Anda di halaman 1dari 37

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Irigasi
Irigasi adalah berasal dari istilah irridatie (bahasa belanda) atau irrigation
(bahasa inggris) diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk mendatangkan
air dari sumbernya guna keperluan pertanian mengalirkan dan membagikan air
secara teratur setelah digunakan dapat pula di buang kembali. (Mawardi dan Memet,
2002). Menurut Sosrodarsono dan Takeda (2003), irigasi merupakan usaha
penyediaan dan pengaturan air yang diperlukan tanaman ke tanah yang diolah,
dimana penyalurannya didistribusikan secara sistematis. Usaha tersebut terutama
menyangkut pembuatan sarana dan prasarana untuk membagi-bagikan air ke
sawah-sawah secara teratur dan membuang air kelebihan yang tidak diperlukan lagi
untuk memenuhi tujuan pertanian.
Menurut Sidharta SK (1997), irigasi adalah usaha mendatangkan air dengan
membuat bangunan-bangunan dan saluran untuk mengalirkan air guna keperluan
pertanian, membagi-bagikan air ke sawah-sawah atau ladang-ladang dengan cara
yang teratur dan membuang air yang tidak dipergunakan lagi. Pengertian irigasi
yang lebih spesifik dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006
tentang Irigasi yang menyebutkan bahwa irigasi adalah usaha penyediaan,
pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya
meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan
irigasi tambak.

2.1.1 Jenis-jenis Irigasi


Dalam perkembangannya, irigasi dibagi menjadi beberapa tipe (Sidharta
SK, 1997), yaitu sebagai berikut:
1. Irigasi sistem gravitasi
Irigasi gravitasi merupakan sistem irigasi yang telah lama dikenal dan
diterapkan dalam kegiatan usaha tani. Dalam sistem irigasi ini, sumber air yang
diambil dari air yang ada di permukaan bumi yaitu dari sungai, waduk dan
danau, yang ada di dataran tinggi. Pengaturan dan pembagian air irigasi menuju
ke petak-petak yang membutuhkan, dilakukan secara gravitatif.
2. Irigasi sistem pompa
Sistem irigasi dengan menggunakan pompa dapat dipertimbangkan, apabila
pengambilan secara gravitatif ternyata tidak layak dari segi ekonomi maupun
teknik. Cara ini membutuhkan modal kecil, namun memerlukan biaya ekpoitasi
yang besar. Sumber air yang dapat dipompa untuk keperluan irigasi dapat
diambil dari sungai, misalnya Stasiun Pompa Gambasari dan Pesangrahan
(sebelum ada Bendung Gerak Serayu), atau dari air tanah, seperti pompa air
suplesi di DI. Simo, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta
3. Irigasi pasang surut
Yang dimaksud dengan irigasi pasang-surut adalah suatu tipe irigasi yang
memanfaatkan pengempangan air sungai akibat peristiwa pasang – surut air
laut. Areal yang direncanakn untuk tipe Irigasi ini adalah areal yang mendapat
pengaruh langsung dari peristiwa pasang-surut air laut. Untuk daerah
kalimantan misalnya, daerah ini bisa mencapai panjang 30 – 50 Km memanjang
panatai dan 10 – 15 km masuk ke darat. Air genangan yang berupa air tawar
dari sungai akan menekan dan mencuci kandungan tanah sulfat masam dan akan
dibuang pada saat air laut surut.

2.1.2 Jaringan Irigasi


Menurut Undang‐undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air Bab I pasal 1, Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan
bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk
penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi.
Dalam suatu jaringan irigasi dapat dibedakan adanya empat unsur fungsional
pokok, yaitu:
1. Bangunan‐bangunan utama (headworks) di mana air diambil dari sumbernya,
umumnya sungai atau waduk,
2. Jaringan pembawa berupa saluran yang mengalirkan air irigasi ke petak‐petak
tersier,
3. Petak‐petak tersier dengan sistem pembagian air dan sistem pembuangan
kolektif, air irigasi dibagi‐bagi dan dialirkan kesawah–sawah dan kelebihan air
ditampung di dalam suatu sistem pembuangan di dalam petak tersier;
4. Sistem pembuang berupa saluran dan bangunan bertujuan untuk membuang
kelebihan air dari sawah ke sungai atau saluran‐saluran alamiah.
Sedangkan menurut Kriteria Perencanaan (KP-02) Irigasi Kementrian
Pekerjaan Umum 1986, yang dimaksud dengan jaringan irigasi adalah seluruh
bangunan dan saluran irigasi. Berdasarkan pengertian tersebut, jaringan irigasi
terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu bangunan irigasi dan saluran irigasi.
Berdasarkan cara pengaturan pengukuran aliran air dan lengkapnya fasilitas,
jaringan irigasi dapat dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. Irigasi Sederhana
Di dalam irigasi sederhana (gambar 2.1) pembagian air tidak diukur atau diatur,
air lebih akan mengalir ke saluran pembuang. Para petani pemakai air itu
tergabung dalam satu kelompok jaringan irigasi yang sama, sehingga tidak
memerlukan keterlibatan pemerintah di dalam organisasi jaringan irigasi
semacam ini. Persediaan air biasanya berlimpah dengan kemiringan berkisar
antara sedang sampai curam. Oleh karena itu hampir-hampir tidak diperlukan
teknik yang sulit untuk sistem pembagian airnya.
Jaringan irigasi yang masih sederhana itu mudah diorganisasi tetapi memiliki
kelemahan-kelemahan yang serius. Pertama-tama, ada pemborosan air dan,
karena pada umumnya jaringan ini terletak di daerah yang tinggi, air yang
terbuang itu tidak selalu dapat mencapai daerah rendah yang lebih subur.
Kedua, terdapat banyak penyadapan yang memerlukan lebih banyak biaya lagi
dari penduduk karena setiap desa membuat jaringan dan pengambilan sendiri-
sendiri. Karena bangunan pengelaknya bukan bangunan tetap/permanen, maka
umurnya mungkin pendek.
Gambar 2.1 Irigasi Sederhana
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi (KP-01))

2. Irigasi Semiteknis
Dalam banyak hal, perbedaan satu-satunya antara jaringan irigasi sederhana dan
jaringan semiteknis adalah bahwa jaringan semiteknis ini bendungnya terletak
di sungai lengkap dengan bangunan pengambilan dan bangunan pengukur di
bagian hilirnya. Mungkin juga dibangun beberapa bangunan permanen di
jaringan saluran. Sistem pembagian air biasanya serupa dengan jaringan
sederhana (gambar 2.2). Adalah mungkin bahwa pengambilan dipakai untuk
melayani/mengairi daerah yang lebih luas dari daerah layanan pada jaringan
sederhana. Oleh karena itu biayanya ditanggung oleh lebih banyak daerah
layanan.

Gambar 2.2 Irigasi Semiteknis


(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi (KP-01))
3. Irigasi Teknis
Salah satu prinsip dalam perencanaan jaringan teknis adalah pemisahan antara
jaringan irigasi dan jaringan pembuang/pematus. Hal ini berarti bahwa baik
saluran irigasi maupun pembuang tetap bekerja sesuai dengan fungsinya
masing-masing, dari pangkal hingga ujung. Saluran irigasi mengalirkan air
irigasi ke sawah-sawah dan saluran pembuang mengalirkan air lebih dari
sawah-sawah ke saluran pembuang alamiah yang kemudian akan diteruskan ke
laut (gambar 2.3).
Petak tersier menduduki fungsi sentral dalam jaringan irigasi teknis. Sebuah
petak tersier terdiri dari sejumlah sawah dengan luas keseluruhan yang idealnya
maksimum 50 ha, tetapi dalam keadaan tertentu masih bisa ditolerir sampai
seluas 75 ha. Perlunya batasan luas petak tersier yang ideal hingga maksimum
adalah agar pembagian air di saluran tersier lebih efektif dan efisien hingga
mencapai lokasi sawah terjauh.
Pembagian air di dalam petak tersier diserahkan kepada para petani. Jaringan
saluran tersier dan kuarter mengalirkan air ke sawah. Kelebihan air ditampung
di dalam suatu jaringan saluran pembuang tersier dan kuarter dan selanjutnya
dialirkan ke jaringan pembuang primer.

Gambar 2.3 Irigasi Teknis


(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi (KP-01))
2.2 Bendung
Bendung (bangunan utama) adalah bangunan yang direncanakan di
sepanjang sungai atau aliran air untuk membelokkan air ke dalam jaringa saluran
irigasi agar dapat di pakai untuk keperluan irigasi, biasanya dilengkapi dengan
kantong lumpur agar bisa mengurangi sedimen yang berlebihan serta kemungkinan
untuk mengukur dan mengatur air masuk (KP-02).
Menurut ARS Group, 1982, Analisa Upah dan Bahan BOW (Burgerlijke
Openbare Werken), bendung adalah bangunan air (beserta kelengkapannya) yang
dibangun melintang sungai untuk meninggikan taraf muka air sehingga dapat
dialirkan secara gravitasi ke tempat yang membutuhkannya.
Bendung juga dapat didefinisikan sebagai bangunan air yang dibangun
secara melintang sungai, sedemikian rupa agar permukaan air sungai di
sekitarnyanaik sampai ketinggian tertentu, sehingga air sungai tadi dapat dialirkan
melalui pintu sadap kesaluran-saluran pembagi kemudian hingga ke lahan-lahan
pertanian (Kartasapoetra, 1991).
Berdasarkan SNI 03-2401-1991 tentang Pedoman Perencanaan Hidrologi
Dan Hidraulik Untuk Bangunan di Sungai adalah bangunan ini dapat didesain dan
dibangunan sebagai bangunan tetap, bendung gerak, atau kombinasinya, dan harus
dapat berfungsi untuk mengendalikan aliran dan angkutan muatan di sungai
sedemikian sehingga dengan menaikkan muka airnya, air dapat dimanfaatkan
secara efisien sesuai dengan kebutuhannya. Contoh bangunan bendung ditunjukkan
pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Bendung


(Sumber: sda.pu.go.id)
2.2.1 Jenis-jenis Bendung
Jenis-jenis bendung menurut Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama
(KP-02), yaitu sebagai berikut:
1. Bendung Tetap
Bangunan air ini dengan kelengkapannya dibangun melintang sungai atau
sudetan, dan sengaja dibuat untuk meninggikan muka air dengan ambang tetap
sehingga air sungai dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke jaringan
irigasi. Kelebihan airnya dilimpahkan ke hilir dengan terjunan yang dilengkapi
dengan kolam olak dengan maksud untuk meredam energi. Ada 2 tipe atau jenis
bendung tetap dilihat dari bentuk struktur ambang pelimpahannya, yaitu:
a. Ambang tetap yang lurus dari tepi ke tepi kanan sungai artinya as ambang
tersebut berupa garis lurus yang menghubungkan dua titik tepi sungai.
b. Ambang tetap yang berbelok-belok seperti gigi gergaji. Tipe seperti ini
diperlukan bila panjang ambang tidak mencukupi dan biasanya untuk sungai
dengan lebar yang kecil tetapi debit airnya besar. Maka dengan
menggunakan tipe ini akan didapat panjang ambang yang lebih besar,
dengan demikian akan didapatkan kapasitas pelimpahan debit yang besar.
Mengingat bentuk fisik ambang dan karakter hidrolisnya, disarankan
bendung tipe gergaji ini dipakai pada saluran. Dalam hal diterapkan di
sungai harus memenuhi syarat seperti debit relatif stabil dan tidak membawa
material terapung berupa batang-batang pohon.
2. Bendung Gerak Vertikal
Bendung ini terdiri dari tubuh bendung dengan ambang tetap yang rendah
dilengkapi dengan pintu-pintu yang dapat digerakkan vertikal maupun radial.
Tipe ini mempunyai fungsi ganda, yaitu mengatur tinggi muka air di hulu
bendung kaitannya dengan muka air banjir dan meninggikan muka air sungai
kaitannya dengan penyadapan air untuk berbagai keperluan. Operasional di
lapangan dilakukan dengan membuka pintu seluruhnya pada saat banjir besar
atau membuka pintu sebagian pada saat banjir sedang dan kecil. Pintu ditutup
sepenuhnya pada saat saat kondisi normal, yaitu untuk kepentingan penyadapan
air. Tipe bendung gerak ini hanya dibedakan dari bentuk pintu-pintunya antara
lain:
a. Pintu geser atau sorong, banyak digunakan untuk lebar dan tinggi bukaan
yang kecil dan sedang. Diupayakan pintu tidak terlalu berat karena akan
memerlukan peralatan angkat yang lebih besar dan mahal. Sebaiknya pintu
cukup ringan tetapi memiliki kekakuan yang tinggi sehingga bila diangkat
tidak mudah bergetar karena gaya dinamis aliran air.
b. Pintu radial, memiliki daun pintu berbentuk lengkung (busur) dengan
lengan pintu yang sendinya tertanam pada tembok sayap atau pilar.
Konstruksi seperti ini dimaksudkan agar daun pintu lebih ringan untuk
diangkat dengan menggunakan kabel atau rantai. Alat penggerak pintu
dapat dapat pula dilakukan secara hidrolik dengan peralatan pendorong dan
penarik mekanik yang tertanam pada tembok sayap atau pilar.
3. Bendung Karet (Bendung Gerak Horizontal)
Bendung karet memiliki 2 (dua) bagian pokok, yaitu:
a. Tubuh bendung yang terbuat dari karet
b. Pondasi beton berbentuk plat beton sebagai dudukan tabung karet, serta
dilengkapi satu ruang kontrol dengan beberapa perlengkapan (mesin) untuk
mengontrol mengembang dan mengempisnya tabung karet.
Bendung ini berfungsi meninggikan muka air dengan cara mengembungkan
tubuh bendung dan menurunkan muka air dengan cara mengempiskannya.
Tubuh bendung yang terbuat dari tabung karet dapat diisi dengan udara atau air.
Proses pengisian udara atau air dari pompa udara atau air dilengkapi dengan
instrumen pengontrol udara atau air (manometer).
4. Bendung Saringan Bawah
Bendung ini berupa bendung pelimpah yang dilengkapi dengan saluran
penangkap dan saringan. Bendung ini meloloskan air lewat saringan dengan
membuat bak penampung air berupa saluran penangkap melintang sungai dan
mengalirkan airnya ke tepi sungai untuk dibawa ke jaringan irigasi. Operasional
di lapangan dilakukan dengan membiarkan sedimen dan batuan meloncat
melewati bendung, sedang air diharapkan masuk ke saluran penangkap.
Sedimen yang tinggi diendapkan pada saluran penangkap pasir yang secara
periodik dibilas masuk sungai kembali.
5. Bendung Tipe Gergaji
Diperkenankan dibangun dengan syarat harus dibuat di sungai yang alirannya
stabil, tidak ada tinggi limpasan maksimum, dan tidak ada material hanyutan
yang terbawa oleh aliran.

Menurut Mawardi dan Memet (2002) bendung dapat diklasifikasikan


sebagai berikut:
1. Bendung berdasarkan fungsinya:
a. Bendung penyadap, digunakan sebagai penyadap aliran sungai untuk
berbagai keperluan seperti untuk irigasi, air baku dan sebagainya.
b. Bendung pembagi banjir, dibangun di percabangan sungai untuk mengatur
muka air sungai, sehingga terjadi pemisahan antara debit banjir dan debit
rendah sesuai dengan kapasitasnya.
c. Bendung penahan pasang, dibangun dibagian sungai yang dipengaruhi
pasang surut air laut antara lain untuk mencegah masuknya air asin.
2. Bendung berdasarkan tipe strukturnya:
a. Bendung tetap, bendung tetap adalah jenis bendung yang tinggi
pembendunganya tidak dapat diubah, sehingga muka air di hulu bendung
tidak dapat diatur sesuai yang dikehendaki. Pada bendung tetap elevasi
muka air dihulu bendung berubah sesuai dengan debit sungai yang sedang
melimpas (muka air tidak bisa diatur naik ataupun turun). Bendung tetap
biasanya dibangun pada daerah hulu sungai. Pada daerah hulu sungai
kebanyakan tebing sungai relatif lebih curam dari pada di daerah hilir.
b. Bendung gerak, bendung gerak adalah jenis bendung yang tinggi
pembendungannya dapat diubah sesuai yang dikehendaki. Pada bendung
gerak elevasi muka air di hulu bendung dapat dikendalikan naik atau turun
sesuai yang dikehendaki dengan membuka atau menutup pintu air.
3. Berdasarkan dari segi sifatnya:
a. Bendung permanen, seperti bendung pasangan batu, beton, dan kombinasi
beton dan pasangan batu.
b. Bendung semi permanen, seperti bendung broncong.
c. Bendung darurat, yang dibuat oleh masyarakat pedesaan seperti bendung
tumpukan batu dan sebagainya.
2.2.2 Komponen Bendung
Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama (KP-02) menjelaskan bahwa
bendung untuk keperluan irigasi terdiri atas berbagai komponen (gambar 2.5), yaitu
sebagai berikut:

Gambar 2.5 Komponen Bendung


(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama (KP-02))

1. Bangunan bendung (mercu)


Bangunan bendung (mercu) adalah bagian dari bangunan utama yang benar-
benar dibangun di dalam air. Bangunan ini diperlukan untuk memungkinkan
dibelokkannya air sungai ke jaringan irigasi, dengan jalan menaikkan muka air
di sungai atau dengan memperlebar pengambilan di dasar sungai seperti pada
tipe bendung saringan bawah (bottom rack weir). Bila bangunan tersebut juga
akan dipakai untuk mengatur elevasi air di sungai, maka ada dua tipe yang dapat
digunakan, yakni:
a. Bendung pelimpah
b. Bendung gerak (barrage)
Mercu bendung adalah bangunan pelimpah melintang sungai yang memberikan
tinggi muka air minimum kepada bangunan pengambilan untuk keperluan
irigasi. Bendung merupakan penghalang selama terjadi banjir dapat
menyebabkan genangan luas di daerah-daerah hulu bendung tersebut.
2. Bangunan pengambilan (intake)
Pengambilan (intake) adalah sebuah bangunan berupa pintu air. Air irigasi
dibelokkan dari sungai melalui bangunan ini. Pertimbangan utama dalam
merencanakan sebuah bangunan pengambilan adalah debit rencana pengelakan
sedimen. Bangunan ini terdiri dari lantai/ambang dasar, pintu, dinding banjir,
pilar penempatan pintu, saringan sampah, jembatan pelayan, rumah pintu dan
perlengkapan lainnya. Bangunan ini terletak tegak lurus (90˚) atau menyudut
(45˚-60˚) terhadap sumbu bangunan bilas. Diupayakan berada di tikungan luar
aliran sungai, sehingga dapat mengurangi sedimen yang akan masuk ke intake.
3. Bangunan pembilas (penguras)
Pembilas pada tubuh bendung tepat di hilir pengambilan berdampingan dan satu
kesatuan dengan intake, dibuat bangunan pembilas guna mencegah masuknya
bahan sedimen kasar ke dalam jaringan saluran irigasi. Pembilas dapat
direncanakan sebagai:
a. Pembilas pada tubuh bendung dekat pengambilan
b. Pembilas bawah (undersluice)
c. Shunt undersluice
d. Pembilas bawah tipe boks
Tipe (b) sekarang umum dipakai, tipe (a) adalah tipe tradisional, tipe (c) dibuat
di luar lebar bersih bangunan bendung dan tipe (d) menggabung pengambilan
dan pembilas dalam satu bidang atas bawah. Perencanaan pembilas dengan
dinding pemisah dan pembilas bawah telah diuji dengan berbagai penyelidikan
model.

4. Kantong lumpur
Kantong lumpur mengendapkan fraksi-fraksi sedimen yang lebih besar dari
fraksi pasir halus tetapi masih termasuk pasir halus dengan diameter butir
berukuran 0,088 mm dan biasanya ditempatkan persis di sebelah hilir
pengambilan. Bahan-bahan yang lebih halus tidak dapat ditangkap dalam
kantong lumpur biasa dan harus diangkut melalui jaringan saluran ke sawah-
sawah. Bahan yang telah mengendap di dalam kantong kemudian dibersihkan
secara berkala. Pembersihan ini biasanya dilakukan dengan menggunakan
aliran air yang deras untuk menghanyutkan bahan endapan tersebut kembali ke
sungai. Dalam hal-hal tertentu, pembersihan ini perlu dilakukan dengan cara
lain, yaitu dengan jalan mengeruknya atau dilakukan dengan tangan.
5. Perkuatan sungai
Pembuatan bangunan perkuatan sungai khusus di sekitar bending untuk
menjaga agar bangunan tetap berfungsi dengan baik, terdiri dari:
a. Bangunan perkuatan sungai guna melindungi bangunan terhadap kerusakan
akibat penggerusan dan sedimentasi. Pekerjaan-pekerjaan ini umumnya
berupa krib, matras batu, pasangan batu kosong dan/atau dinding pengarah.
b. Tanggul banjir untuk melindungi lahan yang berdekatan terhadap genangan
akibat banjir.
c. Saringan bongkah untuk melindungi pengambilan atau pembilas, agar
bongkah tidak menyumbah bangunan selama terjadi banjir.
d. Tanggul penutup untuk menutup bagian sungai lama atau, bila bangunan
bendung dibuat di kopur, untuk mengelakkan sungai melalui bangunan
tersebut.
6. Bangunan-bangunan pelengkap
Bangunan-bangunan atau perlengkapan yang akan ditambahkan ke bangunan
utama diperlukan keperluan:
a. Pengukuran debit dan muka air di sungai maupun di saluran
b. Rumah untuk operasi pintu
c. Peralatan komunikasi, tempat teduh serta perumahan untuk tenaga
operasional, gudang dan ruang kerja untuk kegiatan operasional dan
pemeliharaan
d. Jembatan di atas bendung, agar seluruh bagian bangunan utama mudah di
jangkau, atau agar bagian-bagian itu terbuka untuk umum
e. Instalasi tenaga air mikro atau mini, tergantung pada hasil evaluasi ekonomi
serta kemungkinan hidrolik. Instalasi ini bisa dibangun di dalam bangunan
bendung atau di ujung kantong lumpur atau di awal saluran.
f. Bangunan tangga ikan (fish ladder) diperlukan pada lokasi yang senyatanya
perlu dijaga keseimbangan lingkungannya sehingga kehidupan biota tidak
terganggu. Pada lokasi diluar pertimbangan tersebut tidak diperlukan tangga
ikan.

2.2.3 Bentuk-bentuk Mercu Bendung


Merujuk pada KP-02, untuk menjaga agar kondisi aliran yang melimpah
diatas mercu stabil, bentuk mercu bendung harus direncanakan secara hati-hati dari
segi hidrolis. Dua tipe mercu bendung tetap disungai yang biasa digunakan di
Indonesia adalah tipe mercu bulat dan tipe mercu ogee (gambar 2.6), sebagaimana
diuraikan dibawah ini:

Gambar 2.6 Bentuk-bentuk mercu


(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama (KP-02))

a. Mercu Bulat
Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisiensi debit yang jauh lebih
tinggi (44%) dibandingkan dengan koefisiensi bendung ambang lebar. Pada
sungai, ini akan banyak memberikan keuntungan karena bangunan ini akan
mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisiensi debit
menjadi lebih tinggi karena lengkung streamline dan tekanan negatif pada
mercu. Tekanan pada mercu adalah fungsi perbandingan antara H1 dan r (H1/r)
(gambar 2.7). Untuk bendung dengan dua jari-jari (R2), jari-jari hilir akan
digunakan untuk menemukan harga koefisien debit. Untuk menghindari
bahaya kavitasi lokal, tekanan minimum pada mercu bendung harus dibatasi
sampai 4 m tekanan air jika mercu terbuat dari beton, untuk pasangan batu
tekanan subatmosfir sebaiknya dibatasi sampai 1 m tekanan air.

Gambar 2.7 Bendung dengan mercu bulat


(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama (KP-02))

Dari gambar tampak bahwa jari-jari mercu bendung pasangan batu akan
berkisar antara 0,3 sampai 0,7 kali H1maks dan untuk mercu bending beton dari
0,1 sampai 0,7 kali H1maks
b. Mercu Ogee
Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bending ambang tajam (aerasi).
Oleh karena itu, mercu tidak akan memberikan tekanan sub atmosfer pada
permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana. Untuk
debit yang lebih rendah, air akan memberikan tekanan ke bawah pada mercu.
Bentuk bentuk mercu ogee dapat dilihat pada gambar 2.8.
Gambar 2.8 Bentuk-bentuk bendung mercu ogee
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama (KP-02))

2.3 Beton
Beton adalah salah satu bahan konstruksi yang telah umum digunakan untuk
bangunan gedung, jembatan, jalan, bendung, bendungan dan lain-lain seperti pada
gambar 2.9. Beton merupakan campuran antara semen portland atau semen
hidraulik yang lain, agregat halus, agregat kasar dan air, dengan atau tanpa bahan
tambahan yang membentuk masa padat (SNI 03-2847-2002).
Menurut Kardiyono Tjokrodimulyo (2007) Beton merupakan suatu bahan
komposit (campuran) dari beberapa material, yang bahan utamanya terdiri dari
campuran antara semen, agregat halus, agregat kasar, air dan atau tanpa bahan
tambah lain dengan perbandingan tertentu. Karena beton merupakan komposit,
maka kualitas beton sangat tergantung dari kualitas masing-masing material
pembentuk. Ia mengungkapkan bahwa pada beton yang baik, setiap butir agregat
seluruhnya terbungkus dengan mortar. Demikian pula halnya dengan ruang antar
agregat, harus terisi oleh mortar. Jadi kualitas pasta atau mortar menentukan
kualitas beton. Semen adalah unsur kunci dalam beton, meskipun jumlahnya hanya
7-15% dari campuran. Beton dengan jumlah semen yang sedikit (sampai 7%)
disebut beton kurus (lean concrete), sedangkan beton dengan jumlah semen yang
banyak disebut beton gemuk (rich concrete).
Beton masih merupakan pilihan utama sebagai bahan konstruksi pada saat
ini. Hal itu dikarenakan beragam keunggulannya dibandingkan material lain seperti
kemudahan dalam pengerjaannya (workability), kekohesifan (cohesiveness),
kekuatan yang tinggi dalam memikul beban (strenght) dan keawetan yang baik
(durability) (Mulyono, 2005).

Gambar 2.9 Beton pada Bangunan Bendungan


(Sumber: pxhere.com)

2.3.1 Macam-macam Beton


Menurut Mulyono (2005) secara umum beton dibedakan kedalam 2
kelompok, yaitu:
1. Beton berdasarkan kelas dan mutu beton
a. Beton kelas I
Beton kelas I merupakan beton untuk pekerjaan-pekerjaan non struktutral.
Untuk pelaksanaannya tidak diperlukan keahlian khusus. Pengawasan
mutu hanya dibatasi pada pengawasan ringan terhadap mutu bahan-bahan,
sedangkan terhadap kekuatan tekan tidak disyaratkan pemeriksaan. Mutu
kelas I dinyatakan dengan B0.
b. Beton kelas II
Beton kelas II adalah beton untuk pekerjaan-pekerjaan struktural secara
umum. Pelaksanaannya memerlukan keahlian yang cukup dan harus
dilakukan di bawah pimpinan tenaga-tenaga ahli. Beton kelas II dibagi 6
dalam mutu-mutu standar B1, K-125, K-175, dan K-225. Pada mutu B1,
pengawasan mutu hanya dibatasi pada pengawasan terhadap mutu bahan-
bahan sedangkan terhadap kekuatan tekan tidak disyaratkan pemeriksaan.
Pada mutu-mutu K-125, K-175, dan K-225 dengan keharusan untuk
memeriksa kekuatan tekan beton secara kontinu dari hasil-hasil
pemeriksaan benda uji.
c. Beton kelas III
Beton kelas III adalah beton untuk pekerjaan-pekerjaan struktural yang
lebih tinggi dari K-225. Pelaksanaannya memerlukan keahlian khusus dan
harus dilakukan di bawah pimpinan tenaga-tenaga ahli. Disyaratkan
adanya laboratorium beton dengan peralatan yang lengkap serta dilayani
oleh tenaga-tenaga ahli yang dapat melakukan pengawasan mutu beton
secara kontinu.
2. Beton berdasarkan jenisnya
a. Beton ringan
Beton ringan merupakan beton yang dibuat dengan bobot yang lebih
ringan dibandingkan dengan bobot beton normal. Agregat yang digunakan
untuk memproduksi beton ringan pun merupakan agregat ringan juga.
Agregat yang digunakan umumnya merupakan hasil dari pembakaran
shale, lempung, slates, residu slag, residu batu bara dan banyak lagi hasil
pembakaran vulkanik. Berat jenis agregat ringan sekitar 1900 kg/m3 atau
berdasarkan kepentingan penggunaan strukturnya berkisar antara 1440 –
1850 kg/m3, dengan kekuatan tekan umur 28 hari lebih besar dari 17,2
Mpa.
b. Beton normal
Beton normal adalah beton yang menggunakan agregat pasir sebagai
agregat halus dan batu pecah sebagai agregat kasar sehingga mempunyai
berat jenis beton antara 2200 kg/m3 – 2400 kg/m3 dengan kuat tekan sekitar
15 – 40 Mpa.
c. Beton berat
Beton berat adalah beton yang dihasilkan dari agregat yang memiliki berat
isi lebih besar dari beton normal atau lebih dari 2400 kg/m3. Untuk
menghasilkan beton berat digunakan agregat yang mempunyai berat jenis
yang besar.
d. Beton massa (mass concrete)
Dinamakan beton massa karena digunakan untuk pekerjaan beton yang
besar dan masif, misalnya untuk bendungan, kanal, pondasi, dan jembatan.
e. Ferro-Cement
Ferro-Cement adalah suatu bahan gabungan yang diperoleh dengan cara
memberikan suatu tulangan yang berupa anyaman kawat baja sebagai
pemberi kekuatan tarik dan daktil pada mortar semen.
f. Beton serat (fibre concrete)
Beton serat (fibre concrete) adalah bahan komposit yang terdiri dari beton
dan bahan lain berupa serat. Serat dalam beton ini berfungsi mencegah
retak-retak sehingga menjadikan beton lebih daktil daripada beton normal.

2.3.2 Kelebihan dan Kekurangan Beton


Kelebihan dan kekurangan dari beton menurut Nugraha. P (2007), adalah
sebagai berikut:
1. Kelebihan
a. Dapat dengan mudah mendapatkan material dasarnya (availability).
Agregat dan air pada umumnya bisa didapat dari lokal setempat. Semen
pada umumnya juga dapat dibuat didaerah setempat, bila tersedia. Dengan
demikian, biaya pembuatan relatif murah karena semua bahan bisa didapat
di dalam negeri, bahkan bisa setempat.
b. Kemudahan untuk digunakan (versatility).
c. Kemampuan beradaptasi (adaptability) sehingga beton dapat dicetak
dengan betuk dan ukuran berapapun.
d. Tahan terhadap temperatur tinggi.
e. Biaya pemeliharaan yang kecil karena beton termasuk bahan yang awet.
f. Mampu memikul beban yang berat.
2. Kekurangan
a. Berat sendiri beton yang besar, sekitar 2400 kg/m3.
b. Kekuatan tariknya rendah, meskipun kekuatan tekannya besar.
c. Beton cenderung untuk retak, karena semen nya hidrolis. Baja tulangan
bisa berkarat, meskipun tidak terekspose separah struktur baja.
d. Kualitasnya sangat tergantung cara pelaksanaan di lapangan. Beton yang
baik maupun buruk dapat terbentuk dari rumus dan campuran yang sama.
e. Struktur beton sulit untuk dipindahkan. Pemakaian kembali atau daur
ulang sulit dan tidak ekonomis. Dalam hal ini struktur baja lebih unggul,
misalnya tinggal melepas sambungannya saja.

2.3.3 Sifat-sifat beton


Menurut Mulyono (2005), ada dua hal yang harus dipenuhi dalam
pembuatan beton yaitu pertama sifat-sifat yang harus dipenuhi dalam jangka waktu
lama oleh beton yang mengeras seperti kekuatan (strenght), keawetan (durability),
dan kestabilan volume. Yang kedua sifat yang harus dipenuhi dalam jangka waktu
pendek ketika beton dalam kondisi plastis (workability) atau kemudahan pengerjaan
tanpa adanya bleeding dan segregation.
Kemudahan pengerjaan atau workability pada pekerjaan beton didefinisikan
sebagai kemudahan untuk dikerjakan, dituangkan dan dipadatkan serta dibentuk
dalam acuan (Ilsley, 1942). Kemudahan pengerjaan ini dipengruhi oleh
perbandingan bahan-bahan dan sifat bahan pembentuk beton dan diindikasikan
melalui nilai slump. Maka sifat ini dapat dijabarkan kedalam sifat-sifat yang lebih
spesifik, yaitu:
1. Sifat kemampuan untuk dipadatkan (compactibility).
2. Sifat kemampuan untuk dialirkan (mobility).
3. Sifat kemampuan untuk tetap dapat bertahan seragam (stability).
Bleeding adalah peristiwa pemisahan/naiknya air campuran beton segar
yang baru dipadatkan. Air naik kepermukaan beton dengan membawa semen dan
butir-butir pasir halus, yang kemudian membentuk lapisan/selaput yang disebut
laitance. Sedangkan segregation adalah kecenderungan pemisahan bahan-bahan
pembentuk beton yang menyebabkan keropos pada beton. Neville (2011)
berpendapat bahwa terdapat dua bentuk segrasi beton segar, yaitu:
1. Partikel yang kasar cenderung memisahkan diri dari partikel yang lebih halus.
2. Terpisahnya air semen dari adukan.
2.4 Pengendalian Mutu Beton
Pengendalian mutu dalam suatu proyek merupakan hal yang penting, sebab
akan menentukan kualitas dari hasil pelaksanaan apakah telah sesuai dengan
spesifikasi yang telah ditentukan. Kualitas dari hasil pekerjaan teknis pada suatu
proyek, salah satunya dipengaruhi oleh kualitas bahan atau material yang sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
Beton memiliki sifat kuat tekan yang cenderung bervariasi (tidak seragam)
dari adukan yang satu ke adukan yang berikutnya. Besarnya variasi itu tergantung
pada beberapa faktor dari proses pelaksanaan, antara lain:
1. Variasi mutu bahan (kualitas bahan),
2. Variasi hasil pencampuran,
3. Variasi hasil pengadukan,
4. Stabilitas pekerja, dan lainnya.
Untuk mengantisipasi hal tersebut guna menghindari terjadinya
pengulangan pekerjaan dan perbaikan pekerjaan yang merugikan banyak pihak
terkait, maka perlu dilakukan pengendalian terhadap mutu beton (quality control)
agar diperoleh kuat tekan yang hampir seragam dan memenuhi kuat tekan yang
disyaratkan dalam rencana kerja dan syarat-syarat serta memenuhi standar.
Tahapan-tahapan dalam pengendalian mutu beton dilakukan sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu antara lain:
1. Pengendalian mutu bahan
Pengendalian mutu bahan mencakup pengujian agregat halus (pasir) maupun
agregat kasar (split), pemilihan jenis semen, dan penggunaan air. Pengujian
agregat terdiri dari:
a. Analisis saringan
Analisis saringan agregat adalah suatu kegiatan analisis yang digunakan
untuk menentukan persentase berat butiran agregat yang lolos dalam suatu
set saringan, yang angka persentase kumulatif digambarkan pada grafik
pembagian butir. Untuk mencari nilai persen lolos, maka harus mencari
terlebih dahulu nilai persen tertahan agregat yang didapat dengan
menggunakan rumus 2.1.
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑇𝑒𝑟𝑡𝑎ℎ𝑎𝑛
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑎ℎ𝑎𝑛 = × 100 % (2.1)
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑔𝑟𝑒𝑔𝑎𝑡

Lalu nilai persen tertahan digunakan untuk mencari nilai persen lolos
dengan menggunakan rumus 2.2.

𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑙𝑜𝑙𝑜𝑠 = 100 % − 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑎ℎ𝑎𝑛 (2.2)

Setelah mendapat nilai persen lolos agregat pada masing-masing saringan


yang digunakan, kemudian nilai tersebut digambarkan pada grafik kurva
gradasi agregat untuk mengetahui apakah memenuhi batas maksimum
minimum spesifikasi.
b. Pemeriksaan berat volume
Pemeriksaan berat volume bertujuan untuk menghitung berat volume
agregat halus, maupun kasar. Berat volume agregat ini artinya
perbandingan antara berat agregat dengan besar volumenya. Untuk
mendapatkan nilai berat volume digunakan rumus 2.3 dan 2.4.
𝑊1
𝑊= (2.3)
𝑊2
𝑊
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 = (2.4)
𝑉

Dimana:
W = Berat Sampel
W1 = Berat Cawan
W2 = Berat sampel + cawan
V = Volume cawan

c. Pemeriksaan berat jenis dan penyerapan air


Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menentukan berat jenis (Bulk Specific
Grafity) agregat serta kemampuannya menyerap air. Untuk mendapatkan
nilai berat jenis digunakan rumus 2.5, 2.6 dan 2.7 sedangkan nilai
penyerapan air menggunakan rumus 2.8.
𝑚 = 𝑚1 − 𝑚2 (2.5)
𝑚𝑠
𝐷𝑠 = (2.6)
(𝑚𝑠 − 𝑚2 )
𝑚𝐷
𝐷𝑑 = (2.7)
(𝑚𝑠 − 𝑚2 )
(𝑚𝑠 − 𝑚𝐷 )×100
𝑄= 𝑚𝐷
(2.8)
Dimana:
m = Berat cawan
m1 = Berat sampel setelah direndam air + cawan
m2 = Berat sampel setelah direndam air
ms = Berat sampel
mD = Berat sampel setelah dikeringkan
Ds = Berat jenis kering permukaan jenuh (SSD)
Dd = Berat jenis kering (Bulk)
Q = Persen Penyerapan Air

d. Pemeriksaan kadar air


Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan kadar air yang dikandung
oleh agregat dengan cara pengeringan. Kadar air agregat yaitu
perbandingan antara berat air yang terkandung dalam agregat dengan
agregat dalam keadaan kering. Nilai kadar air ini digunakan untuk koreksi
takaran air untuk campuran beton yang disesuaikan dengan kondisi agregat
di lapangan. Untuk mendapatkan nilai kadar air digunakan rumus 2.9, 2.10
dan 2.11
𝑊𝑤 = 𝑊𝑊 − 𝐷𝑊 (2.9)
𝑊𝑠 = 𝐷𝑊 − 𝑇𝑊 (2.10)
𝑊𝑤
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 = × 100 % (2.11)
𝑊𝑠

Dimana:
Ww = Berat air
WW = Berat agregat basah + cawan
DW = Berat agregat kering + cetakan
TW = Berat cawan
Ws = Berat agregat kering

e. Pemeriksaan kadar lumpur.


Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan persentasi kadar lumpur
dalam agregat. Kandungan lumpur yang diizinkan SNI 03-4428-1997
yaitu sebesar 5% dari berat agregat. Untuk mendapatkan nilai kadar
lumpur digunakan rumus 2.12.
(𝑀𝑑1 − 𝑀𝑑2 )
𝐶= × 100 % (2.12)
𝑀𝑑1

Dimana:
C = Kadar Lumpur
Md1 = Berat sampel kering sebelum uji
Md2 = Berat sampel kering setelah uji
2. Pengendalian campuran dan adukan beton
Pencampuran beton dilakukan berdasarkan desain campuran beton (mix
design). Pengadukan beton dikerjakan dengan memakai mesin pengaduk dan
lamanya pengadukan tergantung dari kapasitas mesin pengaduk.
3. Perawatan beton
Perawatan beton dilakukan setelah beton mencapai final setting artinya beton
telah mengeras. Perawatan ini dilakukan, agar proses hidrasi selanjutnya tidak
mengalami gangguan.
4. Pengujian beton
Pengujian beton dilakukan pada saat beton masih dalam kondisi plastis (segar)
dan beton yang sudah jadi (sudah mengeras). Pengujian pada beton segar yaitu
pengujian slump, sedangkan pengujian pada beton jadi/keras yaitu pengujian
kuat tekan beton.
a. Pengujian slump
Uji Slump (gambar 2.10) adalah suatu uji empiris/metode yang digunakan
untuk menentukan konsistensi/kekakuan (dapat dikerjakan atau tidak) dari
campuran beton segar (fresh concrete) untuk menentukan tingkat
workability nya. Kekakuan dalam suatu campuran beton menunjukkan
berapa banyak air yang digunakan. Untuk itu uji slump menunjukkan
apakah campuran beton kekurangan, kelebihan, atau cukup air. Uji slump
merupakan hasil pengurangan dari tinggi cetakan dan tinggi rata-rata
benda uji.

Gambar 2.10 Uji Slump


(Sumber: theconstructor.org)
b. Pengujian kuat tekan beton
Pengujian kuat tekan beton (gambar 2.11) bertujuan untuk menentukan
kekuatan benda uji berbentuk silinder yang dibuat dan dirawat
dilabolatorium. Kuat tekan beton merupakan besarnya beban per satuan
luas, yang menyebabkan benda uji beton hancur bila dibebani dengan gaya
tekan tertentu, yang dihasilkan oleh mesin tekan.

Gambar 2.10 Uji Kuat Tekan Beton


(Sumber: arsitektura.blogspot.com)

2.5 Manajemen Proyek


Manajemen proyek menurut Kerzner (2013) adalah merencanakan,
mengorganisir, memimpin, dan mengendalikan sumber daya perusahaan untuk
mencapai sasaran jangka pendek yang telah ditentukan. Sementara menurut PMI
(2008) manajemen proyek merupakan aplikasi dari ilmu pengetahuan, skill, tools,
dan teknik untuk aktivitas suatu proyek dengan maksud memenuhi atau melampaui
kebutuhan dan harapan dari sebuah proyek.
Manajemen suatu proyek bertujuan untuk menyelesaikan proyek sesuai
batas waktu dan biaya yang telah direncanakan dengan kualitas bangunan yang
optimal. Oleh sebab itu perlu adanya kerja sama yang baik antar unsur pendukung
dalam melaksanakan tugas dan kewajiban berdasarkan batas ruang lingkup dan
wewenang masing-masing mutlak diperlukan, dan merupakan modal dasar dari
kelangsungan suatu proyek menuju keberhasilan.
Ada 3 (tiga) aspek manajemen yang menjadi acuan keberhasilan dari
manajemen yaitu manajemen mutu, waktu (jadwal), dan biaya (anggaran),
hubungan ketiga aspek tersebut disebut triple constraint seperti yang ditunjukkan
pada gambar 2.11. Sistem manajemen yang diterapkan pada suatu proyek akan
mempengaruhi kelancaran pekerjaan, efisien waktu, dan efisien biaya.
Gambar 2.11 Triple Constraint
(Sumber: Utomo et all, 2002)

1. Anggaran (biaya)
Proyek harus di selesaikan dengan biaya yang tidak melebihi anggaran. Untuk
proyek-proyek yang melibatkan dana dalam jumlah besar dan jadwal bertahun-
tahun anggarannya bukan hanya ditentukan untuk total proyek tetapi di pecah
bagi komponen-komponennya, atau perperiode tertentu (misalnya per kwartal)
yang jumlahnya disesuaikan dengan keperluan. Dengan demikian,
penyelesaian bagian-bagian proyek pun harus memenuhi sasaran anggaran per
periode.
2. Jadwal (waktu)
Proyek harus dikerjakan sesuai dengan kurun waktu dan tanggal akhir yang
telah ditentukan. Bila hasil akhir adalah produk baru, maka penyerahan tidak
boleh melewati batas waktu yang ditentukan.
3. Mutu
Produk atau hasil kegiatan proyek harus memenuhi sepesifikasi dan kriteria
yang dipersyaratkan. Kriteria yang harus dipenuhi adalah perusahaan harus
mampu beroprasi secara memuaskan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Setiap keputusan yang diambil akan mempengaruhi keseluruhan kerja
proyek, sehingga dibutuhkan kemampuan pengambilan keputusan yang mampu
memandang perspektif proyek. Dalam manajemen proyek diperlukan suatu
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemrosesan (actuating),
dan pengecekan (controlling).
2.6 Organisasi Pengelola Proyek
Pola dasar hubungan kerja antara unsur-unsur pelaksana pembangunan atau
organisasi pengelola proyek berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003 ditunjukkan
pada gambar 2.

Gambar 2.11 Triple Constraint


(Sumber: Utomo et all, 2002)

Menurut Keppres No.80 tahun 2003, unsur-unsur pengelola dalam suatu


proyek terdiri dari pemberi tugas sebagai pengguna jasa serta perencana, pengawas,
dan kontraktor (pemborong) sebagai penyedia jasa. Unsur-unsur tersebut memiliki
hubungan yang mengikat, yaitu hubungan kontrak dan hubungan fungsional
(peraturan pelaksanaan). Hubungan kontrak merupakan hubungan yang berkaitan
dengan aspek legalitas/hukum antara pihak-pihak yang terlibat dalam proyek,
sedangkan hubungan fungsional merupakan hubungan yang berkaitan dengan
koordinasi/kerja sama dalam melakukan pekerjaan.
Pemberi tugas (penyedia jasa) memiliki hubungan kontrak dengan perencana
dimana pemberi tugas menyediakan biaya perencanaan dan perencana yang
memberikan jasa. Sama halnya antara pemberi tugas dengan kontraktor yang juga
memiliki hubungan kontrak, dimana pemberi tugas menyediakan biaya pelaksanaan
dan kontraktor yang melaksanakan pekerjaan. Sedangkan hubungan antara
perencana dan kontraktor yaitu terikat hubungan fungsional (peraturan
pelaksanaan), dimana perencana yang memberikan persyaratan, arahan, dan
sebagainya dalam konstruksi dan kontraktor yang merealisasikan. Semua unsur
tersebut diatur oleh pemerintah dengan undang-undang dan peraturan pemerintah.
Bentuk-bentuk organisasi proyek pada umumnya menurut Project
Management Body of Knowledge (PMBOK) (2013) adalah sebagai berikut:
1. Organisasi fungsional
Organisasi fungsional merupakan organisasi klasik yang setiap staf/tenaga
kerjanya memiliki satu atasan. Anggota staf dikelompokkan dalam
spesialisasi, seperti bagian produksi, pemasaran, teknik, akunting, dan setiap
staf memiliki wewenang dan tanggung jawab yang jelas. Menurut Iman
Soeharto (l997) dalam Widiasanti & Leggogeni (2013), organisasi fungsional
memiliki keuntungan dalam kemudahan pengawasan dan penyeliaan karena
setiap anggota./staf hanya melapor ke satu pimpinan. Di samping itu, setiap
staf memiliki kesempatan untuk meningkatkan keterampilan dan keahliannya
karena konsentrasi staf yang terpusat pada bidang keahliannya. Organisasi
jenis ini juga memudahkan dalam pengendalian kinerja staf.
Di sisi lain, kesulitan yang dihadapi pada bentuk, organisasi ini antara lain
adalah adanya kecenderungan mengutamakan kineria dan keluaran hanya
pada masing-masing bidang sehingga mengurangi perhatian terhadap
sasaran/tujuan proyek secara keseluruhan. Kerugian lain adalah, jika
organisasi cukup besar, dapat terjadi distorsi informasi yang diselesaikan oleh
makin panjangnya rantai pengambilan keputusan. Bentuk organisasi ini dapat
dilihat pada Gambar 2.2.

Project Coordination Chief


Executive

Functional Functional Functional


Manager Manager Manager

Staff Staff Staff

Staff Staff Staff

Staff Staff Staff


(Gray boxes represent staff engaged in project activities)
Gambar 2.2. Organisasi fungsional
(Sumber: PMBOK dalam Widiasanti & Leggogeni, 2013)
2. Organisasi proyek murni
Pada bentuk organisasi ini, terdapat beberapa manajer proyek yang
membawahi staf-staf dan merupakan satu koordinasi. Sebagian besar sumber daya
organisasi terserap pada pekerjaan proyek dan manajer proyek memiliki kekuasan
penuh dalam pengambilan keputusan. Jenis organisasi ini sering juga memiliki unit-
unit kecil organisasi yang disebut departemen, tetapi kelompok unit ini tetap
memberikan laporan langsung ke proyek manajer. Bentuk organisasi proyek ini
dilihat pada Gambar 2.3.

Project Coordination Chief


Executive

Project Project Project


Manager Manager Manager

Staff Staff Staff

Staff Staff Staff

Staff Staff Staff

(Gray boxes represent staff engaged in project activities)


Gambar 2.3. Organisasi proyek murni
(Sumber: PMBOK dalam Widiasanti & Leggogeni, 2013)

3. Organisasi matrik
Organisasi matrik merupakan bentukan baru dari organisasi fungsional dan
organisasi proyek. Bentukan organisasi baru yang beranggotakan staf dari setiap
fungsi yang ada disebut organisasi matrik lemah. organisasi matrik lemah (Gambar
2.4.) mengatur banyak karakteristik dari organisasi fungsional dan manajer proyek
lebih bersifat sebagai koordinator dari pada sebagai manajer. Bentukan baru ini
nantinya akan menjadi sebuah tim proyek yang ditugaskan untuk mengelola proyek
konstruksi di lapangan.
Kelemahan bentuk organisasi ini adalah tim yang dibentuk semuanya
memiliki kualifikasi staff bukan manajer sehingga kemampuan manajeriaheya
sangat terbatas. Sebagai kebalikan dari organisasi matrik lemah, maka organisasi
matrik kuat memiliki banyak karakteristik dari organisasi proyek dan dapat
memiliki manajer proyek secara penuh dengan otoritas yang dapat
dipertimbangkan, dan juga memiliki staf administrasi proyek sendiri. Bentuk
organisasi matrik kuat dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Chief
Executive

Funtsional Funtsional Funtsional


Manager Manager Manager

Staff Staff Staff

Staff Staff Staff

Project Manager Staff Staff

Project Coordination

(Gray boxes represent staff engaged in project activities)

Gambar 2.4. Organisasi matrik lemah


(Sumber: PMBOK dalam Widiasanti & Leggogeni, 2013)

Chief
Executive

Funtsional Funtsional Funtsional


Manager Manager Manager

Staff
Manager of
Project Managers

Staff

Staff

Project Manager

Project Coordination
(Gray boxes represent staff engaged in project activities)
Gambar 2.5. Organisasi matrik kuat
(Sumber: PMBOK, 2013)

2.7 Proses Pengadaan Jasa


Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan
Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD yang
prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan.
Penyedia Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia adalah Pelaku
Usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan kontrak. (Perpres No.54 tahun
2010 pasal 1 ayat 1 dan 12).
Pengadaan jasa dilaksanaan dengan cara yang telah diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 54 tahun 2010 yang telah dirubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 04 tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden
nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Petunjuk teknis
pelaksanaan Peraturan Presiden tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Kepala
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) antara lain Perka
LKPP nomor 14 tahun 2012. Berdasarkan ketentuan tersebut pengadaan jasa
pemerintah dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Dilaksanakan dengan cara swakelola,
Pengadaan dengan cara swakelola adalah pengadaan dimana kegiatan
pengadaan (cara memperoleh barang/jasa) direncanakan, dilaksanakan, dan
diawasi sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah,
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain, Organisasi Masyarakat atau
Kelompok Masyarakat sebagai penanggung jawab anggaran.
2. Dilaksanakan dengan cara melalui penyedia barang/jasa.
Pengadaan melalui penyedia barang/jasa adalah Pengadaan Barang/Jasa dimana
pekerjaannya dikerjakan oleh pihak ketiga sebagai penyedia barang/jasa.
Jenis-jenis kontrak dalam Pengadaan Barang/Jasa yang diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010, meliputi:
1. Kontrak berdasarkan cara pembayaran;
a. Kontrak Lump Sum
Kontrak Lump Sum merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa atas
penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu sebagaimana
ditetapkan dalam kontrak.
b. Kontrak Harga Satuan
Kontrak Harga Satuan merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa atas
penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu yang telah ditetapkan
c. Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan
Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan adalah Kontrak yang
merupakan gabungan Lump Sum dan Harga Satuan dalam 1 (satu)
pekerjaan yang diperjanjikan.
d. Kontrak Persentase
Kontrak Persentase merupakan Kontrak Pengadaan Jasa Konsultansi/Jasa
Lainnya dimana Penyedia Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya menerima
imbalan berdasarkan persentase dari nilai pekerjaan tertentu.
e. Kontrak Terima Jadi (Turnkey)
Kontrak Terima Jadi (Turnkey) merupakan Kontrak Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya atas penyelesaian seluruh
pekerjaan dalam batas waktu tertentu
2. Kontrak berdasarkan pembebanan Tahun Anggaran;
a. Kontrak Tahun Tunggal
Kontrak Tahun Tunggal merupakan Kontrak yang pelaksanaan
pekerjaannya mengikat dana anggaran selama masa 1 (satu)Tahun
Anggaran.
b. Kontrak Tahun Jamak
Kontrak Tahun Jamak merupakan Kontrak yang pelaksanaan
pekerjaannya untuk masa lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran atas beban
anggaran, yang dilakukan setelah mendapatkan persetujuan.
Metode pemilihan kontraktor atau penyedia barang/jasa pada pekerjaan
konstruksi menurut Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010, antara lain sebagai
berikut:
1. Pelelangan Umum adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya untuk semua pekerjaan yang dapat diikuti oleh semua
Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang memenuhi syarat.
2. Pelelangan Terbatas adalah metode pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi
untuk Pekerjaan Konstruksi dengan jumlah Penyedia yang mampu
melaksanakan diyakini terbatas dan untuk pekerjaan yang kompleks.
3. Pemilihan Langsung adalah metode pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi
untuk pekerjaan yang bernilai paling tinggi Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
4. Penunjukan Langsung adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa dengan
cara menunjuk langsung 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa.

2.8 Proses Perencanaan dan Dokumen


Untuk mencapai suatu tujuan, suatu proyek diharuskan memiliki
perencanaan yang matang yaitu dengan meletakkan dasar tujuan dan sasaran dari
suatu proyek sekaligus menyiapkan segala program teknis dan dokumen
administrasi agar dapat diimplementasikan. Tujuannya agar memenuhi persyaratan
spesifikasi yang ditentukan dalam batasan waktu, mutu, biaya, dan keselamatan
kerja (Dimyati & Nurjaman, 2014).
Berikut beberapa argumen mengapa perencanaan menjadi satu hal penting
dalam manajemen proyek:
1. Menghilangkan atau mengurangi ketidakpastian. Dengan perencanaan yang
baik maka apa yang harus dikerjakan, kapan mengerjakannya, dan sumber daya
apa yang diperlukan, dan apa yang menjadi target dari kegiatan
tersebut menjadi jelas bagi setiap orang.
2. Efisiensi operasi, perencanaan yang baik maka kegiatan-kegiatan yang tidak
jelas dan yang membutuhkan sumber daya dapat dieleminasi.
3. Mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang tujuan proyek. Perencanaan
yang baik akan memuat tujuan dari proyek. Dengan adanya tujuan tersebut
maka semua pihak yang terlibat mengetahui dan memahami kemana setiap
kegiatan harus diarahkan.
4. Memberikan dasar bagi pekerjaan monitoring dan pengendalian. Kegiatan
monitoring dan pengendalian hanya bisa dilakukan dengan efektif bila ada
acuan. Hal-hal yang termuat dalam rencana seperti kegiatan, waktu dan
sumberdaya dapat menjadi acuan untuk memonitor dan mengevaluasi proyek.
Orang yang menjadi pimpinan pekerjaan proyek harus mendapat wewenang
untuk melakukan perencanaan, membuat jadwal dan anggaran. Langkah-langkah
perencanaan meliputi:
1. Penentuan tujuan proyek dan kebutuhan-kebutuhan untuk mencapai tujuan
tersebut.
2. Mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan apa yang diperlukan untuk mencapai
tujuan itu dan bagaimana urutan pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut.
3. Organisasi proyek dirancang untuk menentukan departemen-departemen yang
ada, subkontraktor yang diperlukan dan manajer-manajer yang bertanggung
jawab terhadap aktivitas pekerjaan yang ada.
4. Jadwal untuk setiap aktivitas. Kapan aktivitas dimulai dan kapan aktivitas harus
sudah selesai.
5. Mempersiapkan anggaran dan sumberdaya yang diperlukan untuk
melaksanakan setiap aktivitas.
6. Mengestimasi waktu, biaya dan performansi penyelesaian proyek.

2.9 Proses Seleksi dan Penunjukan Kontraktor


Proses pengadaan kontraktor adalah serangkaian kegiatan yang dimulai dari
identifikasi kebutuhan jasa kontraktor oleh pemilik, mempersiapkan paket
pelelangan, melakukan proses pelelangan, sampai ditandatanganinya kontrak untuk
menangani implementasi fisik proyek. Mengingat besarnya sumber daya yang
terlibat berikut risiko yang dihadapi, maka dalam usaha untuk mendapatkan
kontraktor yang terbaik, perlu dilakukan proses seleksi yang ketat.
Proses pelaksanaan pengadaan kontraktor yang sebagian/seluruhnya
dibiayai APBN/APBD, PHLN, BHMN, BUMN, BHMD diatur dengan Perpres
No.54 tahun 2010, dengan tujuan agar pelaksanaan dilakukan secara efisien, efektif,
terbuka, dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel (harus
mencapai sasaran, baik fisik, keuangan, maupun manfaat bagi kelancaran
pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pelayanan masyarakat). Pengadaan
kontraktor yang menggunakan metode penunjukan langsung, pelelangan terbatas,
dan pemilihan langsung, sebelum memasukkan penawaran perserta wajib
mengikuti prakualifikasi yaitu proses penilaian kompetisi dan kemampuan usaha
serta pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan. Setelah memasukkan
penawaran peserta lelang harus mengikuti pascakualifikasi yaitu proses penilaian
kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan.
Secara umum proses seleksi dan penunjukan kontraktor diurutkan sebagai berikut:
1. Pengumuman lelang pengadaan barang dan jasa
2. Pendaftaran dan pengambilan dokumen kualifikasi
3. Penjelasan pekerjaan
4. Pemasukan penawaran
5. Pembukaan penawaran
6. Evaluasi, kualifikasi, dan klarifikasi penawaran
7. Pembuktian data isian kualifikasi
8. Penetapan dan pengumuman pemenang
9. Penunjukan pemenang
10. Penandatanganan kontrak

2.10 Dokumen Kontrak


Sesuai Pasal 22 Peraturan Pemerintah 29 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya
memuat dokumen-dokumen yang meliputi:
1. Surat Perjanjian,
2. Dokumen Lelang,
3. Usulan atau Penawaran,
4. Berita Acara berisi kesepakatan antar pengguna jasa dan penyedia jasa selama
proses evaluasi oleh pengguna jasa antara lain klarifikasi atas hal-hal yang
menimbulkan keragu-raguan,
5. Surat Perjanjian dari pengguna jasa menyatakan menerima atau menyetujui
usulan penawaran dari penyedia jasa,
6. Surat pernyataan dari penyedia jasa yang menyatakan kesanggupan untuk
melaksanakan pekerjaan.
Dokumen kontrak untuk pekerjaan-pekerjaan konstruksi jalan dan jembatan
dengan sistem Pelelangan Nasional (National/Local Competitive Bidding) dalam
urutan prioritas terdiri dari:
1. Surat Perjanjian termasuk Adendum Kontrak (bila ada),
2. Surat Penunjukan Pemenang Lelang,
3. Surat Penawaran,
4. Adendum Dokumen Lelang,
5. Data Kontrak,
6. Syarat-syarat Kontrak,
7. Spesifikasi,
8. Gambar-gambar,
9. Daftar kuantitas dan harga yang telah diisi harga penawarannya,
10. Dokumen lain yang tercantum dalam Data Kontrak
Keppres N0.80 Tahun 2003 memuat ketentuan mengenai dokumen kontrak
sebagai berikut yang terdiri dari:
1. Surat Perjanjian,
2. Syarat-syarat Umum Kontrak,
3. Syarat-syarat Khusus Kontrak,
4. Dokumen Lainya Yang Merupakan Bagian Dari Kontrak yang terdiri dari:
a. Surat penunjukan,
b. Surat penawaran,
c. Spesifikasi khusus,
d. Gambar-gambar,
e. Adenda dalam proses pemilihan yang kemudian dimasukkan di masing-
masing substansinya,
f. Daftar kuantitas dan harga (untuk kontrak harga satuan),
g. Dokumen lainnya.

2.11 Standar dan Peraturan


Beberapa standar yang menjadi pedoman dalam perencanaan/konstruksi
untuk menenentukan mutu/spesifikasi serta standar pelaksanaan konstruksi
bendung adalah sebagai berikut:
1. Standar Perencanaan Bendung
 Kriteria Perencanaan bagian Jaringan Irigasi (KP – 01) Kementrian
Pekerjaan Umum, 2013
 Kriteria Perencanaan bagian Bangunan Utama (Head Works) (KP – 02),
Kementrian Pekerjaan Umum, 2013
 SNI 03 – 1724 – 1989 Pedoman dan perencanaan hidrologi dan hidraulik
untuk bangunan di sungai.
 SNI 03-2401-1991 Tata cara perencanaan umum bendung
2. Standard Penetration Test (SPT)
 SNI 03-2436, Metode pencatatan dan interpretasi hasil pemboran inti
3. Pekerjaan besi
 SNI 07-2052-2002, Baja tulangan beton
4. Pekerjaan beton
 SNI 03-2847-2002, Tata cara perhitungan struktur beton
 SNI 03-1968-1990, Metode pengujian tentang analisis saringan agregat
halus dan kasar.
 SNI 03-1972-1990, Metode pengujian slump beton.
 SNI 03-1974-1990, Metode pengujian kuat tekan beton.
5. Bahan tambah kimia (admixture) berupa Air entraining admixtures (AEA) dan
Water reducing admixtures (WRA)
 ASTM C260 atau JIS A6204
6. Elastic Bridge Bearing Pad
 SNI 03-4816-1998 spesifikasi bantalan karet untuk jembatan
 AASHTO M. 251 1997, standard specification for plai and laminated
elastomic bridge bearing
 ASTM D 412, test method for vulcanized rubber and thermoplastic
rubbers and thermoplastic elastomers tension
 ASTM D 4014, Specification for plain, and steel-laminated elastomeric
bearings for bridges

Sedangkan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi dalam pelaksanaan


konstruksi adalah sebagai berikut:
1. PBI 1971, Peraturan Beton Bertulang Indonesia
2. Undang-undang No.18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi
3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Buku III tentang perikatan)
4. Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden No. 04 Tahun
2015 beserta petunjuk teknisnya.
5. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi. Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.79
Tahun 2015
6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 07/PRT/M/2011 Tentang Standar
dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultasi,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri PU Nomor
14/PRT/M/2013 dan Peraturan Menteri PU Nomor 07/PRT/M/2014 dan
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri PU Nomor 31/PRT/M/2015.

Anda mungkin juga menyukai