Anda di halaman 1dari 9

Malaria and Acute Kidney Injury

Saroj K, Mishra MD, Shankar B


Seminar in Nephrology. Vol 28, no 4, july 2008 pp 395-408

Pendahuluan

Diperkirakan sekitar 40% dari total populasi dunia tinggal di daerah endemis maaria.
Sekitar 300-400 juta kasus malaria telah dilaporkan. Malaria disebabkan oleh 4 spesies genus
plasmodium, p.falciparum, p.vivax, p.falciparum dan p.ovale. Parasit malaria (sporozoit)
memasuki sirkulasi di liver setelah digigit oleh nyamuk yang terinfeksi. Didalam liver
sporozoit akan menginvasi hepatosit, berkembang biak, kemudian menghasilkan merozoit
yang mempunyai kemampuan untuk menginvasi sel darah merah. Siklus didalam hepar
berlangsung sekitar 1 minggu. Kemudian merozoit yang terlepas dari hepatosit kemudian
memasuki aliran darah dan kemudian dalam waktu singkat akan menginvasi eritrosit. Dalam
eritrosit yang terinfeksi, merozoit akan memakan protein dari sel host, khususnya
hemoglobin untuk pertumbuhannya dan berkembang biak. Parasit ini berkembang menjadi
bentuk cincin, tropozoit, skizon, dan merozoit. Saat eritrosit yang terinfeksi menjadi rupture,
maka akan terlepas bentuk aseksual dari merozoit, yang kemudian akan menginvasi eritrosit
baru dan siklus akan terulang demikian. Manifestasi klinik biasanya timbul setelah 3-4 siklus
yang dibutuhkan untuk mencapai level parasitemia kritikal. Gametosit yang bersirkulasi akan
terhisap oleh nyamuk saat menggigit orang terinfeksi. Dalam usus nyamuk gametosit
akanberdiferensiasi menjadi gametosit jantan (mikrogametosit) dan gametosit betina
(makrogametosit). Mikrogametosit dan makrogametosit akan bersatu menjadi zigot. Zigot
kemudian akan menjadi ookinet bentuk spindle yang kemudian akan menjadi sporozoit.
Sporozoit dalam jumlah yang banyak dalam liur nyamuk siap di transmisikan ke manusia
melalui gigitan nyamuk anopheles betina.

Beberapa gejala karekteristik dari infeksi plasmodium adalah demam, berkeringa,


menggigil, nyeri badan-badan, sakit kepala, mual dan muntah. Anemia kronik dan
splenomegaly dapat terjadi pada beberapa pasien yang tinggal didaerah high endemic.
Beberapa komplikasi berat yang mengancam jiwa seperti anemia berat, malaria serebral,
Acute Kidney Injury, asidosis, Jaundice, respitory distress, ARDS, yang dapat terjadi pada
infeksi p.falciparum. Tapi dalam beberapa laporan terakhir kejadian malaria berat juga
diakibatkan oleh p.vivax.

PATOFISOLOGI

Patogenesis dari AKI pada Malaria falciparum tidak begitu jelas diketahui.
Komplikasi malaria berat mungkin diakibatkan oleh interaksi dari parasite dengan pejamu,
menghasilkan reaksi mekanikal, imunologik dan respons humoral. Respons ini saat berusaha
menghilangkan parasite juga dapat mencederai jaringan pejamu. Hipotesis lain dari MAKI
depat disebabkan oleh obtruksi mekanik oleh eritrosit yang terinfeksi, merangsang respon
sistem imun pejamu melalui sitokin dan oksigen dan nitrogen reaktif, deposisi imun complex,
hipovolemia dan gangguan mikrosirkulasi di ginjal.

Sitoadherens

Patogenesis dari malaria berat p.falciparum merupakan hasil dari sitoadherens


parasitized red blood cells (PRBCs) pada sel endotel vaskular pada organ pejamu yang
berbeda. Protein parasite yang dikenal sebagai variant surface antigens yang ada di
permukaan PRBC mediasi adhesi dari eritrosit yang terinfeksi pada respetor endotel vaskular.
Sekuestrasi dari PRBC terjadi di vaskular organ vital seperti otak, hati, paru, limfa, usus dan
ginjal. Sekuestrasi dari PRBC dala glomerulus dan tubulointerstisial telah dilaporkan. Pada
penelitian di Asia tenggara dilaporkan bahwa pasien yang meninggal dengan malaria berat
menunjukkan adanya sekuestrasi PRBC pada pembuluh darah ginjal pada pasien AKI lebih
banyak dari pasien bukan AKI. Tapi sekuestrasi pada pembuluh darah ginjal tersebut masih
kurang dibanding dengan sekuestrasi yang terjadi dipembulh darah otak. Mayoritas pasien
menunjukkan adanya sel mononuclear pada kapiler peritubular dan glomerular walaupun
tidak ada perbedaan bermakna jumlah leukosit pada AKI dan non AKI.

Sitokin, oksigen reaktif dan nitrogen

Literatur tentang pengaruh sitokin pada patologi dari malaria belum banyak
dilaporkan, walaupun sitokin, reactive oxygen intermediates dan nitrogen intermediates (ROI
dan NO) memegang peran yang penting dalam proteksi terhadap malaria dan patogenesis dari
malaria berat. Tingkat dari sitokin proinflamasi seperti TNFα, IFNγ, IL-1, IL-6 dan IL-8 juga
meningkat pada malaria. Konsentrasi yang tinggi dalam darah dari sitokin proinflamasi ini
juga telah dilaporkan pada kasus malaria berat. Anti TNFα dan anti IFNγ antibodi merupakan
tanda akhir dari onset malaria serebral. Monoklonal antibodi TNFα dapat menurunkan
demam tapi tidak memperbaiki gejala malaria berat.

Meningkatnya produksi dari ROI dan NO juga dilaporkan pada kasus malaria berat.
Pada awal peningkatan dari NO akan mengstimulasi respons TH1 untuk mengontrol parasite
dengan cara yang sama dengan imunisasi alami saat infeksi malaria. Sedangkan peningkatan
akhir dari produksi NO pad ahati dan limfa menunjukan gelaja patologi yang terjadi. Pada
fase dalam darah, TNFα akan meregulasi sintesis NO dengan bantuan sitokin ataupun tidak.
Regulasi fungsi dari NO tergantung dari adanya enzim NOS. Fungsi fisiologis dari NO
diregulasi oleh konsentrasi iNOS. Peningkatan aktivitas dari iNOS dan produksi dari NO
dapat terjadi pada malaria berat. Lipopolisakarida merupaka stimulator yang poten terhadap
iNOS RNA messenger. Konsentrasi ROI yang tinggi dalam darah menurunkan sistem
pertahan antioksidan pada malaria.

Sepsis Model pada MAKI

Manifestasi klinik dan profil sitokin pada sepsis dan malaria berat memiliki
mekanisme yang hampir sama. Syok dan multiorgan failure merupakan hal sering terjadi
pada sepsis dan malaria berat. Konsentrasi plasma dengan berat molekul ringan-sedang
menurun pada malaria berat dikerenakan karena ekstravasasi dari kompartemen vaskular dari
jaringan interstisial. Vasodilatasi arterial dimediasi oleh sitokin yang meregulasi iNOS. NO
yang dikeluarkan mempunyai efek vasodilator yang poten.

Terbatasnya aliran darah di ginjal merupakan faktor pencetus utama MAKI. Hal
serupa terjadi pada AKI akibat sepsis. Vasodilatasi umum terjadi berhubungan dengan
penurunan resistensi pembuluh darah sistemik merupakan suatu abnormalitas hemodinamik
yang penting dalam sepsis. Vasodilatasi terjadi akibat aktivasi sistem saraf simpatik, RAA
axis dan pelepasan vasopressin untuk mempertahankan penurunan tekanan darah yang
terjadi. Tapi hal ini merupakan predisposisi terjadinya AKI. Secara bersamaan efek
vasokonstriksi dari norepinferin dan angiotensin II tergantung pada terbukanya kanal
kalsium. Peningkatan kadar laktat dan ion hydrogen dalam plasma dan disertai penurunan
ATP pada sel otot polos vaskular akan mengaktifkan kanal ATP-sensitive kalium, yang
mneyebabkan terjadinya efflux dan menutupnya membran kanal kalsium. Resistensi
pembuluh darah dari pengaruh hormone ini terjadi pada keadaan asidosis laktat. Hipoksia
pada malaria berat terjadi akibat dari deplesi volume, hipotensi, edema paru, tersumbatnya
kapiler oleh sitoadherens PRBCs dan MN yang juga akan menghasilkan asidosis laktat.
Sitokin pro inflamasi mempunyai konsentrasi yang tinggi pada keadaan sepsis dan malaria,
yang berperan juga dalam terjadinya kematian mitokondria yang akan menghasilkan
penurunan sintesis ATP dan peningkatan akumulasi laktat. Hiperlaktemia dapat
dipertimbangkan sebagai penanda prognosis buruk pada sepsi dan juga malaria.

MAKI dapat terjadi sebagai komplikasi tunggal ataupun keterlibatan kegagalan multi
organ. Intake cairan yang kurang, kehilangan cairan oleh karena muntah maupun keringat
yang berlebihan, sitokin dan NO mediasi, resistensi terhadap hormone vaskular, hipoksia
sitopatik yang mangakibatkan penurunan sintesis ATP, dan sitoadherens dari PRBCs
kesemuanya dapat menjadi MAKI. Peningkatan pemberian cairan infus, keracunan oksigen
dan beberapa faktor yang belum diketahui sebelumnya dapat berakibat terjadinya edema
paru, ARDS, MOF dan kematian.

Histologi

Histopatologi dari MAKI merupakan kombinasi dari beberapa mekanisme patologi


seperti ATN, nefritis intertisial dan GN. Perubahan tubular merupakan hal yang paling sering
terjadi. Perubahan tubular ini termasuk nekrosis sel, edema tubular dan penumpukan granul
hemosiderin. Lumen tubulus sering terdapat endapan Hb. Inflamasi interstisial berhubungan
dengan GN akut. Dalam GN, glomerulus menjadi bengkak dengan pembesaran area
mesengial dan prolferasi sel mesengial. Pewarnaan acid-sniff memberikan gambaran
pelebaran mesenigal dan penebalan ireguler daru membran basal glomerulus.

Ditemukan sekustrasi dari PRBCs pada glomerulus, pembuluh tubulointerstisal dan


kerusakan tubular akut. Tapi tidak ditemukan adanya bukti imunomediasi GN.

Manifestasi Klinik

Manifestasi kilink dari AKI bervariasi pada malaria falciparum. Hal ini didefinisikan
sebagai pernurunan fungsi ginjjal akut (dalam 48jam) degna penurunan fungs ginjal yang
dapat dikarakteristik sebagai: (1) peningkatan nilai kreatinin serum ≥0.3 mg/dL; (2)
peningkatan nilai kreatinin serum ≥50%; atau (3) penurunan urine output <0.5 cc/kgBB/jam
atau lebih dari 6 jam. Tapi untuk dikatakan pasien memilii malaria berat jika terjadi
peningkatan kreatinin menurut kriteria WHO >3mg/dL.

Insiden dari MAKI berkisar 0.5% - 15% tergantung dengan respon pejamu dan
kriteria yang digunakan dalam definisi MAKI. Malaria dapat menjadi salah satu faktor
tersering yang terjadi dirumah sakit. Pada penelitian di Vietnam terdapat 30% pasien dengan
MAKI, dan juga peningkatan insiden jaundice dan hipoglikemik, tapi insiden ini kurang dari
4% di India.

MAKI dapat terjadi dalam 2 mekanisme (1) sebagai komponen dari disfungsi multi
organ, dan (2) AKI sendiri. Saat MAKI terjadi akibat dari disfungsi multi organ, hal ini
biasanya baru diketahui saat telah muncul gejala klinik dan hal ini menunjukkan prognosis
yang buruk. Dilaporkan bahwa 1/3 pasien dengan malaria serebral mengalami gangguan
ginjal (serum kreatinin > 2mg/dL). Pada pasien-pasien ini terjadi peningkatan kejadian
anemia, jaundice, hipoglikemik dan koma panjang. Asidosis dapat terjadi lebih awal dan
berhubungan dengan gangguan sensorik, konvulsi dan koma.

Urine output juga biasa berkurang (<400 cc/hari). Di India dialporkan angka kejadian
oligoruia meningkat lebih dari 70%, dan lebih dari 76% di Pakistan. Oligouri sendir dapat
terjadi dalam 3-10 hari. Tapi oligouria sendiri tidak dapat menjadi dasar diagnosis MAKI.
Pemeriksaan harian dari kimia darah termasuk ureum dan kreatinin harus dilakukan tiap hari.

Dari 402 pasien yang terdiagnosis malaria di Mumbai, 24 pasien menjadi MAKI. 18
pasien berusia 21-40 tahun. P.falciparum pada 16 pasien, p.vivax pada 3 pasien dan mixed
infection pada 5 pasien.

Dehidrasi, deplesi volume, hipotensi dan syok sering terjadi pada pasien dengan
MAKI. Deplesi volume terjadi pada hampir separuh dari pasien dan hipotensi dapat terjadi
pada 1/3 pasien. hipotensi dapat terjadi oleh karena intake cairan yang kurang, kehilangan
cairan oleh karena muntah atau keringat, vasodilatasi arterial dan efek samping dari sitokin.
Volume aliran arteri efektif akan menurun dan dapat mencetuskan hipotensi. Beberapa pasien
dapat terjadi sindrom syok, yang membutuhkan perhatian darurat untuk terapi cairan
termasuk vasopressor.

Komplikasi Terkait

Malaria Serebral

Malaria serebral bisa terjadi pada pasien yang terinfeksi malaria. Pada pasien ini dapat
juga terjadi jaundice, hipoglikemia dan edema paru. Terjadinya malaria serebral pada MAKI
dapat menjadi faktor prognostic buruk pada pasien dengan MAKI.

Jaundice
Jaundice dapat terjadi pada lebih dari separuh pasien dengan AKI. Begitu juga pasien
dengan hiperbilirubinemia dapat terjadi gangguan ginjal dengan insiden 10%. Harus berhati-
hati pada kejadian MAKI dengan jaundice, bisa juga dipikirkan keadaan lain seperti
leptospirosis, dengue ataupun Hepato Renal Sindrom.

Anemia

Walaupun anemia (Hb <10gr/dL) dapat terjadi pada hampir 60% pasien dengan
MAKI, bahkan anemia berat (Hb <5gr/dL) dapat terjadi pada 10-20% kasus.
Trombositopenia terjadi apda 70% kasus, separuh dari pasien ini rentan terjadi perdarahan
yang merupakan risiko terjadinya DIC.

Gangguan Elektrolit

Hiponatremia dilaporkan dapat terjadi pada 25-60% kasus. Hal ini terjadi melalui
mekanisme hemodilusi dan kehilangan natrium sebelum onset dari oligouria. Hyperkalemia
merupakan parameter terpenting pada pasien dengan RRT, tapi hanya terdapat 4% pada kasus
MAKI. Tapi saat terdeteksi sangat penting untuk dapat dilakukan terapi. Hiperkalemia dapat
juga terjadi pada keadaan hemolysis dan rabdomiolisis. Hipokalemia dapat juga terjadi pada
MAKI. Pada keadaan ini penting untuk dilakukan pemeriksaan EKG.

Kalsium serum dapat turun oleh karena adanya retensi dari fosfat. Asidosis laktat
merupakan faktor yang dapat mengancam jiwa. Laktat yang tinggi dalam darah dan CSS
merupakan faktor prediktor yang buruk.

Prognosis

Gangguan ginjal pada malaria dapat mengalami perbaikan dalam beberapa hari
sampai minggu, bahkan sampai perbaikan sempurna. Hal ini tidak sampai mengakibatkan
CKD. Angka mortalitas bervariasi dari 15-50%. MAKI yang disertai dengan malaria serebral
mempunyai prognosis yang lebih buruk. Pada malaria dengan AKI mortalitas berkisar14-
40%. Dengan peningkatan 1 log kreatinin dapat meningkatkan faktor odd ratio 10.8%.

Angka survival pada CAPD lebih kurang dibanding dengan HD atau hemofiltrasi.
Angka mortalitas dapat ditekan dengan dilakukannya HD lebih awal. Beberapa faktor risiko
yang dapat menyebabkan tingginya mortalitas pada MAKI antara lain, sakit akut, parasitemia
berat, oligouria, hipotensi, anemia berat ataupun jaundice berat. Pasien dengan diare berat,
hepatitis, ARDS dan koinfeksi dengan viral dan bakteri juga memegang faktor prognostic
yang buruk pada MAKI.

Terapi

Manajemen dari MAKI memerlukan perhatian khusus dalam penangannya. Beberapa


pedoman yang harus dilakukan adalah: (1) obat antimalarial yang adekuat, (2)
mempertahankan status cairan dan elektrolit, (3) RRT, (4) penanganan komplikasi yang
terjadi, (5) penanganan infeksi meliputi pneumonia.

Obat-obatan yang dapat menyebabkan nefrotoksik sebaiknya dihindari, seperti


aminoglikosida dan NSAID, oleh karena dapat mengakibatkan terjadinya prerenal azotemia
sampai iskemik AKI, inhibisi ACE dan siklooksigenase.

Obat Antimalaria

Obat antimalarial pilihan adalah artesunate atau kina intravena. Kina intravena
merupakan obat pilihan utama dengan dosis 10 mg/kgBB. Jika kina tidak diberikan dalam 7
hari sebelumnya, maka perlu diberikan loading dosis terlebih dahulu, tapi oleh karena
kesulitan untuk mendapatkan riwayat konsumsi kina sebelumnya maka disarankan untuk
diberikan dosis 10 mg/kgBB tiap 8 jam. Dosisnya jangan dirubah dalam 48 jam, walaupun
disertai AKI. Terapi oral bisa diberikan saat pasien telah dapat minum obat oral. Total durasi
terapi adalah 7 hari. Efek samping yang sering terjadi adalah pusing, chinconism dan
hipoglikemia. Harus diberikan perhatian khusus saat terapi kina intravena, monitor fungsi
jantung dan kelebihan cairan. Pemanjangan interval QT, PAC atau PVC, blokade jantung,
dan hipotensi harus bisa diantisipasi saat terapi kina. Kina 80% dimetabolisme di hati dan
20% di ginjal.

Pengenalan turunan artemisin telah meningkatkan angka keselamatan pasien malaria


berat. Obat ini sangat cepat membersihkan parasite dan dengan efek samping yang kecil.
Tidak diperlukan modifikasi dosis pada gangguan hati dan ginjal. Molekul yang disarankan
adalah artesunate karena bisa diberikan secara intravena. Artesunate intravena diberikan
mulai dosis 2 mg/kgBB pada jam ke 0,12,24 dan sehari sekali sampai total 7 hari.

Obat lain yang dapat diberikan adalah klorokuin atau sulfadoksin pirimetamin, tapi
obat ini sebaiknya dihindari pada daerah dimana malaria serebral dan MAKI sering terjadi
oleh karena faktor resistensi obat. Begitu juga dengan meflokuin dan halofantrine tidak
dianjurkan untuk malaria berat.

Cairan dan terapi elektrolit juga merupakan hal yang penting, monitoring cairan yang
masuk dan urine output sangatlah penting untuk dapat mencegah terjadinya kelebihan cairan.
Untuk mencegah kelebihan cairan dapat digunakan CVP.

Fluid Challenge

Banyak pasien yang oligouri mengalami dehidrasi. Harus diberikan cairan sampai 20
cc/kgBB dari salin 0.9% selama 60 menit. Untuk mencegah kelebihan cairan, pemantauan
auskultasi paru, peningkatan JVP dan jika memungkinkan penilaian CVP, harus dilakukan
setiap pemberian 200 cc cairan. CVP harus dipertahankan antara 0 sampai +5. Jika tidak ada
urine output setelah pemberian cairan, maka dapat di pertimbangkan pemberian diuretik.

Diuretic Challenge

Diuretik loop (furosemide 40mg atau bumetanide 1mg) dapat diberikan inisial. Jika
urine output tidak ada, pemberian diuretik dapat dicoba setiap interval 30 menit dengan titrasi
naik dosis (furosemide 100, 200 dan 400mg atau bumetanide 2,4 dan 6 mg). Jika masih tidak
ada urine output, maka dapat diberikan dopamine 2.5 – 5 µg/kgBB/menit. Tapi pemberian
diuretik pada MAKI tidak merubah outcome pasien. Pada beberapa pasien pemberian diuretik
dapat meningkatkan urine output tapi tidak memperbaiki fungsi ginjal. Pada beberapa
metanalisis menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara tingkat mortalitas atau
perbaikan ginjal pada pasien dengan pemakaian diuretik loop dan kontrol.

Dopamine Challenge

Penggunaan dopamine pada pencegahan dan penanganan dari AKI belum ditetapkan.
Hal ini hanya digunakan berdasarkan pemahaman bahwa vasodilatasi ginjal selektif dapat
terjadi dengan pemberian dopamine dosis ginjal. Tapi tidak ditemukan hasil yang signifikan
antara dopamine maupun epinefrin terhadap efek klirens kratinin dan urine ouput.

Terapi Vasopressor

Penggunaan vasopressor telah didiskusikan sebelumnya dalam penggunaannya


terhadap malaria dengan syok dan MAKI, tapi belum cukup data yang ada untuk dapat
diterimanya terapi ini untuk meningkatkan angka survival.
Infus Albumin

Pemberian albumin intravena dapat menurunkan angka mortalitas. Transfuse tukar


digunakan pada pasien dengan hemolysis berat. Tapi belum ada data yang mendukung
pemakaian pada jaundice berat dan gangguan ginjal berat.

Dialisis

Dialisis dapat meningkatkan angka survival pasien jika diberikan lebih awal. Dapat
dilakukan intermiten HD (setiap hari atau selang sehari), continuous venovenous
hemofiltration atan continuous arteriovenous hemofiltration. CAPD lebih tidak efektif dalam
hal mengontrol abnormalitas biokemikal.

Indikasi dialisis meliputi: (1) indikasi klinis: gejala uremikum, volume overload
simptomatik (ALO ata CHF) dan pericardial rub; (2) indikasi laboratorium: asidosis
metabolik berat dan hyperkalemia.

Adekuasi Dialisis

Dialisis dipertimbangkan adekuat jika kreatinin dan ureum setelah dialisis turun 50%
atau lebih dari nilai sebelum dialisis.

Obat antimalarial saat dialisis

Perubahan signifikan kadar obat antimalarial dalam plasma tidak banyak berubah
pada pasien AKI dengan HD. Kina tidak terdeteksi dalam cairan hemodialisat. Untuk itu
tidak diperlukan dosis penyesuaian dari kina pada pasien dengan HD.

Nutrisi

Pada pasien tanpa dialisis, dianjurkan restriksi protein, tapi pada pasien dengan
dialisis membutuhkan protein tambahan.

Anda mungkin juga menyukai