Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria
yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Data WHO menunjukkan bahwa
Filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia,
terutama negara-negara di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis. Di
Regional South-East Asia (SEAR) terdapat 3 jenis parasit Filariasis, Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang terdapat di 9 negara, yaitu
Banglades, India, Indonesia, Maldive, Myanmar, Nepal, Sri Langka, Thailand,
dan Timor Leste.
Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke
tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan
di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi.
Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak
filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa Tenggara Timur
(1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan kasus terendah
adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara (30 orang).
Kejadian filariasis di NAD sangat menonjol bila dibandingkan dengan provinsi
lain dan merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di seluruh Indonesia.
Hal ini memerlukan perhatian untuk ditindak lanjuti, dan dicari kemungkinan
penyebabnya.
Di Indonesia, sampai dengan tahun 2014 terdapat lebih dari 14 ribu orang
menderita klinis kronis Filariasis (elephantiasis) yang tersebar di semua provinsi.
Secara epidemiologi, lebih dari 120 juta penduduk Indonesia berada di daerah
yang berisiko tinggi tertular Filariasis. Sampai akhir tahun tahun 2014, terdapat
235 Kabupaten/Kota endemis Filariasis, dari 511 Kabupaten/kota di seluruh
Indonesia. Jumlah kabupaten/kota endemis Filariasis ini dapat bertambah karena
masih ada beberapa kabupaten/kota yang belum terpetakan.
Penyelenggaraan eliminasi filariasis diprioritaskan pada daerah endemis
filariasis. Endemisitas filariasis di kabupaten/kota ditentukan berdasarkan survei
pada desa yang memiliki kasus kronis, dengan memeriksa darah jari 500 orang

1
yang tinggal disekitar tempat tinggal penderita kronis tersebut pada malam hari.
Mikrofilaria (Mf) rate 1% atau lebih merupakan indikator suatu kabupaten/kota
menjadi daerah endemis filariasis.
Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40%. Dengan
endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan
endemisitas dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota.
Dari hasil survei tersebut, hingga tahun 2008, kabupaten/kota yang endemis
filariasis adalah 335 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang ada di
Indonesia (67%), 3 kabupaten/kota yang tidak endemis filariasis (0,6%), dan 176
kabupaten/kota yang belum melakukan survey endemisitas filariasis. Pada tahun
2009 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang belum melakukan survei
tahun 2008, jumlah Kabupaten/kota yang endemis filariasis meningkat menjadi
356 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota di Indonesia atau sebesar 71,9%
sedangkan 139 kabupaten/kota (28,1%) tidak endemis filariasis.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui epidemiologi penyakir menular filariasis.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi filariasis
b. Untuk mengetahui etiologi filariasis
c. Untuk mengetahui gejala klinis filariasis
d. Untuk mengetahui mekanisme penularan filariasis
e. Untuk mengetahui penyelenggaraan penanggulangan filariasis
f. Untuk mengetahui pencegahan dan pengobatan filariasis

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Penyakit Kaki Gajah (Lymphatic Filariasis) yang selanjutnya disebut
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria
yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Filariasis ( penyakit kaki
gajah ) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah suatu infeksi sistemik yang
disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam saluran limfe dan kelenjar limfe
manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis )
dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin baik perempuan maupun laki – laki.
Penderita Filariasis yang selanjutnya disebut penderita adalah seseorang
yang dalam pemeriksaan darahnya mengandung mikrofilaria dan/atau dengan
hasil pemeriksaan deteksi antigen positif dan/atau memiliki gejala klinis Filariasis.
Penanggulangan Filariasis adalah semua kegiatan atau tindakan yang
ditujukan untuk menurunkan prevalensi (microfilaria rate) serendah mungkin
sehingga dapat menurunkan risiko penularan Filariasis di suatu wilayah.

2.2 Etiologi
Cacing filaria berasal dari kelas Secernentea, filum Nematoda. Filariasis di
Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu : Wuchereria bancrofti,
brugia malayi, dan brugia timori.
Daerah Endemis Filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah,
terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan.
Secara umum, Filariasis W.bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan
masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan Wuchereria
bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Jakarta, Bekasi,
Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. Brugia malayi tersebar di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia timori
terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di
daerah persawahan.

3
Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu :
a. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)
Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang,
Semarang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna
(mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan
pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru, jantung
dan ginjal), ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang
biak di air limbah rumah tangga.
b. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)
Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di
Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang
ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles, Culex dan Aedes.
c. Brugia malayi tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk
penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan.
d. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi
lebih banyak ditemukan pada malam hari (subperiodik nokturna). Nyamuk
penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa.
e. Brugia malayi tipe non periodik
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari (non
periodik). Nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis
yang ditemukan di hutan rimba.
f. Brugia timori tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk
penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan di
Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara.

Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui terdapat 23 spesies nyamuk


dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang
menjadi vektor Filariasis. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles telah diidentifikasi
sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus

4
merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia
merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan
Anopheles barbirostris merupakan vektor fialariasis yang penting . Beberapa
spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe sub periodic nokturna.
Sementara Anopheles barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia
timori yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan
Pada Wuchereria Bancrofti, mikrofilarianya berukuran ± 250µ, cacing
betina dewasa berukuran panjang 65 – 100 mm dan cacing jantan dewasa
berukuran panjang ± 40 mm. Diujung daerah kepala membesar, mulutnya berupa
lubang sederhana tanpa bibir ( Oral stylet ), sedangkan pada Brugia Malayi dan
Brugia Timori, mikrofilnya berukuran ± 280µ. Cacing dewasa jantan panjangnya
23 mm dan cacing betina dewasa panjangnya 39 mm. Mikrofilnya dilindungi oleh
suatu selubung transparan yang mengelilingi tubuhnya. Aktifitas mikrofilaria
sering terjadi pada malam hari dibandingkan pada siang hari. Pada malam hari
mikrofilaria dapat ditemukan beredar di dalam sistem pembuluh darah tepi. Hal
ini terjadi karena mikrofilaria memiliki granula – granula flouresen yang peka
terhadap sinar matahari. Bila terdapat sinar matahari maka mikrofilaria akan
bermigrasi ke dalam kapiler – kapiler paru – paru. Ketika tidak ada sinar matahari,
mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam sistem pembuluh darah tepi. Mikrofilaria
ini akan muncul di peredaran darah pada waktu 6 bulan sampai 1 tahun setelah
terjadinya infeksi dan dapat bertahan hidup hingga 5 – 10 tahun.
Hospes cacing filaria ini dapat berupa hewan dan atau manusia yang
mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada
umumnya laki – laki lebih mudah terinfeksi, karena memiliki lebih banyak
kesempatan mendapat infeksi ( eksposure ). Hospes reservoar adalah hewan yang
dapat menjadi hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia Malayi yang dapat
hidup pada kucing, kera, kuda dan sapi.
Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis,
tergantung pada jenis cacing filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri. Wuchereria
Bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan ditularkan oleh Culex
Quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat
perindukannya. Wuchereria Bancrofti yang ada di daerah pedesaan dapat

5
ditularkan oleh berbagai macam spesies nyamuk. Di Irian Jaya, Wuchereria
bancroftiterutama ditularkan oleh Anopheles farauti yang menggunakan bekas
jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Di daerah pantai di NTT,
Wuchereria bancrofti ditularkan oleh Anopheles subpictus. Brugia malayi yang
hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti
Mansonia uniformis, Mansonia bonneae, dan Mansonia dives yang berkembang
biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, dan Maluku. Di daerah Sulawesi,
Brugia malayi ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang menggunakan sawah
sebagai tempat perindukannya. Brugia timori ditularkan oleh Anopheles
barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun
di daerah pedalaman. Brugia timori hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor
Timur.

2.3 Gejala Klinis Penyakit Filariasis


1. Demam berulang-ulang selama 3 – 5 hari, demam dapat hilang bila
beristirahat dan muncul kembali setelah bekerja berat.
2. Pembengkakan kelenjar limfe (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha,
ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan. Diikuti dengan radang
saluran kelenjar limfe yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari
pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung (Retrograde lymphangitis)
yang dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
3. Pembesaran tungkai, buah dada, dan buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (Early lymphodema). Gejala klinis yang
kronis berupa pembesaran yang menetap pada tungkai, lengan, buah dada,
dan buah zakar tersebut.
Umumnya, filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi
kebanyakan penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga sama
sekali tidak terdeteksi oleh pranata kesehatan yang berada di lingkungan tersebut.
Namun demikian, jika telah parah dan kronis dapat menimbulkan hidrokel, acute
adenolymphangytis (ADL), serta kelainan pembuluh limfe yang kronis. Di
daerah-daerah yang endemis W.bancrofti juga sudah banyak orang yang kebal
sehingga jika ada satu atau dua orang yang skrotumnya tiba-tiba sudah besar,

6
kemungkinan sudah banyak sekali laki-laki yang terinfeksi parasit ini. Meski
demikian, jika ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita
filariasis bancrofti akan mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik,
pembuluh limfe yang melebar dan berkelok-kelok –dideteksi dengan flebografi- ,
serta limfangiektasis skrotum –dideteksi dengan USG. Namun tentu saja gejala-
gejala yang disebutkan terakhir jarang sekali (kalau bisa dibilang tidak pernah)
terdeteksi karena terjadi di pedalaman-pedalaman desa.
ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan
limfadenitis), serta edema lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat
retrograd, menyebar secara perifer dari KGB menuju arah sentral. Sepanjang
perjalanan ini, KGB regional akan ikut membesar atau sekedar memerah dan
meradang. Bisa juga terjadi tromboflebitis di sepanjang jalur limfe tersebut.
Limfadenitis dan limfangitis dapat terjadi pada KGB ekstremitas bawah dan atas
akibat infeksi W.bancrofti dan Brugia.
Namun khas untuk W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah
genital terlebih dahulu. Lesi di derah genital ini meliputi funikulitis, epididimitis,
dan rasa sakit pada skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga
menjadi elefantiasis skrotalis yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti. Lebih
jauh, edema ini juga bisa mendesak rongga peritoneal hingga menyebabkan ruptur
limfe di daerah renal dan menyebabkan chiluria, terutama waktu pagi.Pada daerah
yang endemis infeksi filaria, terdapat tipe onset penyakit akut yang dinamakan
dermatolymphangioadenitis (DLA).
Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA merupakan sindrom yang
meliputi demam tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit kepala. Plak edem akibat
peradangan membentuk demarkasi yang jelas dari kulit yang normal. Pada
sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus, serta hiperpigmentasi. Kadang-kadang
dapat ditemui riwayat trauma, gigitan serangga, terbakar, radiasi, lesi akibat
pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port d’entrée dari filaria
tersebut terletak di daerah interdigital. Karena bentuknya yang tidak terlalu khas,
sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai selulitis.

7
2.4 Mekanisme penularan filariasis
Siklus hidup cacing Filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu:
1. Tahap pertama, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh nyamuk sebagai
vector yang masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu.
2. Tahap kedua, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh manusia (hospes)
kurang lebih 7 bulan.
Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk apabila
nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis,
sehingga mikrofilaria yang terdapat ditubuh penderita ikut terhisap kedalam tubuh
nyamuk. Mikrofilaria tersebut masuk kedalam paskan pembungkus pada tubuh
nyamuk, kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot
dada (toraks). Bentuk mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I.
Dalam waktu kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi
lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh dan
seterusnya larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh menjadi
lebih panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva stadium III ini
sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula-mula ke rongga perut
(abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk nyamuk.
Apabila nyamuk yang mengandung mikrofilaria ini menggigit manusia. Maka
mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (larva stadium III) secara aktif
ikut masuk kedalam tubuh manusia (hospes). Bersama-sama dengan aliran darah
dalam tubuh manusia, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh
limfe. Didalam pembuluh limfe larva mengalami dua kali pergantian kulit dan
tumbuh menjadi cacing dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan larva
stadium V. Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh limfe,
sehingga akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan.
Siklus hidup pada tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit
dan menghisap darah orang yang terkena filariasais, sehingga mikrofilaria yang
terdapat di tubuh penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk. Cacing yang
diisap nyamuk tidak begitu saja dipindahkan, tetapi sebelumnya tumbuh di dalam
tubuh nyamuk. Makhluk mini itu berkembang dalam otot nyamuk. Sekitar 3
minggu, pada stadium 3, larva mulai bergerak aktif dan berpindah ke alat tusuk

8
nyamuk.Nyamuk pembawa mikrofilaria itu lalu gentayangan menggigit manusia
dan ”memindahkan” larva infektif tersebut. Bersama aliran darah, larva keluar
dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe.
Uniknya, cacing terdeteksi dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan
pada siang hari dia berada didalam kapiler alat-alat dalam seperti pada paru-paru,
jantung dan hati, selebihnya bersembunyi di organ dalam tubuh.Pemeriksaan
darah ada-tidaknya cacing biasa dilakukan malam hari. Setelah dewasa
(Makrofilaria) cacing menyumbat pembuluh limfe dan menghalangi cairan limfe
sehingga terjadi pembengkakan. Selain di kaki, pembengkakan bisa terjadi di
tangan, payudara, atau buah zakar. Ketika menyumbat pembuluh limfe di
selangkangan, misalnya, cairan limfe dari bawah tubuh tidak bisa mengalir
sehingga kaki membesar. Dapat terjadi penyumbatan di ketiak, mengakibatkan
pembesaran tangan.
Pada saat dewasa (Makrofilaria) inilah, cacing ini menghasilkan telur
kemudian akan menetas menjadi anak cacing berukuran kecil yang disebut
mikrofilaria. Selanjutnya, mikrofilaria beredar di dalam darah. Larva ini dapat
berpindah ke peredaran darah kecil di bawah kulit. Jika pada waktu itu ada
nyamuk yang menggigit, maka larva tersebut dapat menembus dinding usus
nyamuk lalu masuk ke dalam otot dada nyamuk, kemudian setelah mengalami
pertumbuhan, larva ini akan masuk ke alat penusuk. Jika nyamuk itu menggigit
orang, maka orang itu akan tertular penyakit ini.

2.5 Penyelenggaraan Penanggulangan Filariasis


2.5.1. Surveilans Kesehatan
1. Surveilans dilaksanakan berbasis indikator dan berbasis kejadian dengan
melakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan melalui:
a. Penemuan Penderita;
b. Survei data dasar prevalensi mikrofilaria;
c. Survei evaluasi prevalensi mikrofilaria; dan
d. Survei evaluasi penularan Filariasis.
2. Penemuan Penderita dilakukan secara aktif dan pasif. Penemuan
Penderita secara aktif dilaksanakan melalui survei darah jari dan survei

9
kasus klinis, sedangkan pasif diperoleh melalui penderita yang datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan dan laporan masyarakat.
3. Survei data dasar prevalensi mikrofilaria dilakukan untuk menentukan
wilayah endemis Filariasis.
4. Survei evaluasi prevalensi mikrofilaria dilakukan untuk menilai
keberhasilan penurunan prevalensi mikrofilaria sesudah kegiatan POPM
Filariasis.
5. Survei evaluasi penularan Filariasis dilakukan untuk mengetahui masih
ada atau tidaknya penularan Filariasis sesudah paling sedikit 5 (lima)
tahun kegiatan POPM Filariasis dilakukan.

2.5.2 Penanganan Penderita


Penanganan Penderita dilakukan dengan pengobatan dan perawatan pada
setiap penderita yang ditemukan oleh tenaga kesehatan atau pada fasilitas
pelayanan kesehatan.

2.5.3 Pengendalian Faktor Risiko


Pengendalian faktor risiko meliputi pemutusan rantai penularan dan
pengendalian vektor terpadu, dilaksanakan paling sedikit melalui POPM Filariasis
pada wilayah endemis Filariasis dan upaya perlindungan dari gigitan nyamuk.
Pengendalian vektor terpadu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

2.5.4 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi.


1. Komunikasi, informasi, dan edukasi dilakukan dengan cara sosialisasi dan
advokasi.
2. Sosialiasi dan advokasi diarahkan untuk:
a. Peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap gejala, cara penularan,
penanganan penderita, dan reaksi obat Filariasis;
b. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam
pencegahan Filariasis; dan
c. Kesinambungan pelaksanaan kegiatan Penanggulangan Filariasis.

10
Sasaran komunikasi, informasi, dan edukasi dalam penanggulangan
filariasis, terbagi menjadi:
1) Sasaran Primer
Kelompok masyarakat yang diharapkan mau melaksanakan program
Penanggulangan Filariasis, yaitu minum obat pencegahan Filariasis sesuai dosis
sekali setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut, penatalaksaaan diri bagi
penderita Filariasis kronis dan mencegah gigitan nyamuk.
2) Sasaran Sekunder
Kelompok yang mempunyai pengaruh, baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap sasaran primer dalam pelaksanaan Program Eliminasi
Filariasis, seperti petugas kesehatan dari program lain (lintas program), petugas
dari sektor lain (lintas sektor), PKK, Kepala Desa/Lurah, Tokoh masyarakat,
Tokoh agama, Ketua RW/RT, dan lain-lain.
3) Sasaran Tersier
Para pengambil keputusan, penentu kebijakan dan penyandang dana yang
diharapkan memberikan dukungan baik secara politis, kebijakan maupun dana
untuk mewujudkan Program Penanggulangan Filariasis di wilayahnya, antara lain
Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD Propinsi maupun Kabupaten/Kota, Bappeda
Propinsi, maupun Kabupaten/Kota, Camat, pengelola media cetak dan
elektronika, dunia usaha, dan organisasi profesi.
Berhasilnya upaya-upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi yang
dilaksanakan petugas penyuluh dapat dilihat dari :
1) Perubahan perilaku masyarakat ke arah yang diharapkan,
Perubahan sesuai dengan tujuan Program Penanggulangan Filariasis, yaitu:
a) Penduduk dengan sadar telah bersedia datang dan diperiksa waktu
dilakukan Survei Darah Jari.
b) Penduduk dengan sadar bersedia minum obat secara teratur sesuai jumlah
dosis dan jangka waktu yang ditentukan petugas kesehatan.
2) Adanya peran serta masyarakat, misalnya :
a) Adanya kader yang melaksanakan promosi Filariasis dan membantu
membagikan obat kepada penduduk.
b) Masyarakat menyediakan tempat-tempat untuk pertemuan.

11
3) Ada usaha penduduk untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk dan
bersihnya lingkungan pemukiman penduduk dari sarang-sarang nyamuk.
4) Turunnya tingkat penularan (endemisitas) penyakit sesudah dilaksanakan
Pemberian Obat Pencegahan secara Massal Filariasis.
5) Cakupan Survei Darah Jari dan Cakupan POPM Filariasis sesuai dengan yang
diharapkan.

2.6 Pencegahan Dan Pengobatan Filariasis


2.6.1 Pencegahan
Cara mencegah yang paling sederhana adalah menghindari gigitan nyamuk
(tidur dengan kelambu, menutup ventilasi dengan kasa), menggunakan obat
nyamuk, memakai obat gosok anti nyamuk, memberantas nyamuk dengan cara
membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan
nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat
perindukan nyamuk ; membersihkan semak-semak disekitar rumah, mengikuti
program pengobatan massal filariasis yang dilaksanakan puskesmas,
memeriksakan diri ke puskesmas bila ada keluarga atau tetangga yang terkena
filariasis.Masyarakat dapat melaksanakan peranannya untuk mencegah Filariasis
dengan cara sebagai berikut :
1. Mencegah agar tidak digigit nyamuk dan memberantas sarang nyamuk.
2. Mengikuti program pengobatan massal filariasis oleh Puskesmas sekali
setahun selama lima tahun berturut-turut.
3. Mengenali gejala filariasis dan segera berobat ke Puskesmas.
4. Mematuhi atau mengikuti aturan pengobatan sesuai petunjuk petugas
kesehatan.
5. Menggugah masyarakat untuk mencegah filariasis.

2.6.2 Pengobatan Filariasis


1. Pengobatan Massal
Secara massal dilakukan di daerah endemis dengan menggunakan obat
Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albenzol sekali
setahun selama 5-10 tahun, untuk mencegah reaksi samping seperti demam,

12
diberikan Parasetamol ; dosis obat untuk sekali minum adalah, DEC 6
mg/kg/berat badan, Albenzol 400 mg albenzol (1 tablet ) ; pengobatan missal
dihentikan apabila Mf rate sudah mencapai < 1 % ; secara individual / selektif;
dilakukan pada kasus klinis, baik stadium dini maupun stadium lanjut, jenis dan
obat tergantung dari keadaan kasus.

2. Pengobatan Individual
Semua kasus klinis Penyakit Kaki Gajah baik stadium dini maupun lanjut
dengan gejala akut berupa demam dan gejala peradangan yang lainnya ditunda
pemberian DEC sampai gejala akut dapat diatasi guna menghindari efek samping
yang lebih berat dari DEC. Setelah gejala akut diatasi dengan menggunakan obat-
obat antibiotik dan antipiretik, penderita kasus klinis tersebut dapat diberikan
pengobatan DEC 3x1 selama 10 hari dan disertai paracetamol 3x1 dalam 3 hari
pertama. Selanjutnya penderita klinis tersebut diikutkan pengobatan massal
dengan DEC 6 mg/kg berat badan ditambah Albendazole 400 mg sekali setahun
pada tahun berikutnya.

13
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Filariasis ( penyakit kaki gajah ) atau juga dikenal dengan elephantiasis
adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang
hidup dalam saluran limfe dan kelenjar limfe manusia yang ditularkan oleh
nyamuk
2. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu :
Wuchereria bancrofti, brugia malayi, dan brugia timori.
3. Filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi kebanyakan
penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga sama sekali
tidak terdeteksi oleh pranata kesehatan yang berada di lingkungan tersebut.
Namun demikian, jika telah parah dan kronis dapat menimbulkan hidrokel,
acute adenolymphangytis (ADL), serta kelainan pembuluh limfe yang
kronis.
4. Apabila nyamuk yang mengandung mikrofilaria ini menggigit manusia.
Maka mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (larva stadium III)
secara aktif ikut masuk kedalam tubuh manusia (hospes). Bersama-sama
dengan aliran darah dalam tubuh manusia, larva keluar dari pembuluh
kapiler dan masuk ke pembuluh limfe
5. Penyelenggaraan Penanggulangan Filariasis dilaksanakan melalui pokok
kegiatan:
a. Surveilans Kesehatan;
b. Penanganan Penderita;
c. Pengendalian faktor risiko; dan
d. Komunikasi, informasi, dan edukasi.
6. Cara mencegah yang paling sederhana adalah menghindari gigitan
nyamuk. Pengobatan massal dilakukan di daerah endemis dengan
menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan
dengan Albenzol penderita kasus klinis tersebut dapat diberikan
pengobatan DEC 3x1 selama 10 hari dan disertai paracetamol 3x1 dalam 3
hari pertama

14
3.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa agar dapat benar-benar memahami
mengenai penyakit menular filariasis sehingga dimasyarakat dapat
mempromosikan kepada masyarakat tentang pencegahan dan penanggulangan
penyakit ini, agar angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular dapat
dikendalikan atau diturunkan demi mewujudkan Indonesia sehat.

15
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI, 2002. Pedoman Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah


(Filariasis). Jakarta
Kemenkes RI, 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Filariasi di Indonesia. Jakarta
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2014 Tentang
Penanggulangan Filariasis

16

Anda mungkin juga menyukai