dinotasikan dengan p dan q, maka secara aljabar Teori Hardy-
Weinberg dapat dituliskan menjadi:
(p + q)2 = p2 + 2pq + q2

TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan dari praktikum ini adalah mengetahui frekuensi alel, genotip dan
fenotip melalui probabilitis pelemparan dua buah koin untuk membuktikan hukum
Hardy-Weinberg dengan menggunakan uji chi-square (X2). Manfaat dari
praktikum ini adalah dapat memahami rasio frekuensi alel, genotip dan fenotip
dengan pengujian Teori Hardy-Weinberg pada pelemparan dua buah koin melalui
tabel chi-square.
44

TINJAUAN PUSTAKA

Alel adalah gen-gen yang terdapat dalam lokus yang bersesuaian dari
pasangan khromosom homolog, tetapi memiliki sifat yang bervariasi karena
mutasi pada gen asli. Masing-masing lokus diwakili dua kali dalam genom suatu
individu pada spesies diploid, lokus homolog dapat bersifat homozigot atau
heterozigot (Snustad dan Simmons, 2012). Dalam sebuah lokus pada individu
homozigot memiliki dua alel untuk sebuah sifat tertentu, sedangkan pada individu
heterozigot terdapat dua alel yang berbeda untuk sifat tertentu (Campbell et al.,
2003). Seluruh alel yang terdapat pada lokus yang dimiliki individu menyusun
kumpulan gen populasi tersebut. Jika semua anggota populasi adalah homozigot
bagi alel yang sama, maka alel tersebut akan berada tetap pada kumpulan gen
yang sama.
Persebaran frekuensi alel (p + q), genotip (p2 + 2pq + q2) dan fenotip pada
suatu populasi berdasarkan Teori Hardy-Weinberg tetap konstan selama beberapa
generasi, terkecuali terdapat intervensi selain melalui rekombinasi secara seksual
(Muin dan Zurahmah, 2009). Sehingga, fertilisasi acak dan pergeseran seksual
alel akibat meosis tidak berdampak pada keseluruhan struktur gen suatu populasi.
Penghitungan frekuensi alel, genotip dan fenotip dapat dilakukan dengan Teori
Hardy-Weinberg melalui uji chi-square untuk mengetahui kesetimbangan yang
terjadi pada gen (Winarso, 2008).

MATERI DAN METODE

Praktikum penghitungan frekuensi alel, genotip dan fenotip yang dilakukan


pada hari Kamis, 15 Oktober 2015 pukul 14.00 – 15.00 WIB di Laboratorium
Fisiologi dan Pemuliaan Tanaman, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Alat yang digunakan dalam penghitungan frekuensi alel, genotip dan fenotip
adalah pensil untuk mencatat data hasil pelemparan koin, kertas sebagai media
45

untuk menuliskan data hasil pelemparan koin. Bahan yang digunakan adalah dua
buah koin logam dengan kedua sisi yang berbeda.
Metode yang dilakukan adalah dengan menyiapkan pensil dan kertas,
membuat tabel pengamatan, kemudian melempar kedua koin secara bersamaan
lakukan pengulangan sebanyak 200 kali, mencatat hasil posisi koin pada setiap
pelemparan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum penghitungan frekuensi alel, genotip dan fenotip


yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut,

Tabel 1. Data Hasil Penghitungan Pelemparan Dua Buah Koin


Frekuensi genotip yang diamati
HH (HH) HP (Hh) PP (hh) ∑
Observed 51 97 52 200
Expected 50 100 50 200
O–E 1 -3 2 0
(O − E)2 0,02 0,09 0,08 0,19
E
X2 hitung 0,19
Sumber: Data Primer Praktikum Biologi, 2015

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data bahwa pada pelemparan kedua


koin secara bersamaan sebanyak 200 kali didapatkan jumlah kemunculan kedua
koin kepala menghadap ke atas, masing-masing koin kepala dan ekor menghadap
ke atas, serta kedua koin ekor menghadap ke atas secara berurutan adalah 51; 97
dan 52 dengan perbandingan 1 : 2 : 1 untuk 200 kali pelemparan. Berdasarkan
data pada tabel, frekuensi genotip HH, 2Hh dan hh berturut-turut adalah 0,205;
0,485 dan 0,210 sehingga frekuensi fenotip pada sifat dominan yang tampak
adalah 0,690 dan pada sifat resesif yang tampak adalah 0,210 sedangkan frekuensi
alel H adalah 0.453 dan frekuensi alel h adalah 0.547. Hal ini sesuai dengan
46

pendapat Nury (2010) yang menyatakan bahwa jumlah frekuensi gen dominan
dan resesif adalah 1 dan jumlah frekuensi ketiga macam genotip (p2, 2pq dan q2)
adalah 1. Berdasarkan tabel chi-square, hasil X2 hitung adalah 0,19. Hasil
penghitungan X2 menunjukkan adanya keseimbangan Teori Hardy-Weinberg
karena X2 hitung < X2 tabel pada tabel chi-square. Hal ini sesuai dengan pendapat
Mulliadi dan Arifin (2010) yang menyatakan bahwa keseimbangan Teori Hardy-
Weinberg terjadi jika pada tabel chi-square menunjukkan X2 hitung < X2 tabel,
sehingga mengindikasikan tidak adanya penyimpangan, sehingga frekuensi gen
dan genotip tetap dari generasi ke generasi yang menggambarkan keseimbangan
suatu populasi.

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil penghitungan frekuensi alel, genotip dan fenotip melalui pengamatan


pelemparan dua buah koin secara bersamaan sebanyak 200 kali menggunakan
tabel chi-square didapatkan hasil frekuensi alel dominan (R) adalah 0,453 dan
frekuensi alel resesif (r) adalah 0,547. Nilai hasil penghitungan frekuensi genotip
HH, 2Hh dan hh secara berurutan adalah 0,205; 0,485 dan 0,210. Nilai frekuensi
fenotip pada sifat dominan yang tampak adalah 0,690 dan sifat resesif yang
tampak adalah 0,210. Terjadi keseimbangan Teori Hardy-Weinberg karena nilai
X2 hitung < X2 tabel.
Saran untuk pengamatan selanjutnya adalah agar pelemparan koin dilakukan
diatas media yang memiliki gaya impulsif tinggi, serta memastikan koin tidak
terpental dan terlempar terlalu jauh.

DAFTAR PUSTAKA

Campbell, et al. 2003. Biologi Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta : Erlangga.

Muin, M. A. dan N. Zurahmah. 2009. Evaluasi Polimorfisme Leu/Val pada Gen


Hormon Pertumbuhan Sapi Fresian Holstein di Balai Pembibitan Ternak
Unggul Sapi Perah Baturaden. Animal. Production 11(3) : 155-159.
47

Mulliadi, D. dan J. Arifin. 2010. Pendugaan Keseimbangan Populasi dan


Heterozigositas Menggunakan Pola Protein Albumin Darah pada Populasi
Domba Ekor Tipis (Javanese Thin Tailed) di Daerah Indramayu. Jurnal
Ilmu Ternak 10(2) : 65-72.

Nury, H. S. 2010. Identifikasi Keragaman Gen β-laktoglobulin pada Sapi Friesian


Holstein di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Perah Cikole,
Lembang. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi
Sarjana Peternakan).

Snustad, D. P. dan M. J. Simmons. 2012. Principles of Genetics 6th ed. John


Wiley & Sons, Inc., Hoboken.

Winarso, J. 2008. Hubungan kualitas susu dengan keragaman genetik dan


prevalensi mastitis subklinis di daerah jalur susu Malang sampai Pasuruan.
J. Sain. Vet. 26 (2): 58-65.
48

LAMPIRAN

Frekuensi Genotip
HH = 51/200
= 0,205
Hh = 97/200
= 0,485
hh = 52/200
= 0,210

Frekuensi Fenotip
H dominan (HH, Hh) = 0,205 + 0,485
= 0,690
h resesif (hh) = 0,210

Frekuensi Alel
H = √0,205
= 0,453
h =1–R
= 0,547

Uji Chi-Square
X2 hitung = 0,19
X2 tabel (dk=2; p=0,05) = 5,99
X2 hitung < X2 tabel = 0,19 < 5,99
*Terjadi keseimbangan Teori Hardy-Weinberg
49

ACARA 8
EKOSISTEM

PENDAHULUAN

Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk karena adanya


hubungan timbal balik yang tidak dapat terpisahkan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Ada dua jenis komponen ekosistem yang diambil secara garis
besar yaitu komponen biotik atau hayati dan komponen abiotik atau fisik.
Komponen biotik mencakup semua makhluk hidup yang dilihat dari susunan
trofiknya yang dibagi ke dalam beberapa tingkatan yaitu komponen produsen,
komponen konsumen dan komponen pengurai, sedangkan bila dilihat dari fungsi
komponen itu sendiri maka ia dapat dibagi ke dalam dua komponen dasar yakni
komponen autotrof yang bisa membentuk makanannya sendiri dan komponen
heterotrof yang tidak bisa membentuk makanannya sendiri. Komponen abiotik
mencakup semua unsur yang bukan makhluk hidup seperti udara, suhu, air, tanah,
curah hujan dan sinar matahari. Didalam ekosistem terjadi aliran energi yang
membentuk suatu rantai makanan. Rantai makanan adalah perpindahan materi dan
energi melalui proses makan dan dimakan dengan urutan tertentu.

TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan dari praktikum pengamatan ekosistem adalah untuk mengetahui


komponen-komponen dari suatu ekosistem dan menentukan rantai makanan dari
ekosistem tersebut. Manfaat dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat
memahami komponen-komponen dari suatu ekosistem dan menemukan rantai
makanan ekosistem tersebut.
50

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem adalah hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan


lingkungannya. Ekosistem merupakan suatu unit ekologi di mana komunitas
organisme dan lingkungan fisiknya saling berinteraksi secara timbal balik
(Supriatna, 2008). Suatu ekosistem terdiri dari semua organisme yang hidup
dalam suatu komonitas dan semua faktor-faktor yang berinteraksi dengan
organism tersebut. Ekosistem merupakan kesatuan berbagai macam makhluk
hidup termasuk tumbuhan, hewan, manusia dan jasad renik dengan lingkungannya
seperti tanah, air, udara dan iklim yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi (Rushayanti, 2007).
Ekosistem tersusun dari komponen biotik dan komponen abiotik.
Komponen biotik adalah bagian dari suatu ekosistem yang terdiri atas makhluk
hidup. Berdasarkan fungsinya komponen biotik dibedakan menjadi tiga yaitu
produsen, konsumen dan dekomposer. Faktor biotik akan membentuk tingkatan-
tingkatan organisme yang akan saling berinteraksi dan mempengaruhi dalam
membentuk suatu system (Abdurahman, 2006). Komponen abiotik adalah bagian
dari suatu ekosistem yang terdiri atas makhluk tak hidup. Komponen abiotik
terdiri atas cahaya, udara, air, tanah, suhu, dan mineral yang saling
ketergantungan antar komponen ekosistem (Sitanggang et al., 2015).
Komponen biotik dan abiotik dalam suatu ekosistem sangat berkaitan satu
sama lain. Komponen biotik akan membentuk hubungan memakan dan dimakan
atau disebut dengan rantai makanan, sedangkan komponen abiotik akan
membentuk lingkungan yang memegang peranan penting bagi keberlangsungan
hidup komponen biotik dalam suatu ekosistem (Yudasmara, 2015). Ekosistem
harus terus diberi tenaga dengan mengalirkan energi dari matahari dan materi
akan bersiklus dalam ekosistem tersebut (Campbell et al., 2004).
Rantai makanan adalah hubungan antara konsumen dengan produsen atau
konsumen dengan konsumen yang lain dengan adanya perpindahan energi
makanan dari sumber daya tumbuhan melalui jenjang makanan. Rantai makanan
juga merupakan bagian dari jaring-jaring makanan, dimana rantai makanan
51

bergerak secara linear dari produsen ke konsumen teratas. Perpindahan rantai


makanan dari tingkat trofik satu ke tingkat trofik yang lebih tinggi yang dimulai
dari produsen (Campbell et al., 2004). Rantai makanan yang tersusun atas
produsen sebagai tingkat trofik I dan konsumen sebagai tingkat trofik II serta
konsumen yang lain sebagai tingkat trofik teratas. Semakin banyaknya tingkat
trofik pada perputaran rantai makanan maka akan menciptakan kestabilan pada
ekosistem tertentu. Keanekaragaman yang tinggi dari tiap komponen biotik yang
semakin banyak akan menyebabkan rantai makanan semakin panjang dan akan
meciptakan ekosistem yang baik (Maisyaroh, 2010).

MATERI DAN METODE

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Selasa, 24 November 2015 di Rawa


belakang Stadion Universitas Diponegoro, Semarang. Alat yang digunakan adalah
kamera yang digunakan untuk memotret ekosistem yang ada pada lokasi dan alat
tulis untuk mencatat hasil dari pengamatan yang dilakukan. Bahan yang
digunakan adalah ekosistem yang terdiri dari seluruh komponen biotik dan abiotik
di Rawa belakang Stadion Universitas Diponegoro, Semarang.
Metode yang digunakan adalah memilih lokasi untuk praktikum
pengamatan ekosistem, kemudian mengamati ekosistem yang terdiri dari
komponen biotik dan abiotik yang terdapat di lokasi pengamatan tersebut lalu
mencatat hasil pengamatan menggunakan alat tulis, lalu memotret kondisi
ekosistem di lokasi pengamatan dan menyusun rantai makanan dari ekosistem
yang telah diamati.
52

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarakan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai


berikut :

1. Komponen Biotik

Ilustrasi 1. Rumput

Ilustrasi 2. Bunga

Ilustrasi 3. Capung
53

Ilustrasi 4. Kecebong

Ilustrasi 5. Lumut

Ilustrasi 6. Lebah

Ilustrasi 7. Katak dewasa


54

Ilustrasi 8. Burung
2. Komponen Abiotik

Ilustrasi 9. Air

Ilustrasi 10. Matahari


55

3. Rantai Makanan

Ekosistem yang ada pada rawa ini memiliki komponen biotik berupa
rumput, bunga, capung, kecebong, lumut, lebah, burung dan katak dewasa.
Komponen biotik berperan dalam keseimbangan ekosistem. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sitanggang et al (2015) yang menyatakan bahwa komponen biotik
berperan dalam menjamin kelangsungan organisme dan terciptanya keseimbangan
ekosistem. Komponen biotik sangat dibutuhkan karena komponen ini sangat
berpengaruh pada rantai makanan atau jarring-jaring makanan yang terjadi pada
suatu ekosistem. Faktor komponen biotik akan membentuk tingkatan dan saling
berinteraksi sehingga menjadi satu kesatuan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Abdurahman (2006) yang menyatakan bahwa faktor biotik akan membentuk
tingkatan-tingkatan organisme yang akan saling berinteraksi dan mempengaruhi
dalam membentuk suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Komponen abiotik yang terdapat pada ekosistem ini adalah air dan matahari.
Komponen abiotik adalah komponen yang terdiri dari makhluk tak hidup. Hal ini
sesuai dengan pendapat Yudasmara (2015) yang menyatakan bahwa komponen
56

abiotik adalah bagian dari ekosistem yang terdiri dari unsur fisika dan kimia (non
hidup) yang akan membentuk lingkungan dan berperan dalam kelangsungan
ekosistem. Sinar matahari sebagai komponen abiotik dalam ekosistem ini sangat
penting karena ekosistem membutuhkan energi dan materi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Campbell et al. (2004) yang menyatakan bahwa ekosistem harus terus
diberi tenaga dengan mengalirkan energi dari matahari dan materi akan bersiklus
dalam ekosistem tersebut.
Rantai makanan yang terbentuk dari tingkatan produsen hingga konsumen
tingkat atas dari komponen biotik dan abiotik yang tersusun dari rumput, bunga,
burung, lumut, lebah, kecebong, katak dewasa, capung, air dan matahari. Air dan
matahari berperan sebagai pelengkap berlangsungnya rantai makanan serta bunga,
rumput dan lumut sebagai produsen pada rantai makanan. Lebah, capung,
kecebong, burung dan katak dewasa berperan sebagai konsumen tingkat I sampai
tingkat atas pada rantai makanan. Bunga sebagai produsen pertama akan
dikonsumsi oleh konsumen tingkat I (lebah) selanjutnya lebah akan dikonsumsi
oleh konsumen tingkat II (katak dewasa). Rumput sebagai produsen kedua akan
dikonsumsi oleh konsumen tingkat I (capung) selanjutnya capung akan
dikonsumsi oleh konsumen tingkat II (katak dewasa). Lumut sebagai produsen
ketiga akan dikonsumsi tingkat I (kecebong) selanjutnya capung akan dikonsumsi
oleh konsumen tingkat II (burung). Hal ini sesuai dengan pendapat Campbell et
al. (2004) yang menyatakan bahwa perpindahan rantai makanan dari tingkat trofik
satu ke tingkat trofik yang lebih tinggi yang dimulai dari produsen. Kestabilan
rantai makanan akan terganggu apabila tidak tersedianya produsen atau hilangnya
salah satu konsumen sehingga menyebabkan rantai makanan menjadi lebih
pendek, sedangkan apabila terdapat komponen biotik yang lain maka akan
memperpanjang rantai makanan dan membuat siklus perputaran rantai makanan
menjadi stabil. Hal ini sesuai dengan pendapat Maisyaroh (2010) yang
menyatakan bahwa keanekaragaman yang tinggi dan komponen biotik yang
semakin banyak akan menyebabkan rantai makanan semakin panjang dan akan
meciptakan ekosistem yang baik.
57

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan praktikum pengamatan ekosistem yang telah dilakukan dapat


disimpulkan bahwa komponen biotik dan abiotik memberikan kesinambungan
dalam terjadinya ekosistem serta membentuk rantai makanan dari komponen
tersebut.
Saran dari praktikum pengamatan ekosistem ini adalah dengan lebih
memperhatikan hal-hal yang terdapat pada komponen biotik dan abiotik serta
mampu mengkategorikan tiap komponen pada susunan rantai makanannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, D. 2008. Biologi Kelompok Pertanian dan Kesehatan. Bandung :


Grafindo Media Pratama.

Campbell, N.A, J. B. Reece dan L.G. Mitchell. 2003. Biologi Edisi Lima Jilid
Tiga. Jakarta : Erlangga.

Maisyaroh, W. 2010. Struktur Komunitas Tumbuhan Penutup Tanah di Taman


Hutan Raya R. Soerjo Cangar, Malang. Jurnal Pembangunan dan Alam
Lestari 1(1) : 1-9

Rushayanti, S.B. 2007. Mengenal Keanekaragaman Hayati. Jakarta : Grasindo.

Sitanggang, N.D.H dan Yulistiana. 2015. Peningkatan Hasil Belajar Ekosistem


Melalui Penggunaan Laboratorium Alam. Jurnal Formatif 5(2) : 156-167

Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor


Indonesia

Yudasmara, G.A. 2015. Analisis Keanekaragaman dan Kemelimpahan Relatif


Algae Mikroskopis di Berbagai Ekosistem pada Kawasan Intertidal Pulau
Menjangan Bali Barat. Jurnal Sains dan Teknologi 4(1) : 503-515

Anda mungkin juga menyukai