Menurut bahasa azan berarti pemberitahuan tentang sesuatu. Sebagaimana Firman Allah
SWT dalam Kitab Suci Al-Qur’an Surat At-Taubah Ayat 3 yang berbunyi :
Dan dalam surat yang lain yakni surat Al-Anbiya Ayat 109 Allah Berfirman :
Sedangkan adzan menurut syara atau syariat adalah pemberitahuan tentang waktu shalat
dengan lafadz-lafadz khusus sebagaimana yang ditetapkan oleh syariat. (Baca juga: Lafadz
Adzan Bahasa Arab Lengkap).
Dari pengertian-pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa adzan merupakan suatu
pemberitahuan seorang mu’azin (orang yang adzan) kepada orang lain tentang masuknya
waktu shalat.
Pengertian Iqomah
Berbeda dengan adzan. Jika adzan merupakan pemberitahuan masuknya waktu shalat, maka
iqomah merupakan pemberitahuan tentang pelaksanaan shalat. Dari segi bahasa iqomah
berarti menegakkan sesuatu, sedangkan menurut syara atau syariat, iqomah adalah
pemberitahuan akan ditunaikannya shalat wajib dengan lafadz-lafadz khusus yang telah
ditetapkan oleh syariat
Sejarah azan dan iqamah
Azan mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Mulanya, pada suatu hari Nabi
Muhammad mengumpulkan para sahabat untuk memusyawarahkan bagaimana cara
memberitahu masuknya waktu salat dam mengajak orang ramai agar berkumpul ke masjid
untuk melakukan salat berjamaah.
Di dalam musyawarah itu ada beberapa usulan. Ada yang mengusulkan supaya dikibarkan
bendera sebagai tanda waktu salat telah masuk. Apabila benderanya telah berkibar, hendaklah
orang yang melihatnya memberitahu kepada umum. Ada juga yang mengusulkan supaya
ditiup trompet seperti yang biasa dilakukan oleh pemeluk agama Yahudi.
Ada lagi yang mengusulkan supaya dibunyikan lonceng seperti yang biasa dilakukan oleh
orang Nasrani. Ada seorang sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu salat tiba,
maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi di mana orang-orang bisa dengan mudah
melihat ke tempat itu, atau setidaknya, asapnya bisa dilihat orang walaupun berada di tempat
yang jauh. Yang melihat api itu, hendaklah datang menghadiri salat berjamaah.
Semua usulan yang diajukan itu ditolak oleh Nabi. Tetapi, dia menukar lafal itu dengan
assalatu jami’ah (marilah salat berjamaah). (KYP3095) Lantas, ada usul dari Umar bin
Khattab jika ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil kaum Muslim untuk salat
pada setiap masuknya waktu salat. Kemudian saran ini bisa diterima oleh semua orang dan
Nabi Muhammad juga menyetujuinya.
Lafal azan tersebut diperoleh dari hadis tentang asal muasal adzan dan iqamah:
Abu Daud mengisahkan bahwa Abdullah bin abbas berkata sebagai berikut:
“ "Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk salat dimusyawarahkan, suatu
malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang
menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya,
"apakah ia bermaksud akan menjual lonceng itu? Jika memang begitu, aku
memintanya untuk menjual kepadaku saja". Orang tersebut justru bertanya,"
Untuk apa?" Aku menjawabnya, "Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami
dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan salat". Orang itu berkata lagi,
"Maukah kamu kuajari cara yang lebih baik? Dan aku menjawab, "ya" dan dia
berkata lagi dengan suara yang amat lantang:
Setelah lelaki yang membawa lonceng itu melafalkan azan, dia diam sejenak, lalu
berkata: "Kau katakan jika salat akan didirikan:
Begitu subuh, aku mendatangi Rasulullah kemudian kuberitahu dia apa yang
kumimpikan. Diapun bersabda: "Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar,
insya Allah. Bangkitlah bersama Bilal dan ajarkanlah kepadanya apa yang kau
mimpikan agar diadzankannya (diserukannya), karena sesungguhnya suaranya
lebih lantang darimu." Ia berkata: Maka aku bangkit bersama Bilal, lalu aku
ajarkan kepadanya dan dia yang berazan. Ia berkata: Hal tersebut terdengar oleh
Umar bin al-Khaththab ketika dia berada di rumahnya. Kemudian dia keluar
dengan selendangnya yang menjuntai. Dia berkata: "Demi Dzat yang telah
mengutusmu dengan benar, sungguh aku telah memimpikan apa yang
dimimpikannya." Kemudian Rasulullah bersabda: "Maka bagi Allah-lah
segala puji."[1]
Kejadian dalam hadits tersebut terjadi di Madinah pada tahun pertama Hijriah atau 622 M.[2]
Adab azan
Adapun adab melaksanakan azan menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
Kriteria muazin
Menjawab azan
Apabila mendengar suara azan, disunahkan untuk menjawab azan tersebut sebagaimana yang
diucapkan oleh muazin, kecuali apabila muazin mengucapkan: "Hayya alash-shalah", "Hayya
alal-falah", dan "Ashsalatu khairum minan-naum" (dalam azan Subuh).
Lalu para ulama berbeda pandangan dalam hal hukumnya, apakah azan itu wajib ataukah
sunnah muakkad? Namun yang shahih, hukum azan adalah fardhu kifayah. Jadi tidak boleh
di suatu negeri tidak ada kumandang azan sama sekali.
1- Azan adalah di antara syi’ar Islam yang besar di mana syi’ar ini tidak pernah ditinggalkan
sepeninggal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita tidak pernah mendengar ada satu
waktu yang kosong dari azan.
2- Kumandang azan dijadikan patokan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah
suatu negeri termasuk negeri Islam ataukah tidak. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
menceritakan bahwa,
3- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk dikumdangkan azan dan
mengangkat salah seorang jadi imam. Beliau bersabda,
5- ‘Utsman bin Al ‘Ash berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Yang tepat, hukum azan adalah
fardhu kifayah. Tidak boleh jika ada di suatu negeri atau kampung yang tidak ada azan sama
sekali. Demikian pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad dan lainnya
Keutamaan Adzan
Salah satu tanda sempurnanya syari’at Islam ini adalah memberi dorongan kepada ummatnya
untuk melaksanakan ibadah dengan menyebutkan keutamaan ibadah tersebut. Begitu pula
adzan, banyak riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan
tentang keutamaan adzan dan orang yang menyerukan adzan (muadzin).
”Apabila diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut
hingga tidak mendengar adzan. Bila muadzin selesai mengumandangkan adzan, ia datang
hingga ketika diserukan iqamat ia berlalu lagi …” (HR. Bukhari no. 608 dan Muslim no.
1267)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu juga, ia mengabarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
”Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala yang didapatkan dalam adzan dan
shaf pertama kemudian mereka tidak dapat memperolehnya kecuali dengan undian niscaya
mereka rela berundi untuk mendapatkannya…” (HR. Bukhari no. 615 dan Muslim no. 980)
Muawiyah radhiallahu ‘anhu berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengabarkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
َ َّش ْي ٌء ِإال
ش ِهد ٌ ت ْال ُم َؤ ِذ ِن ِج ٌّن َوالَ ِإ ْن
َ َس َوال َ لَهُ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َِالَ يَ ْس َم ُع َمدَى
ِ ص ْو
”Tidaklah jin dan manusia serta tidak ada sesuatu pun yang mendengar suara lantunan
adzan dari seorang muadzin melainkan akan menjadi saksi kebaikan bagi si muadzin pada
hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 609)
Ibnu ’Umar radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ب َويَاب ْ س ِمعَهُِِيُ ْغفَ ُر ِل ْل ْم َؤ ِذ ِن ُم ْنت َ َهى أََِ ذَانِ ِه َويَ ْست َ ْغ ِف ُر لَهُ ُك ُّل َر
ٍ ط َ ٍس
”Diampuni bagi muadzin pada akhir adzannya. Dan setiap yang basah atau pun yang kering
yang mendengar adzannya akan memintakan ampun untuknya.” (HR. Ahmad 2: 136. Syaikh
Ahmad Syakir berkata bahwa sanad hadits ini shahih)
”Ya Allah berikan kelurusan bagi para imam dan ampunilah para muadzin.” (HR. Abu
Dawud no. 517 dan At-Tirmidzi no. 207, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no.
217)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
Demikianlah keutamaan-keutamaan yang terdapat pada adzan dan muadzin. Semoga kita
termasuk dari golongan orang-orang yang ketika mendengar sebuah hadits, segera
mengamalkannya. Wallahu a’lam.
Berikut ini 10 keutamaan adzan berdasarkan hadits-hadits shahih (minimal hasan):
Pahala adzan sangat besar. Begitu besarnya pahala adzan hingga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengisyaratkan, jika orang-orang mengetahui pahalanya, mereka pasti
berebut untuk adzan meskiun dengan cara diundi.
2. Makhluk dan benda yang mendengar adzan akan menjadi saksi bagi muadzin
Seluruh makhluk yang mendengar adzan seorang muadzin, mereka akan menjadi saksi
baginya di hari kiamat kelak.
“Tidaklah adzan didengar oleh jin, manusia, batu dan pohon kecuali mereka akan
bersaksi untuknya” (HR. Abu Ya’la)
“Tidaklah suara adzan didengar oleh pohon, lumpur, baru, jin dan manusia,
kecuali mereka akan bersaksi untuknya” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Di antara keutamaan adzan yang istimewa adalah, para muadzin akan mendapatkan ampunan
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Benda-benda yang mendengar adzan –tanpa kita sadari-
memohonkan ampunan Allah untuk muadzin.
Jika seorang muadzin mengumandangkan di masjid atau mushola, kemudian orang berduyun-
duyun menunaikan shalat jamaah karena mendengar adzan tersebut, maka muadzin
mendapatkan keutamaan ahala seperti pahala orang-orang yang shalat bersamanya tersebut.
“Imam adalah penjamin dan muadzin adalah orang yang dipercaya. Ya Allah,
luruskanlah para imam dan ampunilah muadzin” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Seperti hadits di atas, Rasulullah mendoakan muadzin, memintakan ampunan Allah baginya.
Doa Rasulullah pastilah maqbul. Dan bukan hanya di hadits itu beliau mendoakan muadzin.
Di hadits lain beliau juga mendoakan dan memintakan ampunan.
“Semoga Allah meluruskan para imam dan mengampuni para muadzin” (HR. Ibnu
Hibban)
Para muadzin akan dimuliakan Allah di hari kiamat, di antaranya dengan dipanjangkan
lehernya.
Inilah puncak dari keutamaan adzan. Orang yang adzan akan dimasukkan Allah ke dalam
surga-Nya sebagaimana hadits di atas dan hadits di bawah ini:
“Kami pernah bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu Bilal berdiri
mengumandangkan adzan. Ketika selesai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Barangsiapa mengucapkan seperti ini dengan yakin, niscaya dia masuk
surga’.” (HR. An Nasa’i)
Kisah Bilal untuk terakhir kalinya kembali mengumandangkan Adzan di Masjid Nabawi,
Adzan yang tak bisa dirampungkannya.
Dengan kesedihan yang mendalam Bilal berkata : “ Biarkan aku hanya menjadi
muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-
siapa lagi .”
Khalifah Abu Bakar pun bisa memahami kesedihan Bilal dan tak lagi memintanya untuk
kembali menjadi muadzin di Masjid Nabawi, melantunkan Adzan panggilan umat muslim
untuk menunaikan shalat fardhu.
Kesedihan Bilal akibat wafatnya Rasulullah tidak bisa hilang dari dalam hatinya. Ia pun
memutuskan untuk meninggalkan Madinah, bergabung dengan pasukan Fath Islamy hijrah ke
negeri Syam. Bilal kemudian tinggal di Kota Homs, Syria.
Sekian lamanya Bilal tak berkunjung ke Madinah, hingga pada suatu malam, Rasulullah
Muhammad SAW hadir dalam mimpinya. Dengan suara lembutnya Rasulullah menegur Bilal
: “ Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa? Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku?
Mengapa sampai seperti ini? “
Bilal pun segera terbangun dari tidurnya. Tanpa berpikir panjang, Ia mulai mempersiapkan
perjalanan untuk kembali ke Madinah. Bilal berniat untuk ziarah ke makam Rasulullah
setelah sekian tahun lamanya Ia meninggalkan Madinah.
Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah, juga turut haru melihat pemandangan tersebut.
Kemudian salah satu cucu Rasulullah itupun membuat sebuah permintaan kepada Bilal.
“ Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami
ingin mengenang kakek kami .”
Umar bin Khattab juga ikut memohon kepada Bilal untuk kembali mengumandangkan Adzan
di Masjid Nabawi, walaupun hanya satu kali saja. Bilal akhirnya mengabulkan permintaan
cucu Rasulullah dan Khalifah Umar Bin Khattab.
Saat tiba waktu shalat, Bilal naik ke puncak Masjid Nabawi, tempat Ia biasa kumandangkan
Adzan seperti pada masa Rasulullah masih hidup. Bilal pun mulai mengumandangkan Adzan.
Saat lafadz “ Allahu Akbar ” Ia kumandangkan, seketika itu juga seluruh Madinah terasa
senyap. Segala aktifitas dan perdagangan terhenti. Semua orang sontak terkejut, suara
lantunan Adzan yang dirindukan bertahun-tahun tersebut kembali terdengar dengan
merdunya.
Kemudian saat Bilal melafadzkan “ Asyhadu an laa ilaha illallah “, penduduk Kota
Madinah berhamburan dari tempat mereka tinggal, berlarian menuju Masjid Nabawi. Bahkan
dikisahkan para gadis dalam pingitan pun ikut berlarian keluar rumah mendekati asal suara
Adzan yang dirindukan tersebut.
Tangisan Khalifah Umar bin Khattab terdengar paling keras. Bahkan Bilal yang
mengumandangkan Adzan tersebut tersedu-sedu dalam tangis, lidahnya tercekat, air matanya
tak henti-hentinya mengalir. Bilal pun tidak sanggup meneruskan Adzannya, Ia terus terisak
tak mampu lagi berteriak melanjutkan panggilan mulia tersebut.
Hari itu Madinah mengenang kembali masa saat Rasulullah masih ada diantara mereka. Hari
itu, Bilal melantukan adzan pertama dan terakhirnya semenjak kepergian Rasulullah. Adzan
yang tak bisa dirampungkannya.