Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Tifoid
1. Pengertian Demam Tifoid
Demam tifoid (Tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit

infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala

demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan

dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Astuti, 2013)


Menurut Kemenkes RI no. 364 tahun 2006 tentang pengendalian

demam tifoid, demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh kumam

berbentuk basil yaitu Salmonella typhi yang ditularkan melalui makanan

atau minuman yang tercemar feses manusia.


Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah

menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan

wabah. Faktor- faktor yang mempengaruhi adalah daya tahan tubuh,

higienitas, umur, dan jenis kelamin. Infeksi demam tifoid ditandai dengan

bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus,

pembentukan mikroabses, dan ulserasi plaque peyeri di distal ileum (Putra,

2012).

2. Etiologi
Demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan

Salmonella yang memasuki tubuh penderita melalui makanan lalu ke

saluran pencernaan. Sumber utama yang terinfeksi adalah manusia yang


selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia

sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan. Pada masa

penyembuhan, penderita pada masih memiliki Salmonella didalam

kandung ampedu atau di dalam ginjal. Demam tifoid disebabkan oleh jenis

salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Salmonella memiliki antigen somatik

O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah komponen lipopolisakarida

dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein

labil panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor, makanan

tercemar, dan alas tidur yang kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat

menderita penyakit ini. Termasuk bayi yang dilahirkan dari ibu yang

terkena demam tifoid. Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi

dengan Salmonella typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya

penyakit tifus. Kebiasaan tidak sehat seperti jajan sembarangan, tidak

mencuci tangan menjadi penyebab terbanyak penyakit ini. Penyakit tifus

cukup menular lewat air seni atau tinja penderita. Penularan juga dapat

dilakukan binatang seperti lalat dan kecoa yang mengangkut bakteri ini dari

tempat-tempat kotor (Nilasari, 2013).


3. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dapat

dijumpai di seluruh dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis

terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai

dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah dimana di Indonesia

dijumpai dalam keadaan endemik (Depkes RI, 2009).


Menurut WHO (2017) morbiditas yang disebabkan oleh

Salmonella paratyphi A adalah 44,7 kasus per 100.000 penduduk per

tahun, sedangkan Salmonella Group B sangat rendah (12,8 kasus per

100.000 penduduk per tahun). Hasil yang didapatkan Salmonella typhi

ditemukan juga pada anak usia 0–3 tahun dengan usia termuda adalah 2,5

tahun.
4. Patofisiologi
S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang

tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian

lagi masuk ke usus halus. Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa

menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I.

Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi

Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal

(patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul

gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi

sumsum tulang dll. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA

sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa

usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan


fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh

Salmonalla intraseluler (Rudolph, 2014)


Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan

penyakit tifus. Inilah yang disebut dengan pembawa penyakit tifus. Meski

sudah dinyatakan sembuh, bukan tidak mungkin mantan penderita masih

menyimpan bakteri tifus dalam tubuhnya. Bakteri bisa bertahan berbulan-

bulan bahkan bertahun-tahun. Sebagian bakteri penyebab tifus ada yang

bersembunyi di kantong empedu. Bisa saja bakteri ini keluar dan

bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat menyebar lewat air seni atau tinja

penderita (Rezeki, 2014)


5. Manifestasi Klinis
1) Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada

umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala

penyakit tidaklah khas, seperti gejala influenza, berupa: anoreksia,

rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor, dan

nyeri perut. (Parry et al., 2012)


2) Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu

pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti

demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºC hingga 40ºC,

sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk,

dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan

semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung

dan merasa tidak enak, sedangkan diare dan sembelit dapat terjadi

bergantian. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi.


Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung

merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh

penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika

penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam

dengan gejala- gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-

penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari

ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata,

bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang

dengan sempurna (Brusch, 2011). Roseola terjadi terutama pada

penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran

1-5 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan

atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan

(Soedarmo et al., 2010).


3) Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur

meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari

kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada

minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan

tinggi/demam (Kemenkes RI, 2006). Terjadi perlambatan relatif nadi

penderita. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan

keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran

umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah mengkilat. Nadi

semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare

menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi


perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering

berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai

kacau jika berkomunikasi dan lain-lain (Supriyono, 2011).


4) Minggu Ketiga
Pada minggu ketiga, demam semakin memberat dan terjadi

anoreksia dengan pengurangan berat badan yang signifikan.

Konjungtiva terinfeksi dan pasien mengalami takipnea dengan suara

crakcles di basis paru. Jarang terjadi distensi abdominal. Beberapa

individu mungkin akan jatuh pada fase toksik yang ditandai dengan

apatis, bingung, dan bahkan psikosis. Nekrosis pada Peyer’s patch

mungkin dapat menyebabkan perforasi saluran cerna dan peritonitis

(Brusch, 2011).
5) Minggu Keempat
Pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali

jika fokus infeksi terjasi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak

maka demam akan menetap (Soedarmo et al., 2010). Pada mereka

yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya

menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan

berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih

ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala

lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari

demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps

atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan

(Soedarmo et al., 2010).


6. Kekambuhan
Manusia yang mendapatkan infeksi demam tifoid yang ringan juga

menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan

berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan

dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada

infeksi primer tersebut. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan

menjadi karier sementara, sedang 2 % yang lain akan menjadi karier

yang menahun, sedangkan 10% dari demam tifoid yang tidak

diobati akan mengakibatkan timbulnya kekambuhan (Algerina, 2018).

7. Cara Penularan
Cara penularan demam tifoid adalah melalui melalui fecal

oral, kuman S.typhy masuk kedalam tubuh melalui makanan atau

minuman yang tercemar ke dalam lambung, kelenjar limfoid usus kecil

kemudian masuk kedalam peredaran darah. Bakteri dalam peredaran

darah yang pertama berlangsung singkat yaitu terjadi 24-72 jam

setelah bakteri masuk, meskipun belum menimbulkan gejala tetapi

telah mencapai organ-organ hati, kandung ampedu, limpa, sumsum

tulang dan ginjal. Akhir masa inkubasi yaitu pada 5 – 9 hari kuman

kembali masuk ke aliran darah dan terjadi pelepasan endoktoksin yang

menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala (Imah dkk, 2017)


8. Cara Pencegahan
a. Imunisasi
Imunisasi dengan menggunakan vaksin T.A.B (mengandung basil

tifoid dan paratifoid A dan B yang dimatikan) yang terdiri dari

Parenteral Thyphoid Vaccine (vaksin injeksi) dan Oral Thyphoid

Vaccine ( Sulastri, 2001).


b. Kebersihan Tangan
Menurut Larson dalam Perry dan Potter (2005) mencuci tangan

adalah menggosok dengan sabun secara bersama seluruh permukaan

kulit dan permukaan tangan dengan kuat dan ringkas yang kemudian

dibilas dibawah air mengalir. Ada berbagai macam teknik mencuci

tangan yaitu dengan air mengalir, air hangat, cairan antiseptik dan

sabun. Diantara teknik mencuci tangan tersebut, teknik mencuci

tangan dengan sabun adalah cara yang paling baik. Mencuci

tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan

membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh

manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mencanangkan tanggal 15

Oktober sebagai Hari Mencuci Tangan dengan Sabun Sedunia yang

diikuti oleh 20 negara di dunia salah satu diantaranya adalah

Indonesia. Tujuan dari mencuci tangan adalah untuk membuang

kotoran dan organisme yang menempel dari tangan dan untuk

mengurangi mikroba. Tangan yang terkontaminasi merupakan

penyebab utama perpindahan infeksi yang sering terjadi pada setiap

orang baik secara kontak langsung ataupun kontak tak langsung seperti

makanan.
c. Pengolahan makan dan Tempat Jajan
Menurut FAO (Food and Agricultur Organisation) makanan

jajanan (street food) di definisikan sebagai makanan dan minuman

yag dipersiapkan dan atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan

dan di tempat-tempat keramaian umum lainnya yang langsung


dikonsumsi dan di makan tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut

(WHO, 2017).
Kebiasaan jajan pada siswa sekolah merupakan fenomena yang

menarik untuk ditelaah karena berbagai hal: merupakan upaya untuk

memenuhi kebutuhan energi karena aktivitas fisik di sekolah yang

tinggi (apalagi bagi siswa yang tidak sarapan pagi), pengenalan

berbagai jenis makanan jajanan akan menumbuhkan kebiasaan

penganekaragaman pangan, memberikan perasaan meningkatkan

gengsi siswa di mata teman-teman di sekolahnya dan juga dipengaruhi

oleh godaan dari media massa tentang makanan junk food yang sangat

bervariasi.
Selain itu banyak jajanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan dan

sangat beresiko terjadi pencemaran biologis, kimia dan mengandung

zat tambahan berbahaya yang mengganggu kesehatan, misalnya pada

penelitian yang dilakukan di Bogor telah ditemukan Salmonella

Parathypi A di 25-50% pada sampel yang di jual di kaki lima

(Winnarny, 2007).
Standarisasi makanan jajanan yang baik meliputi makanan yang

sehat yaitu makanan yang memenuhi triguna makanan; makanan yang

bersih adalah makanan yang bebas dari lalat, debu, dan serangga

lainnya ; makanan yang aman adalah makanan yang tidak

mengandung bahan berbahaya yang dilarang untuk makanan, seperti

zat pewarna dan zat pengawet yang diperuntukkan bukan untuk

makanan dan tidak tercemar oleh bahan kimia yang membahayakan

manusia; makanan yang halal adalah makanan yang tidak


bertentangan dengan agama yang dianut oleh siswa (Ditjen

BinKesMas, 2011).
Umumnya siswa memiliki kebiasaan jajan makanan di kantin atau

warung di sekitar sekolah dan di pinggir jalan. Makanan jajanan yang

berada di pinggir jalan, kantin maupun warung biasanya lebih retan

terhadap kontaminasi kuman dan kurang higienis seperti dekat

dengan tumpukan sampah bisa mengkontaminasi makanan jajanan

tersebut menjadi tidak sehat (Kalbefarma, 2015).

d. Lingkungan
Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup

adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan

makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang

mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan

manusia.
Tiga faktor yang mempengaruhi kehidupan manusia

disebut sebagai ecological atau epidemiological triad yang terdiri

atas agen penyakit, manusia, dan lingkungannya. Sehat merupakan

kesinambungan dinamis antara ketiga komponen tersebut dan agen

penyakit akan dengan mudah masuk ke dalam tubuh manusia dan

menimbulkan sakit jika terjadi ketidakseimbangan antara ketiga

komponen tersebut.
Komponen dalam epidemiological yang termasuk agens

penyakit dapat berupa benda hidup atau mati dan faktor mekanis yang

dalam hal ini adalah bakteri Salmonella Thypi. Faktor manusia (host)

sangat kompleks dalam proses terjadinya penyakit karena faktor


tersebut bergantung pada karakteristik yang dimiliki oleh individu,

seperti usia karena adanya perbedaan penyakit yang di derita di

berbagai jenjang usia, jenis kelamin karena frekuensi penyakit pada

laki-laki lebih tinggi dibandingkan frekuensi pada perempuan, status

kekebalan tubuh yang bisa di dapat dari imunisasi, gaya hidup

seperti memilih makanan dan pengetahuan yang dimiliki.


Usaha-usaha yang dilakukan untuk pencegahan dan pengendalian

yang efektif terhadap penyakit di pelajari mekanisme interaksi antara

agens penyakit (agent), manusia (host), dan lingkungan (environment)

yaitu interaksi agens penyakit dan lingkungan yang merupakan

suatu keadaan saat agens penyakit langsung dipengaruhi oleh

lingkungan dan menguntungkan agens penyakit itu serta terjadi pada

saat prepatogenesis dari suatu penyakit, contohnya tumbuhnya bakteri

salmonella dalam makanan akibat kontaminasi; interaksi

manusia dengan lingkungan yang merupakan suatu keadaan pada saat

manusia langsung dipengaruhi oleh lingkungannya dan terjadi pada

saat prepatogenesis dari suatu penyakit, contohnya kebiasaan membuat

dan menyediakan makanan; interaksi manusia dan agens penyakit

yaitu suatu keadaan saat agens penyakit menetap, berkembang biak,

dan merangsang manusia untuk membentuk respon berupa tanda-

tanda dan gejala penyakit, contohnya perubahan fisiologis seperti

demam, mual dan muntah; interaksi agent penyakit, manusia, dan

lingkungan yang merupakan suatu keadaan saat agent penyakit,

manusia, dan lingkungan bersama-sama saling mempengaruhi dan


memperberat satu sama lain sehingga agent penyakit baik secara

langsung maupun tidak langsung mudah masuk ke dalam tubuh

manusia, contoh pencemaran makanan oleh bakteri salmonella juga

pencemaran air oleh kotoran manusia (Chandra, 2007 ; Slamet, 2004 ).


9. Pengobatan Demam Tifoid
Pasien tanpa komplikasi dapat diobati secara rawat jalan. Mereka

harus disarankan untuk menggunakan teknik mencuci tangan yang ketat

dan untuk menghindari menyiapkan makanan untuk orang lain selama

sakit. Rawat pasien harus ditempatkan di isolasi kontak selama fase akut

infeksi. Tinja dan urine harus dibuang secara aman. Pengobatan penderita

Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif meliputi

istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang

terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat

penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari

bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan

bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien (Isworo, 2010).


Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien

diberikan bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai

dengan tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian

menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan

lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat

diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk

mendukung keadaan umum pasien (Lestari, 2012)


Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani

perawatan di rumah sakit. Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi

penyakit tifus. Waktu penyembuhan bisa makan waktu 2 minggu hingga

satu bulan. Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin,

kloramfenikol, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciproloxacin sering

digunakan untuk merawat demam tipoid di negara-negara barat. Obat-obat


pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan

kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-

obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.

Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4

kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat

indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diber ampisilin dengan dosis 200

mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum

dapat minum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin dengan dosis 100

mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21

hari kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3

kali pemberian, oral, selama 14 hari. Pada kasus berat, dapat diberi

seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau

80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus

yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem,

azithromisin dan fluoroquinolon (Murwani, 2011)


Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga

minggu sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus

yang tidak terawat. Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan

untuk orang yang melakukan perjalanan ke wilayah penyakit ini biasanya

berjangkit (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin) (Ngastiyah, 2011).


Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan

dengan manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi

dengan dosis awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30 menit).

Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang


waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada

kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus. Pembedahan biasanya

dilakukan dalam kasus perforasi usus. Kebanyakan ahli bedah lebih suka

sederhana penutupan perforasi dengan drainase peritoneum. Kecil usus

reseksi diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda. Jika pengobatan

antibiotik gagal untuk membasmi kereta hepatobiliary, kandung empedu

harus direseksi. Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam memberantas

carrier karena infeksi hati yang terus ada. Para peneliti dalam laporan

Kamerun bahwa senyawa yang berasal dari biji Turraeanthus africanus,

sebuah obat tradisional Afrika untuk demam tifoid, aktif terhadap S typhi

secara in vitro. Tim meneliti sedang mengembangkan untuk menciptakan

tambahan untuk efektifitas antimikroba (Pramitasari, 2013).


10. Diet Demam Tifoid
Diet demam thypoid adalah diet yang berfungsi untuk

memenuhi kebutuhan makan penderita thypoid dalam bentuk makanan

lunak rendah serat. Tujuan utama diet demam thypoid adalah memenuhi

kebutuhan nutrisi penderita demam thypoid dan mencegah kekambuhan.

Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah

mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi,

antara lain :
1. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
2. Tidak mengandung banyak serat.
3. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas
4. Makanan lunak diberikan selama istirahat.

Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk

memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin


meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak

merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk

menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau

perforasi usus.

1. Syarat- syarat diet sisa rendah adalah:


1) Energi tinggi sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
2) Protein tinggi yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
3) Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
4) Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
5) Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga

asupan serat maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan

dengan toleransi perorangan.


6) Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat)

sesuai dengan toleransi perorangan.


7) Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis,

terlalu asam dan berbumbu tajam.


8) Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak

terlalu panas dan dingin


9) Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
10) Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan

khusus, diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan

formula, atau makanan parenteral.


2. Makanan yang dianjurkan antara lain :

1) Sumber karbohidrat : beras dibubur/tim, roti bakar, kentang

rebus, krakers, tepung-tepungan dibubur atau dibuat pudding

2) Sumber protein hewani: daging empuk, hati, ayam, ikan direbus,

ditumis, dikukus,diungkep, dipanggang; telur direbus, ditim,


diceplok air, didadar, dicampur dalam makanan dan minuman; susu

maksimal 2 gelas per hari

3) Sumber protein nabati : tahu, tempe ditim, direbus, ditumis;

pindakas; susu kedelai

4) Sayuran : sayuran berserat rendah dan sedang seperti kacang

panjang, buncis muda, bayam, labu siam, tomat masak, wortel

direbus, dikukus, ditumis

5) Buah-buahan : semua sari buah; buah segar yang matang (tanpa

kulit dan biji) dan tidak banyak menimbulkan gas seperti pepaya ,

pisang, jeruk, alpukat

6) Lemak nabati : margarin, mentega, dan minyak dalam jumlah

terbatas untuk menumis, mengoles dan setup

7) Minuman : teh encer, sirup

8) Bumbu : garam, vetsin, gula, cuka, salam, laos, kunyit, kunci

dalam jumlah terbatas

3. Sedangkan makanan yang tidak dianjurkan adalah :

1) Sumber karbohidrat : beras ketan, beras tumbuk/merah,

roti whole wheat, jagung, ubi, singkong, talas, tarcis, dodol

dan kue-kue lain yang manis dan gurih


2) Sumber protein hewani : daging berserat kasar (liat), serta

daging, ayam, ikan diawetkan, telur mata sapi, didadar

3) Sumber protein nabati : Kacang merah serta kacang-

kacangan kering seperti kacang tanah, kacang hijau, kacang

kedelai, dan kacang tolo

4) Sayuran : sayuran yang berserat tinggi seperti : daun

singkong, daun katuk, daun pepaya, daun dan buah melinjo,

oyong,timun serta semua sayuran yang dimakan mentah

5) Buah-buahan : buah-buahan yang dimakan dengan kulit

seperti apel, jambu biji, jeruk yang dimakan dengan kulit

ari; buah yang menimbulkan gas seperti durian dan nangka

6) Lemak : minyak untuk menggoreng, lemak hewani, kelapa

dan santan

7) Minuman : kopi dan teh kental; minuman yang mengandung

soda dan alcohol

8) Bumbu : cabe dan merica (Raha, 2014).

B. Asupan Energi dan Protein


Asupan merupakan banyaknya atau jumlah pangan secara tunggal maupun

beragam jenis, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis.


Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa

lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan

psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera,

sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia

dalam keluarga dan masyarakat. Perbaikan asupan makan dapat menggunakan

analisis yang bersifat individual maupun kelompok dengan mengacu kepada

Angka Kecukupan Gizi (AKG). AKG ini diantaranya dipengaruhi oleh usia,

jenis kelamin, dan faktor infeksi (Almatsier, 2004)


Berdasarkan Penuntun Diet Anak (2015) Kebutuhan energy dan protein

pada bayi dan anak per kg BB lebih besar daripada kebutuhan energy dan

protein orang dewasa karena anak tumbuh dan berkembang. Kebutuhan

energy dan protein per kg BB per hari menurun seiring dengan bertambahnya

umur, sedangkan kebutuhan zat gizi mikro semakin meningkat sesuai dengan

umur. Kebutuhan zat gizi dipengaruhi oleh berbagai macam keadaan seperti

status gizi, status pertumbuhan, aktivitas,da nada tidaknya penyakit. Tujuan

pemenuhan kebutuhan gizi pada bayi dan anak adalah untuk :


1) Pertumbuhan dan perkembangan
2) Melakukan aktivitas fisik
3) Memberikan zat gizi yang cukup
1. Asupan Energi
Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup,

menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Asupan energi

diperoleh dari bahan makanan yang mengandung karbohidrat, lemak dan

protein. Energi dalam tubuh manusia dapat timbul karena adanya

pembakaran karbohidrat, protein, dan lemak sehingga manusia


membutuhkan zat-zat makanan yang cukup untuk memenuhi kecukupan

energinya. Manusia yang kekurangan makan akan lemah, baik daya

kegiatan, pekerjaan fisik, maupun daya pemikirannya karena kekurangan

zat-zat makanan yang dapat menghasilkan energi dalam tubuh (Sophia,

2010)
Energi dibutuhkan tubuh untuk memelihara fungsi dasar tubuh

yang disebut metabolisme basal sebesar 60-70% dari kebutuhan energi total.

Kebutuhan energi untuk metabolisme basal dan diperlukan untuk fungsi

tubuh seperti mencerna, mengolah dan menyerap makanan dalam alat

pencernaan, serta untuk bergerak, berjalan, bekerja dan beraktivitas

lainnya. Tingkat Kecukupan energy ini akan mempengaruhi status gizi

(Gibney, 2007).
Kebutuhan energy dapat dihitung dengan berbagai cara antara lain :
a. Mengacu pada AKG tahun 2012
b. Menghitung metabolisme basal ditambah aktifitas fisik
c. Menghitung metabolisme basal dikali factor stress
d. Menentukan kebutuhan energy pada anak sebaiknya dihitung secara

idvidual berdasarkan BB ideal sesuai TB actual dikalikan dengan AKG

sesuai usia tinggi. Yang dimaksud dengan BBI= BB berdasarkan TB

actual pada median WHO 2005 (untuk usia 0-5 tahun) atau BB

berdasarkan TB actual pada persentil 50 grafik CDC (untuk anak usia >

5 tahun) - Usia tinggi = usia sesuai TB actual bila berada pada median

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Energi, Protein yang dianjurkan untuk Bayi

dan Anak (perorang perhari)

Kelompok BB* TB* Energi Protein


umur (kg) (cm) (kkal) (g)
Bayi/Anak
0 – 6 bulan 6 61 550 12
7 – 11 bulan 9 71 725 18
1-3 tahun 13 91 1125 26
4-6 tahun 19 112 1600 35
7-9 tahun 27 130 1850 49
Laki-laki
10-12 tahun 34 142 2100 56
13-15 tahun 46 158 2475 72
16-18 tahun 56 165 2675 66
Perempuan
10-12 tahun 36 145 2000 60
13-15 tahun 46 155 2125 69
16-18 tahun 50 158 2125 59
Sumber : PERMENKES RI, 2013

*Nilai median berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) orang Indonesia

dengan status gizi normal berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

2007 dan 2010. Angka ini dicantumkan agar AKG dapat disesuaikan

dengan kondisi berat dan tinggi badan kelompok yang bersangkutan.

2. Asupan Protein

Protein merupakan zat gizi penghasil energi yang tidak berperan

sebagai sumber energi, tetapi berfungsi untuk mengganti jaringan dan

sel tubuh yang rusak. Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat

penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat

pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam amino yang tidak

dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Departemen FKM UI, 2008)

Protein dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila

keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak.


Kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pada asupan dan

transportasi zat-zat gizi. Asupan protein yang lebih, maka protein akan

mengalami deaminase, kemudian nitrogen dikeluarkan dari tubuh dan sisa-

sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak dan disimpan dalam tubuh.

Oleh karena itu konsumsi protein secara berlebihan dapat menyebabkan

kegemukan (Almatsier, 2004)

Kecukupan protein akan dapat terpenuhi apabila kecukupan energi

telah terpenuhi karena sebanyak apapun protein akan dibakar menjadi

panas dan tenaga apabila cadangan energi masih di bawah kebutuhan.

Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu

pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap

penyakit, daya kreatifitas dan daya kerja merosot, mental lemah dan lain-

lain. Tingkat kecukupan asupan protein akan mempengaruhi status gizi .

Kartasapoetra; Marsetyo, 2015)

Sumber-sumber protein diperoleh dari bahan makanan berasal dari

hewan dan tumbuh-tumbuhan. Bahan makanan hewani merupakan sumber

protein yang baik, dalam jumlah maupun mutunya, seperti: telur, susu,

daging, unggas, ikan, dan kerang. Akan tetapi harga pangan hewani

relatif mahal, sehingga hanya 18,4% rata-rata penduduk Indonesia yang

mengkonsumsi protein (Agus S, Neti J, Kuncara HY, 2008).

K
ekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat yang sosial

ekonominya rendah. Penyebabnya kemungkinan karena kurang memiliki


pengetahuan atau sumber daya yang diperlukan untuk memberikan

lingkungan yang aman, menstimulasi, dan kaya gizi yang membantu

perkembangan optimal. Masalah gizi tersebut dapat menimbulkan masalah

pembangunan di masa akan datang. Peningkatan taraf kesehatan dan

kecerdasan serta pembangunan dapat tercapai dengan dilakukan

partisipasi aktif dari masyarakat dan diarahkan terutama pada golongan

masyarakat yang mempunyai status sosial ekonomi rendah (Rettha, 2010)

Kebutuhan protein diartikan sebagai kebutuhan secara biologis

protein atau asam amino minimal yang secara individual dapat digunakan

untuk mempertahankan kebutuhan fungsional individu. Kebutuhan protein

pada saat lahir sampai usia 1 tahun sangat tinggi sehubungan dengan

kecepatan pertumbuhan anak. Protein adalah sumber asam amino esensial

yang diperlukan sebagai zat pembangun. Kebutuhan protein pada bayi/

anak adalah 10-15% dari total energy. Perhitungan kebutuhan protein yaitu

BBI x Kebutuhan Protein sesuai usia tinggi (Penuntun Diet Anak, 2015)

C. Dukungan Keluarga
1. Definisi keluarga
Keluarga adalah perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat

oleh hubungan darah, perkawinan, atau adopsi, dan tiap-tiap anggota

keluarga selalu berinteraksi satu sama lain. keluarga terdiri atas kelompok
orang yang mempunyai ikatan perkawinan, keturunan atau hubungan

sedarah atau hasil adopsi, anggota tinggal bersama dalam satu rumah,

anggota berinteraksi dan berkomunikasi dalam peran sosial, serta

mempunyai kebiasaan atau kebudayaan yang berasal dari masyarakat,

tetapi mempunyai keunikan tersendiri (Mubarak, dkk 2009).


2. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga menurut Fridman (2010) adalah sikap,

tindakan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganny, berupa

dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan

dukungan emosional. Jadi dukunan keluarga adalah suatu bentuk

hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan

terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada yang

memperhatikannya. Jadi dukungan sosial keluarga mengacu kepada

dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga

sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga yang

selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Erdiana,

2015).
Dukungan keluarga merupakan bentuk pemberian dukungan

terhadap anggota keluarga lain yang mengalami permasalahan, yaitu

memberikan dukungan pemeliharaan, emosional untuk mencapai

kesejahteraan anggota keluarga dan memenuhi kebutuhan psikososial

(Potter, 2009).
3. Sumber Dukungan Keluarga
Menurut Friedman (2010) terdapat tiga sumber dukungan sosial

umum, sumber ini terdiri atas jaringan informal yang spontan:

dukungan terorganisasi yang tidak diarahkan oleh petugas kesehatan


professional, dan upaya terorganisasi oleh professional kesehatan.

Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial

yang di pandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat

diakses atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak

digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang

bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan

jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial

keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari

saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal


4. Jenis Dukungan Keluarga
Menurut Sarafino (2009), menjelaskan bahwa dukungan keluarga

memiliki 4 jenis antara lain :


1) Dukungan informasional
Keluarga berfungsi sebagai kolektor informasi tentang dunia yang

dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah.


2) Dukungan penilaian
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,

membimbing dan menengahi masalah serta sebagai sumber validator

identitas anggota keluarga, diantaranya : memberikan support,

pengakuan, penghargaan dan perhatian.


3) Dukungan instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit,

diantaranya : bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti

materi, tenaga, dan sarana.


4) Dukungan emosional
Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat

dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.


5. Fungsi Dukungan Keluarga
Dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi keluarga yang dapat

dijalankan yaitu :
1) Fungsi biologis adalah fungsi untuk meneruskan keturunan,

memelihara, dan membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan gizi

keluarga (Mubarak, dkk 2009).


2) Fungsi psikologis adalah memberikan kasih sayang dan rasa aman

bagi keluarga, memberikan perhatian diantara keluarga, memberikan

kedewasaan kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas

pada keluarga (Mubarak, dkk 2009).


3) Fungsi sosialisasi adalah membina sosialisasi pada anak,

membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat

perkembangan masing-masing dan meneruskan nilai-nilai budaya

(Mubarak, dkk 2009).


4) Fungsi sosialisasi adalah fungsi yang mengembagkan proses interaksi

dalam keluarga yang dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan

tempat individu untuk belajar bersosialisasi (Setiawati, 2018).


5) Fungsi ekonomi adalah mencari sumber-sumber penghasilan untuk

memenuhi kebutuhan keluarga saat ini dan menabung untuk

memenuhi kebutuhan keluarga dimana yang akan datang (Mubarak,

dkk 2009).
6) Fungsi pendidikan adalah menyekolahkan anak untuk memberikaan

pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak sesuai dengan

bakat dan minatyang dimilikinya, mempersiapkan anak untuk

kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya

sebagai orang dewasa sertamendidik anak sesuai dengan tingkat

perkembanganya (Mubarak, dkk 2009).


6. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Menurut Purnawan, 2018 faktor-faktor yang mempengaruhi

dukungan keluarga adalah:

1) Faktor internal

a. Tahap perkembangan

Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal

ini adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap

rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon

terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.

b.Pendidikan atau tingkat pengetahuan

Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk

oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar

belakang pendidikan dan pengalaman masa lalu. Kemampuan

kognitif akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk

kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan

dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang

kesehatan untuk menjaga kesehatan dirinya.

c.Faktor emosi

Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan

terhadap adanya dukungan dan cara melakukannya. Seseorang yang


mengalami respon stress dalam setiap perubahan hidupnya

cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin

dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa penyakit

tersebut dapat mengancam kehidupannya. Seseorang yang

secara umum terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respon

emosional yang kecil selama ia sakit. Seorang individu yang tidak

mampu melakukan koping secara emosional terhadap ancaman

penyakit mungkin.

d.Spiritual

Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana

seseorang menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan

yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman, dan

kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.

2) Eksternal

a.Praktik di keluarga

Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya

mempengaruhi penderita dalam melaksanakan kesehatannya.

Misalnya, klien juga kemungkinan besar akan melakukan tindakan

pencegahan jika keluarga melakukan hal yang sama.

b.Faktor sosio-ekonomi
Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan resiko

terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara seseorang

mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya. Variabel

psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan

lingkungan kerja.Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan

persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini akan mempengaruhi

keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya. Semakin tinggi

tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan mencari dukungan

dan persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini akan

mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya.

Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan

lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang dirasakan.

Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada

gangguan pada kesehatannya.

D. Lama Hari Rawat


1. Definisi Lama Hari Rawat
Lama hari rawa atau LOS (Length of Stay) merupakan

penunjukkan hari lama pasien yang dirawat inap dalam satu periode

perawatan. Umumnya data tersebut tercantum dalam formulir ringkasan

masuk dan keluar di rekam medik.


Apabila pasien yang dirawat inap di rumah sakit, maka diharapkan

agar adanya perubahan akan derajat kesehatan. Bila yang diharapkan

tercapai oleh tenaga medis dan pasien telah tercapai maka tentu tidak ada

seorang pun yang ingin berlama-lama di rumah sakit.


2. Rumus Lama Hari Rawat
Satuan dari lama hari rawat yaitu hari, sedangkan cara menghitung

lama hari rawat adalah dengan menghitung selisish antara tanggal pulang

(keluar dari rumah sakit, baik hidup ataupun meninggal) dengan tanggal

masuk rumah sakit. Adapun rumus lama hari rawat sebagai berikut :

LOS = Tanggal keluar/pulang/meninggal – Tanggal masuk

Lama hari rawat merupakan salah satu indikator


mutu pelayanan medis yang diberikan oleh rumah sakit kepada
pasien (quality of patient care). Sedangkan cara perhitungan rata-
rata lama hari rawat adalah sebagai berikut :

Rata-rata lama hari rawat (Average Length of Stay) = X : Y

Dimana :

X : Jumlah hari perawatan pasien rawat inap (hidup dan mati) di


rumah sakit pada suatu periode tertentu

Y : jumlah pasien rawat inap yang keluar ( hidup dan mati ) di


rumah sakit pada periode waktu yang sama

Cara menghitung jumlah pasien rawat inap yang keluar rumah


sakit (hidup atau mati) dalam periode tertentu diperlukan catatan
setiap hari pasien yang keluar rumah sakit (hidup atau mati) dari
tiap-tiap ruang rawat inap dan jumlah lama perawatan dari pasien–
pasien tersebut. Sehingga diperoleh catatan perhitungan jumlah
pasien rawat inap yang keluar dari rumah sakit (hidup atau mati)
dan jumlah total hari rawatnya (Depkes RI,2005).

3. Fungsi perhitungan Lama Hari Rawat


Lama hari rawat secara signifikan berkurang sejak adanya

pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan diagnosa yang tepat.


Fungsi dari lama hari rawat yaitu untuk evaluasi dalam penurunan lama

hari rawat serta untuk meningkatkan efisiensi perawatan. dibutuhkan

pemeriksaan lebih lanjut yang berhubungan dengan keparahan atas

penyakit dan hasil dari perawatan (Indradi, 2007).

4. Faktor yang Mempengaruhi Lama Hari Rawat


Faktor yang dapat mempengaruhi lama hari rawat yaitu adanya

pemecahan protein yang dapat mengakibatkan respon terapi, daya tahan

tubuh, sistem imunoglobulin dan seluler berespon jadi menurun

terhadap antigen yang masuk dan dapat menyebabkan pasien beresiko

terkena penyakit lain, sehingga mengakibatkan masa penyembuhannya

akan lebih lama, serta rawat inap menjadi lebih lama dan secara umum

dapat meninggikan angka morbiditas dan mortalitas pasien (Dinarto,

Murjinah,2002).
Selain itu, factor kasus-kasus yang akut dan kronis akan memerlukan

lama hari rawat yang berbeda, dimana kasus yang kronis akan

memerlukan lama hari rawat lebih lama daripada kasus-kasus yang

bersifat akut. Demikian juga penyakit yang tunggal pada satu penderita

akan mempunyai lama hari rawat lebih pendek dari pada penyakit ganda

pada satu penderita (Barbara J.,2008 ; Krzysztof, 2011).


E. Hubungan Asupan Energi dan Protein Dengan Lama Hari Rawat
Asupan gizi merupakan bagian integral dalam pengobatan dan proses

penyembuhan sehingga dapat memperpendek lama hari rawat. Peranan asupan

gizi diperjelas oleh Hardjodisastro, et al. (2016), bahwa terapi farmakologis

hanya efektif bila nutrisi tercukupi karena proses defensi dan enzimatik yang

sangat tergantung pada asupan energi dan protein.


Menurut Nieuwenhuizen (2010) pasien dengan asupan energi sebesar 600

kkal perhari dan asupan protein per hari sebanyak 12 gram, hal tersebut dapat

memperpendek lama hari rawat. Pasien yang berstatus gizi baik namun asupan

energi dan protein dalam masa perawatan yang tidak adekuat, maka pasien

tersebut memiliki risiko pulang dengan keadaan belum sembuh. Asupan energi

dan protein yang sesuai dengan kebutuhan pasien berperan penting dalam

penentuan kesembuhan pasien.


Pasien demam typhoid umumnya menderita gangguan kesadaran apatik

sampai sopor-koma, delirium (yang berat) disamping anoreksia dan demam

yang lama. Keadaan tersebut menyebabkan kurangnya asupan nutrisi

sehingga nutrisi yang penting untuk masa penyembuhan dapat berkurang

pula, dan memudahkan timbulnya komplikasi. Selain itu, pasien demam

typhoid yang memiliki kelainan adanya tukak-tukak pada usus halus sehingga

makanan harus di sesuaikan. Diet yang di berikan yaitu makanan yang

mengandung tinggi energi, tinggi protein, cukup cairan, rendah serat, dan

tidak menimbulkan gas serta pemberiannya harus memperhatikan keadaan

pasien (Suriadi dan Yuliani, 2010),


Menurut (Murwani, 2011), penyebab kekurangan nutrisi pada

pasien demam typhoid adalah penurunan nafsu makan yang di tandai

dengan mual, muntah karena adanya rangsangan di medulla oblongata.

Pada mulanya penderita typhoid Menurut (Pudiastuti, 2011),

dapat diberikan bubur saring kemudian bubur kasar untuk menghindari

komplikasi perdarahan usus dan perforasi usus. Pada penderita demam

typhoid, diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup serta

rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi.

Makanan yang dapat diberikan yaitu:

1. Pada minggu pertama dapat diberikan diet cair seperti susu, bubur

kacang hijau yang dihaluskan.

2. Pada minggu kedua apabila sudah sedikit membaik diberikan

diet lunak seperti bubur dan tim.

3. Pada minggu ketiga apabila sudah membaik dapat diberikan nasi biasa

dalam porsi sedikit secara bertahap.


F. Hubungan Dukungan Keluarga Pasien Sebelum Masuk Rumah Sakit

Dengan Lama Hari Rawat


Dukungan keluarga dapat dilihat sebelum maupun setelah pasien dirawat

inap. Pasien sebelum masuk rumah sakit yang didukung keluarga merupakan

dorongan atau pengorbanan yang peranannya sangat penting dalam

membangun kebudayaan yang sehat pada saat pasien sakit. Sehingga keluarga

merupakan unit pelayanan kesehatan. Keluarga saling berkaitan dan saling

mempengaruhi antara sesama anggota. (Soetjiningsih, 2011).


Fungsi keluarga adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan setiap individu

yang ada dalam keluarga. Sikap keluarga yang tidak peduli terhadap kesehatan

anak-anak dapat menyebabkan gangguan pada perkembangan dan kesehatan

anak. Penanganan yang telat dalam mengatasi masalah kesehatan anak dapat

menyebabkan komplikasi pada anak (Syamsiyah, 2012)


Menurut Candra (2013) jika anak demam dan diakibatkan oleh bakteri

tifus kemudian dibiarkan lebih dari 72 jam, maka harus segera dibawa ke

dokter agar dapat dilakukan pelayanan medis yang tepat serta pengecekan

darah. Sebaliknya, jika orang tua meremehkan demam tifoid maka dapat

membuat penyakitnya lebih berat bahkan dapat mengancam jiwa nya bila

penanganannya tidak tepat.


Berdasarkan hasil penelitian Atyanty (2010) yang berjudul “Hubungan

Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Percepatan Penyembuhan Pasien Dengan

Demam Tifoid di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta” diketahui

hasil analisis bahwa keluarga pasien telah memberikan dukungan penuh

terhadap pasien. Didukung hasil analisis Spearmen Rank diperoleh nilai

koefisien korelasi sebesar 0,439 dengan p value sebesar 0,000 (p< 0,05). Hal
tersebut dapat diartikan bahwa dukungan social keluarga berhubungan dengan

penyembuhan.
G. Kerangka Teori

Pengobatan

Pemberian Diet

Kepatuhan Diet

Dukungan Keluarga

Lama Hari Rawat

Asupan Gizi

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber: Hasnawati (2013) dalam (Rafiah, 2016) dan Voss, et al. (2006) dalam
(Vicky, 2012)

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai