Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan


penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan
produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi
tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi
kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.1,2
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun
1988 oleh Paul Ehrlich pada seorang wanita muda yang meninggal tidak lama
setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan dan
hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan
sumsum tulang yang hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904 Chauffard pertama
kali menggunakan istilah anemia aplastik. Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi
pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat, atau
aplasia sumsusum tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang menginfiltrasi,
mengganti atau menekan jaringan hematopoiesis sumsum tulang.3
Insiden anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar
antara 2 sampai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis.1,3
Penyakit ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai di Negara barat dengan
insiden 1 – 3 kasus per 1 juta penduduk/tahun. Namun di Negara timur seperti
Thailand, Indonesia, Taiwan dan Cina, insidennya jauh lebih tinggi. Perbedaan
insiden ini diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian
obat – obat yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida, serta insiden virus
hepatitis yang lebih tinggi.4,5
Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak diketahui atau
bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh
proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Di samping itu juga disebabkan
oleh belum tersedianya model binatang percobaan yang tepat. Sebagian besar
penelusuran etiologi dilakukan melalui penelitian epidemiologik.6

8
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala
objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala subjektif dan
objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun, gejala dapat
bervariasi dan tergantung dari sel mana yang mengalami depresi paling berat.
Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan pemeriksaan darah dan
pemeriksaan sumsum tulang.
Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak
dilakukan pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat
penyakit saat didiagnosis, dan bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan.
Semakin berat hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan semakin jelek. Dengan
transplantasi tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat mencapai 69% sedangkan
dengan pengobatan imunosupresif mencapai 38%.7,8
Mengingat kasus anemia aplastik ini kasus yang relatif jarang ditemukan
dan berpotensi untuk mengancam jiwa maka diagnosa penyebab dari suatu anemia
aplastik dan deteksi dini serta penanganan yang tepat dan tepat sangat diperlukan.
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai pendekatan diagnostik dan
penatalaksanaan pada penderita dengan anemia aplastik.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANEMIA APLASTIK
1. Defenisi Anemia Aplastik
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoisis yang ditandai
oleh penurunan produksi eritroid, myeloid dan megakariosit dalam sumsum
tulang dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, dimana tidak
dijumpai adanya keganasan sistem hematopoitik ataupun kanker metastatik
yang menekan sumsum tulang. Aplasia ini dapat terjadi hanya pada satu, dua
atau ketiga sistem hematopoiesis. Aplasia yang hanya mengenai sistem
eritropoitik disebut dengan anemia hipoplastik (eritroblastopenia), aplasia
yang mengenai sistem granulopoitik disebut agranulositosis sedangkan yang
hanya mengenai sistem megakariosit disebut Purpura Trombositopenik
Amegakariositik (PTA). Bila mengenai ketiga sistem disebut panmielositis
atau lazimnya disebut anemia aplastik. Berdasarkan The International
Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut anemia aplastik
bila kadar hemoglobin ≤ 10 g/dL atau hematokrit ≤ 30 %; hitung trombosit
≤ 50.000/mm3 ; hitung lekosit ≤ 3.500/mm3 atau granulosit ≤ 1,5 x 109/L.4,5
2. Epidemologi
Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6
kasus persejuta penduduk pertahun. Analisis retrospektif di Amerika Serikat
memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus
persejuta penduduk pertahun. The Internasional Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus
persejuta orang pertahun. Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada
orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65
sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana
insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta
penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia.
Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara
Barat belum jelas. Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan

10
dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia
toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak
ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di
Amerika.4,8,9
3. Etiologi
Sebagian besar anemia aplastik (50-70%) penyebabnya bersifat
idiopatik, yaitu penyebabnya tidak diketahui dan awalnya spontan.
Kesulitan dalam mencari penyebab ini karena penyakit ini terjadi secara
perlahan-lahan dan karena belum adanya model binatang percobaan yang
tepat. Penyebab anemia aplastik dapat dibedakan atas penyebab primer dan
sekunder.6
a. Primer
1) Faktor Genetik
1) Anemia Fanconi
Tipe ini merupakan jenis anemia heriditer dengan pewarisan
yang bersifat autosomal resesif. Diperkirakan terdapat satu kasus
diantara satu juta penduduk. Kelainan hematologi dijumpai
dalam bentuk pansitopenia yang muncul pada umur 5 - 10 tahun.
Sering disertai gangguan pertumbuhan dan defek kongenital
pada tulang yaitu mikrosefali, tidak ada tulang radius dan ibu jari
dan juga kelainan pada kulit seperti timbulnya hiperpigmentasi
dan hipopigmentasi. Kadang-kadang disertai dengan retardasi
mental, hipogonadisme, gangguan jantung, ginjal dan mata.6,9
Diagnosis anemia fanconi dibuat dengan ditemukannya trias
yaitu: anemia aplastik berupa pansitopenia dan hipoplasia
sumsum tulang, defek fisik multipel, dan kelainan kromosom.
Kelainan kromosom ditunjukkan dengan pemeriksaan limfosit
yang diinkubasi pada diepoxybutane yang menyebabkan
terjadinya patahan kromosom (chromosomal breakage).6

2) Anemia Estren-Dameshek

11
Menunjukan gejala seperti anemia aplastik Fanconi tetapi
tanpa abnormaliltas tulang.9
3) Dyskeratosis congenital
Memiliki pola pewarisan autosomal resesif yang terikat
dengan kromosom-X. Penyakit ini menunjukan gejala
pigmentasi kulit reticulate, leukoplakia, distrofi dari kuku,
kelainan kelenjar keringat, retardasi mental, dan gangguan
pertumbuhan. Lesi pada mukosa dan kulit muncul pada waktu
remaja, sedangkan anemia aplastik muncul pada dewasa muda.
Pada penyakit ini terdapat kerusakan pada gen.9
4) Idiopatik
Merupakan penyebab terbanyak dari anemia aplastik.
Meskipun mekanismenya belum diketahui dengan pasti
diperkirakan penyebabnya karena paparan akut obat atau bahan
kimia serta melalui mekanisme autoimun diperantai oleh sel T
yang menekan sel induk.9
b. Sekunder
Beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya anemia aplastik
sekunder yaitu: radiasi, obat-obatan, bahan kimia, infeksi virus,
kehamilan.6
1) Radiasi
Energi radiasi yang tinggi dapat menyebabkan anemia akibat
kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia. Derajat kerusakan
tergantung dari jenis radiasi (sinar alfa,beta atau gama), besarnya
dosis, lama penyinaran dan sumsum tulang yang terpapar. Radiasi
akut terutama mengenai sel-sel yang sedang membelah, sedangkan
sel-sel yang istirahat masih tersisa, oleh karena itu mielosupresi sering
bersifat transient. Pada radiasi menahun dan berulang, sel induk dalam
fase istirahat menjadi aktif sehingga terkena pengaruh radiasi yang
menimbulkan kerusakan permanen. Radiasi kronik dapat
menimbulkan leukemia, keganasan hematologik lain serta anemia
aplastik. Radiasi dengan tingkat energi yang tinggi dapat digunakan

12
untuk keperluan terapi dan tidak menyebabkan kerusakan pada
sumsum tulang selama daerah yang mendapat radiasi tidak terlalu luas
9
.
Radiasi akan merusak DNA terutama pada jaringan yang
mengalami mitosis aktif. Kerusakan DNA bisa terjadi secara langsung
maupun tidak langsung. Secara tidak langsung melalui interaksi
dengan molekul kecil yang sangat reaktif atau dengan radikal bebas
yang dihasilkan pada ionisasi.9
Paparan radiasi yang lama atau berulang dengan dosis rendah
berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya anemia aplastik
dan leukemia akut. Paparan singkat radiasi dengan dosis besar
berhubungan dengan terjadinya aplasia sumsum tulang dan sindrom
gastrointestinal. Paparan total pada tubuh antara 1 sampai 2,5 Gray
(100 sampai 250 rad) menyebabkan gejala gastrointestinal dan
penurunan jumlah leukosit, tetapi sebagian besar pasien akan
membaik sendiri. Dosis yang lebih besar yaitu diatas 10 Gray fatal
bagi pasien walaupun sesudahnya mendapat terapi suportif yang
dilanjutkan dengan transplantasi sumsum tulang.9
2) Obat-obatan
Beberapa obat yang dapat menyebabkan anemia aplastik
antara lain kloramfenikol, fenilbutazon, dan klorpromasin.
Mekanisme imun tidak menjelaskan kegagalan sumsum tulang pada
reaksi penggunaan obat 2,4.
DeGruchy membagi obat dalam dua golongan yaitu : obat dengan
resiko tinggi, dengan kejadian kejadian > 1:10.000 pemakaian obat
dan obat dengan resiko rendah, dengan kejadian < 1: 10.000.9

Tabel 1 Daftar obat yang dihubungkan dengan anemia aplastik9


Obat dengan risiko tinggi:
Kloramfenicol Mesantion
Arsen organic Tridione
Quinarcrine Fenilbutason
Senyawa emas Klorpromasin

13
Obat dengan risiko lebih rendah:
Salisiat Phenantoin Klorpropamid
Kalium perklorat Tolbutamid Sulfonamid
Paramethadione Penisilin Oxphenbutazon
Indometasin Diklofenak Karbimasol

c. Bahan kimia9
Benzen merupakan bahan kimia yang banyak dihubungkan dengan
timbulnya anemia aplastik. Benzen merupakan senyawa hidrokarbon
(C6H6) yang banyak digunakan sebagai pelarut dalam industri karet,
penyamakan kulit, pabrik cat, dan sebagai zat pembersih dalam rumah
tangga.
Produk degradasi benzen (p-benzoquinone) dapat menekan sintesa
DNA dan RNA sehingga menimbulkan kerusakan kromosom.
Pemaparan jangka panjang dapat menimbulkan anemia aplastik.9
Anemia aplastik tidak timbul pada semua individu yang terpapar
oleh benzen. Timbulnya penyakit ini tergantung dari:
1) Suseptibilitas individual
2) Lama pemaparan
3) Konsentrasi uap benzene
d. Infeksi Virus
Infeksi virus sejak lama telah diketahui dapat menimbulkan
pansitopenia bahkan sampai gagal sumsum tulang. Virus yang
dihubungkan dengan timbulnya anemia aplastik adalah: virus Epstein
Barr (EBV), virus hepatitis dan Humam Immunodeficiency Virus (HIV)9

Mononukleosis infeksiosa yang disebabkan oleh EBV sering


disertai netropenia ringan, trombositopenia dan anemia hemolitik.
Infeksi EBV yang disertai anemia aplastik lebih jarang dilaporkan.
Parvovirus B19 khas menimbulkan pure red cell aplasia atau krisis
aplastik pada penderita anemia hemolitik, jarang sekali menimbulkan
anemia aplastik.9

14
Virus hepatitis diduga merupakan salah satu penyebab anemia
aplastik, dengan cirinya dijumpai pada umur lebih muda (2-20 tahun),
timbul 24-30 minggu setelah infeksi hepatitis, beratnya hepatitis tidak
berhubungan dengan beratnya anemia, paling banyak ditemukan pada
penduduk Asia yang sosial ekonominya rendah, prognosisnya lebih
jelek dengan angka kematian lebih dari 90%. Sekitar 80% disebabkan
oleh virus hepatitis C, sedangkan virus hepatitis B lebih jarang. Resiko
anemia aplastik pada penderita hepatitis virus adalah 0,1-0,2 %, dimana
5% penderita anemia aplastik mempunyai riwayat hepatitis. Patogenesis
anemia aplastik akibat virus hepatitis belum diketahui pasti. Mungkin
virus mempunyai efek toksik langsung pada sel induk hemopoetik atau
sel stoma, atau melalui gangguan imunologik.9
Tabel. 2 Penyebab Anemia Aplastik10

Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)


Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)

15
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplastik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenital
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

4. Klasifikasi
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Klasifikasi menurut kausa1 :
1) Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira
50% kasus.
2) Sekunder : bila kausanya diketahui.
3) Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan,
misalnya anemia Fanconi
b. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 3).

16
Tabel 3. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.1
Klasifikasi Kriteria
Anemia aplastik tidak berat Sumsum tulang hiposelular namun
sitopenia tidak memenuhi kriteria
berat
Anemia aplastik berat
 Selularitas sumsum tulang <25%
 Sitopenia sedikitnya dua dari  Hitung neutrofil < 500/µl
tiga seri sel darah  Hitung trombosit < 20.000/µl
 Hitung retikulosit absolute <
60.000/µl
Anemia aplastik sangat berat
 Selularitas sumsum tulang <25%
 Sitopenia sedikitnya dua dari  Hitung neutrofil < 200/µl
tiga seri sel darah  Hitung trombosit < 20.000/µl
 Hitung retikulosit absolute <
60.000/µl

5. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya anemia aplatik disimpulkan dari berbagai
observasi klinis keberhasilan terapi dan eksperimen laboratrium.
Mekanisme primer terjadinya anemia aplastik diperkirakan melalui:
a. Kerusakan pada sel induk (seed theory)
b. Kerusakan lingkungan mikro (soil theory)
c. Mekanisme imunologi (immune suppression).
Mekanisme ini terjadi melalui berbagai faktor (multi faktorial)
yaitu : familial (herediter), idiopatik (penyebabnya tidak dapat ditemukan)
dan didapat yang disebabkan oleh obat-obatan, bahan kimia, radiasi ion,
infeksi, dan kelainan imunologis.6
Kerusakan sel induk telah dapat dibuktikan secara tidak langsung
melalui keberhasilan transplantasi sumsum tulang pada penderita anemia
aplastik, memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel asal (stem sel) dan

17
yang berarti bahwa penggantian sel induk dapat memperbaiki proses
patologik yang terjadi.6
Teori kerusakan lingkungan mikro dibuktikan melalui tikus
percobaan yang diberikan radiasi, sedangkan teori imunologik ini
dibuktikan secara tidak langsung dengan keberhasilan terapi
immunosupresif.6 Adanya reksi autoimunitas pada anemia aplastik juga
dibuktikan oleh percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit
dapat menghambat pembentukan koloni hemopoetik alogenik dan
autologus. Setelah itu, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik menjadi
perantara dekstruksi sel- sel asal hemopoetik pada kelainan ini. Sel- sel T
efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah
tepi pasien anemia aplastik. Sel- sel tersebut menghasilkan interferon γ dan
TNF α yang merupakan inhibitor langsung hemopoesis dan meningkatkan
ekspresi Fas pada sel- sel CD34+. Klon sel- sel T immortal yang positif CD4
dan CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi sitokin T- helper yang
bersifat toksik langsung ke sel- sel CD34 positif autologus.4
Kelainan imunologik diperkirakan menjadi penyebab dasar dari
kerusakan sel induk atau lingkungan mikro sumsum tulang. Patofisiologi
timbulnya anemia aplastik digambarkan secara skematik pada gambar 1

18
Sel Induk
Hematopoeitik

Pansitopenia

Eritrosit ↓ Leukosit ↓ Trombosit ↓

Sindrom Mudah Infeksi Perdarahan


Anemia - Febris -kulit
- Ulkus mulut -mukosa
Gambar. 1 Patofisiologi anemia aplastik (Bakta, 2003)

6. Manifestasi Klinis
Gejala klinik anemia aplastik timbul akibat adanya anemia,
leukopenia dan trombositopenia6 :
a. Sindrom anemia yang bervariasi dari ringan sampai berat, berupa:
1) Sistem urogeniatal : gangguan haid dan libido menurun.
2) Epitel dan kulit: kelihatan pucat, kulit tidak elastis atau kurang cerah,
rambut tipis dan kekuning kuningan
3) Sistem kardiovaskuler : rasa lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak napas
intoleransi terhadap aktivitas fisik, angina pectoris hingga gejala payah
jantung.
4) Sistem saraf : sakit kepala, pusing, telingga mendenging, mata
berkunang – kunang terutama pada waktu perubahan posisi dari posisi
jongkok ke posisi berdiri, iritabel, lesu dan perasaan dingin pada
ekstremitas.

19
5) Sistem pencernaan : anoreksia, mual dan muntah, flaturensi, perut
kembung, enek di hulu hati, diare atau obstipasi.
b. Gejala perdarahan : paling sering berupa petechie dan echymosis pada
kulit. Perdarahan mukosa dapat berupa epistaksis, perdarahan sub
konjungtiva, perdarahan gusi, hematemesis atau melena. Pada anemia
yang berat atau trombositopenia dapat dijumpai perdarahan retina.
Perdarahan organ dalam lebih jarang, tetapi jika terjadi perdarahan otak
sering bersifat fatal.
c. Gejala infeksi : dapat berupa nyeri tenggorokan, luka pada mulut dan
faring, demam disertai menggigil dan berkeringat, dan pada tingkat yang
lebih berat dijumpai sepsis sampai syok septik.
d. Organomegali berupa hepatomegali, splenomegali atau limfadenopati
tidak dijumpai. Jika terdapat organomegali diagnosis anemia aplastik
maka perlu untuk dikaji ulang.
7. Diagnosis
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala
subjektif, gejala objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum
tulang. Gejala subjektif dan objektif merupakan manifestasi pansitopenia
yang terjadi. Namun, gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel mana
yang mengalami depresi paling berat. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah
berdasarkan pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang, serta
menyingkirkan adanya infiltrasi dan supresi pada sumsum tulang.
8. Anamnesis
Data subjektif diperoleh dari anamnesis ke pada pasien. Anamnesis
dilakukan untuk mengetahui keluhan pasien berdasarkan sacred seven dan
basic four. Anemia aplastik dapat muncul dengan mendadak atau memiliki
onset yang berkembang dengan cepat. Perdarahan merupakan gejala awal
yang paling sering terjadi; keluhan mudah terjadi memar selama beberapa
hari hingga minggu, gusi yang berdarah, mimisan, darah menstruasi yang
berlebihan, dan kadang-kadang peteki. Adanya thrombositopenia,
perdarahan massif jarang terjadi, namun perdarahan kecil pada sistem saraf

20
pusat dapat berbahaya pada intrakranial dan menyebabkan perdarahan
retina.
Gejala anemia juga sering terjadi termasuk mudah lelah, sesak
napas, dan tinnitus pada telinga. Infeksi merupakan gejala awal yang jarang
terjadi pada anemia aplastik (tidak seperti pada agranulositosis, dimana
faringitis, infeksi anorektal, atau sepsis sering terjadi pada permulaan
penyakit). Gejala yang khas dari anemia aplastik adalah keterbatasan gejala
pada sistem hematologist dan pasien sering merasa dan sepertinya terlihat
sehat walaupun terjadi penurunan drastis pada hitung darah. Keluhan
sistemik dan penurunan berat badan sebaiknya mengarahkan penyebab
pasitopenia lainnya.10
Anamnesis juga dilakukan untuk mengetahui etiologi/penyebab
anemia aplastik dari pasien dan untuk mengetahui kemungkinan penyebab
kelainan kongenital. Perlu diketahui adanya riwayat menjalani radiasi,
kemoterapi, menderita suatu penyakit selain flu dan gastroenteritis, serta
penderita juga tidak minum obat-obatan sebelumnya yang berisiko
menimbulkan anemia aplastik, tidak pernah tinggal ataupun bekerja pada
pabrik ataupun industri yang berhubungan dengan kulit, cat, zat-zat
pembersih rumah tangga, dan anggota keluarga penderita tidak ada yang
mengalami keluhan yang sama. Jika tidak ditemukan hal- hal tersebut dalam
anamnesis, dapat disimpulakn penyebabnya adalah ididopatik.
9. Pemeriksaan Fisik
Ptekie dan ekimosis sering terjadi dan perdarahan retina dapat
ditemukan. Pemeriksaan pelvis dan rectal tidak dianjurkan namun jika
dikerjakan, harus dengan hati-hati dan menghindari trauma; karena
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan perdarahan dari servikal atau darah
pada tinja. Kulit dan mukosa yang pucat sering terjadi kecuali pada kasus
yang sangat akut atau yang telah menjalani transfusi. Infeksi pada
pemeriksaan pertama jarang terjadi namun dapat timbul jika pasien telah
menjadi simptomatik setelah beberapa minggu. Limfadenopati dan
splenomegaly juga tidak sering terjadi pada anemia aplastik. Bintik Café au

21
lait dan postur tubuh yang pendek merupakan tanda anemia Fanconi; jari-
jari yang aneh dan leukoplakia menandakan dyskeratosis congenita.10
10. Pemeriksaan Penunjang
Temuan laboratorik yang dapat dijumpai pada anemia aplastik adalah: 4,6
a. Anemia normokromik normositer dengan retikulositopenia. Akan tetapi
bilai nilai retikolosit dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected
reticolocyte count) maka akan diperoleh presentase retikolosit normal
atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan
bukan anemia aplastik.
b. Anemia sering berat dengan kadar Hb <7 g/dL.
c. Leukopenia dengan relatif limfositosis terdapat pada 75% kasus,tidak
dijumpai sel muda dalam darah tepi. Adanya eritrosit muda atau
leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik.
d. Trombositopenia, yang bervariasi dari ringan sampai sangat berat
e. Besi serum normal atau meningkat, TIBC normal, HbF meningkat.
f. Laju endap darah selalu meningkat, 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai
laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama.
g. Faal Hemostasis4
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan
oleh trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal.
h. Sumsum Tulang4
Sumsum tulang memperlihatkan adanya hipoplasia, dengan hilangnya
jaringan hemopoietik dan penggantian oleh lemak yang meliputi lebih
dari 75% sumsum tulang. Biopsy trephine sangat penting dilakukan dan
dapat memperlihatkan daerah selular berbercak pada latar belakang
yang hiposelular. Sel-sel utama yang tampak adalah limfosit dan sel
plasma; megakariosit sangat berkurang atau tidak ada.
i. Virus4
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus
Hepatitis, HIV parvovirus sitomegalovirus.
j. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa4
Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab.

22
k. Kromosom4
Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom.
Pemeriksaan sitogenik dengan fluroscence in situ hybridization (FISH)
dan immunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposelular.
l. Defisiensi Imun4
Adanya defisiensi imun diketahui melalui penentuan titer
immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T.
m. Lain-lain4
Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin
ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.Kadar eritropoietin
ditemukan meningkat pada anemia aplastik.
Pemeriksaan Radiologis4
1. Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya
perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum
tulang berlemak dan sumsum tulang berelular.
2. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh
setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan
terikan pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang akan
terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat
ditentukan daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel-sel guna
pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.
11. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut International
Agranulocytosis and Anemia Study Group (IAASG).6
a. Satu dari tiga:

1) Hemoglobin kurang dari 10 gr/dl, atau hematokrit kurang dari


30%
2) Trombosit kurang dari 50 x 10 9/L

23
3) Leukosit kurang dari 3,5 x 10 9/L, atau neutrofil kurang dari 1,5
x 109/L
b. Retikulosit < 30 x 109/L (< 1 %)
c. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat):
1) Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua
sel hemopoetik atau selularitas normal oleh karena hiperplasia
eritroid fokal dengan deplesi seri granulosit dan megakariosit.
2) Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik
d. Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus
diekslusi.

Setelah diagnosis maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia


aplastik. Hal ini sangat penting dilakukan karena menentukan strategi
terapi. Kriteria yang dipakai pada umumnya ialah kriteria Camitta et al.
Tergolong anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila
memenuhi kriteria berikut:
Paling sedikit dua dari tiga:
1) granulosit < 500 x 109/L
2) trombosit < 20 x 1012/L
3) corrected reticulocyte < 1 %

Selularitas sumsum tulang < 25 %, atau selularitas < 50% dengan < 30%
sel-sel hematopoietic.
12. Diagnosis Banding
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang
ditandai dengan pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia
terlihat pada tabel 4.
Tabel 4. Penyebab pansitopenia6
Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis

24
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis

Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat


yaitu sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen
kasus sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang.
Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom
myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah
yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-
Pelger- Hüet), prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia
menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang patologis lebih
sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu,
prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan
megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya
mikromegakariosit unilobuler).11
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia
aplastik yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel
blast atau dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang.
Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali,
dan hipertrofi gusi.11
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik.
Hairy cell leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya
splenomegali dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.11
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya
disebabkan oleh sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau
hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang normoselular jelas
membedakannya dengan anemia aplastik.

25
13. Penatalaksanaan
Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik terdiri atas:
a. Terapi kausal;
b. Terapi suportif;
c. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang: terapi untuk
merangsang pertumbuhan sumsum tulang;
d. Terapi definitif yang terdiri atas:
a. Pemakaian anti-lymphocyte globulme;
b. Transplantasi sumsum tulang.
Terapi Kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab.
Hindarkan pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui,
tetapi sering hal ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau
penyebabnya tidak dapat dikoreksi.
Terapi Suportif
Terapi untuk mengatasi akibat pansitopenia.
a. Untuk mengatasi infeksi antara lain: 5,6
1) Higiene mulut
2) Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan
adekuat. Pemberian obat antibiotika dipilih yang tidak menyebabkan
depresi sumsum tulang. Sebelum ada hasil biakan berikan
antibiotika berspektrum luas yang dapat mengatasi kuman gram
positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat penisilin semisintetik
(ampisilin) dan gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai
sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil biakan sudah datang,
sesuaikan antibiotika dengan hasil tes kepekaan. Jika dalam 5-7 hari
panas tidak turun, pikirkan adanya infeksi jamur, dapat diberikan
amphotericin- B atau flukonasol parenteral. Untuk menghindarkan
anak dari infeksi, anak diisolasi dalam ruangan khusus yang “suci
hama”.
3) Tranfusi granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat kuman gram
negatif, dengan neutropenia berat yang tidak memberikan respon pada

26
antibiotika adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan mas
efektifnya sangat pendek.
b. Usaha untuk mengatasi anemia: berikan transfusi packed red cell (PRC)
jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang
sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9 – 10 g%, tidak perlu sampai Hb
normal, karena akan menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang
akan dipersiapkan untuk transplantasi sumsum tulang pemberian transfusi
harus lebih berhati-hati.
c. Usaha untuk mengatasi perdarahan: berikan transfusi konsentrat trombosit
jika terdapat perdarahan major atau trombosit < 20.000/ mm3 : transfusi
trombosit (tiap unit/10 kgBB dapat meningkatkan jumlah trombosit
± 50.000/mm3) Transfusi trombosit untuk profilaksis tidak dianjurkan.
Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektivitas trombosit
karena timbulnya antibodi antitrombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi
perdarahan kulit.

Terapi untuk Memperbaiki Fungsi Sumsum Tulang


Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan
sumsum tulang:
a. Anabolik Steroid: dapat diberikan oksimetolon atau stazonol. Oksimetolon
diberikan dalam dosis 2- 3 mg/kgBB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-12
minggu. Awasi efek samping berupa virilisasi dan gangguan fungsi hati.
b. Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah: fungsi steroid dosis rendah
belum jelas. Prednison 2 mg/kgBB/24 jam. Jika dalam 4 minggu tidak ada
respon sebaiknya dihentikan untuk mengurangi fragilitas pembuluh
kapiler.
c. GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah
netrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoetin juga dapat
diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah.

27
Terapi Definitif
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka
panjang. Terapi definitif untuk anemia aplastik terdiri atas 2 jenis pilihan
terapi:
a. Terapi imunosupresif antara lain:
1) Pemberian anti lymphocyte globuline: Anti lymphocyte globulin (ALG)
atau anti thymocyte globulin (ATG) dapat menekan proses imunologik.
ALG mungkin juga bekerja melalui peningkatan pelepasan
haemopoietic growth factor. Sekitar 40 – 70% kasus memberi respons
pada ALG, meskipun sebagian respons bersifat tidak komplit (ada defek
kualitatif/ kuantitatif). Pemberian ALG merupakan pilihan utama untuk
penderita anemia aplastik yang berumur di atas 40 tahun.
2) Terapi imunosupresif lain: pemberian metilprednisolon dosis tinggi
dengan/atau sislckosporin – A dilaporkan memberikan hasil pada
beberapa kasus, tetapi masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut.
Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis
tinggi.
b. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi definitif yang
memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal,
memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan dalam men-cari
donor yang kompatibel. Transplantasi sumsum tulang, yaitu:
1) Merupakan pilihan untuk kasus berumur di bawah 40 tahun;
2) Diberikan siklosporin A untuk mengatasi GVHD (graft versus host
disease);
3) Transplantasi sumsum tulang memberikan kesembuhan jangka panjang
pada 60—70% kasus, dengan kesembuhan komplit.
14. Prognosis
Perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, dimana ada
penderita yang cepat memburuk dan ada sebagian lagi mempunyai
perjalanan penyakit yang berlahan-lahan. Faktor prognostik yang paling
penting adalah pansitopenia 1.

28
Pengalaman klinis menunjukkan prognosis sangat ditentukan oleh derajat
penyakit serta jenis pengobatan yang diberikan. Keberhasilan TST
(Transplantasi sumsum tulang) memberikan ketahanan hidup jangka
panjang yang sempurna. Sedangkan ALG dapat disertai kekambuhan pada
sebagian penderita serta timbul kelainan hemopoetik klonal di kemudian
hari 1,7.
Perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa
pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis
dapat dibagi menjadi 3 yaitu 9
a. Kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam waktu 3 bulan.
Keadaan ini mencakup 10-15% kasus.
b. Penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan relaps.
Meninggal dalam waktu 1 tahun, merupakan 50% kasus.
c. Penderita yang mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya
merupakan sebagian kecil dari penderita.
Penyebab kematian utama anemia aplastik adalah perdarahan dan
infeksi. Oleh karena itu derajat trombositopenia dan neutropenia sangat
menentukan prognosis ditunjang pula oleh terapi suportif yang baik saat
menunggu terapi definitif 1. KIE keluarga dan pasien diperlukan sehingga
dokter yang memberikan perawatan dapat memberikan pengertian kepada
keluarga dan pasien mengenai penyakit, perjalanan penyakit, kemungkinan
perburukan serta keberhasilan pengobatan sehingga pasien dapat menerima
keadaannya dan tetap berusaha untuk menjalani pengobatan.

29
BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, anemia aplastik yang terjadi bersifat idiopatik dan terjadi
setelah anak berumur 7 tahun. Hal ini berdasarkan riwayat penyakit penderita dan
riwayat penyakit keluarga. Anak tidak pernah menderita sakit sebelumnya. Anak
tinggal bersama orang tua yang bergolongan ekonomi menengah ke bawah.
Lingkungan jauh dari daerah pertanian dan tidak pernah terpapar insektisida atau
bahan sejenisnya. Keluarga anak juga tidak ada yang menderita penyakit yang
serupa, karena penyebab yang tidak jelas ini maka etiologinya digolongkan
idiopatik.
Gejala anemia dapat berupa pucat, sakit kepala, palpitasi dan mudah lelah.
Pada anemia yang sangat berat dapat terjadi dispneu, edema pretibial dan gejala lain
yang disebabkan kegagalan jantung. Trombositopenia mengakibatkan perdarahan
pada mukosa dan gusi atau timbulnya petekie dan purpura pada kulit.
Granulositopenia sangat memudahkan timbulnya infeksi sekunder dan berulang,
hal ini biasanya ditandai dengan demam yang kronik atau tanda infeksi yang lain
sesuai agen penyebabnya1,2,3,4. Pada anemia aplastik tidak terjadi pembesaran organ
(hepatosplenomegali, limfadenopati)2,4.
Manifestasi klinis yang berat dari anemia seperti dispneu, edema pretibial
akibat kegagalan jantung tidak didapatkan baik dari anamnesa maupun pemeriksaan
fisik. Dari riwayat tidak didapatkan adanya infeksi sekunder yang dapat
memperberat kondisi pasien saat ini.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa pucat, perdarahan dan
tanpa organomegali. Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia.
Pada kasus ini didapatkan manifestasi klinis berupa gejala anemia yaitu
penderita tampak pucat, terdapat perdarahan pada gusi, tanda granulositopenia
berupa petekie yang tampak di kedua tangan dan kedua kaki pasien. Pada kasus ini
tidak didapatkan adanya organomegali.
Pada kasus ini ditegakkan berdasarkan adanya gejala dan tanda anemia dan
granulositopenia tanpa adanya organomegali. Hal ini diperkuat dengan
pemeriksaan penunjang yang mendukung dimana semua sel darah mengalami
penurunan jumlah.

30
Pada kasus ini pasien berada di ruang isolasi untuk menghindari anak dari
infeksi.
Secara umum penatalaksanaan anemia aplastik adalah terapi primer dan
terapi suportif 6,7. Terapi primer dapat berupa transplantasi sumsum tulang terutama
pada pasien yang berusia muda, akan tetapi hal ini tidak memungkinkan dilakukan
karena kurangnya sarana dan prasarana yang ada. Transplantasi sumsum tulang ini
memiliki angka kesembuhan yang tinggi yaitu sekitar 70% dengan efek jangka
panjang yang baik yaitu 67%. Terapi suportif adalah pemberian transfusi sesuai
dengan kebutuhan penderita6,7.
Terapi suportif ini diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia Mengatasi
Infeksi, untuk mengatasi infeksi antara lain, menjaga hygiene mulut, identifikasi
sumber infeksi, menghindarkan anak dari infeksi, serta pemberian antibiotik yang
tepat dan adekuat. Sebelum ada hasil, biarkan pemberian antibiotik berspektrum
luas yang dapat mengatasi kuman gram positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat
penicillin semisintetik (ampisilin) dan gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai
sefalosforin generasi ketiga.
DAFTAR PUSTAKA

1. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI, 2001;501-8.
2. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK
http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm
3. Widjanarko, A. Anemia Aplastik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001. p. 627-633.
4. Widjanarko, A. Anemia Aplastik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001. p. 637-643.
5. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Rumah
Sakit Umum Pusat Saglah Denpasar. Anemia Aplastik. Pedoman Pelayanan Medis
kesehatan Anak 2011. 151-153
6. Bakta, IM. Buku Ajar Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG, 2007. p. 97-112.

31
7. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic
Anemia. Available in URL: HYPERLINK
http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
8. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds).
William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
9. Adyana,Losen dkk. 2008. Diagnosis dan Penatalaksanaan Anemia Aplastik.
Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Akses tanggal 25 Agustus 2012.
10. Young NS. Aplastic Anemia, Myelodysplasia, and Related Bone Marrow
Failure Syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al. Harrison’s Principle of
Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007: 617-25.
11. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds).
William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.

32

Anda mungkin juga menyukai