BLOK GASTROINTESTINAL
“NYERI PERUT”
KELOMPOK B-10
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2017 - 2018
SKENARIO
NYERI PERUT
Nn. A, 20 tahun, mengeluh nyeri perut sejak 3 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan di epigastrium. Dokter menduga terdapat gangguan saluran cerna
bagian atas, sehingga menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan gastrokopi. Hasil
pemeriksan tersebut menunjukan gastritis dan duodenitis, sehingga dilakukan pemeriksaan
lebih lanjutuntuk mengetahui penyebab keadaan tersebut. Pasien diberikan obat dan makanan
yang sesuai untuk mencegah komplikasi tersebut.
KATA SULIT
PERTANYAAN
JAWABAN
SASARAN BELAJAR
Lambung terletak pada regio epigastrium sinistra dan hipokondrium sinistra dan
sebagian pada regio umbilical cranio lateral sinistra. Dalam keadaan kosong lambung
menyerupai tambung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir. Kapasitas
normal lambung adalah 1 sampai 2 L. Pada bagian superior, lambung berbatasan dengan
bagian distal esofagus, sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan duodenum.
a. Fundus, berbentuk kubah dan menonjol ke atas dan terletak di sebelah kiri ostium
cardiacum. Biasanya fundus terisi penuh oleh gas.
b. Corpus, dari setinggi ostium cardiacum sampai setinggi incisura angularis, suatu
lekukan yang selalu ada pada bagian bawah curvatura minor.
c. Antrum pyloricum, adalah bagian lambung yang paling berbentuk lambung. Dinding
ototnya yang tebal membentuk sphincter pyloricum. Rongga pylorus dinamakan canalis
pyloricus.
Curvatura minor membentuk pinggir kanan lambung dan terbentuk dari ostium
cardiacum sampai pylorus. Omentum minus terbentang dari curvatura minor sampai hati.
Curvatura major jauh lebih panjang dari curvatura minor dan terbentang dari sisi kiri
ostium cardiacum, melalui kubah fundus dan kemudian mengitarinya dan menuju ke
kanan sampai bagian inferior pylorus. Ligamentum (omentum) gastrolienalis terbentang
dari bagian atas curvatura major sampai limpa, dan omentum majus terbentang dari bagian
bawah curvatura major sampai colon transversum.
Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus yang panjangnya sekitar 2,5 cm.
Otot sirkular yang meliputi lambung jauh lebih tebal di sini dan secara anatomis dan
fisiologi membentuk sphincter pyloricum. Pylorus terletak pada bagian transpilorica dan
posisinya dapat dikenali dengan adanya sedikit kontraksi pada permukaan lambung.
Sphincter pyloricum mengatur kecepatan pengeluaran isi lambung ke duodenum.
Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang
terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke
dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Di saat
sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika
berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam lambung.
Membran mukosa lambung tebal, banyak mengandung pembuluh darah dan terdiri
atas lipatan atau rugae yang arahnya longitudinal. Lipatan tersebut akan memendek bila
lambung teregang.
Dinding otot lambung mengandung serabut longitudinal, serabut sirkular dan
serabut oblik. Serabut longitudinal terletak paling superfisial dan paling banyak sepanjang
curvatura. Serabut sirkular yang lebih dalam mengelilingi fundus lambung dan sangat
menebal pada pylorus untuk membentuk sphincter pyloricum. Serabut sirkular jarang
sekali ditemukan pada daerah fundus. Serabut oblik membentuk lapisan otot yang paling
dalam. Serabut ini mengitari fundus dan berjalan turun sepanjang dinding anterior dan
posterior, berjalan sejajar dengan curvatura minor. Peritoneum mengelilingi lambung
secara lengkap dan meninggalkan curvatura sebagai lapisan ganda yang dikenal sebagai
omentum.
A. Perdarahan dan Persarafan Gaster
1. Pembuluh Arteri
Arteriae berasal dari cabang truncus coeliacus :
a. Arteria gastrica sinistra berasal dari truncus coeliacus. Arteri ini berjalan ke atas dan
kiri untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura
minor gaster. Arteria gastrica sinistra mendarahi 1/3 bawah oesophagus dan bagian
atas kanan gaster.
b. Arteria gastrica dextra berasal dari arteria hepatica communis pada pinggir atas
pylorus dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Arteria ini mendarahi bagian
kanan bawah gaster.
c. Arteriae gastricae breves berasal dari arteria lienalis pada hilum lienale dan berjalan
ke depan di dalam ligamentum gastrosplenicum untuk mendarahi fundus.
d. Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteria splenica pada hilum lienale dan
berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrolienale untuk mendarahi gaster
sepanjang bagian atas curvatura major.
e. Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis yang merupakan
cabang arteria hepatica communis. Arteria ini berjalan ke kiri dan mendarahi gaster
sepanjang bawah curvatura major.
2. Pembuluh Vena
Vena-vena ini mengalirkan darah ke sirkulasi portal. V.gastrica sinistra dan dextra
langsung mengalirkan darah ke V.porta. V.gastrica brevis dan V.gastroepiploica sinistra
bermuara dalam V.lienalis. V.gastroepiploica dextra bermuara dalam V.mesenterica
superior.
3. Persarafan Gaster
Saraf-saraf lambung, berasal dari plexus symphaticus coeliacus dan dari N.vagus
kanan dan kiri. Truncus vaginalis anterior, yang dibentuk dalam thorax terutama
berasal dari N.vagus kiri. Truncus ini masuk abdomen pada permukaan anterior
oesophagus. Truncus yang mungkin tunggal atau multipel, kemudian membelah
menjadi cabang-cabang yang mempersarafi permukaan anterior lambung. Rami
hepatici berjalan sampai hati dan dari sini ramus pylorica berjalan turun ke pylorus
b. Mikro
2. Lapisan Submukosa
Lapisan submukosa tersusun atas jaringan alveolar longgar yang menghubungkan
lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak
dengan gerakan peristaltik. Pada lapisan ini banyak mengandung pleksus saraf (Plexus
Meissner), pembuluh darah, dan saluran limfe (Price danWilson, 2006).
4. Lapisan Serosa
Lapisan ini adalah lapisan tipis jaringan ikat yang menutupi lapisan muskularis.
Merupakan lapisan paling luar yang merupakan bagian dari peritonium visceralis. Jaringan
ikat yang menutupi peritonium visceralis banyak mengandung sel lemak (Eroschenko,
2003).
2. Fundus Gaster
Mukosa diliputi oleh epitel selapis torak. Foveola
gastrica sepertiga tebal mukosa (dangkal) sedangkan
kelenjernya (fundus) dua pertiga tebal mukosa, terletak di
lamina propria. Ada beberapa macam kelenjer yang
terdapat disini antara lain :
a. Sel epitel permukaan (sel-sel mukus)
Epitel selapis silindris melapisi seluruh lambung dan
meluas ke dalam sumur-sumur atau foveola. Epitel selapis
silindris ini berawal di cardia, di sebelah epitel berlapis
gepeng oesophagus, dan pada pylorus melanjutkan diri menjadi epitel usus (epitel selapis
silindris). Pada tepian muka yang menghadap lumen, terdapat mikrovili gemuk dan
pendek-pendek. Mukus glikoprotein netral yang disekresikan oleh sel-sel epitel
permukaan membentuk lapisan tipis, melindungi mukosa terhadap asam. Tanpa adanya
mukus ini, mukosa akan mengalami ulserasi.
4. Gaster Duodenum
Terdapat empat aspek motilitas lambung: (1) pengisian lambung/gastric filling, (2)
penyimpanan lambung/gastric storage, (3) pencampuran lambung/gastric mixing, dan (4)
pengosongan lambung/gastric emptying.
1. Pengisian lambung
Jika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat
mengembang hingga kapasitasnya mencapai 1 liter (1.000 ml) ketika makan. Akomodasi
perubahan volume yang besarnya hingga 20 kali lipat tersebut akan menimbulkan
ketegangan pada dinding lambung dan sangat meningkatkan tekanan intralambung jika
tidak terdapat dua faktor berikut ini:
a. Plastisitas otot lambung. Plastisitas mengacu pada kemampuan otot polos lambung
mempertahankan ketegangan konstan dalam rentang panjang yang lebar, tidak seperti
otot rangka dan otot jantung, yang memperlihatkan hubungan ketegangan. Dengan
demikian, saat serat-serat otot polos lambung teregang pada pengisian lambung, serat-
serat tersebut melemas tanpa menyebabkan peningkatan ketegangan otot.
b. Relaksasi reseptif lambung. Relaksasi ini merupakan relaksasi refleks lambung
sewaktu menerima makanan. Relaksasi ini meningkatkan kemampuan lambung
mengakomodasi volume makanan tambahan dengan hanya sedikit mengalami
peningkatan tekanan. Tentu saja apabila lebih dari 1 liter makanan masuk, lambung
akan sangat teregang dan individu yang bersangkutan merasa tidak nyaman. Relaksasi
reseptif dipicu oleh tindakan makan dan diperantarai oleh nervus vagus.
2. Penyimpanan lambung
Sebagian otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang autonom dan
berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di lambung di daerah
fundus bagian atas. Sel-sel tersebut menghasilkan potensial gelombang lambat yang
menyapu ke bawah di sepanjang lambung menuju sphincter pylorus dengan kecepatan tiga
gelombang per menit. Pola depolarisasi spontan ritmik tersebut, yaitu irama listrik dasar
atau BER (basic electrical rhythm) lambung, berlangsung secara terus menerus dan
mungkin disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler lambung.
Setelah dimulai, gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan corpus lalu ke
antrum dan sphincter pylorus. Karena lapisan otot di fundus dan corpus tipis, kontraksi
peristaltik di kedua daerah tersebut lemah. Pada saat mencapai antrum, gelombang
menjadi jauh lebih kuat disebabkan oleh lapisan otot di antrum yang jauh lebih tebal.
Karena di fundus dan corpus gerakan mencampur yang terjadi kurang kuat, makanan
yang masuk ke lambung dari oesophagus tersimpan relatif tenang tanpa mengalami
pencampuran. Daerah fundus biasanya tidak menyimpan makanan, tetapi hanya berisi
sejumlah gas. Makanan secara bertahap disalurkan dari corpus ke antrum, tempat
berlangsungnya pencampuran makanan.
3. Pencampuran lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan bercampur
dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap gelombang peristaltik antrum
mendorong kimus ke depan ke arah sphincter pylorus. Sebelum lebih banyak kimus dapat
diperas keluar, gelombang peristaltik sudah mencapai sphincter pylorus dan menyebabkan
sphincter tersebut berkontraksi lebih kuat, menutup pintu keluar dan menghambat aliran
kimus lebih lanjut ke dalam duodenum. Bagian terbesar kimus antrum yang terdorong ke
depan, tetapi tidak dapat didorong ke dalam duodenum dengan tiba-tiba berhenti pada
sphincter yang tertutup dan tertolak kembali ke dalam antrum, hanya untuk didorong ke
depan dan tertolak kembali pada saat gelombang peristaltik yang baru datang. Gerakan
maju-mundur tersebut, yang disebut retropulsi, menyebabkan kimus bercampur secara
merata di antrum.
4. Pengosongan lambung
Kontraksi peristaltik antrum, selain menyebabkan pencampuran lambung juga
menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Jumlah kimus yang lolos ke
dalam duodenum pada setiap gelombang peristaltik sebelum sphincter pylorus tertutup erat
terutama bergantung pada kekuatan peristalsis. Intensitas peristalsis antrum dapat sangat
bervariasi di bawah pengaruh berbagai sinyal dari lambung dan duodenum; dengan
demikian, pengosongan lambung diatur oleh faktor lambung dan duodenum.
Faktor di lambung yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Faktor
lambung utama yang mempengaruhi kekuatan kontraksi adalah jumlah kimus di dalam
lambung. Apabila hal-hal lain setara, lambung mengosongkan isinya dengan kecepatan
yang sesuai dengan volume kimus setiap saat. Peregangan lambung memicu peningkatan
motilitas lambung melalui efek langsung peregangan pada otot polos serta melalui
keterlibatan plexus intrinsik, nervus vagus, dan hormon lambung gastrin. Selain itu, derajat
keenceran (fluidity) kimus di dalam lambung juga mempengaruhi pengosongan lambung.
Semakin cepat derajat keenceran dicapai, semakin cepat isi lambung siap dievakuasi.
Faktor di duodenum yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Walaupun
terdapat pengaruh lambung, faktor di duodenumlah yang lebih penting untuk mengontrol
kecepatan pengosongan lambung. Duodenum harus siap menerima kimus dan dapat
bertindak untuk memperlambat pengsongan lambung dengan menurunkan aktivitas
peristaltik di lambung sampai duodenum siap mengakomodasi tambahan kimus. Bahkan,
sewaktu lambung teregang dan isinya sudah berada dalam bentuk cair, lambung tidak
dapat mengosongkan isinya sampai duodenum siap menerima kimus baru.
Sel-sel parietal secara aktif mengeluarkan HCl ke dalam lumen kantung lambung yang
kemudian mengalirkannya ke dalam lumen lambung. pH isi lambung turun sampai
serendah 2 akibat sekresi HCl. Ion hidrogen dan ion klorida secara aktif ditansportasikan
oleh pompa yang berbeda di membran plasma parietal. Ion hidrogen secara aktif
dipindahkan melawan gradien konsentrasi karena itu diperlukan banyak energi, sel-sel
parietal memiliki banyak mitokondria. Klorida juga disekresikan secara aktif tetapi
melawan gradien kosentrasi jauh lebih kecil.
Ion hidrogen yang disekresikan tidak dipindahkan dari plasma tetapi berasal dari proses-
proses metabolisme di dalam sel parietal. Apabila disekresikan, netralitas interior di
pertahankan oleh pembentukan dari asam karbonat untuk menggantikan yang keluar
tersebut.
Fungsi Lambung :
1. Menyimpan makanan yang masuk untuk nantinya disalurkan ke usus halus.
2. Lambung mengeluarkan asam hidroklorida (HCl) dan enzim yang memulai pencernaan
protein.
3. Gerakan pencampuran makanan dengan sekresi lambung utnuk menghasilkan
campuran cairan kental yang disebut kimus.
Berikut ini empat aspek motilitas lambung :
1. Pengisian lambung melibatkan relaksasi reseptif
Ketika kosong lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi volume dapat
bertambah hingga 1 L saat makan. Peningkatan volume ini tidak mengalami perubahan
tegangan di dindingnya dan sedikit peningkatan tekanan intralambung dikarenakan adanya
relaksasi reseptif. Mekanisme relaksasi reseptif yaitu ketika kita makan lipatan-lipatan di
dalam lambung menjadi lebih kecil dan nyaris mendatar sewaktu lambung sedikit melemas
setiap kali makanan masuk. Namun, jika makanan yang ditampung lebih dari 1 L maka
lambung melangami peregangan yang berlebihan dan tekanan intralambung meningkat
sehingga timbul rasa tidak nyaman. Relaksasi reseptif diperantai oleh nervus vagus.
2. Penyimpanan makanan di corpus fagus
Kontraksi pada daerah fundus dan corpus lemah ini dikarenakan lapisan otot yang
tipis. Karena kontraksi yang lemah ini maka makanan disimpan di bagian korpus yang
relatif lebih tenang tanpa mengalami pencampuran. Sedangkan, pada daerah fundus
biasanya tidak menyimpan makanan tetapi hanya mengandung kantung gas.
3. Pencampuran makanan berlangsung di antrum
Kontraksi peristaltik antrum yang kuat mencampur makanan dengan sekresi lambung
untuk menghasilkan kimus. Gelombang peristaltik menyebabkan kimus terdorong ke
sfingter pilorus. Akan tetapi, kontraksi tonik sfingter pilorus menyebabkan sfingter ini
nyaris tertutup mengakibatkan lubang yang kecil untuk dilewati kimus kental. Maka untuk
melewatinya kimus harus didorong dengan gerak peristaltik antrum yang kuat. Masa
kimus antrum yang terdorong maju tetapi tidak dapat masuk ke duodenum tertahan
mendadak di sfingter yang tertutup dan memantul kembali ke antrum. Gerak maju mundur
ini mencampur kimus secara merata di antrum.
4. Pengosongan lambung umumnya dikontrol oleh faktor di duodenum
Pencernaan makanan secara kimiawi terjadi dengan bantuan zat kimia tertentu. Enzim
pencernaan merupakan zat kimia yang berfungsi memecahkan molekulbahan makanan
yang kompleks dan besar menjadi molekul yang lebih sederhanadan kecil. Molekul yang
sederhana ini memungkinkan darah dan cairan getah bening ( limfe ) mengangkut ke
seluruh sel yang membutuhkan. Secara umum enzim memiliki sifat : bekerja pada substrat
tertentu, memerlukansuhu tertentu dan keasaman (pH) tertentu pula. Suatu enzim tidak
dapat bekerjapada substrat lain. Molekul enzim juga akan rusak oleh suhu yang terlalu
rendahatau terlalu tinggi. Demikian pula enzim yang bekerja pada keadaan asam tidakakan
bekerja pada suasana basa dan sebaliknya. Macam-macam enzim pencernaan yaitu:
1. Enzim ptyalin
Enzim ptialin terdapat di dalam air ludah, dihasilkan oleh kelenjar ludah. Fungsi enzim
ptialin untuk mengubah amilum (zat tepung) menjadi glukosa .
2. Enzim amylase
Enzim amilase dihasilkan oleh kelenjar ludah ( parotis ) di mulut dan kelenjar pankreas.
Kerja enzim amilase yaitu : Amilum sering dikenal dengan sebutan zat tepung atau pati.
Amilum merupakan karbohidrat atau sakarida yang memiliki molekul kompleks. Enzim
amylase memecah molekul amilum ini menjadi sakarida dengan molekul yang lebih
sederhana yaitu maltosa.
3. Enzim maltase
Enzim maltase terdapat di usus dua belas jari, berfungsi memecah molekul maltosa
menjadi molekul glukosa . Glukosa merupakan sakarida sederhana (monosakarida ).
Molekul glukosa berukuran kecil dan lebih ringan dari padamaltosa, sehingga darah dapat
mengangkut glukosa untuk dibawa ke seluruh selyang membutuhkan.
4. Enzim pepsin
Enzim pepsin dihasilkan oleh kelenjar di lambung berupa pepsinogen. Selanjutnya
pepsinogen bereaksi dengan asam lambung menjadi pepsin. Carakerja enzim pepsin yaitu :
Enzim pepsin memecah molekul protein yang kompleks menjadi molekul yang lebih
sederhana yaitu pepton. Molekul pepton perlu dipecah lagi agar dapat diangkut oleh darah.
5. Enzim tripsin
Enzim tripsin dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan dialirkan ke dalam usus dua belas
jari (duodenum). Cara kerja enzim tripsin yaitu: Asam amino memiliki molekul yang lebih
sederhana jika dibanding molekul pepton. Molekul asam amino inilah yang diangkut darah
dan dibawa ke seluruhsel yang membutuhkan. Selanjutnya sel akan merakit kembali asam
amino-asam amino membentuk protein untuk berbagai kebutuhan sel.
6. Enzim renin
Enzim renin dihasilkan oleh kelenjar di dinding lambung. Fungsi enzim renin untuk
mengendapkan kasein dari air susu. Kasein merupakan protein susu, sering disebut keju.
Setelah kasein diendapkan dari air susu maka zat dalam air susudapat dicerna.
Asam khlorida (HCl) sering dikenal dengan sebutan asam lambung, dihasilkanoleh
kelenjar didalam dinding lambung. Asam khlorida berfungsi untukmembunuh
mikroorganisme tertentu yang masuk bersama-sama makanan.Produksi asam khlorida
yang tidak stabil dan cenderung berlebih, dapat menyebabkan radang lambung yang sering
disebut penyakit ”mag”.
8. Cairan empedu
Cairan empedu dihasilkan oleh hati dan ditampung dalam kantong empedu. Empedu
mengandung zat warna bilirubin dan biliverdin yang menyebabkan kotoran sisa
pencernaan berwarna kekuningan. Empedu berasal dari rombakansel darah merah
(erithrosit) yang tua atau telah rusak dan tidak digunakan untuk membentuk sel darah
merah yang baru. Fungsi empedu yaitu memecah molekul lemak menjadi butiran-butiran
yang lebih halus sehingga membentuk suatu emulsi . Lemak yang sudah berwujud emulsi
ini selanjutnya akan dicerna menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana lagi.
9. Enzim lipase
Enzim lipase dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan kemudian dialirkan ke dalam usus dua
belas jari (duodenum). Enzim lipase juga dihasilkan oleh lambung, tetapi jumlahnya
sangat sedikit. Cara kerja enzim lipase yaitu : Lipid (seperti lemak dan minyak)
merupakan senyawa dengan molekul kompleks yang berukuran besar. Molekul lipid tidak
dapat diangkut oleh cairan getah bening, sehingga perlu dipecah lebih dahulu menjadi
molekul yang lebih kecil. Enzim lipase memecah molekul lipid menjadi asam lemak dan
gliserol yang memiliki molekul lebih sederhana dan lebih kecil. Asam lemak dan gliserol
tidak larut dalam air, maka pengangkutannya dilakukan oleh cairan getah bening (limfe ).
3.1 Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan –peptein (pencernaan).
Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigations, dispepsia
didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah
perut bagian atas.
Sindroma dispepsia merupakan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut
penuh, sendawa.
3.2 Etiologi
3.3 Epidemiologi
1. Umur
Dispepsia terdapat pada semua golongan umur dan yang paling beresiko adalah diatas
umur 45 tahun. Penelitian yang dilakukan di Inggris ditemukan frekuensi anti Helicobacter
pylori pada anak-anak di bawah 15 tahun kira-kira 5% dan meningkat bertahap antara
50%-75% pada populasi di atas umur 50 tahun. Di Indonesia, prevalensi Helicobacter
pylori pada orang dewasa antara lain di Jakarta 40-57% dan di Mataram 51%-66%.3
2. Jenis Kelamin
Kejadian dispepsia lebih banyak diderita perempuan daripada laki-laki. Perbandingan
insidennya 2 : 1.5 Penelitian yang dilakukan Tarigan di RSUP. Adam Malik tahun 2001,
diperoleh penderita dispepsia fungsional laki-laki sebanyak 9 orang (40,9%) dan
perempuan sebanyak 13 orang (59,1%).
3. Etnik
Di Amerika, prevalensi dispepsia meningkat dengan bertambahnya usia, lebih tinggi
pada kelompok kulit hitam dibandingkan kelompok kulit putih. Di kalangan Aborigin
frekuensi infeksi Helicobacter pylori lebih rendah dibandingkan kelompok kulit putih,
walaupun kondisi hygiene dan sanitasi jelek. Penelitian yang dilakukan Tarigan di
Poliklinik penyakit dalam sub bagian gastroenterology RSUPH. Adam Malik Medan tahun
2001, diperoleh proporsi dispepsia fungsional pada suku Batak 10 orang (45,5%), Karo 6
orang (27,3%), Jawa 4 orang (18,2%), Mandailing 1 orang (4,5%) dan Melayu 1 orang
(4,5%). Pada kelompok dispepsia organik, suku Batak 16 orang (72,7%), Karo 3 orang
(13,6%), Nias 1 orang (4,5%) dan Cina 1 orang (4,5%).15
4. Golongan Darah
Golongan darah yang paling tinggi beresiko adalah golongan darah O yang berkaitan
dengan terinfeksi bakteri Helicobacter pylori.
3.4 Klasifikasi
Klasifikasi klinis praktis didasarkan atas keluhan/gejala yang dominant membagi dispepsia
menjadi tiga tipe :
2. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus (DNU),
Dispepsia yang tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional dibagi atas 3 sub grup
yaitu:
a. Dispepsia mirip ulkus (ulcer-like dyspepsia) bila gejala yang dominan adalah nyeri ulu
hati;
b. Dispepsia mirip dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia) bila gejala dominan adalah
kembung, mual, cepat kenyang
c. Dyspepsia non-spesific
3.5 Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti
nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan menjadi
kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi
pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat
mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi
asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah
sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan.
3.6 Manifestasi klinis
Perut kembung,
Diagnosis Banding
1. Dispepsia non ulcer atau dispepsia idiopatik adalah dispepsia kronis atau berulang
berlangsung lebih dari 1 bulan dan sedikitnya selama 25 % dalam kurun waktu
tersebut gejala dispepsia muncul, tidak ditemukan penyakit organik yang bisa
menerangkan gejala tersebut secara klinis, biokimia, endoskopi (tidak ada
ulkus,tidak ada oesofagitis dan tidak ada keganasan) atau radiografi
2. Gastritis, merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat
akut,kronik,difus atau loka,.Gejala-gejalanya tidak khas dapat berupa nyeri dan
panas pada uluhati diserta mual dan muntah.Diagnosa ditegakkan dengan
endoskopi.Didapatkan mukosa memerah,edematosa ditutpi oleh mukus yang
melekat.
3. Penyakit jantung iskemik sering memberi keluhan nyeri ulu hati, panas di dada,
perut kembung, perasaan lekas kenyang. Penderita infark miokard dinding inferior
juga sering memberikan keluhan rasa sakit perut di atas, mual, kembung, kadang-
kadang penderita angina mempunyai keluhan menyerupai refluks gastroesofageal.
4. Penyakit vaskular kolagen, terutama pada sklerodema di lambung atau usus halus,
akan sering memberi keluhan sindroma dispepsia. Rasa nyeri perut sering ditemukan
pada penderita SLE, terutama yang banyak mengkonsumsi kortikosteroid.
5. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
dapat menjadi salah satu diagnosis banding. Umumnya, penderita penyakit ini sering
melaporkan nyeri abdomen bagian atas epigastrum/ulu hati yang dapat ataupun
regurgitasi asam. Kemungkinan lain, irritable bowel syndrome (IBS) yang ditandai
dengan nyeri abdomen (perut) yang rekuren, yang berhubungan dengan buang air
besar (defekasi) yang tidak teratur dan perut kembung. Kurang lebih sepertiga pasien
dispepsia fungsional memperlihatkan gejala yang sama dengan IBS. Sehingga dokter
harus selalu menanyakan pola defekasi kepada pasien untuk mengetahui apakah
pasien menderita dispepsia fungsional atau IBS. Pankreatitis kronik juga dapat
dipikirkan. Gejalanya berupa nyeri abdomen atas yang hebat dan konstan. Biasanya
menyebar ke belakang. Obat-obatan juga dapat menyebabkan sindrom dispepsia,
seperti suplemen besi atau kalium, digitalis, teofilin, antibiotik oral, terutama
eritromisin dan ampisilin. Mengurangi dosis ataupun menghentikan pengobatan
dapat mengurangi keluhan dispepsia. Penyakit psikiatrik juga dapat menjadi
penyebab sindrom dispesia. Misalnya pada pasien gengan keluhan multisistem yang
salah satunya adalah gejala di abdomen ternyata menderita depresi ataupun
gangguan somatisasi. Gangguan pola makan juga tidak boleh dilupakan apalagi pada
pasien usia remaja dengan penurunan berat badan yang signifikan. Diabetes Mellitus
(DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga timbul keluhan rasa
penuh setelah makan, cepat kenyang, mual, dan muntah. Lebih jauh diabetik
radikulopati pada akar saraf thoraks dapat menyebabkan nyeri abdomen bagian atas.
Gangguan metabolisme, seperti hipotiroid dan hiperkalsemia juga dapat
menyebabkan nyeri abdomen bagian atas. Penyakit jantung iskemik kadang-kadang
timbul bersamaan dengan gejala nyeri abdomen bagian atas yang diinduksi oleh
aktivitas fisik. Nyeri dinding abdomen yang dapat disebabkan oleh otot yang tegang,
saraf yang tercepit, ataupun miositis dapat membingungkan dengan dispepsia
fungsional. Cirinya terdapat tenderness terlokalisasi yang dengan palpasi akan
menimbulkan rasa nyeri dan kelembekan tersebut tidak dapat dikurangi atau
dihilangkan dengan meregangkan otot-otot abdomen.
3.8 Tatalaksana
A. Terapi Farmakologi
1. Antasid Sistemik
Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi.
Karbon dioksida yang terbentuk dalam lambung dapat menimbulkan sendawa. Distensi
lambung dapat terjadi dan dapat menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan alkalosis
metabolik, obat ini dapat menyebabkan retensi natrium dan edema. Natrium bikarbonat
sudah jarang digunakan sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk mengatasi asidosis
metabolik, alkalinisasi urin, dan pengobatan lokal pruritus. Natrium bikarbonat tersedia
dalam bentuk tablet 500-1000 mg. Satu gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12
mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-4 gram. Pemberian dosis besar NaHCO 3 atau CaCO3
bersama susu atau krim pada pengobatan tukak peptik dapat menimbulkan sindrom alkali
susu (milk alkali syndrom)
2. Antasid Non-sistemik
a. Aluminium hidroksida-- Al(OH)3
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya paling panjang.
Al(OH)3 bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang tidak larut
lainnya. Al(OH)3 dan sediaanya Al (aluminium) lainnya dapat bereaksi dengtan fosfat
membentuk aluminium fosfat yang sukar diabsorpsi di usus kecil, sehingga eksresi fosfat
melalui urin berkurang sedangkan melalui tinja bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi
dengan protein sehingga bersifat astringen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan
menginaktivasinya. Absorsi makanan setelah pemberian Al tidak banyak dipengaruhi dan
komposisi tinja tidak berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben.
Efek samping : Al(OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan
memberikan antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorbsi fosfat
dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi fosfat disertai osteomalasia. Al(OH) 3
dapat mengurangi absorbsi bermacam-macam vitamin dan tetrasiklin. Al(OH)3 lebih
sering menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.
Indikasi : Aluminium hidroksida digunakan untuk tukak peptik, nefrolitiasis fosfat
dan sebagai adsorben pada keracunan. Antasid Al tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH)3
gel yang mengandung 3,6-4,4% Al2O3. Dosis yang dianjurkan 8 mL. Tersedia juga dalam
bentuk tablet Al(OH)3 yang mengandung 50% Al2O3. Satu gram Al(OH)3 dapat
menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram.
b. Kalsium karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif karena mula kerjanya cepat, maka
daya kerjanya lama dan daya menetralkannya cukup lama. Kalsium karbonat dapar
menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan saluran cerna dan disfungsi ginjal,
dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut bukan berdasarkan daya netralisasi asam,
tetapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang mensekresi gastrin yang
merangsang sel parietal mengeluarkan HCl (H+). Sebagai akibatnya sekresi asam pada
malam hari akan sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini.
Efek samping : hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia, terutama
terjadi pada penggunaan kronik kalisium karbonat bersama susu dan antasid lain (milk
alkali syndrom).Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 mg dan 1000 mg. Satu
gram kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 gram.
c. Magnesium hidroksida -- Mg(OH)2
Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini praktis, tidak
larut, dan tidak efektif sebelum obat ini berinteraksi dengan HCl membentuk MgCl 2.
Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi denagn HCl akan tetap berada dalam lambung
dan akan menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama.
Antasid ini dan natrium bikarbonat sama efektif dalam hal menetralkan HCl.Ion
magnesium dalam usus akan cepat diabsorbsi dan cepat dieksresi melalui ginjal, hal ini
akan membahayakan pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik. Ion magnesium yang
diabsorbi akan bersifat sebagai antasid sistemik sehingga dapat menimbulkan alkali uria,
tetapi jarang alkalosis.
Efek samping : Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare
akibat efek katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorbsi, tetapi tetap berada
dalam usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-10% magnesium diabsorbsi dan dapat
menimbulkan kelainan neurologik, neuromuskular, dan kardiovaskular.
d. Magnesium trisiklat
Magnesium trisiklat (Mg2Si3O8H2O) sebagai antasid non sistemik, bereaksi dalam
lambung sebagai berikut:
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup
tukak. Sebanyak 7% silika dari magnesium trisiklat akan diabsorbsi melalui usus dan
dieksresi dalam urin. Silika gel dan megnesium trisiklat merupakan adsorben yang baik;
tidak hanya mengadsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan. Mula kerja
magnesium trisiklat lambat, untuk menetralkan HCl 30% 0,1 N diperlukan waktu 15
menit, sedangkan untuk menetralkan HCl 60% 1,1 N diperlukan waktu satu jam.
Efek samping : Dosis tinggi magnesium trisiklat menyebabkan diare. Banyak
dilaporkan terjadi batu silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisiklat. Ditinjau
dari efektivitasnya yang rendah dan potensinya yang dapat menimbulakan toksisitas yang
khas, kurang beralasan mengunakan obat ini sebagai antasid.
Magnesium trisiklat tersedia dalam bentuk tablet 500mg; dosis yang dianjurkan 1-4
gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisiklat yang mengandung sekurang-
kurangnya 20% MgO dan 45% silikon dioksida. Satu gram magnesium trisiklat dapat
menetralkan 13-17 mEq asam.
3. Obat Penghambat Sekresi Lambung
a. Penghambat pompa proton
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih
kuat dari AH2. Obat ini bekerja di proses akhir pembentukan asam lambung, lebih distal
dari AMP. Saat ini, yang digunakan di klinik adalah omeprazol, esomeprazol, lansoprazol,
rebeprazol, dan pantoprazol. Perbedaan antara kelima obat tersebut adalah subtitusi cinci
piridin dan/atau benzimidazol. Omeprazol adalah campuran resemik isomer R dan S.
Esomeprazol adalah campuran resemik isomer omeprazol (S-omeprazol) yang mengalami
eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol.
Farmakodinamik : Penghambat pompa proton adalah prodrug yang memebutuhkan
suasana asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke sirkulasi sistemik, obat
ini akan berdifusi ke parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar, dan mengalami
aktivasi di situ membentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus
sulfhidril enzim H+, K+, ATP-ase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan berada di
membran sel parietal. Ikatan ini mengakibatkan terjadinya penghambatan enzim tersebut.
Produksi asam lambung berhenti 80%-95% setelah penghambatan pompa poroton
tersebut.
Farmakokinetik. Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut
enterik untuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini tidak
mengalami aktivasi di lambung sehingga bio-availabilitasnya labih baik. Tablet yang
dipecah dilambung mengalami aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus
dan makanan. Bioalvailabilitasnya akan menurun sampai dengan 50% karena pengaruh
makanan. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan 30 menit setelah makan.
Indikasi, obat ini sama dengan AH2 yaitu pada penyakit peptik. Terhadap sindrom
Zollinger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih baik pada AH2
pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu.
Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi, flatulence, dan
diare. Dilaporkan pula terjadi miopati subakut, atralgia, sakit kepala, dan ruam kulit.
Sediaan dan posologi. Omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg,
diberikan 1 kali/hari selama 8 minggu. Esomeprazol tersedia dalam bentuk salut enterik 20
mg dan 40 mg, serta sediaan vial 40 mg/10 ml. Pantoprazol tersedia dalam bentuk tablet
20 mg dan 40 mg.
b. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burinamid dan
metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan, namun karena
toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor H2 yang ada saat ini adalah simetidin,
ranitidin, famotidin, dan nizatidin.
Farmakodinamik : Simetidine dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif
dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung,
sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat.
Farmakokinetik : Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah
pemberian IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan. Absorpsi terjadi
pada menit ke 60-90. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam. Bioavaibilitas ranitidin yang
diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Pada pasien
penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal
ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah pengguanaan 150 mg ranitidin
secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%.Sekitar 70% dari ranitidin yang
diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin
Indikasi : Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Antihistamin
H2 sama efektif dengan pengobatan itensif dengan antasid untuk penyembuhan awal
tukak lambung dan duodenum. Juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada
sindrom Zollinger-Ellison.Penggunaan antihistamin H2 dalam bidang dermatologi
seringkali digunakan ranitidin atau simetidin untuk pengobatan gejala dari mastocytosis
sistematik, sperti urtikaria dan pruritus. Pada beberapa pasien pengobatan digunakan dosis
tinggi.
c. Prokinetik
Yang termasuk obat golongan ini adalah bathanecol, metoklopramid, domperidon,
cisapride.
d. Bathanecol
Termasuk obat kalinomimetik yang menghambat asetilkolin esterase. Obat ini dipakai
untuk mengobati penderita dengan refluks gastroesophageal, makanan yang dirasa tidak
turun, transit oesophageal yang melantur, gastroparesis, kolik empedu. Efek sampingnya
cukup banyak, terutama pada aksi parasimpatis sistemik, di antaranya adalah sakit kepala,
mata kabur, kejang perut, nausea dan vomitus, spasme kandung kemih, berkeringat. Oleh
karena itu, obat ini mulai tidak digunakan lagi.
e. Metoklopramid
Secara kimia, obat ini ada hubungannya dengan prokainamid yang mempunyai efek
anti-dopaminergik dan kolinomimetik. Jadi, obat ini berkhasiat sentral maupun perifer.
Khasiat metoklopramid antara lain:
1) Meningkatkan pembedaan asetilkolin dari saraf terminal postganglion kolinergik,
2) Merangsang reseptor muskarinik pada asetilkolin, dan
3) Merupakan reseptor antagonis dopamin
Efek samping : yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain reaksi distonik, iritabilitas atau
sedasi, dan efek samping ekstrapiramidal karena efek antagonisme dopamin sentral dari
metoklorpamid. Pemberian dosis tinggi pada anak dapat menyebabkan hipertonis dan
kejang.
f. Domperidon
Domperidon merupakan derivat benzimidazol. Karena domperidon merupakan
antagonis dopamin perifer dan tidak menembus sawar darah otak, maka tidak
mempengaruhi reseptor dopamin saraf pusat, sehingga mempunyai efek samping yang
rendah daripada metoklopramid.
Pemberian obat ini akan meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian bawah
sehingga mencegah terjadinya refluks gastroesophagus. Obat ini akan meningkatkan
koordinasi antroduodenal, dan memperbaiki motilitas lambung yang sedang terganggu,
yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktiliitas serta menghambat relaksasi lambung
sehingga pengosongan lambung akan lebih cepat.
Indikasi : Domperidon bermanfaat untuk pengobatan dispepsia yang disertai masa
pengosongan yang lambat, refluks gastroesophagus, anoreksia nervosa, gastroparesis.
Demikian pula bermanfaat sebagai obat antiemetik pada penderita pasca-bedah, bahkan
efektif sebagai pencegah muntah pada penderita yang mendapat kemoterapi.
Efek samping : lebih rendah daripada metoklopramid, yaitu mulut kering, kulit gatal,
diare, pusing. Pada pemberian jangka panjang atau dosis tinggi, efeknya akan
meningkatkan sekresi prolaktin, dan dapat menimbulkan ginekomasti pada pria, serta
galaktore dan amenore pada wanita.
g. Cisapride
Cisapride merupakan derivat benzidamide dan tergolong obat prokinetik baru yang
mempunyai khasiat memperbaiki motilitas seluruh saluran cerna. Obat ini mempunyai
spektrum yang luas.
Efek samping : yang ditimbulkannya yaitu borborigmi, diare, dan rasa kejang di perut
yang sifatnya sementar.
h. Sitoprotektive agent
Agen Cytoprotective merangsang produksi lendir dan meningkatkan aliran darah ke
seluruh lapisan saluran pencernaan. Agen ini juga bekerja dengan membentuk lapisan
yang melindungi jaringan ulserasi. Contoh agen Cytoprotective termasuk misoprostol dan
sukralfat.
1) Misoprostol (Cytotec)
Misoprostol merupakan analog prostaglandin yang dapat digunakan untuk
menurunkan kejadian tukak lambung dan komplikasi jangka panjang pengguna
NSAID yang berisiko tinggi.
2) Sukralfat (Carafate)
Sukralfat mengikat dengan protein bermuatan positif dalam eksudat dan membentuk
zat perekat kental yang melindungi lapisan GI terhadap pepsin, asam lambung, dan
garam empedu. Hal ini digunakan untuk jangka pendek pengelolaan bisul.
4. Antibiotik H pylori
PPI regimen berbasis terapi tiga untuk H pylori terdiri dari PPI, amoksisilin, dan
clarithromycin selama 7-14 hari. Sebuah durasi yang lebih lama tampaknya menjadi lebih
efektif dan saat ini perawatan yang dianjurkan. Amoksisilin harus diganti dengan
metronidazol dalam penisilin-alergi pasien saja, karena tingginya tingkat resistensi
metronidazol. Pada pasien dengan ulkus rumit disebabkan oleh H pylori, pengobatan
dengan PPI di luar kursus 14 hari antibiotik dan sampai konfirmasi pemberantasan H
pylori dianjurkan.
Terdapat beberapa regimen dalam mengatasi infeksi H. pylori. Yang paling sering
digunakan adalah kombinasi dari antibiotik dan penghambat pompa proton. Terkadang
ditambahkan pula bismuth subsalycilate. Antibiotik berfungsi untuk membunuh bakteri,
penghambat pompa proton berfungsi untuk meringankan rasa sakit, mual, menyembuhkan
inflamasi dan meningkatkan efektifitas antibiotik.
Terapi terhadap infeksi H. pylori tidak selalu berhasil, kecepatan untuk membunuh H.
pylori sangat beragam, bergantung pada regimen yang digunakan. Akan tetapi kombinasi
dari tiga obat tampaknya lebih efektif daripada kombinasi dua obat. Terapi dalam jangka
waktu yang lama (terapi selama 2 minggu dibandingkan dengan 10 hari) juga tampaknya
meningkatkan efektifitas.
Untuk memastikan H. pylori sudah hilang, dapat dilakukan pemeriksaan kembali
setelah terapi dilaksanakan. Pemeriksaan pernapasan dan pemeriksaan feces adalah dua
jenis pemeriksaan yang sering dipakai untuk memastikan sudah tidak adanya H. pylori.
Pemeriksaan darah akan menunjukkan hasil yang positif selama beberapa bulan atau
bahkan lebih walaupun pada kenyataanya bakteri tersebut sudah hilang.
Urutan prioritas
Terapi lini kedua dilakukan jika terdapat kegagalan pada lini pertama. Kriteria gagal
adalah 4 minggu pasca terapi, kuman H.pylori tetap positif berdasarkan pemeriksaan
UBT/HpSA atau histopatologi.
Urutan prioritas :
Bila terapi lini kedua gagal sangat dianjurkan pemeriksaan kultur dan resistensi H.pylori
dengan media transport MIU.
Pembedahan
a. Vagotomi
- Pemotongan n.vagus menghilangkan fase sefalik
- Vagotomi trunkus konvensional: mengurangi sekresi lambung dan motilitas serta
pengosongan
- Vagotomi selektif : n.vagus cabang lambung saja yang dipotong
- Vagotomi superselektif: potong yang mempersarafi daerah penyekresi asam di
lambung
- Vagotomi trunkal posterior dan seromiotomi : dengan laparoskpi,denervasi seluruh
kurvatura minor dan kurangi sekresi asam
b. Antrektomi
- Pembuangan seluru antrum lambung
- Mengilangakan fase hormonal dan fase gastrik
c. Gastrektomi parsial
- Pembuangan 50-75% distal lambung
- Menyebabkan pembuang mukosa penyekresi asam dan pepsin
- Setelah itu dilakukan anastomosis lambung dengan duodenum
(gastroduodenostomi/billrothI) atau dengan jejunum (gastrojejunostomi/bilroth II)
B. Terapi Non Farmakologi
Diet merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai ialah cara
pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga dikenal pula Sippy’s diet.
Sekarang lebih dikenal dengan diet lambung yang sudah disesuaikan dengan masyarakat
Indonesia. Dasar diet tersebut ialah makan sedikit dan berulang kali, makan makanan yang
mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah
dicerna, tidak merangsang, dan kemungkinan dapat menetralisir HCl. Pemberiannya
dalam porsi kecil dan berulang kali. Dilarang makan pedas, asam, alkohol.
3.9 Komplikasi
3.11 Prognosis
Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis
kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat
kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional.
Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter
terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan
psikiatris.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29. Jakarta: EGC
FKUI, Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5.
Idrus, Alwi dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Putz, Reinhard & Reinhard Pabst. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 2 Edisi
22. Jakarta: EGC
Sherwood, Laurale. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem, Edisi 2. Jakarta: EGC
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC