Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
JAWA BARAT
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Sejarah Islam Sunda Dosen
Pengampu: Moeflich Hasbullah, MA dan Usman Supendi, M.Pd
Oleh:
Penyusun,
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Simpulan ........................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Sartono Kartodiordjo (1987) para penguasa kerjaan di
Pesisir Pantai Utara Jawa selain memegang tampuk pemerintahan, juga
terlibat dalam perdagangan dan agama. Menurut De Graaf (2001) Sejak
abad 11 Masehi di pesisir Utara Jawa telah memiliki pemukiman-
pemukiman Muslim, sehingga Islam dapat berkembang di daerah tersebut.
Selain itu, cepatnya penyebaran agama Islam di pesisir maupun di
pedalaman Jawa tidak dapat dilepaskan dari peranan para wali yang
tergabung dalam kelompok Wali Songo. Secara politik, periode ini
merupakan pemantapan institusionalisasi Islam. Para wali di Pantai Utara
Jawa termasuk elite politik-religius.
Disamping kewibawaan ruhaniah menurut Sartono Kartodirdjo
(1987), mereka juga berperan di bidang politik, antara lain ada yang
memegang kekuasaan pemerintahan. Keterpaduan antara dua jenis
kekuasaan tidak bertentangan baik itu dengan konsep Islam tentang
kekuasaan maupun konsep (Hindu)-Jawa tentang kekuasaan raja. Peran
dan kedudukan para wali dapat dilihat dari beberapa karakternya di
antaranya adalah: 1. Wali tidak mengembangkan atau memperluas
wilayah, tetapi menjalankan pengaruh melalui lembaga-lembaga
pesantren seperti yang dilakukan oleh Sunan Giri. 2. Wali tidak
mengembangkan pengaruh politik dan mengembangkan kekuasaan politik
kepada tangan raja seperti yang dilakukan oleh Sunan Kudus, Sunan
Bonang, dan Sunan Kalijaga. 3. Wali mengembangkan wilayah dan
membuat lembaga kerajaan serta sekaligus mengembangkan agama Islam
seperti yang diperankan oleh Sunan Gunung Djati baik di Cirebon maupun
Banten.
1
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat
dibuat perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi Sunan Gunung Djati?
2. Bagaimana Peran Sunan Gunung Djati Dalam Penyebaran Islam
Di Jawa Barat?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penyusunan makalah ini adalah
untuk:
1. Mengetahui bagaimana biografi Sunan Gunung Djati?
2. Mengetahui bagaimana Peran Sunan Gunung Djati Dalam
Penyebaran Islam Di Jawa Barat?
BAB II
PEMBAHASAN
4
5
Siti Winahon, lebih dikenal dengan nama Ratu Ayu yang kemudian
menikah dengan salah seorang sultan Demak (Edi S EkaDjati, 1992:32).
Selain dengan Nhay Kawunganten Sunan Gunung Djati juga
menikah dengan Nyi Mas Siti Babadan, dari Babadan, Cirebon.
Perkawinannya yang lain adalah dengan Rara Djati dari kalangan ningrat
Cirebon. Dari perkawinan ini lahir dua orang putera, yaitu Jaya Kelana dan
Brata Kelana. Brata Kelana kemudian dikenal dengan nama Pangeran Seda
Lautan (pangeran yang meninggal di laut). Isteri Sunan Gunung Djati yang
lain bernama Nyi Mas Tepasari dari daerah Bumiayu, Brebes, memiliki
putera bernama Pangeran Pasarean yang kemudian menurunkan para Sultan
Cirebon (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Sunan Gunung Djati juga disebutkan menikahi seorang puteri dari
negeri Tiongkok bernama Ong Tien. Diceritakan bahwa pertemuan Sunan
Gunung Djati dengan Ong Tien terjadi ketika Sunan Gunung Djati
mengadakan kunjungan ke negeri Tiongkok. Dari pernikahan tersebut
mereka tidak dikaruniai anak (Abdurachman, ed., 1982: 37). Adanya
perkawinan antara Sunan Gunung Djati dengan Ong Tien dari Tiongkok
secara langsung maupun tidak langsung berdampak pula terhadap hubungan
dagang kedua negeri. Data arkeologi menunjukkan di sekitar Keraton
Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan di kompleks pemakaman Gunung
Sembung banyak ditemukan keramik yang berasal dari negeri Tiongkok
Pada usia 120 tahun tepatnya tahun 1568 Sunan Gunung Djati wafat
dan dimakamkan di Pasir Djati, yaitu di daerah Gunung Sembung, sekitar
15 kilometer sebelum Kota Cirebon dari arah barat (Agus Sunyoto,
2011:90). Setelah Sunan Gunung Djati wafat, pemerintahan di Cirebon
dilanjutkan oleh Pangeran Mas yang bergelar Pangeran Ratu atau
Panembahan Ratu (1570-1640) (Graaf, 1986: 254). Purwaka Caruban
Nagari menyebut Panembahan Ratu memerintah sampai tahun 1649, tetapi
sumber lain menunjuk tahun 1650.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, tahun 1628, terjadi
serangan Mataram terhadap VOC di Batavia, dan pada tahun itu pula terjadi
7
kepada Sunan Gunung Djati untuk berguru agama Islam. Pada awalnya
kepala-kepala daerah di sekelilingnya mencoba menentang gerakan itu.
Tetapi mereka melihat tentangannya tidak berguna, mereka membiarkan
diri mereka sendiri terseret oleh gerakan tersebut. Para bupati seperti Galuh,
Sukapura, dan Limbangan menerima dan memelukagama Islam dan
menghormati Sunan Gunung Djati. Para penguasa di sekitar Cirebon
menganggap bahwa Sunan Gunung Djati adalah sebagai peletak dasar bagi
dinasti sultan-sultan Cirebon.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sunan Gunung Djati
menggunakan sistem desentralisasi. Adapun pola kekuasaannya Kerajaan
Islam Cirebon menggunakan pola Kerajaan Pesisir, di mana pelabuhan
mempunyai peranan yang sangat penting dengan dukungan wilayah
pedalaman menjadi penunjang yang vital. Struktur pemerintahan Kerajaan
Islam Cirebon menurutCarita Purwaka Caruban Nagari, terdiri dari
Tumenggung sebagai pemimpin tertinggi, kemudian penasehat, dan
pimpinan tentara atau lasykar yaitu para Adipati, kemudian para pemimpin
wilayah yang lazim disebut dengan Ki Gedeng.Adapun program-program
yang dijalankan dalam memipin pemerintahan di Cirebon, menurut Sunarjo
(1983) Sunan Gunung Djati adalah intensitas pengembangan agama Islam
ke segenap penjuru Tatar Sunda. Sedangkan di bidang ekonomi Sultan
menekankan bidang perdagangan terutama dengan nagari-nagari di wilayah
Nusantara. Selain itu dikembangkan pula hubungan perdagangan dengan
negeri Campa, Malaka, Cina, India, dan Arab. Setelah membangunan
kekuatan-kekuatan ekonomi,
Sunan Gunung Djati sebagai kepala pemerintahan melakukan
penataan pemerintahan baik di pusat maupun di wilayah-wilayah nagari.
Untuk kelancaran pemerintahan, maka Sultan menempatkan kerabat-
kerabat dan ulama-ulama sebagai unsur pimpinan pemerintahan baik pusat
maupun daerah.Menyadari posisi Cirebon sebagai pusat penyebaran agama
Islam, pusat kekuasaan politik, serta pusat perekonomian yang sangat
strategis, maka Sunan Gunung Djati mempercepat pengembangan kota
11
tersebut. Untuk hal itu, maka ia menjalin hubungan dengan Kerajaan Islam
Pesisir Utara Jawa yaitu Kerajaan Islam Demak.
PENUTUP
A. Simpulan
Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah, yang tadi sudah di
jelaskan bahwa ia adalah anak seorang puteri raja Pajajaran bernama Rara
Santang atau Syarifah Mada’in, yang menikah dengan Maulana Sultan
Mahmud atau Syarif Abdullah. Sunan Gunung Djati merupakan cucu dari
Raja Pajajaran yaitu Prabu Siliwangi. Pada masa remajanya Sunan Gunung
Djati berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili
di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf. Lalu, pada usia
120 tahun tepatnya tahun 1568 Sunan Gunung Djati wafat dan dimakamkan
di Pasir Djati, yaitu di daerah Gunung Sembung, sekitar 15 kilometer
sebelum Kota Cirebon dari arah barat.
Penyebaran Islam di Jawa Barat, tidak dapat dilepaskan dari gerakan
Islamisasi Jawa yang dilakukan oleh Wali Sanga secara integral.
Penyebaran agama Islam di Jawa Barat tidak terlepas dari perannan tokoh
Sunan Gunung Djati seorang wali yang juga seorang Raja. Selain
menyebarkan agama Islam, Sunan Gunung Djati telah menjadi peletak dasar
bagi kekuasaan politik Islam di Jawa Barat yang meliputi Banten dan
Cirebon. Sebelum Sunan Gunung Djati menyebarkan Islam di tatar Sunda,
di Cirebon sudah ada gerakan penyebararan agama Islam yang dipelopori
oleh Haji Purwa di Cirebon, Syekh Quro di Karawang dan Syekh Datuk
Kahfi di Cirebon. Gerakan Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung
Djati dilakukan dengan pendekatan agama, ekonomi, politik dan kultural.
Dengan pendekatan tersebut maka dalam waktu yang relatif singkat Islam
dapat menyebar hampir keseluruh wilayah Jawa Barat.
14
DAFTAR PUSTAKA
Ekadjati, Edi S. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat, Jakarta: Interumas Sejahtera
HS, Matsuki dan M. Ishom El-Saha (edit.), 2003. Intelektualisme Pesantren: Potret
Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di era Pertumbuhan Pesantren, Jakarta: Diva
Pustaka
Kurnia, Dadang. Metode Dakwah Sunan gunung Jati (Suatu Tinjauan dari Sudut
Pandang Antropologi Pendidikan), Jurnal Pendidikan Dasar Volume : V- Nomor :
7-April 2007
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2014. Api Sejarah Jilid Kesatu Edisi Revisi.
Bandung: Suryadinasti
Sutrisno, Budiono Hadi. 2009 Sejarah walisongo Misi PengIslaman di Tanah Jawa.
Yogyakarta: Graha Pustaka.
Uka Tjadrasasmita, 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota – Kota Muslim
di Indonesia. Kudus: Menara Kudus.