Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara kepuluan dimana 75 % luasnya merupakan
laut. Laut Indonesia merupakan salah satu sumber daya alam yang banyak dimanfaatkan.
Salah satu keanekaragaman pada laut Indonesia yaitu organisme laut di Indonesia.
Keragaman ini didasarkan atas kondisi laut Indonesia yang sangat luas dan beragam mulai
dari suhu, tekanan, dan nutrien. Keragaman – keragaman tersebut mencerminkan ting-
ginya keanekaragaman organisme laut dan senyawa – senyawa bioaktifnya. Wilayah
yang kaya akan perairan ini menjadikan melimpahnya sumber daya hayati laut dan keane-
karagaman hayati laut (megabiodiversity). Dari organisme laut tersebut banyak dian-
taranya memiliki potensi yang tinggi dalam bidang farmasetika (Bhadury, 2004).
Senyawa antibakteri dari mikroalga banyak yang belum teridentifikasi, namun ada be-
berapa yang telah diketahui komponen penyusunnya, diantaranya adalah senyawa fenol,
aplysiatoxin, phlorotannins, peptida, terpen, polisakarida, polyacetylenes, sterol, alkaloid,
asam organik aromatik, asam shikimat, poliketida, hidroquinon dan asam lemak (Shannon
dan Abu-Ghannam, 2016). Desbois & Smith (2010) menyatakan bahwa senyawa antibak-
teri berupa asam lemak, asam lemak jenuh dan tidak jenuh dengan rantai panjang mem-
iliki akivitas bakterisida. Selain itu, asam lemak yang memiliki atom karbon lebih dari
sepuluh juga diketahui dapat menyebabkan lisis protoplasma pada bakteri yang dapat
mengakibatkan kematian bakteri. Asam lemak dari mikroalga juga telah digunakan dalam
pengobatan penyakit inflamasi, parkinson, sklerosis ganda, premenstrual syndrome, pen-
yakit jantung dan gangguan kesehatan lainnya. Sumber keragaman hayati di laut ini seba-
gian telah diteliti kandungan bioaktifnya agar dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan industri terutama pangan dan obat-obatan (Ireland, 1993).
Keanekaragaman hayati laut seperti hutan bakau, terumbu karang, makroalga, dan
mikroalga merupakan kekayaan alam yang potensial memiliki senyawa bioaktif untuk anti-
bakteri maupun antivirus. Bioaktif biota laut mempunyai efek nyata, karena mampu
menghasilkan senyawa biotoksin yang mempunyai aktifitas biologis terhadap organisme
lainnya.Biota laut merupakan suatu kekayaan alam dan suatu anugrah dari Tuhan Yang
MahaEsa yang tak ternilai harganya. Telah banyak usaha dilakukan oleh peneliti-peneliti
untuk menemukan sesuatu yang baru dari biota-biota laut. Awal dari penelitian yang tak
kenal lelah ini yakni ketika ditemukannya senyawa bioaktif baru dari biota laut dan tidak
pernah ditemukan dari biota darat (Kumari, 2013).

1
Organisme laut menghasilkan berbagai senyawa dengan aktivitas farmakologis, terma-
suk anti kanker, antibakteri, antijamur, antiviral, antiinflamasi dll, dan merupakan sumber
yang potensial untuk obat baru. Organisme laut bertahan hidup dalam ekosistem yang
kompleks dan hidup berdekatan dengan organisme lain yang saling berkompetisi. Organ-
isme laut menghasilkan metabolit sekunder sebagai respon terhadap perubahan ekologi,
seperti persaingan tempat tinggal, pertahanan diri dari predator dan perubahan pasang
surut air laut. Beberapa senyawa metabolit ini memiliki aktivitas antibakteri yang meng-
hambat pertumbuhan mikroorganisme kompetitif (Manilal, 2012).
Mikroorganisme telah mengembangkan strategi baru untuk menggantikan antibiotika,
yang pada saat ini telah menyebabkan resistensi baktert terhadap antibiotika. Dengan pen-
ingkatan resistensi pathogen terhadap antibiotika, menjadikan pencarian dan pengem-
bangan agen antimikroba dari alam menjadi prioritas. Dengan efek terapi yang lebih baik
dan efek samping yang sedikit dari antibiotika, bioavabilitas yang bagus, dan toksisitas
yang minimal menjadikan penggunaan antimicrobial alam menjadi pilihan utama me-
nangani resistensi antibiotic.

Biota laut merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Berbagai usaha telah
dilakukan manusia untuk menyingkap rahasia yang terkandung dalam biota laut dan
produknya. Usaha yang tak kenal lelah mulai menunjukkan hasil dengan ditemukannya
berbagai jenis senyawa bioaktif baru (novel compounds) yang tidak ditemukan pada biota
darat. Sejak tahun 1970-an, perhatian mulai tertuju pada penemuan obat-obatan dari laut.
Hal ini ditandai dengan adanya kolaborasi antara peneliti dari berbagai institusi dengan
farmakolog yang menghasilkan suatu kemajuan besar dalam penemuan obat-obatan dari
biota laut. Sebagai gambaran, lebih dari 10.000 senyawa bioaktif telah berhasil diisolasi
dari biota laut dan sekitar 300 paten dari senyawa tersebut telah berhasil dipublikasi sela-
ma kurun waktu 30 tahun (1969-1999) (Ahmad, 1995).
Biota-biota yang tidak bertulang belakang (invertebrata) seperti spons, koral dan tu-
nikat mengandung senyawa bioaktif yang lebih banyak dibanding alga dan tumbuhan
darat. Diantara biota laut tak bertulang belakang tersebut, spons menduduki tempat teratas
sebagai sumber substansi aktif. Spons merupakan hewan yang sangat sederhana yang
merupakan peralihan dari hewan bersel tunggal menuju hewan tingkat tinggi namun be-
lum mempunyai organ dan sistem syaraf (Sjogren, 2006). Berbagai macam senyawa telah
berhasil diisolasi dari biota ini diantaranya adalah alkaloid, terpenoid, acetogenin, senya-
wa nitrogen, halida siklik, peptide siklik dan lain-lain. Senyawa-senyawa ini merupakan
hasil metabolisme sekunder dari biota spons. Hasil metabolisme sekunder ini mempunyai

2
keaktifan sebagai antimikroba, antivirus, antikanker yang sangat berguna sebagai bahan
baku obat (Sjogren, 2006).
Berbagai penelitian menunjukan bahwa biota laut memiliki potensi yang sangat besar
dalam menghasilkan senyawa-senyawa aktif yang dapat digunakan sebagai bahan baku
obat. Sejak tahun 1980-an, perhatian dunia pengobatan mulai terarah ke biota laut yang
diketahui dapat menghasilkan senyawa aktif salah satu biota laut yang berpotensi untuk
bahan baku obat adalah karang lunak. Karang lunak merupakan sumber yang kaya akan
senyawa bioaktif seperti terpenoid, steroid, dan steroid glikosida.
Pada makalah ini akan dibahas biota-biota laut yang memiliki senyawa-senyawa yang
berfungsi sebagai antibakteri.

1.2 Rumusan Masalah


 Biota laut apa saja yang memiliki aktivitas antibakteri?
 Senyawa apakah yang berfungsi sebagai antibakteri pada biota laut?

1.3 Tujuan
 Untuk mengetahui biota laut yang memiliki aktivitas antibakteri.
 Untuk mengetahui senyawa yang pada biota laut yang berfungsi sebagai antibakteri.

3
BAB II
ISI
2.1 Spons
Spons (porifera) merupakan biota laut multi sel yang fungsi jaringan dan organnya san-
gat sederhana. Habitat spons umumnya adalah menempel pada pasir, batu-batuan dan karang-
karang mati. Biota laut ini dikenal dengan "filter feeders", yaitu mencari makanan dengan
mengisap dan menyaring air melalui sel cambuk dan memompakan air keluar melalui osku-
lum. Partikel-partikel makanan seperti bakteri, mikroalga dan detritus terbawa oleh aliran air
ini.
Habitat spons yang melekat pada pasir atau bebatuan menyebabkan hewan ini sulit un-
tuk bergerak. Untuk mempertahankan diri dari serangan predator dan infeksi bakteri patho-
gen, spons mengembangkan system "biodefense" yaitu dengan menghasilkan zat racun dari
dalam tubuhnya, zat ini umumnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan farmasi.
Indonesia mempunyai banyak keanekaragaman jenis spons, dan berdasarkan ekspedisi
Snellius-II terdapat 830 ditemukan dari perairan Indonesia Timur.
Berikut ini merupakan spesies-spesies spons yang dapat dijadikan sebagai antimikroba :
a. Agelas cavernosa

Agelas cavernosa

Klasifikasi ilmiah

Kingdom: Animalia

Subkingdom: Parazoa

4
Filum: Porifera

Kelas: Demospongiae

Ordo: Agelasida

Famili: Agelasidae

Genus: Agelas

Spesies: Agelas cavernosa

Agelas cavernosa adalah spesies spons yang tergolong dalam kelas Demospongiae.
Spesies ini juga merupakan bagian dari genus Agelas dan famili Agelasidae. Nama ilmiah
spesies ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1903 oleh Thiele.
Seperti spons pada umumnya, spesies ini memiliki tubuh yang berpori dan permukaan
yang keras seperti batu. Selain itu, Agelas cavernosa juga dapat me-
nyerap oksigen dari air melalui proses difusi.
Ekstrak etanol Agelas cavernosa dapat menghambat pertumbuhan Pseudomonas ae-
ruginosa dengan KHM sebesar 150 ppm, Escherichia coli dengan KHM sebesar 200 ppm,
Staphylococcus aureus dengan KHM sebesar 250 ppm. Berdasarkan pustaka, aktivitas anti-
bakteri dapat dibagi menjadi 4 golongan berdasarkan harga KHM yakni KHM 1000 ppm (ter-
golong tidak aktif). Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa ekstrak spons A. caver-
nosa memiliki aktivitas antibakteri yang sedang terhadap ketiga bakteri tersebut. Beberapa
faktor yang mempengaruhi proses uji aktivitas antibakteri antara lain :
- konsentrasi bakteri yang ditambahkan pada agar (jumlah inokulum)
- adanya patogen kontaminasi),
- suhu pertumbuhan,
- waktu inkubasi dan kandungan nutrient.
Selain itu faktor penting yang juga harus diperhatikan untuk mencapai hasil yang baik
adalah galur mikroba uji yang digunakan karena pada galur yang berbeda terdapat perbedaan
tingkat kepekaan (andika,2017)

b. Dictyonella Funicularis

5
spons Dictyonella funicularis memiliki daya hambat terhadap bakteri uji Staphylococ-
cus aureus dan Eschericia coli. Ekstrak spons Dictyonella funicularis memiliki aktivitas anti-
bakteri yang cukup kuat dibandingkan ekstrak spons Phyllospongia lamellosa. Hal ini karena
adanya perbedaan daya hambat yang muncul.
c. Phyllospongia lamellosa

Phyllospongia lamellosa

Klasifikasi ilmiah

Kingdom: Animalia

Subkingdom: Parazoa

Filum: Porifera

Kelas: Demospongiae

Spesies: Phyllospongia
lamellosa

Phyllospongia lamellosa adalah spesies spons yang tergolong dalam ke-


las Demospongiae. Spesies ini juga merupakan bagian dari kelas Demospongiae, fi-
lum Porifera, subregnum Parazoa, dan kingdom Animalia.
Seperti spons pada umumnya, spesies ini memiliki tubuh yang berpori dan permukaan
yang keras seperti batu. Selain itu, Phyllospongia lamellosa juga dapat me-
nyerap oksigen dari air melalui proses difusi.
Ekstrak dari spons Phyllospongia lamellosa juga dipastikan memiliki senyawa anti-
bakteri. Penelitian oleh Undap (2016) dan Dajoh (2004) menunjukkan adanya senyawa dari
Phyllospongia lamellosa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Penelitian tersebut

6
serupa dengan penelitian ini yaitu tentang spesies Phyllospongia lamellosa yang diambil dari
Perairan Bunaken yang juga memiliki kandungan senyawa antibakteri.

.
2.2 Alga Hijau

Alga adalah organisme berklorofil, tubuhnya merupakan thalus, alatreproduksi pada


umumnya berupa sel tunggal, meskipun ada juga alga yang alat reproduksinya berupa banyak
sel (Sulisetjono, 2009).

Chlorophyta (alga hijau) adalah salah satu kelas dari alga yang sel-selnyabersifat eukariotik
(materi inti dibungkus oleh membran inti), pigmen korofilterdapat dalam jumlah terbanyak
sehingga alga ini berwarna hijau. Pigmenlain yang dimiliki adalah Karoten dan Xantofil.
Klorofil dalam pigmen lainterdapat dalam kloroplas yang bentuknya bermacam-macam
antara lainmangkuk, gelang, pita spiral, jala dan bintang (Hasnunida, 2007).

Lebih dari 7000 spesies alga hijau telah diidentifikasi. Sebagian besar di antaranya hidup di
air tawar, akan tetapi ada juga yang merupakan spesieslaut. Berbagai spesies alga hijau
uniselular hidup sebagai plankton ataumenghuni tanah yang lembab atau salju. Be-
berapa spesies lainnya hidupsecara simbiotik di dalam eukariota lainnya, yang
memberikan sebagianproduk fotosintesisnya untuk cadangan makanan inangnya.
klorophytamerupakan salah satu alga hidup simbiotik dengan fungsi dalam kumpulanmutual-
istik yang dikenal sebagai lichen atau lumut kerak (Romimohtarto,2007).

Alga hujau berkembang biak dengan membelah dengan membentukanzoospora aseksual


berflagella, atau secara seksual yaitu isogami danheterogami. Alga hujau ini uniselu-
lar, motil, dan tersebar luas di tanah dan diair tawar. Ukurannya berkisar antara 3 sampai 30
μm pada bentuk-bentukyang umum, dan alga ini motil, kecuali selama pembelahan sel
(Birsyam,1992).

Alga adalah tumbuhan laut yang di kelompokkan dalam 2 kelompok besaryaitu makro alga
(berukuran besar) dan mikro alga (berukuran kecil). Semua jenisalga selnya memiliki inti dan
plastid. Pada plastidnya mengandung zat warnaderivat klorofil yaitu klorofil-a atau klorofil-
b atau kedua-duanya dan zat warnalain seperti fikosianin, fikosantin , fikoeritrin, santofil, dan
karoten yang nantinyaakan menentukan nama dari kelompok alga tersebut (Tjitrosoepomo,
2005).

Alga terdiri atas 8 divisimenurut Sze (1986) yang didasarkan padamorfologi dan
pigmen pengektasi cahaya untuk fotosintesis, antara lain :

1 . divisiCyanophyta (cyanobacteria atau blue-green algae),

2 . divisi Prochlorophyta,

3 . divisiChlorophyta (green algae),

4 . divisi Chrysophyta,

5 . divisi Rhodophyta (red algae),


7
6 . divisi Pyrrophyta (=Pyrrhophyta=Dinophyta)

7 . divisi Cryptophyta, dan

8 . divisiEuglenophyta (euglenoids).

Chlorophyceae disebut juga alga hijau yang tergolong ke dalam divisiChlorophyta. Ke-
lompok ini merupakan eukariotik dan memiliki vegetasi terbesardibandingkandengan ke-
lompok lainnya. Tubuh alga ini berupa thallus. Strukturthallustersebut terbagi atas Blade,
Stipe dan Holdfast. Blade adalah bagian daunyang berbentuk pipih dari tallus. Holdfast ada-
lah bagian dari tallus berada dibawah yang berfungsi sebagai struktur yang merekat pada sub-
strat. Stipe adalahstruktur yang mendukung blade (Castro dan Huber, 2003).Alga hijau atau
kelas Chlorophyceaesangatmelimpah di perairan hangat(trofik) dan tercatat sedikitnya 12 ge-
nus alga hijau di Indonesia, diantaranya :Caulerpa, Ulva, Valonia (V. ventricosa), Dicty-
osphaera (D. caversona),Halimeda, Chaetomorpha, Codium, marga Udotea, Tydemania (T.
expeditionis),Burnetella (B. nitida), Burgenesia (B. forbisii), dan Neomeris (N. annula-
ta)(Romimohtarto dan Juwana 2009).

Ciri-ciri umum Chlorophyta :

1.Bentuk talus/struktur vegetatif

a. uniseluler nonmotil/kokoid / bulat : Chlorella sp.

b. uniseluler motil/berflagela: Chlamydomonas sp.

c. koloni nonmotil (kokoid ): Pediastrum sp., Hydrodictyon sp.

d. koloni motil (sel-sel dalam koloni mempunyai flagela) Volvox sp.

e. lembaran yang monostromatik: Monostroma sp.

f. berbentuk silinder yang beruang di tengah: Enteromorpha sp.

g. berbentuk filamen: bercabang: Cladophora sp.

h. tidak bercabang: Oedogonium sp., Spirogyra sp.

i. berbentuk sifon/spnositik: Caulerpa sp., Codium sp.

j. berbentuk helaian/lembaran yang distromatik: Ulva sp.

k. palmeloid: Tetraspora sp.

l. dendroid: Prasinocladus sp.

m. heterotrikh: Coleochaeta sp., Stigeoclonium sp.

2.Mengandung klorofil a dan klorofil b, serta pigmen tambahan karoten (kuning kemerahan)
dan xantofil (kuning).

3.Mempunyai inti sel

8
4.Mempunyai dinding sel yang tersusun 2 lapisan, lapisan dalammengandung selu-
lose dan lapisan luar tersusun atas pektin.

5.Hasil fotosintesis berupa amilum dan tersimpan dalam kloroplas.

6.Perkembangbiakan secara vegetatif, seksual dan aseksual.

7.Cadangan makanan berupa amilum, tersusun oleh amilosa danamilopektin.

8.Sebagian anggota memiliki flagel.

Habitat

Secara umum alga hijau terdapat didaerah yang terpapar cahaya matahari.Alga hijau hidup di
air tawar, ditanah atau tembok yang lembab, di salju, danmenempel ditubuh tumbuhan mau-
pun hewan. Contoh alga hijau yang hidupbersimbiosis mutualisme dengan organisme
eukariotik lain yaitu antaraChlorophyta dengan lumut kerak yaitu Trebouxia dan Pseudo-
trebouxia.

2.3 ALGA MERAH (Rhodophyta)

Rumput laut merupakan kelompok tumbuhan yang berklorofil yang terdiri atas satu
atau banyak sel dan berbentuk koloni apabila ditinjau secara biologi. Rumput laut mengan-
dung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral, dan juga senyawa
bioaktif. Beberapa rumput laut juga menghasilkan metabolit yang mempunyai aktivitas anti-
oksidan (Pakidi, 2016).

Perairan laut Indonesia memiliki beberapa jenis tumbuhan laut, salah satunya
didominasi oleh tumbuhan alga merah (Rhodophyceae) sebanyak 452 jenis. Selain itu, ter-
dapat sekitar 196 jenis alga hijau (Chlorophyceae) dan sekitar 134 jenis alga coklat (Phae-
ophyceae) yang tumbuh serta menempati perairan laut di Indonesia (Pakidi, 2016).

Alga adalah biota laut yang umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak
mempunyai akar, batang maupun daun sejati tetapi hanya menyerupai batang yang disebut
thallus. Alga tumbuh dengan mendekatkan dirinya pada karang lumpur, pasir, batu dan tum-
buhan lain secara spesifik (Laila, 2009). Untuk susunan tubuhnya, umumnya bersel banyak
(multiseluler), tetapi ada juga yang bersel tunggal (uniseluler) dan sering juga membentuk
filamen (benang) (Iryaningtyas, 2012).

Makroalga menghasilkan beberapa komponen bioaktif yang masuk ke dalam ke-


lompok lemak, asam lemak, polisakarida, dan pigmen serta metabolit sekunder seperti alka-
loid, fenol, lektin dan terpen (Perez et al, 2016). Oleh karena itu, makroalga memiliki manfaat
sebagai tanaman pengobatan. Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk menganalisis

9
aktivitas senyawa bioaktif makroalga, diantaranya alga merah sebagai antikanker (Duraikannu
et al. 2014) dan antibakteri (Omar et al, 2012), alga hijau sebagai antibakteri (Mishra et al,
2016) dan antioksidan (Basir et al, 2017), serta alga coklat sebagai antidiabetes dan anti-
inflamasi (Ji-Hyun et al. 2016).

Alga merah atau Rhodophyta adalah salah satu filum dari alga berdasarkan zat warna
atau pigmentasinya. Alga merah hidup di laut dan memiliki bentuk tubuh seperti rumput se-
hingga sering disebut dengan rumput laut. Walaupun sebagian besar alga merah hidup di laut
yang beriklim tropis tetapi ada juga sebagian kecil yang hidup di air tawar yang dingin dengan
aliran deras dan banyak oksigen (Lestari, 2009).

Alga merah berwarna merah sampai ungu, tetapi ada juga yang lembayung atau keme-
rah-merahan. Kromatofora berbentuk cakram atau lembaran dan mengandung klorofil a,
klorofil b, serta karotenoid. Akan tetapi, warna lain tertutup oleh warna merah fikoeritrin se-
bagai pigmen utama yang mengadakan fluoresensi (Rachmawati, dkk., 2009).

Alga merah merupakan jenis alga yang lebih banyak memiliki aktivitas biologi
dibandingkan dengan jenis alga lainnya. Senyawa-senyawa kimia yang ada pada alga merah
didominasi dari famili Rhodomelaceace. Alga merah merupakan sumber pembentuk utama
halogenated compunds seperti laurenterol (1), halomon (2), callicladol (3) dan senyawa
lainnya (Kladi et al., 2003;Cabrita et al., 2010).

Halogenated compunds memiliki beragam aktivitas seperti antibakteri, antifungi, anti-


inflamasi, iktiotoksik, sitotoksik, dan insektisidal. Selain itu, alga merah juga mengandung
terpenoid, polieter, asetogenin, beberapa asam amino, sikimat, serta derivat asam nukleat dan
asetat (Maschek, et al., 2008; Kladi et al., 2003; Cabrita et al., 2018; Pedersen et al., 1974;
dan Ayyad et al., 2011).

Berbagai Aktivitas Biologi Alga Merah

Terdapat beberapa jenis alga merah yang diketahui memiliki aktivitas antibakteri.
Senyawa antibakteri ini diisolasi dari alga merah seperti Laurencia spp., Gracillaria spp., Ac-
anthophora spp., dan spesies alga merah lainnya (Kasanah etal., 2015).

Laurencia spp

Alga merah genus Laurencia (Rhodomelaceace, Ceramial-


es) umumnya ditemukan pada perairan tropis maupun subtropis.
Berbagai varian senyawa metabolit sekunder seperti C15-
10
acetogenin, C15-, C20-, dan C30-terpenoid (Kladi et al., 2008).

Lima senyawa antibakteri yang diisolasi dari spesies Laurencia sp. diketahui memiliki
aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus sp., Streptococcus py-
ogenes, Salmonella sp., dan Vibrio cholerae. Senyawa-senyawa tersebut ialah 10-
acetoxyangasiol, aplysidiol, cupalaurenol, 1-methyl-2,3,5-tribromoindole, dan chami-
grane epoxide. Dari hasil penelitian, nilai MIC yang rendah dimiliki oleh 10-acetoxyangasiol
terhadap V. cholerae yaitu 100 µg/mL (Vairappan et al., 2010).

Acanthophora specifera

Genus Acanthophora spp merupakan alga merah yang pal-


ing banyak ditemukan di perairan tropis maupun subtropis. Akan
tetapi penelitian tentang spesies ini masih sedikit. Beberapa sterol
yang diisolasi dari Acanthophora spicifera diantaranya adalah 6-
hydroxycholest-4-ene-3-one, cholest-4-ene-3,6-dione, cholest-5-ene-3β-ol, 5α-cholestane-
3,6-dione, dan senyawa lainnya. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa senyawa sterol
menunjukkan adanya aktivitas antibakteri (Wahidulla et al., 1998; Lang et al., 2007).

Gracilaria spp.

Genus Gracilaria memiliki lebih dari 300 spesies. Genus ini


berperan penting pada industri bioteknologi karena sebagai sumber agar
dan agarose yang banyak digunakan pada industri makanan, farmaseti-
ka, dan kosmetik. Gracilaria spp memiliki metabolit bioaktif yang ber-
fungsi sebagai antibakteri seperti steroid, terpenoid dan derivat asam eicosanoid. Ber-
dasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maftuch et al (2016), Gracilaria Verrucosa mengan-
dung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, dan fenol. Selain sebagai antibakteri, G.Verrucosa
juga memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Senyawa fenol yang ada pada jenis alga ini ter-
bukti memiliki khasiat sebagai antibakteri, antiinflamasi, antivirus, dan antikarsinogenik
(Widowati et al., 2014).

Senyawa Bioaktif

 Polisakarida

Polisakarida merupakan senyawa utama dari rumput laut terutama alga merah, hijau
dan coklat yang memiliki struktur fungsional. Dinding sel alga terdiri atas beberapa senyawa
polisakarida (Balboa et al, 2013; Usov et al, 2013). Polisakarida rumput laut memiliki aktivi-
11
tas antijamur dan antibakteri. Aktivitasnya dipengaruhi oleh berat molekul, kandungan sulfat
serta struktur dan konformasinya (Vera et al, 2011).

 Pigmen

Pigmen yang terkandung dalam rumput laut termasuk hasil fotosintesis. Pigmen yang
ditemukan pada tumbuhan alga meliputi karotenoid, fikobilprotein, dan pigmen klorofil
(Kraan, 2013). Pigmen memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai antibakteri, salah satu
jenisnya yaitu karotenoid. Peningkatan konsentrasi ekstrak pigmen karotenoid yang semakin
tinggi berbanding lurus dengan peningkatan aktivitas antibakteri (Wiguna et al, 2016).

 Senyawa lain

a. Alkaloid

Alkaloid merupakan senyawa nitrogen heterosiklik, yang terjadi secara alami pada or-
ganisme laut, tumbuhan, mikroba, dan hewan (Barbosa et al, 2014). Sebagian besar struktur
alkaloid yang diisolasi dari rumput laut termasuk ke dalam kelompok feniletilamin dan indol.
Senyawa ini memiliki atom nitrogen yang terdapat pada cincin siklik (Guven et al, 2010).
Mekanisme kerja alkaloid yaitu menghambat komponen penyusun peptidoglikan yang ter-
dapat pada sel bakteri (Juliantina, 2008)

b. Terpen

Struktur terpen merupakan turunan dari prekursor lima karbon isopentenil firofosfat
(Bedoux et al, 2014). Mekanisme kerja terpenoid sebagai antibakteri yaitu membentuk ikatan
polimer kuat pada porin (protein transmembran) yang terdapat di membran luar dinding sel
bakteri sehingga menyebabkan kerusakan porin (Cowan, 1999).

c. Flavonoid

Mekanisme kerja senyawa flavonoid yaitu membentuk senyawa kompleks terhadap


protein extraseluler dengan cara merusak membran sel serta denaturasi protein sel bakteri
(Madduluri, 2013).

Ciri-ciri Alga Merah

Alga Merah diklasifikasikan dalam divisi Rhodophyta. Alga merah adalah salah satu
kelas dari alga berdasarkan zat warna atau pigmentasinya. Warna merah pada alga ini
disebabkan oleh pigmen fikoeritrin dalam jumlah banyak dibandingkan pigmen klorofil, ka-
roten, dan xantofil. Alga ini pada umumnya banyak sel (multiseluler) dan makroskopis, tidak
12
berflagel, memiliki kemampuan menimbun kalsium karbonat di dalam dinding selnya. Alga
ini dapat mencapai panjang antara 10 cm sampai 1 m dan berbentuk benang atau lembaran.
Contoh : Eucheuma, Gelidium, Glacilaria, Batrachospermum, Chondrus, Porphyra,
Poliysiphonia, Nemalion.

Adapun ciri-ciri Alga Merah secara spesifik adalah sebagai berikut:

1. Mengandung kloroplas berisi fikoeretrin lebih banyak dibandingkan klorofil, ada karote-
noid, sedikit fikosianin.

2. Kebanyakan hidup di air laut, yaitu laut dalam yang hanya dapat dicapai oleh cahaya berge-
lombang pendek. Hidup sebagai bentos, melekat pada substrat dengan benang/cakram pelekat.

3. Bersifat autotrof, tetapi ada yang heterotrof. Yang heterotrof tidak berkromatofora dan
hidup sebagai parasit pada ganggang lain.

4. Hasil asimilasi berupa tepung floridae (mirip glikogen) dan floridosida (senyawa gliserin
dan galaktosa) serta tetes minyak. Kadang terdapat pirenoid.

5. Dinding sel ganggang merah terdiri atas selulosa (sebelah dalam) dan pektin berlendir
(sebelah luar).

6. Bentuk talus beraneka ragam dengan jaringan tubuh yang belum bersifat parenkim tetapi
hanya berupa plektenkim.

7. Reproduksi aseksual dengan spora, dan seksual dengan cara oogami. Spora atau gamet tid-
ak berflagel, jadi tidak dapat bergerak aktif.

Habitat Alga Merah

Alga merah umumnya hidup di laut yang dalam, lebih dalam daripada tempat hidup
alga cokelat. Sepertiga dari 2500 spesies yang telah diketahui, hidup di perairan tawar dan ada
juga yang hidup di tanah. Biasanya organisme ini merupakan penyusun terumbu karang laut
dalam. Alga merah berperan penting dalam pembentukan endapan berkapur, baik di lautan
maupun di perairan tawar.

Reproduksi Alga Merah

Alga merah dapat bereproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual ter-
jadi melalui pembentukan dua anteridium pada ujung-ujung cabang talus. Anteridium
menghasilkan gamet jantan yang disebut spermatium. Gametangium betina disebut karpogo-
13
nium yang terdapat pada ujung cabang lain. Karpogonium terdiri dari satu sel panjang. Bagian
karpogonium bawah membesar seperti botol, sedangkan bagian atasnya membentuk gada atau
benang dan dinamakan trikogen. Inti sel telur terdapat di bagian bawah yang membesar seper-
tibotol. Spermatium mencapai trikogen karena terbawa air (pergerakan secara pasif). Sperma-
tium kemudian melekat pada trikogen. Setelah dinding perlekatan terlarut,seluruh protoplas-
ma spermatium masuk dalam karpogonium. Setelah terjadi pembuahan, terbentuklah sumbat
di bagian bawah karpogonium. Sumbat itu memisahkan karpogonium dan trikogen. Zigot
hasil pembuahan akan membentuk benang-benang sporogen. Dalam sel-sel di ujung benang
sporogen itu, terbentuk spora yang masing-masing memiliki satu inti dan satu plastida; spora
tersebut dinamakan karpospora. Karpospora akhirnya keluar dari sel-sel ujung benang sporo-
gen sebagai protoplasma telanjang berbulu cambuk. Karpospora ini mula-mula berkecambah
menjadi protalium yang akhirnya tumbuh menjadi individu baru lengkap dengan alat-alat
generatifnya.

Reproduksi aseksual terjadi dengan membentuk tetraspora. Tetraspora akan menjadi


gametangium jantan dan gametangium betina. Gametangium jantan dan betina akan bersatu
membentuk karposporofit. Karposporofit kemudian menghasilkan tetraspora.

Manfaat Alga Merah

Alga merah jenis tertentu dapat menghasilkan agar yang dimanfaatkan antara lain se-
bagai bahan makanan dan kosmetik, misalnya Eucheuma spinosum. Di beberapa negara,
misalnya Jepang, alga merah ditanam sebagai sumber makanan. Selain itu juga dipakai dalam
industri agar, yaitu sebagai bahan yang dipakai untuk mengeraskan/memadatkan media per-
tumbuhan bakteri. Beberapa alga merah yang dikenal dengan sebutan alga koral
menghasilkan kalsium karbonat didinding selnya. Kalsium karbonat ini sangat kuat dalam
mengatasi terjangan ombak. Kelebihan ini menjadikan alga koral memiliki peran penting da-
lam pembentukan terumbu karang. Selain itu alga merah dapat menyediakan makanan dalam
jumlah banyak bagi ikan dan hewan lain yang hidup di laut. Jenis ini juga menjadi bahan ma-
kanan bagi manusia misalnya Chondrus crispus (lumut Irlandia) dan beberapa genus Porphy-
ra. Chondrus crispus dan Gigortina mamilosa menghasilkan karagen yang dimanfaatkan un-
tuk penyamak kulit, bahan pembuat krem, dan obat pencuci rambut. Alga merah lain seperti
Gracilaria lichenoides, Euchema spinosum, Gelidium dan Agardhiella dibudidayakan karena
menghasilkan bahan serupa gelatin yang dikenal sebagai agar-agar. Gel ini digunakan oleh
para peneliti sebagai medium biakan bakteri dan fase padat pada elektroforesis gel, untuk

14
pengental dalam banyak makanan, perekat tekstil, sebagai obat pencahar (laksatif), atau se-
bagai makanan penutup.

2.4 Karang Lunak


Karang lunak (Octocorallia, Alcyonacea) merupakan hewan anggota Coelenterata yang
hidup di perairan dangkal tropis dan subtropis.Keberadaannya diketahui berlimpah di Sam-
udra Hindia mulai dari Laut Merah sampai ke bagian tengah Samudra Pasifik Barat.Dari hasil
penemuan terakhir (Van Ofwegen, 2000). Diketahui bahwa perairan dangkal di Kepulauan
Indonesia-Filipina-Papua Nugini merupakan perairan yang memiliki karang lunak dengan
jumlah spesies terbesar. Perairan ini disebut sebagai pusat keanekaragaman spesies karang
lunak di dunia.Disebut demikian karena di luar kawasan perairan ini, jumlah spesies maupun
jumlah individunya mulai berkurang seiring dengan perubahan garis lintang.Penurunan
jumlah spesies terjadi di area dengan garis lintang yang lebih tinggi dan makin ke arah timur
atau barat perairan Indo-Pasifik.Perairan yang lebih dingin dan lebih dalam juga merupakan
faktor pembatas bagi pertumbuhan beberapa spesies karang lunak.Sampai saat ini, sejumlah
90 genus yang mewakili 23 famili karang lunak telah berhasil dikumpulkan dan diidentifikasi
dari perairan tropis Indo-Pasifik (Fabricius & Alderslade, 2001).
Terumbu karang merupakan ekosistem di perairan tropis yang kaya akan biota-biota
penyusunnya, dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Salah satu biota penyusun terumbu
karang ialah karang lunak (Octorallia, Alcyionacea). Kelompok ini diwakili oleh
sukuAlcyoniidae yang merupakan kelompok karang lunak yang tersebar luas di perairan Indo-
Pasifik Barat dalam jumlah besar (Bayer, 1956).
Sebagai unsur penyusun terumbu karang, telah diketahui bahwa karang lunak
merupakan komponen kedua terbesar sesudah karang batu, bahkan di beberapa daerah yang
kondisi terumbu karangnya rusak, karang lunak merupakan unsur utama penyusun terumbu
karang. Tidak seperti karang batu yang terususun atas kerang kapur kalsium karbonat
(CaCO3), tubuh Alcyonaria lunak disokong oleh duri-duri yang kokoh (spikula) dalam jumlah
yang banyak, berukuran kecil dan tersusun sedemikian rupa sehingga tubuh Alcyonaria lentur
dan tidak mudah putus. Duri-duri tersebut mengandung karbonat kalsium dan disebut spikula
serta memiliki delapan tentakel. Secara sepintas Alcyonaria nampak seperti tumbuhan, karena
bentuk koloninya yang bercabang-cabang seperti pohon dan melekat pada substrat yang keras
(Manuputty, 1996).
Berbagai penelitian menunjukan bahwa biota laut memiliki potensi yang sangat besar
dalam menghasilkan senyawa-senyawa aktif yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat.
Sejak tahun 1980-an, perhatian dunia pengobatan mulai terarah ke biota laut yang diketahui

15
dapat menghasilkan senyawa aktif (Ismet, 2007) salah satu biota laut yang berpotensi untuk
bahan baku obat adalah karang lunak (Soft Coral). Karang lunak merupakan sumber yang
kaya akan senyawa bioaktif seperti terpenoid, steroid, dan steroid glikosida. Radhika (2006),
dalam penelitiannya melaporkan bahwa sekitar 50% ekstrak karang lunak menunjukan sifat
racun pada ikan, selain itu banyak metabolit sekunder yang dihasilkan oleh karang lunak
memiliki aktivitas biologi seperti antifungal, sitotoksik, antineoplastik, antimikroba, inhibitor
HIV dan anti-inflamatori.
Karang lunak menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang berfungsi untuk
menghadapo serangan predator, media kompetisi, mencegah infeksi bakteri, membantu proses
reproduksi, dan mencegah sengatan sinar ultraviolet. Karang lunak menghasilkan beberapa
dari golongan senyawa hasil metabolit sekunder, antara lain alkaloid, steroid, flavonoid, fenol,
saponin, dan peptide (Herper et al. 2001).
Reproduksi Karang Lunak

Reproduksi Aseksual

Pada habitat alami, reproduksi aseksual merupakan mekanisme penting dalam meningkatkan
jumlah individu dalam suatu koloni. Reproduksi ini dilakukan dengan cara pertumbuhan ko-
loni, fragmentasi, tunas, pembelahan melintang, dan pencabikan pedal (Sprung dan Delbeek,
1997 in Sandy, 2000).

1. Fragmentasi, penempelan fragmen buatan akan berhasil dengan baik bila kondisi ling-
kungan pun optimal dan substrat dasarnya pun baik. Karang lunak yang paling mudah diper-
banyak adalah genus dari Sarcophyton, Sinularia, Xenia, dan Anthelia. Fragmentasi dapat ju-
ga terjadi karena adanya predator dan gangguan alam seperti badai. Serangan dari cacing, si-
put, dan ikan pada Sarcophyton dapat merusak koloni. Namun, penggunaan fragmentasi
mampu menghasilkan sejumlah keturunan dari sisa jaringan.

2. Pembentukan tunas, biasa terjadi pada karang lunak masif seperti Sarcophyton di bagian
dekat dasar tangkai atau pada bagian pinggir kapitulum. Jika pertunasan terjadi pada koloni
yang masih kecil, maka anak dan induk akan tumbuh bersama-sama untuk membentuk koloni
bertangkai banyak. Bila koloni induk yang bertunas sudah berukuran besar maka tunas yang
tumbuh akan tetap kerdil karena terhalang oleh koloni induk.

3. Pembelahan melintang, terjadi pada Xenia spp, dimana pembelahan diawali dengan
terpisahnya tangkai mulai dari dasar terus memanjang ke arah vertikal diantara dua cabang
terbesar, hingga akhirnya dapat menghasilkan dua koloni berukuran sama. Proses ini me-

16
makan waktu beberapa bulan untuk sampai benar-benar terpisah. Namun untuk Xenia spp
hanya membutuhkan waktu satu minggu saja.

4. Pencabikan pedal (pedal laceration), koloni benar-benar bergerak melintasi substrat mengi-
kuti jaringan bagian basalnya. Selanjutnya, jaringan ini dapat terus menempel atau menjadi
terlepas dan menjadi individu baru.

Reproduksi seksual

Banyak spesies yang telah didata adalah gonokorik, dan salah satunya hermaphrodite yang
langka. Proses pemijahan pada seluruh famili Alcyoniidae, mempunyai siklus tahunan
spermatogenesis sedangkan proses oogenesis mereka disempurnakan lebih lama bahkan
melebihi dari siklus oogenesis tersebut (Yamazato et al. 1981; Alino dan Coll 1989;
Benayahu et al. 1990). Seksualitas karang lunak (alcyonacea) dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu hermaprodit dan gonokhorik (Hwang dan Song, 2007; Simpson, 2008).

1. Hermaprodit, yaitu koloni atau polip karang lunak yang mampu menghasilkan gamet
jantan dan betina selama hidupnya. Tipe hermaprodit ditemukan pada Alcyonium dan Xenia.
2. Gonokhorik, merupakan tipe paling umum pada karang lunak. Polip atau koloni karang
lunak gonokhorik hanya menghasilkan gamet jantan atau betina saja selama hidupnya. Tipe
hermaprodit dapat ditemukan pada Anthelia, Sinularia, Sarcophyton, Lobophytum, Cladiella,
Dendronephthya, dan sebagainya

Gametogenesis

Siklus gametogenesis pada masa pengeraman selama satu tahun, dimana pengeraman secara
internal siklus gametogenesis mempunyai variasi waktu setiap tahun (Benayahu 1991). Larva
karang lunak pada daerah tubir ditemukan ukuran yang kecil, semusim dan ada kesamaan
dengan tahap pemijahan (Alino and Coll 1989; Benayahu et al. 1990), sesuai dengan
identifikasi yang ada, ciri khas pemijahan tahunan dari karang batu (Harrison dan Wallace
1990; Richmond dan Hunter 1990). Pada daerah Great Barrier Reef di Australia karang lunak
memijah secara massal (Babcock et al. 1986; Alino and Coll 1989). Gametogenesis pada
umumnya terjadi pada polip autozooid yang memiliki alat kelamin atau gonad. Simpson
(2008) menjelaskan bahwa secara umum, baik pada polip betina atau jantan, gamet
berkembang di sepanjang non asulkal mesenteri dan seringkali ditemukan pada bagian dasar
polip karang lunak.

Spermatogenesis

17
Hwang dan Song (2007) membedakan perkembangan spermatogenesis menjadi 4 tahap.
Tahap I biasanya ditandai dengan berkumpulnya spermatogonia di mesoglea pada mesenteri.
Pada tahap II (spermatosit) sudah memiliki batas dan bentuk yang jelas dan melekat pada
mesenteri dengan bantuan pedikel. Tahap III, ukuran kista sperma menjadi semakin besar.
Spermatosit berkembang menjadi spermatid yang jumlahnya sangat banyak dan tersusun di
bagian tepi dari kista. Pada tahap IV, spermatosit telah matang dengan berkembang menjadi
spermatozoa yang telah memiliki ekor.

Pemijahan dan fertilisasi

Ada tiga macam bentuk reproduksi seksual pada karang lunak (Cnidaria: Alcyonacea) untuk
menghasilkan gamet, baik melalui pengeraman secara eksternal maupun internal (Benayahu et
al. 1990). Karang lunak alcyonacea memiliki tiga cara reproduksi untuk menjamin kesuksesan
reproduksinya yaitu pemijahan gamet ke kolom perairan (broadcast spawning), internal
brooding, dan external brooding (Hwang dan Song, 2008).

1. Pemijahan gamet ke kolom perairan, merupakan cara reproduksi yang paling umum terjadi
pada karang lunak alcyonacea. Cara ini akan disertai dengan proses fertilisasi dan
perkembangan embryo di kolom perairan. Proses pemijahan pada karang lunak biasanya
mengikuti pemijahan massal secara serempak dengan organisme lain di ekosistem terumbu
karang sebagai suatu bentuk strategi untuk mengurangi tekanan predasi pada gamet yang baru
saja dikeluarkan (Simpson, 2008).

2. Internal brooding biasa terjadi pada genus Xenia, Heteroxenia, dan Anthelia. Telur
biasanya tetap berada di dalam polip hingga akhirnya terjadi proses pembuahan dan larva
akan dikeluarkan ke kolom perairan.

3. External brooding, terjadi pada genus Alcyonium dan Capnella. Telur akan dikeluarkan di
permukaan koloni karang lunak dan menunggu hingga terjadi proses fertilisasi. Cara ini
merupakan strategi terhadap rendahnya kesuburan gamet sebagai upaya untuk meningkatkan
kelangsungan hidup larva dari bahaya predasi.

Pada makalah ini akan dibahas tentang Sarcophyton sp, Labophytum sp. dan Xenia sp
yang berperan sebagai antimikroba.
Sarcophyton sp

18
Karang lunak Sarcophyton sp. adalah salah satu genus Alcyonaria bertangkai besar
dengan ukuran koloni yang besar pula. Ukuran koloni karang lunak ini dapat mencapai 1,5
m.Namun, pada umumnya berukuran 10-20 cm (Fabricus dan Philip 2001). Urutan klasifikasi
karang lunak ini menurut Lesson (1839) diacu dalam Fabricus dan Philip (2001) adalah se-
bagai berikut:
Filum : Coelenterata
Kelas : Anthozoa
Sub-kelas : Octocorallia (Alcyonaria)
Ordo : Alcyonacea
Famili : Alcyoniidae
Genus :Sarcophyton
Sarcophyton sp. dapat ditemukan dari rataan terumbu karang sampai ke kedalaman 15
m dengan konsentrasi pada kedalaman 3-10 m. Karang lunak ini memiliki koloni yang
berukuran besar, mempunyai tangkai berwarna putih atau senanda dengan kapitalium.
Kapitalium genus Sarcophyton berbentuk melebar seperti jamur atau bundar dengan tepi ber-
lekuk atau melipat, permukaan halus seperti beludru.Bentuk koloni karang lunak ini ber-
tangkai panjang atau pendek yang melekat di dasar (Fabricus dan Philip 2001).
Genus Sarcophyton memiliki dimorfik, yaitu memiliki autosoid dan sifonosoid.Warna
koloni genus ini adalah krem, coklat, kuning, atau hijau.Warna tersebut dihasilkan oleh
sejumlah alga simbiotik (zooxanthellae) yang hidup di dalam jaringan tubuh ka-
rang.Sarcophyton sp. bereproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi aseksual yang
dilakukan oleh genus ini ada dua cara, yaitu dengan fragmentasi atau memisah dan memben-
tuk tunas (budding) (Fabricus dan Philip 2001).

19
Hasil uji fitokimia (Tabel 11) menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat Sarcophyton sp.
yang difragmentasi memiliki kandungan senyawa steroid/triterpenoid dan flavonoid, se-
dangkan ektrak etil asetat Sarcophyton sp. yang tidak difragmentasi memiliki kandungan al-
kaloid, steroid/triterpenoid, dan flavonoid. Senyawa-senyawa tersebut dapat digunakan se-
bagai bahan dasarpembuatan obat.Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri serta
efek farmakologi sebagai analgesik dan anaestetik. Mekanisme penghambatan bakteri oleh
senyawa ini diduga dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel
bakteri sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian
sel tersebut (Robinson, 1995).
Steroid merupakan golongan senyawa triterpenoid. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Badria et al. (1998) dan Swant et al. (2006) menunjukkan bahwa karang lunak Sarcophyton
sp. banyak mengandung senyawa bioakif steroid dan terpenoid. Senyawa kimia aktif tersebut
menunjukkan aktivitas antibakteri, antifungi, antitumor, neurotoksik, dan anti-inflamantori
yang bermanfaat bagi industri farmasi. Menurut Cowan (1999), mekanisme penghambatan
bakteri oleh senyawa steroid/triterpenoid diduga dengan cara merusak membran sel bakteri.
Steroid dapat meningkatkan permeabilitas membran sel sehingga akan terjadi kebocoran sel
yang diikuti dengan keluarnya materi intraseluler (Vickery dan Vickery 1981).
Badria et al. (1998) melaporkan bahwa Sarcophyton glaucum mengandung senyawa
sarcophytolide memiliki sifat neurotoksik dan berperan sebagai antibakteri dan antifun-
gi.Ekstrak petrol eter Sarcophyton glaucum tersebut dapat menghambat bakteri S. aureus, E.
coli, dan Saccaromyces cerevisiae, sedangkan ekstrak etil asetat dapat menghambat bakteri S.
aureus, Clostridium albicans, dan S. cerevisiae.Beberapa jenis senyawa bioaktif terpenoid
dari genus Sarcophyton dapat dilihat pada Tabel 1.

Senyawa aktif lain yang mendukung ekstrak etil asetat memiliki potensi sebagai anti-
bakteri adalah senyawa flavonoid. Flavonoid berfungsi sebagai antimikroba dan antioksidan
(Robinson 1995).Flavonoid merupakan golongan yang penting karena memiliki spektrum ak-
tivitas antimikroba yang luas dan dapat mengurangi kekebalan pada organisme sasaran (Naidu

20
2002).Sifat antibakteri senyawa flavonoid adalah dapat menyebabkan terjadinya denaturasi
protein di dalam sel. Adanya flavonoid dalam lingkungan sel bakteri menyebabkan gugus OH
pada flavonoid berikatan dengan protein internal membran sel. Hal ini menyebabkan ter-
bendungnya transfor aktif Na+- K+.Transfor aktif yang berhenti menyebabkan pemasukan ion
Na+ yang tidak terkendali pada sel. Hal ini menyebabkan pecahnya membran sel, sehingga
bakteri mati atau lisis (Scheuer 1994).

Labophytum sp

Karang lunak jenis Lobophytum dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Bayer 1956;
Verseveldt 1983 dalam Haris 2001) :
Filum : Coelenterata / Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Sub-kelas : Octocorallia
Bangsa : Alcyonacea
Sub-bangsa : Alcyoniina
Suku : Alcyoniidae
Marga :Lobophytum
Koloninya besar dan merambat. Kapitalium lebar, permukaan atas terdapat lobata yaitu
berbentuk jari (digiata) atau juga mempunyai pematang-pematang, letaknya tegak lurus
permukaan kapitalium. Polip dimorfik dan retakril. Warna koloni kuning atau kuning
kehijauan yang merupakan perbedaan yang kontras dengan jenis Alcyonaea lainnya, atau
krem. Ditemukan dari rataan terumbu sampai ke kedalaman 7 meter (Manuputty, 1996).
Manuputty (2010) menyatakan bahwa salah satu jenis karang lunak yang mempunyai
kandungan terpen yang beracun dan dapat mematikan karang batu baik secara kontak lang-
sung atau berdekatan letaknya, yaituLobophytum sp. Coll et al. (1982) telah mengisolasi sen-
yawa terpen beracun dari perairan di sekitar karang lunak jenis ini dan mencatat bahwa per-
21
tumbuhan karang batu akan terhambat, terjadi pada jarak 30 cm dari karang lunak. Pada jarak
≤ 15 cm akan terjadi kematian. Hal ini menunjukkanLobophytum sp memiliki kandungansen-
yawa metabolit yang bersifat bioaktif. Karang lunak dari genus Lobophytum telah
menghasilkan banyak senyawa terpenoid dengan struktur kimia beragam, termasuk seskuit-
erpen dan glikosida diterpen dengan aktivitas biologis (Hassan, 2016).Sifat biologis yang be-
ragam memungkinkan produk alami yang berasal dari Lobophytum terutama terpenoid, dapat
dimanfaatkan sebagai obat-obatan.Umumnya senyawa terpenoid dalam tubuh karang lunak
berfungsi sebagai pelengkap kegiatan fisik, mengikat tekstur tubuhnya yang lunak dan lentur,
senyawa terpenoid berfungsi sebagai racun untuk melawan predator yang mengancam kelang-
sungan hidupnya (Handayani et al., 1997).
Lobophytum sp. juga dilaporkan mengandung senyawa flavonoid dan sapo-
nin.Flavonoid bersifat merusak membran sel sehingga terjadi perubahan permeabilitas sel
yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel dan polifenol dapat
mendenaturasi protein sel jamur.Saponin dapat mengubah tegangan permukaan dengan
mengikat lipid yang dapat merusak permeabilitas selektif dari membran sel bakteri (Pelczar
dan Chan, 1988).Senyawa saponin dapat digunakan dalam bidang farmasi sebagai antibiotik,
antijamur, dan senyawa antitumor. Kegunaan saponin bagi karang lunak sendiri adalah se-
bagai penangkal terhadap predator, media memperebutkan lingkungan hidup dan membantu
proses reproduksi (Tanod et al., 2017).
2.5 Kerang Darah
Kerang darah merupakan salah satu hewan dalam golongan molluska termasuk dalam
kelas bivalvia atau pelecypoda. Moluska dibagi menjadi lima kelas diantaranya cephalopoda,
bivalvia, gastropoda, scaphopoda dan amphineura. Kerang mempunyai dua cangkang keras
yang berguna sebagai pelindung tubuh dari musuh. Habitat utama kerang didaerah pantai
dengan pasir berlumpur dengan kedalaman kurang lebih 4-6 meter dan perairan relatif tenang.
Pada umumnya kerang hidup berkelompok dan lebih suka menenggelamkan tubuhnya di da-
lam lumpur.
Kerang darah dengan nama ilmiah Anadara granosa merupakan salah satu jenis kerang
yang banyak ditemukan dikawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Selain itu, Kerang darah
(Anadara granosa) adalah spesies kerang yang dapat hidup di daerah pantai berpasir atau
tanah berlumpur. Hewan ini juga dapat hidup di laut terutama daerah litorial atau hidup di
daerah dasar peraiaran yang berpasir (Ahmad, 2017). Kerang darah atau dikenal sebagai
cockle ini merupakan kelompok yang mempunyai belahan cangkang melekat satu sama lain
pada batas cangkang. Kerang ini dapat menghasilkan cairan merah yang berisi hemoglobin.
Kerang darah memiliki pigmen darah merah atau haemoglobin yang disebut bloody cockles,
22
sehingga kerang ini dapat hidup pada kondisi kadar oksigen yang relatif rendah. Anadara
granosa juga banyak dimanfaatkan sebagai makanan pengganti lauk di Indonesia.
Klasifikasi Kerang Darah
Kelas Bivalvia meliputi kerang, tiram, remis dan sebangsanya. Kerang darah terma-
suk dalam filum molluska dan kelas pelecypoda/ bivalvia. Berikut ini klasifikasi ilmiah dari
kerang darah :
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Pelecypoda / Bivalvia
Sub Kelas : Lamelladibranchia
Ordo : Taxodonta
Family : Arcidae
Genus : Anadara
Spesies : Anadara granosa.
Morfologi Cangkang Kerang Darah
Famili Arcidae memiliki bentuk cangkang segitiga, persegi panjang atau oval, mem-
iliki rib-rib (penebalan pada permukaan cangkang) dari pusat umbo sampai ke bagian tepi
cangkang. A. granosa mempunyai ciri-ciri diantaranya tubuh kerang tebal dan menggem-
bung, alur berjumlah antara 18-20 buah dengan rusuk yang kokoh, kedua cangkang equilat-
eral dengan umbo berada ditengahantara bagian posterior dan anterior. Panjang cangkang
kerang darah berkisar 4- 9 cm.
Cangkang kerang darah terdiri dari 3 lapisan yaitu periostrakum, prismatic dan nakre-
as :
a. Periostrakum merupakan lapisan pada bagian terluar yang terbuat dari bahan organik
konkiolin, sering tidak ada pada bagian umbo;
b. Prismatik merupakan lapisan pada bagian tengah yang terbuat dari kalsium karbonat;
c. Nakreas merupakan lapisan pada bagian dalam yang terbuat dari kristal- kristal
kalsium karbonat. Lapisan nakreas dihasilkan oleh seluruh permukaan mantel, se-
dangkan lapisan periostrakum dari lapisan prismatik dihasilkan oleh bagian tepi man-
tel.

23
Kandungan Kimia Cangkang Kerang Darah
Cangkang kerang darah mengandung beberapa senyawa kimia penting yang dapat
digunakan oleh manusia. Cangkang kerang darah memiliki senyawa kimia seperti kitin,
kalsium karbonat, kalsium hidrosiapatit dan kalsium fosfat.
Kerang darah mengandung sebagian besar mineral yaitu kalsium yang dapat digunakan
untuk mensintesis hidroksiapatit. Senyawa hidroksiapatit diperoleh dari hasil sintesis kalsium
dan fosfat. Kandungan kalsium pada cangkang kerang darah sebesar 28,85%.
Limbah cangkang kerang mengandung kalsium karbonat yang tinggi yakni sebesar 98%
yang berpotensi untuk dimanfaatkan. Hasil penelitian menyatakan bahwa pada cangkang
kerang darah mengandung kalsium karbonat sebesar 98,99 %, sedangkan 4 hasil penelitian
lainnya kandungan kalsium karbonat pada cangkang kerang darah sebesar 96 %. Umumnya
kalsium karbonat (CaCO3) sering digunakan dalam produk pasta gigi berfungsi sebagai bahan
abrasif digunakan untuk membantu menambah kekentalan dalam pasta gigi. Oleh karena itu,
kalsium karbonat yang terkandung pada cangkang kerang dilakukan isolasi kalsium oksida
(CaO) dan kemudian senyawa ini dapat diolah lebih lanjut menjadi hidroksiapatit
(Ca10(PO4)6(OH)2) sehingga bahan ini merupakan salah satu bahan aktif yang dapat dit-
ambahkan pada produk pasta gigi untuk perlindungan terhadap demineralisasi gigi.
Kandungan kitin yang menyebabkan cangkang kerang darah bisa diolah menjadi ki-
tosan. Cangkang kerang darah mempunyai potensi untuk dijadikan produk berupa kitosan
sebab memiliki kandungan kitin sebesar 14-35%.
Hasil penelitian yang dilakukan Cakasana et al., (2014) menyatakan pada kitosan
cangkang kerang darah rendemen hasil proteinasi rata-rata menghasilkan 71,92%. Rendemen
24
hasil demineralisasi mempunyai rata-rata sebesar 30,78% dari hasil deproteinasi. Rendemen
yang diperoleh hasil dari hasil deasetilasi rata-rata bernilai 87,96% dari hasil demineralisasi.
Total kitosan yang dihasilkan hanya sebesar 19,45% dari berat awal.
Kitosan
Kitosan merupakan polisakarida yang diperoleh dari hasil proses deasetilasi kitin,
umumnya berasal dari limbah bagian kulit Crustacea (udang, kepting, ketam). Kitosan
mempunyai struktur (2-amino-2-deoksi-D-glukan) merupakan polisakarida linier dengan
susunan acak β - (1-4) - yang menghubungkan D-glukosamin (unit tanpa asetil) dengan N-
asetil-D-glukosamin (unit asetil). Kitosan sebagai polimer alami, dengan struktur molekul
yang menyerupai selulosa (serat pada sayuran dan buah-buahan). Akan tetapi mempunyai
perbedaan yang terletak pada gugus rantai C-2 dimana gugusan hidroksi (OH) pada C-2 di-
gantikan oleh amina (NH2). Berikut ini merupakan struktur dari kitosan sebagai berikut:

Proses terbentuknya kitosan ketika gugus asetil pada kitin tersubstitusi oleh unsur hi-
drogen menjadi gugus amina. Kitosan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya
bermuatan positif, sehingga dalam keadaan cair tingkat sensitif terhadap kekuatan ion tinggi.
Oleh sebab itu, kitosan mempunyai sifat lebih reaktif dan mudah diproduksi dalam bentuk
serbuk, pasta, film, dan serat. Kitosan tidak dapat larut dalam larutan dengan kondisi netral
dan basa tetapi larut dalam asam asam organic.
Kitosan Sebagai Antibakeri
Kitosan mempunyai sifat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Adan-
ya gugus amina yang bermuatan positif mampu mengikat dinding sel pada bakteri negatif.
Kitosan mempunyai struktur hampir sama dengan dinding peptidoglikan yang merupakan ba-
han penyusun dinding sel bakteri gram positif (Killay, 2013). Selain bakteri gram positif, sen-
yawa pada kitosan juga mampu memgganggu aktivitas dari membran bagian luar bakteri
gram negatif (Killay, 2013). Gugus amina pada kitosan mempunyai pasangan elektron bebas
sehingga dapat menarik mineral Ca2+ pada dinding sel bakteri sehingga membentuk suatu
ikatan kovalen koordinasi. Berikut merupakan struktur amina yang berikatan dengan H+ da-
lam suasana asam:

25
Sifat afinitas pada kitosan sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga mampu berikatan
dengan DNA yang dapat mengganggu proses mRNA dan sintesis protein. Berat molekul dan
derajat deasetilasi sangat mempengaruhi sifat afinitas kitosan dalam melawan bakteri. Se-
makin tinggi tingkat asetilasi maka semakin tinggi pula peran dari kitosan dalam menjalankan
fungsinya sebagai antibakteri. Lama pemanasan saat proses deacetilasi juga berpengaruh pada
keaktifan kitosan sebagai antibakteri.
Selain sebagai pengawet alami pada bahan pangan, kitosan juga dapat menghambat per-
tumbuhan mikroba. Mekanisme dari kitosan yaitu dengan merusak dinding sel dari mikroba
sehingga tidak berkembang dan mati. Pada makanan pertumbuhan bakteri dapat terhambat
sebab kitosan mempunyai bentuk membran berpori yang dapat menyerap air pada makanan.
Kitosan dapat menghambat penyakit thyphus yang resisten terhadap ampecilin chlorampheni-
col.
2.6 Bintang Laut
Bintang laut merupakan salah satu spesies dari kelas Asteroidea dan merupakan
kelompok dari Echinodermata. Bintang laut memiliki komponen bioaktif yang terdiri dari
alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, yang memiliki aktivitas antioksidan, antibakteri,
antifungi . Linckia laevigata merupakan salah satu spesies bintang laut yang berada dalam
kelas Asteroida yang berpotensi sebagai antibakteri. Linckia laevigata sendiri sering
ditemukan di daerah tropis di mana Teluk Manado berada dalam kawasan tersebut.
Klasifikasi Ilmiah

Kingdom : Animalia

Phylum : Echinodermata

Kelas :Asteroidea

Genus :Asteroidea

Spesies :Asteroidessp, Asteropectenirregularis,

CrossasterdanCuleitin

26
Ciri – ciri BintangLaut

– Bintang laut tidak memiliki rangka yang mampu membantu pergerakan.


– Rangka mereka berfungsi sebagai perlindungan diri mereka.
– Alat pergerakannya adalah : sistem vaskular air
– Bergantung kepada kaki tabung yang terletak di bagian Ventral lengan.
– Tubuh bintang laut terdiri dari bagian oral (yang memiliki mulut) dan aboral (yang
tidak memiliki mulut)
– Pada permuka anaboral selain anus terdapat pula medropit Medropit adalah sejenis
lubang yang mempunyai saringan dalam menghubugkan air laut dengan sistem pem-
buluh air dan lubang kelamin.
– Organ tubuhnya yang bercabang keseluruh lengan
Bentuk BintangLaut

– Diameter terbesar mencapai 60cm


– Permukaan aboral tertutupi oleh duri-duri sehingga hewan ini di namakan duri seribu.
– Jenis hewan ini berbentuk bintang dengan lima lengan.
Escherichia coli merupakan bakteri patogen penyebab infeksi paling sering pada manusia.
Infeksi ekstraintestinal termasuk infeksi saluran kemih yang terjadi ketika saluran terhambat
atau secara spontan disebabkan oleh UPEC (Uropathogenic E. coli). Infeksi serius lainnya
adalah kolesistitis, peritonitis, infeksi luka pasca operasi, dan sepsis. Dalam infeksi saluran
kemih akut, E. coli merupakan organisme penyebab 70-80% pada kasus kronik, 40- 50%
penyebab infeksi persisten.

Untuk menghindari adanya cemaran dari bakteri patogen perlu adanya senyawa
antibakteri yang sifatnya alami serta dapat digunakan oleh manusia. Salah satu hasil perairan
yang dapat dijadikan senyawa antibakteri yang bersifatalami adalah bintang laut
De marino et al., (1998) mengemukakan bahwa senyawa pada bintang laut famili Aste-
riidae mampu menghasilkan anti mikroba, ekstrak bintang laut Asterina pectifera aktif
tehadap Aspergillus sp. dan Cryptococcus neoformans (Choi et al., 1999), bintang laut Anas-
terias minuta berfungsi sebagai antifungal (Chludil et al., 2000). Senyawa bintang laut Aphe-
lasterias japonica bersifat hemolitik (Ivanchina et al., 2000), kandungan saponin yang terdiri
atas polihidroksisterol dan monosakarida serta disakarida banyak ditemukan pada bintang laut
dari kelas Asteroidea (Iorizzi et al., 2001). Senyawa bintang laut Certonardoa semiregularis
mengandung antiviral (Wang et al., 2002) selanjutnya dilaporkan bahwa beberapa senyawa
yang terdapat pada bintang laut Certonardoa semiregularis berfungsi sebagai sitotoksik
(Wang et al., 2004).

Bintang laut Asterias forbesii merupakan spesies yang memiliki kelimpahan tertinggi di
perairan pantai pulau Poncan Gadang Sumatera Utara (Alexander, 2012). Penelitian tentang
aktifitas A. forbesii terhadap bakteri belum pernah dilakukan, hal inilah yang mendasari per-
27
lunya dilakukan penelitian tentang aktifitas anti bakteri spesies A. forbesii terhadap beberapa
jenis bakteri patogen.

Komponen Senyawa Kimia Ekstrak Bintang Laut A. forbesii


Hasil pengujian senyawa kimia yang telah dilakukan terhadap masing-masing pelarut
yang digunakan dalam penelitian yakni pelarut n-heksana, etil asetat dan metanol.

Tabel 1. Hasil uji senyawa kimia ekstrak kasar bintang laut A. Forbesii
Jenis Pelarut
Uji Senyawa kimia Hasil (warna)
n-heksana Etil asetat Metanol
Alkaloid:
Dragendorff - - + Endapan merah
Meyer - - - -
Triterpenoid/steroid + + + Jingga
Flavonoid - - + Kuning
Saponin + + + Terbentuk busa
selama 5 menit
Fenol hidrokuinon - - - -

Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa ekstrak kasar pada bintang laut A. forbesii menggunakan
pelarut metanol mengandung komponen senyawa kimia yang lebih banyak dibandingkan
ekstrak n-heksan dan ekstrak etil asetat. Komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak bin-
tang laut dengan pelarut metanol antara lain alkaloid, triterpenoid, flavonoid dan saponin.
Komponen bioaktif yang terdeteksi pada ekstrak bintang laut dengan menggunakan pelarut n-
heksana dan etil asetat antara lain, terpenoid dan saponin. Berdasarkan hasil dari uji senyawa
kimia ini menunjukkan bahwa ekstrak bintang laut mengandung 4 dari 5 komponen yang diuji
dengan metode fitokimia.
Metabolit sekunder berupa alkaloid hanya dijumpai pada ekstrak metanol setelah dite-
tesi dengan pereaksi dragendorff yang ditandai dengan terbentuknya endapan merah. Sebagi-
an alkaloid bersifat basa sehingga sangat mudah larut dalam air. Air merupakan pelarut polar,
demikian halnya dengan metanol, sehingga alkaloid dapat larut dalam metanol (Hannifa et al.
2010).

Dari hasil uji senyawa kimia terlihat bahwa kandungan triterpenoid terdapat pada
ekstrak semua ekstrak yang ditandai dengan terbentuknya warna jingga. Van Thanh (2006),
telah berhasil mengisolasi triterpen glikosida Holoturia scabra yang terbukti mampu men-
jadi agen anti jamur, anti bakteri dan sitotoksik. Menurut Gunawan (2008), beberapa

28
hasil penelitian menunjukkan senyawa turunan terpenoid memiliki aktivitas sebagai anti
mikroba yaitu monoterpenoid linalool, diterpenoid(-)hardwicklicacid, phytol, triterpenoid
saponin dan triterpenoid glikosida. Triterpen glikosida dapat dimurnikan menjadi holothurin
yang bersifat toksik sehingga mampu digunakan sebagai anti bakteri.

Hasil pengujian ekstrak kasar bintang laut A. forbesii terhadap beberapa jenis bakteri
pathogen (S. aureus, B. subtilis, P. aeroginosa dan E.coli)

ekstrak metanol menghasilkan zona hambat terbesar terhadap bakteri S.aureus yaitu
sebesar 9,5 mm pada konsentrasi 100 ppm, terhadap bakteri B. subtilis menghasilkan zona
hambat sebesar 8,5 mm pada konsentrasi 100 ppm, terhadap bakteri P. aeroginosa
menghasilkan zona hambat sebesar 10 mm pada tingkat konsentrasi 100 ppm sedangkan ter-
hadap bakteri E.coli menghasilkan zona hambat sebesar
11 mm pada konsentrasi 100 ppm. Dari zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak metanol
terhadap beberapa jenis bakteri patogen yang diujikan terlihat bahwa ekstrak metanol lebih
mampu menghambat bakteri gram negatif E. coli dan P. Auroginosa dibandingkan bakteri
gram poitif S.aureus dan B. Subtilis.

Tabel 3. Diameter Zona Hambat Ekstrak Kasar Bintang Laut A. forbesii


Terhadap Beberapa Jenis Bakteri Patogen
Konsen- Diameter Zona Hambat (mm)
Jenis Bakteri trasi Meta- Etil n- hek-
(ppm) nol asetat san
Control - 6 6 6
50 7,0 7,0 7,0
100 9,5 7,5 7,0
S. aureus
250 8,0 8,5 7,0
500 7,5 7,0 8,0
50 7,0 7,5 7,0
100 8,5 8,0 8,0
B. subtilis
250 8,0 8,0 7,0
500 8,0 7,0 7,0
50 8,0 8,0 7,0
100 10,0 7,0 7,0
P. aeroginosa
250 9,0 7,0 7,0

29
500 8,0 7,0 7,0
50 9,0 7,0 7,0
100 11,0 7,0 7,5
E. coli
250 9,0 8,5 7,5
500 8,5 8,0 7,0

Besarnya diameter zona hambat masing-masing ekstrak dipengaruhi oleh adanya senyawa
kimia yang terkandung di dalam ekstrak tersebut. Dari hasil uji senyawa kimia yang telah dil-
akukan bahwa pada ekstrak metanol bintang laut A. forbesii mengandung senyawa alkaloid,
terpenoid, saponin dan flavonoid, senyawa-senyawa tersebut memiliki potensi sebagai anti
bakteri. Farouk et al. (2007) menyatakan bahwa metabolit sekunder dalam Holothuria scabra
yang berpotensi sebagai senyawa anti bakteri adalah golongan atau turunan dari senyawa ter-
penoid, diantaranya saponin, steroid dan triterpenoid. Golongan senyawa tersebut memiliki
polisakarida sehingga dapat menembus membran sel bakteri, sehingga sel tersebut rusak.
Senyawa alkaloid yang dihasilkan ekstrak bintang laut A. forbesii dapat berpotensi se-
bagai anti bakteri karena dapat merusak dinding sel bakteri. Juliantina (2008), menyatakan
senyawa alkaloid memiliki mekanisme penghambatan dengan cara mengganggu komponen
penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara
utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut. Selain itu, menurut Gunawan (2008) dalam
senyawa alkaloid terdapat gugus basa yang menggandung nitrogen akan bereaksi dengan sen-
yawa asam amino yang menyusun dinding sel bakteri dan DNA bakteri. Reaksi ini mengaki-
batkan terjadinya perubahan struktur dan susunan asam amino sehingga akan menimbulkan
perubahan keseimbangan genetik pada rantai DNA sehingga akan mengalami kerusakan akan
mendorong terjadinya lisis sel bakteri yang akan menyebabkan kematian sel pada bakteri.
Menurut Ganiswarna (1995) saponin bekerja sebagai anti bakteri dengan cara meng-
ganggu stabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakteri lisis, jadi
mekanisme kerja saponin termasuk dalam kelompok anti bakteri yang mengganggu permea-
bilitas membran sel bakteri, yang mengakibatkan kerusakan membran sel dan menyebabkan
keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel bakteri yaitu protein, asam nukleat dan
nukleotida
Flavanoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol, senyawa fenol mempu-
nyai sifat efektif menghambat pertumbuhan virus, bakteri dan jamur. Sehubungan dengan
mekanisme kerja dari flavonoid dalam menghambat pertumbuhan bakteri, antara lain bahwa
flavonoid menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri (Sabir, 2008).
Mirzoeva et al., (1997) berpendapat bahwa flavonoid mampu menghambat motilitas bak-

30
teri. Mekanisme yang berbeda dikemukakan oleh Di Carlo et al., (1999) yang menyatakan
bahwa gugus hidroksil yang terdapat pada struktur senyawa flavonoid menyebabkan peru-
bahan komponen organik dan transpor nutrisi yang akhirnya akan mengakibatkan timbulnya
efek toksik terhadap bakteri. Sedangkan senyawa terpenoid dapat menghambat pertumbuhan
mikroba yakni dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran dan atau
dinding sel, membran atau dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna
(Ajizah, 2004).

2.7 Teripang
Menurut Matranga (2005) teripang sudah ratusan tahun digunakan sebagai obat-obatan
di Cina yang diyakini mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Efek penyembuhan
tersebut mungkin disebabkan senyawa bioaktif yang terdapat pada tubuh teripang seperti sap-
onin (Dyck dkk., 2010). Senyawa saponin yang terkandung dalam teripang dapat berpotensi
sebagai antibakteri (Bordbar dkk., 2011).
Teripang merupakan hewan invertebrata yang memiliki tubuh yang lunak, berdaging
dan berbentuk silindris memanjang seperti ketimun. Bentuk tersebut menyerupai mentimun
sehingga teripang dikenal dengan nama mentimun laut (sea cucumber). Teripang memiliki
potensi ekonomi yang cukup tinggi sebagai bahan makanan dengan kandungan gizi dan pro-
tein yang juga cukup tinggi. Teripang dapat ditemukan hampir diseluruh perairan pantai, mu-
lai dari daerah pasang surut yang dangkal sampai perairan yang dalam (Martoyo dkk., 2006).
Holothuria leucospilota
Holothuria leucospilota, umumnya dikenal sebagai teripang hitam, adalah spesies
invertebrata laut yang masuk kedalam keluarga Holothuriidae.
Teripang butoh keeling (Holothuria leucospilota), memiliki golongan metabolit
sekunder yaitu triterpenoid, saponin, dan flavonoid.
Dari hasil fitokimia menunjukkan bahwa fraksi metanol dan etil asetat memiliki kan-
dungan senyawa metabolit yang sama yaitu triterpenoid, saponin dan flavonoid. Ketiga go-
longan senyawa metabolit sekunder ini diketahui memiliki aktivitas antibakteri. Pada ekstrak
kasar tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri P.acnes dan S.epidermidis dikarenakan
ada beberapa senyawa yang bersifat antagonis (melemahkan) dan ada pula yang bisa bersifat
sinergis (menguatkan atau meningkatkan efektivitas) ketika digunakan secara bersamaan pada
konsentrasi tertentu (Darwis, dkk, 2012).
Mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri oleh golongan senyawa fitokimia mem-
iliki aktivitas yang berbeda. Flavonoid dapat digunakan sebagai antibakteri karena dapat
mendenaturasi protein sel dan merusak keutuhan membran sel bakteri tanpa bisa diperbaiki
31
lagi (Pelczar dan Chan, 1988). Menurut Fissy, A. (2013), senyawa flavonoid dapat meng-
ganggu aktivitas transpeptidase peptidoglikan sehingga pembentukan dinding sel terganggu
dan menyebabkan lisis sel. Flavonoid diduga dapat membentuk kompleks dengan protein
ekstraselular dan dinding sel bakteri sehingga dinding sel bakteri tidak dapat menahan
tekanan osmotik internal dan mengakibatkan dinding sel rusak (Cowan, dkk., 1999). Menurut
Gisvold (1982), disebutkan bahwa flavonoid menyebabkan terjadinya kerusakan pereabilitas
dinding sel bakteri, mikrosom, dan lisosom sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan
DNA bakteri.

Teripang dikenal dengan nama Ketimun laut, Suala, Sea cucumber, beche de-mer atau
dalam nama pasar international teat fish. Dan hasil penelitian teripang mempunyai kandungan
gizi yang tinggi, yaitu kandungan protein 82 %, lemak 1,7 % kadar air 8,9 %, kadar abu 8,6 %
dan karbohidrat 4,8 %.

Teripang atau ketimun laut yang digolongkan ke dalam kelas Holothuridea merupakan
satu di antara hewan laut yang dimakan dan mempunyai prospek cerah sebagai bahan ekspor
yang permintaannya semakin besar, terutama dalam bentuk kering dan asapan. Permintaan
Teripang Mulai membludak dan bisnis ini sebenarnya adalah potensial. Dan nelayan teripang
selama ini belum terlalu mengenal tentang jenis teripang.

Selama ini produksi teripang umumnya diperoleh dari penangkapan di alam yang
sumber dayanya semakin terbatas, sehingga untuk memenuhi volume permintaan pasar dapat
ditempuh melalui budidaya. Budidaya teripang khususnya teripang pasir (Holothuria Scabra)
memungkinkan dilakukan oleh masyarakat pantai karena teknik budidayanya cukup seder-
hana dan inventasi yang diperlukan relatif kecil.

Sifat biologis teripang pasir yang khas adalah hidup pada habibat pasir atau lumpur
yang ditumbuhi tanaman lamun pada kedalaman relatif dangkal, dan mengambil makanan
yang ada disekitarnya (Filter feeder). Salah satu sifat biologi teripang pasir yang penting
diketahui dalam rangka usaha budidaya adalah: tubuhnya elastis sehingga mudah meluruskan
diri melalui celah-celah yang sangat sempit.

Morfologi teripang

Pengamatan morfologi, pengukuran panjang dan pemotretan teripang harus dilakukan


saat hewan masih hidup. Hal ini mengingatkan bahwa teripang mudah mengalami perubahan
bentuk dan warna setelah diawetkan.

Teripang memiliki tubuh yang lunak dan elastis dengan bentuk yang bervariasi, seperti
membulat, silindris, segi empat atau bulat memanjang seperti ular. Mulut terletak di anterior
sedangkan anu terletak diujung posterior. Panjang tubuh bervariasi menurut jenis dan umur,
berkisar antara 3cm sampai 150cm. Bentuk tubuh teripang merupakan ciri taksonomiknya pa-

32
da tingkat bangsa (ordo) dan suku (family), khususnya untuk suku-suku dari bangsa Aspi-
dochirotida.

Teripang pada umumnya mempunyai warna kulit yang kusam, seperti abu-abu, coklat,
hijau lurnut, atau hitam. Sisi Ventral dari teripang biasanya berwarna lebih cerah dari pada
sisi dorsal, seperti putih, kuning, merah muda atau merah. Beberapa jenis teripang memiliki
kulit dengan pola bercak-bercak atau garis-garis teripang memiliki lima daerah “ambulakra”
yang memanjang secara oral-aboral. Tiga daerah ambulakra berada disisi ventral, sedangkan
dua lainnya disisi dorsal. Maing-masing sisi “trivium” dan “bivium”. Kaki tabung disisi ven-
tral lebih banyak, lebih besar, dan memiliki penghisap pada ujungnya, sedangkan kaki tabuh
disisi dorsal termodifikasi sebagai papula yang lebih sedikit dan lebih kecil. Ada tidaknya ka-
ki tabuh juga merupakan salah satu dasar klasifikasi teripang pada tingkat bangsa. Pada seke-
liling mulut teripang, kaki tabung termodifikasi sebagai tentakel. Jumlah tentakel bervariasi
dari 10 sampai 30, biasanya merupakan kelipatan lima. Panjang tentakel pada setiap individu
umumnya sama. Bentuk tentakel teripang bermacam-macam, seperti bentuk perisai (peltate),
bentuk dendrit (dendritic), bentuk menyirip (pinnate) maupun bentuk menjari (digitate) dan
bentuk perisai menjari (peltato-digitate). Jumlah dan bentuk tentakel merupakan ciri tak-
sonomilk dalam klasifikasi teripang pada tingkat bangsa dan suku.

Ciri-ciri morfologi Teripang yaitu bentuk badari bulat panjang, punggunya berwaena
abu-abu sampai kehitaman dengan garis melintang berwarna hitam di seluruh bagian tubuh.
Apabila diraba tarasa kasar dan banyak ditemukan disela-sela karang baik yang masih hidup
maupun yang telah mati dan diperairan yang didasarnya mengandung pasir (Martoyo et al,
2006).

Notowinarto (1991), menyatakan bahwa pada bagian anterior terdapat mulut (oral)
tentakel yang berfungsi untuk mengambil, menghisap partikel, atau makanan dan bagian pas-
terior terdapat kloaka (aboral) untuk mengeluarkan sia-sia makanan maupun air. Pada bagian
dekat anus dijumpai kelenjar seperti gerah yang berfungsi sebagai alat pertahan diri. Sistem
pemanasan Teripang menggunakan sistem pernapasan pohon yang terletak pada rongga kana
dan kiri atau berselahan dengan sisten pencernaan.

Permukaan tubuh teripang pada umumnya kasar karena adanya “spikula” pada dinding
tubuh hewan tersebut. Spikula merupakan endoskeleton yang telah tereduksi menjadi beruku-
ran mikdoskopis dan tertanam dalam lapisan dermis dinding tubuh teripang. Senyawa utama
pembentuk epikula adalah kalsium karbonat yang larut dalam larutan asam. Spikula teripang,
seperti halnya endoskeleton echinoderm lainnya, memiliki strukrut berpori-pori yang dapat
mencapat lebih dari 50% volume total endoskeleton. Susunan dan ukuran pori-pori sangat
bervariasi pada teripang yang masih hidup, pori-pori terisi oleh serat-serat jaringan peningkat.

Bentuk dari Spikula bemacam-macan dan khasiat untuk masing-masing jenis, oleh ka-
rena itu sikula menjadi ciri teripang pada tingkat Marga (genus) dan Jenis (spesies). Variasi

33
bentuk spikula teripang bermacam-macam, mulai bentuk yang sederhatan seperti batang
(rod), barang bercabang (branched rod), lempengan (plate), roset (rosette), kancing (button),
dan jangkat (anchor) sampai bentuk yang lebih kompleks seperti bentuk meja (table).

C. Jenis jenis teripang

Jenis teripang yang dapat dimakan dan mempunyai nilai ekonomi penting terbatas pada
kelompok (famili) Asphidochiratae dan hanya dan genus Holothuriidae, Muelleria dan Sti-
chopus, dan 3 genus ini yang dapat ditemukan di perairan Indonesia. Dan ketiga genus terse-
but baru sekitar 5 jenis teripang yang sudah dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi
penting. Adapun jenis jenis teripang itu antara lain :

1. Teripang putih atau pasir (Holothuria scabra)

2. Terpang hitam (Holothuria edulis)

3. Terpang getah atau keling (Holothuria vacabunda)

4. Teripang merah (Holothuria vatiensis)

5. Teripang coklat (Holothuria marmorata)

6. Teripang batu (Holothuria lecanora)

Antibakteri teripang laut

Daya hambat antibakteri berbeda-beda.Antibakteri dapat dibedakan berdasarkan


mekanisme kerjanya, yaitu antibakteri yang menghambat pertumbuhan dinding sel, antibak-
teri yang mengakibatkan perubahan permeabilitas membrane sel atau menghambat
pengangkutan aktif melalui membran sel, antibakteri yang menghambat sintesis protein dan
antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel

34
2.8 Tunikata (Polycarpa aurata)
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa organisme laut memiliki potensi yang sangat
besar, dalam menghasilkan senyawa-senyawa aktif yang dapat digunakan sebagai bahan baku
obat-obatan. Tunikata merupakan salah satu organisme laut yang diketahui dapat
menghasilkan senyawa aktif (Radjasa et al. 2011; Mans, 2016). Tunikata mempunyai tubuh
lunak dan hidup secara sesil dengan mekanisme pertahanan tubuh tidak terlihat. Tunikata
tumbuh pada dasar dan memiliki lapisan tubuh yang tebuat dari tunisin, suatu bahan selulosa
dimana organisme ini mendapatkan namanya. Organisme ini diketahui dapat menunjukkan
keragaman senyawa yang sangat besar. Bahan alam laut yang dihasilkan dapat berasal dari
mikroba atau interaksi mikroba dengan inang yang berperan penting dalam pengembangan
bahan obat dan penyembuhan penyakit (Cragg dan Newman, 2012).
Tunikata merupakan invertebrate di ekosistem terumbu karang yang banyak
menghasilkan senyawa seperti antibakteri, antitumor dan antikanker. Sekitar 1.000 bahan aktif
telah diisolasi dari tunikata (Schmidt and Donia, 2010). Selain itu hewan laut seperti tunikata
Polycarpa aurata yang ada di terumbu karang, diketahui memiliki senyawa yang berguna un-
tuk bahan antibiotic, antiradang, dan antikanker (Lambert, 2004).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pham, et al (2003), menunjukkan bahwa hasil


ekstraksi tunikata P. aurata mengandung senyawa kimia berupa peptida dan golongan alka-
loid yang bersifat sitotoksik dan memiliki kemampuan sebagai antibakteri terhadap bakteri
patogen. Isolat bakteri yang berasal dari tunikata P. aurata berpotensi menghasilkan senyawa
antibakteri bersifat bakteriosidal maupun bersifat bakteriostatis. Alkaloid memiliki memiliki
kemampuan sebagai antibakteri. Mekanismenya adalah dengan cara mengganggu komponen
penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara
utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut.
Tunikata merupakan hewan invertebrate yang berpotensi mengandung senyawa me-
tabolit sekunder berupa alkaloid, flavonoid, dan steroid (Aulia, 2011). Senyawa flavonoid
35
mekanisme kerjanya mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak membrane sel tanpa
memperbaiki lagi. Flavonoid juga bersifat lipofilik yang akan merusak membrane mikroba. Di
dalam flavonoid mengandung suatu senyawa fenol, dimana senyawa ini pada pada penelitian
sebelumnya dapat mengganggu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Fenol merupa-
kan suatu alcohol yang bersifat asam sehingga disebut juga asam karbolat. Fenol memiliki
kemampuan untuk mendenaturasikan protein dan merusak membran sel. Kondisi asam oleh
adanya fenol dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus (Rahayu, 2000).

2.9 Lamun
Lamun atau sejenis rumput yang hidup di dasar laut adalah anggota tumbuhan berbun-
ga yang telah beradaptasi untuk hidup sepenuhnya di dalam lingkungan air asin. Lamun
(seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat tumbuh dengan baik dalam
lingkungan laut dangkal. Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang
mempunyai akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan
berpembuluh yang tumbuh di darat. Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae).
Lamun tumbuh berkawanan dan biasa menempati perairan laut hangat dangkal dan
menghubungkan ekosistem mangrove dengan terumbu karang. Wilayah perairan laut yang
ditumbuhi lamun disebut padang lamun, dan dapat menjadi suatu ekosistem tersendiri yang
khas.
Istilah lamun untuk seagrass, pertama-tama diperkenalkan oleh Hutomo kepada para
ilmuwan dan masyarakat umum pada era tahun 1980-an dalam disertasinya yang berjudul
“Telaah Ekologik Komunitas Ikan pada Padang Lamun di Teluk Banten”, lamun merupakan
kelompok tumbuhan hidup di perairan laut dangkal. Lamun merupakan tumbuhan berbunga
(Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang mem-
iliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan
akar sejati. Berbeda dengan rumput laut (seaweed), lamun memiliki akar, batang dan daun
sejati sehingga dikategorikan sebagai tumbuhan tingkat tinggi. Lamun juga berbunga, berbuah
dan menghasilkan biji. Selain itu lamun dikenal sebagai tumbuhan berrumah dua, yaitu dalam
satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau bunga betina saja. Sistem pembiakan generat-
ifnya cukup khas karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air dan buahnya terendam
di dalam air.
Lamun merupakan tumbuhan laut monokotil yang secara utuh memiliki perkembangan
sistem perakaran dan rhizoma yang baik. Pada sistem klasifikasi, lamun berada pada kingdom
Plantae, Sub kelas Monocotyledoneae, kelas Angiospermae. Di Indonesia sampai saat ini ter-
catat ada 13 spesies lamun. Kedua belas jenis lamun ini tergolong pada 2 famili dan 7 genus.
36
Ketujuh genus ini terdiri dari 3 genus dari family Hydrocharitaceae yaitu Enhalus, Thalassia
dan Halophila, dan 4 genus dari family Potamogetonaceae yaitu Syringodium, Cymodocea,
Halodule dan Thalassodendron. Spesies : Cymodocea rotundata, Cymodocea serrrulata, En-
halus acoroides, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Halophila decipiens, Halophila mi-
nor, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Halophila sulawessi, Syringidium isoetifolium,
Thalasia hemprichii, Thalasodendrom ciliatum.
 Morfologi umum Lamun.
Morfologi lamun sama halnya dengan tumbuhan angiospermae didarat yaitu
terdiri dari rhizome (rimpang), daun, dan akar. Rhizome merupakan batang yang terbe-
nam dan merayap secara mendatar dan berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh
batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga, serta tumbuh akar. Dengan
rhizome dan akar inilah tumbuhan tersebut mampu menahan hempasan ombak dan arus.
Tumbuhan lamun mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya hidup di laut, yai-
tu: (1). Mampu hidup di media air asin; (2). Mampu berfungsi normal dalam kondisi
normal; (3). Mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang biak; (4). Mampu
melakukan penyerbukan dan daun generatif dalam keadaan terbenam. Fungsi akar
lamun adalah untuk menyerap nutrient dan sebagai tempat penyimpanan O2 hasil
fotosintesis dan CO2 yang digunakan untuk fotosintesis. Struktur rhizoma dan ba-
tangnya bervariasi di antara jenis-jenis lamun, sebagai susunan ikatan pembuluh pada
stele. Rhizoma bersama-sama dengan akar, menancapkan lamun pada substrat. Rhizoma
dan akar lamun dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut sehingga lamun ta-
han terhadap hempasan ombak dan arus. Rhizoma biasanya terkubur di bawah sedimen
dan membentuk jaringan luar. Tumbuhan lamun tidak memiliki stomata, namun mem-
iliki lapisan kutikula yang tipis pada permukaan daun yang dapat menggantikan fungsi
stomata sebagai tempat keluar masuknya udara dan adanya terjadinya transfer zat ter-
larut.
 Ciri-ciri spesies Lamun.
a. Cymodocea serrulata Memiliki daun yang berbentuk seperti pita yang lurus atau
sedikit melengkung. Setiap tegakkan terdiri dari 2-3 helai daun. Dengan panjang
daun 5,9-14,1 cm dan lebar 0,2-0,8 cm. Mempunyai ukuran batang yang pendek
dan akar yang bercabang menempel pada rhizoma. Secara umum terlihat rhizoma
berwarna kuning sampai kecoklatan. Cymodocea rotundata memiliki tepi daun
halus atau licin, tidak bergerigi, tulang daun sejajar, akar tidak bercabang, tidak
mempunyai rambut akar, dan akar pada nodusnya terdiri dari 2-3 helai. Selain itu
tiap nodusnya hanya terdapat satu tegakan.
37
b. Thalassia hemprichii memiliki daun spesies ini berbentuk seperti pita dan tum-
buh agak melengkung berbentuk seperti sabit yang tebal. Setiap tegakkan rata-
rata memiliki 3 helai daun. Mempunyai batang dengan pelepah daun yang me-
nyelimuti dan akar serta rhizoma berbentuk seperti saluran yang berbuku-buku.
Thalassodendron ciliatum memiliki rhizoma yang sangat keras dan berkayu, ter-
dapat ligule, akar berjumlah 1-5, ujung daun membentuk seperti gigi, dan helaian
daunnya lebar serta pipih. Daun-daunnya berbentuk sabit, dimana agak menyem-
pit pada bagian pangkalnya.
c. Enhalus acoroides memiliki akar berbentuk seperti tali, berjumlah banyak dan
tidak bercabang. Panjangnya antara 18,50 – 157,65 mm dan diameternya antara
3,00 – 5,00 mm. Bentuk daun seperti pita, tepinya rata dan ujungnya tumpul,
panjangnya antara 65,0 – 160,0 cm dan lebar antara 1,2 – 2,0 cm. Tumbuhnya
berpencar dalam kelompok-kelompok kecil terdiri dari beberapa individu atau
kumpulan individu yang rapat. Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang
mempunyai ukuran paling besar, helaian daunnya dapat mencapai ukuran lebih
dari 1 meter. Jenis ini tumbuh di perairan dangkal sampai kedalaman 4 meter,
pada dasar pasir, pasir lumpur atau lumpur.
d. Halodule uninervis memiliki ujung daun yang berbentuk gelombang menyerupai
huruf W, jarak antara nodus + 2 cm, dan rimpangnya berbuku-buku. Setiap no-
dusnya berakar tunggal, banyak dan tidak bercabang. Selain itu juga setiap no-
dusnya hanya terdiri dari satu tegakan, dan tiap tangkai daun terdiri dari 1 sampai
2 helaian daun. Halodule pinifolia memiliki daun yang sangat panjang sekitar
6,9-15,2 cm dan sangat sempit dengan lebar sekitar 0,1-0,2 cm. Dan setiap te-
gakan terdapat 1-2 helai daun. Ukuran batang yang pendek dengan akar yang
tumbuh dari rhizoma yang memiliki warna coklat kehitaman.
e. Halophila decipiens memiliki helai-helai daun yang berbulu, tembus cahaya, tipis
menyolok, dan berbentuk oval atau elips. Selain itu mempunyai tepi daun yang
bergerigi seperti gergaji, daun yang berpasang-pasangan, rhizomanya berbulu
dan sering tampak kotor karena sedimen menempel pada bulu-bulu tersebut.
Halophila spinulosa memiliki daun berbentuk bulat panjang, tepi daun tajam,
rhizoma tipis dan kadang-kadang berkayu, dan setiap kumpulan daun terdiri dari
10-20 pasang helai daun yang saling berpasangan. Halophila minor memiliki 4-7
pasang tulang daun, daun berbentuk bulat panjang seperti telur, pasangan daun
dengan tegakan pendek, dan panjang daun 0,5-1,5 cm. Halophila ovalis adalah
spesies yang hidup pada substrat berlumpur, memiliki daun yang berbentuk bulat
38
telur (oval) berpasangan, ujung daun agak bulat dan akar tidak berambut. Serta
memiliki rhizoma yang mudah patah. Halophila sulawesii adalah spesies rumput
laut baru yang diberinama tahun 2007. spesies ini memiliki ciri hampir mirip
dengan Halophila ovalis yang hidup di perairan dalam. Perbedaan keduanya ter-
letak pada posisi bunganya yaitu Halophila ovalis bunga jantan dan bunga betina
letaknya terpisah pada dua individu yang berbeda (berumah dua/dioecious). Se-
dangkan pada Halophila sulawesii, bunga jantan dan betina berada dalam satu
individu (berumah satu/monoecious), namun terletak pada ruas yang berbeda.
f. Syringodium isoetifolium memiliki akar tiap nodus majemuk dan bercabang,
daun berbentuk silindris dan panjang, rimpangan yang tidak berbuku-buku, dan
tiap tangkai daun terdiri dari 2-3 helaian daun. Selain itu juga mempunyai tangkai
daun berbuku-buku.
Lamun banyak ditemukan di kepulauan Indonesia dan keragaman jenisnya pun cukup
tinggi. Pemanfaatan lamun oleh masyarakat sekitar biasanya hanya sebagai pupuk kompos
dan pakan ternak. Padahal di negara-negara maju lamun sudah mulai dimanfaatkan sebagai
bahan kecantikan, obat, dan bidang farmasi lainnya. Diketahui bahwa memang lamun mem-
iliki kandungan senyawa aktif yang sangat berguna dalam bidang farmasi salah satunya ada-
lah sebagai antibakteri. Menurut penelitian Kumar et al. (2008), ekstrak lamun Halophila ova-
lis memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus, Ba-
cillus cereus, Escherichia coli, dan Salmonella paratyphi. Beberapa jenis lamun yang sering
ditemukan di Indonesia di antaranya yaitu: Enhalus, Cymodocea, Thalassia, Halophila dan
Syringodium.
 Lamun Cymodocea rotundata

Cymodocea rotundata merupakan salah satu jenis lamun yang berpotensi sebagai anti-
bakteri. Senyawa bioaktif yang bersifat sebagai antibakteri adalah fenol, flavonoid dan tanin.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan lama inkubasi dan konsentrasi
39
ekstrak lamun C. rotundata yang berbeda terhadap aktivitas antibakteri S. aureus dan E. Coli.
Metode penelitian yang digunakan yaitu experimental laboratories dengan menggunakan
rancangan dasar penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial, pola
terbagi oleh faktor lama inkubasi bakteri (24 jam, 48 jam dan 72 jam) dan perbedaan konsen-
trasi ekstrak lamun (5%, 10% dan 15%). Data dianalisis menggunakan SIDIK RAGAM dan
dilakukan analisis lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ), apabila terdapat perbedaan pada perlakuan.
Ekstrak lamun C. rotundata efektif sebagai antibakteri dengan kategori sedang yaitu zona
hambat berkisar antara 5-10 mm. Konsentrasi optimum untuk menghambat S.aureus dan
E.coli adalah 15% dengan lama inkubasi 48 jam dengan zona hambat yang dihasilkan masing-
masing sebesar 6, 123 mm. Dan 5, 833 mm.
 Lamun Thalassia hemprichii

Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang umum dijumpai di perairan Indone-
sia termasuk di Pulau Panjang Jepara. Keberadaannya yang melimpah di sana, kurang di-
manfaatkan secara maksimal sehingga seringkali mengotori perairan. Oleh sebab itu dibutuh-
kan cara pemanfaatan lamun Thalassia hemprichii secara lebih optimal agar lebih bermanfaat
bagi manusia, salah satunya yaitu sebagai antibakteri. Thalassia hemprichii diketahui mem-
iliki kandungan senyawa bioaktif seperti flavonoid, alkaloid, tanin, steroid dan fenol yang
cukup tinggi. Thalassia hemprichii juga memiliki potensi bioaktif sebagai antioksidan dan
mengandung senyawa golongan fenolik.
2.10 Cumi-Cumi

40
Tinta cumi-cumi (Loligo sp.) berkhasiat sebagai antibakteri. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui adanya efek antibakteri tinta cumicumi terhadap bakteri saluran akar gigi.
Penelitian ini ialah penelitian eksperimental laboratoris yang menggunakan modifikasi
metode Kirby-Bauer, difusi sumur. Isolat bakteri diisolasi dari specimen saluran akar gigi ne-
krosis pulpa, ditanam dalam BHA untuk mendapatkan koloni. Tiga koloni yang ditemukan
diuji dengan tinta cumi-cumi fraksi etil asetat dan fraksi larut air.
Hasil penelitian menunjukkan adanya daerah hambat bakteri uji pada fraksi etil asetat
tinta cumi-cumi. Di lain pihak, tidak adanya daerah hambat bakteri pada fraksi larut air,
menginformasikan keberadaan senyawa antibakteri merupakan senyawa nonpolar. Pada pen-
gujian laboratorium menunjukkan kedua isolat teridentifikasi sebagai Streptococcus py-
ogenes. Dari penelitian ini dapat disimpulkan fraksi etil asetat tinta cumi-cumi (Loligo sp.)
memiliki efek antibakteri terhadap bakteri saluran akar gigi.
Kebutuhan terhadap obat-obatan alternatif dari alam yang efektif mengatasi infeksi po-
limikroba semakin mendesak untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Substansi bioaktif
alami memiliki efek samping lebih minimal dibanding substansi sintetis sehingga lebih aman
bagi tubuh hospes. (Smiline, 2012)
Laut menyediakan produk-produk yang sangat berguna bagi masa depan pengobatan.
Salah satu hasil laut yang memiliki khasiat farmasitika yaitu cumicumi, terutama tinta yang
dihasilkannya. Tinta cumi-cumi terbukti banyak berperan dalam dunia pengobatan alternatif
serta memiliki jangkauan yang luas pada aplikasi terapeutik. (Smiline, 2012) Khasiat tinta
cumi-cumi sebagai antiretroviral, antitumor, antioksidan, serta kemampuan melindungi sel
dari kerusakan karena kemoterapi telah dilaporkan. (Jie-Ping, 2009) Potensi antibakteri tinta
cumi-cumi terhadap bakteri patogen pun telah banyak dipublikasikan. (Nazeer, 2013)
Penelitian terakhir menunjukkan ekstrak tinta cumi-cumi memiliki efek antibakteri terhadap
bakteri resisten betalaktam E. coli dan K. pneumoniae. (Smiline, 2012) Oleh karena itu,
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek antibakteri tinta cumicumi terhadap bakteri.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, tinta cumi-cumi Loligo sp.
fraksi larut etil asetat memiliki efek antibakteri terhadap S. pyogenes dan salah satu isolat
yang diisolasi dari saluran akar gigi nekrosis. Bila kemampuan antibakteri dari tinta cumi-
cumi ini dibandingkan dengan larutan amoksisilin, tinta tersebut masih kurang efektif dalam
menghambat bakteri.
2.11 Bulu Babi

Bulu babi atau landak laut (dalam Bahasa Inggris disebut sea urchin atau dalam Bahasa
Jepang disebut uni) adalah hewan avertebrata laut. Para ahli mengelompokkan bulu babi da-
lam Kelas Echinoidea, Filum Echinodermata (echinos = landak; derma = kulit). Organisme ini
41
sangat banyak, menurut Aziz (1999) in Dahuri (2003) dikenal sekitar 800 spesies di dunia.
Sedangkan di Perairan Indonesia terdapat sekitar 84 jenis bulu babi (Aziz, 1993). Tubuh bulu
babi memiliki bentuk setengah bulat dan terlindung oleh suatu struktur berupa cangkang dan
duri yang bervariasi. Di dalam cangkang terdapat beberapa organ termasuk organ reproduksi
berupa gonad yang dapat dikonsumsi. Secara umum variasi tersebut dianggap sebagai respon
tiap individu terhadap fluktuasi lingkungan lokal, ketersediaan makanan, dan faktor ling-
kungan perairan lainnya. Bulu babi memiliki beragam manfaat. Sebagian memiliki manfaat
sebagai bahan pangan, ekologi, ekonomi dan sifat racun. Sebagian lain telah dimanfaatkan
sebagai organisme model, hewan hias dan digunakan dalam bidang kesehatan terutama untuk
pengobatan penyakit pada manusia. Bahkan beberapa ahli biologi, biokimia, biologi molekul,
lingkungan telah memanfaatkan bulu babi untuk berbagai kepentngan.

Spesies
Diadema setosum merupakan salah satu jenis bulu babi yang penyebarannya di seluruh
zona terumbu karang antara lain pada zona pasir, zona pertumbuhan alga, zona lamun sampai
daerah tubir. Populasi spesies lebih banyak ditemukan pada daerah karang yang kondisinya
telah rusak. Spesies ini hidupnya mengelompok dengan tujuan untuk mempertahankan diri
dari anca umum bulu babi memakan alga coklat, alga hijau dan lamun sebagai makanan uta-
manya sedangkan D.setosum, karena hidupnya di bawah batas surut terendah maka sumber
makanannya berasal dari berbagai jenis alga serta partikel organik/detritus.

42
Bulu babi memiliki gonad yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Gonad ter-
sebut terdapat dalam cangkang bulu babi jantan dan betina dengan ukuran panjang dapat
mencapai 2 inci dan lebar satu inci. Di dalam gonad tersebut terdapat sel-sel makanan.Dalam
gonad bulu babi D. setosum ditemukan 5 asam amino esensial bagi manusia de-wasa (lisin,
metionin, fenilalanin, treonin, dan valin) dua asam amino esensial bagi anak-anak (arginin dan
histidin) serta terdapat asam amino semi esensial seperti sistin. Selain itu terdapat asam amino
non esensial seperti asam aspartat, asam glutamat, glisin dan serin (Ismail et al., 1981 in Dar-
sono 1982).
Kandungan gonad pada bulu babi jenis ini merupakan objek penelitian yang banyak
digunakan. Bulu babi memiliki tiga komponen biokimia yang penting yaitu protein, lemak,
dan karbohidrat. Ketiga komponen ini merupakan penyedia energi bagi bulu babi dan
penyusun struktur elemen dalam proses pembentukan dan perkembangan telur. Kadar lemak
gonad bulu babi pada penelitian ini yaitu 19,73%. Bulu babi jenis D. setosum merupakan sa-
lah satu jenis bulu babi dengan larva planktotrofik, dimana larva memperoleh nutrisi dari or-
ganisme plankton dan detritus. Hasil yang diperoleh sejalan dengan penelitian yang dilakukan
McAlister dan Moran (2012), yakni kadar lemak tertinggi ditunjukkan pada bulu babi Echi-
nometra lucunter yang merupakan bulu babi planktotrofik 30,7%. Faktor yang mempengaruhi
kandungan lemak dalam gonad bulu babi salah satunya adalah makanan. McAlister dan Mo-
ran (2012) menyatakan bahwa terdapat 2 jenis sumber bahan makanan bulu babi yaitu non-
planktonik yang bukan berasal dari plankton tapi berasal dari kuning telur induknya dan
planktotrofik yang berasal dari fitoplankton maupun zooplankton. Faktor lain yang juga
mempengaruhi tingginya kadar lemak yaitu ukuran gonad, gonad bulu babi yang berukuran
besar secara proporsional mengandung lemak yanglebih banyak. Kandungan lemak yang
tinggi cenderung menghasilkan volume gonad yang besar, sehingga dapat dimanfaatkan se-
bagai cadangan energi untuk proses perkembangannya (Byrne et al. 2008)Bulu babi diketahui
merupakan salah satu hasil perikanan yang memiliki kandungan protein tinggi. Fungsi protein
sangat khas yakni membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh makhluk hidup,
fungsi ini tidak dapat digantikan oleh zat gizi yang lain. Kadar protein gonad pada penelitian
ini yaitu 12,2%.
Kadar abu merupakan akumulasi dari semua jenis mineral dan komponen anorganik
yang ada pada suatu bahan pangan salahsatunya adalah bulu babi. Kadar abu sampel tidak
berbeda jauh dibandingkan dengan Zlatanos et al. (2009) yakni 2,72%. Kadar abu dari mas-
ing-masing spesies berbeda-beda, tergantung dari lokasi, ketersediaan mineral pada daerah
tumbuh bulu babi. Walaupun diperlukan dalam jumlah sedikit, mineral juga diperlukan untuk
proses metabolisme dan pertumbuhan (Hammer et al. 2006).Darsono (1986) menyatakan
43
gonad bulu babi berkualitas baik memiliki tekstur kompak dan padat, namun pada saat telah
mencapai fase matang (dewasa) tekstur gonad lebih lunak dan berlendir ini diduga disebabkan
karena tingginya kadar air pada gonad. Fase yang tepat untuk proses pemanenan bulu babi
juga sangat mempengaruhi proses keberlanjutan bulu babi itu sendiri. Fase yang tepat untuk
proses pemanenan bulu babi ini pada saat fase pijah lanjut (post spawning/recovery) dan pada
fase ini juga tekstur gonad bulu babi kompak dan padat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
bahan makanan bergizi. Kualitas bulu babi tidak bergantung pada perkembangan proses gam-
etogenesisnya tetapi tergantung dari akumulasi nutrien pada gonad bulu babi tersebut
Dari 30 ekor bulu babi yang diekstrak, gonad menjadi bagian yang menghasilkan
ekstrak tertinggi (7,1%) daripada bagian lainnya. Bagian ini juga diduga memiliki kandungan
antibakteri tertinggi.Hal ini didasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa aktivitas
antibakteri gonad memiliki nilai tertinggi, dibandingkan bagian lainnya ketika diujikan ter-
hadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. "Senyawa yang diperoleh menun-
jukkan bahwa ekstrak bulu babi mengandung senyawa bioaktif golongan steroid, triterpenoid,
dan saponin. Ketiga golongan senyawa tersebut berperan dalam menghambat pertumbuhan
bakteri," tutur Febrina, seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima
Bulu babi yang dapat dikonsumsi diantaranya adalah Tripneustes gratilla Strongylo-
centrotus franciscanus, S. droebrachiensis, S. purpuratus, Echinus esculatus, Mespilia globu-
lus, Heliochidaris crassipina, H. tuberculata, H.erythogamma, Paracentrotus lividus, Diadema
setosum, Echinometra mathaei, Echinothrix sp, Salmacis sp (Lembaga Oseanologi Nasional,
1973; Aziz, 1993).
Echinodermata banyak memproduksi beberapa senyawa metabolit sekunder meskipun
tidak secara langsung bersangkutan dalam fungsi fisiologis namun mempunyai peranan yang
penting dalam kelangsungan hidup. Organisme ini memproduksi senyawa beracun untuk
mempertahankan dirinya dari serangan predator, dan racun yang berasal dari biota laut lebih
mematikan daripada racun biota yang ada di daratan.
Landak laut memiliki cangkang yang keras dan bagian dalamnya bersisi lima simetris.
Cangkang dari jenis bulu babi tertentu dilapisi oleh pigmen cairan hitam yang stabil. Cairan
ini dapat digunakan sebagai pewarnaan jala dan kulit.
Cangkang dari bulu babi juga diminati sebagai barang perhiasan sedangkan organ dari
sisa pengolahan bulu babi biasanya berupa cangkang dan organ dalam (jeroan) dapat diproses
lebih lanjut menjadi pupuk (Zaitsev et al 1969 dalam Ratna 2002).
Dua spesies bulu babi yang berbahaya
 T. pileolus

44
Bulu babi merupakan satu dari dua kelas dalam filum echinodermata yang memiliki
spe-sies berbisa. Dua bulu babi paling berbahaya yang dikenal adalah D. setosum dan T.
pileolus (Exton, 1989). Diadema sp. dapat mengakibat-kan luka menyakitkan jika diinjak.
Toxopneustes pileolus merupakan spesies bulu babi de-ngan pediselaria, organ berbisa,
yang dianggap paling berbisa dari semua bulu babi.

 Asthenosoma
Spesies lain adalah Asthenosoma, meng-hasilkan duri-duri beracun khusus pada
permu-kaan aboral. Ujung dari setiap duri dikelilingi oleh kantung biru besar yang
mengandung ra-cun yang dikeluarkan melalui lapisan epitel.Racun tersebut menyakitkan
manusia. Bulu ba-bi berbisa dikelompokkan dalam kategori yang sesuai sebagai berikut:
Spesies berduri panjang dapat menyuntik bisa selama tusukan dengan memutuskan integ-
umen lapisan atas (spesies Diadema) atau dengan mematahkan atau mele-paskan bisa dari
duri lumen cekungnya (spesies Echinothrix).

Kedua spesies mampu menyebabkan luka tusukan dalam. Peracunan awalnya


menghasil-kan rasa sakit pada tempat tusukan hingga be-berapa jam, muncul lagi dengan be-
berapa te-kanan pada sisi luka. Edema lokal, eritema, dan pendarahan bisa mengikuti. Simp-

45
ton muak sistemik, paresthesias, paralisis berotot dan kesu-litan pernafasan terjadi dalam ke-
banyakan kasus.
Bulu Babi dalam Peran Kesehatan
Bulu babi juga terkait dengan kesehatan manusia. Sebagai contoh adalah reseptor gua-
nilat siklase terikat pada membran yang berimplifikasi pada penyakit manusia, disentri enter-
otoksin stabil panas, pertama diisolasi dari sperma bulu babi. Penemuan dalam bulu babi ini
selanjutnya digunakan untuk mempelajari kese-hatan manusia. Masih banyak lagi studi yang
relevan dengan penyakit manusia yang meng-gunakan bulu babi sebagai organisme model
(Davidson dan Cameron, 2003). Angka dan Suhartono (2000), menyata-kan bahwa terdapat
efek penghambat pada fase mitosis perkembangan embrio bulu babi Arbacia puctula yang
berimplifikasi pada kemung-kinannya sebagai senyawa anti kanker. Bulu ba-bi juga mengan-
dung asam lemak tak jenuh omega 3 yang berkhasiat untuk menurunkan kan-dungan koles-
terol yang bersarang dalam tubuh manusia (Lembaga Oseanologi Nasional, 1973).

46
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
 Biota-biota laut yang memiliki aktivitas antibakteri, antara lain : spons, alga hijau, alga
merah, karang lunak, kerang darah, bintang laut, teripang, tunikata, cumi-cumi, lamun
dan bulu babi.
 Senyawa-senyawa yang terdapat dalam biota laut yang berfungsi sebagai antibakteri
antara lain : alkaloid, flavonoid, terpenoid, saponin, kitosan, steroid, fenol.

3.2 Saran
Sebaiknya saat melakukan penelitian harus dilakukan sesuai dengan SOP agar tidak ter-
jadi kerusakan pada biota laut, karena biota-biota laut banyak memiliki kegunaan terutama
dalam dunia kesehatan seperti contohnya sebagai aktibakteri.

47
DAFTAR PUSTAKA

Birsyam, Inge. L. 1992. Botani Tumbuhan Rendah. Bandung : ITB Bandung

13Bremer, K. 1985. Summary of green plant phylogeny and classifica-


tion.Cladistics, 1: 369–385.Hasnunida Neni. 2007.

Buku Ajar Botani Tumbuhan Rendah. Bandarlampung: UNILA.Dawes, C. J. 1998.

Marine Botany 2nd ed. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
http://www.flickr.com/photos/sybe/sets/72057594079289363/.Kadi, A. 2005.

Jurnal Oseana.Luning, K. 1990. Seaweed Their Environment, Biogeography, and Ecophysiol-


ogy.New York: John Wiley & Sons, Inc. May, Suellen. 2007. Invasive Aquatic and Wetland
Plants. New York: ChelseaHouse Publishers. Nybakken, J.W. 1993.

Marine Biology An Ecilogical Approach Third Edition.New York: Harper Collins Collage
Publisher.Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2009.

Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan TentangBiota Laut. Jakarta : Djambatan. Romimohtarto,


Kasijan dan Juwana Sri. 2007.

Biologi Laut. Jakarta: Djambatan. Setyawan, I. B. 2011.

Divisi Clorophyta. Malang: Universitas MuhamadiyahMalang.Sulisetjono. 2009. Bahan Se-


rahan Alga. Malang: Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maliki Malang.Sze, P. 1986.

Algae Second Edition. Australia : Wm.C.Brown Publishers.Tjitrosoepomo, G. 2005. Morfol-


ogi Tumbuhan. Yogyakarta : Universitas GajahMada.

Anonim, 1992. Budidaya Laut. Bulletin balal Budidaya Lut lampung.

Anonim, 1994. Komoditas Ekspor Potensial. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peri-
kanan.

Booklet, Jenis-Jenis Komoditi Laut Ekonomis Penting pada Usaha Pembenihan, Direktorat
Bina Pembenihan, Dirjen Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta, 1996
Brooks, G. F. J. S. Butel, And L. N. Ornston. 1995. A. Review of Medical Microbiology.
Journal of Microbiology. 4 : 197--202.

Joko Martoyo, dkk., 2000. Budidaya Teripang. Penebar Swadaya Jakarta

Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella Typhimurium Terhadap Ekstrak Daun Psidiu


Guajava L. Journal Bioscientie, 1(1):31-8.

Alexander. 2012. Distribusi Bintang Laut (Asteroidea sp) Pada Perairan Pulau Poncan
Gadang Sibolga Sumatera Utara. Skripsi. Universitas Riau

Chludil, H, Maier, MS, Seldes AM. 2000. Bioactive steroidal glycosides from starfish Anas-

48
terias minuta. Molecules 5:352-353.

Choi, D.H., Shin, S. dan I.K., Park. 1999. Characterization of antimicrobial agents extracted
from Asterina pectifera. Int. Journal Antimicrob. Agents., 11: 65–68.

De Marino, S., Iorizzi, M., Palagiano, E., Zollo, E., dan Roussakis, C. 1998. Isolation, struc-
ture elucidation, and biological activity of the steroid oligoglycosides from an Ant-
arctic starfish of the family Asteriidae. Journal. Nat. Prod., 61:1319-1327.

Farouk, A.E., Faizal, A.H.G. dan Ridzwan, B.H. 2007. New Bacterial Species Isolated from
Malaysian Sea Cucumbers with Optimized Secreted Antibacterial Activity.
American Journal of Biochemistry and Biotechnology. 3(2):60-65.

Ganiswarna, S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Penerbit UI : Jakarta.

Gunawan. 2008. Antibakteri pada herba Meniran (Phylanthus niruri Linn), Jurnal Kimia,
2(22) :31-39.

Iorizzi, M., De Marino, S. dan Zollo, E. 2001. Steroidal oligoglycosides from the Asteroidea.
Current Organic Chemistry. 5:951- 973.

Ivanchina, N.V., Kicha, A.A., Kalinovsky, A.I., Dmitrenok, P.S., Stonik, V.A., Riguera, R.
dan Jimenez, C. 2000. Hemolytic polar steroidal constituents of the starfish Aphelas-
terias japonica. Journal. Nat. Prod., 63:1178-1181.

Juliantina, F.R., Citra, D.A., Nirwani, B., Nurmasitoh, T. dan Bowo, E.T. 2008. Manfaat
Sirih Merah (Piper crocatum) Sebagai Agen Anti Bakteri Terhadap Gram Positif
dan Gram Negatif. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesi

Cowan, M.M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology Reviews.
12(4): 564–82.

Guven, K.C., Percot, A., dan Sezik, E. 2010. Alkaloids in Marine Algae. Marine Drugs. 8(2):
269-284.

Iryaningtyas. 2013. Biologi Jilid 1 . Jakarta: Erlangga.

King, R.J and Puttock, C.F. 1994. Morphology and Taxonomy of Caloglossa (Delesseriaceae,
Rhodophyta). Australia: University of New South Wales.

Kraan, S. 2013. Pigments and Minor Compounds in Algae. Functional Ingredients from Algae
for Foods and Nutraceuticals.

Laila, Siti. 2009. Biologi Sains dalam Kehidupan. Jakarta: Yudhistira.

49
Lestari, Sri Endang. 2009. Biologi Makhluk Hidup dan Lingkungannya. Jakarta: Pusat Per-
bukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Rachmawati, Faridah, Nurul Urifah, Ari Wijayati. 2009. Biologi Untuk SMA/MA. Jakarta:
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Subandi. 2010. Mikrobiologi. Bandung: Rosdakarya.

Bhadury, P. and Wright, P.C., 2004. Exploitation of marine algae: biogenic compounds for
potential antifouling applications. Planta, 219(4), pp.561-578.

reland, C.M., Copp, B.R., Foster, M.P., McDonald, L.A., Radisky, D.C. and Swersey, J.C.,
1993. Biomedical potential of marine natural products. In Pharmaceutical and Bioac-
tive Natural Products (pp. 1-43). Springer US.

Kumari, P., Kumar, M., Reddy, C.R.K. and Jha, B., 2013. Algal lipids, fatty acids and sterols.
Functional Ingredients from Algae for Foods and Nutraceuticals; Domínguez, H., Ed,
pp.87-134

Manilal, A., Selvin, J. and George, S., 2012. In vivo therapeutic potentiality of red seaweed,
Asparagopsis (Bonnemaisoniales, Rhodophyta) in the treatment of Vibriosis in Pe-
naeus monodon Fabricius. Saudi journal of biological sciences, 19(2), pp.165-175.

Sjogren, M. 2006. Bioactive Compounds from the Marine Sponge Geodia baretti. UPPSALA
Universitet. Swedia

50

Anda mungkin juga menyukai