Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

EPISTAKSIS

Oleh
Tantri Widura Saptenno
(2018-84-015)

Pembimbing
dr. Julu Manalu, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan cinta kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan referat guna penyelesaian
tugas kepaniteraan klinik pada bagian THT-KL dengan judul “Epistaksis”.

Dalam penyusunan referat ini, banyak pihak yang telah terlibat untuk
penyelesaiannya. Oleh karena itu, penulis ingin berterima kasih kepada:

1. dr.Julu Manalu, Sp. THT-KL., selaku dokter spesialis pembimbing referat, yang
membimbing penulisan referat ini sampai selesai.
2. Orangtua dan semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa disebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa sesungguhnya referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan banyak masukan berupa kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk perkembangan penulisan referat diwaktu
yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Ambon, April 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i

KATA PENGANTAR........................................................................................... ii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.................................................................. 1

B. TUJUAN....................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN HIDUNG ....................................................... 3

B. DEFINISI EPISTAKSIS ............................................................ 12

C. EPIDEMIOLOGI ……………………………………………... 13

D. ETIOLOGI EPISTAKSIS .......................................................... 13

E. KLASIFIKASI EPISTAKSIS ................................................... 16

F. PATOFISIOLOGI EPISTAKASIS …………….……………... 17

G. DIAGNOSIS EPISTAKSIS ………………………….……….. 18

H. PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS ……………………… 21

I. KOMPLIKASI DAN PENCEGAHAN EPISTAK …………….. 27


J. PROGNOSIS EPISTAKSIS ………………………….………… 28

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 31
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Epistaksis merupakan perdarahan dari hidung dapat berasal dari bagian anterior
rongga hidung atau bagian posterior rongga hidung. Rongga hidung mempunyai
pembuluh darah yang sangat banyak, berjalan superfisial sehingga mudah mengalami
kerusakan dan relatif tidak terlindungi.1,2

Pembuluh darah submukosa hidung mendapat darah dari kedua arteri karotis
interna dan eksterna yang membentuk anyaman di depan sekat rongga hidung.
Umumnya, dikatakan bahwa area di bawah level konka media diperdarahi oleh cabang
arteri karotis eksterna, sementara area diatas level konka media diperdarahi oleh arteri
karotis interna. Tekanan pada arteri karotis interna lebih tinggi daripada arteri karotis
ekstrerna.1,3

Epistaksis banyak dijumpai sehari-hari baik anak maupun usia lanjut. Epistaksis
seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan
dapat berhenti dengan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat walaupun jarang,
merupakan kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.2,3

Epistaksis pertama kali disebut pada tahun 1867. Epistaksis merupakan kasus
gawat darurat yang paling banyak ditemukan di Bagian Telinga Hidung dan Tenggorok
(THT) dan sekitar 60% penduduk akan mengalami setidaknya satu kali episode
epistaksis seumur hidup dan diantaranya hanya 6% dari penderita epistaksis yang
mencari bantuan medis pada sebagian besar populasi di dunia. Dalam kasus gawat
darurat THT, 15% adalah epistaksis.1,3
Prevalensi epistaksis pada pria dan wanita umumnya sama, dan distribusi umur
penderita epistaksis biasanya terjadi pada usia < 20 tahun dan > 40 tahun. Epistaksis
pada semua usia dapat disebabkan oleh faktor lokal atau sistemik. Epistaksis idiopatik
didefinisikan apabila perdarahan dari hidung yang tidak terdeteksi penyebabnya.
Mortalitas dan morbiditas pada epistaksis dapat meninggi pada anak - anak, usia tua
dan epistaksis dengan penyakit sistemik.1,2,3

Dalam penatalaksanan epistaksis tidak boleh dilupakan kemungkinan gangguan


pendarahan sehingga diberikan penggantian dengan plasma atau faktor yang
mengalami defisiensi. Peranan pemeriksaan gangguan pembekuan menjadi suatu hal
rutinitas dalam penatalaksanaan epistaksis masih belum jelas.2

Terdapat berbagai macam tindakan dalam penatalaksnaan epistaksis seperti


penekanan lokal dengan tangan, tampon anterior dan posterior hidung, kauter dengan
bahan kimia atau elektrik, embolisasi, dan ligasi pembuluh darah. Penatalaksanaan
dilakukan dengan memperhatikan gejala dan etiologinya.1,2,3

B. Tujuan

Referat ini ditulis untuk memenuhi persyaratan kepanitraan klinik di Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher RSUD Dr. M Haulussy,
Ambon
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Saluran pernapasan terbentang dari lubang hidung (nares) dan bibir sampai ke
alveoli paru-paru.4
2.1.1 Hidung
Hidung terdiri atas hidung luar dan cavum nasi. Pada cavum nasi dibagi oleh
septum nasi menjadi dua bagian, kanan dan kiri.4

a. Hidung Luar
Hidung luar mempunyai dua lubang berbentuk lonjong yang disebut nares, yang
dipisahkan satu dengan yang lain oleh septum nasi. Pinggir lateral, ala nasi, berbentuk
bulat dan dapat digerakkan. 4
Rangka hidung luar dibentuk oleh os nasale, processus frontalis maxillaris, dan
pars nasalis ossis frontalis. Di bawah, rangka hidung dibentuk oleh lempeng-lempeng
tulang rawan hialin. 5
Kulit hidung luar mendapatkan darah dari cabang-cabang arteria ophthalmica
dan arteria maxillaris. Kulit alanasi dan bagian bawah septum mendapatkan darah dari
cabang-cabang arteria facialis. 5

Suplai Saraf Sensoris Hidung Luar


N.infratrochlearis dan rami nasales externae nervus ophthalmicus (Nervus
cranialis V) dan ramus infraorbitalis nervus maxillaris (Nervus cranialis V) mengurus
hidung luar. 4,5
b. Cavum Nasi
Cavum nasi terbentang dari nares di depan sampai ke aperture nasalis posterior
atau choanae di belakang, di mana hidung bermuara ke dalam nasopharinx. Vestibulum
nasi adalah area di dalam cavum nasi yang terletak tepat di belakang nares. Cavum nasi
dibagi menjadi dua bagian kiri dan kanan oleh septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh
cartilage septi nasi, lamina verticalis osis ethmoidalis, dan vomer.

Gambar 2.1 Hidung luar dan septum Nasi A. Permukaan Lateral Rangka tulang dan kartilago hidung
luar. B. Facies Anterior Tulag rangka dan carilaginosa hidung luar. C. Rangka tulang dan cartilaginosa
septum nasi (sekat hidung). 4

1) Dinding Cavum Nasi


Setiap beiahan cavum nasi mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan dinding
medial atau dinding septum.4

2) Dasar
Dasar dibentuk oleh processus palatinus os maxilla dan lamina horizontalis ossis
palatini .4
3) Atap
Atap sempit dan dibentuk di sebelah anterior mulai dari bagian bawah batang
hidung oleh os nasale dan os frontale, di tengah oleh lamina cribrosa ossis ethmoidalis,
terletak di bawah fossa cranii anterior, dan di sebelah posterior oleh bagian miring ke
bawah corpus ossis sphenoidalis (Gambar 2.3). 4

4) Dinding Lateral
Dinding lateral mempunyai tiga tonjolan tulang disebut concha nasalis superior,
media, dan inferior (Gambar 2.3). Area di bawah setiap concha disebut meatus. 4

5) Recessus Sphenoethmoidalis
Recessus sphenoethmoidalis adalah sebuah daerah kecil yang terletak di atas
concha nasalis superior. Di daerah ini terdapat muara sinus sphenoidalis. 4

6) Meatus Nasi Superior


Meatus nasi superior terletak di bawah concha nasalis superior (Gambar 2.2). Di
sini terdapat muara sinus ethmoidales posterior. 4

7) Meatus Nasi Media


Meatus nasi media terletak di bawah concha nasalis media. Meatus ini
mempunyai tonjolan bulat disebut bulla ethmoidalis, yang dibentuk oleh sinus
ethmoidales medii yang bermuara pada pinggir atasnya. Sebuah celah melengkung,
disebut hiatus semilunaris, terletak tepat di bawah bulla (Gambar 2.3). Ujung anterior
hiatus yang menuju ke dalam sebuah saluran berbentuk corong disebut infundibulum,
yang akan berhubungan dengan sinus frontalis. Sinus maxillaris bermuara ke dalam
meatus nasi media melalui hiatus semilunaris.4

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-
muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini
rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteo-meatal (KOM). Kompleks
osteomeatal merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase
dari sinus-sinus yang letaknya di anterior. Struktur KOM terdiri dari infundibulum
etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan
sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.6,7

Gambar 2.2. Kompleks osteomeatal.4

8) Meatus Nasi Inferior


Meatus nasi inferior terletak di bawah concha nasalis inferior dan
merupakan tempat muara dari ujung bawah ductus nasolacrimalis, yang dilindungi oleh
sebuah lipatan membrana mucosa. 4

9) Dinding Medial
Dinding medial dibentuk oleh septum nasi. Bagian atas dibentuk oleh larnina
verticalis ossis ethmoidalis dan os vomer (Gambar 2.1). Bagian anterior dibentuk oleh
cartilago septalis. Septum ini jarang terletak pada bidang median, sehingga belahan
cavum nasi vang satu lebih besar dari belahan sisi lainnya. 4

10) Membrana Mucosa Cavum Nasi


Vestibulum dilapisi oleh kulit vang telah mengalami modifikasi dan mempunvai
rambut vang kasar. Area di atas concha nasalis superior dilapisi membrana mucosa
olfactorius dan benar ujung-ujung saraf sensitif reseptor penghidu- Bagian bawah
cavum nasi dilapisi oleh membrana mucosa respiratorius. Di daerah respiratorius
terdapat sebuah anyaman vena yang besar di dalam submucosa jaringan ikat. 4
Gambar 2.3. A. Dinding lateral cavum nasi kanan B. Dinding lateral cavum nasi kanan, concha
nasalis superior, media dan inferior dibuang sebagian untuk memperlihatkan muara dari sinus
paranasalis dan ductus lacrimalis ke dalam meatus.4

c. Vaskularisasi Hidung

Arteri karotis eksterna mencapai rongga hidung melalui arteri fasialis dan
maksilaris interna yang merupakan cabang dari arteri karotis eksterna. Pembuluh darah
sfenopalatina merupakan cabang arteri maksilaris interna, sebagian besar rongga
hidung diperdarahi oleh arteri ini. Arteri ini memasuki rongga hidung di ujung posterior
konka media untuk memerdarahi bagian dinding lateral hidung dan juga memberi
cabang ke septum. Salah satu cabang terminal arteri fasialis adalah cabang superior
arteri labialis, yang memerdarahi dasar anterior hidung dan anterior septum melalui
cabang septal. Arteri maksilaris interna, setelah memasuki fosa pterigopalatina
memberi cabang - cabang , arteri alveolar superior, arteri palatina desenden, arteri infra
orbita, arteri sfenopalatina, arteri pterigoid dan arteri faringeal. Arteri palatina
desenden memasuki rongga hidung melalui kanalis palatina mayor untuk memerdarahi
dinding lateral hidung dan juga memerdarahi septum melalui cabang septal.4,5,6

Arteri karotis interna memerdarahi rongga hidung melalui arteri oftalmika,


cabang arteri ini adalah arteri etmoid posterior. Litle’s area lokasinya di bagian anterior
septum hidung, terdapat anastomosis submukosa pembuluh darah yang banyak dari
cabang arteri karotis eksterna dan interna. Perdarahan banyak berasal dari area ini
karena pembuluh darah yang banyak dan daerah ini terekspos keluar. Anastomosis
terjadi antara cabang arteri sfenopalatina, arteri palatine mayor, arteri labialias, dan
arteri etmoid anterior, anyaman pembuluh darah ini disebut juga plexus Kiesselbach.
Perdarahan di daerah ini akibat mukosa kering sering terjadi di daerah ini, dan daerah
ini mudah untuk di korek - korek.7

Suplai darah cavum nasi berasal dari system karotis, arteri karotis eksterna dan
interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada kavum nasi
melalui :

1. Arteri sphenopalatina
Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui
foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan
dinding lateral hidung.7

Gambar 2.4. Suplai darah pada septum nasi7


2. Arteri palatine desenden
Arteri palatine desenden memberikan cabang arteri palatine mayor yang berjalan
melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior
septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan
arteri ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral
superior.7

Gambar 2. 5 Suplai darah pada dinding lateral hidung7

2.1.2 Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasalis adalah9,20:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik
lokal;
2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu;
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal

1. Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior,
lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.9,19
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.9
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.9
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
di hidung oleh:9
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi,
b. Silia
c. Palut lendir.

Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan refleks bersin.9

2. Fungsi Penghidu
Hidung juga berkerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum.9
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik napas dengan kuat.9
Fungsi hidung untuk membantu indra pencecapan adalah untuk membedakan
rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis
strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Selain itu, juga untuk membedakan rasa asam
yang berasal dari cuka dan asam jawa.9,20

3. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).9
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.9,19

4. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskular dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung dan pankreas.9

EPISTAKSIS
2.2 DEFINISI
Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung dapat
berasal dari bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior rongga hidung.
Dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan
suatu penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Perdarahan yang terjadi di hidung
adalah akibat kelainan setempat atau penyakit umum. Kebanyakan ringan dan sering
berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat,
walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak
segera ditangani.7,8
Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat berhenti
dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh
pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya.

2.3 EPIDEMIOLOGI

Epistaksis merupakan salah satu kasus yang sering dijumpai, 10 - 12% dari
populasi dimana 10% diantaranya memerlukan tindakan. Sekalipun kebanyakan kasus
sembuh sendiri, beberapa kasus membutuhkan intervensi. Insidens epistaksis sedikit
lebih sering pada laki laki. Hampir 90 % adalah epistaksis anterior, oleh karena
perdarahan di bagian depan septum, pleksus Kiesselbach, umumnya dapat diatasi.
Perdarahan dari bagian posterior kavum nasi disebut epistakis posterior berkisar antara
5 -10%, tampon hidung 48 – 83% kurang berhasil, sehingga dilakukan penanganan
melalui tindakan bedah endoskopi. Epistaksis sering ditemukan pada anak-anak, tetapi
jarang di bawah umur dua tahun. 30% anak usia 0-5 tahun, 56% usia 6-10 tahun dan
64% usia 11-15 tahun setidaknya mengalami epistaksis satu kali disepanjang hidupya,
sementara 56% dewasa yang mengalami epistaksis berulang mengalami masalah pada
masa kecil mereka. Pada umumnya epistaksis pada anak-anak berhenti spontan, tetapi
epistaksis pada anak yang berat atau berulang mungkin membutuhkan perawatan di
rumah sakit. Pada tahun 1979 Petruson di Swedia memerkirakan sejumlah anak-anak
dikonsulkan ke bagain THT oleh karena episaksis per 1000 anak per tahun. Insidens
epistaksis idiopatik pada semua usia cenderung meningkat pada musim dingin di
negara barat, dimana infeksi saluran pernapasan atas lebih sering terjadi dan saat
kelembapan dalam rumah menurun.

2.4 ETIOLOGI
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang
kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis juga disebabkan oleh kelainan
lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan
anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh
lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi
sitemik, perubahan tekanan atmosfer, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.8
2.3.1 Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat
trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu
juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.8
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan
dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila
konka itu sedang mengalami pembengkakan.8
2.3.2 Kelainan pembuluh darah (lokal)
Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya
lebih sedikit.6
2.3.3 Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau
sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rhinitis jamur, tuberkulosis, lupus,
sifilis atau lepra.6
2.3.4 Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering
terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.6,8
2.3.5 Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang tejadi pada arteriosclerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes militus dapat menyebabkan epistaksis.
Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi seringkali hebat dan dapat berakibat
fatal.6,8
2.3.6 Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia dan hemophilia.6,8
2.3.7 Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis
hemoragik herediter. Juga sering terjadi pada Von Willenbrand. 6,8
2.3.8 Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever), demam tifoid, influenza dan morbili juga dapat disertai
epistaksis.6,8
2.3.9 Perubahan udara atau tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi pada seseorang yang berada pada tempat yang
memiliki cuaca sangat dingin atau kering. Hal serupa juga dapat disebabkan oleh zat-
zat kimia ditempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa hidung. 6,8
2.3.10 Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh
perubahan hormone. 6,8

Tabel 2.1 Penyebab Epistaksis8

2.4 KLASIFIKASI EPISTAKSIS


Epistaksis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis dan sumber
perdarahan yakni menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam
penatalaksanaan penting untuk mengetahui sumber perdarahan, walaupun kadang sulit
dievaluasi.6,8

2.4.1 Epistaksis anterior


Epistaksis anterior lebih umum daripada epistaksis posterior. Lebih dari 90%
episode epistaksis terjadi disepanjang septum nasal anterior, yang dipasok oleh pleksus
kiesselbach atau yang dikenal dengan Little’s area atau juga berasal dari arteri
ethmoidalis anterior. Pleksus kiesselbach atau Little’s area merupakan jaringan
anastomosis yang terletak diseptum kartilago anterior dan menerima suplai darah dari
arteri karotis interna (ICA) dan eksterna (ECA).
Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang
hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung, dan kebanyakan terjadi pada anak, sering
kali berulang dan sembuh sendiri.8

2.4.2 Epistaksis posterior


Sekitar 10% dari episode epistaksis adalah posterior. Epistaksis posterior
umumnya timbul dari rongga hidung posterior melalui cabang-cabang dari arteri
sphenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri.
Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosclerosis atau pasien dengan
penyakit kardiovaskular karena pecahnya arteri sfenopalatina.8
Epistaksis juga dapat dibagi menjadi primer atau sekunder. Epistaksis primer
menyumbang 85% dari idiopatik, perdarahan spontan tanpa adanya pemicu yang
penting. Namun dianggap perdarahan sekunder apabila ada penyebab yang dianggap
jelas dan pasti, misalnya penggunaan antikoagulan dan pasca bedah.8

2.5 PATOFISIOLOGI
Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan akut dari rongga hidung, yang
keluar melalui lubang hidung ataupun kebelakang (nasopharing). Secara patofisiologis,
bisa dibedakan menjadi epistaksis anterior dan posterior. 90% epistaksis berasal dari
bagian depan hidung (anterior), berasal dari sekat/dinding rongga hidung. Bagian
dalam hidung dilapisi oleh mukosa yang tipis dan mengandung banyak pembuluh darah
(Kiesselbach plexus) yang fungsinya menghangatkan dan melembabkan udara yang
dihirup. Pembuluh-pembuluh ini amat peka terhadap pengaruh dari luar, selain karena
letaknya di permukaan juga karena hidung merupakan bagian wajah yang paling
menonjol. Sehingga perubahan cuaca (panas, kering), tekanan udara (di daerah tinggi),
teriritasi gas/zat kimia yang merangsang, pemakaian obat untuk mencegah pembekuan
darah atau hanya sekedar terbentur (pukulan), gesekan, garukan, iritasi hidung karena
pilek/allergi atau kemasukan benda asing dapat menimbulkan epistaksis. Jenis
epistaksis yang anterior biasanya lebih mudah diatasi dengan pertolongan pertama di
rumah.6,7,8
Pada orang yang lebih tua, lokasi perdarahan lebih sering ditemukan berasal dari
bagian posterior hidung. Penyebab biasanya bukan karena trauma tetapi lebih mungkin
ruptur spontan pembuluh darah yang sklerotik. Perdarahan akan lebih berat jika pasien
menderita hipertensi. Epistaksis posterior terjadi primer di regio septum posterior,
diikuti sesuai frekuensi di dinding posterolateral nasal yang mengandung pleksus naso-
nasofaringeal Woodruff; sering berasal dari pembuluh arteri.6,7,8
Berdasarkan etiologi dari epistaksis, salah satu penyebab epistaksis akibat
gangguan sistemik dicetuskan oleh adanya hipertensi. Berdasarkan penelitian yang ada,
faktor hipertensi ini merupakan penyebab sistemik tersering yang menyebabkan
epistaksis. Tekanan darah normal bervariasi sesuai usia, sehingga setiap diagnosis
hipertensi harus bersifat spesifik terhadap usia. 7,8
Namun secara umum, seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan
darahnya lebih tinggi daripada 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolic. Karena
tekanan darah bergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan TPR,
maka peningkatan salah satu dari ketiga variable yang tidak dikompensasi dapat
menyebabkan hipertensi.6,7,8
Beberapa penelitian membuktikan terjadinya apoptosis pembuluh darah mikro
pada pasien dengan hipertensi. Diperkirakan bahwa hipertensi menyebabkan penebalan
pada dinding pembuluh darah dan menyebabkan peningkatan terjadinya apoptosis yang
merupakan usaha tubuh untuk meregresi terjadinya penebalan pada dinding pembuluh
darah. Teori ini diduga semakin menyakinkan terjadinya mekanisme spontan
epistaksis. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan. 7,8
Pada pasien dengan hipertensi juga dapat menyebabkan arteriosklerosis pada
pembuluh darah di daerah nasal yang diduga menjadi penyebab epistaksis karena
predisposisi hipertensi. 7,8
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan
lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi
jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai
perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan
gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda,
pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area
yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia
lokal atau trauma. 7,8

2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 Anamnesis

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya
perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Pada
anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya perdarahan, frekuensi,
lamanya perdarahan, dan riwayat perdarahan hidung sebelumnya. Kebanyakan kasus
epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun
atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa
hidung berlebihan. Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher
yang berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan
juga megenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan
perdarahan misalnya riwayat darah tinggi, arteriosclerosis, koagulopati, riwayat
perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-
obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin, serta kebiasaan
merokok dan minum-minuman keras.9,10

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum
hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa. Untuk
pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang
memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau
mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat
pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah
yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi
untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung
dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu
larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke
dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh
darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit
kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. Pasien yang mengalami
perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan
fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang
prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan
berupa :8,9,10
a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat.9

Gambar 2.6 Rinoskopi anterior9


b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma8,9
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.8,9,10
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.

Gambar 2.7 Gambaran sagital MR pada solitary fibrous tumor dengan masa tumor dan epistaksis dan
Gambaran angiogram angiofibroma juvenile dengan obstruksi hidung dan epistaksis9
e) Endoskopi hidung
Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit
lainnya9,10,11
f) Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin
parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.10,11
g) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan
(underline desease) yang mendasari epistaksis.11,12

2.7 PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.11,12
Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan
kalau sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang
punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan
bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan
tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau
pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan
perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini
dibiarkan selama 3 – 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber
perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.6,10,11
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah
dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah
harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera
diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan
hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan
prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi
kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel
darah merah (packed red cell) disamping penggantian cairan.11,12
Setiap pasien epistaksis di bagian gawat darurat harus diperiksa menyeluruh,
patensi saluran pernapasan, pernapasan, dan sirkulasi, tanda - tanda vital harus stabil.
Posisi pasien duduk dengan fleksi kepala ke depan, tekanan darah dikontrol.11,12,13
Dilakukan pemeriksaan hidung untuk menentukan lokasi perdarahan, dengan
pemeriksaan rhinoskopi anterior menggunakan spekulum hidung, lampu kepala
dengan cahaya yang baik, hidung diperiksa. Kavum nasi dibersihkan, darah dan bekuan
darah dihisap dengan penghisap dengan ujung penghisap yang khusus, sehingga
visualisai rongga hidung maksimal. Untuk rhinoskopi posterior dengan spatel lidah
diletakkan di tengah lidah, dengan kaca diletakkan di ruangan antara palatum mole
dengan dinding faring belakang untuk memeriksa koana, konka superior bagian
belakang, Endoskop hidung memakai endoskop kaku 1,7 mm 30 derajat sumber cahaya
yang baik, kamera, monitor untuk mengevaluasi kasus, dan mendeteksi sisi yang sakit,
berat ringannya11,12

2.7.1 Epistaksis Anterior


a. Kauteterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan
menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal
dengan epinefrin 1 :100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.
Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk
memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi. Kauterisasi secara kimia dapat
dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 – 30% atau dengan asam
triklorasetat 10%. Becker menggunakan larutan asam.12,13
b. Tampon anterior
Tampon anterior merupakan tindakan yang paling sering dilakukan. Apabila
kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat
diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan
kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik Tampon ini
dipertahankan selama 3 – 4 hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas.13

Gambar 2.7 Tampon Anterior7

2.7.2 Epistaksis Posterior


Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis
posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior, balloon tamponade,
ligasi arteri dan embolisasi.12
a. Tampon posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau
setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup
koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring.
Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali
diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita
(band). Masukkan kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian
ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada
kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung
sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari untuk
memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan ini. Apabila
masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan
tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior
kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya
tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut
dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut
setelah 2 – 3 hari.12,13

Gambar 2.8 Tampon Posterior7


b. Tampon balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol
epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon
yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal
perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor.
Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat
di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley
ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan
terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi
tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan
mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini
gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.

Gambar 2.9 posterior balon atau double ballon7


c. Ligase arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan
meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan
dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan
yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi
arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung.13

d. Ligase arteri karotis eksterna


Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk
melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna.
Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar
dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior
m.sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m.
sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah
menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis
eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens,
terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring. Arteri
karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.13

e. Ligase arteri karotis interna


Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.
Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi
Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila,
secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret
atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita.
Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium
posterior. Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk
melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat
pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator clips,
bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan nervehook. Setelah a. maksila interna
diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi
cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi
salap antibiotik selama 24 jam.13
f. Ligase arteri ethmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi
dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan
pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang
berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm
posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4
- 7 mm, sebelah anterior n. optikus13

2.8 KOMPLIKASI DAN PENCEGAHANNYA

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha


penanggulangannya.14

Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran
napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya
tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia
serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan
kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan
secepatnya.14

Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi sehingga perlu
diberikan antibiotic.14

Pemasanagan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media,


septicemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotic pada setiap pemasangan tampon hidung dan setelah 2-3 hari tampon harus
dicabut. Bila perdarahan masih berlangsung maka dilakukan pemasangan tampon baru,
dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlangsung maka
dilakukan pemasangan tampon baru. 14

Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah


melalui tuba eustachius, akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis
(karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah
mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat
pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta
laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut
terlalu kencang ditarik. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh terlalu keras
karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung dan septum. 14

2.9 PROGNOSIS
Prognosis epistaksis baik tetapi bervariasi. Dengan terapi yang adekuat dan
kontrol penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak mengalami perdarahan
ulang. Pada beberapa penderita, epistaksis dapat sembuh spontan tanpa pengobatan.
Hanya sedikit penderita yang memerlukan pengobatan yang lebih agresi.15
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu
penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaantertentu.
Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal.

Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anteri


or dan epistaksis posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan
alat yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan
darahnya sendiri.

Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah


komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Langkah pertama dalam
penanganan epistaksis adalah identifikasi lokasi perdarahan. Memencet cuping hidung
dilakukan dalam beberapa menit, kalau masih terjadi perdarahan dimasukkan tampon
yang telah dilumuri vasokonstriktor dan analgesia, untuk menghentikan perdarahan,
apabila perdarahan berhenti dan dapat dilihat dengan jelas lokasi perdarahan, maka
dapat dilakukan kauterisasi. Tetapi apabila setelah tampon sementara perdarahan tidak
berhenti maka dipasang tampon permanen yang dilumuri antibiotik.

Tampon diangkat dalam dua kali dua puluh empat jam, selama pemasangan
tampon, diberi antibiotik per oral. Epistaksis posterior ditemukan pada 10% kasus,
diatasi dengan tampon posterior/tampon Beloq atau dengan Foley kateter, angka
kegagalan pemasanagn tampon posterior masih tinggi antara 26-52%. Perdarahan yang
tidak berhenti merupakan tantangan bagi spesialis THT, dahulu dilakukan ligasi arteri
maksila melalui transnasal, dan ligasi arteri karotis eksternal atau arteri etmoid menjadi
pilihan untuk mengatasi hal tersebut, namun sering gagal.
Akhir-akhir ini dengan berkembangnya endoskopi pada operasi sinus dan
pengetahuan yang lebih dalam mengenai anatomi, telah dilakukan kontrol terhadap
arteri sphenopalatina melalui endoskop, cara ini merupakan hal yang efektif untuk
mengatasi epistaksis posterior. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa
pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan CT-Scan atau MRI,
endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Munir D, Haryono Y, Rambe A YM. Epistaksis. Majalah Kedokteran Nusantara.


2006.Vol.39 (3)
2. Marbun E M. Etiologi, Gejala dan Penatalaksanaan Epistaksis. J Kedokteran
Meditek; 2017. Vol 23 (62)
3. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam,
Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III.Jakarta,
Penerbit EGC, 1997.
4. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran; alih bahasa
Liliana Sugiharto; Ed 6. Jakarta: EGC; 2006.
5. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.
6. Dorland. W.A., Newman, 2002. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, alih
bahasa oleh Setiawan, Andy dkk dalam Kamus Kedokteran DORLAND, EGC,
Jakarta.
7. Mahon B M, desai B K. Epistaxis control. Department of Emergency, University
of Florida Health. Available from :
https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4939-2507-0_53
8. Rao P. Diagnosis and Management of Epistaxis : A Summary from Recent
Systematic Reviews. International Journal of Health Sciences & Research ; 2017.
Vol 7 (3)
9. Nizar NW. Anatomik endoskopik hidung sinus paranasal dan patofisiologi
sinusitis. Dalam: Kumpulan naskah lengkap kursus, pelatihan dan demo BSEF,
Makassar; 2003. hal.1-11.
10. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Buku ajar penyakit THT. Ed 6. Jakarta: EGC;
2007.
11. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009
feb 19 [cited 2019 March] Available
from:http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
12. Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII [cited 2019 March]
Available from:http://fkuii.org/tiki_download_wiki_attachment.php?attId=2175
&page=LEM%20FK%20UII
13. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2007
Nov 28[ cited 2019 March
] Available from:http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment
14. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online] cited 2019 March
Available from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm
15. Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] 2007 Feb
2[cited 2019 March] Available
from:http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epistax
is.as px

Anda mungkin juga menyukai