Anda di halaman 1dari 21

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori
1. Konsep Fraktur
a. Pengertian
Fraktur adalah gangguan komplet atau tak komplet pada

kontinuitas struktur tulang dan didefinisikan sesuai dengan jenis dan

keluasanya. Fraktur terjadi ketika tulang menjadi subjek tekanan yang

lebih besar dari yang dapat diserapnya (Smeltzer & Bare, 2013).

Yasmara, Nursiswati, dan Rosyidah (2016) menjelaskan fraktur adalah

terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan

oleh rudapaksa atau tekanan eksternal yang datang lebih besar dari

yang dapat diserap oleh tulang.


b. Etiologi
Asikin, Nasir, Podding, dan Susaldi (2016) menjelaskan penyebab

fraktur dapat dilihat pada Tabel 2.1


Jika tabel terpisah maka header tabel harus diulangi di halaman berikutnya
Tabel 2.1 Etiologi Fraktur

Berdasarkan penyebab Keterangan


Trauma Kekerasan Menyebabkan patah tulang pada
langsung titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering kali
bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau
miring.
Kekerasan Menyebabkan patah tulang di
tidak langsung tempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Bagain
yang patah biasanya merupakan
bagian yang paling lemah dalam

Berdasarkan penyebab Keterangan


jalur hantaran vektor kekerasan.
Stres berulang - -
7

Berdasarkan penyebab Keterangan


Tulang yang - -
lemah secara
abnormal
Sumber : Asikin et al. (2016).
c. Klasifikasi
1) Klasifikasi penyebab
a) Fraktur traumatik: disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba

mengenai tulang dengan kekuatan yang besar. Tulang tidak

mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi fraktur


b) Fraktur patologis: disebabkan oleh kelemahan tulang

sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur

patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi

lemah
c) Fraktur stress: disebabkan oleh trauma yang terus-menerus

pada suatu tempat tertentu (Noor, 2017).


2) Klasifikasi Klinis
a) Fraktur tertutup (Close fracture)
Fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang

sehingga lokasi fraktur tidak tercemar oleh lingkungan atau

mempunyai hubungan dengan dunia luar.

b) Fraktur terbuka (Open fracture)


Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui

luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk dari dalam

(from within) atau dari luar (from without).


c) Fraktur dengan komplikasi (Complicated fracture)
Fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya mal-union,

delayed union, non-union, serta infeksi tulang (Noor, 2017).


d. Patofisiologi
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan

fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka
8

tulang mungkin hanya retak saja dan bukan patah. Jika gayanya sangat

ektrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-

keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat

terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur

keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme

yang kuat dan bahkan mampu menggeser tulang besar. Walaupun

bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun

bagian distal dapat bergeser karena gaya penyebab patah maupun

spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke

samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen

tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah.


Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta

sumsum dari tulang yang patah juga terganggu. Sering terjadi cedera

jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau

cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medulla),

hematoma terjadi di antara fragmen-fragmen tulang dan di bawah

periosteum. Jaringan tulang di sekitar lokasi fraktur akan mati dan

menciptakan respons peradangan yang hebat. Akan terjadi vasodilatasi,

edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit, serta

infiltrasi sel darah putih (Black & Hawks, 2014).


e. Manifestasi klinis
Black dan Hawks (2014) menjelaskan manifestasi klinis dari fraktur

diantaranya :
1) Deformitas
9

Pembengkakan dari pendarahan lokal dapat menyebabkan

deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan

pemendekan tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi.


2) Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi

cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasi darah ke jaringan

sekitar.
3) Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu

mengiringi farktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan

berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus,

meningkat jika fraktur tidak diimobilisasi. Hal ini terjadi karena

spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan, atau cedera pada

struktur sekitarnya.
4) Memar (ekimosi)
Memar terjadi karena pendarahan subkutan pada lokasi

fraktur.
5) Spasme otot
Sering mengiringi fraktur, spasme otot involuntar sebenarnya

berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih

lanjut dari fragmen fraktur.


6) Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan

fraktur atau kaerna hilangnya fungsi pengungkit-lengan pada

tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera

saraf.
7) Gerakan abnormal dan krepitasi
10

Terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau

gesekan antar fragmen fraktur yang menciptakan sensasi dan suara

deritan.
8) Perubahan neurovaskuler
Terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskuler

yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan

atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur.

9) Ketegangan
Ketegangan di atas lokasi fraktur disebabkan oleh cidera

yang terjadi.
10) Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah.

Perdarahan besar atau tersembunyi dapat menyebabkan syok.


f. Pemeriksaan penujang
1) Radiografi
Merupakan metode umum untuk mengkaji fraktur.

Penggunaan posisi radiologi yang tepat sangat penting untuk

mengkaji kecurigaan fraktur dengan tepat. Dua posisi

(anteroposterior dan lateral) yang diambil pada sudut yang tepat

merupakan jumlah minimal yang diperlukan untuk pengkajian

fraktur, dan gambar tersebut harus mencakup sendi diatas dan di

bawah lokasi fraktur untuk mengidentifikasi adanya dislokasi tau

subluksasi. Temuan rontgen yang tidak normal antara lain edema

jaringan lunak atau pergeseran udara karena pergeseran tulang

setelah cedera. Radiografi dari tulang yang patah akan

menunjukkan perubahan pada kontur normalnya dan distrupsi dari

hubungan sendi yang normal. Radiografi biasanya dilakukan


11

sebelum reduksi fraktur, setelah reduksi, dan kemudian secara

periodik saat penyembuhan tulang.

2) Tomografi komputer (Computed tomography)


CT dapat digunakan untuk mengetahui adanya fraktur.

Keuntungan dari CT yaitu kita bisa melihat gangguan (hematoma)

pada struktur lain (pembuluh darah) (Black & Hawks, 2014).


g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan fraktur menurut Asikin et al. (2016) dapat dilakukan

dengan cara sebagai berikut :


1) Rekognisi/pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk menentukan diagnosis

dan tindakan selanjutnya.


2) Reduksi/manipulasi/reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga

kembali seperti semula secara optimum. Selain itu, dapat diartikan

sebagai reduksi fraktur (setting tulang), yaitu mengembalikan

fragmen tulang pada kesejajaranya dan rotasi anatomis. Reduksi

tertutup, traksi atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk

mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung dengan

sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.


3) Hold reduction
Upaya yang dapat dilakukan untuk menahan fragmen

tulang sehingga kembali seperti posisi anatomis semula yaitu

melakukan imobilisasi fraktur. Pembatasan pergerakan dibutuhkan

untuk mendorong penyembuhan jaringan lunak dan

memungkinkan gerakan bebas dari bagian yang tidak terkena.

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau

dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sehingga terjadi


12

penyatuan tulang. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi

eksterna seperti pembalutan, bidai, pen dan teknik bidai.

Sedangkan implan logam digunakan untuk fiksasi internal.


4) Rehabilitasi
Menghindari atrofi dan kontraktur dapat dilakukan dengan

fisioterapi. Segala upaya diarahkan untuk penyembuhan tulang dan

jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai

kebutuhan. Latihan isometric terhadap kekuatan otot diusahakan

untuk meminimalkan atrofi disuse syndrome dan meningkatkan

peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hati

diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.


h. Komplikasi
Noor (2017) menjelaskan komplikasi fraktur terdiri atas

komplikasi awal dan komplikasi lama yaitu :


1) Komplikasi awal
a) Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan

meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan

menurunya oksigenasi.

b) Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh: tidak

adanya nadi, cappillary refill time (CRT) menurun, sianosis

bagian distal, hematoma yang lebar, serta dingin pada

ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi

pembidaian, perubahan posissi pada yang sakit, tindakan

reduksi, dan pembedahan.


c) Sindrom Kompartemen
13

Suatu kondisi terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh

darah dalam jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari

edema atau pembuluh darah yang menekan otot, saraf, dan

pembuluh darah.komplikasi ini hanya terjadi pada fraktur yang

dekat dengan persendian. Tanda khas sindrom kompartemen

adalah 5P, yaitu pain (nyeri lokal), paralysis (kelumpuhan

tungkai), pallor (pucat bagian distal), parestesia (tidak ada

sensasi) dan pulselessness (tidak ada denyut nadi, perubahan

nadi, perfusi yang tidak baik, dan CRT > 3 detik pada bagian

distal kaki).
d) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada

jaringan. Pada trauma ortopedik infeksi dimilai pada kulit

(superfisial) dan masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi

padakasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena pengunaan

bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan OREF)

atau plat.
e) Avaskular nekrosis
Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu

yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan

adanya Volkman’s Ischemia.


f) Sindrom emboli lemak
Komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur

tulang panjang. Terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan

sumsum tulang belakang kuning masuk ke aliran darah dan

menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang


14

ditandai dengan gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi,

takipnea, dan demam (Noor, 2017).


2) Komplikasi lama
a) Delayed union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkosolidasi

sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk sembuh

atau bersambung dengan baik. Ini disebabkan kerena

penurunan suplai darah ke tulang. Delayed union adalah fraktur

yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan (3 bulan

untuk anggota gerak atas dan 5 bulan untuk anggota gerak

bawah).

b) Non-union
Disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam

waktu antara 6-8 bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga

terdapat pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis dapat

terjadi tanpa infeksi tetapi dapat juga terjadi bersama infeksi.


c) Mal-union
Keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya, tetapi

terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus,

pemendekan, atau menyilang, misalnya pada fraktur radius-

ulna (Noor, 2017).

2. Konsep Kebutuhan Nyaman Nyeri


a. Pengertian
Kebutuhan rasa nyaman adalah suatu keadaaan yang membuat

seseorang merasa nyaman, terlindungi dari ancaman psikologis, bebas

dari rasa sakit terutama nyeri. Perubahan rasa nyaman akan


15

menimbulkan perasaan yang tidak enak atau tidak nyaman dalam

berespon terhadap stimulus yang berbahaya (Carpenito dalam Priliana

& Kardiyudiani, 2014). Smeltzer dan Bare (2013) menjelaskan

kenyaman harus dipandang secara holistik yang mencakup 4 aspek

yang pertama adalah fisik, yang berhubungan dengan sensasi tubuh,

social berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan

sosial, kemudian ada psikospiritual yang berhubungan dengan

kewaspadaan internal dalam diri sendiri meliputi harga diri,

seksualitas, makna kehidupan dan aspek yang terakhir adalah

lingkungan yaitu yang berhubungan dengan latar belakang pengalaman

eksternal manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur

alamiah lainya
Prasetyo (2010) menjelaskan bahwa nyeri adalah segala sesuatu

yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja

saat seseorang mengatakan merasakan nyeri. Definisi ini menempatkan

seseorang pasien sebagai expert (ahli) di bidang nyeri, karena hanya

pasienlah yang tahu tentang nyeri yang ia rasakan. Bahkan nyeri

adalah sesuatu yang sangat subyektif, tidak ada ukuran yang objektif

padanya, sehingga hanyalah orang yang merasakanya yang paling

akurat dan tepat dalam mendefinisikan nyeri.


b. Mekanisme Nyeri
Ketika reseptor A Delta dan C serabut distimulasi rangsangan

nyeri, akson perifer tingkat pertama menstranmisikan data sensori ke

badan sel pada ganglion pada akar dorsal. Sensasi lalu diteruskan ke

bagian abu-abu (gray matter) korda spinalis dorsal melalui traktus


16

spinotalamikus (meliputi spinal dan thalamus) atau traktus

spinoretikuler menuju batang otak. Serabut saraf akan berhenti

mentransmiskan data sensori persepsi nyeri pada bagian kolumna abu-

abu dorsal korda spinalis apabila diberikan neurotransmitter (misalnya

jenis analgesik narkotik/ non narkotik) (Black & Hawks, 2014; Guyton

& Hall, 2008; Potter & Perry, 2010).


c. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri menurut Black dan Hawks (2014) yaitu :
1) Nyeri Akut
Nyeri akut disebabkan oleh aktivasi nosiseptor, biasanya

berlangsung dalam waktu yang singkat (kurang dari 6 bulan), dan

memiliki onset yang tiba-tiba, seperti nyeri insisi setelah operasi.

Nyeri jenis ini juga di anggap memiliki durasi yang terbatas dan

bisa diduga, seperti nyeri pascaoperasi, yang biasanya menghilang

ketika luka sembuh. Klien menggunakan kata-kata seperti “tajam”,

“tertusuk”, dan “tertembak” untuk mendeskripsikan nyeri akut.


2) Nyeri Kronik
Nyeri kronik biasanya dianggap sebagai nyeri yang

berlangsung lebih dari 6 bulan (atau 1 bulan lebih dari normal di

masa-masa akhir kondisi yang menyebabkan nyeri) dan tidak

diketahui kapan akan berakhir kecuali jika terjadi penyembuhan

yang lambat, seperti pada luka bakar. Nyeri kronik dapat dimulai

sebagai nyeri akut atau penyebabnya dapat sangat tersembunyi

sehingga individu tidak mengetahui kapan nyeri tersebut pertama

kali muncul. Lamanya nyeri kronik dihitung berdasarkan nyeri


17

yang dirasakan dalam hitungan bulan atau tahun bukan menit atau

jam.
d. Respon Terhadap Nyeri
Respon terhadap nyeri menurut Smeltzer dan Bare (2013) yaitu :
1) Respon Fisiologis
Perubahan fisiologis involunter dianggap sebagai indikator

nyeri yang lebih akurat dibanding laporan verbal pasien. Seperti

meningkatnya frekuensi nadi, pernafasan, pucat dan berkeringat.


2) Respon Perilaku
Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan

verbal, perilaku vocal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik

dengan orang lain, atau perubahan respon terhadap lingkungan.

Individu yang mengalami nyeri dapat menangis, merintih,

merengut, tidak menggerakkan bagian tubuh, mengepal, atau

menarik diri. Orang dapat mudah marah dan meminta maaf saat

nyerinya hilang.
e. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Kneale (2011) menjelaskan faktor yang mempengaruhi nyeri adalah :
1) Usia
Anak-anak cenderung menunjukkan perilaku nyeri,

meringis, berguling, dan menangis sedangkan individu yang lebih

tua cenderung enggan bergerak ketika mengalami nyeri dan

umumnya cenderung lebih tenang.

2) Pengalaman Nyeri Sebelumnya


Mempengaruhi sensasi control individu. Pengalaman yang

posistif menimbulkan keyakinan diri, sedangkan pengalaman

negatif dapat menyebabkan ketakutan dan rasa tidak percaya.


3) Ansietas
18

Ketakutan dan antisipasi terhadap nyeri menimbulkan

ansietas, dengan sensasi nyeri yang lebih pada pasien yang

mengalami peningkatan distress emosional. Oleh sebab itu, sensasi

control membantu pasien dalam mengatasi situasi yang penuh

tekanan.
4) Kurang Pengetahuan
Kurangnya pengetahuan memengaruhi keyakinan individu

apakah ia mampu mengendalikan situasi tersebut. Hal ini

dibuktikan dengan pemberian informasi sebelum pembedahan yang

disadari berdampak positif terhadap nyeri, dengan penggunaan

analgesia yang lebih sedikit.


5) Nilai Budaya
Beberapa budaya, perilaku menunjukkan nyeri secara

terbuka dapat diterima, sedangkan pada budaya lain, pasien

cenderung menarik diri dan diam.


6) Jenis Kelamin
Wanita lebih menyadari masalah kesehatan yang ia alami

dan cenderung menerima bantuan, sedangkan pria enggan

mengungkapkan nyeri yang dialaminya. Sikap jantan atau mampu

menahan nyeri cenderung dipilih oleh pria.


f. Pengukuran intensitas nyeri
Menurut Kneale (2011) intensitas nyeri dapat diukur dengan beberapa

cara, antara lain :


1) Skala Nyeri Menurut Hayward
Penilaian dilakukan dengan meminta penderita untuk

memilih satu bilangan (0-10) yang menurutnya paling

menggambarkan pengalaman nyeri yang ia dirasakan.


Tabel 2.2 Skala Nyeri Menurut Hayward
19

Skala Keterangan
Skala 0 Tidak nyeri
Skala 1-3 Nyeri ringan
Skala 4-6 Nyeri sedang
Skala 7-9 Sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan
aktivitas yang biasa dilakukan
Skala 10 Sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan
Sumber :Kneale (2011).
2) Skala Nyeri Menurut McGill
Penilaian dilakukan dengan meminta penderita untuk

memilih salah satu bilangan (0-5) yang menurutnya paling

menggambarkan pengalaman nyeri yang ia rasakan.


Tabel 2.3 Skala Nyeri Menurut McGill

Skala Keterangan
Skala 0 Tidak nyeri
Skala 1 Nyeri ringan
Skala 2 Nyeri sedang
Skala 3 Nyeri berat atau parah
Skala 4 Nyeri sangat berat
Skala 5 Nyeri hebat
Sumber :Kneale (2011).
3) Skala Wajah atau Wong-Baker FACES Rating Scale
Dilakukan dengan cara memperhatikan mimik wajah pasien

pada saat nyeri tersebut menyerang. Cara ini diterapkan pada

pasien yang tidak dapat menyatakan intensitas nyerinya dengan

skala angka, misalnya anak-anak dan lansia.


TAMBAHKAN SUMBER GAMBAR

Gambar 2.1 Skala Wajah

g. Penatalaksanaan Nyeri
1) Farmakologi
20

Penatalaksanaan nyeri farmakologi melibatkan pemberian obat-

obatan. Obat-obatan yang digunakan untuk pereda nyeri disebut

analgesik. Menurut Bariid (2015) ada dua jenis analgesik utama

yaitu :
a) Opioid
Obat jenis ini digunakan untuk nyeri sedang hingga berat,

opioid tidak dipecah dengan cepat oleh tubuh oleh sebab itu

efek analgesiknya sangat kuat dan tahan-lama. Obat opioid

diklasifikasikan sebagai lemah dan kuat. Opioid lemah

misalnya kodein, dihidrokodein dan tramadol, sedangkan

opioid kuat misalnya morfin, diamorfin, oksikodon, fentanil

dan petidin.
b) Obat Non-Opioid
Obat jenis ini digunakan untuk nyeri ringan hingga sedang dan

jarang efektif untuk nyeri akut atau pasca-operasi. Obat non-

opioid misalnya parasetamol dan obat anti-inflamasi non-

steroid (NSAID).
2) Non Farmakologi
a) Teknik relaksasi
Merupakan latihan pernafasan yang menurunkan konsumsi

oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung dan

ketegangan otot. Teknik ini perlu diajarkan beberapa kali agar

mencapai hasil yang optimal dan mencegah meningkatnya

nyeri. Teknik relaksasi nafas dalam mampu menurunkan nyeri

pada pasien post operasi fraktur (Nurdin, Kiling, & Rottie,

2013).
b) Distraksi
21

Suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-hal lain

di luar nyeri (Prasetyo, 2010). Teknik ini dapat mengatasi nyeri

berdasarkan teori aktivasi retikuler, yaitu menghambat

stimulasi nyeri ketika seseorang menerima masukan sensori

yang cukup atau berlebihan sehingga menghambat impuls nyeri

ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh pasien)

(Syaiful & Rachmawan, 2014).

c) Kompres dingin
Kompres dingin dapat meredakan nyeri karena kompres

dingin dapat menimbulkan efek analgetik dengan

memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri

yang mencapai otak lebih sedikit serta meningkatkan pelepasan

endorfin yang memblok tranmisi stimulus (Anugrah et al.,

2017).
d) Akupresur
Dilakukan dengan memberikan tekanan fisik pada beberapa

titik pada permukaan tubuh yang merupakan tempat sirkulasi

energi dan keseimbanagan pada kasus gejala nyeri. Akupresur

terbukti dapat mengurang nyeri punggung, kepala,

osteoarthritis, otot, leher, nyeri pre-operasi dan postoperasi,

mual muntah dan masalah tidur (Yurnadur dalam Kurniyawan,

2016).

3. Konsep Asuhan Keperawatan dalam Kebutuhan Nyeri


a. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dalam proses keperawatan

untuk mendapatkan data dasar (Debora, 2012). Pengkajian nyeri yang


22

faktual (terkini), lengkap dan akurat akan memudahkan perawat di

dalam menetapkan data dasar, dalam menegakkan diagnosis

keperawatan yang tepat, merencanakan terapi pengobatan yang cocok,

dan memudahkan perawat dalam mengevaluasi respon klien terhadap

terapi yang diberikan (Prasetyo, 2010). Kneale (2011) menjelaskan

pengkajian masalah nyeri secara umum mencakup lima hal, yaitu :


P = Provoking atau pemicu, yaitu faktor yang menimbulkan nyeri dan

memengaruhi gawat atau ringannya nyeri


Q = Quality atau kualitas nyeri, misalnya rasa tajam atau tumpul
R = Region atau daerah/ lokasi, yaitu perjalanan ke daerah lain
S = Severity ‘atau keparahan, yaitu intensitas nyeri
T = Time atau waktu, yaitu jangka waktu serangan dan frekuensi nyeri
Sedangkan menurut Jackson dan Jackson (2013) pengkajian

masalah nyeri meliputi :

Tabel 2.4 Pengkajian Nyeri

Onset Berapa lama nyeri?


Berapa sering nyeri muncul?
Provoking Apa yang menyebabkan nyeri?
Apa yang membuat nyeri bertambah parah?
Quality Bagaimana rasa nyeri yang dirasakan?
Bisakah digambarkan?
Region Dimanakah nyeri?
Severity Berapa skala nyerinya?
Treatment Pengobatan atau terapi apa yang digunakan?
Understanding Apa yang anda percayai tentang penyebab nyeri
ini?
Bagaimana persepsi nyeri?
Values Apa pencapaian anda untuk nyeri ini?
Sumber : Jackson & Jackson (2013)

b. Diagnosis keperawatan
23

1) Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen

tulang, oedema, cedera neuromuscular dan trauma jaringan. Nyeri

akut adalah pengalaman sensoris dan emosional tidak

menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau

potensial atau yang digambarkan sebagai kerusakan


2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri atau

ketidaknyamanan, keengganan untuk memulai gerakan. hambatan

mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu

atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah.


c. Rencana keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen

tulang, oedema, cedera neuromuscular dan trauma jaringan


Tujuan : nyeri berkurang atau teratasi
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri berkurang atau dapat

diatasi, klien tidak gelisah, skala nyeri 0-3, tanda-tanda vital dalam

batas normal (tekanan darah systole 120-140 mmHg, dyastole 70-

90 mmHg, nadi 60-100 X/menit, respirasi 16-24 X/menit)


Intervensi keperawatan :
a) Kaji nyeri secara komprehensif
Rasional : untuk menentukan kebutuhan akan manajemen nyeri

dan keefektifanya.
b) Lakukan teknik relaksasi
Rasional : kebutuhan oksigenasi pada jaringan terpenuhi dan

nyeri dapat berkurang


c) Lakukan teknik distraksi
Rasional : mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-

hal yang menyenangkan


d) Ajarkan teknik non farmakalogis (teknik relaksasi, distraksi,

kompres dingin)
24

Rasional : meningkatkan kemampuan koping dalam

manajemen nyeri.
e) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik

(ketorolak)
Rasional : untuk menurunkan nyeri.
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri atau

ketidaknyamanan, keengganan untuk memulai gerakan.


Tujuan : pasien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai

kemampuannya
Kriteria hasil : pasien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak

mengalami kontraktur sendi, kekuatan otot bertambah dan pasien

menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.


Intervensi keperawatan :
a) Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya peningkatan

kemampuan pasien dalam aktivitas


Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam

melakukan aktivitas.
b) Bantu mobilisasi dini
Rasional: untuk meningkatkan kemandirian.
c) Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas

yang tidak sakit


Rasional : gerak aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan

otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan.


d) Kolaborasi dengan fisioterapi (latihan ROM) untuk melatih

fisik klien.
Rasional : kemampuan mobilisasi ekstremitas dapat

ditingkatkan dengan latihan fisik dari tim fisioterapi


d. Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan.

Tahap ini muncul jika perencanaan yang dibuat diaplikasikan pada

klien. Aplikasi yang dilakukan pada klien akan berbeda, disesuaikan


25

dengan kondisi klien saat itu dan kebutuhan yang paling dirasakan oleh

klien (Debora, 2012).


e. Evaluasi
Pada tahap ini perawat membandingkan hasil tindakan yang telah

dilakukan dengan kriteria hasil yang sudah teratasi seluruhnya, hanya

sebagian, atau belum teratasi semuanya (Debora, 2012).

f. Kerangka Teori TAMBAHKAN SUMBER

Trauma langsung Traumatidak langsung Stress berulang Tulang yang lemah


secara abnormal
Fraktur

Terbuka Tertutup
komplikasi

Deformitas, pembengkakan, nyeri, memar, spasme otot,


ketegangan, kehilangan fungsi, krepitasi, perubahan
neurovaskuler, syok

Gangguan fungsi Tindakan ORIF


muskoloskeletal

Peningkatan pelepasan
Hambatan mobilitas mediator kimia spt:
fisik prostaglandin, histamine,
bradikinin

nyeri

Gambar 2.2 Kerangka Teori


26

g. Kerangka Konsep

Pasien post opoerasi fraktur dengan gangguan


kebutuhan Aman nyaman nyeri

Asuhan keperawatan Pemenuhan kebutuhan


Aman nyaman nyeri

Kebutuhan Aman nyaman nyeri terpenuhi

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai