Anda di halaman 1dari 21

SMF & Laboratorium Ilmu Kesehatan Mata TUTORIAL KLINIK

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

XEROFTHALMIA
Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik
di Laboratorium Ilmu Kesehatan Mata

Disusun Oleh :
SATRIA DANANJAYA S NIM. 1810029003
RIDHA EKA D NIM. 1810029008
ELZANITA DEVI E NIM. 1810029040
FEBRY YUSMITHA A NIM. 1810029026
TENDRI AYU AMPI P NIM. 1810029033
GERIT NIM. 1810029049
DITA AMBARSARI NIM. 1810029021

Pembimbing:
dr. Baswara N. E. W, Sp.M

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan tutorial klinik tentang “Xerofthalmia”. Tutorial klinik
ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Kesehatan
Mata Rumah Sakit Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan


terima aksih kepada :

1. dr. Ika Fikriah, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas


Samarinda.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. dr. Baswara N. E. W, Sp.M selaku pembimbing dalam penyusunan tugas
referat ini yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan untuk
memberikan bimbingan.
4. Rekan sejawat dokter muda stase Ilmu Mata yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
5. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga
dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Samarinda, November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
BAB II ..................................................................................................................... 3
2.1 Skenario ......................................................................................................... 3
2.2 Identifikasi Masalah ...................................................................................... 3
2.3 Curah Pendapat .............................................................................................. 3
2.4 Sasaran Pembelajaran .................................................................................... 5
2.5 Definisi .......................................................................................................... 5
2.6 Etiologi .......................................................................................................... 5
2.7 Epidemiologi ................................................................................................. 6
2.8 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi................................................................. 6
2.9 Diagnosis ..................................................................................................... 11
2.10 Tatalaksana ................................................................................................ 14
2.11 Pencegahan ................................................................................................ 16
2.12 Prognosis ................................................................................................... 16
BAB III ................................................................................................................. 17
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 17
3.2 Saran ............................................................................................................ 17
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di


seluruh dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur
terutama pada masa pertumbuhan. KVA dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai
jenis penyakit yang merupakan Nutrition Related Diseases yang dapat mengenai
berbagai macam anatomi dan fungsi dari organ tubuh seperti menurunkan sistem
kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Salah satu dampak
kurang vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumnya terjadi pada anak usia
6 bulan - 4 tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang
(Vaughan & Daniel, 2014).
KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi
Protein (KEP) atau Gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi sangat kurang,
termasuk zat gizi mikro dalam hal ini vitamin A. Anak yang menderita KVA mudah
sekali terserang infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut, campak, cacar air,
diare dan infeksi lain karena daya tahan anak tersebut menurun. Namun masalah
KVA dapat juga terjadi pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal ini terjadi
karena kurangnya pengetahuan orang tua/ibu tentang gizi yang baik. Gangguan
penyerapan pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun hal ini sangat
jarang terjadi. Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) yang berkepanjangan
akan menyebabkan anak menderita KVA, yang umumnya terjadi karena
kemiskinan, dimana keluarga tidak mampu memberikan makan yang cukup (Javadi
& Feizi , 2011).
Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih membutuhkan perhatian
yang serius. Meskipun hasil survei Xeroftalmia (1992) menunjukkan bahwa
berdasarkan kriteria WHO secara Klinis KVA di Indonesia sudah tidak menjadi
masalah kesehatan masyarakat (< 0,5%). Namun pada survei yang sama
menunjukkan bahwa 50% balita masih menderita KVA Sub Klinis (serum retinol
< 20 ug/dl). Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan
tahun 1997, dimana terjadi peningkatan kasus gizi buruk di berbagai daerah
mengakibatkan masalah KVA muncul kembali. Berdasarkan laporan dari beberapa

1
provinsi antara lain dari NTB dan Sumatera Selatan (Kurniawan & Hendrawan,
2010).
Hasil penelitian yang dilakukan Survei Pemantauan Status Gizi dan
Kesehatan (Nutrition and Health Surveilance System) selama tahun 1998-2002
menunjukkan, sekitar 10 juta anak balita yang berusia 6 bulan hingga 5 tahun
(setengah dari populasi anak balita di Indonesia) menderita KVA, sehingga ini
menjadi masalah utama karena akibat dari KVA adalah terganggunya kesehatan
mata, kemampuan penglihatan, maupun kekebalan tubuhnya. Dan yang
memprihatinkan, kebutaan yang disebabkan KVA tidak dapat disembuhkan
(Departemen Kesehatan RI, 2013).

2
BAB II
ISI

2.1 Skenario
Jono, 2 tahun, datang bersama ibunya ke poli mata dengan keluhan sering
jatuh ketika bermain pada sore hari karena tersandung atau menabrak benda, selain
itu Jono juga sering mengucek matanya. Keluhan dirasakan beberapa bulan
terakhir. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan suatu bercak putih pada konjungtiva
mata kanan.

2.2 Identifikasi Masalah


1. Apa yang dapat menyebabkan Jono menabrak benda pada sore hari dan
mengucek matanya?
2. Apa penyebab lesi putih pada konjungtiva pada mata kanan Jono?
3. Pemeriksaan apa saja yang harus dilakukan pada Jono?
4. Penatalaksanaan apa yang dilakukan pada Jono?
5. Apa diagnosis sementara pada Jono?

2.3 Curah Pendapat


1. Penderita menabrak benda pada sore menandakan penurunan penglihatan pada
anak atau yang biasa disebut rabun senja. Hal ini dapat disebabkan karena
defisiensi vitamin A. Defisiensi vitamin A sering terjadi pada anak berusia 0-4
tahun. Defisiensi vitamin A pada anak terjadi karena beberapa hal:
a. Kurangnya konsumsi vitamin A
b. Anak tidak diberikan ASI ekslusif
c. Kurangnya konsumsi lemak dan bahan-bahan yang dapat membantu
penyerapan vitamin A
d. Penyerapan vitamin A juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit,
seperti pankreatitis.
e. Kerusakan hati juga dapan menyebabkan gangguan pembentukan Retinol
Binding Protein (RBP) dan pre-albumin yang penting untuk penyerapan
vitamin A

3
Retinol, bentuk vitamin A yang didapat dari darah, dioksidasi menjadi retinal.
Retinal nantinya akan berikatan dengan protein rods. Rods terdapat pada sel
basilus (sel batang). Pada sel batang terdapat pigmen ungu (rhodopsin) dan akan
terurai kembali menjadi retinal dan protein saat terkena sinar. Pembentukan
kembali pigmen terjadi pada keadaan gelap. Untuk membentuk kembali
memerlukan waktu yang disebut adaptasi gelap. Defisiensi vitamin A
menyebabkan menurunnya pembentukan rhodopsin yang berfungsi untuk
melihat di keadaan kurang cahaya. Oleh karena itu, penderita defisiensi vitamin
A akan sulit melihat pada senja dimana cahaya sudah mulai berkurang.

Perilaku sering mengucek mata pada Jono dapat disebabkan penurunan vitamin
A. defisiensi vitamin A dapat mengakibatkan sel-sel goblet mata mengalami
kerusakan sehingga terjadi penurunan produksi musin yang kemudian
menimbulkan rasa gatal dan berpasir pada mata.

2. Defisien vitamin A dapat mengubah epitel konjungtiva dari tipe kolumnar


normal menjadi tipe skuamosa bertingkat akibat hilangnya sel goblet,
pembentuk lapisan sel granular, dan keratinisasi permukaan. Selanjutnya
keratin dan basil saprofit akan berkumpul pada permukaan xerotik dan
membentuk gambaran seperti busa atau keju. Lesi ini dikenal sebagai bercak
bitot.
3. Pemeriksaan yang dapat dilakukan:
a. Anamnesis: keluhan utama, keluhan tambahan, riwayat penyakit
sebelumnya (infeksi cacing, ispa, TB, campak), riwayat kontak dengan
tenaga medis (vaksin, pemberian vitamin A), pemberian ASI, dll.
b. Pemeriksaan fisik: antropometri, penilaian status gizi, pemeriksaan mata
(tanda xeroftalmia), dan pemeriksaan kulit (kering, bersisik).
c. Pemeriksaan laboratorium: serum retinol (<20 ug/dl= defisiensi vitamin A),
pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan darah malaria, pemeriksaan
fungsi hati, radiologi, tinja.
4. Penatalaksanaan:
a. Pemberian vitamin A
b. Terapi gizi

4
c. Pengobatan penyaki infeksi
5. Diagnosis sementara: Xeroftalmia

2.4 Sasaran Pembelajaran


Mempelajari tentang definisi, etiologi, epidemiologi, klasifikasi, patogenesis,
manifestasi, diagnosis, diagnosis banding, dan prognosis dari xeroftalmia

2.5 Definisi
Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan
vitamin A pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan
gangguan fungsi sel retina yang berakibat kebutaan. Kata Xeroftalmia (bahasa
Latin) berarti “mata kering”, karena terjadi kekeringan pada selaput lendir
(konjungtiva) dan selaput bening (kornea) mata (Departemen Kesehatan RI, 2013).

2.6 Etiologi
Xeroftalmia terjadi akibat tubuh kekurangan vitamin A. Bila ditinjau dari
konsumsi makanan sehari-hari kekurangan vitamin A disebabkan oleh
(Departemen Kesehatan RI, 2013) :

1. Konsumsi makanan yg tidak mengandung cukup vitamin A atau pro-


vitamin A untuk jangka waktu yang lama.
2. Bayi tidak diberikan ASI Eksklusif
3. Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein, seng/Zn atau zat
gizi lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan vitamin A dan penggunaan
vitamin A dalam tubuh.
4. Adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A seperti pada
penyakit-penyakit antara lain penyakit pankreas, diare kronik, Kurang
Energi Protein (KEP) dan lain-lain sehingga kebutuhan vitamin A
meningkat.
5. Adanya kerusakan hati, seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronik,
menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein) dan
pre-albumin yang penting untuk penyerapan vitamin A.

5
2.7 Epidemiologi
Banyak survei prevalensi yang telah dilakukan di berbagai negara selama
lebih 25 tahun belakangan menunjukkan bahwa 5 – 10 juga anak menderita
xeroftalmia setiap tahun dan dari jumlah tersebut 500.000 di antaranya mengalami
kebutaan. Estimasi pada awal tahun 1920-an, prevalensi defisiensi vitamin A
subklinis pada anak berkisar 125 juta, di mana 1 – 1,25 juta di antaranya meninggal
per tahun. Angka yang mencengangkan ini berlawanan dengan fakta bahwa
prevalensi xeroftalmia subklinis jelas mengalami penurunan di banyak negara. Hal
ini nampak jelas di Indonesia, di mana prevalensi kelainan pada mata turun
sebanyak 75% antara tahun 1977 hingga 1992. Seberapa besar penurunan angka ini
disebabkan oleh program pengendalian defisiensi vitamin A masih belum jelas,
namun sebagian besar fakta menunjukkan kalau aktivitas program pengendalian
ikut andil di berbagai negara. Program pemberian suplemen telah banyak dijalankan
di berbagai negara di dunia, sehingga bisa dianggap bahwa prevalensi defisiensi
subklinis, dan risiko mortalitas juga mengalami penurunan. Sebagai contoh,
program pengendalian defisiensi vitamin A di Nepal telah diperluas di seluruh
wilayah pada tahun 2001, dengan tingkat cakupan di atas 90%. Upaya ini telah
menyelamatkan lebih dari 39.000 nyawa per tahun di negara Asia selatan ini
(Departemen Kesehatan RI, 2013).

2.8 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi


Tanda-tanda dan gejala klinis Kurang vitamin A (KVA) adalah kelainan
sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel dari organ-organ seluruh tubuh,
termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain, akan tetapi gambaran yang
karakteristik langsung terlihat pada mata. Kelainan kulit pada umumnya tampak
pada tungkai bawah bagian depan dan lengan atas bagian belakang, kulit tampak
kering dan bersisik seperti sisik ikan. Kelainan ini selain disebabkan karena KVA
dapat juga disebabkan karena kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin
golongan B atau Kurang Energi Protein (KEP) tingkat berat atau gizi buruk
(Departemen Kesehatan RI, 2013).

Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang
telah berlangsung lama. Gejala tersebut akan lebih cepat timbul bila anak menderita

6
penyakit campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya (Departemen Kesehatan
RI, 2013).

Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi


WHO/USAID UNICEF/HKI/ IVACG, 1996 sebagai berikut (Departemen
Kesehatan RI, 2013) :

XN : buta senja (hemeralopia, nyctalopia)

XIA : xerosis konjungtiva

XIB : xerosis konjungtiva disertai bercak bitot

X2 : xerosis kornea

X3A : keratomalasia atau ulserasi kornea kurang dari 1/3 permukaan kornea.

X3B : keratomalasia atau ulserasi sama atau lebih dari 1/3 permukaan kornea

XS : jaringan parut kornea (sikatriks/scar)

XF : fundus xeroftalmia, dengan gambaran seperti “cendol”.

XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan


pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang
harus segera diobati karena dalam beberapa hari bias berubah menjadi X3. X3A
dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan
dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan) pada kornea cukup luas
sehingga menutupi seluruh kornea (optic zone cornea).

1. Buta senja = Rabun Senja = Rabun Ayam= XN

Tanda-tanda :

 Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina.


 Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang
remang-remang setelah lama berada di cahaya terang
 Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tak dapat melihat di
lingkungan yang kurang cahaya, sehingga disebut buta senja.

7
2. Xerosis konjungtiva = XIA

Tanda-tanda :

 Selaput lendir bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit
kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
 Orang tua sering mengeluh mata anak tampak kering atau berubah warna
kecoklatan.

3. Xerosis konjungtiva dan bercak bitot = X1B.

Tanda-tanda :

 Tanda-tanda xerosis kojungtiva (X1A) ditambah bercak bitot yaitu bercak


putih seperti busa sabun atau keju terutama di daerah celah mata sisi luar.

8
 Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan
tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai kriteria
penentuan prevalensi kurang vitamin A dalam masyarakat.

Dalam keadaan berat :

 Tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjungtiva.


 Konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat dan berkerut.
 Orang tua mengeluh mata anaknya tampak bersisik

4. Xerosis kornea = X2

Tanda-tanda :

 Kekeringan pada konjungtiva berlanjut sampai kornea.


 Kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
 Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita, penyakit
infeksi dan sistemik lain).

5. Keratomalasia dan ulcus kornea = X3A, X3B

9
Tanda-tanda :

 Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus.


 Tahap X3A : bila kelainan mengenai kurang dari 1/3 permukaan kornea.
 Tahap X3B : Bila kelainan mengenai semua atau lebih dari 1/3 permukaan
kornea.
 Keadaan umum penderita sangat buruk.
 Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah)

Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan


prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang dapat menyebabkan
kebutaan. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat mengakibatkan
keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-tahap awal xeroftalmia.

6. Xeroftalmia scar (XS) = sikatriks (jaringan parut) kornea

10
Kornea mata tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil. Bila
luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau
jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan
walaupun dengan operasi cangkok kornea.

7. Xeroftalmia Fundus (XF)

Dengan opthalmoscope pada fundus tampak gambar seperti cendol

2.9 Diagnosis
1. Anamnesa
Dilakukan untuk mengetahui faktor risiko tinggi yang menyebabkan
anak rentan menderita xeroftalmia.
a. Identitas penderita
- Nama anak
- Umur anak
- Jenis kelamin
- Jumlah anak dalam keluarga
- Jumlah anak balita dalam keluarga
- Anak ke berapa
- Berat Lahir : Normal/BBLR
b. Identitas Orangtua
- Nama ayah/ibu
- Alamat/tempat tinggal
- Pendidikan

11
- Pekerjaan
- Status Perkawinan
c. Keluhan Penderita
- Keluhan Utama
Ibu mengeluh anaknya tidak bisa melihat pada sore hari (buta
senja) atau ada kelainan pada matanya. Kadang-kadang keluhan
utama tidak berhubungan dengan kelainan pada mata seperti
demam.
- Keluhan Tambahan
Tanyakan keluhan lain pada mata tersebut dan kapan terjadinya
?
Upaya apa yang telah dilakukan untuk pengobatannya ?
d. Riwayat penyakit yang diderita sebelumnya
- Apakah pernah menderita Campak dalam waktu < 3 bulan ?
- Apakah anak sering menderita diare dan atau ISPA ?
- Apakah anak pernah menderita Pneumonia ?
- Apakah anak pernah menderita infeksi cacingan ?
- Apakah anak pernah menderita Tuberkulosis ?
e. Kontak dengan pelayanan kesehatan
- Apakah anak ditimbang secara teratur mendapatkan imunisasi,
mendapat suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi dan
memeriksakan kesehatan baik di posyandu atau puskesmas (cek
dalam buku KIA/KMS anak).
f. Riwayat pola makan anak
- Apakah anak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan?
- Apakah anak mendapatkan MP-ASI setelah umur 6 bulan ?
Sebutkan jenis dan frekuensi pemberiannya
- Bagaimana cara memberikan makan kepada anak : Sendiri /
Disuapi.
2. Pemeriksaan fisik
Dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda atau gejala klinis dan
menentukan diagnosis serta pengobatannya, terdiri dari :

12
a. Pemeriksaan umum
Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit yang terkait
langsung maupun tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia
seperti gizi buruk, penyakit infeksi, dan kelainan fungsi hati. Yang
terdiri dari:
- Antropometri
Pengukuran berat badan dan tinggi badan
- Penilaian Status gizi
Apakah anak menderita gizi kurang atau gizi buruk
Bila BB/TB : > -3 SD - < -2 SD, anak menderita gizi kurang
atau kurus
Bila BB/TB : ≤ 3, anak menderita gizi buruk atau sangat kurus.
- Periksa matanya apakah ada tanda-tanda xeroftalmia.
- Kelainan pada kulit : kering, bersisik.
b. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan mata untuk melihat tanda Xeroftalmia dengan
menggunakan senter yang terang. (Bila ada, menggunakan loop.)
- Apakah ada tanda kekeringan pada konjungtiva (X1A)
- Apakah ada bercak bitot (X1B)
- Apakah ada tanda-tanda xerosis kornea (X2)
- Apakah ada tanda-tanda ulkus kornea dan keratomalasia (X3A/
X3B)
- Apakah ada tanda-tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS)
- Apakah ada gambaran seperti cendol pada fundus oculi dengan
opthalmoscope
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendukung diagnosa
kekurangan vitamin A, bila secara klinis tidak ditemukan tanda-tanda khas
KVA, namun hasil pemeriksaan lain menunjukkan bahwa anak tersebut
risiko tinggi untuk menderita KVA.

13
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan serum retinol. Bila
ditemukan serum retinol < 20 ug/dl, berarti anak tersebut menderita KVA
sub klinis.
Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan untuk mengetahui
penyakit lain yang dapat memperparah seperti pada:
- pemeriksaan darah malaria
- pemeriksaan darah lengkap
- pemeriksaan fungsi hati
- pemeriksaan radiologi untuk mengetahui apakah ada pneumonia
atau TBC
- pemeriksaan tinja untuk mengetahui apakah ada infeksi cacing serta
pemeriksaan darah yang diperlukan untuk diagnosa penyakit
penyerta.
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan di Puskesmas, Rumah Sakit/
Labkesda atau BKMM, sesuai dengan ketersediaan sarana laboratorium.

2.10 Tatalaksana
Tatalaksana xeroftalmia adalah sebagai berikut (Departemen Kesehatan RI, 2003);

 Jadwal pemberian kapsul vitamin A pada penderita xeroftalmia.

 Pemberian Obat Mata.


Bercak bitot tidak memerlukan obat tetes mata, kecuali ada infeksi yang
menyertai.
o Pada X2, X3A, X3B : obat tetes/salep mata antibiotic tanpa
kortikosteroid (Tetrasiklin 1%, khlorampenikol 0.25-1% dan

14
gentamisin 0.3%) dosis 4 x 1 tetes/hari dan tetes atropine 1% 3 x 1
tetes/hari. Dilakukan selama 7 hari sampai semua gejala hilang.
o Mata harus ditutup dengan kasa selama 3 – 5 hari hingga peradangan
dan iritasi mereda. Kasa dicelup ke larutan Nacl 0.26 dan di ganti
setiap dilakukan pengobatan.
 Terapi gizi medis.
 Pengobatan penyakit infeksi atau sistemik.
 Pematauan dan respon pengobatan dengan kapsul vitamin A.

15
2.11 Pencegahan
 Pada anak yang menderita measles/campak diberikan retinol peroral. Satu
dosis pada hari pertama dan hari kedua.
 Pada area yang umum terjadi defisiensi vitamin A diberikan suplemen
retinol perorang :
o Anak < 6 bulan : 50.000 IU dosis tunggal.
o Anak usia 6 sampai 12 bulan : satu dosis 100.000 IU setiap 4
sampai 6 bulan.
o Anak usia 1 sampai 5 tahun : satu dosis 200.000 IU setiap 4 sampai
6 bulan.
o Ibu setelah melahirkan diberikan satu dosis 200.000 IU secepatnya
setelah melahirkan atau dalam 8 minggu setelah persalinan
(Grouzard, Rigal, & Sutton, 2018).

2.12 Prognosis
Prognosis pada xeroftalmia bervairiasi tergantung pada penyebabnya. Salah satu
contoh yang langka yaitu komplikasi berat seperti ulkus kornea dan kebutaan
dapat terjadi (Grouzard, Rigal, & Sutton, 2018).

16
BAB III

KESIMPULAN & SARAN

3.1 Kesimpulan
Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan
vitamin A pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan
gangguan fungsi sel retina yang berakibat kebutaan.
Xeroftalmia terjadi akibat tubuh kekurangan vitamin A. Bila ditinjau dari
konsumsi sehari-hari kekurangan vitamin A disebabkan oleh : Konsumsi makanan
yang tidak mengandung cukup vitamin A, Bayi yang tidak diberkan ASI eksklusif,
menu tidak seimbang , adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin ,
dan adanya kerusakan hati.
Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata dibagi menurut klasifikasi
WHO/USAID UNICEF/HKI/ IVACG, 1996. XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat
sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2
merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa
hari bisa berubah menjadi X3. X3A dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi
dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila
lesi (kelainan) pada kornea cukup luas sehingga menutupi seluruh kornea (optic
zone cornea).

3.2 Saran
Vitamin A mempunyai peran penting dalam fungsi penglihatan, metabolism
umum, dan membantu dalam proses reproduksi. Karenanya sangat penting agar
kadar vitamin A dalam tubuh terpenuhi dalam tubuh terutama bagi anak-anak diusia
balita. Pada pasien yang sudah menderita xeroftalmia, pengobatan utama yang
diperlukan adalah vitamin A dengan dosis sesuai dengan usia pasien dan apabila
sudah terjadi kekeringan ataupun ulkus pada kornea maka diperlukan pengobatan
tambahan sesuai dengan gangguan yang terjadi pada mata pasien.

17
Daftar Pustaka

Departemen Kesehatan RI. (2003). Deteksi dan tatalaksana kasus xeroftalmia.


Jakarta, Indonesia: Departemen Kesehatan.

Departemen Kesehatan RI. (2013). Deteksi dan Tatalaksana Kasus Xeroftalmia.


Jakarta: Indonesia Sehat.

Grouzard, V., Rigal, J., & Sutton, M. (Eds.). (2018). Clinical Guidelines :
Diagnosis and treatment manual. Retrieved Oktober 30, 2018, from
Medecins Sans Frontieres:
https://medicalguidelines.msf.org/viewport/CG/english/xerophthalmia-
vitamin-a-deficiency-16689721.html

Javadi, M., & Feizi , S. (2011). Dry Eye Syndrome. J Ophtalmic Vis Res . Hal 192-
198
Kurniawan , A., & Hendrawan, G. (2010). Tatalaksana Kasus Xeroftalmia dalam
petugas Kesehatan. Jakarta.
Vaughan, & Daniel. (2014). Oftamologi umum (17 ed.). Jakarta: EGC.

18

Anda mungkin juga menyukai