Sejak lahir manusia memiliki harkat, martabat, hak dan kewajiban yang sama. Tetapi
Indonesia pada zaman penjajahan belum ada penghargaan, pengakuan terhadap kesederajatan
umat manusia baik individu maupun kelompok bangsa. Perbudakan, penguasaan terjadi hampir
di seluruh belahan nusantara. Sehingga mereka berperang melawan penjajah untuk menuntut hak
asasi mereka yaitu hak untuk merdeka dan menghapus adanya penjajahan. Setelah Indonesia
merdeka hak asasi manusia masih sering dilanggar. Sejak reformasi 1998 lalu, bangsa Indonesia
mengalami banyak peristiwa, baik peristiwa politik, sosial, maupun ekonomi yang memicu
kekerasan. Krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan membuat situasi negara rawan
terhadap usaha-usaha yang bertujuan mengganggu masyarakat seperti seperti Extra Ordinary
Crimes.
Extra Ordinary Crimes dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kejahatan luar biasa.
Kejahatan luar biasa disini adalah pelanggaran HAM berat. Extra Ordinary Crimes adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan hak asasi umat manusia lain,
telah disepakati sacara internasional sebagai pelanggaran HAM berat yang berada dalam
yuridiksi International Criminal Court dan Statuta Roma, mendapatkan hukuman seberat-
beratnya termasuk hukuman mati bagi pelaku kejahatan tersebut. Yang termasuk dalam Extra
Ordinary Crimes yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang,
dan kejahatan agresi.
Hukuman mati, penjara, penjara seumur hidup menbayangi para pelaku Extra Ordinary
Crimes. Walaupun sudah menjadi permasalahan klasik, pro-kontra seputar penerapan hukuman
mati tetap menjadi perdebatan serius di kalangan masyarakat dunia, termasuk juga Indonesia.
Seiring dengan berkembangnya zaman dan berkembangannya pengetahuan akan HAM, kini
gagasan mengenai humanisme atau nilai-nilai kemanusiaan universal mulai marak diwacanakan
diberbagai penjuru dunia,. Sehingga adanya hukuman mati menjadi tidak logis lagi dalam
kehidupan modern saat ini. Dengan kata lain, menurut para pembela HAM, dinamisasi hukum
pidana di dunia saat ini telah bergeser dari teori pembalasan ke teori rehabilitasi, di mana teori
tersebut bersifat clinic treatment. Pada akhirnya, muncullah perdebatan di kalangan masyarakat
seputar perlu tidaknya penerapan hukuman mati di Indonesia saat ini. Namun, alih-alih
menemukan titik temu atau kesepahaman, perdebatan seputar hukuman mati, justru kian
1
meruncing. Mereka kian kukuh dengan argumennya masing-masing, bahkan cenderung ekstrem,
baik yang mendukung atau menolak hukuman mati.
Lalu apa yang dimaksud dengan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan? Mengapa kejahatan tersebut merupakan pelanggaran HAM berat? Bagaimana
penyelesaian hukumnya apakah pantas di negara pecinta damai seperti negara Indonesia
menerapkan hukuman mati?
Nah sebelum semuanya terjawab, saya akan mempaparkan sedikit hal mengenai apa itu
HAM dan hal –hal yang berkaitan dengannya.
Pengertian hak asasi manusia menurut UU no. 39 tahun 1999 :
“Hak assasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Dari beberapa sumber lainnya dapat disimpulkan pengertian dan definisi HAM :
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak di dalam kandungan yang
bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugrah Tuhan yang berlaku seumur hidup dan tidak
dapat digugat siapa pun dan harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu,
masyarakat maupun negara. HAM itu tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM
adalah bagian dari manusia secara otomatis. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang
jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa. Dan HAM
tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak
orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak
melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
Dimulai dari definisinya,berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM, Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.
2
Jika ditinjau berdasarkan tingkat pelanggarannya maka pelanggaran HAM
dikelompokkan menjadi 2, yaitu: pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM ringan.
1. Pelanggaran HAM berat
Pelanggaran HAM berat di kelompokkan menjadi 2 yaitu kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
a. Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok
etnis, kelompok agama, dengan cara :
1) Membunuh anggota kelompok;
2) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
3) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara
fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
5) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan
b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa “serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” (suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan
terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan yang berhubungan dengan organisasi),
berupa:
1) Pembunuhan (sebagaimana tercantum dalam Ps. 340 KUHP);
2) Pemusnahan (meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan
sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-
obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk);
3) Perbudakan (dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan
wanita dan anak-anak);
4) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa (pemindahan orang-orang secara
paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah mana mereka
bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum
internasional);
3
5) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6) Penyiksaan (dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan
yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang
berada di bawah pengawasan);
7) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau strilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
8) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tentang perkumpulan yang didasari persamaan
paham politik, ras. kebudayaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang
telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9) Penghilangan orang secara paksa (yakni penangkapan, penahanan atau penculikan
seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan
organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau
untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud
untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang; atau
10) Kejahatan apartheid (perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat
yang disebutkan dalam kejahatan genosida yang dilakukan dalam konteks suatu rezim
kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu
kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dilakukan dengan maksud untuk
mempertahankan rezim itu).
(Diambil dari UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM)
2. Pelanggaran HAM ringan
Semua bentuk pelanggaran diluar pelanggaran HAM berat digolongkan ke dalam
pelanggaran HAM ringan. Jika dilihat secara umum, pelanggaran HAM dapat disebabkan oleh
empat hal. Pertama, kesewenangan (abuse of power) yaitu tindakan penguasa atau aparatur
negara terhadap masyarakat di luar atau melebihi batas-batas kekuasaan dan wewenangnya yang
telah ditetapkan dalam perundang-undangan. Kedua, pembiaran pelanggaran HAM (violation by
ommission) yaitu tidak mengambil tindakan atas suatu pelanggaran HAM. Ketiga, sengaja
melakukan pelanggaran HAM (violation by commission). Dan keempat, pertentangan antar
kelompok masyarakat.
4
Nah, setelah kita tahu apa itu pelanggaran HAM berat, berikut beberapa contoh kejahatan
Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi dan penyelesaian hukumnya.
1, Di dunia Internasional
Dua menara kembar WTC ditabrak pesawat komersial pada 11 September 2001 yang
dilakukan oleh teroris Al Qaeda dan George Bush menyatakan perang terhadap terorisme
internasional. Kemudian setahun kemudian 12 Oktober 2002 ada BOM meledak di Bali.
Australia dan Amerika masuk memberi “Bantuan“ teknik penanganan Terorisme kemudian enam
hari berikutnya, yaitu tanggal 18 Oktober 2002 terbit PERPU No. 1 th 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diikuti Skep Kapolri No: 30/VI/2003 tanggal 20 Juni
2003 tentang Pembentukan Detasemen Khusus Anti Teror 88. Dimana satuannya secara resmi
baru terbentuk pada 26 Agustus 2004. Satuan ini banyak terkait dengan campur tangan Australia
dan Amerika Serikat. Bantuan berupa pelatihan, kerja sama operasi, informasi dan teknologi,
menjadikan kesatuan ini mempunyai hubungan emosional dan rasional lebih dekat kepada
Amerika Serikat dan Australia, katimbang dengan mabes POLRI. Densus 88 hanya
diperkenankan menangani tindak pidana “terorisme“ khusus dalam pengertian terorisme oleh
umat Islam Garis keras. Mabes POLRI tidak bisa menggunakan DENSUS 88 untuk menangani
Terorisme yang ada dalam wadah sparatisme .
2. Kasus terorisme Bom Bali 1
Kasus terorisme Bom Bali dilakukan oleh Amrozi cs. Kasus tersebut telah
menghilangkan nyawa banyak orang dan menghilangkan ‘hak hidup’ orang lain. Penyelesaian
hukumnya yaitu Amrozi cs terpidana hukuman mati. Pemerintah membentuk Perpu No 1 tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian telah disahkan
menjadi undang-undang. Dalam salah satu pasalnya berbunyi: “Setiap orang yang dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa
takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
5
3. Kasus Sampang, Madura
Sudah setahun ratusan warga Syiah (1/9 2013) terusir dari rumahnya di dusun Nang
Kemang, Sampang, Madura setelah rumah mereka ludes dibakar oleh sekelompok orang.
Seorang perempuan pengikut Syiah dari Sampang, Madura membawa anaknya mengadu atas
aksi kekerasan terhadap komunitasnya kepada sejumlah LSM. Anggota tim dari Komisi Nasional
Perempuan, Andi Yentriani menyebut pembiaran berlarut yang dilakukan Pemerintah terhadap
pengikut Syiah Sampang bisa mengarahkan dan berpotensi kepada kejahatan genosida.
“Melakukan pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa kepada kelompok Syiah
Sampang, mengindikasikan dan juga berpotensi pada kejahatan genosida sebagaimana diatur
dalam Undang-undang tentang pengadilan HAM,” tegas Yentriani. Laporan itu sengaja dirilis
genap setahun mereka terusir. Kini mereka direlokasi ke luar dari Madura dan menempati tempat
pengungsian rumah susun yang disediakan oleh pemerintah di Kabupaten Sidoarjo. Laporan
keempat lembaga komisi negara itu menyatakan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan
dan anak-anak menjadi bagian integral dalam konflik Sampang. Banyak anak warga Syiah di
pengungsian kehilangan tempat tinggal dan rasa aman, layanan pendidikan serta kesehatan.
4. Kasus antar suku di Sambas Kalimantan Barat
Tampaknya agama dan suku sering menjadi pemicu meletusnya konflik dan kerusuhan di
Indonesia. Tak peduli dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu kita orang
Indonesia. Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pun tak melekat dalam hati. Dan inilah yang
terjadi di Sambas, Kalimantan Barat. Dimana telah terjadi kerusuhan besar antar suku yang
menyebabkan banyaknya jatuh korban jiwa di Sambas (1970-1999). Sekali lagi HAM telah
dinodai. Kerusuhan Sambas merupakan peristiwa pecahnya pertikaian antar etnis pribumi
dengan pendatang, yakni suku Dayak dengan Madura yang mencapai klimaks pada tahun 1999.
Akibat pertikaian tersebut, data menyebutkan terdapat 489 orang tewas, 202 orang mengalami
luka berat dan ringan, 3.833 pemukiman warga diobrak-abrik dan dimusnahkan, 21 kendaraan
dirusak, 10 rumah ibadah dan sekolah dirusak, dan 29.823 warga Madura mengungsi ke daerah
yang lebih aman.
5. Korupsi
Korupsi yang terjadi di Indonesia semakin marak dilakukan oleh pejabat penting. Kasus
Gayus tambunan, Andi malaranggeng, kasus korup daging sapi dan masih banyak lagi.
Penyelesaian hukum di Indonesia dengan maksimal 15 tahun penjara. Bukan hukuman mati.
6
Nah, bisakah hukuman mati bagi para pelaku kejahatan berat terutama di Indonesia yang konon
cinta damai itu berlaku?
Menurut saya, Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
yang telah saya paparkan di atas, menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku teroris juga
melanggar UUD 1945 terutama Pasal 28 tentang Hak Asasi manusia. Tak seharusnya pemerintah
menjatuhkan hukuman mati untuk pelaku karena merebut hak hidup (pasal 28A) pelaku.
Perampasan hak hidup mengakibatkan perampasan HAM yang lainnya seperti hak meneruskan
keturunan(pasal 28B), mengembangkan diri, dan sebagainya. Dalam UUD 1945 tentang HAM
tidak disebutkan adanya pengecualian tentang perlindungan HAM atau hak sama dalam
mendapat perlindungan hukum, artinya perlindungan terhadap HAM adalah hak seluruh
penduduk Indonesia.
Pelaku kejahatan salah, kita juga salah. Tidak hanya pelaku teroris saja melainkan para
narapidana yang lain, walaupun mereka salah tetapi mereka masih berhak untuk hidup dan
menjalankan kehidupannya. Biarlah Tuhan yang menghukum mereka. Tuhan maha Adil. Karena
hukuman mati itu mematikan seseorang sebelum dia bertaubat, dan dalam agama dimurkai oleh
Allah. Akan lebih baik jika hukuman tertinggi adalah hukuman seumur hidup. Diharapkan
pelaku dapat bertaubat dari kejahatannya serta dapat melanjutkan hidupnya dalam penjara.
Meskipun telah banyak korban yang berjatuhan karena kejahatannya, namun ia sebagai manusia
tetap memiliki HAM yang dilindungi UUD 1945 dan kesempatan menjalankan kewajiban
perintah agama kepada Tuhan Yang Maha Esa lebih banyak.
Tetapi ada pendapat yang menyatakan hukuman mati digantikan dengan hukuman
seumur hidup akan menyebabkan semakin beratnya beban keuangan pemerintah. Bagaimanakah
solusinya? Jika pemerintah punya niat yang baik untuk benar-benar melindungi HAM para
pelaku kejahatan, pasti ada jalan keluar untuk masalah tersebut. Pemerintah dapat memulai
melatih ketrampilan pada narapidana agar mereka dapat hidup mandiri walaupun mereka berada
dalam penjara. Sepert melatih para tahanan untuk membuat benda-benda yang bernilai ekonomis
misalnya membuat perabot rumah tangga, membuat hiasan,dll.Hasil kerja keras mereka dapat
ditabung untuk membiayai kehidupan mereka. Tentu saja pemberdayaan sumber daya manusia di
dalam penjara dapat dilakukan secara maksimal setelah para tahanan bertaubat dan kembali
menjadi manusia yang baik akhlak dan perbuatannya.