Anda di halaman 1dari 14

Radha Kurnia Amanda

1610311064

Terminologi

1. Apendektomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan
resiko perforasi, harus dilakukan beberapa jam setelah diagnosis ditegakkan dan biasanya dikerjakan melalui
insisi kuadran kanan bawah.
2. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling
sering atau peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut
3. Asma intermiten adalah asama dengan Gejala: 2 hari atau kurang dalam satu minggu. , Terbangun di tengah
malam: 2 kali atau kurang dalam satu bulan, Menggunakan inhaler: 2 kali atau kurang per minggu, tidak
mengalami gangguan saat beraktivitas
4. Spray salbutamol adalah obat yang dapat melebarkan saluran udara pada paru-paru. Obat yang masuk ke dalam
golongan bronkodilator ini bekerja dengan cara melemaskan otot-otot di sekitar saluran pernapasan yang
menyempit sehingga udara dapat mengalir lebih lancar ke dalam paru-paru.
5. Asa 2 Klasifikasi status fisik yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang berasal dari
The American Society of Anesthesiologist (ASA). Klasifikasi ASA antara lain :
• ASA I : pasien dalam kondisi sehat
• ASA II : pasien dengan kelainan sistemik ringan – sedang yang tidak berhubungan dengan pembedahan, dan
pasien masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
• ASA III : pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas
• ASA IV : pasien dengan kelainan sistemik berat tidak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya setiap saat (mengancam jiwa dengan atau tanpa pembedahan).
• ASA V : pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.
• ASA VI : brain-dead
Jika akan dilakukan operasi darurat dapat mencantumkan tanda darurat E
6. Obat sedasi adalah adalah anestesi dimana obat diberikan untuk menenangkan pasien dalam suatu periode
yang dapat membuat pasien cemas, tidak nyaman, atau gelisah. Seringkali diberikan kepada pasien segera
sebelum pembedahan atau selama prosedur medis yang tidak nyaman. Sedasi menggunakan obat-obatan
sedatif.
7. Analgetik adalah obat yang digunakan untuk meredakan rasa nyeri. Obat analgetik dibagi ke dalam dua
kelompok, yaitu obat golongan opioid dan NSAID. Golongan Opioid bekerja pada sistem saraf pusat, sedangkan
golongan NSAID bekerja di reseptor saraf perier dan sistem saraf pusat.
8. Kortikosteroid adalah obat yang mengandung hormon steroid yang berguna untuk menambah hormon steroid
dalam tubuh bila diperlukan, dan meredakan peradangan atau inflamasi, serta menekan kerja sistem kekebalan
tubuh yang berlebihan
9. Subarachnoid block/ spinal anestesi berfungsi sebagai penghilang rasa sakit di area bawah pinggang, serta
memungkinkan pasien tetap terjaga selama operasi
10. Sedasi ringan minimal (anxiolysis): kondisi dimana pasien masih dapat merespons dengan normal terhadap
stimulus verbal. Meskipun fungsi kognitif dan koordinasi terganggu, ventilasi dan fungsi kardiovaskular tidak
terpengaruh. Contoh sedasi minimal adalah:

a. Blok saraf perifer


b. Anestesi lokal atau topikal
c. Pemberian satu jenis obat sedatif/ analgetik oral dengan dosis yang sesuai untuk penanganan insomnia,
anxietas, atau nyeri.

11. General anesthesia atau anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya
kesadaran yang bersikat reversibel
12. Epidural block adalah salah satu bentuk bius lokal yang digunakan untuk membuat bagian tertentu pada tubuh
Anda mati rasa. Epidural tidak akan membuat Anda hilang kesadaran sepenuhnya, karena fungsinya hanya untuk
menawar rasa sakit (analgesia). Ketika Anda diberikan epidural, impuls-impuls saraf sensoris tulang belakang
Anda akan dihentikan. Saraf sensoris bertugas untuk mengirimkan berbagai sinyal pada otak, seperti rasa sakit
atau panas. Akibatnya, sensasi atau rasa sakit yang seharusnya Anda rasakan pada bagian bawah torso Anda,
lebih tepatnya di rahim, leher rahim, dan bagian atas vagina akan berkurang. Namun, saraf motoris Anda masih
akan bekerja dengan baik sehingga otak masih bisa mengirimkan perintah bagi panggul dan bagian-bagian tubuh
lainnya untuk berkontraksi dan bekerja sesuai kebutuhan.
13. Laparatomi eksplorasi dalah bedah terbuka yang dilakukan agar dapat menjangkau organ dan jaringan internal
tubuh untuk keperluan diagnostik. Prosedur ini bertujuan untuk mencari sumber kelainan yang menyerang
organ perut, termasuk usus buntu, kandung kemih, usus, kantung empedu, hati, pankreas, ginjal, ureter, limpa,
lambung, rahim, tuba fallopi, dan indung telur. Prosedur ini pun dapat dimanfaatkan untuk mengambil sampel
jaringan untuk diagnosis lanjutan (biopsi) dan sebagai prosedur terapeutik
14. Ileus obstruktif et causa tumor intraabdomen adalah gangguan patensi lumen intestinal akibat hambatan
mekanik pada bagian distal, sehingga terjadi akumulasi isi usus pada bagian proksimal obstruksi. [1,2] Ileus
obstruktif menurut lokasinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu letak tinggi (obstruksi usus halus) dan letak rendah
(obstruksi usus besar). Penyebab terjadinya ileus obstruktif bervariasi di mana pada obstruksi usus halus
penyebab tersering adalah adhesi dan hernia, sedangkan pada obstruksi usus besar paling sering disebabkan
oleh keganasan.
15. Apatis yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
16. Asidosis metabolik adalah gangguan ketika status asam-basa bergeser ke sisi asam akibat hilangnya basa atau
retesi asam nonkarbonat dalam tubuh. Asidosis sendiri merupakan kondisi dimana terjadi akumulasi asam dan
ion hidrogen dalam darah dan jaringan tubuh sehingga menurunkan pH.
17. Anemia adalah sebuah kondisi dimana tubuh tidak memiliki cukup jumlah sel darah merah yang sehat dimana
kadar Hemoglobin darah lebih rendah dari normal.
18. Hipoalbumin adalah suatu kondisi saat kadar albumin dalam darah kurang dari jumlah normal (di bawah 3,5
g/d).
19. Asa 3 (SDA)
20. Rehidrasi adalah proses senyawaan kembali.
21. RJP adalah tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab
tertentu. Langkah pertolongan medis untuk mengembalikan fungsi napas dan atau sirkulasi darah di dalam
tubuh yang terhenti. Resusitasi jantung paru bertujuan menjaga darah dan oksigen tetap beredar ke seluruh
tubuh.
22. Icu (Intensive Care Unit) adalah ruang khusus untuk pasien krisis yang memerlukan perawatan intensif dan
observasi berkelanjutan.
23. Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian ataupun seluruh proses ventilasi pasien
untuk mempertahankan oksigenasi atau pernapasan.
24. Monitoring intraoperatif adalah kegiatan memonitor keadaan pasien meliputi jalan nafas, oksigenasi, ventilasi,
sirkulasi dan suhu tubuh.
25. Nibp (Non Invasive Blood Pressure) adalah parameter untuk mengetahui tekanan darah dari pasien
26. SpO2 adalah alat medis yang digunakan untuk mengetahui perbandingan antara hemoglobin yang mengikat
oksigen dengan jumlah seluruh hemoglobin yang ada di dalam darah.
27. Central venous catheter adalah prosedur seperti pemasangan infus, tetapi pada pembuluh darah besar. Dileher
(urat nadi internal), di dada (vena subklavia) atau paha (vena femoralis)
28. Inotropic adalah obat yang mengubah tekanan kontraksi otot jantung (detak jantung).
29. Vasopressor Adalah agen yang dapat menyebabkan konstriksi pembuluh darah sehingga mengakibatkan suatu
peningkatan tekanan darah

Rumusan Masalah

1. Bagaimana persiapan praanestesi ?


Pre-Sedasi
Prosedur pre-sedasi dilakukan untuk meningkatkan efek sedasi yang maksimal dan meminimalisir efek samping dari
sedasi sedang maupun sedasi dalam.
1. Assesmen pasien meliputi riwayat dahulu, dan pemeriksaan fisik pasien, pasien juga diberikan edukasi dan
informasi terhadap pilihan obat-obatan sedasi.

Dalam pre-sedasi, assesmen pasien meliputi:


a. Pemeriksaan/ riwayat abnormalitas organ-organ vital pasien
b. Riwayat mendapat obat-obat sedasi sebelumnya terutama anestesi regional atau anestesi umum.
c. Riwayat reaksi alergi, pengobatan lama, dan konsumsi obat-obatan yang mungkin dapat berreaksi dengan obat sedasi.
d. Waktu atau jarak konsumsi obat terakhir.
e. Riwayat merokok , alkohol atau zat aditif lainnya.
Pasien juga dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk dievaluasi hasil-hasil pemeriksaan yang dapat mempengaruhi
efek sedasi.
Pasien menandatangani dokumen persetujuan tindakan (informed concent) untuk pelaksanaan sedasi.
2. Konseling pasien.

Mengenai resiko, keuntungan, keterbatasan, dan alternatif yang ada.


3. Puasa pre-prosedur

Dilakukan hanya untuk sedasi berat dimana pasien tidak memiliki respons mempertahankan jalan nafas sendiri.
a. Prosedur elektif : mempunyai waktu yang cukup untuk pengosongan lambung.
b. Situasi emergensi : berpotensi terjadi pneumonia aspirasi, pertimbangan dalam menentukan tingkat/ kategori sedasi,
apakah perlu penundaan prosedur, dan apakah perlu proteksi trakea dengan intubasi.
PANDUAN PUASA SEBELUM MENJALANI PROSEDUR MENURUT AMERICAN SOCIETY OF ANESTHESIOLOGIST
Jenis Makanan Periode puasa minimal
Ciran bening / jernih 2 jam
Air Susu Ibu (ASI) 4 jam
Susu formula untuk bayi 6 jam
Susu Sapi 6 jam
Makanan ringan 6 jam

Penggolongan ASA:
ASA 1 : Pasien sehat tanpa gejala sistemik.
ASA 2 : Pasien dengan riwayat penyakit sistemik terkontrol tanpa gejala penyakitnya.
ASA 3 : Pasien dengan kondisi medis dan memiliki gejala sistemik terhadap penyakitnya, dan keterbatasan
funsi organ.
ASA 4 : Pasien dengan kondisi medis dengan gejala penyakit tidak terkontrol dan disfungsi organ yang nyata.
ASA 5 : Pasien dengan kondisi medis kritis dengan angka harapan hidup yang kecil
ASA 6 : Pasien dengan mati otak dilakukan anestesi untuk kepentingan donasi organ

Durante Sedasi
Data yang harus dilenkapi selama prosedur sedasi dilakukan:

1. Review ulang mengenai kondisi pasien sebelum melakukan inisiasi tindakan sedasi

· Reevaluasi pasien
· Periksa kembali kesiapan dan kelengkapan peralatan, obat, dan suplai oksigen

2. Pemantauan pasien, berupa:

· Tingkat kesadaran pasien (dinilai dari respons pasien terhadap stimulus)


- Respons menjawab (verbal) : menunjukkan bahwa pasien bernafas
- Hanya memberikan respons berupa refleks menarik diri (withdrawal): dalam sedasi berat/ dalam, mendekati anestesi
umum, dan harus segera ditangani.
· Oksigenasi
- Memastikan konsentrasi oksigen yang adekuat selama proses sedasi.
- Gunakan oksimetri denyut (pulse oximetry)
· Respons terhadap perintah verbal (jika memungkinkan)
· Ventilasi paru (observasi, auskultasi)
- Jika terpasang ETT / LMA: pastikan posisi terpasang dengan benar.
- Kapnografi
· Sirkulasi
- Elektrokardogram (EKG)
- Pemeriksaan analisis gas darah (AGD
- Tekanan darah dan frekwensi denyut jantung setiap 15 menit
· Temperatur tubuh
· Dosis dan jenis obat yang digunakan, waktu dan jalur pemberian obat, iddentifikasi efek samping obat.
· Jenis dan jumlah cairan intravena yang digunakan, termasuk produk darah serta waktu pemberiannya.
· Teknik yang digunakan dan posisi pasien saat dilakukan sedasi.
· Peralatan untuk jalan nafas yang digunakan berikut teknik dan lokasi pemasangannya.
· Kejadia-kejadian tidak biasa yang terjadi selama pemberian sedasi

3. Pencatatan data untuk sedasi berat/ dalam:

· Respons terhadapperintah verbal atau stimulus yang lebih intens.


· Pemantauan CO2 yang diekspirasi untuk semua pasien
· EKG
Pada pasien anak yang dilakukan sedasi, dokter anestesi harus sudah mempertimbangkan ketepatan pemilihan obat
sedasi yang akan diberikan sesuai dengan durasi tindakan yang akan dilakukan. Beberapa jenis obat yang perlu
dipersiapkan pada saat durasi sedasi adalah :
- Albuterol (2,5 mg/3ml)
- Altropine Sulfat (0,4 mg/ml)
- Calcium chloride (100 mg/ml)
- Dextrose 50% (0,5 g/ml)
- Diphenhydramine (50 mg/ml)
- Ephinephrine 1: 1000 (1 mg/ml)
- Ephinephrine 1: 10,000 (0,1 mg/ml)
- Flumazenil (0,5 g/5 ml)
- Lidocaine (100 mg/50 ml)
- Naloxone (1 mg/ml)
- Vecuronium (1 mg/ml)
1. Sebelum operasi
 Pemasangan kateter untuk control produksi urin
 Rehidrasi
 Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.
 Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk membuka pembuluh-
pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.
 Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.

2. Mengapa dilakukan operasi apendektomi pada penderita apendisitis ?

pembedahan untuk mengangkat apendiks yang dilakukan sesegera mungkkin untuk menurunkan resiko perforsi.
endisitis yang tidak diobati berisiko untuk pecah dan berakibat fatal. Kondisi ini ditandai dengan sakit perut yang tak
tertahankan, demam, mual, muntah, kehilangan nafsu makan, sering buang air kecil (BAK), serta linglung dan gelisah.
Saat usus terinfeksi, bakteri baik dalam usus mulai berkembang biak dengan cepat. Usus akan mengalami peradangan
dan terisi dengan nanah yang mengandung bakteri, sel jaringan, dan sel darah putih yang mati. Infeksi ini menyebabkan
tekanan yang lebih besar pada usus buntu, sehingga menurunkan aliran darah yang mengalir melalui dinding organ.
Dampaknya, jaringan usus akan kekurangan pasokan darah dan membuatnya mati secara perlahan. Proses ini akan terus
berlanjut sampai dinding otot pada usus menjadi sangat tipis dan akhirnya pecah.

Pecahnya usus buntu ini biasa terjadi setelah 24 jam pertama munculnya gejala awal apendisitis. Risiko semakin
meningkat, terutama setelah 48-72 jam gejala muncul. Lantas, apa saja bahaya yang mungkin terjadi akibat pecahnya
usus buntu?

 Peritonitis, yaitu peradangan pada membran rongga perut akibat usus yang pecah. Gejalanya meliputi sakit
perut yang parah dan terus-menerus, muntah, detak jantung cepat, demam, daerah perut yang membengkak,
dan kesulitan bernapas (napas pendek). Komplikasi ini biasanya diatasi dengan pemberian antibiotik dan operasi
pengangkatan usus buntu.
 Abses, yaitu penumpukan nanah pada satu daerah tubuh. Kondisi ini bisa ditangani dengan penyedotan nanah
dari abses atau pemberian antibiotik.
 Kematian. Pada beberapa kasus, pecahnya usus buntu bisa menyebabkan kematian. Risiko ini biasanya tinggi
pada balita dan anak-anak. Ini terjadi akibat peritonitis yang tidak diobati dengan tepat, sehingga menyebar dan
menyebabkan septikemia (bakteri dalam darah). Kondisi ini bisa memicu peradangan dalam tubuh dan
kerusakan organ tubuh, hingga menyebabkan kematian.

3. Bagaimana hubungan pasien asma dengan akan dilakukannya tindakan anestesi ?

Tujuan penanganan preoperatif pasien dengan asma yaitu untuk memaksimalkan fungsi paru pasien tersebut. Pasien
disaran- kan berhenti merokok dua bulan sebelum pembedahan. Evaluasi pasien asma se-belum tindakan anestesia dan
pembedahan sangat penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian serangan asma, baik saat intraoperatif
maupun pasca-operatif. Evaluasi yang dilakukan meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pe-meriksaan laboratorik,
pemeriksaan fungsi paru dan analisis gas darah, dan foto toraks.11-13 Hasil evaluasi akan dipakai un-tuk menentukan
status fisik pra-anestesia. The American Society of Anesthesiologists (ASA) menyusun klasifikasi status fisik pra-anestesia
atas enam kelas, yaitu:11
ASA 1: pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
ASA 2: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.
ASA 3: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penye-bab
tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara langsung dapat mengancam
kehidupannya.
ASA 5: pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal.
ASA 6: pasien yang telah dinyatakan mati otak, organnya dikeluarkan untuk keperluan donor tetapi harus atas ijin pasien
atau keluarga.
Pada pengelolaan preoperatif pasien dengan asma, sebagai langkah pertama yaitu menentukan reversibilitas
kelainan. Proses obstruksi yang revesibel ialah bron-kospasme, sekret yang terkumpul, dan proses inflamasi
jalan napas. Pasien dengan bronkospasme yang sering harus diobati dengan preparat bronkodilator, teofilin, dan
kortikosteroid.

Obat penanganan asma yaitu golongan simpatomime-tik, antagonis leukotrien, steroid, dan anti-immunoglobulin E (anti-
IgE). Obat-obat lain yang jarang digunakan ialah golongan mukolitik, mast cell stabilizers, dan go-longan
parasimpatolitik.12

Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas bawah. Pada pasien asma
pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan (intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi
paksa). Spinal anestesi dapat memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi kemampuan
untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi
atau epidural anestesi dapat memperburuk bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas
bawah(T1-T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi tehnik epidural dan anestesi umum
dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelectasi. Pada prosedur
pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general anestesi. Faktor-faktor penting yang
menghalangi keberhasilan penggunaan regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi dalam
waktu lama, batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan yaitu pada tahap kritis pembedahan.

4. Mengapa asma intermiten dapat reda dengan penggunaan spray salbutamol ?


albutamol merupakan golongan bronkodilator yang bekerja dengan cara melemaskan otot-otot di saluran udara
dan meningkatkan aliran udara ke paru-paru. Salbutamol digunakan untuk mengobati atau mencegah
bronkospasma (penyempitan pada otot-otot yang melapisi paru-paru) dengan penyakit saluran napas.
Salbutamol dapat digunakan untuk orang dewasa dan anak-anak yang berusia minimal 4 tahun. Salbutamol
termasuk golongan agonis adrenoreseptor beta-2 selektif kerja pendek (short acting beta-adrenergic receptor
agonist) yang bekerja dengan cara merangsang secara selektif reseptor beta-2 adrenergik pada otot bronkus
yang menyebabkan terjadinya relaksasi pada otot bronkus dan menghasilkan efek pelebaran bronkus
(bronkodilatasi). Salbutamol mengaktifkan adenil siklase, enzim yang merangsang produksi CAMP. Peningkatan
CAMP menyebabkan aktivasi protein kinase A, yang menghambat fosforilasi myosin, dan menurunkan
konsentrasi ion kalsium intraseluler, menghasilkan relaksasi otot polos.
5. Bagaimana kriteria ASA 2?
Pasien dengan kelainan sistemik ringan – sedang yang tidak berhubungan dengan pembedahan, dan pasien
masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
6. Mengapa dokter memberikan obat sedasi, analgetik dan kortikosteroid ?
Premedikasi adalah pemberian satu obat/lebih sebelum anestesia untuk mencegah semua penyulit yang dapat
timbul selama dan sesudah anestesia maupun pembedahan. Diberikan di ruangan/kamar bedah. Obat-obat
premedikasi memiliki efek samping
Tujuan
 Mengurangi kecemasan
 Mengurangi nyeri
 Mengurangi kebutuhan obat anestesia
 Mengurangi sekresi saluran napas
 Menyebabkan amnesia
 Mengurangi mual muntah
 Pengosongan lambung, Mengurangi produksi asam lambung
o Obat sedasi : Bersifat sedatif. Efek samping : depresi ssp, vasodilatasi. Sering terjadi obstruksi jalan napas
akibat “jatuhnya pangkal lidah menutupi jalan napas”
o Analgetik : untuk mengurangi rasa nyeri. Dulu opioid sekarang nsaid
o Kostikosteroid
Obat golongan ini sering digunakan pada pasien yang tidak berespon terhadap pemberian antagonis β2
adrenergik. Pada serangan asma berat digunakan kortiko-steroid parenteral. Kortikosteroid sistemik
digunakan untuk mengontrol eksaserbasi berat, mencegah progresivitas dan inflama-si, pemulihan yang
cepat, dan mengurangi tingkat kekambuhan. Mekanisme kerja obat ini melalui pengurangan edema mukosa
dan stabilisasi membran sel mast.

BACA KP PREMEDIKASI

7. Mengapa Rino direncanakan pembiusan subarachnoid block yang ditambah dengan sedasi ringan ? indikasinya ?
caranya ? contoh sedasi ringan ?
Anestesi subarachnoid indikasi : • Bedah abdomen bawah
• Bedah ekstremitas bawah Kontrainsikasi absolut :
• Bedah panggul • Pasien menolak
• Tindakan sekitar rektum perineum • Infeksi pada tempat suntikan
• Bedah obstetrik-ginekologi • Hipovolemia berat atau syok
• Bedah urologi • terapi koagulan
• Tekanan intrakranial meningkat • Terdapat perdarahan intra atau ekstra kranial
• Fasilitas resusitasi minimal • Stenosis aorta berat
• Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen • Stenosis mitral berat
anestesi

Teknik :
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak
untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus
mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Tempat penyutikan: penyuntikan obat pada ketinggian L2-3 atau L3-4 memudahkan penyebaran obat ke arah
kranial, sedangkan penyuntikan pada L4-5 karena bentuk vertebra memudahkan obat berkumpul di daerah
sakral.
Obat-obatan :
• Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100 mg (2-5 ml)
• Lidokaine (xylocain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-
2ml)
• Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg (1-4ml)
• Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)
T4-5 (nipple) Abdomen bagian atas
T6-8 (xiphoid) Pembedahan intestinal (termasuk apendektomi), Pelvis-ginekologik, ureter, dan pembedahan
pelvis renalis

Sedasi ringan / minimal (anxiolysis): kondisi dimana pasien masih dapat merespons dengan normal terhadap
stimulus verbal. Meskipun fungsi kognitif dan koordinasi terganggu, ventilasi dan fungsi kardiovaskular tidak
terpengaruh

Contoh sedasi minimal adalah:

a. Blok saraf perifer


b. Anestesi lokal atau topikal
c. Pemberian satu jenis obat sedatif/ analgetik oral dengan dosis yang sesuai untuk penanganan insomnia,
anxietas, atau nyeri.

Golongan obat Sedasi ringan Sedasi sedang Sedasi dalam


Antagonis H1 Doksilamin 1,5-2,5 mg Klemastin 1,34-2,68 mg Feniramin 12,25-25 mg
Tripennelamin 25-50 mg Pirilamin 25-50 mg Dimenhidramine 50-100mg
Klofeniramin 4 mg Difenhidramin 25-50mg
Bromfeniramin 4 mg Prometazin 25 mg
Hidroksizin 50-100 mg
Sinarizin 25 mg
Iproheptadin 4 mg
Barbiturat Pentobarbital 100 mg (oral)
200 mg (IM)
Hipnotik Flurazepam 15-30 mg
benzodiazepin Temazepam 15-30 mg
Triazolam 1,25-5 mg
Lora zepam 2-4 mg
Fenotiazin Clorpomazin 25 mg
alifatik
Anti ansietas Diazepam 2-5 mg Diazepam 10 mg
Meprobamat 400 mg Meprobarnat 1,5 mg

8. Bagaimana cara general anesthesia atau epidural block ? indikasinya apa ?


Syarat anestesi umum
• Memberi induksi yang halus dan cepat.
• Pasien tak sadar atau tak berespons.
• Keadaan amnesia.
• Relaksasi otot skeletal
• Hambatan persepsi rangsang sensorik untuk analgesia
• Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat
Cara anestesi general

Cara Pemberian Anestesi Umum


Anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi atau injeksi intravena.
1. Anestesi inhalasi: halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, desflurane, dan methoxyflurane merupakan cairan yang
mudah menguap. Obat-obat ini diberikan sebagai uap melalui saluran napas.
Cara pemberian anestesi inhalasi:
• Open drop method: zat anestesi diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar zat
anestesi yang dihisap tidak diketahui dan pemakaiannya boros karena zat anestesi menguap ke udara terbuka.
• Semiopen drop method: cara ini hamper sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi terbuangnya zat anestesi
maka digunakan masker.
• Semiclosed method: udara yang dihisap diberikan bersamaan oksigen yang dapat ditentukan kadarnya. Keuntungan
cara ini adalah dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan zat anestesi dalam kadar tertentu dan hipoksia
dapat dihindari dengan pemberian O2.
• Closed method: hamper sama seperti semiclosed, hanya udara ekspirasi dialirkan melalui NaOH yang dapat mengikat
CO2, sehingga udara yang mengandung anestesi dapat digunakan lagi. Cara ini lebih hemat, aman, dan lebih mudah,
tetapi harga alatnya cukup mahal.
Jenis-jenis anestesi inhalasi generasi pertama seperti ether, cyclopropane, dan chloroform sudah tidak digunakan lagi di
negara-negara maju karena sifatnya yang mudah terbakar (misalnya ether dan cyclopropane) dan toksisitasnya terhadap
organ (chloroform).
2. Anestesi Intravena. Beberapa obat digunakan secara intravena ( baik sendiri atau dikombinasikan dengan obat lain)
untuk menimbulkan anestesi, atau sebagai komponen anestesi berimbang (balanced anesthesia), atau untuk
menenangkan pasien di unit rawat darurat yang memerlukan bantuan napas buatan untuk jangka panjang. Untuk
anestesi intravena total biasanya menggunakan propofol.

Tahapan Anestesi

1. Stadium 1 (analgesia)

 Penderita mengalami analgesi,


 Rasa nyeri hilang,
 Kesadaran berkurang

2. Stadium II (delirium/eksitasi)

 Penderita tampak gelisah dan kehilangan kesadaran


 Penderita mengalami gerakan yang tidak menurut kehendak (tertawa, berteriak, menangis, menyanyi)
 Volume dan kecepatan pernapasan tidak teratur
 Dapat terjadi mual dan muntah
 Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi
 Midriasis, hipertensi

3. Stadium III (anestesia,pembedahan/operasi)

 Pernapasan menjadi dangkal, cepat, dan teratur, seperti pada keadaan tidur (pernapasan perut)
 Gerakan mata dan refleks mata hilang / gerakan bola mata tidak menurut kehendak
 Otot menjadi lemas, misal; kepala dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan bebas; lengan diangkat lalu
dilepaskan akan jatuh bebas tanpa ditahan

4. Stadium IV (paralisis medula oblongata)

 Kegiatan jantung dan pernapasan spontan terhenti.


 Terjadi depresi berat pusat pernapasan di medulla oblongata dan pusat vasomotor. Tanpa bantuan respirator
dan sirkulasi, penderita akan cepat meninggal. Maka taraf ini sedapat mungkin dihindarkan.

Cara anestesi epidural


 Blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural yaitu di antara ligamentum flavum dan duramater
 Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
 Untuk mengenal ruang epidural digunakan teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes tergantung.
Indikasi anestesi epidural
• Untuk tujuan anestesi
• Sebagai tambahan untuk anestesi umum
• Untuk analgesia pasca-operasi
• Untuk perawatan sakit punggung
• Untuk mengurangi rasa sakit kronis atau peringanan gejala dalam perawatan terminal

9. Mengapa atas pertimbangan jenis dan lokasi operasi serta kepraktisan memilih subarachnoid block ?
Ya karena lokasinya di bawah dan bisa dilakukan spinal anestesi. Kalau anestesi umum tidak praktis karena
membuat pasien tidak sadar.
Kerugian anestesi umum
• Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul di bawah anestesi umum
• Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit
• Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan kesadaran.
• Risiko komplikasi pascabedah lebih besar
• Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.

10. Mengapa dilakukan operasi laparotomi eksplorasi atas indikasi ileus obstruksi et causa tumor intra abdomen ?
11. Bagaimana interpretasi pasien terlihat lemah dengan tingkat kesadaran apatis, TD 80/40, nadi 120x/menit ?
12. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium ditemukan asidosis metabolik, gangguan elektrolit,
anemia dan hipoalbumin ?
13. Bagaimana kriteria ASA 3 ?
SDA
14. Mengapa sasaran optimalisasi melalui rehidrasi dan koreksi elektrolit serta Hb, dan persiapan darah
intraoperatif ?
Karena pasien mengalami gangguan elekktrolit sehingga dibutuhkan koreksi elektrolit
Selain itu pasien juga anemia, butuh koreksi Hb. Operasi yang akan dilakukan cenderung akanmembuat pasien
kehilangan banyak darah takutnya anemia semakin parah. Makanya dilakukan koreksi hb terlebih dahulu.

Kapan saja cairan hilang ?

a. Puasa Preoperatif
b. Kehilangan cairan abnormal (muntah, diare, perdarahan pre operatif)
c. Insensible Water Loss
d. Perdarahan pada saat operatif
e. Kehilangan akibat redistribusi dan evaporasi cairan (berhubungan dengan luas nya area operasi dan
besranya luka)

Penatalaksanaan
 Pra bedah :

o Sebelum dilakukan pembedahan harus diamati dan ditentukan penderita dalam kondisi normovolume
o Pada penderita yang mengalami dehidrasi (akibat muntah, intake < atau ke 3 rd space) harus diresusitasi cairan
dulu.
o Penderita yang mengalami perdarahan hebat diupayakan tanda vital optimal.
o Produksi urin yang diharapkan 0,5 – 1 cc/kgBB/jam
 Selama bedah, Perhatikan :
o Kekurangan cairan pra bedah
o Kebutuhan untuk pemeliharaan
o Bertambahnya insensible loss karena suhu kamar operasi yang tinggi
o Translokasi cairan ke 3 rd space dan intersitial
o Perdarahan
 Pasca bedah
o Pengaruh hormonal menetap hg beberapa hr pasca bedah, dan mempengaruhi keseimbangan cairan dan
elektrolit.
o Bila penderita sdh dapat minum segera diberikan per-oral
o Na : pemberian Natrium pada hari pertama pasca bdh krg dp kebutuhan pemeliharaan
o Kalium : diberikan hr ke 2 pasca bedah ??,
o Namun ttp diperiksa lab bila rendah harus segera dikoreksi
Penggantian cairan pada operasi :
 Ringan : 4 cc/kgBB/jam
 Sedang : 6 cc/kgBB/jam
 Berat : 8 cc/kgBB/jam
 Sedangkan untuk bayi dan anak : 2/4/6 cc/kgBB/jam
 Prinsip pemberian cairan pada pembedahan :
1. Tanda vital stabil, prod urine 0,5-1 cc/kgBB/jam
2. Perdarahan < 10 % EBV ganti dgn kristaloid, 10-20% dgn darah/koloid, > 20 % dgn darah

15. Mengapa kondisi preoperatif dikatakan jelek dan jenis operasi besar yang rentan kehilangan darah banyak ?
16. Mengapa alat-alat untuk RJP disiapkan ? apa indikasi RJP ? cara RJP?
Indikasi RJP adalah untuk dilakukan segera pada setiap orang yang dalam keadaan tidak sadar dan nadi tidak
teraba. Berhentinya aktivitas jantung pada umumnya disebabkan oleh terjadinya nonperfusing arrhythmia atau
aritmia maligna. Jenis aritmia maligna pada umumnya adalah fibrilasi ventrikel, pulseless ventricular
tachychardia, pulseless electrical activity, asistole, dan pulseless bradycardia. Meskipun demikian, RJP harus
dimulai sebelum ritme jantung diketahui.

Tujuan RJP
• Mempertahankan kehidupan, memperbaiki kesehatan, mengurangi penderitaan serta membatasi
disabilitas tanpa melupakan hak dan keputusan pribadi
• Perlu penguasaan diri dan materi yang baik karena keputusan yang harus diambil itu dalam hitungan
detik
• Circulation :
• Observasi yang dilakukan :
• Pemeriksaan denyut nadi.
• Maksimal 10 detik
• Tidak dilakukan pada penderita yang mengalami henti jantung mendadak dan disaksikan
– Tindakan yang dilaksanakan
• Kompresi dada dengan frekuensi yang cukup (100-120x/menit)
• Kedalaman 5-6 cm pada orang dewasa
• Bayi-Anak, kedalaman 4-5 cm
• Harus terjadi recoil dada sempurna
• Interupsi seminimal mungkin
– Airway :
– Observasi yang dilakukan :
• Jalan napas diperiksa bila setelah dikompresi 30x dan saat pemberian bantuan napas, dada
tidak tampak mengembang
– Tindakan yang dilakukan
• Mempertahankan patensi jalan napas dengan Head Tilt Chin Lift
– Breathing :
– Observasi yang dilakukan :
• Tidak ada observasi khusus yang dilakukan

– Tindakan yang dilakukan


• Bantuan napas diberikan dalam 1 detik sampai dada mengembang
• 2 kali setelah 30 kompresi dada
• Bantuan napas yang berlebihan dapat menyebabkan regurgitasi dan aspirasi
• Defibrilasi
– Memegang peranan kritis untuk pasien dengan aritmia karena :
• Irama Jantung penyebab henti jantung mendadak di luar rumah sakit adalah Ventrikel Fibrilasi
yang terapinya adalah defibrilasi
• Semakin lama defibrilasi, keberhasilannya makin berkurang
• Ventrikel Fibrilasi akan berubah jadi asistol seiring dengan waktu.
– Dosis
• Dewasa 360 joule monofasik/200 joule bifasik
• Anak : 2 - 4 joule/kg, dapat diulang dengan 4 - 10 joule/kg

17. Mengapa untuk post operatif disarankan ICU dengan persiapan ventilator?

Indikasi Pasien dirawat di ICU2 :

1. Pasien sakit berat, kritis, dan tidak stabil misal pasien pasca operasi bedah mayor

2. Pasien yang memerlukan pemantauan intensive

3. Pasien yang mengalami komplikasi akut seperti : Edema paru ( kardiogenik dan non kardiogenik )

Tujuan Ventilator antara lain adalah sebagai berikut :

1. Mengurangi kerja pernapasan.


2. Meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
3. Pemberian MV yang akurat.
4. Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.
5. Menjamin hantaran O2 ke jaringan adekuat

Dan berikut adalah kriteria indikasi pemasangan ventilasi mekanik


1. Pasien Dengan Gagal Nafas. Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas, henti nafas (apnu) maupun
hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan indikasi ventilasi mekanik. Idealnya pasien
telah mendapat intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik sebelum terjadi gagal nafas yang sebenarnya.
Distres pernafasan disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan atau oksigenasi. Prosesnya dapat berupa
kerusakan paru (seperti pada pneumonia) maupun karena kelemahan otot pernafasan dada (kegagalan
memompa udara karena distrofi otot).
2. Insufisiensi jantung. Tidak semua pasien dengan ventilasi mekanik memiliki kelainan pernafasan primer. Pada
pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem pernafasan (sebagai
akibat peningkatan kerja nafas dan konsumsi oksigen) dapat mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilasi
mekanik untuk mengurangi beban kerja sistem pernafasan sehingga beban kerja jantung juga berkurang.
3. Disfungsi neurologis. Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apnoe berulang juga
mendapatkan ventilasi mekanik. Selain itu ventilasi mekanik juga berfungsi untuk menjaga jalan nafas pasien
serta memungkinkan pemberian hiperventilasi pada klien dengan peningkatan tekanan intra cranial.
4. Tindakan operasi. Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan anestesi dan sedative sangat terbantu
dengan keberadaan alat ini. Resiko terjadinya gagal napas selama operasi akibat pengaruh obat sedative sudah
bisa tertangani dengan keberadaan ventilasi mekanik.

18. Mengapa monitoring intraoperatif dilakukan pemantauan NIBP, laju nadi, SpO2 dan produksi urin ?

 Standar I

Tenaga anestesia yang berkualitas harus berada didalam kamar bedah selama pemberian anastesia/analgesia
utuk memantau pasien dan memberikan antisipasi segera terhadap perubahan abnormal yang terjadi.

 Standar II

Selama pemberian anestesia/analgesia, jalan napas, oksigenasi, ventilasi dan sirkulasi pasien harus dievaluasi
secara teratur dan sering bahkan pada kasus-kasus tertentu dilakukan secara kontinyu

 Jalan nafas

– Tujuan: untuk mempertahankan keutuhan jalan napas

– Cara: jalan nafas selama anastesi baik dengan teknik sungkup maupun intubasi trakea dipantau secara
ketat dan kontinyu.

– Pada pola napas spontan, pemantauan dilakukan melalui gejala/tanda berikut: terdengar suara nafas
patologis, gerakan kantong reservoir terhenti/menurun, tampak gerakan dada paradoksal.

– Pada nafas kendali: tekanan inflasi terasa berat, tekanan positif inspirasi meningkat, dan lai-lain

 Oksigenasi

– Tujuan : untuk memastikan kadar zat asam didalam udara / gas inspirasi dan didalam darah. Hal ini
dilakukan terutama pada anestesia inhalasi.

– Caranya: Memeriksa kadar oksigenasi gas inspirasi, dilakukan dengan mempergunakan alat “pulse
oxymeter” yang mempunyai alarm batas minimum dan maksimum

– Oksigenasi darah, diperiksa secara klinis dengan melihat warna darah luka operasi dan permukaan
mukosa, secar kualitatif dengan alat oksimeter dan pemeriksaan gas darah

 Vetilasi

– Tujuan: untuk memantau keadekuatan ventilasi


– Caranya: Diagnostik fisik, dilakukan secara kualitatif dengan mengawasi gerak naik turunnya dada, gerak
kembang kempisnya kantong reservoar atau auskultasi suara nafas.

– Memantau “end tidal CO2” terutama pada operasi lama (kraniotomi)

– Sistem alarm, jika ventilasi dilakukan dengan alat bantu nefas mekanik, dianjurkan dilengkapi alat
pengaman(sistem alarm) yang mampu mengeluarkan sinyal/tanda yang terdengar jika nilai ambang
tekanan dilampaui

– Analisis gas darah, untuk meilai tekanan parsial CO2. Pemantauan ini dilakukan terutama pada kasus-
kasus bedah saraf, bedah torak-kardiovaskular dan kasus-kasus/pasien lain yang beresiko tinggi.

 Sirkulasi

– Tujuan: untuk memastikan fungsi sirkulasi pasien adekuat

– Caranya: Menghitung denyut nadi secara teratur dan sering dengan stetoskop prekordial(pada bayi dan
anak) atau secara manual pada orang dewasa

 Mengukur tekanan darah secara non invasif mempergunakan tensimeter air raksa, diukur secara teratur
dan sering

 Mengukur tekanan darah secara invasif, EKG dan disertai dengan oximeter denyut. Pemantauan ini
dilakukan pada pasien resiko tinggi anestesia atau bedah ekstensif dan dilakukan secara kontinyu selama
tindakan berlangsung

 Produksi urin, ditampung dan diukur volumenya setiap jam terutama pada operasi besar dan lama

 Mengukur tekanan vena sental dengan kanulasi vena sentral untuk menilai airan darah balik kejantung, hal
ini dikerjakan pada kasus resiko tinggi.

 Suhu tubuh

– Tujuan: untuk mempertahankan suhu tubuh

– Caranya: apabila dicurigai atau diperkirakan akan atau ada, maka suhu tubuh harus diukur secara
kontinyu pada daerahsentral tubuh melalu esofagus atau rektum dengan termometer khusus yang
dihibungkan dengan alat pantau yang mampu menayangkan secara kontinyu.

19. Menggapa perlu dipasang central venous catheter ?


Hal ini digunakan untuk memberikan obat atau cairan, mendapatkan tes darah (khususnya saturasi oksigen
"vena campuran"), dan langsung mendapatkan pengukuran kardiovaskuler seperti tekanan vena sentral. obat
tertentu, seperti inotropik dan Amiodarone, sebaiknya diberikan melalui Central Venous Catheter.

INDIKASI KATETERISASI VENA SENTRAL


1. Untuk menginfus cairan atau obat-obatan yang mungkin mengiritasi vena perifer.
2. Kanulasi jangka panjang untuk obat-obatan dan cairan, contohnya total nutrisi parenteral atau kemoterapi.
3. Penderita syok.
4. Kanulasi cepat ke jantung terutama untuk pemberian obat-obatan dalam situasi resusitasi.
5. Bila kanulasi ke vena perifer sulit dilakukan akibat vena yang kolaps seperti pada hipovolemia, ketika vena
periper sulit ditemukan misalnya pada orang gemuk atau tranfusi cairan dibutuhkan secara cepat.
6. Pada kerusakan vena, digunakan pada beberapa pasien dimana semua vena perifer telah digunakan atau rusak.
7. Pengukuran tekanan vena sentral (Central Venous Pressure)
8. Prosedur khusus, contohnya pemacu jantung, hemofiltrasi atau dialisis
Kanulasi vena sentral dapat dilakukan melalui :
1. Vena subclavia (pendekatan infraclavicular dan supraclavicular) .
2. Vena jugularis, pada vena jugularis interna (VJI) dan eksterna (VJE).
3. Vena femoralis
4. Vena antecubital, pada vena basilica atau cephalica.
5. Vena umbilikalis, pada bayi baru lahir.
Akan tetapi tempat yang paling sering dilakukan insersi yaitu : vena subclavia (pendekatan infraclavicular), vena jugularis
interna, vena antecubital dan vena femoralis.
20. Mengapa diberikan obat inotropic dan vasopressor ? indikasi nya apa ? contoh obatnya apa ?

Anda mungkin juga menyukai