Anda di halaman 1dari 10

MODIFIKASI OVITRAP DALAM MENINGKATKAN DAYA JEBAK

TELUR NYAMUK Aedes sp DI KOTA BANJARBARU

Tien Zubaidah1, Erminawati1, Muhamad Ratodi2


1
Politeknik Kesehatan Kemenkes Banjarmasin
2
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Email: tien_zubaidah@yahoo.co.id

ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit tular vektor yang utama. Penyakit
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus. Penanggulangan
DBD masih sangat tergantung pada upaya pengendalian vektor guna memutuskan rantai
penularan DBD. Upaya tunggal dengan hanya menggunakan metode imagosida saja atau
larvisida saja tidak ada satupun yang 100% efektif. Oleh karena itu, harus dilakukan
pemberantasan DBD dengan menggunakan beberapa metode, salah satunya dengan
memasang suatu alat yang disebut ovitrap. Ovitrap adalah suatu perangkap untuk tempat
bertelur nyamuk Aedes yang pada bagian atasnya diberi kasa dan direkatkan pada kayu
kecil. Penelitian ini bertujuan menganalisis modifikasi ovitrap dengan atraktan yang
menarik nyamuk Aedes sp untuk bertelur di dalam ovitrap. Modifikasi meliputi
penggunaan atraktan dengan berbagi tingkat konsentrasi dan perbedaan warna wadah
ovitrap. Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan menggunakan desain postest only
design. Obyek dalam penelitian ini adalah telur nyamuk Aedes sp yang terjebak pada
ovitrap yang telah dimodifikasi di 20 lokasi penelitian di Kota Banjarbaru. Data yang
diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Kruskall Wallis dan
dilakukan analisis Post-Hoc menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil penelitian
menunjukkan perbedaan konsentrasi atraktan dan warna ovitrap memberikan pengaruh
yang nyata dalam menjebak nyamuk Aedes sp untuk bertelur di dalam ovitrap.
Konsentrasi 0% (tanpa atraktan) berbeda secara nyata dengan konsentrasi 10%, 20% dan
30% dalam menjebak telur nyamuk Aedes sp. Ovitrap tanpa warna berbeda secara nyata
dengan ovitrap warna hitam dan ovitrap warna hijau dalam menjebak telur nyamuk
Aedes sp. Berdasarkah hasil ujicoba ovitrap dapat menjadi suatu alternatif dalam
pengendalian vektor khususnya untuk pengendalian nyamuk Aedes aegypti yang aman
bagi lingkugan dan manusia.

Kata Kunci: Modifikasi ovitrap, atrakran, telur Aedes sp

ABSTRACT
Dengue Haemarehagic Fever (DHF) is a major vector-borne disease that transmitted
through Aedes aegypti and Ae. Alboticus bites. The DHF transmision prevention still
depending in the effort of vector control. A single action using only imagicidal or
larvacidal method, none of them 100% effective. Therefore, DHF eradication should be
performed in multiple methods, one of them by installing tool called ovitrap. Ovital is a
trap for Aedes eggs, gauzed at topped and glued on a small wooden stick. This research
aim to analyzed the modicifation of ovitrap with attractive attractant for Aedes sp to lay
their eggs on it. The modification included various level of concentrate and different
colours of the container trap. The object in this research was the Aedes sp eggs that
trapped on modified ovitrap within 20 locations at Banjarbaru area. Posttest design was
used in the experiment and the data was statistically tested using Kruslall Wallis test and
conducted post-hoc analyzed using Mann-whitney test. The results showed that the
difference of attractan concentration and the ovitrap colors gave a significant effect in
trapping the Aedes sp egg-laying. A zero percent concentrate (without attractan) was
signifacally different with 10%, 20% and 30% concentrate in trapping the Aedes sp eggs.
A non-coloured ovitrap significally different in trapping the Aedes Sp eggs compared
with black or green ovitrap containers. Based on the experiment ovitrap can be a safe
and environmental friendly altenative in the vector control especially for Aedes sp.

Keywords: ovitrap modification, attractant, egg, Aedes sp

PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit tular vektor yang utama.
Penyakit ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus dan
dilaporkan telah menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia selama 45 tahun
terakhir. Hingga dengan akhir tahun 2013, penyakit DBD dilaporkan telah menyebar di
88% dari 497 wilayah kabupaten/kota di Indonesia. Angka kematian dilaporkan semakin
menurun, sampai dengan tahun 2013 angka rata-rata (case fatality rate) tercatat 0,7%,
sedangkan angka insiden DBD sebesar 41,25 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2014,
hingga pertengahan bulan Desember 2014 tercatat penderita DBD di 34 provinsi di
Indonesia sebesar 71.668 orang, 641 orang di antaranya meninggal dunia. Angka tersebut
lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya (2013) dengan jumlah penderita sebanyak
112.511 orang dan jumlah yang meninggal sebanyak 871 orang.
Penderita DBD di Kalimantan Selatan dengan jumlah penduduk 3.449.117 jiwa
dilaporkan sebanyak 1.085 kasus per 100.000 penduduk dengan jumlah kematian
sebanyak 11 orang, IR (angka kesakitan) sebesar 31,46 per 100.000 penduduk dan CFR
(angka kematian) sebesar 1,01% (Kemenkes RI, 2014). Pada 2015, jumlah penderita
DBD tercatat sebanyak 3.668 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 40 orang. Data
Dinas Kesehatan Kasel menyebutkan, hingga awal April 2016, jumlah kasus serangan
DBD yang terjadi mencapai 3.359 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 22 orang.
Daerah terbanyak serangan DBD meliputi Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar,
Tabalong, Tanah Bumbu, Hulu Sungai Selatan, dan Hulu Sungai Tengah.
Kota Bajarbaru, sebagai kota pelajar, sangat penting untuk menjaga kesehatan
masyarakatnya, sebab DBD termasuk traveler diseases. Ancaman serius bagi Kota
Banjarbaru sebagai salah satu daerah endemis DBD di Provinsi Kalimantan Selatan.
Berdasarkan data kasus DBD dari Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru selama tahun 2014,
total penderita DBD sebanyak 40 orang. Tahun 2015, terdapat 604 kasus DBD dengan
dua orang meninggal (Dinas Kesehatan Prov. Kalsel, 2016)
Nyamuk Aedes aegypti dikenal sebagai vektor demam berdarah dengue (DBD).
Penanggulangan DBD masih sangat tergantung pada upaya pengendalian vektor guna
memutuskan rantai penularan DBD. Upaya tunggal dengan hanya menggunakan metode
imagosida saja atau larvisida saja tidak ada satupun yang 100% efektif. Oleh karena itu,
harus dilakukan pemberantasan DBD dengan menggunakan beberapa metode.
Berbagai upaya pengendalian populasi nyamuk Aedes aegypti baik stadium telur,
jentik maupun imago telah banyak dilakukan, cara yang hingga saat ini masih dianggap
paling tepat adalah program yang sering dikampanyekan di Indonesia adalah 3M, yaitu
menguras, menutup, dan memanfaatkan kembali barang-barang yang sudah tidak
berguna. Beberapa cara alternatif pernah dicoba untuk mengendalikan vektor dengue ini,
antara lain mengintroduksi musuh alamiahnya dengan penyebaran larva nyamuk
Toxorhyncites sp sebagai predator larva Aedes sp, meskipun hasilnya kurang efektif
dalam mengurangi penyebaran virus dengue.
Sebagai alternatif lain dari pengelolaan lingkungan dalam upaya kegiatan
pencegahan penyakit DBD adalah dengan memasang suatu alat yang disebut ovitrap.
Alat ini belum populer di kalangan masyarakat secara luas dan belum banyak dipakai
sebagai upaya pengendalian populasi nyamuk Aedes aegypti. Untuk itu alat ini perlu
dikaji lebih mendalam agar dapat diaplikasikan di masyarakat. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis modifikasi ovitrap dengan atraktan yang menarik nyamuk Aedes sp
untuk bertelur di dalam ovitrap.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Eksperimen.
Desain/rancangan penelitian menggunakan Randomized Complete Block. penelitian yaitu
rumah penduduk yang berada di 20 Kelurahan di Kota Banjarbaru. Pemilihan rumah
penduduk secara purposive sampling, yaitu masing-masing kelurahan diambil 1 (satu)
rumah penduduk sehingga total sampel didapatkan sebanyak 20 rumah. Ovitrap akan
dipasang di dalam rumah pada tempat yang dekat dengan tempat penampungan air.
Dalam penelitian ini penelitian memanipulasi 4 variasi konsentrasi atraktan dan 3 variasi
warna ovitrap dengan 3 kali replikasi, sehingga jumlah total sampel sebanyak 720
sampel. Data diolah dan analisis menggunakan uji statistik Anova Two Way dan uji lanjut
LSD (Least Significance Difference). Jika normalitas data tidak dipenuhi, maka
digunakan uji statistik Kruskall Wallis dan dilakukan analisis Post-Hoc menggunakan uji
Mann-Whitney. Normalitas data diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnof.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian
Tabel 1. Telur Aedes yang tertangkap Ovitrap pada pengamatan (minggu) I-III
Konsentrasi Atraktan Warna Ovitrap Min Max Rerata Jumlah Std Deviasi
Hijau 0 97 8,28 497 12.74
Hitam 1 54 10,15 548 12.32
10%
Tanpa Warna 0 44 7,90 466 8.72
Total 0 97 8,73 1511 11.36
Hijau 1 55 8,93 402 10.40
Hitam 0 108 15,77 820 22.21
20%
Tanpa Warna 0 13 4,89 186 3.78
Total 0 108 10,43 1408 15.74
Hijau 0 110 13,21 515 21.91
Hitam 0 86 12,49 562 14.72
30%
Tanpa Warna 0 17 4,70 174 3.64
Total 0 110 10,34 1251 15.80
Hijau 1 13 3,81 122 2.52
Hitam 0 52 8,73 323 12.89
Tanpa Aktratan
Tanpa Warna 0 19 5,93 243 4.96
Total 0 52 6,25 688 8.34
Hijau 0 110 8,73 1536 14.01
Hitam 0 108 11,98 2253 16.36
Total
Tanpa Warna 0 44 6,11 1069 6.21
Total 0 110 9,01 4858 13.24
Setelah dilakukan percobaan sebanyak 3 kali pengulangan, secara keseluruhan
rerata telur nyamuk Aedes sp yang terperangkap pada semua ovitrap sebanyak 4858 butir
telur. Ovitrap dengan konsentrasi atraktan 10% menghasilkan telur nyamuk terperangkap
paling banyak (1511 butir) dengan rerata sebesar 8,73, jumlah maksimum adalah 97 butir
dan jumlah minimum adalah 0 butir. Ovitrap tanpa atraktan mendapatkan paling sedikit
telur yaitu 688 butir telur dengan rerata sebesar 6,25, jumlah maksimum adalah 52 butir
dan jumlah minimum adalah 0 butir. Secara keseluruhan, rerata telur nyamuk paling
banyak didapatkan pada ovitrap warna hitam (2253 butir) dengan rerata sebesar 11,98,
jumlah maksimum adalah 108 butir dan jumlah minimum adalah 0 butir. Ovitrap tanpa
warna mendapatkan paling sedikit telur yaitu 1069 butir telur dengan rerata sebesar 6,11,
jumlah maksimum adalah 44 butir dan jumlah minimum adalah 0 butir. Total telur yang
terjebak pada ovitrap yang berfungsi sebagai kontrol (tanpa akraktan, tanpa warna) yaitu
sebanyak 243 butir dengan rerata sebesar 5,93. Hasil uji statistik Kruskall-Wallis dapat
dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Pengaruh konsentrasi atraktan pada ovitrap terhadap telur Aedes sp yang terjebak
Konsentrasi Banyaknya Ovitrap dengan telur Mean Rank p
0% 106 219,58
10% 167 268,31
0,010
20% 132 280,66
30% 119 272,43
Total 524

Berdasarkan Tabel 2, hasil analisis statistik non parametrik dengan menggunakan


Uji Kruskal-Wallis, dengan taraf signifikansi 0,05 (p=0,05) dan tingkat kepercayaan
95%, diperoleh p=0,01. Hasil analisis menunjukkan nilai p<0,05 ini menunjukkan bahwa
pada pengujian konsentrasi atraktan pada ovitrap memberikan pengaruh yang nyata
dalam menjebak nyamuk Aedes sp untuk bertelur di dalam ovitrap.

Tabel 3. Pengaruh penggunaan warna pada ovitrap terhadap telur Aedes sp yang terjebak
Warna Ovitrap Banyaknya Ovitrap dengan telur Mean Rank P
Tanpa warna 167 234,08
Hijau 177 255,62
Hitam 180 295,64 0,001

Total 524

Berdasarkan Tabel 3 hasil analisis statistik non parametrik dengan menggunakan


Uji Kruskal-Wallis, dengan taraf signifikansi 0,05 (p=0,05) dan tingkat kepercayaan
95%, diperoleh p=0,001. Hasil analisis menunjukkan nilai p<0,05 ini menunjukan
bahwa pada pengujian warna ovitrap memberikan pengaruh yang nyata dalam menjebak
nyamuk Aedes sp untuk bertelur di dalam ovitrap. Perbedaan jumlah telur Aedes sp yang
terjebak antara konsentrasi atraktan dan warna pada ovitrap dilihat berdasarkan analisis
Post-Hoc seperti pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Perbedaan jumlah telur Aedes sp yang terjebak menurut konsentrasi atraktan
pada ovitrap
Konsentrasi Konsentrasi P
0% 10% 0,008
20% 0,002
30% 0,011
10% 0% 0,008
20% 0,481
30% 0,796
20% 0% 0,002
10% 0,481
30% 0,687
30% 0% 0,011
10% 0,796
20% 0,687
Taraf signifikansi 0,05

Berdasarkan Tabel 4, nilai uji signifikansi sebesar 0,010 menunjukkan bahwa


perbedaan konsentrasi atraktan pada ovitrap memberikan pengaruh yang nyata dalam
menjebak nyamuk Aedes sp untuk bertelur di dalam ovitrap. Uji lanjut menggunakan
Mann-Whitney memperlihatkan bahwa konsentrasi 0% (tanpa atraktan) berbeda secara
nyata dengan konsentrasi 10%, 20% dan 30% dalam menjebak telur nyamuk Aedes sp,
sedangkan konsentrasi 10% dengan 20% dan 30% tidak berbeda nyata dalam menjebak
telur nyamuk Aedes sp.

Tabel 5. Perbedaan jumlah telur Aedes sp yang terjebak menurut warna ovitrap
Warna Warna P
Tanpa warna Hitam 0,000
Hijau 0,179
Hitam Tanpa warna 0,000
Hijau 0,012
Hijau Tanpa warna 0,179
Hitam 0,012
Taraf signifikansi 0,05

Berdasarkan Tabel 5 nilai signifikansi sebesar p=0,001 ini menunjukan bahwa


perbedaan penggunaan warna ovitrap memberikan pengaruh yang nyata dalam menjebak
nyamuk Aedes sp untuk bertelur di dalam ovitrap. Uji lanjut menggunakan Mann-
Whitney memperlihatkan bahwa ovitrap tanpa warna (kontrol) berbeda secara nyata
dengan ovitrap warna hitam dan ovitrap warna hijau dalam menjebak telur nyamuk
Aedes sp, sedangkan penggunaan warna hitam dengan warna hijau pada ovitrap tidak
berbeda nyata dalam menjebak telur nyamuk Aedes sp.
Pembahasan
1. Telur Nyamuk Aedes sp yang terjebak dalam ovitrap
Secara keseluruhan, jumlah telur nyamuk Aedes yang terperangkap selama tiga
minggu (tiga kali ulangan) pengamatan mencapai 4858 butir telur, dengan rerata 9,01
butir telur per ovitrap. Suhu udara berkisar antara 26,4-35,5 derajat celcius dengan rerata
32,5 derajat celcius dan kelembaban udara berkisar antara 51-82 persen dengan rerata
63,7 persen.
Rata-rata suhu pada lokasi penelitian termasuk cukup panas, hal ini dipengaruhi
oleh kondisi musim kemarau sehingga suhu udara semakin tinggi (Juhanudin, 2013).
Suhu juga dapat mempengaruhi kelembaban, apabila suhu tinggi maka akan
menyebabkan kelembaban yang rendah yang dapat menjadi faktor pendukung
perkembangbiakan nyamuk (Dinata, 20120). Suatu kisaran yang sesuai untuk
perkembangbiakan nyamuk. Pada umumnya nyamuk akan meletakkan telurnya pada
suhu udara sekitar 20-30 derajat celcius (Anggraini, 2012). Seperti yang dinyatakan oleh
Iskandar et all bahwa kelembaban optimum untuk pertumbuhan/perkembangbiakan
nyamuk berkisar antara 70 - 89,5 persen (Wahyuningsih, dkk, 2009).
Waktu pengamatan yang dilakukan pada musim kemarau sedikit banyak
berpengaruh terhadap jumlah telur yang dihasilkan, karena musim penghujan dapat
menaikkan kelembaban nisbi udara, dan nyamuk memerlukan kelembaban yang tinggi
untuk hidup (Widiyanto, 2007). Daerah dengan kelembaban kurang dari 60% akan
memperpendek lama hidup nyamuk, sementara dengan kelembaban tinggi membantu
nyamuk tetap bertahan hidup dan berkembang biak dengan baik (WHO, 2005).

2. Telur Nyamuk Aedes sp yang terjebak dalam ovitrap menurut konsentrasi


aktraktan
Secara keseluruhan jumlah telur nyamuk Aedes sp yang terperangkap menurut
konsentrasi menunjukkan bahwa konsentrasi 10 persen menghasilkan telur nyamuk
Aedes sp yang terperangkap paling banyak (1511 butir telur). Jumlah telur nyamuk Aedes
sp yang terperangkap paling sedikit yaitu pada konsentrasi 0% (tanpa aktraktan) sebanyak
688 butir telur.
Uji Kruskall-Wallis menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi atraktan pada
ovitrap memberikan pengaruh yang nyata dalam menjebak nyamuk Aedes sp untuk
bertelur di dalam ovitrap. Uji lanjut menggunakan Mann-Whitney memperlihatkan
bahwa konsentrasi 0% (tanpa atraktan) berbeda secara nyata dengan konsentrasi 10%,
20% dan 30% dalam menjebak telur nyamuk Aedes sp, sedangkan konsentrasi 10%
dengan 20% dan 30% tidak berbeda nyata dalam menjebak telur nyamuk Aedes sp.
Ada indikasi bahwa penambahan atraktan berupa air rendaman terasi menjadi
lebih menarik bagi nyamuk Aedes sp untuk menempatkan telurnya. Hal ini terjadi pada
setiap periode-periode pengamatan. Meskipun terjadi fluktuasi rerata jentik nyamuk
Aedes sp yang terperangkap, tetapi rerata tertinggi selalu terjadi pada ovirap dengan air
rendaman terasi pada konsentrasi 10%.
Atraktan air rendaman terasi memiliki daya tarik yang lebih kuat daripada air
biasa. Hal ini terjadi karena air rendaman terasi mengandung sisa protein dan senyawa
kimia yang berasal dari udang baik dalam bentuk gas maupun cair yang disukai nyamuk
Aedes sp. Kandungan terasi mengandung ammonia dihasilkan dari fermentasi yang
menyebabkan terasi berbau merangsang. Senyawa ini merupakan atraktan yang baik bagi
nyamuk Aedes sp. Kemungkinan lain adalah adanya zat, senyawa atau bahan atraktif lain
yang terkandung dalam air rendaman terasi yang tidak terdapat pada air biasa.
Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik terhadap serangga (nyamuk)
baik secara kimiawi maupun visual (fisik) (Weinzierl, et all, 2005). Atraktan dari bahan
kimia dapat berupa senyawa ammonia, CO2, asam laktat, octenol, dan asam lemak (Geier
et all, 1999, Kawada, et all, 2007, Weinzierl, et all, 2005). Zat atau senyawa tersebut
berasal dari bahan organik atau merupakan hasil proses metabolisme mahluk hidup,
termasuk manusia. Atraktan fisika dapat berupa getaran. suara dan warna, baik warna
tempat atau cahaya. Atraktan dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku, memonitor
atau menurunkan populasi nyamuk secara langsung, tanpa menyebabkan cedera bagi
binatang lain dan manusia, dan tidak meninggalkan residu pada makanan atau bahan
pangan. Efektifitas penggunaannya membutuhkan pengetahuan prinsip-prinsip dasar
biologi serangga. Serangga menggunakan petanda kimia (semiochemicals) yang berbeda
untuk mengirim pesan. Hal ini analog dengan rasa atau bau yang diterima manusia.
Penggunaan zat tersebut ditandai dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
Sistem reseptor yang mengabaikan atau menyaring pesan-pesan kimia yang tidak relevan
disisi lain dapat mendeteksi pembawa zat dalam konsentrasi yang sangat rendah
(Weinzierl, et all, 2005).
CO2, asam laktat, dan octenol merupakan atraktan yang sangat baik bagi nyamuk.
Aroma asam lemak yang dihasilkan dari flora normal kulit efektif pada jarak 7 – 30 meter,
bahkan dapat mencapai 60 meter untuk beberapa spesies (Foster dan Walker, 2002).
Penggunaan atraktan air rendaman terasi tersebut mengandung kadar ammonia
yang cukup tinggi sehingga dapat menarik penciuman dan mempengaruhi nyamuk dalam
memilih tempat bertelur. Senyawa tersebut dihasilkan dari proses fermentasi zat organik
atau merupakan hasil ekskresi proses metabolisme (ACE, 2003).
Jumlah jentik nyamuk Aedes terperangkap paling banyak terjadi pada pengamatan
minggu I, dan terus mengalami penurunan hingga pada minggu ke III. Fenomena ini
terjadi karena dua alasan terpenting, yaitu (1) penelitian ini dilakukan memasuki musim
kemarau sehingga secara alamiah populasi nyamuk Aedes berkurang akibat
berkurangnya tempat perindukan, (2) populasi nyamuk Aedes di lokasi penelitian
semakin sedikit karena proses regenerasi terganggu akibat penggunaan ovitrap.
Penurunan curah hujan dan hari hujan mengurangi jumlah tempat penampungan
air bersih (TPA) alamiah dan artifisial yang tersebar di sekitar pemukiman. Kondisi ini
merupakan proses pengendalian populasi nyamuk secara alamiah (WHO, 2005). Di sisi
lain, populasi nyamuk Aedes sp yang ada tidak dapat meneruskan proses regenerasi
secara rmaksimal karena adanya perangkap telur (ovitrap).
Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh hasil penelitan yang dilakukan oleh
Ethiene Pedrosa, et all (2010) mengenai dampak variasi suhu dan kelembaban terhadap
kegiatan reproduksi dan kelangsungan hidup nyamuk Aedes aegypti, hasil yang didapat
bahwa pada suhu 350C dan kelembaban relatif sebesar 60 persen maka akan menurunkan
tingkat oviposisi nyamuk (rata-rata 54,53±4,81 telur), sedangkan pada suhu 250C dan
kelembaban relatif 80 persen maka potensial untuk tingkat oviposisi nyamuk (rata-rata
99,08±3,56 telur).
Penelitian yang dilakukan oleh Asrianti Arifin, dkk (2013), dimana dalam
penelitian tersebut melihat pengaruh suhu dan kelembaban terhadap jumlah nyamuk
Aedes spp dan hasilnya membuktikan bahwa suhu sangat berpengaruh pada pertumbuhan
nyamuk. Semakin rendah suhu dan semakin tinggi kelembaban maka akan menaikkan
tingkat oposisi nyamuk.
Mekanisme adaptasi nyamuk Aedes sp yang cepat terhadap perubahan
lingkungan, dalam hal ini nyamuk menghadapi kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan (awal musim kemarau), yaitu terbatasnya tempat perindukan sehingga
nyamuk betina gravid berusaha mencari tempat bertelur (Budiyanto, 2005) dan
menemukan ovitrap di lingkungan pemukiman.
3. Telur Nyamuk A edes sp yang terjebak dalam ovitrap menurut penggunaan
warna pada ovitrap
Ovitrap dengan warna hitam menghasilkan jumlah telur terbanyak (2253 butir
telur) dan ovitrap tanpa warna menghasilkan jumlah telur paling sedikit (1069 butir telur).
Uji Kruskall-Wallis menunjukan bahwa perbedaan penggunaan warna ovitrap
memberikan pengaruh yang nyata dalam menjebak nyamuk Aedes sp untuk bertelur di
dalam ovitrap. Uji lanjut menggunakan Mann-Whitney memperlihatkan bahwa ovitrap
tanpa warna (kontrol) berbeda secara nyata dengan ovitrap warna hitam dan ovitrap
warna hijau dalam menjebak telur nyamuk Aedes sp, sedangkan penggunaan warna hitam
dengan warna hijau pada ovitrap tidak berbeda nyata dalam menjebak telur nyamuk
Aedes sp.
Berbeda dengan hasil penelitian oleh Anif Budiyanto tahun 2010 tentang
perbedaan warna Ovitrap terhadap jumlah telur yang terperangkap, diperoleh hasil bahwa
nyamuk Aedes aegypti lebih banyak terperangkap pada warna merah yaitu sebesar 42,9%
dibandingkan dengan warna hitam sejumlah 40,4%.
Perindukan nyamuak Aedes sp yang paling disenangi yaitu yang berwarna gelap,
kebiasaan istirahat nyamuk Aedes sp lebih banya pada benda-benda yang berwarna gelap
dan tempat-tempat yang terlindung.

PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Perbedaan konsentrasi atraktan pada ovitrap memberikan pengaruh yang nyata
dalam menjebak nyamuk Aedes sp untuk bertelur di dalam ovitrap.
2. Perbedaan penggunaan warna ovitrap memberikan pengaruh yang nyata dalam
menjebak nyamuk Aedes sp untuk bertelur di dalam ovitrap.
3. Konsentrasi 0% (tanpa atraktan) berbeda secara nyata dengan konsentrasi 10%, 20%
dan 30% dalam menjebak telur nyamuk Aedes sp, sedangkan konsentrasi 10%
dengan 20% dan 30% tidak berbeda nyata dalam menjebak telur nyamuk Aedes sp.
Ovitrap tanpa warna berbeda secara nyata dengan ovitrap warna hitam dan ovitrap
warna hijau dalam menjebak telur nyamuk Aedes sp, sedangkan penggunaan warna
hitam dengan warna hijau pada ovitrap tidak berbeda nyata dalam menjebak telur
nyamuk Aedes sp.

Saran
1. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif pengendalian vektor
khususnya untuk pengendalian nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan ovitrap
yang aman bagi lingkugan dan manusia.
2. Bagi instansi terkait
Diharapkan bagi instansi terkait agar ketika melakukan kegiatan-kegiatan di lapangan
seperti sosialisasi kesehatan maupun promosi kesehatan agar dapat membawakan
materi-materi yang dapat memperkenalkan alat perangkap nyamuk sederhana
(ovitrap) sebagai alternatif pengendalian nyamuk atau larva nyamuk. Penggunaan
ovitrap membantu dalam upaya pengendalian nyamuk Aedes sp jika diintegrasikan
dengan program-program partisipasi masyarakat. Metode ini merupakan suatu metode
yang tidak mahal, sederhana, ramah lingkungan yang dapat dipadukan dalam
pemberantasan nyamuk Aedes sp.
KEPUSTAKAAN

ACE. Tiger Prwan (Penaeus monodon) and White Legged Shrimp (Pvannamei).
Agriculture Report: XX. 2003.
http://www.ace4all.com/live200611/docs/P%20monodon. Htm. Diakses 21 Juni
2016.

Anggraini DS, 2012. Perbedaan Kesukaan Nyamuk Aedes Spp Bertelur Berdasarkan
jenis Bahan Ovitrap (Kaleng, Bambu Dan Styrofoam) (Studi Kasus di Kelurahan
Tembalang). Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2012;1:955–62.

Budiyanto, Anif. 2010. Pengaruh Perbedaan Warna Ovitrap terhadap Jumlah Telur
Nyamuk Aedes spp yang Terperangkap. Journal of vector-Borne Diseases Studies.
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/aspirator/article/view/2949. Diakses
10 Agustus 2016.

Dinata A, Dhewantara PW, 2012. Karakteristik Lingkungan Fisik, Biologi, dan Sosial di
Daerah Endemis DBD Kota Banjar Tahun 2011. Jurnal Ekologi Kesehatan.
2012;11(4):315–26.

Ethiene, Arruda Pedrosa et all, 2010. Impact of small variations in temperature and
humidity on the reproductive activity and survival of Aedes aegypti (Diptera,
Culicidae). Jurnal Revista Brasileira de Entomologia vol 54 no 3.2010.

Foster WA, Walker ED. Medical and Veterinary Entomology. Edited by Gary Mullen
dan Lance Durden. London: Academic Press. 2002. p 203-233

Geier M, Bosch OJ, Boeckh J., 1999. Ammonia as an Attractant Component of Host
Odour for the Yellow Fever Mosquito, Aedes aegypti. Chem Senses.

Juhanudin, Amin SL, 2013. Distribusi Spasial Nyamuk Diurnal Secara Ekologi Di
Kabupaten Lamongan. Jurnal Biotropika. 2013;1(3):124–8.

Kawada H, Honda S, Takagi M, 2007. Comparative laboratory Study on the Reaction of


Aedes aegypti and Aedes albopictus to Different Attractive Cues in a Mosquito
Trap. J Med Entomol 2007 44(3): 427 – 432.

Kementerian Kesehatan RI, 2012. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah


Dengue (PSN DBD) Oleh Juru Pemantau Jentik (Jumantik), Jakarta.

Wahyuningsih NE, Mursid R, Taufik H, 2009. Keefektifan penggunaan Dua Jenis


Ovitrap untuk Pengambilan Contoh Telur Aedes sp di Lapangan. Jurnal
Entomologi Indonesia. 2009;6(2):95–102.

Weinzierl R, Henn T, Koehler PG, Tucker CL, 2005. Insect Attractants and Traps.
ENY277 (dipublikasikan oleh Kantor Entomologi Pertanian, Universitas Illionis).
2005 http://edis.ifas.ufl.edu. Diakses 21 Juni 2016.
WHO, 2005. Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah Dengue.
Panduan Lengkap. Alih bahasa: Palupi Widyastuti. Editor Bahasa Indonesia:
Salmiyatun. Cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Widiyanto, Teguh. 2007. Kajian Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Demam


Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Purwokerto Jawa Tengah. (Thesis). Program
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

Anda mungkin juga menyukai