Anda di halaman 1dari 45

WRAP UP SEKNARIO 1

BLOK GASTROINTESTINAL

“NYERI PERUT”

KELOMPOK B-10

KETUA: SONY SEPTIAWAN (1102016211)

SEKRETARIS: SOFNI ROHMANIA (1102014256)

ANGGOTA : MUHAMAD EZAR BEUNGHAR(1102014161)

MUHAMMAD IRFAN SATRIA M (1102016135)

NURRAHMA AYU RIZKA (1102016161)

SARAH NABILA (1102016200)

SYAFHIRA ALIKA PUTRI (1102016211)

ZILA MEIFANZA HANIFAH (1102016235)

YOGI SAPUTRA ANNAS (1102013310)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2017 - 2018
SKENARIO

NYERI PERUT

Nn. A, 20 tahun, mengeluh nyeri perut sejak 3 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan di epigastrium. Dokter menduga terdapat gangguan saluran cerna
bagian atas, sehingga menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan gastrokopi. Hasil
pemeriksan tersebut menunjukan gastritis dan duodenitis, sehingga dilakukan pemeriksaan
lebih lanjutuntuk mengetahui penyebab keadaan tersebut. Pasien diberikan obat dan makanan
yang sesuai untuk mencegah komplikasi tersebut.
KATA SULIT

1. Gastroskopi : endoskop yang digunakan untuk melihat bagian dalam lambung


2. Gastritis : peradangan pada mukosa lambung & Sub Mukosa Lambung
3. Epigastrium : Bagian superior dari Umbilicus
4. Duodenitis : Peradangan pada duodenum

PERTANYAAN

1. Kenapa ada nyeri tekan epogastrium?


2. Makanan apa yang sesuai untuk mencegah komplikasi?
3. Apa hasil dari pemeriksaan gastrokopi
4. Bagaimana tatalaksana pada penyakit tersebut?
5. Mengapa terjadi gastritis dan duodenitis?
6. Apa diagnosis pada skenario?
7. Pemeriksaan lain selain gastrokopi?
8. Komplikasi apa yang dapat terjadi?
9. Diagnosis Banding?
10. Keluhan lain selain distensi?

JAWABAN

1. Makanan yang terkontaminasi bekteri H. Pylori menyerang mukosa lambung :


menyebabkan mukosa menipis > HCL langsung menyentuh dinding lambung > nyeri
tekan
2. Tidak memakan makanan asam, pedas. Makanan yang halus : bubur
3. Ada lesi hemoragik, erosi, tukak multiple, ulkus, eritema
4. Antasid, Antibiotik, Ppi
Non farmakologi : atur pola makan, menghindari stress, istirahat cukup
5. Infeksi H.Pylori > Inflamasi > Sel radang
6. Syndroma Dyspepsia
7. Pemeriksaan Feses, bilas lambung, USG, serologi, darah samar
8. Ulkus peptiku, Ca Gaster, GERD
9. Hepatoma, Hepatitis, GERD
10. Mual muntah ga nafsu makan, kembuung, nyeri ulu hati
HIPOTESIS

Syndroma Dyspepsia disebabkan karena makanan yang terkontaminasi


bekteri H. Pylori yang menyerang mukosa lambung dan menyebabkan mukosa
menipis sehingga HCL langsung menyentuh dinding lambung yang menyebabkan
nyeri tekan
dengan gejala nyeri ulu hati, mual muntah, tidak nafsu makan. Diagnosis banding
pada penyakit ini adalah Hepatoma, Hepatitis, dan GERD. Sehingga dapat ditegakan
ada lesi hemoragik, erosi dan didiagnosis dengan pemeriksaan feses, bilas lambunng,
dan USG. Penyakit ini dapat diobati dengan Antasid, Antibiotik, PPI, tidak memakan
makanan asam, pedas, makanan yang halus, atur pola makan, menghindari stress,
istirahat cukup agar tidak menimbulkan Ulkus peptiku, Ca Gaster, GERD.

SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan Menjelaskan anatomi gaster dan duodenum


1.1 Makroskopis
1.2 Mikroskopis
2. Memahami dan Menjelaskan fisiologi gaster
2.1 Pencernaan (Karbohidrat, Protein, Lemak)
2.2 Sekresi asam lambung dan pembentukan asam lambung
2.3 Pengosongan lambung
2.4 Fungsi terkait bagian-bagian
2.5 Enzim
3. Memahami dan Menjelaskan Syndroma Dyspepsia
3.1 Definisi
3.2 Etiologi
3.3 Epidemiologi
3.4 Klasifikasi
3.5 Patofisiologi
3.6 Manifestasi klinis
3.7 Diagnosis dan diagnosis banding
3.8 Tatalaksana
3.9 Komplikasi
3.10 Pencegahan
3.11 Prognosis

1.1 Anatomi gaster dan duodenum


a. Makro

Lambung terletak pada regio epigastrium sinistra dan hipokondrium sinistra dan
sebagian pada regio umbilical cranio lateral sinistra. Dalam keadaan kosong lambung
menyerupai tambung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir. Kapasitas
normal lambung adalah 1 sampai 2 L. Pada bagian superior, lambung berbatasan dengan
bagian distal esofagus, sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan duodenum.

Lambung terbagi atas beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :

a. Fundus, berbentuk kubah dan menonjol ke atas dan terletak di sebelah kiri ostium
cardiacum. Biasanya fundus terisi penuh oleh gas.

b. Corpus, dari setinggi ostium cardiacum sampai setinggi incisura angularis, suatu
lekukan yang selalu ada pada bagian bawah curvatura minor.

c. Antrum pyloricum, adalah bagian lambung yang paling berbentuk lambung. Dinding
ototnya yang tebal membentuk sphincter pyloricum. Rongga pylorus dinamakan canalis
pyloricus.

Curvatura minor membentuk pinggir kanan lambung dan terbentuk dari ostium
cardiacum sampai pylorus. Omentum minus terbentang dari curvatura minor sampai hati.
Curvatura major jauh lebih panjang dari curvatura minor dan terbentang dari sisi kiri
ostium cardiacum, melalui kubah fundus dan kemudian mengitarinya dan menuju ke
kanan sampai bagian inferior pylorus. Ligamentum (omentum) gastrolienalis terbentang
dari bagian atas curvatura major sampai limpa, dan omentum majus terbentang dari bagian
bawah curvatura major sampai colon transversum.

Ostium cardiacum merupakan tempat dimana oesophagus bagian abdomen masuk ke


lambung. Walaupun secara anatomis tidak ada sphincter, diduga bahwa terdapat
mekanisme fisiologis yang mencegah regurgitasi isi lambung ke oesophagus.

Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus yang panjangnya sekitar 2,5 cm.
Otot sirkular yang meliputi lambung jauh lebih tebal di sini dan secara anatomis dan
fisiologi membentuk sphincter pyloricum. Pylorus terletak pada bagian transpilorica dan
posisinya dapat dikenali dengan adanya sedikit kontraksi pada permukaan lambung.
Sphincter pyloricum mengatur kecepatan pengeluaran isi lambung ke duodenum.

Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang
terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke
dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Di saat
sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika
berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam lambung.
Membran mukosa lambung tebal, banyak mengandung pembuluh darah dan terdiri
atas lipatan atau rugae yang arahnya longitudinal. Lipatan tersebut akan memendek bila
lambung teregang.
Dinding otot lambung mengandung serabut longitudinal, serabut sirkular dan
serabut oblik. Serabut longitudinal terletak paling superfisial dan paling banyak sepanjang
curvatura. Serabut sirkular yang lebih dalam mengelilingi fundus lambung dan sangat
menebal pada pylorus untuk membentuk sphincter pyloricum. Serabut sirkular jarang
sekali ditemukan pada daerah fundus. Serabut oblik membentuk lapisan otot yang paling
dalam. Serabut ini mengitari fundus dan berjalan turun sepanjang dinding anterior dan
posterior, berjalan sejajar dengan curvatura minor. Peritoneum mengelilingi lambung
secara lengkap dan meninggalkan curvatura sebagai lapisan ganda yang dikenal sebagai
omentum.
A. Perdarahan dan Persarafan Gaster
1. Pembuluh Arteri
Arteriae berasal dari cabang truncus coeliacus :
a. Arteria gastrica sinistra berasal dari truncus coeliacus. Arteri ini berjalan ke atas dan
kiri untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura
minor gaster. Arteria gastrica sinistra mendarahi 1/3 bawah oesophagus dan bagian
atas kanan gaster.
b. Arteria gastrica dextra berasal dari arteria hepatica communis pada pinggir atas
pylorus dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Arteria ini mendarahi bagian
kanan bawah gaster.
c. Arteriae gastricae breves berasal dari arteria lienalis pada hilum lienale dan berjalan
ke depan di dalam ligamentum gastrosplenicum untuk mendarahi fundus.
d. Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteria splenica pada hilum lienale dan
berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrolienale untuk mendarahi gaster
sepanjang bagian atas curvatura major.
e. Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis yang merupakan
cabang arteria hepatica communis. Arteria ini berjalan ke kiri dan mendarahi gaster
sepanjang bawah curvatura major.
2. Pembuluh Vena
Vena-vena ini mengalirkan darah ke sirkulasi portal. V.gastrica sinistra dan dextra
langsung mengalirkan darah ke V.porta. V.gastrica brevis dan V.gastroepiploica sinistra
bermuara dalam V.lienalis. V.gastroepiploica dextra bermuara dalam V.mesenterica
superior.
3. Persarafan Gaster
Saraf-saraf lambung, berasal dari plexus symphaticus coeliacus dan dari N.vagus
kanan dan kiri. Truncus vaginalis anterior, yang dibentuk dalam thorax terutama
berasal dari N.vagus kiri. Truncus ini masuk abdomen pada permukaan anterior
oesophagus. Truncus yang mungkin tunggal atau multipel, kemudian membelah
menjadi cabang-cabang yang mempersarafi permukaan anterior lambung. Rami
hepatici berjalan sampai hati dan dari sini ramus pylorica berjalan turun ke pylorus

b. Mikro

A. Lapisan-lapisan yang menyusun lambung yaitu :


1. Lapisan Mukosa
Lapisan mukosa merupakan lapisan yang tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal,
disebut juga rugae. Mukosa lambung terdiri atas tiga lapisan, yakni epitel, lapisan propria,
dan muskularis mukosa. Pada epitel permukaannya menekuk dengan kedalamaan berbeda
ke dalam lamina propria membentuk sumur lambung (gastric pits). Lamina propria
tersusun atas jaringan pengikat longgar diselingi otot polos dan sel-sel limfoid. Juga
terdapat muskularis mukosa, yakni lapisan yang memisahkan mukosa dan submukosa
yang masih merupakan lapisa notot polos (Junquiera dan Carneiro, 2003) .
Mukosa lambung mempunyai satu lapis epitel silinder yang berlekuk-lekuk (foveolae
gastricae), tempat bermuaranya kelenjar lambung yang spesifik. Kelenjar pada daerah
cardiac dan pylorus hanya memproduksi mukus, sedangkan kelenjar pada daerah corpus
dan fundus memproduksi mukus, asam klorida danenzim proteolitik. Karena itu pada
kelenjar corpus dan fundus ditemukan 3 jenissel, yaitu sel yang memproduksi mukus yaitu
sel mukus, sel yang menghasilkan HCl yaitu sel parietal, sel yang menghasilkan enzim
proteolitik yaitu sel epitel mukosa (Sukirno, 2008).
Lamina propria terdiri atas anyaman serat retikuler dan kolagen, serta sedikit elastin.
Juga anyaman fibrosa yang mengandung limfosit, eosinofil, selmast, dan sel plasma.
Kontraksinya berhubungan dengan pengeluaran sekret pada mukosa (Bloom dan Fawcett,
2002) .
Lapisan muskularis mukosa terdiri atas lapisan otot polos tipis yang tersusun sirkuler di
bagian dalam serta lapisan longitudinal di bagian luar (Eroschenko, 2003) .

2. Lapisan Submukosa
Lapisan submukosa tersusun atas jaringan alveolar longgar yang menghubungkan
lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak
dengan gerakan peristaltik. Pada lapisan ini banyak mengandung pleksus saraf (Plexus
Meissner), pembuluh darah, dan saluran limfe (Price danWilson, 2006).

3. Lapisan Muskularis Eksterna


Tidak seperti daerah saluran cerna lain, bagian muskularis tersusun atas tiga lapis dan
bukan dua lapis otot polos : lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan sirkular di tengah,
dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot yang unik ini memungkinkan
berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk mencegah makanan menjadi
partikel-partikel yang kecil, mengaduk daan mencampur makanan tersebut dengan cairan
lambung, dan mendorongnya ke arah duodenum.

4. Lapisan Serosa
Lapisan ini adalah lapisan tipis jaringan ikat yang menutupi lapisan muskularis.
Merupakan lapisan paling luar yang merupakan bagian dari peritonium visceralis. Jaringan
ikat yang menutupi peritonium visceralis banyak mengandung sel lemak (Eroschenko,
2003).

B. Histologi Bagian-bagian Lambung


1. Esophagus Cardia

Pada bagian esophagus cardia


terjadi peralihan dari epitel berlapis
gepeng menjadi epitel selapis silindris.
Saat mencapai cardia kelenjer
esophagus di submucosa tidak ada lagi.

2. Fundus Gaster
Mukosa diliputi oleh epitel selapis torak. Foveola
gastrica sepertiga tebal mukosa (dangkal) sedangkan
kelenjernya (fundus) dua pertiga tebal mukosa, terletak di
lamina propria. Ada beberapa macam kelenjer yang
terdapat disini antara lain :
a. Sel epitel permukaan (sel-sel mukus)
Epitel selapis silindris melapisi seluruh lambung dan
meluas ke dalam sumur-sumur atau foveola. Epitel selapis
silindris ini berawal di cardia, di sebelah epitel berlapis
gepeng oesophagus, dan pada pylorus melanjutkan diri menjadi epitel usus (epitel selapis
silindris). Pada tepian muka yang menghadap lumen, terdapat mikrovili gemuk dan
pendek-pendek. Mukus glikoprotein netral yang disekresikan oleh sel-sel epitel
permukaan membentuk lapisan tipis, melindungi mukosa terhadap asam. Tanpa adanya
mukus ini, mukosa akan mengalami ulserasi.

b. Sel zimogen (Chief cell)


Sel ini terletak di dasar kelenjar lambung, dan menunjukkan ciri-ciri sel yang
mensekresi protein (zimogen). Sel zimogen mengeluarkan pepsinogen, yang dalam
suasana asam di lambung akan diubah menjadi pepsin aktif dan berfungsi menghidrolisis
protein menjadi peptida yang lebih kecil.

c. Sel parietal (oksintik)


Sel ini tersebar satu-satu dalam kelompokan kecil di antara jenis sel lainnya, mulai dari
ismus sampai ke dasar kelenjar lambung, tetapi paling banyak di daerah leher dan ismus.
Pada keadaan isitirahat, terdapat banyak gelembung tubulosa, dan kenalikuli melebar
dengan relatif sedikit mikrovili. Sewaktu mensekresi asam, mikrovili bertambah banyak
dan gelembung tubulosa berkurang, yang menunjukkan adanya pertukaran membran di
antara gelembung tubulosa di dalam sitoplasma dan mikrovili pada permukaan, sekresi
asam HCl terjadi pada permukaan membran yang luas ini. Sel ini juga mensekresikan
faktor intrinsik, suatu glikoprotein yang terikat dengan vitamin B12 dan membantu absorbsi
vitamin ini di usus halus. Vitamin B 12 diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
Kekurangan vitamin B12 akibat kurangnya faktor ini dapat menyebabkan anemia
pernisiosa.
d. Sel mukus leher
Sel ini terletak di daerah leher kelenjar lambung, dalam kelompok kecil atau satu-satu.
Bentuknya cenderung tidak teratur, seakan-akan terdesak oleh sel-sel disekitarnya
(terutama sel parietal). Sel ini memiliki mikrovili apikal yang gemuk dan pendek berisi
filamen halus yang tampak kabur. Sel ini menghasilkan mukus asam, berbeda dengan
mukus netral yang dibentuk oleh sel mukus permukaan.
e. Sel enteroendokrin
Beberapa jenis sel enteroendokrin ditemukan di dalam kelenjar lambung. Sel-sel ini
berjumlah banyak, terutama di daerah antrum pylorik, dan umumnya ditemukan pada
dasar kelenjar. Sel-sel enteroendokrin serupa dengan sel endokrin yang mensekresi
peptida. Sel ini juga ditemukan di dalam epitel usus halus dan besar, kelenjar oesophagus
bagian bawah (cardia), dan dalam jumlah terbatas pada ductus utama hati dan pankreas.
Sel enteroendokrin menghasilkan beberapa hormon peptida murni (sekretin, gastrin,
kolesitokinin); semuanya melalui peredaran darah untuk mencapai organ sasaran pankreas,
lambung, dan kandung empedu. Walaupun sistem saraf mengendalikan aktivitas sekretoris
dan gerakan otot dalam saluran cerna, terdapat interaksi yang rumit dengan kebanyakan
hormon yang dihasilkan oleh sel enteroendokrin ini.
3. Pylorus

Memiliki foveola gastrica yang lebih dalam. Sel-


sel kelenjer hamper homogeny, semua sel mucus
kelenjer pylorus sering berkelok-kelok di dalam
lamina propria. Tunika muskularis dengan lapisan
sirkular amat tebal membentuk sfingter.

4. Gaster Duodenum

Tunika mukosa epitel selapis


torak pada gaster akan memiliki sel
goblet ketika memasuki daerah
duodenum.
2. Fisiologi gaster
2.1 Pencernaan (karbo, protein, asam lemak)

Terdapat empat aspek motilitas lambung: (1) pengisian lambung/gastric filling, (2)
penyimpanan lambung/gastric storage, (3) pencampuran lambung/gastric mixing, dan (4)
pengosongan lambung/gastric emptying.
1. Pengisian lambung
Jika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat
mengembang hingga kapasitasnya mencapai 1 liter (1.000 ml) ketika makan. Akomodasi
perubahan volume yang besarnya hingga 20 kali lipat tersebut akan menimbulkan
ketegangan pada dinding lambung dan sangat meningkatkan tekanan intralambung jika
tidak terdapat dua faktor berikut ini:
a. Plastisitas otot lambung. Plastisitas mengacu pada kemampuan otot polos lambung
mempertahankan ketegangan konstan dalam rentang panjang yang lebar, tidak seperti
otot rangka dan otot jantung, yang memperlihatkan hubungan ketegangan. Dengan
demikian, saat serat-serat otot polos lambung teregang pada pengisian lambung, serat-
serat tersebut melemas tanpa menyebabkan peningkatan ketegangan otot.
b. Relaksasi reseptif lambung. Relaksasi ini merupakan relaksasi refleks lambung
sewaktu menerima makanan. Relaksasi ini meningkatkan kemampuan lambung
mengakomodasi volume makanan tambahan dengan hanya sedikit mengalami
peningkatan tekanan. Tentu saja apabila lebih dari 1 liter makanan masuk, lambung
akan sangat teregang dan individu yang bersangkutan merasa tidak nyaman. Relaksasi
reseptif dipicu oleh tindakan makan dan diperantarai oleh nervus vagus.

2. Penyimpanan lambung
Sebagian otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang autonom dan
berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di lambung di daerah
fundus bagian atas. Sel-sel tersebut menghasilkan potensial gelombang lambat yang
menyapu ke bawah di sepanjang lambung menuju sphincter pylorus dengan kecepatan tiga
gelombang per menit. Pola depolarisasi spontan ritmik tersebut, yaitu irama listrik dasar
atau BER (basic electrical rhythm) lambung, berlangsung secara terus menerus dan
mungkin disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler lambung.
Setelah dimulai, gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan corpus lalu ke
antrum dan sphincter pylorus. Karena lapisan otot di fundus dan corpus tipis, kontraksi
peristaltik di kedua daerah tersebut lemah. Pada saat mencapai antrum, gelombang
menjadi jauh lebih kuat disebabkan oleh lapisan otot di antrum yang jauh lebih tebal.
Karena di fundus dan corpus gerakan mencampur yang terjadi kurang kuat, makanan
yang masuk ke lambung dari oesophagus tersimpan relatif tenang tanpa mengalami
pencampuran. Daerah fundus biasanya tidak menyimpan makanan, tetapi hanya berisi
sejumlah gas. Makanan secara bertahap disalurkan dari corpus ke antrum, tempat
berlangsungnya pencampuran makanan.
3. Pencampuran lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan bercampur
dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap gelombang peristaltik antrum
mendorong kimus ke depan ke arah sphincter pylorus. Sebelum lebih banyak kimus dapat
diperas keluar, gelombang peristaltik sudah mencapai sphincter pylorus dan menyebabkan
sphincter tersebut berkontraksi lebih kuat, menutup pintu keluar dan menghambat aliran
kimus lebih lanjut ke dalam duodenum. Bagian terbesar kimus antrum yang terdorong ke
depan, tetapi tidak dapat didorong ke dalam duodenum dengan tiba-tiba berhenti pada
sphincter yang tertutup dan tertolak kembali ke dalam antrum, hanya untuk didorong ke
depan dan tertolak kembali pada saat gelombang peristaltik yang baru datang. Gerakan
maju-mundur tersebut, yang disebut retropulsi, menyebabkan kimus bercampur secara
merata di antrum.
4. Pengosongan lambung
Kontraksi peristaltik antrum, selain menyebabkan pencampuran lambung juga
menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Jumlah kimus yang lolos ke
dalam duodenum pada setiap gelombang peristaltik sebelum sphincter pylorus tertutup erat
terutama bergantung pada kekuatan peristalsis. Intensitas peristalsis antrum dapat sangat
bervariasi di bawah pengaruh berbagai sinyal dari lambung dan duodenum; dengan
demikian, pengosongan lambung diatur oleh faktor lambung dan duodenum.
Faktor di lambung yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Faktor
lambung utama yang mempengaruhi kekuatan kontraksi adalah jumlah kimus di dalam
lambung. Apabila hal-hal lain setara, lambung mengosongkan isinya dengan kecepatan
yang sesuai dengan volume kimus setiap saat. Peregangan lambung memicu peningkatan
motilitas lambung melalui efek langsung peregangan pada otot polos serta melalui
keterlibatan plexus intrinsik, nervus vagus, dan hormon lambung gastrin. Selain itu, derajat
keenceran (fluidity) kimus di dalam lambung juga mempengaruhi pengosongan lambung.
Semakin cepat derajat keenceran dicapai, semakin cepat isi lambung siap dievakuasi.
Faktor di duodenum yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Walaupun
terdapat pengaruh lambung, faktor di duodenumlah yang lebih penting untuk mengontrol
kecepatan pengosongan lambung. Duodenum harus siap menerima kimus dan dapat
bertindak untuk memperlambat pengsongan lambung dengan menurunkan aktivitas
peristaltik di lambung sampai duodenum siap mengakomodasi tambahan kimus. Bahkan,
sewaktu lambung teregang dan isinya sudah berada dalam bentuk cair, lambung tidak
dapat mengosongkan isinya sampai duodenum siap menerima kimus baru.

2.2 Sekresi dan pembentukan asam lambung

Sel-sel parietal secara aktif mengeluarkan HCl ke dalam lumen kantung lambung yang
kemudian mengalirkannya ke dalam lumen lambung. pH isi lambung turun sampai
serendah 2 akibat sekresi HCl. Ion hidrogen dan ion klorida secara aktif ditansportasikan
oleh pompa yang berbeda di membran plasma parietal. Ion hidrogen secara aktif
dipindahkan melawan gradien konsentrasi karena itu diperlukan banyak energi, sel-sel
parietal memiliki banyak mitokondria. Klorida juga disekresikan secara aktif tetapi
melawan gradien kosentrasi jauh lebih kecil.
Ion hidrogen yang disekresikan tidak dipindahkan dari plasma tetapi berasal dari proses-
proses metabolisme di dalam sel parietal. Apabila disekresikan, netralitas interior di
pertahankan oleh pembentukan dari asam karbonat untuk menggantikan yang keluar
tersebut.

2.3 Pengosongan lambung

Selain pencampuran, gerak peristaltik antrum berfungsi untuk mengosongkan isi


lambung. Jumlah kimus yang lolos ke duodenum pada setiap gelombang kontraksi
sebelum spinchter pilorus menutup bergantung pada kekuatan peristaltik antrum,
sehingga kecepatan pengosongan lambung dapat bervariasi di bawah pengaruh berbagai
sinyal dari lambung dan duodenum yang memengaruhi eksitabilitas lambung dengan
sedikit depolarisasi atau hiperpolarisasi otot polos lambung. Semakin besar eksitabilitas,
semakin sering BER menghasilkan potensial aksi, semakin besar keuatan peristaltik
antrum dan semakin cepat laju pengosongan lambung.
Faktor di lambung yang memengaruhi laju pengosongan lambung
Faktor utama di lambung yang memengaruhi kekuatan kontraksi adalah jumlah kimus di
lambung. Peregangan lambung karena banyaknya kimus akan menyebabkan
peningkatan motilitas lambung melalui efek langsung peregangan pada otot polos serta
melalui keterlibatan pleksus intrinstik, saraf vagus dan hormon gastrin.
Selain itu, derajat fluiditas lambung memengaruhi pengosongan lambung. Isi
lambung harus diubah menjadi bentuk cair kental merata sebelum pengosongan.
Semakin cepat tingkat keenceran yang sesuai tercapai, semakin cepat isi lambung siap di
keluarkan.
Duodenum harus siap menerima kimus dan dapat menunda pengosongan lambung
dengan mengurangi kekuatan peristaltik antrum hingga duodenum siap menampung
lebih banyak kimus. Empat faktor yang memengaruhi pengosongan lambung adalah
lemak, asam, hipertonisitas, dan peregangan. Adanya satu atau lebih rangsangan ini di
duodenum memicu respon saraf atau hormon yang mengerem aktivitas peristaltik
antrum sehingga memperlambat laju pengosongan lambung.
Respon saraf di perantarai melalui pleksus saraf intrinstik (refleks pendek) dan saraf
autono, (refleks panjang). Secara kolektif , refleks-refleks ini disebut refleks
enterogastrik.
Respon hormon melibatkan pelepasan beberapa hormon yang secara kolektif
dikenal sebagai refleks enterogastron dari mukosa usus halus. Darah membawa
hormon-hormon ini ke lambung, tempat mereka menghambat kontraksi antrum untuk
mengurangi pengosongan lambung. Dua enterogastron terpenting adalah sekretin dan
kolesistokinin (CCK). Sekretin dihasilkan oleh sel endokrin yang disebut sel S dan CCK
oleh sel endokrin disebut sel I di mukosa duodenum dan jejenum. Sekretin dan CCK
adalah hormon pencernaan utama yang melakukan fungsi penting lain selain berfungsi
sebagai enterogastron.
Lemak paling efektif dalam memperlambat pengosongan lambung. Karena memiliki
nilai kalori yang tinggi. Selain itu, pencernaan dan penyerapan emak berlangsung lebih
lama dibandingkan dengan nutrien lain dan hanya berlangsung di dalam lumen usus
halus. Triasilgliserol (TAG) sangat merangsang duodenum untuk merangsang CCK.
Hormon ini menghambat kontraksi antrum dan juga menginduksi kontraksi spinchter
pilorus, yang keduanya memperlambat pengosongan lambung. Sehingga usus halus
memiliki cukup waktu untuk mencerna dan mengabsorbsi lemak yang sudah ada.
Asam. Kimus yang masuk ke duodenum sangat asam karena lambung mengeluarkan
asam hidroklorida (HCl) sehingga dinetralkan oleh natrium bikarbonat (NaHCO 3 ).
Karena itu, asam yang belum dinetralkan akan menginduksi pelepasan sekretin, yaitu
hormon yang akan memperlambat pengosongan isi lambung yang asam hingga netralisasi
selesai.
Hipertonisitas, sewaktu molekul-molekul protein dan tepung dicerna di lumen
duodenum, terjadi pembebasan sejumlah besar molekul asam amino dan glukosa. Jika
penyerapan molekul asam amino dan glukosa ini tidak mengimbangi kecepatan
pencernaan protein dan karbohidrat sejumlah besar molekul akan tetap berada di kimus
dan meningkatkan osmolaritas isi duodenum. Osmolarias bergantung pada jumlah
molekul yang ada. Saat osmolaritas duodenum meningkat, air akan masuk ke lumen
duodenum dari plasma. Air dalam jumlah besar yang masuk ke usus dari plasma akan
menyebabkan peregangan usus dan gangguan sirkulasi karena berkuranganya volume
plasma. Untuk mengurangi efek ini, pengosongan isi duodenum mulai meningkat.
Peregangan. Kimus yang terlalu banyak di duodenum akan menghambat
pengosongan isi lambung lebih lanjut, menyediakan waktu bagi duodenum yang
teregang untuk memproses kelebihan volume kimus.

Faktor di luar sistem pencernaan


Emosi dapat mengubah motilitas lambung dengan berkerja melalui saraf autonom
untuk
memengaruhi derajat eksitabilitas otot polos lambung. Meskipun efek emosi pada
motilitas lambung bervariasi dari orang ke orang tidak selalu dapat dipikirkan, kesedihan
dan rasa takut umumnya cenderung mengurangi motilitas, sementara kemarahan dan
agresi cenderung meningkatkannya. Selain emosi, nyeri hebat dari bagian tubuh

manapun cenderung menghambat motilitas. Respon ini ditimbulkan oleh peningkatan


aktivitas simpatis.

2.4 Fungsi bagian-bagian gaster

Fungsi Lambung :
1. Menyimpan makanan yang masuk untuk nantinya disalurkan ke usus halus.
2. Lambung mengeluarkan asam hidroklorida (HCl) dan enzim yang memulai pencernaan
protein.
3. Gerakan pencampuran makanan dengan sekresi lambung utnuk menghasilkan
campuran cairan kental yang disebut kimus.
Berikut ini empat aspek motilitas lambung :
1. Pengisian lambung melibatkan relaksasi reseptif
Ketika kosong lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi volume dapat
bertambah hingga 1 L saat makan. Peningkatan volume ini tidak mengalami perubahan
tegangan di dindingnya dan sedikit peningkatan tekanan intralambung dikarenakan adanya
relaksasi reseptif. Mekanisme relaksasi reseptif yaitu ketika kita makan lipatan-lipatan di
dalam lambung menjadi lebih kecil dan nyaris mendatar sewaktu lambung sedikit melemas
setiap kali makanan masuk. Namun, jika makanan yang ditampung lebih dari 1 L maka
lambung melangami peregangan yang berlebihan dan tekanan intralambung meningkat
sehingga timbul rasa tidak nyaman. Relaksasi reseptif diperantai oleh nervus vagus.
2. Penyimpanan makanan di corpus fagus
Kontraksi pada daerah fundus dan corpus lemah ini dikarenakan lapisan otot yang
tipis. Karena kontraksi yang lemah ini maka makanan disimpan di bagian korpus yang
relatif lebih tenang tanpa mengalami pencampuran. Sedangkan, pada daerah fundus
biasanya tidak menyimpan makanan tetapi hanya mengandung kantung gas.
3. Pencampuran makanan berlangsung di antrum
Kontraksi peristaltik antrum yang kuat mencampur makanan dengan sekresi lambung
untuk menghasilkan kimus. Gelombang peristaltik menyebabkan kimus terdorong ke
sfingter pilorus. Akan tetapi, kontraksi tonik sfingter pilorus menyebabkan sfingter ini
nyaris tertutup mengakibatkan lubang yang kecil untuk dilewati kimus kental. Maka untuk
melewatinya kimus harus didorong dengan gerak peristaltik antrum yang kuat. Masa
kimus antrum yang terdorong maju tetapi tidak dapat masuk ke duodenum tertahan
mendadak di sfingter yang tertutup dan memantul kembali ke antrum. Gerak maju mundur
ini mencampur kimus secara merata di antrum.
4. Pengosongan lambung umumnya dikontrol oleh faktor di duodenum

Fungsi Pencernaan dan Sekresi


1. Produksi kimus. Aktivitas lambung mengakibatkan terbentuknya kimus (massa
homogen setengah cair berkadar asam tinggi yang berasal dari bolus) dan
mendorongnya ke dalam duodenum.
2. Digesti protein. Lambung mulai digesti protein melalui sekresi tripsin dan asam klorida.
3. Produksi mukus. Mukus yang dihasilkan dari kelenjar membentuk barrier setebal 1 mm
untuk melindungi lambung terhadap aksi pencernaan dan sekresinya sendiri.
4. Produksi faktor intrinsik : faktor intrinsik adalah glikoprotein yang disekresi sel
parietal. Vitamin B12, didapat dari makanan yang dicerna di lambung, terikat pada
faktor intrinsik. Kompleks faktor intrinsik vitamin B 12 dibawa ke ileum usus halus,
tempat vitamin B12 diabsorbsi.
5. Absorbsi, nutrien yang berlangsung dalam lambung hanya sedikit. Beberapa obat larut
lemak (aspirin) dan alkohol diabsorbsi pada dinding lambung. Zat terlarut dalam air
terabsorbsi dalam jumlah yang tidak jelas.

2.5 Enzim pencernaan

Peran enzim-enzim pencernaan

Pencernaan makanan secara kimiawi terjadi dengan bantuan zat kimia tertentu. Enzim
pencernaan merupakan zat kimia yang berfungsi memecahkan molekulbahan makanan
yang kompleks dan besar menjadi molekul yang lebih sederhanadan kecil. Molekul yang
sederhana ini memungkinkan darah dan cairan getah bening ( limfe ) mengangkut ke
seluruh sel yang membutuhkan. Secara umum enzim memiliki sifat : bekerja pada substrat
tertentu, memerlukansuhu tertentu dan keasaman (pH) tertentu pula. Suatu enzim tidak
dapat bekerjapada substrat lain. Molekul enzim juga akan rusak oleh suhu yang terlalu
rendahatau terlalu tinggi. Demikian pula enzim yang bekerja pada keadaan asam tidakakan
bekerja pada suasana basa dan sebaliknya. Macam-macam enzim pencernaan yaitu:

1. Enzim ptyalin
Enzim ptialin terdapat di dalam air ludah, dihasilkan oleh kelenjar ludah. Fungsi enzim
ptialin untuk mengubah amilum (zat tepung) menjadi glukosa .

2. Enzim amylase
Enzim amilase dihasilkan oleh kelenjar ludah ( parotis ) di mulut dan kelenjar pankreas.
Kerja enzim amilase yaitu : Amilum sering dikenal dengan sebutan zat tepung atau pati.
Amilum merupakan karbohidrat atau sakarida yang memiliki molekul kompleks. Enzim
amylase memecah molekul amilum ini menjadi sakarida dengan molekul yang lebih
sederhana yaitu maltosa.
3. Enzim maltase
Enzim maltase terdapat di usus dua belas jari, berfungsi memecah molekul maltosa
menjadi molekul glukosa . Glukosa merupakan sakarida sederhana (monosakarida ).
Molekul glukosa berukuran kecil dan lebih ringan dari padamaltosa, sehingga darah dapat
mengangkut glukosa untuk dibawa ke seluruh selyang membutuhkan.

4. Enzim pepsin
Enzim pepsin dihasilkan oleh kelenjar di lambung berupa pepsinogen. Selanjutnya
pepsinogen bereaksi dengan asam lambung menjadi pepsin. Carakerja enzim pepsin yaitu :
Enzim pepsin memecah molekul protein yang kompleks menjadi molekul yang lebih
sederhana yaitu pepton. Molekul pepton perlu dipecah lagi agar dapat diangkut oleh darah.

5. Enzim tripsin
Enzim tripsin dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan dialirkan ke dalam usus dua belas
jari (duodenum). Cara kerja enzim tripsin yaitu: Asam amino memiliki molekul yang lebih
sederhana jika dibanding molekul pepton. Molekul asam amino inilah yang diangkut darah
dan dibawa ke seluruhsel yang membutuhkan. Selanjutnya sel akan merakit kembali asam
amino-asam amino membentuk protein untuk berbagai kebutuhan sel.

6. Enzim renin
Enzim renin dihasilkan oleh kelenjar di dinding lambung. Fungsi enzim renin untuk
mengendapkan kasein dari air susu. Kasein merupakan protein susu, sering disebut keju.
Setelah kasein diendapkan dari air susu maka zat dalam air susudapat dicerna.

7. Asam khlorida (HCl)

Asam khlorida (HCl) sering dikenal dengan sebutan asam lambung, dihasilkanoleh
kelenjar didalam dinding lambung. Asam khlorida berfungsi untukmembunuh
mikroorganisme tertentu yang masuk bersama-sama makanan.Produksi asam khlorida
yang tidak stabil dan cenderung berlebih, dapat menyebabkan radang lambung yang sering
disebut penyakit ”mag”.

8. Cairan empedu
Cairan empedu dihasilkan oleh hati dan ditampung dalam kantong empedu. Empedu
mengandung zat warna bilirubin dan biliverdin yang menyebabkan kotoran sisa
pencernaan berwarna kekuningan. Empedu berasal dari rombakansel darah merah
(erithrosit) yang tua atau telah rusak dan tidak digunakan untuk membentuk sel darah
merah yang baru. Fungsi empedu yaitu memecah molekul lemak menjadi butiran-butiran
yang lebih halus sehingga membentuk suatu emulsi . Lemak yang sudah berwujud emulsi
ini selanjutnya akan dicerna menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana lagi.

9. Enzim lipase
Enzim lipase dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan kemudian dialirkan ke dalam usus dua
belas jari (duodenum). Enzim lipase juga dihasilkan oleh lambung, tetapi jumlahnya
sangat sedikit. Cara kerja enzim lipase yaitu : Lipid (seperti lemak dan minyak)
merupakan senyawa dengan molekul kompleks yang berukuran besar. Molekul lipid tidak
dapat diangkut oleh cairan getah bening, sehingga perlu dipecah lebih dahulu menjadi
molekul yang lebih kecil. Enzim lipase memecah molekul lipid menjadi asam lemak dan
gliserol yang memiliki molekul lebih sederhana dan lebih kecil. Asam lemak dan gliserol
tidak larut dalam air, maka pengangkutannya dilakukan oleh cairan getah bening (limfe ).

3. Memahami dan Menjelaskan Syndroma Dyspepsia

3.1 Definisi

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan –peptein (pencernaan).
Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigations, dispepsia
didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah
perut bagian atas.
Sindroma dispepsia merupakan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut
penuh, sendawa.

3.2 Etiologi

Penyebab dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi dispepsia organik dan dispepsia


fungsional. Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura
esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan penyakit
pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua penyebab organik.

3.3 Epidemiologi
1. Umur
Dispepsia terdapat pada semua golongan umur dan yang paling beresiko adalah diatas
umur 45 tahun. Penelitian yang dilakukan di Inggris ditemukan frekuensi anti Helicobacter
pylori pada anak-anak di bawah 15 tahun kira-kira 5% dan meningkat bertahap antara
50%-75% pada populasi di atas umur 50 tahun. Di Indonesia, prevalensi Helicobacter
pylori pada orang dewasa antara lain di Jakarta 40-57% dan di Mataram 51%-66%.3
2. Jenis Kelamin
Kejadian dispepsia lebih banyak diderita perempuan daripada laki-laki. Perbandingan
insidennya 2 : 1.5 Penelitian yang dilakukan Tarigan di RSUP. Adam Malik tahun 2001,
diperoleh penderita dispepsia fungsional laki-laki sebanyak 9 orang (40,9%) dan
perempuan sebanyak 13 orang (59,1%).
3. Etnik
Di Amerika, prevalensi dispepsia meningkat dengan bertambahnya usia, lebih tinggi
pada kelompok kulit hitam dibandingkan kelompok kulit putih. Di kalangan Aborigin
frekuensi infeksi Helicobacter pylori lebih rendah dibandingkan kelompok kulit putih,
walaupun kondisi hygiene dan sanitasi jelek. Penelitian yang dilakukan Tarigan di
Poliklinik penyakit dalam sub bagian gastroenterology RSUPH. Adam Malik Medan tahun
2001, diperoleh proporsi dispepsia fungsional pada suku Batak 10 orang (45,5%), Karo 6
orang (27,3%), Jawa 4 orang (18,2%), Mandailing 1 orang (4,5%) dan Melayu 1 orang
(4,5%). Pada kelompok dispepsia organik, suku Batak 16 orang (72,7%), Karo 3 orang
(13,6%), Nias 1 orang (4,5%) dan Cina 1 orang (4,5%).15
4. Golongan Darah
Golongan darah yang paling tinggi beresiko adalah golongan darah O yang berkaitan
dengan terinfeksi bakteri Helicobacter pylori.

3.4 Klasifikasi

Klasifikasi klinis praktis didasarkan atas keluhan/gejala yang dominant membagi dispepsia
menjadi tiga tipe :

1. Dispepsia akibat gangguan motilitas


Perasaan kembung, rasa penuh ulu hati stelah makan, cepat merasa kenyang disertai
sendawa.

2. Dispepsia akibat refluks

Perasaan nyeri ulu hati dan rasa seperti terbakar.

3. Dispepsia akibat tukak


Tukak peptik memberikan keluhan nyeri ulu hati, rasa tidak nyaman disertai muntah.
Tukak duodeni rasa sakit timbul saat pasien merasa lapar, rasa sakit dapat hilang
setelah makan dan minum obat antasida. Sedangkan tukak gaster, rasa sakit timbul
stelah makan dan rasa sakit disebelah kiri.
Tukak akibat obat OAINS/ usia lanjut biasanya tidak menimbulkan keluhan, hanya
diketahui bila terjadi komplikasi.

4. Dispepsia tidak spesifik.

Batasan dispepsia terbagi atas dua yaitu:


1. Dispepsia organik, dyspepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Dispepsia organic dikategorikan menjadi :
a. Dispepsia tukak (ulcer-like dyspepsia).
Keluhan penderita yang sering diajukan adalah rasa nyeri di ulu hati. Berkurang atau
bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan, pada tengah malam sering
terbangun karena nyeri atau pedih di ulu hati. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan
radiologi dapat menentukan adanya tukak lambung atau di duodenum.
b. Dispepsia bukan tukak.
Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi tukak. Biasa ditemukan pada gastritis,
duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan tanda-tanda tukak.
c. Refluks gastroesofageal.
Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal yaitu rasa panas di dada dan regurgitasi
asam, terutama setelah makan. Bila seseorang mempunyai keluhan tersebut disertai dengan
keluhan sindroma dispepsia lainnya, maka dapat disebut sindroma dispepsia refluks
gastroesofageal.
d. Penyakit saluran empedu.
Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa nyeri
dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu kanan.
e. Karsinoma.
Karsinoma dari saluran cerna sering menimbulkan keluhan sindroma dispepsia.
Keluhan yang sering diajukan adalah rasa nyeri di perut, kerluhan bertambah berkaitan
dengan makanan, anoreksia, dan berat badan yang menurun.
f. Pankreatitis.
Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung. Perut dirasa makin
tegang dan kembung. Di samping itu, keluhan lain dari sindroma dispepsi juga ada.
g. Dispepsia pada sindroma malabsorbsi.
Pada penderita ini—di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea,
anoreksia, sering flatus, kembung—keluhan utama lainnya yang mencolok ialah timbulnya
diare profus yang berlendir.
h. Dispepsia akibat obat-obatan.
Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di daerah ulu
hati tanpa atau disertai rasa mual, dan muntah, misalnya obat golongan NSAID (non
steroid anti inflammatory drugs), teofilin, digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin,
eritromisin), alkohol, dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu ditanyakan obat yang dimakan
sebelum timbulnya keluhan dispepsia.
i. Gangguan metabolisme.
Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan lambung
yang lambat, sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas kenyang.
Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus, sedangkan
hipotiroidi menyebabkan timbulnya hipomoltilitas lambung. Hiperparatiroidi mungkin
disertai rasa nyeri di perut, nausea, vomitus, dan anoreksia.

2. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus (DNU),
Dispepsia yang tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional dibagi atas 3 sub grup
yaitu:
a. Dispepsia mirip ulkus (ulcer-like dyspepsia) bila gejala yang dominan adalah nyeri ulu
hati;
b. Dispepsia mirip dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia) bila gejala dominan adalah
kembung, mual, cepat kenyang
c. Dyspepsia non-spesific

3.5 Patofisiologi

Proses patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan


dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter
pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.
1. Sekresi asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung yang rata-rata normal, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi
pentagastrin. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam
yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.
2. Helicobacter pylori. Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional
belum sepenuhnya dimengerti dan diterima.
3. Dismotilitas gastrointestinal. Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia
fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas
antrum. Tapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan
proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambuk tidak dapat
mutlak mewakili hal tersebut.
4. Ambang rangsang persepsi. Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk
reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi, tampaknya
kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap disetensi balon di
gaster atau duodenum.
5. Disfungsi autonom. Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam
hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati
vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proximal lambung
waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan
rasa cepat kenyang.
6. Aktivitas mioelektrik lambung. Adanya disritmia mioelektrik lambung pada
pemeriksaan elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia
fungsional, tetapi hal ini bersifat inkonsisten.
7. Hormonal. Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis fungsional. Dilaporkan
adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas
antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin
mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal.
8. Diet dan faktor lingkungan. Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering
terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.
9. Psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas
lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Korelasi antara
faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas tetap masih
kontroversial. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok
dispepsia fungsional ini, walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya
kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya
gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional

Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti
nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan menjadi
kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi
pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat
mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi
asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah
sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan.
3.6 Manifestasi klinis

 Nyeri perut (abdominal discomfort),

 Rasa perih di ulu hati,

 Mual, kadang-kadang sampai muntah,

 Nafsu makan berkurang,

 Rasa lekas kenyang,

 Perut kembung,

 Rasa panas di dada dan perut,

 Regurgitasi (keluar cairan dari gaster secara tiba-tiba).


Gambaran alarm sign untuk dispepsia :
Umur ≥ 45 tahun (onset baru)
Perdarahan dari rektal atau melena
Penurunan berat badan >10%
Anoreksia
Muntah yang persisten
Anemia atau perdarahan
Massa di abdomen atau limfadenopati
Disfagia yang progresif atau odinofagia
Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas

Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya


Riwayat ulkus peptikum
Kuning (Jaundice)
3.7 Diagnosis dan diagnosis banding

Cara mendiagnosis sindrom dispepsia yaitu :


A. Anamnesis
Menganamnesa secara teliti dapat memberikan gambaran keluhan yang terjadi,
karakteristik dan keterkaitannya dengan penyakit tertentu, keluhan bisa bersifat lokal atau
bisa sebagai manifestasi dari gangguan sistemik. Harus menyamakan persepsi antara
dokter dengan pasien untuk menginterpretasikan keluhan tersebut.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang
padat misalnya: tumor, organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai dengan adanya
rangsangan peritoneal/peritonitis.
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi seperti
lekositosis, pankreatitis (amilase/lipase) dan keganasan saluran cerna.
2. Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan-kelainan seperti:
batu kandung empedu, kolesistitis, sirosis hepatis dan sebagainya.
3. Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) sangat dianjurkan bila
dispepsia itu disertai oleh keadaan yang disebut alarm symtomps yaitu adanya
penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi,
muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama dan terjadi pada usia
lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat mengarah pada gangguan organik
terutama keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya.
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi dengan akurat adanya kelainan struktural
atau organik intra lumen saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak/ulkus,
tumor dan sebagainya, juga dapat disertai pengambilan contoh jaringan (biopsi)
dari jaringan yang dicurigai untuk memperoleh gambaran histopatologiknya atau
untuk keperluan lain seperti mengidentifikasi adanya kuman Helicobacter pylori.
4. Pemeriksaan radiologi dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa
saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran yang mengarah ke
tumor. Pemeriksaan ini bermanfaat terutama pada kelainan yang bersifat
penyempitan/stenotik/obstruktif dimana skop endoskopi tidak dapat melewatinya.
5. Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang non-invasif. Akhir-akhir
ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari
suatu penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan
setiap saat, dan pada kondisi pasien yang berat sekalipun dapat dimanfaatkan.
Pemanfaatan alat USG pada sindroma dispepsia terutama bila ada dugaan
kelainan di tractus biliaris, pancreas, kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan di
oesophagus dan lambung.
6. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan
berat badan ataumengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita
makan.
7. Rapid Urea Test yaitu tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea. Enzim
urea katalase menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat,membuat suasana
menjadi basa,yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari mukosa
lambung diletakkan pada tempat yang berisi cairan atau medium padat yang
mengandung urea dan pH indikator, jika terdapat H.Pylori pada spesimen tersebut
maka akan diubah menjadi ammonia,terjadi perubahan pH dan perubahan warna.
8. Histologi, biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak min.4 sampel untuk 2
kuadran, bila ukuran tukak besar diambil sampel dari 3 kuadran dari dasar,
pinggir dan sekitar tukak (min. 6 sampel).
9. Urea breath test, mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan keberadaan urea
yang dihasilkan H.pylori, labeled karbondiokasida diproduksi di dalam perut dan
diarbsobsi dalam pembuluh darah, menyebar dalam paru-paru dan akhirnya
dikeluarkan lewat pernapasan.
10. Stool Antigen test digunakan untuk mengidentifikasikan adanya infeksi H.pylori
melalui mendeteksi keadaan antigen H.pylori dalam feces.

Diagnosis Banding
1. Dispepsia non ulcer atau dispepsia idiopatik adalah dispepsia kronis atau berulang
berlangsung lebih dari 1 bulan dan sedikitnya selama 25 % dalam kurun waktu
tersebut gejala dispepsia muncul, tidak ditemukan penyakit organik yang bisa
menerangkan gejala tersebut secara klinis, biokimia, endoskopi (tidak ada
ulkus,tidak ada oesofagitis dan tidak ada keganasan) atau radiografi
2. Gastritis, merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat
akut,kronik,difus atau loka,.Gejala-gejalanya tidak khas dapat berupa nyeri dan
panas pada uluhati diserta mual dan muntah.Diagnosa ditegakkan dengan
endoskopi.Didapatkan mukosa memerah,edematosa ditutpi oleh mukus yang
melekat.
3. Penyakit jantung iskemik sering memberi keluhan nyeri ulu hati, panas di dada,
perut kembung, perasaan lekas kenyang. Penderita infark miokard dinding inferior
juga sering memberikan keluhan rasa sakit perut di atas, mual, kembung, kadang-
kadang penderita angina mempunyai keluhan menyerupai refluks gastroesofageal.
4. Penyakit vaskular kolagen, terutama pada sklerodema di lambung atau usus halus,
akan sering memberi keluhan sindroma dispepsia. Rasa nyeri perut sering ditemukan
pada penderita SLE, terutama yang banyak mengkonsumsi kortikosteroid.
5. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
dapat menjadi salah satu diagnosis banding. Umumnya, penderita penyakit ini sering
melaporkan nyeri abdomen bagian atas epigastrum/ulu hati yang dapat ataupun
regurgitasi asam. Kemungkinan lain, irritable bowel syndrome (IBS) yang ditandai
dengan nyeri abdomen (perut) yang rekuren, yang berhubungan dengan buang air
besar (defekasi) yang tidak teratur dan perut kembung. Kurang lebih sepertiga pasien
dispepsia fungsional memperlihatkan gejala yang sama dengan IBS. Sehingga dokter
harus selalu menanyakan pola defekasi kepada pasien untuk mengetahui apakah
pasien menderita dispepsia fungsional atau IBS. Pankreatitis kronik juga dapat
dipikirkan. Gejalanya berupa nyeri abdomen atas yang hebat dan konstan. Biasanya
menyebar ke belakang. Obat-obatan juga dapat menyebabkan sindrom dispepsia,
seperti suplemen besi atau kalium, digitalis, teofilin, antibiotik oral, terutama
eritromisin dan ampisilin. Mengurangi dosis ataupun menghentikan pengobatan
dapat mengurangi keluhan dispepsia. Penyakit psikiatrik juga dapat menjadi
penyebab sindrom dispesia. Misalnya pada pasien gengan keluhan multisistem yang
salah satunya adalah gejala di abdomen ternyata menderita depresi ataupun
gangguan somatisasi. Gangguan pola makan juga tidak boleh dilupakan apalagi pada
pasien usia remaja dengan penurunan berat badan yang signifikan. Diabetes Mellitus
(DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga timbul keluhan rasa
penuh setelah makan, cepat kenyang, mual, dan muntah. Lebih jauh diabetik
radikulopati pada akar saraf thoraks dapat menyebabkan nyeri abdomen bagian atas.
Gangguan metabolisme, seperti hipotiroid dan hiperkalsemia juga dapat
menyebabkan nyeri abdomen bagian atas. Penyakit jantung iskemik kadang-kadang
timbul bersamaan dengan gejala nyeri abdomen bagian atas yang diinduksi oleh
aktivitas fisik. Nyeri dinding abdomen yang dapat disebabkan oleh otot yang tegang,
saraf yang tercepit, ataupun miositis dapat membingungkan dengan dispepsia
fungsional. Cirinya terdapat tenderness terlokalisasi yang dengan palpasi akan
menimbulkan rasa nyeri dan kelembekan tersebut tidak dapat dikurangi atau
dihilangkan dengan meregangkan otot-otot abdomen.

3.8 Tatalaksana

A. Terapi Farmakologi
1. Antasid Sistemik
Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi.
Karbon dioksida yang terbentuk dalam lambung dapat menimbulkan sendawa. Distensi
lambung dapat terjadi dan dapat menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan alkalosis
metabolik, obat ini dapat menyebabkan retensi natrium dan edema. Natrium bikarbonat
sudah jarang digunakan sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk mengatasi asidosis
metabolik, alkalinisasi urin, dan pengobatan lokal pruritus. Natrium bikarbonat tersedia
dalam bentuk tablet 500-1000 mg. Satu gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12
mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-4 gram. Pemberian dosis besar NaHCO 3 atau CaCO3
bersama susu atau krim pada pengobatan tukak peptik dapat menimbulkan sindrom alkali
susu (milk alkali syndrom)
2. Antasid Non-sistemik
a. Aluminium hidroksida-- Al(OH)3
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya paling panjang.
Al(OH)3 bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang tidak larut
lainnya. Al(OH)3 dan sediaanya Al (aluminium) lainnya dapat bereaksi dengtan fosfat
membentuk aluminium fosfat yang sukar diabsorpsi di usus kecil, sehingga eksresi fosfat
melalui urin berkurang sedangkan melalui tinja bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi
dengan protein sehingga bersifat astringen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan
menginaktivasinya. Absorsi makanan setelah pemberian Al tidak banyak dipengaruhi dan
komposisi tinja tidak berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben.
Efek samping : Al(OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan
memberikan antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorbsi fosfat
dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi fosfat disertai osteomalasia. Al(OH) 3
dapat mengurangi absorbsi bermacam-macam vitamin dan tetrasiklin. Al(OH)3 lebih
sering menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.
Indikasi : Aluminium hidroksida digunakan untuk tukak peptik, nefrolitiasis fosfat
dan sebagai adsorben pada keracunan. Antasid Al tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH)3
gel yang mengandung 3,6-4,4% Al2O3. Dosis yang dianjurkan 8 mL. Tersedia juga dalam
bentuk tablet Al(OH)3 yang mengandung 50% Al2O3. Satu gram Al(OH)3 dapat
menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram.
b. Kalsium karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif karena mula kerjanya cepat, maka
daya kerjanya lama dan daya menetralkannya cukup lama. Kalsium karbonat dapar
menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan saluran cerna dan disfungsi ginjal,
dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut bukan berdasarkan daya netralisasi asam,
tetapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang mensekresi gastrin yang
merangsang sel parietal mengeluarkan HCl (H+). Sebagai akibatnya sekresi asam pada
malam hari akan sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini.
Efek samping : hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia, terutama
terjadi pada penggunaan kronik kalisium karbonat bersama susu dan antasid lain (milk
alkali syndrom).Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 mg dan 1000 mg. Satu
gram kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 gram.
c. Magnesium hidroksida -- Mg(OH)2
Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini praktis, tidak
larut, dan tidak efektif sebelum obat ini berinteraksi dengan HCl membentuk MgCl 2.
Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi denagn HCl akan tetap berada dalam lambung
dan akan menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama.
Antasid ini dan natrium bikarbonat sama efektif dalam hal menetralkan HCl.Ion
magnesium dalam usus akan cepat diabsorbsi dan cepat dieksresi melalui ginjal, hal ini
akan membahayakan pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik. Ion magnesium yang
diabsorbi akan bersifat sebagai antasid sistemik sehingga dapat menimbulkan alkali uria,
tetapi jarang alkalosis.
Efek samping : Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare
akibat efek katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorbsi, tetapi tetap berada
dalam usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-10% magnesium diabsorbsi dan dapat
menimbulkan kelainan neurologik, neuromuskular, dan kardiovaskular.
d. Magnesium trisiklat
Magnesium trisiklat (Mg2Si3O8H2O) sebagai antasid non sistemik, bereaksi dalam
lambung sebagai berikut:
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup
tukak. Sebanyak 7% silika dari magnesium trisiklat akan diabsorbsi melalui usus dan
dieksresi dalam urin. Silika gel dan megnesium trisiklat merupakan adsorben yang baik;
tidak hanya mengadsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan. Mula kerja
magnesium trisiklat lambat, untuk menetralkan HCl 30% 0,1 N diperlukan waktu 15
menit, sedangkan untuk menetralkan HCl 60% 1,1 N diperlukan waktu satu jam.
Efek samping : Dosis tinggi magnesium trisiklat menyebabkan diare. Banyak
dilaporkan terjadi batu silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisiklat. Ditinjau
dari efektivitasnya yang rendah dan potensinya yang dapat menimbulakan toksisitas yang
khas, kurang beralasan mengunakan obat ini sebagai antasid.
Magnesium trisiklat tersedia dalam bentuk tablet 500mg; dosis yang dianjurkan 1-4
gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisiklat yang mengandung sekurang-
kurangnya 20% MgO dan 45% silikon dioksida. Satu gram magnesium trisiklat dapat
menetralkan 13-17 mEq asam.
3. Obat Penghambat Sekresi Lambung
a. Penghambat pompa proton
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih
kuat dari AH2. Obat ini bekerja di proses akhir pembentukan asam lambung, lebih distal
dari AMP. Saat ini, yang digunakan di klinik adalah omeprazol, esomeprazol, lansoprazol,
rebeprazol, dan pantoprazol. Perbedaan antara kelima obat tersebut adalah subtitusi cinci
piridin dan/atau benzimidazol. Omeprazol adalah campuran resemik isomer R dan S.
Esomeprazol adalah campuran resemik isomer omeprazol (S-omeprazol) yang mengalami
eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol.
Farmakodinamik : Penghambat pompa proton adalah prodrug yang memebutuhkan
suasana asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke sirkulasi sistemik, obat
ini akan berdifusi ke parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar, dan mengalami
aktivasi di situ membentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus
sulfhidril enzim H+, K+, ATP-ase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan berada di
membran sel parietal. Ikatan ini mengakibatkan terjadinya penghambatan enzim tersebut.
Produksi asam lambung berhenti 80%-95% setelah penghambatan pompa poroton
tersebut.
Farmakokinetik. Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut
enterik untuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini tidak
mengalami aktivasi di lambung sehingga bio-availabilitasnya labih baik. Tablet yang
dipecah dilambung mengalami aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus
dan makanan. Bioalvailabilitasnya akan menurun sampai dengan 50% karena pengaruh
makanan. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan 30 menit setelah makan.
Indikasi, obat ini sama dengan AH2 yaitu pada penyakit peptik. Terhadap sindrom
Zollinger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih baik pada AH2
pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu.
Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi, flatulence, dan
diare. Dilaporkan pula terjadi miopati subakut, atralgia, sakit kepala, dan ruam kulit.
Sediaan dan posologi. Omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg,
diberikan 1 kali/hari selama 8 minggu. Esomeprazol tersedia dalam bentuk salut enterik 20
mg dan 40 mg, serta sediaan vial 40 mg/10 ml. Pantoprazol tersedia dalam bentuk tablet
20 mg dan 40 mg.
b. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burinamid dan
metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan, namun karena
toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor H2 yang ada saat ini adalah simetidin,
ranitidin, famotidin, dan nizatidin.
Farmakodinamik : Simetidine dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif
dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung,
sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat.
Farmakokinetik : Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah
pemberian IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan. Absorpsi terjadi
pada menit ke 60-90. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam. Bioavaibilitas ranitidin yang
diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Pada pasien
penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal
ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah pengguanaan 150 mg ranitidin
secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%.Sekitar 70% dari ranitidin yang
diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin
Indikasi : Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Antihistamin
H2 sama efektif dengan pengobatan itensif dengan antasid untuk penyembuhan awal
tukak lambung dan duodenum. Juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada
sindrom Zollinger-Ellison.Penggunaan antihistamin H2 dalam bidang dermatologi
seringkali digunakan ranitidin atau simetidin untuk pengobatan gejala dari mastocytosis
sistematik, sperti urtikaria dan pruritus. Pada beberapa pasien pengobatan digunakan dosis
tinggi.
c. Prokinetik
Yang termasuk obat golongan ini adalah bathanecol, metoklopramid, domperidon,
cisapride.
d. Bathanecol
Termasuk obat kalinomimetik yang menghambat asetilkolin esterase. Obat ini dipakai
untuk mengobati penderita dengan refluks gastroesophageal, makanan yang dirasa tidak
turun, transit oesophageal yang melantur, gastroparesis, kolik empedu. Efek sampingnya
cukup banyak, terutama pada aksi parasimpatis sistemik, di antaranya adalah sakit kepala,
mata kabur, kejang perut, nausea dan vomitus, spasme kandung kemih, berkeringat. Oleh
karena itu, obat ini mulai tidak digunakan lagi.
e. Metoklopramid
Secara kimia, obat ini ada hubungannya dengan prokainamid yang mempunyai efek
anti-dopaminergik dan kolinomimetik. Jadi, obat ini berkhasiat sentral maupun perifer.
Khasiat metoklopramid antara lain:
1) Meningkatkan pembedaan asetilkolin dari saraf terminal postganglion kolinergik,
2) Merangsang reseptor muskarinik pada asetilkolin, dan
3) Merupakan reseptor antagonis dopamin
Efek samping : yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain reaksi distonik, iritabilitas atau
sedasi, dan efek samping ekstrapiramidal karena efek antagonisme dopamin sentral dari
metoklorpamid. Pemberian dosis tinggi pada anak dapat menyebabkan hipertonis dan
kejang.
f. Domperidon
Domperidon merupakan derivat benzimidazol. Karena domperidon merupakan
antagonis dopamin perifer dan tidak menembus sawar darah otak, maka tidak
mempengaruhi reseptor dopamin saraf pusat, sehingga mempunyai efek samping yang
rendah daripada metoklopramid.
Pemberian obat ini akan meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian bawah
sehingga mencegah terjadinya refluks gastroesophagus. Obat ini akan meningkatkan
koordinasi antroduodenal, dan memperbaiki motilitas lambung yang sedang terganggu,
yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktiliitas serta menghambat relaksasi lambung
sehingga pengosongan lambung akan lebih cepat.
Indikasi : Domperidon bermanfaat untuk pengobatan dispepsia yang disertai masa
pengosongan yang lambat, refluks gastroesophagus, anoreksia nervosa, gastroparesis.
Demikian pula bermanfaat sebagai obat antiemetik pada penderita pasca-bedah, bahkan
efektif sebagai pencegah muntah pada penderita yang mendapat kemoterapi.
Efek samping : lebih rendah daripada metoklopramid, yaitu mulut kering, kulit gatal,
diare, pusing. Pada pemberian jangka panjang atau dosis tinggi, efeknya akan
meningkatkan sekresi prolaktin, dan dapat menimbulkan ginekomasti pada pria, serta
galaktore dan amenore pada wanita.
g. Cisapride
Cisapride merupakan derivat benzidamide dan tergolong obat prokinetik baru yang
mempunyai khasiat memperbaiki motilitas seluruh saluran cerna. Obat ini mempunyai
spektrum yang luas.
Efek samping : yang ditimbulkannya yaitu borborigmi, diare, dan rasa kejang di perut
yang sifatnya sementar.
h. Sitoprotektive agent
Agen Cytoprotective merangsang produksi lendir dan meningkatkan aliran darah ke
seluruh lapisan saluran pencernaan. Agen ini juga bekerja dengan membentuk lapisan
yang melindungi jaringan ulserasi. Contoh agen Cytoprotective termasuk misoprostol dan
sukralfat.
1) Misoprostol (Cytotec)
Misoprostol merupakan analog prostaglandin yang dapat digunakan untuk
menurunkan kejadian tukak lambung dan komplikasi jangka panjang pengguna
NSAID yang berisiko tinggi.
2) Sukralfat (Carafate)
Sukralfat mengikat dengan protein bermuatan positif dalam eksudat dan membentuk
zat perekat kental yang melindungi lapisan GI terhadap pepsin, asam lambung, dan
garam empedu. Hal ini digunakan untuk jangka pendek pengelolaan bisul.
4. Antibiotik H pylori
PPI regimen berbasis terapi tiga untuk H pylori terdiri dari PPI, amoksisilin, dan
clarithromycin selama 7-14 hari. Sebuah durasi yang lebih lama tampaknya menjadi lebih
efektif dan saat ini perawatan yang dianjurkan. Amoksisilin harus diganti dengan
metronidazol dalam penisilin-alergi pasien saja, karena tingginya tingkat resistensi
metronidazol. Pada pasien dengan ulkus rumit disebabkan oleh H pylori, pengobatan
dengan PPI di luar kursus 14 hari antibiotik dan sampai konfirmasi pemberantasan H
pylori dianjurkan.
Terdapat beberapa regimen dalam mengatasi infeksi H. pylori. Yang paling sering
digunakan adalah kombinasi dari antibiotik dan penghambat pompa proton. Terkadang
ditambahkan pula bismuth subsalycilate. Antibiotik berfungsi untuk membunuh bakteri,
penghambat pompa proton berfungsi untuk meringankan rasa sakit, mual, menyembuhkan
inflamasi dan meningkatkan efektifitas antibiotik.
Terapi terhadap infeksi H. pylori tidak selalu berhasil, kecepatan untuk membunuh H.
pylori sangat beragam, bergantung pada regimen yang digunakan. Akan tetapi kombinasi
dari tiga obat tampaknya lebih efektif daripada kombinasi dua obat. Terapi dalam jangka
waktu yang lama (terapi selama 2 minggu dibandingkan dengan 10 hari) juga tampaknya
meningkatkan efektifitas.
Untuk memastikan H. pylori sudah hilang, dapat dilakukan pemeriksaan kembali
setelah terapi dilaksanakan. Pemeriksaan pernapasan dan pemeriksaan feces adalah dua
jenis pemeriksaan yang sering dipakai untuk memastikan sudah tidak adanya H. pylori.
Pemeriksaan darah akan menunjukkan hasil yang positif selama beberapa bulan atau
bahkan lebih walaupun pada kenyataanya bakteri tersebut sudah hilang.

Terapi lini pertama :

Urutan prioritas

a. PPI + amoksisilin + klaritromisin

b. PPI + metronidazol + klaritromisin

c. PPI + metronidazol + tetrasiklin

Pengobatan dilakukan selama satu minggu.

Terapi lini kedua atau terapi kuadrupel :

Terapi lini kedua dilakukan jika terdapat kegagalan pada lini pertama. Kriteria gagal
adalah 4 minggu pasca terapi, kuman H.pylori tetap positif berdasarkan pemeriksaan
UBT/HpSA atau histopatologi.
Urutan prioritas :

a. Collodial bismuth subcitrate + PPI + amoksisilin + kklaritromisin

b. Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol + klaritromisin

c. Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol + tetrasiklin

Bila terapi lini kedua gagal sangat dianjurkan pemeriksaan kultur dan resistensi H.pylori
dengan media transport MIU.

Pembedahan
a. Vagotomi
- Pemotongan n.vagus  menghilangkan fase sefalik
- Vagotomi trunkus konvensional: mengurangi sekresi lambung dan motilitas serta
pengosongan
- Vagotomi selektif : n.vagus cabang lambung saja yang dipotong
- Vagotomi superselektif: potong yang mempersarafi daerah penyekresi asam di
lambung
- Vagotomi trunkal posterior dan seromiotomi : dengan laparoskpi,denervasi seluruh
kurvatura minor dan kurangi sekresi asam
b. Antrektomi
- Pembuangan seluru antrum lambung
- Mengilangakan fase hormonal dan fase gastrik
c. Gastrektomi parsial
- Pembuangan 50-75% distal lambung
- Menyebabkan pembuang mukosa penyekresi asam dan pepsin
- Setelah itu dilakukan anastomosis lambung dengan duodenum
(gastroduodenostomi/billrothI) atau dengan jejunum (gastrojejunostomi/bilroth II)
B. Terapi Non Farmakologi
Diet merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai ialah cara
pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga dikenal pula Sippy’s diet.
Sekarang lebih dikenal dengan diet lambung yang sudah disesuaikan dengan masyarakat
Indonesia. Dasar diet tersebut ialah makan sedikit dan berulang kali, makan makanan yang
mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah
dicerna, tidak merangsang, dan kemungkinan dapat menetralisir HCl. Pemberiannya
dalam porsi kecil dan berulang kali. Dilarang makan pedas, asam, alkohol.

3.9 Komplikasi

Dyspepsia berat dapat menyebabkan komplikasi, seperti:


a. Esofageal stricture
Dyspepsia kadang disebabkan oleh reflux asam lambung, yang terjadi ketika asam
lambung naik ke atas menuju esophagus dan mengiritasi permukaannya. Jika iritasi ini
bertambah seiring berjalannya waktu, dapat menyebabkan esophagus menjadi terluka.
Luka ini dapat menyebabkan esophagus menyempit dan konstriksi (esophagus stricture).
Gejala yang dialami adalah:
- Susah menelan (dysfagia)
- Makanan tersangkut di kerongkongan
- Sakit dada
Esophagus stricture biasanya di terapi dengan operasi untuk memperlebar esofagus
b. Stenosis pylorus
Disebabkan oleh iritasi jangka panjang permukaan system pencernaan karena asam
lambung. Ini terjadi ketika jalan antara lambung dan duodenum (daerah pylorus) menjadi
terluka dan menyempit. Ini dapat menyebabkan muntah dan mencagah makanan yang
dimakan dicerna sempurna. Pada kebanyakan kasus, stenosis pylorus diterapi dengan
operasi untuk mengembalikan lebar awal pylorus.
c. Barret’s esophagus
Reflux asam lambung yang berulang dapat menyebabkan perubahan sel permukaan
esophagus bawah. Ini adalah kondisi Barret’s esophagus. Barret’s esophagus biasanya
tidak menyebabkan gejala seperti reflux asam lambung lainnya. Tetapi, ada risiko kecil sel
yang terkena Barret’s esophagus dapat menjadi kanker dan memicu kanker esophagus.
d. Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal adalah komplikasi yang paling umum. Perdarahan besar
mendadak dapat mengancam jiwa. Ini terjadi ketika ulkus mengikis salah satu pembuluh
darah.
e. Perforasi (lubang di dinding)
Perforasi sering mengarah ke konsekuensi bencana. Erosi dinding gastro-usus oleh
ulkus menyebabkan tumpahan isi perut atau usus ke dalam rongga perut. Perforasi pada
permukaan anterior perut menyebabkan peritonitis akut, awalnya kimia dan kemudian
bakteri peritonitis. Tanda pertama adalah sering nyeri perut tiba-tiba intens. Perforasi
dinding posterior menyebabkan pankreatitis, sakit dalam situasi ini sering menjalar ke
punggung.
f. Penetrasi
Penetrasi adalah ketika ulkus berlanjut ke organ-organ yang berdekatan seperti hati
dan pankreas.
g. Jaringan parut dan pembengkakan
Terjadi karena ulkus menyebabkan penyempitan di duodenum dan obstruksi lambung.
Pasien sering menyajikan dengan muntah-muntah hebat.
3.10 Pencegahan

Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut :


1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko dispepsia bagi
individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup
sehat, promosi kesehatan (Health Promotion) kepada masyarakat mengenai :
a. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana mengenali dan
menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia.
b. Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi dan gizi dan
penyediaan air bersih.
c. Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang diberikan
harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu yang diberikan juga
diperhatikan porsi pemberiannya
d. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang beralkohol, kopi
serta merokok.
2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera
(Early Diagnosis and Prompt Treatment).
a. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)
Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat. Evaluasi klinik
meliputi anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik, laboratorik serta pemeriksaan
penunjang yang diperlukan, misalnya endoskopi atau ultrasonografi. Bila seorang
penderita baru datang, pemeriksaan lengkap dianjurkan bila terdapat keluhan yang
berat, muntah-muntah telah berlangsung lebih dari 4 minggu, penurunan berat badan
dan usia lebih dari 40 tahun. Untuk memastikan penyakitnya, disamping pengamatan
fisik perlu dilakukan pemeriksaan
b. Pengobatan Segera (Prompt Treatment)
1) Diet mempunyai peranan yang sangat penting. Dasar diet tersebut adalah makan
sedikit berulang kali, makanan yang banyak mengandung susu dalam porsi kecil.
Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang
peningkatan dalam lambung dan kemungkinan dapat menetralisir asam HCL.
2) Perbaikan keadaan umum penderita
3) Pemasangan infus untuk pemberian cairan, elektrolit dan nutrisi.
4) Penjelasan penyakit kepada penderita. Golongan obat yang digunakan untuk
pengobatan penderita dispepsia adalah antasida, antikolinergik, sitoprotektif dan
lain-lain.
3. Pencegahan Tertier
Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi penderita
gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita dispepsia terhadap masalah yang
dihadapi.

3.11 Prognosis

Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis
kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat
kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional.
Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter
terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan
psikiatris.
DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W. A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29. Jakarta: EGC

FKUI, Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5.

Jakarta: Gaya Baru

Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni

Idrus, Alwi dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat

Penerbitan IPD FKUI

Leeson, C. Roland. 1996. Buku Ajar Histologi, Edisi V. Jakarta: EGC

Murray, Robert K. 2003. Biokimia Harper, Edisi 25. Jakarta: EGC

Putz, Reinhard & Reinhard Pabst. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 2 Edisi
22. Jakarta: EGC

Sherwood, Laurale. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem, Edisi 2. Jakarta: EGC

Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai