Syok Sepsis
Disusun oleh:
dr. Alrein Putrananda
Pembimbing:
dr. Bondhan Prajati
dr. Iik Rachmawati
1
Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir/ usia : 17 April 1976 / 43 tahun
Alamat : Ranca Mneuh, Kel. Munjul , Kec. Solear, Kab. Tangerang Prov.
Banten.
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Nomor RM : 00.19.02.35
Pembayaran : BPJS
Tanggal Masuk IGD : 19 Agustus 2019, jam 01.50 WIB.
Diagnosis Masuk IGD: Penurunan Kesadaran ec. Susp. Urosepsis + Gagal Nafas + AKI dd/
CKD
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara aloanamnesis dengaa keluarga pasien pada tanggal 19 Agustus
2019 , di ruang IGD dan ruang tunggu rawat inap pasien RSUD Balaraja.
Keluhan Utama : Penurunan kesadaran sejak 16 jam SMRS
Keluhan Tambahan : Demam tinggi, sesak, nyeri pinggang sejak 2-3 hari SMRS
Di IGD pasien datang dengan penurunan kesadaran, nafas megap-megap, dan keluar air urin
bercampur nanah dan darah.
1
Riwayat Lingkungan Perumahan :
Tinggal dirumah sendiri. Terdapat 4 kamar. Ventilasi baik, cahaya matahari cukup, air minum dan air
mandi berasal dari air tanah.
Kesan : Keadaan lingkungan rumah cukup baik.
Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
TD : 100/40 mmHg
HR : 130x/m
RR : 40/m
S : 38,7 C
BB : 70 kg
Status Generalis
Kepala : Normosefali
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas cuping
hidung (-).
Telinga : Normotia, discharge (-/-).
Mulut : Bibir kering (+), bibir sianosis (-).
Leher : Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB.
Thorax : Dinding thorax normothorax dan simetris.
o Paru :
Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan – kiri. Retraksi supraklavikula dan epigastrium (+). Gerak
napas simetris, tidak ada hemithotax yang tertinggal.
Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal.
Perkusi : sonor pada kedua hemitoraks.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-).
o Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV midklavikula sinistra.
Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen :
Inspeksi : Datar, simetris.
Auskultasi : Bising usus (+).
Palpasi : Supel, distensi (-), hepar dan lien tidak membesar, asites (-).
Perkusi : timpani di 4 kuadran.
Genitalia : Keluar tetesan darah dan nanah di dari orificium urethra, jenis kelamin laki-
laki
Anorektal : tidak ada kelainan.
Ekstremitas:
Superior Inferior
Deformitas -/- -/-
Akral Dingin -/- -/-
2
Akral Sianosis -/- -/-
CRT > 2” > 2”
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
(19/08/2019 )
Kimia Darah
Glukosa Darah 86 Mg/dL 70-180
Ureum 151 Mg/dL 15-44
Creatinin 6.2 Mg/dL 0.5-0.10
SGOT 160 U/L 0-45
SGPT 96 U/L 0-45
Natrium 136 mmol/L 136-145
Kalium 6.5 mmol/L 3.5-5.1
3
IgM Anti Leptospira Negatif - Negatif
EKG IGD
4
Pemeriksaan Radiologi
Belum dapat dilakukan karena foto portable tidak bisa digunakan dan pasien masih belum stabil untuk
foto di instalasi radiologi.
Diagnosa Banding:
Susp CAP
Penatalaksanaani IGD:
5
O2 NRM
IVFD asering 2000 Bolus
IVFD D5 500/8jam
Pasang Foley Cath & NGT
Paracetamol iv 1gr
Omeprazole 40mg
Levofloxacin 500mg
Ciprofloxacin
6
Penunjang ICU
(20/08/2019 08.00 )
Diagnosa ICU:
Gagal Nafas
Respiratory alkalosis
Septic Shock, susp urosepsis
Acute on CKD
hiperkalemia
Intubasi endotrakeal
Ventilasi mekanik dengan setting:
Mode: SIMV + Pressure Control + Pressure Support.
RR: 15x/menit
I:E = 1:2
FiO2: 60%
7
PEEP: 5 cmH2O
PC above PEEP: 12
(21/08/19) 05.33
Suhu 38.6 oC -
pH 7.467 - 7.35-7.45
Diagnosa ICU:
8
Gagal Nafas
Respiratory alkalosis
Septic Shock, susp urosepsis
Acute on CKD
hiperkalemia
Penatalaksaan ICU
Ventilasi Mekanik dengan setting:
Mode: SIMV + Volume Control
RR: 12x/
Tidal Volume: 510
FiO2: 60%
PEEP: 5 cmH2O
HD Hari ini
Kalnex 3x1amp
Kidmin 200cc/24jam
Propofol 4cc/jam
Pre-HD
TD: 90/60 mmHg
S: 36 oC
N: 80x
RR: 20x
9
BB: Tidak ditimbang
Post-HD
TD: 88/64 mmHg
S: 36 oC
N: 82x
RR: 26x
BB: Tidak ditimbang
JENIS PEMERIKSAAN
HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Hematokrit 40 % 31 – 41
Kimia Darah
10
Natrium 136 mmol/L 136-145
JENIS PEMERIKSAAN
HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Bilirubin Total 3.7 mmol/L <1.0
(21/08/19) 20.49
JENIS PEMERIKSAAN
HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Hematokrit 40 % 31 – 41
11
Diagnosa ICU:
Gagal nafas
Susp CAP aspirasi
respiratory alkalosis
Syok sepsis + susp urosepsis
SVT
CKD on HD
hiperkalemia perbaikan
Penatalaksanaan ICU:
Stop Kalitake
Stop Ca Glukonas
Dobutamin 2 amp dlm NS 100cc (20micro)
Norepinephrine 2 amp dlm NS 50cc (0.4micro)
Vagal Maneuver
Co. SpJP
Co. SpP
12
Advis SpJP:
Advis SpP:
N-acetyl-cystein 3x2gr
R/ Foto toraks bila memungkinkan
EKG 22/08/19
Diagnosa ICU:
Gagal nafas
Susp. Pneumonia Aspirasi
Respiratory alkalosis
Syok sepsis + susp urosepsis
AF RVR
CKD on HD
13
hiperkalemia perbaikan
Gangguan fungsi liver
Penatalaksanaan ICU
R/ cek INR
R/ HD 25/08/29
Warfarin 1x2mg
Amiodarone stop
Prognosis:
Quo ad vitam : Malam
Quo ad functionam : Malam
Quo ad sanationam : Malam
Respirasi
PaO2: 58.5
FiO2: 60%
Nilai Rasio PaO2/FiO2: 97.50
Skor: 4
Koagulasi
Trombosit: 545
Skor: 0
Liver
14
Bilirubin: 3.7
Skor: 2
Kardiovaskular
Memakai Norepinephrine 0.4 micro
Skor: 4
Ginjal
Kreatinin: 6.5
Skor: 4
15
Kriteria MODS yang didapat:
SBP: 85 mmHg
Acute mental status change, GCS: 6
PaO2: 58.5 mmHg
SGOT: 160, SGPT 96
Follow Up Pasien
16
Abd : supel, BU (+) N, NT epigastrik (-)
Metronidazol 3x500mg
Meropenem 3x1gr
P
Ca Glukonas 3x1
Sanfuliq 3x1
Kalitake 3x1
Lasix 2x1amp
17
Aminofluid 500/12jam Intubasi
Sanfuliq 3x1
Kalitake 3x1
Lasix 2x1amp
-
S
18
Aminofluid 500/12jam HD Hari ini
Sanfuliq 3x1
Kalitake 3x1
Lasix 2x1amp
19
Aminofluid 500/12jam Urdafalk 3x1
Stop Kalitake
Stop Ca Glukonas
20
Aminofluid 500/12ja Urdafalk 3x1
m
kalnex 3x1
Omeprazole 2x 40mg
Dobutamin 2 amp dlm NS 100cc
RL 500/8jam
Norepinephrine 2 amp dlm NS 50cc
Metronidazol 3x500m
g Amiodarone 150mg extra
P
Meropenem 3x1gr Warfarin 1x2mg
Lasix 2x1amp
21
Keterangan 22 Agustus 2019 18.00
-
S
22
Aminofluid 500/12jam Dobutamin 2 amp dlm NS 100cc
Urdafalk 3x1
kalnex 3x1
Tinjauan Pustaka
Pendahuluan
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam nyawa akibat disregulasi atau
ketidakseimbangan respon tubuh terhadap adanya infeksi.1 Sepsis merupakan masalah kesehatan
utama dan dilaporkan insidensinya terus meningkat. Meskipun insidensi pastinya tidak diketahui
beberapa studi membuktikan bahwa sepsis merupakan penyebab utama kematian pasien kritis di
seluruh dunia.
Pada konsensus tahun 19912 dinyatakan bahwa sepsis merupakan respon inflamasi sistemik
(SIRS) terhadap infeksi. Sepsis yang diikuti dengan komplikasi disfungsi organ disebut sepsis berat
23
(severe sepsis). Sepsis berat dapat berkembang menjadi syok sepsis, yaitu hipotensi yang menetap
yang disebabkan oleh sepsis meskipun telah mendapat resusitasi cairan adekuat.2 Sebuah kelompok
kerja tahun 2001 menyadari keterbatasan pada definisi ini dan mengembangkan sejumlah kriteria
diagnostik pada sepsis namun tidak berhasil memberikan alternatif lain karena sedikitnya bukti
penunjang.3 Akibatnya definisi sepsis, syok sepsis dan disfungsi organ tidak banyak berubah
selama 2 dekade. Namun pada konsensus tahun 20151 telah diperbarui definisi sepsis dan syok
sepsis dan Surviving Sepsis Campaign telah memperbarui diagnosis dan tata laksana sepsis dan
syok sepsis pada tahun 2016.
Epidemiologi
Pada tahun 2001 dilaporkan bahwa insidensi sepsis di Amerika terjadi pada 3 dari 1000
populasi, 51,1% dirawat di ICU dan 17,3% mendapat bantuan ventilasi mekanik.4 Pada tahun 2004
dilaporkan di Inggris bahwa 27% pasien yang masuk RS menderita sepsis berat dalam 24 jam
pertama, walaupun angka kematiannya menurun dari 48,3% (tahun 1996) menjadi 44,7% (tahun
2004) tetapi total kematian pada populasi meningkat dari 9000 menjadi 14.000.5
Dalam 10-15 tahun terakhir terjadi penurunan angka kematian yang disebabkan oleh sepsis,
walaupun masih tetap tinggi (30-50%). Early Goal Directed Therapy (EGDT) yang dikembangkan
oleh Rivers pada tahun 2001 dapat menurunkan angka kematian dari 46,5% menjadi 30,5%.6
CDC National Center of Hospital Statistics tahun 2011 melaporkan bahwa beban ekonomi
sangat tinggi pada pasien sepsis berat dan syok sepsis, diperkirakan 14,6 juta dolar telah dihabiskan
untuk perawatan septikemia, dan sejak tahun 1997 sampai 2008 terjadi peningkatan biaya
perawatan pasien di rumah sakit sekitar rata-rata 11,9%.7
Patofisiologi Sepsis
Sepsis merupakan sindroma klinis akibat respon tubuh terhadap adanya infeksi.1 Respon ini
sebenarnya merupakan bentuk mekanisme perlindungan tubuh bertujuan mengeliminasi
mikroorganisme tersebut tetapi menimbulkan dampak bentuk peradangan kulit ringan hingga ke
arah ancaman yaitu gangguan hemodinamik sehingga berpotensi berkembang menjadi kegagalan
multiorgan atau sepsis berat.
24
kemokin, sitokin proinflamasi atau senyawa aktif lain untuk memfasilitasi proses fagositosis
terutama melalui netrofil.8,9 Proses fagositosis bertujuan mengeliminasi mikroorganisme patogen
tersebut dengan melibatkan serangkaian aktivitas sel dan jaringan:
Diawali dengan vasodilatasi dan penurunan aliran darah kemudian diikuti dengan aktivasi
sistem fibrinolisis, proses ini bertujuan untuk meningkatkan interaksi antara sel fagosit dan endotel
serta memfasilitasi pergerakan sel fagosit (netrofil) mendekati jaringan yang rusak akibat infiltrasi
mikroorganisme patogen tersebut.
Interaksi netrofil dan sel endotel akan meningkatkan ekspresi beberapa molekul aktif seperti
selektin (netrofil), intergrin (sel endotel) memungkinkan terjadinya rolling adhesion netrofil ke
permukaan sel endotel kemudian mengalami proses transcapillary-diapedesis, dan netrofil bergerak
ekstravaskular ke jaringan yang terinfeksi, pada keadaan ini terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler yang mengandung nutrien dan albumin dalam konsentrasi yang sangat tinggi masuk ke
jaringan interstisial.
Terjadi prekapiler vasokonstriksi, pengaktifan sistem koagulasi dan menghambat sistem
fibrinolisis postkapiler, proses ini merupakan mekanisme dasar terjadinya respon inflamasi lokal
akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme patogen.
Struktur jaringan sel akan mengalami penyesuaian untuk melanjutkan proses inflamasi
dengan tujuan melindungi dari invasi mikroorganisme patogen.8,9,10
Prekapiler vasokonstriksi, postkapiler hiperkoagulabel dan penekanan kapiler akibat edema
cairan menimbulkan ancaman hipoksia jaringan. Untuk mengatasi keadaan yang tidak
menguntungkan ini sel akan melakukan penghematan energi ATP atau hibernasi. Klinis ditandai
dengan hilangnya kemampuan fungsi organ atau jaringan yang mengalami inflamasi untuk
sementara dan dikenal sebagai functio laesa.
Tingkat sistemik, diawali oleh rangsangan jalur aferen saraf vagus, nyeri dan tissue
corticotrophine-releasing factor yaitu sitokin pro-inflamasi (TNF-α, IL-1β terutama IL-6) berasal
dari proses inflamasi lokal masuk ke sirkulasi sistemik. Respon sistemik ditandai dengan aktivasi
jalur vagus, sistem neuro-endokrin (terjadi peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis dan jalur
hypothalamus-hypophysis-adrenalin), demam dan lekositosis. Respon sistemik ini bertujuan untuk
mencegah agar efek proinflamasi berasal dari inflamasi lokal tidak berlebihan. Diawali reseptor
jalur aferen vagus pada makrofag untuk memberikan input ke inti traktus solitaries sistem saraf
pusat yang kemudian mengaktivasi jalur eferen vagus pada nucleus dorsal motoric agar
menghambat pelepasan sitokin (mediator proinflamasi) atau sel imun lainnya, jalur vagus ini
dikenal dengan inflammatory reflex. 9,10,11
Apabila pembentukan mediator proinflamasi lokal berlebihan dan tidak terkontrol akan
masuk ke dalam sirkulasi sistemik mengakibatkan dampak yang lebih berat. Memasuki periode ini,
vasodilatasi yang awalnya merupakan fenomena lokal menjadi sangat berkorelasi dengan hipotensi
arterial sehigga berpotensi menimbulkan disfungsi multiorgan akibat hipoksia jaringan yang
disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi secara global. Selain efek vasodilatasi sistemik, terjadi
penekanan fungsi miokard yang disebabkan oleh mediator proinflamasi dan pada fase lebih lanjut
terjadi keadaan hipovolemik akibat kebocoran kapiler sistemik, disfungsi miokard, penurunan tonus
vaskular. Perkembangan dari infeksi hingga sepsis berat atau syok sepsis akan seiring dengan
perubahan kardiovaskular yang didasari oleh: disfungsi miokard, perubahan tonus vaskular dan
penurunan volume intravaskular akibat kebocoran kapiler.9
Definisi
25
Berdasarkan pemahaman lebih luas mengenai patofisiologi terjadinya sepsis,sebuah studi
tahun 2014 sampai Januari 2015 menyatakan bahwa identifikasi sepsis dengan kriteria SIRS (2 atau
lebih) tidak lagi tepat.1 SIRS tidak secara langsung menyatakan adanya disregulasi respon tubuh
terhadap infeksi. Banyak pasien di RS dengan kriteria SIRS tetapi akhirnya tanpa bukti adanya
infeksi.12 Sementara 1 dari 8 pasien di ICU Australia dan New Zealand dirawat dengan infeksi
bahkan sampai terjadi gagal organ tetapi tidak pernah memenuhi kriteria SIRS.13
26
Tabel 1. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)2
27
Kreatinin > 2 mg/dl
Bilirubin > 2 mg/dl
Trombosit < 100.000
Koagulopati (INR > 1,5)
28
Gambar 1. SOFA score1
Penjelasan mengenai panduan perubahan terminologi, definisi, kriteria klinis serta rekomendasi
koding ICD sepsis dan syok sepsis dapat dilihat pada tabel berikut:1,14,15
29
30
Diagnosis
Biomarker yang ideal untuk infeksi harus sensitif bahkan pada pasien tanpa respon imun dan
harus spesifik yaitu bisa membedakan infeksi atau non infeksi, dapat diukur secara cepat dan
mudah serta mempunyai nilai prognostik.16 Biomarker yang potensial memenuhi syarat ini antara
lain protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP) atau prokalsitonin (PCT),16,17 sitokin seperti
IL-6, IL-8, IL-10,18,19 kadar endotoksin,20 gelombang fisik aPTT21. Akan tetapi biomarker tersebut
tidak memenuhi kriteria ideal sehingga disarankan untuk menggunakan kombinasi dari biomarker.
Panduan dari surviving sepsis campaign (SSC)21 untuk penegakan diagnosis dengan cara:
Kultur, dilakukan sebelum pemberian antibiotik awal. Setidaknya 2 set kultur darah (aerob
dan anaerob) diambil
Gunakan pemeriksaan 1,3 beta-D-glucan, antibodi mannan dan anti-mannan (jika tersedia)
untuk dugaan infeksi invasif jamur candida
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi kemungkinan sumber infeksi
Terapi
Pengelolaan sepsis sejak 2 dekade terakhir tidak bisa dipisahkan dari gerakan Surviving
Sepsis Campaign (SSC). Panduan SSC dalam tata laksana sepsis dituangkan dalam sepsis bundles
dan sebagai respon dari konsensus internasional ke-3 dari ESICM (European Society of Intensive
Care Medicine) dan SCCM (Society of Critical Care Medicine) mengenai definisi sepsis dan syok
sepsis1,14,15 maka SSC memperbarui panduan untuk rumah sakit dan praktisi klinis dalam Sepsis
bundles 2016 (SSC responds to Sepsis-3, 1 Maret 2016). Berikut Penatalaksanaan dari SSC:21
1. Resusitasi awal
Langkah 1: Skrining dan manajemen infeksi
Manajemen dimulai dengan pengambilan kultur darah dan kultur lain sesuai indikasi, kemudian
berikan antibiotik yang sesuai dengan peta kuman yang ada dan secara simultan dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi adanya disfungsi organ.
Langkah 2: Skrining adanya disfungsi organ dan manajemen sepsis (dahulu sepsis berat)
Pasien diidentifikasi adanya disfungsi organ dengan kriteria yang sama dengan sebelumnya (tabel
2). Disfungsi organ juga dapat diprediksi akan terjadi dengan menggunakan kriteria Quick SOFA
(qSOFA).
Bila disfungsi organ teridentifikasi, pastikan bundle 3 jam dilakukan sebagai prioritas utama
tindakan.
31
Langkah 3: Identifikasi dan manajemen hipotensi awal
Pada pasien dengan infeksi ditambah hipotensi atau kadar laktat > 4 mmol/L berikan 30 ml/kgBB
cairan kristaloid dan dilakukan penilaian ulang respon cairan yang diberikan serta penilaian perfusi
jaringan. Kemudian bundle 6 jam harus dilengkapi. Pada bundle 6 jam, jangan lupa menilai ulang
nilai laktat bila laktat awal nilainya > 2 mmol/L.
Sepsis Bundles1
HARUS DILENGKAPI DALAM 3 JAM KEDATANGAN
1. Hitung nilai awal laktat
2. Ambil kultur darah sebelum pemberian antibioik
3. Berikan antibiotik spektrum luas
4. Berikan kristaloid 30 ml/kgBB pada hipotensi atau nilai awal laktat > 4 mmol/L
HARUS DILENGKAPI DALAM 6 JAM KEDATANGAN
5. Berikan vasopresor (untuk hipotensi yang tidak respon pada resusitasi cairan dini) untuk
mempertahankan MAP > 65 mmHg
6. Pada hipotensi yang menetap setelah pemberian cairan yang adekuat (MAP < 65 mmHg) atau
nilai laktat awal > 4 mmol/L, nilai ulang status volum pasien dan perfusi jaringan berdasarkan
tabel 5
7. Nilai ulang laktat bila nilai awal laktat meningkat
2. Terapi antimikroba
Berikan antibiotik empirik dengan konsentrasi adekuat pada 1 jam pertama terdiagnosis
sepsis. Pemberian antibiotik harus dinilai setiap hari untuk kemungkinan deeskalasi.Gunakan
kombinasi antibiotik untuk pasien syok sepsis, pasien netropeni, dan pasien dengan infeksi
bakteri patogen MDR (multi drug resistant). Durasi terapi berkisar 7-10 hari, penggunaan lebih
lama pada pasien dengan respon klinis lambat, bacteremia S.aureus, infeksi jamur dan infeksi
virus atau defisiensi imunologis.
Kadar prokalsitonin yang rendah dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menghentikan
terapi antibiotik pada pasien yang awalnya sepsis.
32
3. Kontrol sumber infeksi
Beberapa diagnosis sepsis memerlukan tindakan operasi darurat untuk keperluan diagnostik
dan kontrol sumber infeksi.
4. Terapi cairan
Cairan inisial untuk resusitasi pasien sepsis dan syok sepsis adalah cairan kristaloid. Hindari
penggunaan HES. Apabila pasien memerlukan cairan resusitasi dalam jumlah besar, dapat
digunakan albumin. Resusitasi awal pasien sepsis dan syok sepsis yaitu dengan pemberian
kristaloid sebanyak 30 ml/kgBB.
5. Vasopresor
Terapi vasopresor inisial ditargetkan untuk tercapainya nilai minimal MAP > 65 mmHg.
Pilihan pertamanya adalah norepinefrin. Epinefrin dapat ditambahkan atau bahkan
menggantikan NE (bila tidak ada), untuk mencapai target minimal MAP.
Penambahan vasopressin pada NE diberikan bila MAP belum tercapai atau dengan tujuan
untuk mengurangi dosis NE. Sementara dopamin digunakan sebagai alternative NE hanya
untuk pasien dengan resiko rendah terjadi takiaritmia. Dan untuk semua pasien yang akan
direncanakan menggunakan vasopresor jangan lupa untuk dipasang kateter vena sentral terlebih
dahulu.
6. Inotropik
Pada pasien dengan disfungsi miokard dapat digunakan dobutamin sebagai inotropik,
7. Kortikosteroid
Jangan menggunakan hidrokortison intravena untuk terapi syok sepsis apalagi bila MAP
sudah tercapai dengan penggunaan vasopresor dan/atau inotropik. Kortikosteroid tidak
diberikan.
8. Pemberian produk darah
Transfusi sel darah merah hanya bila konsentrasi hemoglobin < 7 gr/dl dengan target Hb 7-
9 gr/dl kecuali bila ada iskemi jantung, hipoksemia berat, perdarahan akut, atau penyakit
jantung iskemik; yang mungkin memerlukan kadar Hb lebih dari itu.
Tidak perlu pemberian eritropoietin sebagai terapi spesifik anemia yang disebabkan oleh
sepsis.
Transfusi fresh frozen plasma FFP tidak untuk memperbaiki nilai laboratoris, diberikan
hanya bila ada perdarahan atau akan direncanakan tindakan invasif.
Transfusi platelet profilaksis bila trombosit <10.000/mm3tanpa perdarahan spontan,
<20.000/mm3bila memiliki resiko terjadinya perdarahan. Untuk pasien dengan perdarahan aktif,
pembedahan atau tindakan invasif diperlukan kadar trombosit > 50.000/mm3.
9. Pemberian imunoglobulin
Tidak memberikan imunoglobulin intravena untuk pasien sepsis dan syok sepsis.
10. Terapi selenium
Tidak menggunakan selenium untuk terapi sepsis.
11. Penggunaan recombinant activated protein C (rhAPC)
Penggunaan rhAPC tidak lagi direkomendasikan oleh SSC.
12. Ventilasi mekanik pada ARDS akibat sepsis
33
Pada pasien ARDS (acute respiratory distress syndrome) target tidal volume 6 ml/kgBB
dengan plateau pressure<30 cmH2O dan berikan PEEP (positive end expiratory pressure)
untuk mencegah alveoli atelectasis. Strategi yang diberikan pada pasien ARDS sedang sampai
berat adalah frekuensi nafas tinggi daripada PEEP rendah. Pada pasien ARDS berat dengan
hipoksemia menetap dapat dilakukan prone position dan lung recruitment. Posisi kepala pasien
dijaga 30-450 untuk mencegah terjadinya aspirasi dan ventilator associated pneumonia.
13. Sedasi, analgesia dan pelumpuh otot pada sepsis
Minimalisir penggunaan sedasi dengan penilaian harian untuk dititrasi. Penggunaan
pelumpuh otot pada pasien ARDS dihindari karena resiko pemanjangan efek setelah obat
distop. Bila harus dipakai, dapat diberikan dengan teknik bolus intermiten atau dengan
penggunaan monitoring train of four.
14. Kontrol kadar gula darah
Pada pasien sepsis dilakukan kontrol gula darah dengan insulin intravena bila 2x
pemeriksaan kadarnya > 180 mg/dl dengan targetnya < 180 mg/dl. Gula darah diperiksa setiap
1-2 jam sampai stabil kemudian setiap 4 jam bila telah stabil.
15. Renal replacement therapy (RRT) pada sepsis
Continuous renal replacement therapy (CRRT) dan hemodialisa intermiten sering
diperukan pada pasien sepsis dan syok sepsis. Gunakan teknik CRRT pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil.
16. Terapi Bikarbonat
Tidak menggunakan terapi Natrium bikarbonat untuk tujuan memperbaiki hemodinamik
atau menurunkan dosis vasopresor pada pasien hipoperfusi akibat asidosis laktat dengan pH >
7,15.
17. Profilaksis DVT
Untuk mencegah tromboemboli berikan pencegahan dengan LMWH (low molecular weight
heparin) subkutan setiap hari atau dapat juga diberikan dengan heparin (UFH-unfractionated
heparin). Jika klirens kreatinin < 30ml/mnt gunakan dalteparin. Pencegahan dengan
farmakologis sebaiknya dikombinasi dengan penggunaan intermittent pneumatic compression,
terutama pada pasien dengan kontraindikasi (trombositopeni, koagulopati berat, perdarahan
aktif, perdarahan intraserebral akut).
18. Profilaksis stress ulcer
Profilaksis stress ulcer pada pasien sepsis dikelola dengan pemberian H2 blocker atau
proton pump inhibitor. Pasien tanpa resiko tidak tidak perlu mendapat profilaksis stress ulcer.
34
35
Daftar Pustaka
1. Singer M, Deutschman CS, et al: The third international consensus definitions for sepsis and
septic shock (sepsis-3). JAMA 2016; 315(8): 801-10.
2. Bone RC, Balk RA et al: American college of chest physicians/society of critical care
medicine consensus conference: definitions for sepsis and organ failure and guidelines for
the use of innovative therapies in sepsis.
3. Levy MM, Marshal JC, et al: International sepsis definitions conference. 2001
SCCM/ESICM/ACCP /ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care
Med. 2003; 31: 1250-6.
4. Angus DC, linde-Zwirble WT, Lidicker J, et al: Epidemiology of severe sepsis in the United
States: Analysis of incidence, outcome, and associated costs of care. Crit Care Med 2001;
29: 1303-10
5. Harrison DA, Welch CA, Eddleston JM: The epidemiology of severe sepsis in England,
Wales, and Northern Ireland, 1996 to 2004: secondary analysis of a high quality clinical
database, the ICNARC Case Mix Programme Database. Crit care 2006: 10(2); R42.
6. Rivers E, Nguyen B, et al: Early goal directed therapy in the treatment of severe sepsis and
septic shock. N Engl J Med 2001; 345: 1368-77.
7. CDC National Center of Hospital Statistics tahun 2011.
8. Annane DJ, Cavaillon J et al: Septic shock. Lancet 2005; 365: 63-78.
9. Kula R, Chylek V et al: Clinical study: A response to infection in patients with severe sepsis
– do we need a “Stage-Directed Therapy concept?”. Brastilava Lek Listy, 2009; 110: 459-
64.
10. Angus DC, van der Poll T: Severe sepsis and septic shock. N Engl J Med. 2013; 369: 840-
51
11. Van der Poll, Opal S: Host pathogen interaction in sepsis. Lancet Infect Dis. 2008; 8: 32-43.
12. Churpek MM, Zadravec FJ et al: Incidence and prognostic value of the systemic
inflammatory response syndrome and organ dysfunction in ward patients.
13. Kaukonen KM, Bailey M et al: Systemic inflammatory response syndrome criteria in
defining severe sepsis.
14. Seymour M, Liu VX, et al: Assesment of clinical criteria for sepsis: for the third
international consensus definition for sepsis and septic shock (Sepsis-3). JAMA. 2016 Feb
23; 315(8): 762-74.Seymour CW, Coopersmith CM, et al: Application of a framework to
assess the usefulness of alternative sepsis criteria. Crit Care Med 2016 Mar; 44(3): e122-
e130.
36
15. Chan YL Tseng CP, Tsay PK, et al: Procalcitonin as marker of bacterial infection in
emergency department: an observational study. Crit Care 2004; 8:r 12-R20.
16. Lobo SM, Lobo FR, Bota DP: C reactive protein levels correlate with mortality and organ
failure in critically ill patient. Chest. 2003; 123: 2043-9.
17. Damas P, Leudox D Nys M et al: Cytokines serum levels during severe sepsis in human IL-
6 as a marker of severity. Ann Surg. 1992; 215: 356-62.
18. Pinsky MR, Vincent JL, deviere J et al: Serum cytokine levels in human septic shock;
relation to multiple system organ failure and mortality. Chest. 1993; 103: 565-75.
19. Marshal JC, Foster D, et al: Diagnostic and prognostic implication of endotoxemia in critical
illness; result of the MEDIC study. J Infect Dis. 2004; 190:527-34.
20. Demple CE, Lorenz S, et al: Utility of aPTT waveform analysis for identification of sepsis
and overt disseminated intravascular coagulation in patients admitted to a surgical intensive
care unit. Crit Care Med. 2004; 32: 520-4.
21. Delinger RP, Levy MM, Rhodes A et al: Surviving sepsis campaign: International
guidelines management of severe sepsis and septic shock: 2012. Crit Care Med. 2013: 41;
37
38