Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhammad Hanif Fuadi Ahna

NPM : 180110170021
Kuis 2: Semiotika

1. Semiotika merupakan suatu kajian ilmu tentang mengkaji tanda. Dalam kajian semiotika
menganggap bahwa fenomena sosial pada masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda, semiotik itu mempelajari sistemsistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi
yang memungkikan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Kajian semiotika berada pada
dua paradigma yakni paradigma konstruktif dan paradigma kritis.
Secara etimologis semiotik berasal dari kata Yunani simeon yang berarti “tanda”. Secara
terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas
objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoest (dalam
Sobur, 2001, hlm. 96) mengartikna semiotik sebagai “ ilmu tanda (sign) dan segala yang
berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.

2. Awal mulanya ilmu yang mempelajari tanda (semiotika) dikemukan oleh ahli linguistik
Swiss yang bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913). Ferdinand de Saussure telah
membagi tanda (sign) menjadi dua bagian yaitu penanda (signifier) dan petanda
(signified). Penanda (signifier) adalah bentuk yang tercitra dalam kognisi seseorang,
sedangkan petanda (signified) adalah makna yang dipahami oleh pemakai tanda. De
Saussure melihat tanda (sign) sebagai sesuatu yang menstruktur yaitu proses pemaknaan
berupa kaitan antara petanda dan penanda serta terstruktur yaitu hasil proses tersebut
dalam kognisi manusia. Oleh karena itu, teori yang dikemukankan oleh de Saussure
dikenal sebagai teori semiotika struktural atau dikotomis. Struktural tersebut merupakan
sebuah wujud dari relasi signifier-signified.
3. Saussure mendefinisikan semiotika (semiotics) sebagai ilmu yang mengkaji tentang peran
tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Menurut Umberto Eco, tanda didefinisikan
sebagi sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat
dianggap mewakili sesuatu yang lain. Littlejohn (1996: 64) dalam Sobur (2001: 95)
menyatakan bahwa tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Tidak
mengherankan bila sebagian teori komunikasi berasal dari semiotik, karena tanpa tanda
manusia tidak bisa berkomunikasi.
Dalam ”Course in General Lingustics” karya Saussure, di kemudian hari hasil
pemikirannya dianggap sebagai sumber teori linguistik yang paling berpengaruh, dimana
kita mengenalnya dengan istilah ”strukturalisme” (Greenz, 2001: 178 dalam Sobur, 2003:
44). Hasil pemikiran Saussure yang terpenting adalah prinsip yang mengatakan bahwa
tanda (sign) tersusun dari dua bagian yaitu penanda (signifier) adalah bunyi yang
bermakna dan petanda (signified) adalah konsep dari bahasa. Hubungan antara keduanya
terbentuk berdasar kesepakatan umum (konvensi). Menurut Saussure linguistik dapat
ditelaah dari dua dimensi, yaitu dimensi vertikal (sinkronik) dan dimensi horisontal
(diakronik). Untuk memahami analisis sinkronik terhadap teks adalah dengan melihat pola
berlawanan yang terpasang dan terpendam dalam teks (struktur paradigmatis) sementara
analisis diakronik memusatkan perhatian pada rangkaian peristiwa atau kejadian (struktur
sintagmatis) yang membentuk narasi.
Semiotika strukturalisme mendasarkan diri pada semiologi Saussure. Dimana analisis
struktural berupaya menyatakan kembali (reconstitute), organisasi simbol-simbol di dalam
sistem tempat mereka berada. (Irawanto, 1999: 29). Salah satu pemikir semiologi
strukturalisme yang sangat dipengaruhi oleh Saussure adalah Roland Barthes, dimana
menurut pemikirannya, bahwa signifikansi adalah proses yang total dengan suatu susunan
yang sudah terstruktur. Sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan
semiotika Saussure adalah melanjutkan proses penandaan yang berhenti pada tataran
denotatif. Sebab terdapat perbedaan yang mendasar antara tataran konotasi adalah makna
yang khusus atau makna yang tersembunyi, sedangkan tataran denotasi adalah makna
umum atau makna sesungguhnya. Dalam semiologi Bathes, denotasi merupakan sistem
signifikansi (pemaknaan) tingkat pertama, sementara konotasi adalah sistem signifikansi
tingkat kedua. (Budiman, 1999: 22, dalam Sobur, 2001: 70 – 71).

4. Strukturalisme memuat nilai-nilai tertentu yang dapat dilihat, dengan jelas, dalam respons
para strukturalis terhadap masalah epistemologi - khususnya dalam hubungan subjek
manusia dengan sistem persepsi dan bahasa sendiri, dan dengan dunia objektif. Dalam
perspektif epistemologis, pengertian struktur pada pokoknya berarti, bahwa sebuah karya
atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu keseluruhan karena ada relasi timbal
balik antara bagian-bagaiannya dan antara bagian dan keseluruhan. Hubungan itu tidak
hanya bersifat positif, seperti kemiripan dan keselarasan, melainkan juga negatif, seperti
misalnya pertentangan dan konflik. Pengertian tentang struktur ini menyebabkan kaum
strukturalis mementingkan relasirelasi antara berbagai lapisan yang terdapat dalam sebuah
karya sastra. Jadi, sebuah struktur dapat dilihat dari bermacam-macam segi penglihatan.
Sesuatu dikatakan mempunyai struktur, bila ia terdiri dari bagian-bagian yang secara
fungsional berhubungan satu sama lain. Bagian-bagian itu tergantung dari cara melihat
barang itu (Keraf, 1989:145). Dengan kata lain, struktur adalah bagaimana cara sebuah
bangunan atau organisme atau seluruhnya secara lengkap dibangun.
Strukturalisme dan semiotika merupakan dua teori yang memiliki hubungan.
Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur karya sastra, sedangkan semiotika
memusatkan perhatian pada persoalan tanda yang terdapat di dalam struktur karya sastra.
Hal inilah yang mendasari beberapa tokoh, seperti Raman Selden dan Jonathan Culler,
beranggapan bahwa strukturalisme dan semiotika masuk dalam bidang kajian ilmu yang
sama. Berangkat dari hal tersebut kedua teori ini pun bisa digunakan secara bersamaan
untuk menganalisis sebuah karya sastra, sebagaimana yang telah dilakukan Rachmat
Djoko Pradopo saat menganalisis sajak-sajak Amir Hamzah dan Chairil Anwar dalam
buku Pengkajian Puisi.

5. Menurut Zaimar (1991), analisis penggunaan semiotika terhadap karya sastra sebaiknya
dimulai dengan analisis bahasa dan menggunakan langkah-langkah seperti dalam tataran
linguistik wacana sebagai berikut.
Langkah pertama adalah dengan menganalisis aspek sintaksis; Langkah kedua adalah
dengan menganalisis aspek semantik; Langkah ketiga adalah dengan menganalisis aspek
pragmatik. Analisis aspek sintaksis berupa analisis terhadap satuan-satuan linguistik.
Analisis ini dapat mengacu pada tata bahasa baku atau pedoman ejaan. Analisis aspek
semantik dapat berupa analisis denotasi, konotasi, majas, dan isotopi. Analisis aspek
pragmatik berupa analisis terhadap pengujaran yang terlaksana dalam rangka komunikasi
yang menuntut kehadiran pengirim dan penerima.

Daftar Pustaka
Alex Sobur. 2001. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, Dan Analisis Framing. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Irawanto, Budi, 1999. Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia.
Yogyakarta: Media Pressindo.
Keraf, Gorys. 1989. Komposisi. Flores: Nusa Indah.
Zaimar, Okke, K.S. 1991. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa Depdiknas.

Anda mungkin juga menyukai