Anda di halaman 1dari 55

BAB 25

P E RTA M B A N G A N
BAB 25

PERTAMBANGAN

I. PENDAHULUAN

Pembangunan pertambangan yang merupakan perwujudan dari


amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 pada haki-
katnya merupakan upaya pengembangan sumber daya alam
mineral dan energi yang potensial untuk dimanfaatkan secara
hemat dan optimal bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat,
melalui serangkaian kegiatan eksplorasi, pengusahaan, dan
pemanfaatan hasil tambang. Upaya tersebut bertumpu pada
pendayagunaan berbagai sumber daya, terutama sumber daya alam
mineral dan energi, didukung oleh sumber daya manusia yang
berkualitas, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
kemampuan manajemen. Pembangunan pertambangan merupakan
bagian integral dari, pembangunan nasional dalam rangka mewu-
judkan cita-cita bangsa mencapai masyarakat adil dan makmur
yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.

253
Sumber daya alam mineral dan energi memiliki ciri-ciri
khusus yang memerlukan pendekatan sesuai dengan pengem -
bangannya. Ciri khusus sektor pertambangan yang perlu diperhati -
kan dalam pembangunan pertambangan, antara lain sumber daya
alam tambang menempati sebaran ruang tertentu di dalam bumi
dan dasar laut, terdapat dalam jumlah terbatas dan pada umumnya
tak terbarukan; pengusahaannya melibatkan investasi dan kegiatan
sarat risiko, yang seringkali harus padat modal dan teknologi;
proses penambangannya memiliki potensi daya ubah lingkungan
yang tinggi; hasil tambang mineral dan energi mempunyai fungsi
ganda, terutama sebagai sumber bahan baku industri dan energi,
baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor; dan usaha
pertambangan mampu berperan sebagai penggerak mula dan ujung
tombak pembangunan daerah, di samping perannya dalam meme -
nuhi hajat hidup masyarakat luas.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993


mengamanatkan bahwa dalam Pembangunan Jangka Panjang II
(PJP H) pendayagunaan sumber daya alam sebagai pokok-pokok
kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana, rasional, optimal,
bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya
dengan mengutamakan sebesar-besar kemakmuran rakyat serta
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan
hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Tata ruang nasional
yang berwawasan nusantara dijadikan pedoman bagi perencanaan
pembangunan agar penataan lingkungan hidup dan pemanfaatan
sumber daya alam dapat dilakukan secara aman, tertib, efisien, dan
efektif.

Selanjutnya, dalam PJP II, GBHN 1993 juga menggariskan


bahwa pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi
Indonesia, seperti pertambangan, harus senantiasa memperhatikan
bahwa pengelolaan sumber daya alam, di samping untuk memberi
kemanfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa
depan. Sumber daya alam yang terbarukan harus dikelola sedemi -
kian rupa sehingga fungsinya dapat selalu terpelihara sepanjang

254
masa. Oleh karena itu, sumber daya alam harus dijaga agar
kemampuannya untuk memperbaharui diri selalu terpelihara.
Sumber daya alam yang tidak terbarukan harus digunakan sehemat
mungkin dan diusahakan habisnya selama mungkin.

Dengan demikian, tugas pokok sektor pertambangan adalah


melaksanakan pengelolaan sumber daya alam secara hemat dan
optimal, serta menerapkan sistem penambangan yang berwawasan
lingkungan.

Di samping itu, GBHN 1993 menetapkan bahwa dalam PJP II


pembangunan pertambangan diarahkan pula untuk menghasilkan
bahan tambang sebagai bahan baku bagi industri dalam negeri
sehingga dapat menghasilkan nilai tambah yang setinggi-tingginya
dan menciptakan lapangan kerja yang sebesar-besarnya. Pem -
bangunan sektor ini juga harus membawa manfaat yang sebesar -
besarnya bagi pengembangan wilayah, pembangunan daerah, dan
peningkatan taraf hidup rakyat. Selanjutnya GBHN 1993 meng -
ingatkan bahwa kegiatan di sektor yang mengelola sumber daya
alam dari bumi memiliki potensi untuk merusak lingkungan, baik
air, tanah maupun udara. Oleh karena itu, harus selalu dijaga agar
kegiatan pembangunan di sektor ini memperhatikan kelestarian
fungsi lingkungan hidup.

Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam (Repe -


lita VI), GBHN 1993 mengamanatkan bahwa kekayaan alam yang
potensial berupa barang tambang, minyak dan gas bumi, serta
mineral lainnya yang terdapat di darat dan di dasar laut nusantara,
makin ditingkatkan eksplorasi, penggalian dan pendayagunaannya
untuk menunjang pembangunan dengan tetap menjaga keseim -
bangan lingkungan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
dengan memanfaatkan teknologi maju.

Di samping itu, dalam Repelita VI pembangunan pertam-


bangan diusahakan memberikan nilai tambah dan manfaat sebesar -
besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan mendorong pertumbuhan

255
industri dalam rangka memperkukuh struktur ekonomi yang seim-
bang dan meningkatkan pendapatan nasional.

Selain untuk menopang program industrialisasi melalui


penyediaan bahan baku bagi industri di dalam negeri, serta
penyediaan sumber energi primer yang penting meliputi minyak
bumi, gas bumi, dan batu bara, pembangunan pertambangan juga
diarahkan untuk meningkatkan penerimaan negara dan devisa,
meningkatkan dan memeratakan pembangunan ke seluruh wilayah,
membuka seluas-luasnya kesempatan berusaha dan kesempatan
kerja, serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup
masyarakat. Dengan demikian, sektor pertambangan diharapkan
dapat berperan semakin nyata ke arah terwujudnya tujuan
pembangunan nasional, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.

Partisipasi aktif dan luas dari masyarakat dalam pembangunan


pertambangan tidak saja bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat, tetapi juga sangat bermanfaat bagi peningkatan ketahanan
nasional dan kemampuan bangsa untuk melaksanakan pemba-
ngunan yang berkelanjutan. Dalam hubungan ini, peningkatan
kualitas sumber daya manusia, yang didukung oleh kemampuan
pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi merupakan faktor yang menentukan bagi peningkatan
efisiensi dan produktivitas guna mempercepat kemandirian bangsa.

Indonesia dikaruniai sumber daya alam yang beranekaragam


serta tersebar di seluruh pelosok tanah air. Penggunaan sumber
daya mineral dan energi tersebut, sebagai salah satu modal dasar
bangsa, diarahkan untuk menjadi pendorong utama dan penggerak
pembangunan ekonomi serta memperkukuh ketahanan nasional.
Dengan modal dasar ini pertumbuhan ekonomi dapat lebih merata
di berbagai wilayah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi diharapkan
berkembang pula di daerah terpencil yang potensial melalui
pembangunan pertambangan. Pengembangan wilayah pada masa
mendatang harus mampu mengambil manfaat dari potensi sumber
daya alam yang tersedia melalui pengembangan pusat-pusat

256
pertumbuhan ekonomi, termasuk sarana dan prasarananya, yang
sejauh mungkin disesuaikan dengan potensi sumber daya di wi-
layah tersebut.

Sesuai dengan petunjuk GBHN 1993, pembangunan pertam-


bangan harus selalu mengarah kepada mantapnya sistem ekonomi
nasional yang disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi.
Untuk menjalankan amanat tersebut, bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok kemakmuran
rakyat dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.

Pembangunan pertambangan dalam PJP II dan Repelita VI


disusun dan diselenggarakan dengan berlandaskan pengarahan
GBHN 1993 seperti tersebut di atas.

IL PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN DALAM PJP I

Selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) telah


dicapai berbagai hasil dan kemajuan di sektor pertambangan. Hasil
ini merupakan tumpuan yang kuat untuk memasuki PJP II sebagai
tahap tinggal landas yang akan membawa bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang maju dan mandiri.

Selama PJP I telah berhasil diselesaikan sejumlah peta dan


informasi geologi mengenai keberadaan mineral dan energi di
Indonesia. Pemetaan geologi bersistem di Pulau Jawa dan Madura
telah diselesaikan seluruhnya, yang terdiri 58 lembar peta geologi
dengan skala 1:100.000. Untuk daerah di luar Pulau Jawa dan
Madura diselesaikan 162 lembar atau 89,5 persen dengan skala
1:250.000. Pemetaan gaya berat bersistem di Pulau Jawa dan
Madura dengan skala 1:100.000 telah selesai 49 lembar atau 84,5
persen, sedangkan untuk luar Pulau Jawa dan Madura dengan skala
1:250.000 telah selesai 75 lembar atau 41,4 persen. Bersamaan
dengan itu, pemetaan geologi dasar laut bersistem skala 1:250.000

257
telah diselesaikan sebanyak 17 lembar atau 4,7 persen, dan peta
geologi kelautan regional dengan skala 1:1.000.000 atau lebih kecil
telah selesai 7 lembar atau 25,0 persen dari seluruh wilayah lautan
di Indonesia.

Kegiatan inventarisasi dan eksplorasi sumber daya mineral


selama PJP I telah menyelesaikan pemetaan geokimia mineral skala
1:250.000 sebanyak 38 lembar atau 25,7 persen, dan inventarisasi
sumber daya mineral skala 1:250.000 sebanyak 50 lembar atau
33,8 persen dari seluruh wilayah daratan Indonesia yang memiliki
potensi. Untuk sumber daya energi diselesaikan peta penyebaran
potensi panas bumi di Indonesia dengan skala 1:5.000.000; pemeta-
an geologi panas bumi skala 1:50.000 di 52 lokasi atau 24,0 per-
an; penyelidikan geofisika panas bumi di 29 lokasi atau 13,4
persen; penyelidikan geokimia panas bumi di 19 lokasi atau 9,6
persen; dan pengeboran uji panas bumi di 2 lokasi atau 1,0 persen
dari seluruh lapangan panas bumi di Indonesia. Bersamaan dengan
itu, diselesaikan pula inventarisasi batu bara dan gambut skala
1:250.000 sebanyak 23 lembar atau 46,0 persen dari seluruh
wilayah Indonesia yang mengandung batu bara dan gambut.

Kegiatan eksplorasi selama PJP I telah menghasilkan data


perkiraan cadangan sumber daya mineral logam, antara lain
meliputi timah 2 juta ton, nikel 901,2 juta ton, bauksit 924,4 juta
ton, emas 1,7 ribu ton, dan perak 8,7 ribu ton. Untuk sumber daya
mineral industri, perkiraan cadangan asli adalah sebagai berikut:
batu kapur 30 miliar ton, dolomit 1,5 miliar ton, kaolin 9,3 juta
ton, pasir kuarsa 4,7 miliar ton, belerang 5,7 juta ton, fosfat 4,3
juta ton, bentonit 1,4 miliar ton, feldspar 2,5 miliar ton, zeolit 207
juta ton, pirofilit 550 juta ton, granit 10 miliar ton, dan marmer
8,6 miliar ton, sedangkan potensi sumber daya energi panas bumi
diperkirakan 16.000 megawatt.

Pemetaan hidrogeologi bersistem di luar Pulau Jawa dan


Madura skala 1:250.000 menghasilkan 74 lembar atau 49,3 persen
dari seluruh wilayah Indonesia, sedangkan untuk Pulau Jawa dan

258
Madura peta skala 1:100.000 menyelesaikan 5 lembar atau 8,6
persen dari luas Pulau Jawa dan Madura. Penyelidikan potensi
cekungan air tanah tingkat awal telah menyelesaikan 105 cekungan
atau 49,1 persen, dan penyelidikan tahap rinci sebanyak 22
cekungan atau 10,3 persen dari seluruh cekungan air tanah di
Indonesia.

Dalam rangka peningkatan kepedulian sosial dan lingkungan


telah dilaksanakan pemetaan dan penyelidikan geologi untuk
mitigasi bencana alam geologis dan masukan untuk mendukung
penataan ruang. Sehubungan dengan itu, telah diselesaikan pula
pemetaan seismik daerah rawan gempa skala 1:250.000 sebanyak 4
lembar atau 5,5 persen dari wilayah rawan gempa di Indonesia;
pemetaan geologi kuarter skala 1:50.000 sebanyak 14 lembar atau
11,7 persen dari wilayah Indonesia yang diperkirakan berumur
kuarter; pemetaan geomorfologi skala 1:100.000 sebanyak 4
lembar atau 3,4 persen dari seluruh wilayah daratan di Indonesia.
Pemetaan geologi gunung api skala 1:50.000 diselesaikan sebanyak
35 gunung api atau 27,1 persen; pemetaan daerah bahaya gunung
api skala 1:50.000 sebanyak 91 lembar atau 70,5 persen; pemetaan
topografi puncak gunung api skala 1:10.000 sebanyak 30 lembar
atau 23,3 persen; pemetaan aliran lahar skala 1:10.000 sebanyak
20 lembar atau 15,5 persen dari 129 gunung api aktif di Indonesia.
Pemetaan kerentanan gerakan tanah skala 1:100.000 diselesaikan
sebanyak 10 lembar atau 10,0 persen dari wilayah Indonesia yang
rawan gerakan tanah; pemetaan geologi teknik skala 1:100.000
sebanyak 10 lembar atau 20,0 persen; dan pemetaan geologi tata
lingkungan skala 1:100.000 sebanyak 5 lembar atau 5,6 persen dari
daerah yang cepat pertumbuhan ekonominya.

Dalam kaitan dengan lingkungan hidup, telah dilaksanakan


pula berbagai penyelidikan. Selama PJP I telah diselesaikan
penyelidikan daerah geologi kuarter dan seismotektonik pada 126
lokasi dan penyelidikan geologi wilayah pantai pada 49 lokasi.
Penyelidikan gunung api meliputi penyelidikan lahar/bahan letusan
sebanyak 35 gunung api; penyelidikan kimia sebanyak 21 gunung

259
api; penyelidikan fisika sebanyak 19 gunung api;
penyelidikan penginderaan jauh sebanyak 19
gunung api; penyelidikan seismik sebanyak 16
gunung api. Penyelidikan geologi teknik
dilaksanakan sebanyak 241 lokasi, meliputi
penyelidikan fondasi, terowongan, bendungan,
waduk, jalan raya dan kereta api, kemantapan
lereng, tanah lunak, dan likuifaksi. Penyelidikan
geologi lingkungan perkotaan, perdesaan, pantai,
wilayah pertambangan, dan geologi lingkungan
buangan limbah di berbagai wilayah telah
dilakukan pada 124 lokasi.

Dalam upaya mitigasi bencana alam geologis,


selama PJP I telah dilaksanakan identifikasi 20
daerah sesar aktif yang terbagi dalam 130 bagian
sesar; pemantauan fisika dan kimia di 20 gunung
api; pengamatan secara terus-menerus di 59
gunung api; pemantauan gas gunung api di 20
lokasi; pemantauan longsor di 5 lokasi daerah
rawan longsor; pembuatan sumur pantau air tanah
di 62 lokasi; dan konservasi air tanah di 5 daerah.
Kegiatan ini akan diperluas dalam PJP II dengan
pembuatan stasiun sesar aktif, pemantauan sesar
aktif, pemantauan amblasan, dan pemantauan air
tanah, pemantauan limbah dan kualitas lingkungan
geologi.

Dalam 12 tahun terakhir 28 letusan gunung api


skala besar yang terjadi di seluruh wilayah
Indonesia berhasil diantisipasi. Dengan antisipasi
tersebut, 257.000 orang telah berhasil
diselamatkan dari bahaya letusan, sedangkan
jumlah korban relatif kecil, yaitu 40 orang dari 1
juta penduduk yang bermukim di daerah rawan
bahaya gunung api tersebut. Penyuluhan dan
informasi bahaya geologi, terutama gunung api dan
gerakan tanah, terus disebarluaskan guna
memperkecil jumlah korban dan kerugian.
260
Selama PJP I pembangunan pertambangan
mineral dan batu bara mengalami kemajuan pesat
seperti terlihat dari peningkatan produksi dan
ekspor pada hampir semua jenis mineral. Produksi
batu bara meningkat pesat, yaitu sekitar 156 kali,
dari tingkat produksi sebesar 185,8 ribu ton pada
awal PJP I menjadi sekitar 29 juta ton pada tahun
terakhir PJP I.
Dari hasil kegiatan inventarisasi dan eksplorasi sampai akhir
PJP I telah dapat ditaksir besarnya cadangan batu bara Indonesia,
yaitu sebesar 36,3 miliar ton yang terdiri atas cadangan terukur 4,8
miliar, cadangan tereka dan terunjuk 18,9 miliar ton, dan cadangan
hipotetis 12,6 miliar ton. Cadangan tersebut terutama tersebar di
Sumatera Utara 4,7 persen, Sumatera Tengah 11,5 persen,
Sumatera Selatan 51,6 persen, Bengkulu 0,2 persen, Kalimantan
Selatan 10,0 persen, Kalimantan Barat 5,8 persen, Kalimantan
Tengah 1,2 persen, Kalimantan Timur 14,6 persen, sedangkan
sisanya tersebar di Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya.

Pemasaran batu bara di dalam negeri dan ekspor selama PJP I


menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Sebagian besar
pemasaran batu bara di dalam negeri diserap oleh pembangkit
listrik tenaga uap (PLTU), industri semen, industri dasar besi dan
baja, pabrik peleburan nikel dan timah, serta berbagai industri
kecil lainnya. Tingkat pemasaran batu bara di dalam negeri pada
tahun pertama PJP I sebesar 0,2 juta ton dan pada akhir PJP I
meningkat menjadi 8,5 juta ton. Adapun ekspor pada akhir Repe -
lita II adalah 27,3 ribu ton dan pada akhir PJP I diperkirakan
mencapai 19,0 juta ton. Menjelang akhir PJP I, penggunaan briket
batu bara untuk keperluan rumah tangga dan industri kecil sudah
mulai dimasyarakatkan.

Dalam PJP I telah dilakukan eksplorasi terhadap potensi gam-


but yang meliputi daerah di Sumatera (Bengkalis, Siak dan
Kumpeh), dan Kalimantan (Sampit, Pangkalan Bun, Pontianak,
Banjarmasin, Palangkaraya, dan Kanamit). Areal gambut yang
telah dieksplorasi baru seluas 337.450 hektare, sedangkan penye -
baran gambut di seluruh Indonesia diperkirakan seluas 25 juta
hektare. Potensi gambut diperkirakan sebesar 200 miliar ton pada
areal dengan ketebalan lebih dari dua meter. Potensi gambut terse -
but jauh melebihi potensi batu bara Indonesia.

Mineral logam utama hasil pertambangan meliputi timah,


nikel, bauksit, tembaga, emas, perak, serta pasir besi. Produksi

261
mineral logam selama PJP I menunjukkan peningkatan dari tahun
ke tahun, terutama pada tahun-tahun terakhir PJP I. Produksi
logam timah meningkat dengan pesat dari 5,8 ribu ton pada awal
Repelita I dan diperkirakan menjadi 31,2 ribu ton pada akhir PJP I.
Ekspor logam timah memperlihatkan kenaikan dari 5,1 ribu ton
menjadi 29,2 ribu ton pada kurun waktu yang sama. Penemuan
cadangan timah yang cukup besar terjadi selama PJP I. Cadangan
utama timah di Pulau Bangka dan Belitung tercatat sebesar 782,5
ribu ton.

Produksi bijih nikel baru mencapai sekitar 990 ribu ton pada
akhir Repelita I. Dengan beroperasinya pabrik feronikel di
Pomalaa tahun 1976 dan dimulainya ekspor bijih nikel dari Pulau
Gebe, produksi bijih nikel pada akhir PJP I diperkirakan
mencapai 2.547,5 ribu ton. Sementara itu, volume ekspor bijih
nikel memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat dari
830 ribu ton pada akhir Repelita I menjadi sekitar 1.850 ribu ton
pada akhir PJP I.

Produksi feronikel menjelang akhir PJP I mencapai 5.500 ton


nikel per tahun, yang hampir seluruhnya diekspor. Nikel matte,
yang mulai diproduksi pada tahun 1976 sebesar 1,7 ribu ton, telah
meningkat produksinya menjadi 32 ribu ton pada akhir PJP I, yang
sebagian besar juga diekspor.

Produksi bauksit sampai saat ini masih dipusatkan pada


penambangan cadangan bijih berkadar ekspor di Pulau Bintan dan
sekitarnya, dengan pasaran ekspor utama ke Jepang. Namun,
karena belum berkembangnya pengolahan bauksit di dalam negeri,
keperluan alumina masih harus diimpor. Cadangan bauksit yang
jauh lebih besar terdapat di daerah Kalimantan Barat. Jumlah
produksi bauksit pada awal PJP I sebesar 874,5 ribu ton ber-
fluktuasi dari tahun ke tahun tergantung pada permintaan pasar,
tetapi produksi pada akhir PJP I mencapai 1.087 ribu ton.

Satu-satunya tambang di Indonesia yang menghasilkan tembaga


dalam bentuk konsentrat terdapat di Irian Jaya. Produksi

262
pertama konsentrat tembaga dimulai pada tahun 1972 sebesar 9,8
ribu ton, dan mencapai 1.042 ribu ton pada tahun terakhir PJP I.
Pada tahun 1990 Indonesia merupakan peringkat 15 produsen
tembaga dunia. Sejalan dengan tingkat produksinya, ekspor konsen -
trat tembaga tahun 1972 sebesar 9 ribu ton, dan pada akhir PJP I
mencapai 990 ribu ton. Sampai saat ini seluruh produksi konsentrat
tembaga masih diekspor karena belum tersedia pabrik peleburan
tembaga di dalam negeri.

Cadangan terukur emas sampai saat ini adalah 1,7 ribu ton.
Dalam PJP I produksi emas telah berhasil ditingkatkan dari 251,6
kilogram pada awal Repelita I menjadi 40.324,0 kilogram pada
akhir PJP I. Jumlah produksi tersebut termasuk emas yang terkan -
dung dalam konsentrat tembaga. Kegiatan eksplorasi yang intensif
dalam Repelita V telah berhasil menemukan cadangan baru di
daerah Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor, dan diharapkan mulai
berproduksi pada awal tahun 1994. Sementara itu, produksi perak
selama periode PJP I berhasil ditingkatkan dari 10.143,2 kilogram
pada awal PJP I dan diperkirakan menjadi 71.094 kilogram pada
akhir PJP I.

Penambangan pasir besi di Cilacap dimulai pada tahun


1971/72 dengan produksi sebesar 270 ribu ton. Produksi tertinggi
yang pernah dicapai selama PJP I adalah sebesar 365,3 ribu ton
pada tahun 1974/75. Pemanfaatan produksi pasir besi lebih diarah -
kan untuk pasaran dalam negeri, terutama untuk industri semen.
Dengan berkembangnya industri semen di dalam negeri dalam
dekade terakhir PJP I, permintaan pasar domestik akan pasir besi
meningkat kembali sehingga produksi pasir besi dapat ditingkatkan
hingga mencapai 315,8 ribu ton pada akhir PJP I.

Bahan-bahan tambang lainnya, adalah bahan galian industri,


seperti batu kapur, dolomit, belerang, kaolin, pasir kuarsa, fosfat,
bentonit, feldspar, dan marmer. Pertumbuhan sektor industri yang
semakin meningkat di Indonesia telah memacu pengembangan
pertambangan bahan galian industri, khususnya dalam usaha
memenuhi kebutuhan bahan baku industri tersebut.

263
Produksi batu kapur selama PJP I meningkat dari 696 ribu ton
pada awal PJP I menjadi 39.236 ribu ton pada akhir PJP I. Pro-
duksi dolomit pada akhir Repelita III adalah sebesar 63,5 ribu ton
dan pada akhir PJP I mencapai 103,7 ribu ton. Sebagian besar
dolomit yang dihasilkan di Indonesia dimanfaatkan oleh sektor per-
tanian, dan baru sebagian kecil yang dimanfaatkan untuk industri.

Produksi belerang pada tahun pertama PJP I adalah sebesar


528 ton dan menjelang akhir PJP I mencapai 4.250 ton, walaupun
masih diperlukan impor untuk kebutuhan dalam negeri. Produksi
belerang di Indonesia berasal antara lain dari Gunung Papandayan,
Gunung Telaga Bodas, Gunung Welirang, Gunung Ijen, dan Pulau
Damar.

Pada tahun pertama PJP I produksi kaolin sebesar 8,1 ribu ton
dan menjelang akhir PJP I meningkat menjadi 209,6 ribu ton.
Produksi kaolin Indonesia berasal dari Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Belitung, Bangka, Jawa Barat, Jawa Timur,
dan Lampung. Di samping untuk ekspor, produksi tersebut juga
digunakan untuk memenuhi kebutuhan kaolin di dalam negeri
sebagai bahan keramik.

Pasir kuarsa pada permulaan PJP I produksinya adalah sebesar


6,3 ribu ton dan diperkirakan meningkat menjadi 1.097,3 ribu ton
pada tahun terakhir PJP I, dengan produksi terbesar di Bangka,
Belitung, Jawa Timur, dan Kalimantan.

Fosfat, yang produksinya pada tahun terakhir Repelita I adalah


sebesar 819 ton, diperkirakan meningkat menjadi 99.950 ton pada
tahun terakhir PJP I. Industri pupuk merupakan pemakai fosfat
yang utama. Dibanding dengan tingkat konsumsi di dalam negeri,
produksi fosfat Indonesia masih sangat kecil, dan kekurangannya
masih dipenuhi melalui impor.

Bentonit, pada akhir Repelita II produksinya sebesar 4,2 ribu


ton dan menjelang akhir PJP I meningkat menjadi 46,6 ribu ton

264
dan masih diperlukan lagi peningkatan produksinya, karena kebu -
tuhan dalam negeri masih dipenuhi melalui impor. Sampai saat ini
bentonit baru dihasilkan dari Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur.

Produksi feldspar sebesar 349 ton pada tahun pertama PJP I


meningkat menjadi 13,3 ribu ton menjelang akhir PJP I. Konsumsi
feldspar di dalam negeri pada tahun 1993 mencapai 134,9 ribu ton.
Feldspar digunakan untuk pembuatan barang-barang keramik
dan porselen, industri gelas dan barang-barang dari gelas, serta
untuk industri lainnya seperti genteng dan barang-barang dari tanah
liat. Sementara itu, produksi marmer pada awal PJP I adalah
sebesar 9,2 ribu ton dan produksi tersebut diperkirakan mening -
kat menjadi 1.839,4 ribu ton pada akhir PJP I.

Selama PJP I minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi sangat
besar peranannya dalam pembangunan. Minyak dan gas bumi
merupakan sumber energi dan bahan baku untuk industri dalam
negeri serta menjadi sumber penerimaan dan devisa negara.

Pemboran eksplorasi minyak dan gas bumi selama PJP I telah


menghasilkan 1.504 sumur temuan (discovery well) yang terdiri
atas 1.069 sumur minyak dan 435 sumur gas. Dengan bertam -
bahnya data bawah permukaan sebagai hasil dari penyelidikan dan
pengeboran, diketahui bahwa di Indonesia terdapat 60 cekungan
tersier, 36 cekungan di antaranya telah dieksplorasi dan dibor
selama PJP I.

Sesuai dengan peningkatan kegiatan pertambangan, produksi


minyak bumi, termasuk kondensat, selama PJP I menunjukkan
kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun pertama Repelita I
produksi minyak bumi mencapai 284,3 juta barel, dan pada akhir
PJP I produksi minyak bumi dan kondensat diperkirakan mencapai
560 juta barel.

265
Produksi gas bumi selama PJP I meningkat 22 kali lipat, yaitu
dari 116 miliar kaki kubik pada awal PJP I menjadi 2.502 miliar
kaki kubik menjelang akhir PJP I. Kenaikan produksi gas tersebut
terutama disebabkan oleh pengembangan pemanfaatan gas untuk
gas alam cair (liquefied natural gas, LNG) sejak 1977, di samping
dimanfaatkan juga untuk pabrik pupuk, pabrik baja, dan peman-
faatan dalam negeri lainnya.

Pemanfaatan gas bumi, baik sebagai bahan bakar maupun


sebagai bahan baku, meningkat dari tahun ke tahun selama PJP I.
Pada tahun pertama Repelita I gas yang dimanfaatkan baru 51,6
persen dari gas yang diproduksi, terutama untuk pemakaian di
lapangan sebagai gas pengangkat atau gas penekan dalam rangka
membantu produksi minyak. Adapun sisanya sebesar 48,4 persen
dibakar. Menjelang akhir PJP I pemanfaatan gas bumi meningkat
menjadi 94,0 persen dan hanya 6,0 persen yang dibakar.

Pengolahan minyak mentah mengalami peningkatan yang


cukup besar. Dalam tahun pertama Repelita I minyak mentah yang
diolah sebesar 77,1 juta barel. Dengan pembangunan, perluasan,
peningkatan dan perbaikan kilang Cilacap, Balikpapan, Dumai,
Sungai Pakning dan Sungai Musi yang dilakukan selama PJP I,
pada tahun terakhir Repelita V minyak yang diolah mencapai 311,9
juta barel atau meningkat hampir 4 kali lipat selama PJP I.

Bahan bakar minyak (BBM) yang dihasilkan oleh kilang


minyak meningkat dari 52,2 juta barel pada tahun pertama PJP I
menjadi 232,2 juta barel menjelang tahun terakhir PJP I. Kilang
minyak itu juga menghasilkan produk non-BBM, yang produksinya
meningkat dari 21,1 juta barel pada tahun pertama PJP I menjadi
sekitar 66,4 juta barel pada tahun terakhir PJP I.

Pengolahan gas mengalami peningkatan sejak dimulainya


produksi LNG di kilang gas Bontang pada tahun 1977 dan di
kilang gas Arun pada tahun 1978. Menjelang akhir PJP I produksi
LNG mencapai 25 juta ton. Demikian pula, produksi gas minyak

266
cair (liquefied petroleum gas, LPG) meningkat selama PJP I, yaitu
dari 11,8 ribu ton pada tahun pertama PJP I menjadi sekitar 2,9
juta ton pada tahun terakhir PJP I.

Kilang polipropilena yang mulai beroperasi pada tahun 1973


diperkirakan menghasilkan 13,4 ribu ton polipropilena per tahun
pads . akhir Repelita V. Kilang asam tereftalat murni (Purified
Terephthalic Acid, PTA), mulai beroperasi pada tahun 1986, dan
diperkirakan memproduksi 205 ribu ton PTA pada tahun terakhir
Repelita V. Kilang metanol mulai beroperasi pada tahun 1986, dan
mencapai tingkat produksi 273 ribu ton pada akhir Repelita V.
Paraxilena dan benzena mulai diproduksikan pada tahun 1990.
Tingkat produksi pada akhir PJP I diperkirakan mencapai 242 ribu
ton untuk paraksilena dan 102 ribu ton untuk benzena.

Konsumsi BBM di dalam negeri meningkat dari 6,2 juta kiloli -


ter pada awal Repelita I menjadi sekitar 42 juta kiloliter pada akhir
PJP I yang berarti naik hampir 7 kali lipat selama 25 tahun, atau
naik rata-rata 8,5 persen setahun. Dari berbagai jenis BBM yang
digunakan di dalam negeri, bensin pesawat terbang (avgas) menun-
jukkan penurunan, sebaliknya bahan bakar pesawat jet (avtur) naik
rata-rata 8,2 persen per tahun, bensin naik rata-rata 7,1 persen per
tahun, minyak tanah (kerosin) naik rata-rata 4,2 persen per tahun,
minyak solar (ADO) naik rata-rata 11,6 persen per tahun, minyak
diesel (IDO) naik rata-rata 6,4 persen per tahun, dan minyak bakar
naik rata-rata 7,4 persen per tahun.

Penjualan gas untuk rumah tangga dan industri oleh Perusaha -


an Umum Gas Negara (PGN) mengalami kenaikan hampir 29 kali
lipat dari 5,6 juta meter kubik pada tahun pertama PJP I menjadi
733,9 juta meter kubik pada tahun terakhir Repelita V.

Sejak tahun 1974 mulai dilakukan survei dan eksplorasi panas


bumi. Sebagai hasil kegiatan eksplorasi, diidentifikasikan 217
daerah prospek panas bumi dengan jumlah potensi lebih dari
16.000 megawatt. Pada akhir PJP I telah dapat dimanfaatkan

267
sebesar 199,5 megawatt, yaitu dari lapangan Kamojang, Gunung
Salak, Dieng, dan Lahendong.

III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG


PEMBANGUNAN

Pembangunan di sektor pertambangan terutama minyak dan


gas bumi, selama PJP I telah memberikan sumbangan yang sangat
besar bagi pembangunan nasional. Dalam Repelita VI minyak dan
gas bumi masih merupakan komoditas andalan baik sebagai sumber
energi primer maupun dalam penyediaan anggaran pemerintah.
Demikian pula berbagai bahan tambang lainnya masih dapat
dimanfaatkan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Untuk
dapat meningkatkan kemampuan di bidang pertambangan dalam
rangka mendukung pembangunan nasional pada PJP II, segala
tantangan dan kendala yang ada harus dapat diantisipasi, di sam -
ping berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan.

1. Tantangan

Dalam Repelita VI pembangunan pertambangan dihadapkan


kepada tantangan bagaimana meningkatkan sumber daya manusia
yang profesional baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Tingkat
penguasaan teknologi tenaga-tenaga pertambangan belum dapat
memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Kegiatan eksplo -
rasi dan pengusahaan pertambangan pada masa mendatang cen -
derung semakin mengarah ke daerah yang lebih sulit dan terpen -
cil. Hal ini menuntut perlunya upaya mempercepat penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi pertambangan yang lebih maju.

Tantangan yang juga dihadapi sektor pertambangan adalah


bagaimana meningkatkan keterkaitan antara usaha pertambangan
dengan industri pengolahan dan sektor-sektor lainnya. Belum
berkembangnya keterkaitan tersebut berakibat hilangnya
kesempatan untuk memperoleh nilai tambah yang potensial serta

268
ketergantungan industri dalam negeri terhadap impor bahan baku
hasil tambang. Dalam kaitan itu, pengembangan serta penerapan
standardisasi produk dan jasa pertambangan, yang menyangkut
bidang geologi, penambangan, dan pengolahan hasil tambang,
termasuk pengujian dan analisis l a b or a t or i um , merupakan
tantangan yang juga harus mendapatkan perhatian khusus dalam
rangka mengembangkan keterkaitan usaha pertambangan dengan
sektor industri secara efisien. Di samping itu, tantangan lain yang
juga dihadapi sektor pertambangan adalah pengembangan
keterkaitan antara usaha pertambangan dengan sektor-sektor
lainnya.

Indonesia selain memiliki cadangan mineral berskala besar


juga memiliki cadangan mineral berskala kecil dan tersebar di
banyak tempat. Cadangan mineral tersebut sering tidak efisien jika
diusahakan secara modern dan menggunakan teknologi canggih,
tetapi masih ekonomis jika diusahakan oleh pertambangan rakyat.
Pertambangan jenis ini sering diusahakan oleh rakyat setempat
tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan ataupun peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, usaha pertam -
bangan rakyat secara tradisional tidak mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat penambang secara nyata. Dengan demi -
kian, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana meningkatkan
peran serta masyarakat dalam pembangunan pertambangan secara
efektif sehingga usaha pertambangan rakyat dapat ditata dan di -
kembangkan secara mantap dan terpadu sebagai bagian integral
dari sistem pertambangan nasional yang berwawasan lingkungan.

Arus globalisasi telah mendorong terjadinya persaingan yang


makin ketat dalam menarik investasi, baik persaingan antarnegara
maupun persaingan antarsektor ekonomi. Tantangan yang dihadapi
adalah bagaimana menciptakan iklim investasi yang lebih men -
dukung serta sistem insentif untuk menarik masuknya investor
baru dalam usaha pertambangan. Hal ini penting mengingat sifat
usaha pertambangan adalah penuh risiko, padat modal, dan bersifat
jangka panjang.

269
Kegiatan perencanaan dan pengembangan pertambangan, baik
oleh swasta maupun Pemerintah, menuntut tersedianya data dan
informasi geologi sumber daya mineral secara lengkap dan rinci.
Dewasa ini upaya pengumpulan, pengolahan, penyimpanan serta
pemanfaatan informasi geologi dan sumber daya mineral belum
sepenuhnya mampu memberikan informasi secara cepat, lengkap
dan efisien. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mengem -
bangkan sistem informasi geologi dan sumber daya mineral yang
terpadu dengan memanfaatkan teknologi informasi yang mutakhir.

Dalam Repelita VI minyak bumi diperkirakan masih akan


menjadi sumber energi primer yang penting. Di samping itu,
minyak bumi juga merupakan komoditas ekspor yang memberikan
sumbangan besar bagi pendapatan negara dan penerimaan devisa.
Pangsa minyak bumi dalam konsumsi energi telah berhasil ditu -
runkan, tetapi jumlah pemakaiannya masih terus meningkat dari
tahun ke tahun. Apabila tidak ditemukan cadangan-cadangan
minyak baru, dalam waktu yang tidak terlalu lama Indonesia akan
menjadi negara pengimpor minyak neto. Oleh karena itu, peman -
faatan sumber energi primer lainnya terutama gas bumi, batu bara
dan panas bumi perlu segera dipacu peningkatannya. Penganekara -
gaman sumber energi telah lama diupayakan, tetapi hasilnya
belum memuaskan. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi
adalah bagaimana mengupayakan diversifikasi dan konservasi
sumber energi primer secara optimal.

Kegiatan usaha pertambangan banyak menimbulkan dampak


negatif terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup fisik meliputi
air, udara, tanah, dan bentang alam, ataupun nonfisik seperti sosial
ekonomi dan budaya masyarakat. Persyaratan lingkungan yang
semakin ketat di tingkat nasional dan internasional memerlukan
perhatian yang semakin besar terhadap aspek lingkungan hidup
dalam kegiatan pertambangan. Di samping itu, pembangunan
pertambangan sebagai upaya pemanfaatan sumber daya alam
seharusnya dilaksanakan, ditata, dan dikembangkan secara terpadu
dengan pembangunan wilayah dalam suatu kerangka tata ruang

270
yang didasarkan kepada hasil inventarisasi geologi dan evaluasi
sumber daya mineral, dan disusun sesuai dengan prinsip peman -
faatan lahan berganda, termasuk pengembangan wilayah pasca -
tambang. Oleh karena itu, juga merupakan tantangan untuk
memanfaatkan sumber daya mineral dan energi melalui penerapan
sistem pertambangan yang berwawasan lingkungan, serta untuk
menjamin kesinambungan kegiatan ekonomi setelah kegiatan
pertambangan berakhir.

2. Kendala

Pembangunan pertambangan dalam Repelita VI dan PJP II


dihadapkan pada berbagai kendala. Kendala pertama adalah
berkaitan dengan kebutuhan modal untuk investasi. Berbagai
kegiatan usaha pertambangan mulai dari eksplorasi, penambangan,
serta pengolahan hasil tambang memerlukan dana yang besar.
Pembangunan di sektor pertambangan masih sangat tergantung
kepada investasi asing. Investasi asing, di samping membawa
modal, juga sekaligus memasukkan kemampuan teknologi,
manajemen, dan saluran pemasaran. Namun, persaingan untuk
menarik investasi tersebut, baik antarnegara maupun antarsektor
ekonomi di dalam negeri, diperkirakan akan makin ketat. Harga
komoditas mineral dan minyak bumi yang tidak stabil dan cende -
rung menurun di pasaran internasional, juga merupakan kendala.

Keterbatasan dalam kemampuan penguasaan teknologi juga


menjadi kendala. Walaupun selama PJP I telah dicapai kemajuan
dalam teknologi pertambangan di Indonesia, pada umumnya
kemajuan baru pada taraf mengaplikasikan teknologi yang diimpor.
Proses alih teknologi berlangsung relatif lambat. Oleh karena itu,
dalam pengusahaan pertambangan ketergantungan kepada tenaga
ahli asing untuk berbagai bidang keahlian masih cukup besar.
Sementara itu, infrastruktur kelembagaan yang mendukung upaya
percepatan penguasaan teknologi pertambangan, termasuk lembaga
pendidikan dan pelatihan serta lembaga penelitian dan pengembang -
an, masih terbatas kemampuannya.

271
Pembangunan pertambangan dalam Repelita VI juga diha -
dapkan pada kurangnya tenaga ahli dan tenaga terampil, termasuk
untuk pengembangan pertambangan rakyat yang efisien dan pertam -
bangan yang berwawasan lingkungan.

Belum mantapnya penataan ruang menjadi kendala dalam


pengembangan usaha pertambangan karena sering mengakibatkan
tumpang tindih dalam pemberian hak pemanfaatan lahan dan
ruang.

3. Peluang

Sektor pertambangan di Indonesia mempunyai cukup peluang


untuk berkembang dalam masa PJP II. Indonesia sebagai negara
yang memiliki sumber daya mineral yang sangat besar serta posisi
yang strategis di kawasan Asia Pasifik mempunyai peluang untuk
mengembangkan potensi mineralnya apabila ditunjang dengan
strategi yang sesuai serta iklim berusaha yang mendukung.

Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan tingkat penda -


patan yang meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi
akan menjadi pasar yang potensial bagi produk yang berbasis
sumber daya mineral.

Restrukturisasi industri di negara-negara maju juga akan


membuka peluang. Dengan sumber daya alam mineral dan energi
yang kaya, Indonesia memiliki peluang yang besar sebagai tempat
relokasi industri dari negara maju, termasuk industri pengolahan
hasil tambang.

Pertumbuhan pasar di kawasan Asia Pasifik akan menciptakan


peluang dan kesempatan khusus bagi Indonesia untuk mengem -
bangkan industri pertambangan dengan skala yang ekonomis, yang
memungkinkan peningkatan efisiensi dan daya saing.

272
IV. ARAHAN, SASARAN, DAN KEBIJAKSANAAN
PEMBANGUNAN

1. Arahan GBHN 1993

Pembangunan pertambangan diarahkan untuk memanfaatkan


kekayaan surnber daya alam tambang secara hemat dan optimal
bagi pembangunan nasional demi kesejahteraan rakyat, dengan
tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup serta ditujukan
untuk menyediakan bahan baku bagi industri dalam negeri, bagi
keperluan energi, dan bagi keperluan masyarakat, serta untuk
meningkatkan ekspor, meningkatkan penerimaan negara dan pen-
dapatan daerah, serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan
usaha.

Dalam pembangunan pertambangan perlu ditingkatkan upaya


peningkatan produksi, penganekaragaman hasil tambang, penge -
lolaan usaha pertambangan secara efektif dan efisien, didukung
oleh usaha inventarisasi dan pemetaan serta eksplorasi dan
eksploitasi kekayaan bahan tambang yang makin meningkat dengan
menguasai dan memanfaatkan teknologi yang tepat. Pengembangan
pertambangan perlu diarahkan untuk mendorong kegiatan ekonomi
dengan mempertimbangkan prinsip penggunaan lahan berganda dan
pola tata ruang nasional melalui kebijaksanaan optimasi manfaat
dari pendayagunaan kekayaan alam.

Pembangunan pertambangan diselenggarakan secara terpadu


dengan pembangunan daerah dan pembangunan berbagai sektor
lainnya, terutama yang berkaitan erat dengan perluasan lapangan
kerja dan kesempatan usaha, serta pengembangan wilayah dengan
selalu memperhatikan kebutuhan masa depan dan kelestarian fungsi
lingkungan hidup. Pengetahuan geologi perlu ditingkatkan untuk
memperoleh manfaat maksimal dan kemampuan untuk memper -
kirakan secara tepat bencana alam geologis sehingga dapat mem -
berikan perlindungan bagi masyarakat.

273
Pemanfaatan bahan dan hasil tambang terus dikembangkan
melalui peningkatan produksi dan usaha pemasarannya di dalam
negeri dan di luar negeri serta pengolahannya perlu didukung oleh
industri pengolahan yang maju agar mampu meningkatkan nilai
tambah dan pendapatan negara.

Upaya untuk memproduksi minyak dan gas bumi serta


menemukan cadangan baru perlu ditingkatkan, disertai usaha
perluasan pemasaran produk hasil pengolahan minyak dan gas
bumi dalam rangka peningkatan dan penganekaragaman sumber
penerimaan dan devisa negara. Dengan makin terbatasnya
cadangan minyak dan gas bumi serta makin sulitnya menemukan
ladang baru, upaya penganekaragaman sumber energi perlu makin
ditingkatkan, terutama batu bara, sehingga ketergantungan pada
minyak dan gas bumi makin berkurang.

Pertambangan rakyat dilindungi, dibimbing, dan ditingkatkan


pengelolaannya antara lain melalui pengaturan, penyuluhan, dan
pembinaan usaha pertambangan, termasuk usaha koperasi, dalam
rangka perluasan lapangan kerja dan kesempatan usaha serta
peningkatan pendapatan dan taraf hidup rakyat, khususnya rakyat
penambang. Kerja sama pertambangan rakyat dengan usaha per-
tambangan negara dan swasta besar perlu didorong agar saling
menunjang dan saling memperkuat.

Penanaman modal swasta di sektor pertambangan di luar


pertambangan rakyat dan galian strategis, baik modal dalam negeri
maupun modal asing, terus didorong dan ditingkatkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mem-
berikan manfaat sebesar-besarnya bagi pembangunan nasional dan
alih teknologi, antara lain melalui penciptaan iklim yang lebih
sehat dan menarik bagi penanaman modal.

Penguasaan teknologi pertambangan, termasuk teknologi


eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang di darat maupun di dasar

274
laut, terus ditingkatkan melalui keterampilan dan keahlian di sektor
pertambangan.

Penambangan dan pengelolaan bahan galian yang tidak vital


dan tidak strategis harus mengikutsertakan rakyat setempat dengan
tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan, upaya


reklamasi pascatambang perlu dilaksanakan sejak awal sehingga
bekas tambang dapat lebih dimanfaatkan.

2. Sasaran

a. Sasaran PJP II

Sasaran pembangunan pertambangan dalam PJP II adalah


mendukung terciptanya perekonomian nasional yang mandiri dan
andal melalui pendayagunaan sumber daya alam mineral dan energi
secara hemat dan optimal serta berwawasan lingkungan.

Dalam kaitan itu, pada akhir PJP II seluruh kebutuhan


informasi dasar geologi, baik berupa peta-peta dasar geologi
maupun informasi bencana alam geologis dan lingkungan hidup,
telah tersedia. Dalam PJP II akan dicapai tingkat kemandirian yang
tinggi melalui penguasaan pengetahuan dan teknologi; pemurnian,
pengolahan, serta penggunaan bahan hasil tambang; dan
peningkatan manajemen usaha pertambangan. Dalam hal minyak
bumi dan gas bumi, akan lebih dikembangkan eksplorasi dan
pengusahaan di laut, dan hampir seluruh cekungan tersier sudah
dieksplorasi. Khususnya potensi panas bumi akan dimanfaatkan
minimal 25 persen atau sekitar 4.000 megawatt.

b. Sasaran Repelita VI

Sasaran pembangunan pertambangan dalam Repelita VI adalah


meningkatnya produksi dan diversifikasi hasil tambang untuk

275
memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan sumber energi
primer, peningkatan ekspor dan pemenuhan keperluan masyarakat
lainnya; terwujudnya sistem pertambangan yang efisien dan pro-
duktif yang didukung oleh kemampuan penguasaan teknologi,
kualitas sumber daya manusia dan manajemen usaha pertambang-
an; meningkatnya peran serta masyarakat dalam usaha pertambang-
an terutama melalui wadah koperasi; meluasnya pembangunan per-
tambangan di daerah guna mendukung pengembangan wilayah,
terutama kawasan timur Indonesia; tersedianya pelayanan
informasi geologi dan sumber daya mineral yang andal, baik untuk
eksplorasi lanjut, penataan ruang, maupun mitigasi bencana alam
geologis.

Sektor pertambangan akan ditumbuhkembangkan rata-rata


sebesar 2,6 persen per tahun selama Repelita VI. Dalam upaya
perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, sektor pertam-
bangan diupayakan mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja
dari sekitar 842 ribu orang pada tahun 1993 menjadi sebesar 989
ribu orang pada akhir Repelita VI. Hal ini berarti bahwa sektor
pertambangan akan mampu memberikan tambahan kesempatan
kerja kepada 147 ribu orang selama Repelita VI. Penyerapan
tenaga kerja ini, terutama terwujud melalui makin tumbuh dan
berkembangnya usaha pertambangan rakyat, termasuk pertam-
bangan skala kecil (PSK), dalam bentuk koperasi.

Dalam Repelita VI akan dipercepat penyelesaian informasi


dasar geologi. Sasaran pokoknya adalah penyelesaian peta geologi
dan daerah bahaya seluruh gunung api Indonesia, pemetaan
geofisika udara di Pulau Kalimantan dan Sulawesi, penyelesaian
peta dasar lainnya bagi daerah pertumbuhan di Pulau Jawa serta
pembangunan pos pengamatan gunung api yang mempunyai derajat
bahaya yang tinggi.

Dalam Repelita VI diprogramkan penyelesaian pemetaan dan


penyelidikan geologi dan geofisika sejumlah 104 peta; pemetaan
dan penyelidikan geologi kelautan sejumlah 25 lembar peta dan 30

276
lokasi; inventarisasi dan pemetaan serta eksplorasi sumber daya
mineral sejumlah 55 lembar peta dan 105 lokasi; inventarisasi dan
pemetaan serta eksplorasi sumber daya energi sejumlah 25 lembar
peta dan 45 lokasi, dan 3 kegiatan pengeboran; pemetaan hidro -
geologi sejumlah 25 lembar peta dan 23 penyelidikan air tanah.
Lihat Tabel 25 - 1.

Sasaran pertambangan mineral dan batu bara yang akan dica -


pai pada akhir Repelita VI adalah produksi batu bara akan menca -
pai 71 juta ton, yang akan dipakai di dalam negeri sebanyak 31,9
juta ton dan ekspor sebanyak 39,1 juta ton; produksi timah sebesar
40,3 ribu ton; produksi bijih nikel sebesar 2,75 juta ton, feronikel
sebesar 11 ribu ton, dan nikel matte sebesar 50 ribu ton, sedang
ekspornya masing-masing sebesar 1,9 juta ton bijih nikel, 11 ribu
ton feronikel dan 45 ribu ton nikel matte; produksi bauksit sebesar
1 juta ton; produksi konsentrat tembaga sebesar 1.761 ribu ton,
yang akan diekspor sebesar 1.311 ribu ton, sedang 450 ribu ton
konsentrat tembaga akan diproses di dalam negeri menjadi logam;
produksi emas sebesar 70,6 ribu kilogram dan perak sebesar 143
ribu kilogram; dan produksi pasir besi sebesar 340 ribu ton.

Di bidang minyak dan gas bumi direncanakan pada akhir


Repelita VI sebanyak 60 persen dari cekungan telah dibor,
termasuk cadangan gas bumi di Kepulauan Natuna dan di kawasan
timur Indonesia. Pemanfaatan panas bumi telah mencapai 6 persen
dari total sumber dayanya. Kilang minyak berorientasi ekspor
(export oriented oil refinery, EXOR) telah beroperasi, demikian
pula Train G kilang LNG Bontang. Laju pertumbuhan konsumsi
BBM dalam negeri diharapkan dapat ditekan menjadi sekitar 6
persen per tahun.

Sasaran yang akan dicapai dalam pertambangan minyak dan gas


bumi pada akhir Repelita VI adalah produksi minyak bumi dan
kondensat dipertahankan sebesar 547,5 juta barel per tahun atau
1.500 ribu barel per hari; produksi gas bumi sebesar 2.960 miliar
kaki kubik atau 8,1 miliar kaki kubik per hari dan pemanfaatannya

277
277
TABEL 25 - 1
RENCANA KEGIATAN PEMETAAN DAN PENYELIDIKAN GEOLOGI
SEKTOR PERTAMBANGAN
1994/95-1998/99

Akhir Repelita VI
Jenis Sasaran Satuan Repelita V *) 1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99 Jumlah

1. Pemetaan geologi dan geofisika lembar 11 15 22 22 24 21 104

2. Pemetaan geologi dasar laut lembar 5 5 5 5 5 5 25

3. Penyelidikan geologi kelautan lokasi 2 6 6 6 6 6 30

4. Inventarisasi dan pemetaan lembar 5 11 11 11 11 11 55


sumber daya mineral

5. Eksplorasi sumber daya mineral lokasi 10 21 21 21 21 21 105

6. Inventarisasi dan pemetaan lembar 3 5 5 5 5 5 25


sumber daya energi

7. Eksplorasi dan penyelidikan lokasi 4 9 10 9 10 10 48


sumber daya energi

8. Pemetaan hidrogeologi lembar 3 5 5 5 5 5 25

9. Penyelidikan air tanah lokasi 5 4 5 4 5 5 23

Catatan: *) Angka perkiraan realisasi (tahun terakhir Repelita V)

278
sebesar 7,7 miliar kaki kubik per hari; potensi panas bumi
dimanfaatkan sebesar 1.025 megawatt; penjualan BBM dalam
negeri sebesar 52.283,7 ribu kiloliter dan gas bumi sebesar
3.670,7 juta meter kubik; ekspor minyak mentah sebesar 263.107
ribu barel; produksi LNG sebesar 28 juta ton, dan produksi LPG
sebesar 3,5 juta ton. Lihat Tabel 25 - 2.

3. Kebijaksanaan
Dalam rangka pembangunan pertambangan sesuai dengan
arahan GBHN 1993 dan untuk mencapai berbagai sasaran di atas,
dikembangkan kebijaksanaan pembangunan pertambangan, yang
meliputi pengembangan informasi geologi dan sumber daya
mineral sebagai pendukung dasar pembangunan pertambangan;
pemantapan penyediaan komoditas mineral dan energi melalui
peningkatan produksi, pengolahan, dan diversifikasi hasil tam-
bang; peningkatan peran serta rakyat dan pelestarian fungsi ling -
kungan hidup dalam pembangunan pertambangan; pengembangan
kemampuan sumber daya manusia dan penguasaan teknologi per-
tambangan guna mendukung peningkatan efisiensi dan produkti-
vitas usaha pertambangan; serta pengembangan sistem pendukung
lainnya bagi peningkatan efektivitas pembangunan pertambangan.

a. Pengembangan Informasi Geologi dan Sumber


Daya Mineral

Pengembangan geologi dan sumber daya mineral sebagai


pendukung dasar pembangunan pertambangan dan energi diting-
katkan dan diarahkan untuk penyediaan data dasar bagi kegiatan
eksplorasi lanjutan, pengusahaan tambang, pemanfaatan panas
bumi dan pemanfaatan air tanah; penyediaan informasi mengenai
geologi bagi penanggulangan bencana alam geologis sehingga
korban jiwa dan kerugian materiil dapat ditekan secara maksimal;
dan penyediaan informasi geologi tata lingkungan sebagai bahan
acuan dalam menyusun tata ruang nasional. Untuk itu, disusun peta
dasar geologi, berbagai peta sumber daya mineral dan energi di

279
280 TABEL 25-2
PERKIRAAN PRODUKSI PERTAMBANGAN MINERAL DAN ENERGI
SEKTOR PERTAMBANGAN
1994/95-1998/99

Akhir Repelita Vi
Janis Sasaran Satuan Repelita V 190419 1995/96 1998/97 1997/98 1998/99 Jumlah

1. Minyak bumi juta barel 500,0 558, 556, 553,0 551,2 547,5
dan kondensat 5 3 2.766,5
2. Gas bumi miliar kaki 2.502,0 2.945,5 3.068,0 3.025,8 2.890,8 2.960,0
kubik 14.888,1
3. Batubara ribu ton 29.000,0 35.000,0 44.000,0 52.000,0 60.000,0 71.000,0
4. Panas bumi 2) MW 199,5 310, 510, 660,0 740,0 262.000,0
3.245,
5. Logam timah ribu ton 31,2 34, 35, 37.2 40, 40, 187,
6. Bijih nikel ribu ton 2.547,5 2.400,0 2.685,0 2.750,0
- feronikel - ton 5.500,0 5.500,0 10.000,0 11.000,0 11.000,0 11.000,0
- nikel matte - ton 32.000,0 50.000,0 50.000,0 48.000,0 50.000,0 50.000,0
7. Bauksit ribu ton 1.087,0 1.050. 1.000,0 1.000,0
8. Konsentrat tembaga ribu ton 1.042,0 1.042,0 1.042,0 1.684,0
9. Pasir besi ribu ton 315,7 340,0 340, 340, 340. 340,
10. Emas 3) kg 40.324,0 42.000,0 47.300,0 56.600,0 84.800,0 70.600,0
11. Perak 4) kg 71.094,0 93.500,0 98.200,0 120.200, 143.300,0143.000,0 598.200,
0 0
Catatan: 1) Angka perkiraan realisasi (tahun terakhir Repelita V)
2) Daya terpasang
3) Termasuk emas dalam konsentrat tembaga
4) Termasuk perak dalam konsentrat tembaga
darat dan di laut, serta peta hidrogeologi, geologi teknik, geologi
tata lingkungan, daerah bahaya gunung api, gerakan tanah dan
gempa bumi. Upaya tersebut didukung oleh kegiatan penelitian
geologi dan geofisika; inventarisasi, eksplorasi dan evaluasi ke-
kayaan sumber daya mineral, air bawah tanah dan panas bumi;
dan penyelidikan serta pemantauan bencana alam geologis.

b. Pemantapan Penyediaan Komoditas Mineral dan


Energi

Pembangunan pertambangan ditingkatkan dan diarahkan pada


pemanfaatan segenap kekayaan sumber daya mineral dan energi
yang dimiliki untuk menunjang pembangunan nasional. Untuk itu,
diupayakan peningkatan jenis, jumlah, dan mutu komoditas
mineral yang ditambang, terutama dalam rangka penyediaan
sumber energi primer serta bahan baku untuk industri di dalam
negeri. Efisiensi dan efektivitas penambangan dan pengolahan hasil
tambang ditingkatkan melalui pemanfaatan teknologi tepat dan
perbaikan manajemen.

Pembangunan pertambangan diupayakan makin terkait erat


dengan pembangunan industri di dalam negeri dalam rangka
meningkatkan nilai tambah komoditas mineral dan energi. Industri
pengolahan hasil tambang dan industri manufaktur lainnya dikem-
bangkan dengan memberikan prioritas kepada penciptaan mata
rantai hulu-hilir industri pertambangan yang makin kukuh dengan
daya saing yang meningkat.

Mengingat keterbatasan cadangan minyak bumi di masa


mendatang, ditingkatkan upaya untuk menggantikan peranan
minyak bumi sebagai sumber utama energi primer. Pemanfaatan
minyak bumi sebagai penyedia energi supaya diarahkan hanya
untuk penggunaan yang benar-benar belum dapat digantikan oleh
sumber energi lain, dan sebagai bahan baku industri yang meng-
hasilkan nilai tambah lebih tinggi. Keterpaduan upaya pemanfaatan
energi alternatif di dalam negeri untuk menggantikan peranan BBM

281
di sektor rumah tangga, industri, dan transportasi ditingkatkan.
Pengembangan energi alternatif dengan cadangan besar seperti
halnya batu bara, ditetapkan dalam suatu kebijaksanaan nasional
yang menyangkut berbagai aspek dalam bentuk peraturan perun-
dang-undangan yang mempunyai jangkauan ke depan.

Pengembangan pertambangan memperhatikan dan diserasikan


dengan kebijaksanaan umum di bidang energi, pembangunan
daerah, pertahanan keamanan negara, keselamatan dan kesehatan
kerja, kebijaksanaan umum lingkungan hidup, keselamatan
terhadap bencana alam geologis, dan kepentingan lintas sektoral
lainnya. Di samping itu, ditingkatkan pula perhatian terhadap
kelangsungan kehidupan sosial ekonomi pascatambang di daerah
pertambangan.

c. Peningkatan Peran Serta Masyarakat dan Pelestarian


Fungsi Lingkungan Hidup

Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengusa-


haan pertambangan, ditempuh pengembangan pertambangan rakyat
secara lebih terpadu melalui penyuluhan, pembimbingan, serta
pembinaan usaha pertambangan termasuk pertambangan skala kecil
(PSK) dalam wadah koperasi. Pola pengembangan PSK yang telah
dirintis di beberapa daerah sejak tahun 1991 dimantapkan dan
diperluas pelaksanaannya. Penertiban dan pembinaan usaha
pertambangan rakyat didukung oleh upaya identifikasi cebakan
mineral dan pencadangan usaha untuk pertambangan rakyat di
daerah.

Pengembangan pertambangan dapat mendorong tumbuhnya


kegiatan sosial ekonomi daerah, terutama di daerah terpencil,
dengan mempertimbangkan prinsip penggunaan lahan berganda
dalam tata ruang daerah yang bersifat dinamis, melalui optimasi
manfaat neto pendayagunaan kekayaan alam.

282
Kegiatan sosial ekonomi yang tumbuh selama usaha pertam-
bangan berlangsung diupayakan agar terus berlanjut pada masa
pascatambang. Oleh karena itu, harus dipersiapkan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengembangan transformasi struktural sesuai
dengan potensi sumber daya yang terdapat di wilayah yang ber-
sangkutan. Transformasi struktural diarahkan pada proses
perubahan kegiatan ekonomi suatu wilayah pertambangan secara
bertahap ke sektor ekonomi lain yang produktif. Sektor yang
tumbuh dan berkembang selama kegiatan usaha pertambangan
berjalan diharapkan mampu menyerap dan mengembangkan potensi
lokal dan memanfaatkan keunggulan komparatif yang dimiliki
daerah seoptimal mungkin, serta menciptakan keunggulan
kompetitif sehingga mampu menggantikan kegiatan usaha pertam-
bangan yang suatu ketika akan berakhir. Dengan demikian,
pengembangan ekonomi wilayah setelah kegiatan usaha
pertambangan terhenti dapat terus dijaga kesinambungannya.

Kawasan timur Indonesia relatif belum berkembang meskipun


memiliki kekayaan sumber daya alam yang cukup besar dan
beragam, terutama sumber daya mineral dan energi. Potensi
tersebut dalam PJP II dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai
modal awal dan penggerak mula dalam memacu pembangunan
ekonomi kawasan ini.

d. Pengembangan Sumber Daya Manusia dan


Penguasaan Teknologi Pertambangan

Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih


mantap diperlukan untuk mendukung pembangunan pertambangan
yang makin berkembang, meningkatkan nilai tambah, memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memperkecil kerugian
akibat bencana alam geologis. Penguasaan teknologi maju
ditingkatkan melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan guna
memenuhi kebutuhan tenaga profesional dan tenaga terampil.
Upaya alih teknologi pada tenaga bangsa Indonesia secara
sistematis ditingkatkan dan dipercepat. Penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut diperlukan dalam usaha 283
menemukan cadangan sumber daya mineral dan energi,
meningkatkan efisiensi dalam eksplorasi dan produksi,
meningkatkan konservasi dan penganekaragaman pemanfaatan
sumber daya, mendukung pengembangan industri pengolahan hasil
tambang, dan mendukung pengembangan wilayah melalui
pemanfaatan sumber daya setempat. Kemampuan penelitian dan
pengembangan harus ditingkatkan sehingga mampu menghasilkan
teknologi tepat serta menyediakan informasi bagi pemantapan
kebijaksanaan ataupun dalam menunjang operasi dan pengelolaan
pertambangan. Untuk itu, kegiatan penelitian dan pengembangan,
baik dalam eksplorasi, penambangan, pengolahan, ekstraksi, dan
pemurnian hasil tambang, maupun pemanfaatannya diberi perhatian
khusus.
e. Pengembangan Sistem Pendukung Pertambangan
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan dan hasil tambang
dalam upaya memenuhi kebutuhan di dalam negeri dan ekspor,
terus dilanjutkan usaha standardisasi proses dan produk per -
tambangan yang menyangkut teknik eksplorasi, sistem penam -
bangan, pengolahan dan pendistribusian komoditas hasil tambang,
serta pengujian mutu. Upaya tersebut dikembangkan agar dapat
dicapai kesesuaian tolok ukur kualitas antara produsen dan
konsumen, di samping tercapai efisiensi yang lebih tinggi.
Usaha menarik penanaman modal, baik asing maupun dalam
negeri, dalam usaha pertambangan terus ditingkatkan melalui
penyediaan informasi, pemberian kemudahan perizinan, dan sistem
insentif, dengan tetap memperhatikan keserasian usaha yang saling
terkait di antara para pelaku ekonomi, baik dari segi pendanaan ,
teknologi maupun manajemen.

Pertambangan minyak dan gas bumi dalam Repelita VI masih


berperan cukup besar dengan menghasilkan berbagai bahan hasil
tambang yang dapat dimanfaatkan, baik sebagai sumber energi,
284
bahan baku industri, maupun sumber penerimaan negara. Untuk
menjamin kelangsungan pengusahaannya, sebagian dari hasil
tambang tersebut, terutama migas, diinvestasikan kembali, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam arus globalisasi dengan persaingan yang makin tajam,


peran informasi dalam pembangunan pertambangan sangat vital.
Sistem jaringan informasi yang andal dalam penyediaan data dan
informasi bagi semua pihak yang berkepentingan dalam penangan-
an pertambangan, terus ditingkatkan.

V. PROGRAM PEMBANGUNAN

Dalam rangka mencapai sasaran Repelita VI dan PJP II, sesuai


dengan arahan GBHN 1993 dan sebagai pelaksanaan kebijaksanaan
tersebut di atas, akan dikembangkan berbagai program pembangun-
an sektor pertambangan, yang meliputi program pokok dan
program penunjang. Berbagai program tersebut merupakan pro-
gram nasional sebagai acuan pelaksanaan kegiatan pembangunan
sektor pertambangan bagi Pemerintah dan dunia usaha serta
masyarakat pada umumnya.

1. Program Pokok

a. Program Pengembangan Geologi dan Sumber Daya


Mineral

Dalam program pengembangan geologi dan sumber daya


mineral akan dilaksanakan beberapa kegiatan pokok yang bertujuan
terutama untuk menyediakan data dasar geologi, potensi sumber
daya mineral, geologi kelautan, serta informasi geologi tata ling-
kungan dan mitigasi bencana alam geologis.
1) 285Geologi Sumber Daya Mineral

Dalam Repelita VI direncanakan pemetaan geologi bersistem


berbagai skala sebanyak 68 lembar serta pemetaan gaya berat
berbagai skala sebanyak 36 lembar. Kegiatan inventarisasi dan
eksplorasi sumber daya mineral logam dan energi, penelitian dan
penyelidikan geologi, geofisika, pengeboran eksplorasi, serta anali-
sis laboratorium kimia dan fisika mineral akan dilaksanakan
dengan memberikan prioritas kepada kawasan timur Indonesia dan
daerah berpotensi lainnya. Pelaksanaan inventarisasi sumber daya
mineral logam direncanakan di 15 wilayah dan inventarisasi bahan
galian industri di 15 wilayah. Eksplorasi sumber daya bahan galian
industri akan dilakukan di 30 daerah, eksplorasi mineral logam di
30 daerah, eksplorasi geokimia di 15 daerah, dan eksplorasi geofi-
sika di 30 daerah.

Dalam rangka inventarisasi dan eksplorasi sumber daya energi


juga akan dilakukan penyelidikan terhadap panas bumi untuk
melengkapi data geologi, geofisika, dan geokimianya. Prioritas
akan diberikan pada daerah yang tidak mempunyai energi alternatif
selain panas bumi dan diperkirakan mempunyai potensi energi
panas bumi yang berskala kecil (sekitar 10 megawatt). Dalam
Repelita VI akan dilakukan penyelidikan secara terpadu pembuatan
peta geologi panas bumi skala 1 : 50.000 serta penyelidikan geofi-
sika dan geokimia panas bumi di 15 lapangan, termasuk di
kawasan timur Indonesia. Pengeboran uji panas bumi juga akan
dilakukan di lapangan yang mempunyai potensi pengembangan.
Inventarisasi sumber daya energi batu bara dan gambut akan
dilakukan di 10 wilayah dan eksplorasinya di 30 daerah.

2) Geologi Kelautan

Kegiatan di bidang geologi kelautan diarahkan untuk menyedia-


kan informasi dasar mengenai potensi geologi dan sumber daya
mineral dan energi dasar laut. Dalam Repelita VI kegiatan
pemetaan geologi dan geofisika dasar laut akan ditingkatkan untuk

286
pengungkapan potensi sumber daya mineral dan energi di dasar
laut, sebagai upaya mengantisipasi kebutuhan mineral dan energi di
masa yang akan datang. Penyelidikan geologi dan geofisika
kelautan akan dilakukan untuk memperoleh informasi struktur
dan stratigrafi dasar laut. Informasi ini sangat berguna sebagai
petunjuk adanya cebakan hidrokarbon. Pada kawasan yang penting
dan jalur pelayaran internasional yang sibuk, kondisi dasar laut,
jenis sedimen, dan proses sedimentasinya akan diselidiki.

Penyelidikan geologi kawasan pantai ditekankan pada wilayah


yang telah dan akan berkembang pesat sehingga informasi ini
dapat dipakai untuk mengantisipasi dampak lingkungannya.
Penyelidikan geologi wilayah pantai ini juga diarahkan untuk
menunjang pengelolaan dan pelestarian lingkungan pantai dan lepas
pantai dalam upaya penanggulangan bencana alam geologis.
Perencanaan teknis dan geoteknik kelautan sangat dibutuhkan
dalam perencanaan pembangunan pelabuhan dan pendirian
bangunan lepas pantai.

Dalam Repelita VI akan dilakukan pemetaan geologi dasar laut


sebanyak 25 lembar dan kompilasi peta geologi regional skala
1:1.000.000 dan lebih kecil sebanyak 5 lembar. Penyelidikan
geologi wilayah pantai dan lepas pantai akan dilakukan di 25
wilayah pantai di Pulau Jawa dan kawasan timur Indonesia.

3) Geologi Tata Lingkungan dan Mitigasi Bencana


Alam Geologis

Pemetaan hidrogeologi bersistem direncanakan untuk menyele-


saikan 15 lembar peta berskala 1:250.000 di kawasan timur
Indonesia dan daerah pusat pertumbuhan ekonomi, serta menyele-
saikan 10 lembar peta hidrogeologi Pulau Jawa dan Madura dengan
skala 1:100.000, termasuk di wilayah yang memiliki kantung
kemiskinan. Direncanakan pula penyelidikan potensi air tanah
tingkat awal guna memperoleh data dan informasi air tanah secara
semikuantitatif serta kemungkinan pengembangannya pada 20
cekungan air tanah.

287
Penyelidikan potensi air tanah tingkat rinci direncanakan
mencakup tiga cekungan air tanah guna kemungkinan pengem-
bangannya dalam memenuhi keperluan penyediaan air bersih di
daerah perkotaan dan perdesaan. Prioritas utama akan diberikan
pada daerah yang mempunyai kantung kemiskinan. Penyelidikan
penyediaan air untuk daerah sulit air akan dilaksanakan di 25 loka-
si; penyelidikan geologi teknik di 33 lokasi; penyelidikan geologi
lingkungan di 30 lokasi; dan penyelidikan geologi lingkungan
buangan limbah di 15 lokasi.

Dalam Repelita VI akan dilakukan pemetaan seismotektonik


daerah rawan gempa sebanyak 10 lembar; pemetaan geologi
kuarter 15 lembar; pemetaan geomorfologi 10 lembar; pemetaan
geologi gunung api 20 lembar; pemetaan daerah bahaya gunung api
38 lembar; pemetaan topografi puncak gunung api 20 lembar;
pemetaan aliran lahar 30 lembar; pemetaan kerentanan gerakan
tanah 19 lembar; pemetaan geologi teknik 13 lembar; pemetaan
geologi tata lingkungan skala 1:100.000 sebanyak 30 lembar; dan
pemetaan geologi tata lingkungan skala 1:250.000 sebanyak 5
lembar.

Kegiatan penelitian dan penyelidikan akan meliputi aspek


geologi kuarter dan seismotektonik di 40 lokasi; penyelidikan
lahar/bahan letusan gunung api di 15 gunung api; penyelidikan
kimia gunung api di 20 lokasi; penyelidikan fisika gunung api di 22
lokasi; penyelidikan penginderaan jauh gunung api di 30 lokasi;
penyelidikan seismik gunung api di 10 lokasi.

Kegiatan mitigasi bencana alam geologis berupa pembuatan


stasiun pengamat sesar aktif di 3 lokasi, dan pemantauan sesar aktif
di 2 lokasi; pemeriksaan kegempaan rata-rata di 3 lokasi setiap
tahun; konservasi geologi di 5 lokasi; pemantauan gunung api
dilakukan pada 79 gunung api aktif dan pada gunung api yang
menunjukkan gejala peningkatan aktivitas akan dilaksanakan secara
intensif pada 20 lokasi.

288
Pemantauan tanah longsor di 5 lokasi daerah rawan longsor,
yaitu Cianjur, Ciloto, Ciamis, Majenang, dan Banjarnegara;
pemeriksaan tanah longsor pada 30 lokasi setiap tahunnya;
pembuatan sumur pantau air tanah 6 buah setiap tahun, sehingga
pada akhir Repelita VI akan dimiliki 92 sumur pantau yang
tersebar di Jakarta, Semarang, Bandung, Denpasar, dan Medan;
pembuatan stasiun pengamat amblasan sebanyak 1 stasiun setiap
tahunnya di Jakarta; konservasi air tanah di 6 daerah yang
penggunaan airnya sangat intensif, yaitu Jakarta, Semarang,
Surabaya, Bandung, Denpasar dan Medan; dan pemantauan
masalah air, limbah, dan kualitas lingkungan geologi di 6 lokasi.

b. Program Pembangunan Pertambangan

Dengan memperhatikan kebijaksanaan pembangunan pertam-


bangan nasional dan mengantisipasi perkembangan peningkatan
permintaan akan hasil-hasil tambang, dalam Repelita VI akan
diupayakan peningkatan produksi dan penganekaragaman hasil
tambang.

1) Pertambangan Batu Bara

Produksi batu bara direncanakan sebesar 35 juta ton untuk


tahun 1994/95 dan pada tahun 1998/99 diproyeksikan sebesar 71
juta ton. Peningkatan produksi ini berasal dari produksi badan
usaha milik negara (BUMN) yang membuka tambang baru di
sekitar Tanjung Enim (Muara Tiga Besar, Bangko Barat, Bukit
Kendi), dan di sekitar Sawahlunto (Waringin atau Sugar), sehingga
tingkat produksi dari BUMN akan mencapai 11,6 juta ton pada
akhir Repelita VI. Investor swasta diharapkan akan meningkatkan
produksinya dengan membuka beberapa tambang baru. Pada akhir
Repelita VI tingkat produksi perusahaan swasta kontrak kerja sama
diperkirakan akan mencapai 56,2 juta ton. Di samping itu,
tambang berskala kecil yang dikelola oleh swasta nasional dan
koperasi diharapkan dapat mencapai tingkat produksi sebesar 3,2
juta ton per tahun.

289
Eksplorasi terinci batu bara akan dilakukan di sekitar Tanjung
Enim, seperti di Kungkilan Banjarsari, Arahan dan Suban Jeriji;
juga di sekitar Sawahlunto seperti di Sigalut dan Air Keruh; di
Mampun Pandan (Jambi), di sekitar Cerenti (Riau); di
Sangkulirang (Kalimantan Timur) dan di Satui II (Kalimantan
Selatan). Eksplorasi di daerah baru seperti Irian Jaya dan Maluku
akan dilakukan pada lokasi yang potensial.

Kegiatan pengusahaan pertambangan batu bara termasuk


gambut tetap berpedoman kepada sistem penambangan yang
berwawasan lingkungan, terutama sekali dikaitkan dengan penge-
lolaan masa pascatambang. Rencana umum tata ruang (RUTR)
merupakan salah satu acuan dalam pembangunan pertambangan,
khususnya yang berkaitan dengan pengembangan wilayah.

Dalam rangka meningkatkan daya muat akan dibangun pela-


buhan batu bara Tarahan III dan beberapa pelabuhan batu bara
lain, untuk memuat dan menyalurkan produksi yang berasal dari
perusahaan swasta asing, swasta nasional, ataupun pertambangan
skala kecil dan koperasi lainnya. Batu bara Indonesia telah mulai
menembus pasaran internasional, terutama di kawasan Asia Pasi-
fik. Ekspor bate bara pada akhir Repelita VI diperkirakan menca-
pai sebesar 39,1 juta ton.

Untuk menunjang pengembangan briket batu bara bagi


keperluan rumah tangga, akan dibangun kilang briket oleh
BUMN, antara lain di Tanjung Enim, Ciwandan, dan Gresik.
Produksi briket batu bara tersebut diharapkan pada akhir Repelita
VI dapat memenuhi 63 persen dari kebutuhan briket batu bara
sebesar 4,8 juta ton per tahun. Kekurangannya diharapkan dapat
dipenuhi oleh usaha swasta. Sarana penunjang untuk pemuatan dan
distribusi briket batu bara akan dikembangkan.

Dalam Repelita VI diharapkan bahwa sumber daya gambut


sudah mulai dapat dimanfaatkan sebagai bahan energi serta bahan
baku industri, baik di dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor.

290
Energi gambut sejauh mungkin dapat membantu program nasional
pengentasan desa tertinggal dan daerah yang relatif terpencil,
mengingat sifat arang gambut yang secara ekonomis kurang
menguntungkan untuk ditranspor. Penggunaan gambut juga diren -
canakan untuk percobaan ekstraksi asam humat (lignin), sebagai
pengencer lumpur pengeboran, pengatur pengerasan semen, dan
media semai. Upaya pemanfaatan gambut tersebut tetap memperha -
tikan kegunaan lahan bagi keperluan pertanian dan usaha lain, dan
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

2) Pertambangan Mineral

Produksi timah akan diarahkan pada pemenuhan peluang


ekspor serta peningkatan kebutuhan industri di dalam negeri.
Untuk itu, akan dilakukan berbagai upaya meningkatkan produksi
timah, antara lain dengan meningkatkan kegiatan eksplorasi
tambang aluvial dalam di lepas pantai dan di daratan; meningkat -
kan kapasitas penambangan di darat; meningkatkan kualitas produk
dengan menghasilkan timah berkadar timbal rendah; meningkatkan
pemasaran ekspor dan promosi serta menjamin lancarnya
pemasokan sebagai bahan baku industri di dalam negeri. Produksi
timah pada awal Repelita VI diproyeksikan sebesar 34 ribu ton dan
pada akhir Repelita VI meningkat menjadi 40,3 ribu ton.

Dalarn periode Repelita VI, produksi bijih nikel akan diting -


katkan dari 2,4 juta ton pada tahun pertama menjadi 2,75 juta ton
pada tahun kelima. Produksi nikel matte akan ditingkatkan
menjadi 50 ribu ton nikel pada akhir Repelita VI.

Perluasan pabrik feronikel Pomalaa tahap I yang telah dimulai


pada akhir Repelita V diharapkan akan mulai berproduksi pada ta -
hun kedua Repelita VI. Dengan selesainya perluasan pabrik, pro -
duksi feronikel akan meningkat dari 5,5 ribu menjadi 11 ribu ton
nikel. Pengolahan nikel akan ditingkatkan kapasitasnya secara ber -
tahap, sehingga ekspor utama komoditas nikel pada akhir Repe -
lita V I a ka n t e r di r i a t a s ni ke l ol a ha n. U s a ha pe ng opt i m a l a n

291
penggunaan energi dalam pembuatan feronikel akan dilakukan
dengan menjajagi penggunaan sumber energi yang lebih murah
seperti PLTA, serta kemungkinan pembuatan feronikel mengguna-
kan teknik selain proses Elkem. Untuk dapat lebih memanfaatkan
potensi cadangan nikel, usaha penjajagan proses leaching juga akan
diteruskan dalam Repelita VI. Atas dasar studi ini, akan dibuat
rencana perluasan/pengembangan tahap II.

Dalam meningkatkan nilai tambah komoditas nikel dan


memanfaatkan cadangan nikel yang ada, pada Repelita VI juga
akan dilakukan pengkajian kemungkinan dibangunnya pabrik baja
tahan karat (stainless steel).

Untuk meningkatkan cadangan nikel, dalam Repelita VI akan


diteruskan kegiatan eksplorasi. Cadangan yang telah ditemukan
pada Repelita V di Pulau Halmahera akan dievaluasi lebih lanjut
serta disiapkan rencana pengembangannya. Kajian mengenai
potensi tenaga air di daerah ini sebagai sumber energi juga akan
dilakukan bersamaan dengan evaluasi cadangan yang dapat
ditambang sehingga pembangunan pabrik pemurniannya dapat
dimulai pelaksanaannya pada akhir Repelita VI.

Untuk memanfaatkan cadangan nikel di Pulau Gag secara


optimal, dalam Repelita VI akan mulai dilakukan perundingan
dengan perusahaan swasta nasional/asing yang tertarik menanam-
kan modalnya berikut mengembangkan proses pengolahannya.
Perencanaan dan persiapannya juga akan dilakukan dalam Repe-
lita VI sehingga pembangunannya dapat dimulai pada Repelita VII.

Untuk memproduksi bijih bauksit berkualitas ekspor, pada


Repelita VI akan dilakukan penambangan di Pulau Bintan yang
pelaksanaannya sesuai dengan rencana pengembangan Pulau
Bintan menjadi pusat pariwisata dan zona industri. Kegiatan
eksplorasi yang lebih rinci akan dilanjutkan di daerah Tayan,
Pantas, dan Munggu Pasir untuk mengevaluasi cadangan dan
perencanaan tambang. Juga akan dilakukan penyelesaian terhadap

292
masalah tumpang tindih lahan dengan pihak kehutanan (hutan
tanaman industri). Diharapkan dalam Repelita VI pembukaan
tambang baru berikut pengembangan bauksit di wilayah ini dapat
dirumuskan.

Sebagai upaya mengisi mata rantai produksi antara industri


hulu dan hilir, pemanfaatan cadangan bauksit berkadar rendah di
Pulau Bintan dan pengembangan cadangan bauksit di Kalimantan
Barat merupakan pertimbangan pokok untuk pendirian pabrik
alumina di Indonesia. Usaha penelitian pembuatan tawas cair dari
bahan baku bauksit, terutama dalam penggunaannya untuk penjer-
nihan air, akan dilanjutkan dalam Repelita VI.

Dalam Repelita VI produksi konsentrat tembaga akan di-


tingkatkan menjadi 1.761 ribu ton. Selain itu, akan diusahakan
diversifikasi vertikal industri tembaga Indonesia dengan mendiri-
kan pabrik peleburan tembaga di dalam negeri, termasuk rencana
pendirian pabrik peleburan tembaga di Gresik dengan kapasitas
pengolahan 450 ribu ton konsentrat per tahun. Di samping itu,
pada akhir Repelita VI diperkirakan telah dapat dibuka tambang
baru di Pulau Sumbawa.

Dalam Repelita VI produksi emas dan perak akan


ditingkatkan, disertai dengan upaya pengembangannya ke arah
industri hilir. Dengan berproduksinya tambang emas Pongkor,
produksi emas dan perak pada akhir Repelita VI akan meningkat
menjadi 70.600 kilogram emas dan 1.43.000 kilogram perak.
Komoditas ini memiliki prospek yang cerah di mesa depan karena
pasaran yang baik di dalam dan di luar negeri.

Kegiatan eksplorasi untuk menambah cadangan emas dan


perak akan dilanjutkan selama Repelita VI di beberapa daerah. Di
Pulau Jawa akan dilakukan eksplorasi yang lebih intensif sehingga
pada akhir Repelita VI dapat diketahui secara pasti potensi daerah
yang akan dikembangkan. Kegiatan penyelidikan juga akan dilanjut
kan di daerah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sumatera.

293
Mengingat banyaknya cadangan emas dalam jumlah kecil yang
dimungkinkan untuk ditambang dengan tambang terbuka, dalam
masa Repelita VI akan dievaluasi kemungkinannya untuk membuka
tambang emas dengan kapasitas produksi ekonomis di bawah 1 ton
per tahun. Usaha ini akan membantu pengembangan daerah dan
penataan serta pemantapan usaha pertambangan rakyat. Dengan
adanya potensi pasar yang baik untuk barang perhiasan, dalam
masa Repelita VI akan dilakukan penelitian dan kemungkinan
investasi untuk mengembangkan industri barang perhiasan,

Produksi pasir besi akan ditingkatkan dalam Repelita VI,


seiring dengan peningkatan kapasitas pabrik semen dalam negeri.
Evaluasi potensi pasir besi Lumajang akan dilanjutkan dalam
rangka pendirian pabrik semen di daerah Jawa Timur. Usaha
pemanfaatan pasir besi Cilacap serta Kutoarjo dalam skala kecil
atau menengah yang telah dimulai sejak Repelita V akan diterus -
kan dengan pengkajian kemungkinan pendirian pabrik pengolahan
pasir besi.

Pengembangan bahan galian industri akan lebih diarahkan


pada pemenuhan kebutuhan bahan baku konstruksi, pertanian, dan
berbagai industri pengolahan di dalam negeri. Industri pengolahan
hasil pertambangan berteknologi tinggi, seperti produksi keramik
halus, bahan komposit, bahan baku untuk industri elektronik,
logam baru, dan logam tanah langka akan dirintis dan dikembang -
kan.

3) Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan


Panas Bumi

Dalam Repelita VI direncanakan mengeksplorasi minyak dan


gas bumi pada satu cekungan tersier yang belum dibor. Melalui
upaya peningkatan eksplorasi dan pengurasan lanjut, produksi
minyak bumi diperkirakan 547,5 juta barel pada akhir Repelita VI.
U n t u k m e n c a p a i t i n g k a t p r o d u ks i t e r s e b u t , a ka n d i l a k u k a n

294
pengeboran sumur pengembangan sebanyak 773 buah sumur rata-
rata per tahun. Sejalan dengan upaya peningkatan minyak mentah
yang diolah di dalam negeri, pangsa ekspor minyak mentah
diperkirakan akan mulai berkurang.

Produksi gas bumi diproyeksikan mencapai 2.960 miliar kaki


kubik pada akhir Repelita VI dengan tingkat pemanfaatan rata-rata
sebesar 7,7 miliar kaki kubik per hari atau 94 persen dari produk -
si. Dalam Repelita VI diupayakan untuk mempertahankan dan
meningkatkan ekspor LNG sekaligus peningkatan konsumsi LNG
di dalam negeri. Produksi LNG akan ditingkatkan dari 25,7 juta
ton pada tahun pertama menjadi sebesar 28 juta ton pada tahun
terakhir Repelita VI. Untuk itu, direncanakan pendirian kilang
LNG Train G di Bontang dengan kapasitas 2,3 juta ton per tahun,
yang akan beroperasi sebelum akhir Repelita VI, sedangkan
produksi LPG sekitar 3,5 juta ton per tahun.

Dari potensi panas bumi sebesar 16.000 megawatt direncana -


kan untuk dimanfaatkan sebesar 1.025 megawatt pada akhir Repe -
lita VI. Untuk itu, akan dilakukan pengembangan lapangan Gunung
Salak (200 megawatt), Gunung Darajat (110 megawatt), Gunung
Lahendong (20 megawatt), Gunung Dieng (55 megawatt), Gunung
Sibayak (20 megawatt), Gunung Ulubelu (20 megawatt), Gunung
Lumut Balai (20 megawatt), Gunung Sarula (110 megawatt),
Gunung Patuha (40 megawatt), Gunung Wayang Windu (40
megawatt), Gunung Karaha (55 megawatt), Gunung Kamojang (55
megawatt), dan Gunung Buyan Bratan (40 megawatt).

Dengan makin meningkatnya kebutuhan BBM, akan dilakukan


pengoptimalan penggunaan kilang melalui perbaikan, penyesuaian,
dan penyempurnaan alat-alat kilang sehingga kapasitas kilang dapat
ditingkatkan menjadi 1.042 ribu barel per hari takwim (thousands
barrels per calendar day, MBCD) pada akhir Repelita VI. Untuk
itu, dalam Repelita VI akan dilaksanakan upaya penambahan
kapasitas kilang seperti pembangunan kilang mini di Kasim,
penyempurnaan kilang Balikpapan I, modifikasi kilang Balikpapan

295
II, dan perbaikan kilang Cilacap, sehingga tambahan kapasitas
kilang mencapai sekitar 165 MBCD.

Untuk mengangkut BBM ke seluruh wilayah Nusantara,


diperlukan armada kapal tanker dengan kapasitas 4,7 juta DWT
pada akhir Repelita VI. Fasilitas pengangkutan minyak mentah dan
produk minyak akan ditingkatkan, demikian jugs kinerja untuk
memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Sistem angkutan
dengan pemindahan dari kapal ke kapal di Teluk Semangka akan
mulai ditinggalkan, dan pengembangan sistem transportasi BBM
terpadu akan ditingkatkan. Demikian pula pendayagunaan prasara-
na maritim dan kebandaraan, galangan kapal, teknik bawah air,
dan telekomunikasi akan ditingkatkan kemampuannya. Sistem
jaringan pipa penyaluran minyak beserta terminal distribusinya
juga akan ditingkatkan kemampuannya dalam memperlancar dis-
tribusi BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Produk non-BBM terutama Low Sulphur Waxy Residue


(LSWR) dan nafta, dalam Repelita VI akan mulai dipergunakan
sebagai bahan baku oleh industri petrokimia di dalam negeri.

c. Program Pengembangan Usaha Pertambangan


Rakyat Terpadu

Program ini ditujukan untuk meningkatkan peran serta


masyarakat dalam pembangunan pertambangan secara lebih luas
dan produktif. Untuk itu, akan dilakukan peningkatan pembinaan
terhadap potensi usaha pertambangan rakyat dalam bentuk program
terpadu yang merupakan bagian dari sistem pertambangan nasional
yang tangguh. Konsep yang telah ada dan akan terus dikembang-
kan adalah pola pertambangan skala kecil (PSK), yang dirintis
sejak tahun 1991.

Sasaran yang akan dicapai melalui PSK ini ialah membina dan
menyalurkan potensi rakyat dalam suatu konsep kegiatan pertam-
bangan yang tertata dan mendukung sistem perekonomian nasional;

296
memberikan wahana ekonomi yang sesuai dengan aspirasi,
kebutuhan, dan kemampuan rakyat setempat untuk ikut berperan
aktif dalam usaha pertambangan yang berskala ekonomis sehingga
mampu meningkatkan kesempatan berusaha dan perluasan
lapangan kerja serta peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
menyediakan wadah pembinaan bagi peningkatan peran serta
rakyat dalam pertambangan oleh Pemerintah dan para pelaku
ekonomi yang kuat, melalui pengembangan sistem pertambangan
yang terpadu dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi
masyarakat penambang setempat; mendorong terselenggaranya
pemanfaatan kekayaan sumber daya alam oleh rakyat dengan daya
guna dan hasil guna yang lebih besar, perlindungan terhadap
kerusakan lingkungan, kemitraan usaha yang saling meng -
untungkan dengan pertambangan besar, keterkaitan dengan industri
pengolahan, pemasaran hasil dan jasa pelayanan lainnya, serta
mendukung pengembangan wilayah; melaksanakan upaya
pencadangan usaha pertambangan rakyat secara proaktif pada
lokasi yang cocok dengan konsep PSK.

Jika dilihat sifat, pola, serta tujuan pengembangan PSK,


bentuk organisasi usaha yang sesuai untuk dikembangkan adalah
koperasi. Hal ini jugs sesuai dengan ciri-ciri usaha pertambangan
rakyat dan tujuan membangun ekonomi di daerah perdesaan. PSK
sebagai kegiatan pertambangan tidak dapat dilepaskan dari masalah
kewilayahan sehingga pemerintah daerah dilibatkan secara aktif
sebagai pembina teknis di lapangan.

Kegiatan pertambangan rakyat yang telah ada akan dibina, dan


bilamana mungkin ditingkatkan kemampuannya sesuai dengan pola
PSK. Di samping pembinaan yang terpadu dan utuh tersebut, akan
ditingkatkan pula penataan dan pembinaan terhadap usaha pertam -
bangan rakyat lainnya serta dipersiapkan wilayah pencadangan
yang sesuai untuk usaha tersebut. Cara ini merupakan kegiatan
sektor pertambangan dalam upaya pemerataan pembangunan dan
pengentasan rakyat dari kemiskinan di daerah perdesaan.

297
2. Program Penunjang

a. Program Penelitian dan Pengembangan Pertambangan

Program ini ditekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan


dan teknologi di bidang pertambangan dan pengolahan hasil
tambang dalam rangka peningkatan efisiensi dan mutu hasil
tambang dengan meningkatkan serta mempercepat pelaksanaan
penelitian dan pengembangan terapan.

Peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di


bidang geologi dan sumber daya mineral akan dilaksanakan secara
bertahap melalui penerapan teknologi maju, seperti survei geofisika
udara, pemetaan digital, penerapan geographic information system
(GIS); pemanfaatan jasa satelit untuk peringatan dini bahaya
gunung api, dan untuk pengamatan gempa bumi dan amblasan;
pengembangan sistem telemetri untuk seismik. dan parameter fisika
lainnya. Alat-alat deformasi akan digunakan untuk memantau
gerakan tanah, amblasan, dan aktivitas gunung api.

Untuk meningkatkan efisiensi dalam kegiatan geologi dan


pertambangan dilaksanakan pengembangan standardisasi dan
manajemen. Dalam Repelita VI direncanakan pembakuan peta
dasar geologi untuk 25 jenis peta dan penyusunan prosedur tetap
mitigasi bencana alam geologis seperti gempa bumi, tanah longsor,
dan gunung api.

Peningkatan efisiensi di bidang pertambangan mineral dan


batu bara dilakukan melalui kegiatan pembakuan komoditas tam-
bang, teknik penambangan serta pengolahan hasil tambang, standar
keselamatan kerja tambang dan lingkungan hidup tambang, dan uji
mineral logam serta mineral industri.

Peningkatan efisiensi dalam perusahaan minyak dan gas bumi


akan diusahakan melalui penerapan manajemen reservoir dalam
pengoptimalan pengembangan lapangan, penurunan biaya

298
eksplorasi, produksi, pemurnian dan pengolahan; pemakaian gas
bumi sebagai bahan bakar di lapangan minyak, penggunaan gas
untuk menggantikan pemakaian minyak mentah dalam pengurasan
tahap lanjut; dan pemanfaatan gas bumi buangan untuk kilang LPG
kecil.

Penelitian dan pengembangan pertambangan diarahkan pula


pada upaya peningkatan cadangan, pengurasan lanjut, peningkatan
nilai tambah, diversifikasi dan konservasi energi, kelestarian fungsi
lingkungan hidup, dan teknologi material baru.

Peningkatan pemanfaatan produksi dalam negeri dan kan -


dungan lokal akan didorong melalui pengembangan kemampuan
perekayasaan dan rancang bangun alat-alat pertambangan dan
penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI). Pangsa pembelian
barang dan jasa dalam negeri secara bertahap ditingkatkan sejalan
dengan peningkatan daya saingnya.

b. Program Pendidikan, Pelatihan, Penyuluhan, dan


Ketenagakerjaan Pertambangan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta masya -


rakat melalui pengembangan sistem informasi, penyuluhan, dan
pelayananan kepada masyarakat, termasuk dunia usaha. Penerbitan
peta-peta, buku panduan, buletin dan yang berkaitan dengan geolo -
gi, geofisika, gunung api, dan sumber daya mineral akan diting -
katkan.

Kegiatan penyuluhan akan ditingkatkan, khususnya tentang


bahaya gempa bumi, gunung api, serta gerakan tanah; informasi
tentang air tanah, geologi lingkungan, dan sumber daya mineral;
dan penyuluhan hukum di bidang pertambangan mineral dan energi
kepada pemerintah daerah, calon atau pemegang kuasa pertam -
bangan, dan kepada masyarakat luas.

299
Penyerapan tenaga kerja pertambangan akan ditingkatkan
melalui koordinasi antarsektor serta dukungan terhadap bursa
tenaga kerja; pemanfaatan dana iuran wajib pendidikan dan
pelatihan; dan intensifikasi pendidikan dan pelatihan dalam upaya
menggantikan tenaga kerja asing.

Peningkatan keselamatan kerja di bidang pertambangan akan


diusahakan dengan mengintensifkan penyuluhan pekerja, pengusa-
ha, dan masyarakat di sekitar tempat kerja; melakukan inspeksi
yang teliti; dan menyusun standar keselamatan kerja yang sesuai
dengan perkembangan teknologi.

Kemampuan pelaksana inspeksi tambang di lingkungan per-


tambangan akan ditingkatkan dan tugas inspeksi tambang akan
dipertimbangkan untuk dijadikan jabatan fungsional.

Pengembangan sumber daya manusia di bidang pertambangan


akan lebih ditingkatkan lagi melalui pendidikan, baik di dalam
negeri maupun di luar negeri, pengembangan karier melalui jalur
jabatan fungsional, serta pendidikan dan pelatihan teknis lainnya.

c. Program Pembinaan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup

Program ini ditujukan untuk meningkatkan kepedulian ling-


kungan dan kepedulian sosial melalui perencanaan yang terpadu
dengan memasukkan aspek penambangan yang berwawasan ling-
kungan secara dini; penyempurnaan terhadap pelaksanaan dan
pengawasan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL),
rencana pengelolaan lingkungan (RKL), dan rencana pemantauan
lingkungan (RPL); penyempurnaan peraturan dan prosedur kerja
dalam proses kegiatan pertambangan; reklamasi dan pemanfaatan
lahan pascatambang secara produktif melalui penerapan konsep
penambangan berkelanjutan dan pemanfaatan lahan berganda; serta
pengembangan teknologi bersih, teknologi daur ulang, serta
pemanfaatan limbah.

300
Dalam Repelita VI direncanakan akreditasi laboratorium
penguji; penyempurnaan peraturan pelaksanaan pengawasan
mengenai pengelolaan lingkungan pertambangan; pelaksanaan
inspeksi tambang; pedoman teknis reklamasi lahan pascatambang;
dan pengalokasian lahan usaha pertambangan serta penertiban
usaha pertambangan tanpa izin.

Dalam rangka peningkatan kepedulian sosial, pemerataan


pembangunan dan pengentasan penduduk dari kemiskinan, industri
pertambangan didorong untuk melibatkan masyarakat di sekitar
tempat kegiatan dengan membangun sarana kesehatan, pendidikan
dan fasilitas kemasyarakatan lain, yang dapat pula dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar.

d. Program Pengembangan Usaha Nasional

Program ini ditujukan untuk mendorong dan meningkatkan


kemampuan usaha nasional, terutama usaha skala menengah dan
kecil.

Penciptaan iklim investasi yang menarik akan dikembangkan


sehingga mendorong para investor untuk berusaha di bidang
pertambangan. Kebijaksanaan investasi akan lebih disempurnakan,
yang mencakup aspek fiskal dan moneter serta pendukungnya,
termasuk sistem perizinan. Peran koperasi dan swasta nasional
dalam pengusahaan pertambangan didorong dalam bentuk kerja
sama dengan BUMN dan swasta asing.

Peningkatan partisipasi dunia usaha di bidang pertambangan


akan didorong dengan memberikan paket pembimbingan teknis
kepada koperasi dan swasta nasional. Bantuan yang direncanakan
meliputi pembimbingan teknis eksplorasi bahan galian industri,
paket pembimbingan teknis pengeboran, dan paket pembimbingan
teknis juru bor. Selain itu, akan dikembangkan pula paket teknolo-
gi yang dapat dimanfaatkan oleh dunia usaha.

301
Untuk meningkatkan peran serta swasta dan koperasi di bidang
minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi, iklim investasi akan
dibuat lebih menarik sehingga pihak swasta dan koperasi dapat
didorong dalam meningkatkan kemampuannya. Upaya tersebut
dilaksanakan, antara lain, melalui pendidikan dan pelatihan; peng -
ikutsertaan dalam pembangunan kilang dan industri petrokimia;
pemanfaatan gas skala kecil; pembangunan dan pengelolaan pipa
transmisi gas; pengangkutan dan penyaluran BBM dan non-BBM;
serta berbagai kegiatan jasa lainnya. Industri minyak dan gas bumi
Indonesia yang telah berpengalaman lebih dari seabad dan
kemampuan nasional yang telah berkembang dalam teknologi,
keahlian, dan pendanaan juga akan dikembangkan untuk mulai
beroperasi di luar negeri.

Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di


bidang usaha pertambangan mineral dan energi, akan dilanjutkan
usaha deregulasi dan debirokratisasi dalam perizinan; peningkatan
pelayanan dalam pemrosesan kontrak karya; penyederhanaan
proses pelaksanaan pemberian kuasa pertambangan; dan bimbingan
teknis terutama untuk usaha koperasi dan swasta nasional.

Di samping itu, akan ditingkatkan pemantauan produksi dan


penjualan bahan galian para pemegang kuasa pertambangan atau
kontrak karya; komputerisasi sistem informasi kemineralan yang
terpadu meliputi proses dan data usaha pertambangan; dan penye -
lesaian masalah tumpang tindih lahan pertambangan.

e. Program Peningkatan Kerjasama Internasional

Program ini dilaksanakan sebagai bagian integral dari pem -


bangunan pertambangan dalam rangka mempercepat alih teknologi,
stabilisasi harga dan produksi komoditas, serta peningkatan arus
investasi di bidang pertambangan.

302
Kerja sama internasional di bidang minyak bumi, gas bumi,
dan panas bumi, akan tetap dimanfaatkan untuk kepentingan
pembangunan nasional. Kerja sama bilateral dengan berbagai
negara akan dilaksanakan untuk kelancaran perdagangan dan
ekspor, penyelesaian masalah landas kontinen, serta pengusahaan
bersama sumber daya minyak dan gas bumi. Demikian pula, kerja
sama antarnegara berkembang akan terus digalakkan dengan
semangat saling membantu dan saling menguntungkan.

Dalam Repelita VI akan terus diupayakan peningkatan kerja


sama internasional dalam rangka studi dan alih teknologi di bidang
geologi dan sumber daya mineral, baik secara bilateral maupun
multilateral.

Kerja sama di bidang komoditas pertambangan mineral dan


energi terutama dengan badan-badan internasional, akan ditingkat-
kan. Di bidang penelitian dan pengembangan akan dilakukan kerja
sama internasional antara lain dengan Korea, Jepang, Amerika
Serikat, Australia, Jerman, dan berbagai negara berkembang.
Demikian juga, diusahakan peningkatan pemanfaatan data dan
informasi dari badan-badan internasional sebagai bahan evaluasi
guna menetapkan strategi pengembangan industri pertambangan
nasional.

VI. RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN


DALAM REPELITA VI

Program-program pembangunan tersebut di atas dilaksanakan


baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam program-
program tersebut, yang merupakan program dalam bidang
pertambangan, yang akan dibiayai dengan anggaran pembangunan
selama Repelita VI (1994/95 - 1998/99) adalah sebesar
Rp.439.840,0 juta. Rencana anggaran pembangunan pertambangan
untuk tahun pertama dan selama Repelita VI menurut sektor, sub
sektor dan program dalam sistem APBN dapat dilihat dalam
Tabel 25-3.

303
Tabel 25 – 3

RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN


Tahun Anggaran 1994/95 dan Repelita VI (1994/95 — 1998/99)

(dalam juta rupiah)


No.
Kode Sektor/Sub Sektor/Program 1994/95 1994/95 — 1998/99

07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI

07.1 Sub Sektor Pertambangan

07.1.01 Program Pengembangan Geologi dan Sumber Daya Mineral 43.870,0 287.350,0
07.1.02 Program Pembangunan Pertambangan 23.000,0 141.570,0
07.1.03 Program Pengembangan Usaha Pertambangan Rakyat
Terpadu 1.000,0 10.920,0

304
~.ullml
l

Anda mungkin juga menyukai