Anda di halaman 1dari 26

Refarat

ENOSIMANIA

Oleh:

Novita Limbu Tasik

15014101309

Masa KKM: 30 Oktober 2017 – 26 November 2017

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2017

1
Refarat dengan Judul

ENOSIMANIA

Telah dibacakan dan dikoreksi pada tanggal November 2017

Pembimbing

Dr. dr. Theresia M. D. Kaunang, Sp.KJ (K)

2
BAB I

PENDAHULUAN

Kesehatan mental merupakan suatu keadaan yang sehat dimana dipengaruhi

faktor fisik, mental, dan sosial sehingga dapat mampu menjalankan fungsi kehidupan

termasuk didalam intelektual, emosi, dan rohani.1 Orang yang sehat jiwanya adalah

orang yang merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapai tantangan hiup, dapat

menerima orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri

sendiri dan orang lain.2

Gangguan jiwa adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang karena

hubungannya dengan orang lain, kesulitan bisa karena persepsinya tentang kehidupan

dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri dalam cara berpikir, kemauan, emosi,

tindakan. Gejala utama atau gejala yang menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada

unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di somatogenik, lingkungan

sosial ataupun psikis.2 Sebagian besar gangguan jiwa adalah penyakit kronis dengan

prevalensi yang tinggi, tingkat keparahan tinggi, meningkatnya kekambuhan, cacat

dan tinggi biaya ekonomi. 3

Fobia dalam arti klinis adalah bentuk paling umum dari gangguan

kecemasan. Fobia adalah suatu ketakutan yang tidak rasional yang menyebabkan

penghindaran yang disadari terhadap objek, aktivitas, atau situasi yang ditakuti.

Adanya atau diperkirakan akan adanya situasi fobik menimbulkan ketegangan hebat

pada orang yang terkena, yang mengetahui bahwa reaksi yang ditimbulkan

3
berlebihan. Reaksi fobik menyebabkan suatu gangguan pada kemampuan seseorang

untuk berfungsi di dalam kehidupannya.2

Fobia lebih sering dikaitkan dengan amigdala yaitu suatu wilayah otak yang

terletak di belakang hipofisis dalam sistem limbik. Amigdala mengeluarkan hormon

yang mengontrol ketakutan dan agresi. Ketika rasa takut atau respon agresi dimulai,

amigdala melepaskan hormon ke dalam tubuh untuk membuat tubuh manusia

menjadi suatu tanda dimana mereka siap untuk bergerak, berlari, berkelahi, dan lain-

lain. Hal ini merupakan mekanisme defensif dan respons secara umum disebut dalam

psikologi sebagai fight or flight response.2,4

Sebuah studi di Amerika oleh National Institute of Mental Health (NIMH)

menemukan bahwa antara 8,7% sampai 18,1% dari orang Amerika menderita fobia.

Dilihat dari segi usia dan gender fobia merupakan penyakit mental yang paling umum

dikalangan wanita pada semua kelompok usia dan yang penyakit kedua paling umum

diantara pria yang lebih tua dari 25 tahun.4

Penelitian epidemiologis baru-baru ini telah menemukan bahwa fobia adalah

gangguan mental tunggal yang paling sering terjadi di Amerika Serikat. Diperkirakan

5 sampai 10 populasi menderita gangguan yang mengganggu dan kadang-kadang

menimbulkan ketidakberdayaan tersebut. Penderitaan yang berhubungan dengan

fobia, khususnya jika keadaan tersebut tidak dikenali atau dianggap sebagai gangguan

mental dapat menyebabkan komplikasi psikiatrik lain, termasuk gangguan kecemasan

lain, gangguan depresi berat, dan gangguan berhubungan zat, khususnya gangguan

4
penggunaan alkohol. Deteksi dini adanya fobia sangat penting karena fobia seringkali

responsif terhadap pengobatan dengan farmakoterapi spesifik, termasuk obat trisiklik,

inhibitor monoamine oksidase, dan antagonis reseptor beta adrenergik.5

Selain agorafobia, menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders edisi kelima (DSM-V) terdapat dua fobia lainnya yaitu fobia spesifik dan

fobia sosial. Fobia spesifik dinamakan fobia sederhana dalam DSM edisi ketiga yang

revisi (DSM-III-R). Fobia sosial juga disebut gangguan kecemasan sosial, ditandai

oleh ketakutan yang berlebihan terhadap penghinaan dan rasa memalukan di dalam

berbagai lingkungan sosial, seperti berbicara di depan umum. Tipe umum fobia sosial

seringkali suatu keadaan yang kronis dan menimbulkan ketidakberdayaan yang

ditandai oleh penghindaran fobik terhadap masalah besar dalam situasi sosial. Jenis

fobia sosial tersebut mungkin sulit dibedakan dari gangguan kepribadian

menghindar.2,4

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gangguan panik ditandai dengan adanya serangan panik yang tidak

diduga dan spontan yang terdiri atas periode rasa takut yang intens dan

bervariasi dari sejumlah serangan sepanjang hari sampai hanya sedikit

serangan selama satu tahun. Setiap episode berlangsung sekitar 15-30 menit,

meskipun efek sisa dapat berlangsung lebih lama. Serangan panik dapat

terjadi secara spontan atau sebagai respon terhadap situasi tertentu.6

Serangan panik sering disertai agoraphobia, yaitu rasa takut sendirian

ditempat umum teutama tempat yang sulit untuk keluar dengan cepat saat

terjadi serangan panik.6 Perlu diperhatikan bahwa serangan panik dapat terjadi

pada gangguan anxietas lain seperti pada fobia dan gangguan stres

pascatrauma. Karena itu, perlu dengan teliti membedakan ciri-ciri gangguan

tersebut dengan gangguan panik.7

Fobia adalah rasa takut yang irasional, intens, terus menerus takut pada

situasi tertentu, kegiatan, benda atau orang. Gejala utama gangguan ini adalah

takut yang berlebihan, tidak masuk akal, dan keinginan untuk menghindari

subjek yang ditakuti. Ketika rasa takut berada di luar kendali seseorang dan

jika rasa takut tersebut mengganggu kehidupan sehari-hari, maka diagnosis di

bawah salah satu gangguan kecemasan dapat dibuat.8

6
Fobia sosial merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya

kecemasan ketika berhadapan dengan situasi sosial atau melakukan performa

di depan umum. Ketika kondisi pemicu, orang secara fisik tidak dapat

mengosongkan kandung kemih. Agoraphobia – gangguan kecemasan, sering

dipicu oleh rasa takut akan mengalami serangan panik dalam lingkungan yang

tidak ada cara mudah melarikan diri.9

Enosimania adalah tekanan untuk berpikir diri seseorang telah

melakukan kesalahan atau dikritik yang tidak bisa dimaafkan, dikenal juga

dengan beberapa nama lain seperti enissophobia, enosiophobia, yaitu takut

melakukan kesalahan besar dan takut kritikan. Enosimania ini mungkin dalam

beberapa hal bisa positif karena akan menimbulkan sikap kehati-hatian,

perfect, dan lainnya. Namun kalau berlebihan maka akan membuat diri

menjadi tidak nyaman. Penderita percaya bahwa dirinya telah melakukan dosa

yang tidak termaafkan.10

2.2 Epidemiologi

Gangguan panik seumur hidup dilaporkan sekitar 1,5%-5% dan 3%-

5,6% untuk serangan panik. Perempuan 2-3 x kali lebih mudah terkena

dibandingkan laki-laki terutama mereka yang belum menikah serta wanita

post-partum, serangan panik jarang ditemukan pada wanita hamil.6 Faktor

sosial merupakan salah satu faktor yang diidentifikasi turut berperan dalam

timbulnya gangguan panik adalah riwayat perceraian atau perpisahan yang

7
baru saja terjadi. Gangguan panik paling sering terjadi pada dewasa muda

(rata-rata usia 25 tahun) tetapi gangguan panik dan agoraphobia dapat timbul

pada usia berapapun. Gangguan panik juga dilaporkan terdapat pada anak dan

remaja dan diagnosis kasus ini mungkin belum terdiagnosis pada kelompok

usia tersebut. 11

Fobia sering terjadi pada masyarakat umum. Survei epidemiologi

terbaru memperkirakan angka kejadian dalam setahun dan prevalensi seumur

hidup, berturut-turut : fobia spesifik 5,5% dan 11,3%; fobia sosial 4,5% dan

13,3%; serta agorafobia 2,3% dan 6,7%. Wanita memiliki kemungkinan 1,5-2

kali lebih besar dibandingkan laki-laki.12

Fobia spesifik lebih sering terjadi dibandingkan fobia sosial. Fobia

spesifik adalah gangguan mental yang paling sering pada wanita dan nomor

dua tersering pada laki-laki, setelah gangguan berhububungan dengan zat.

Prevelensi enam bulan fobia spesifik adalah kira-kira 5 sampai 10 per 1000

orang. Rasio wanita dibandingkan dengan laki-laki adalah 2 berbanding 1.

Onset usia puncak untuk tipe lingkungan alami dan tipe darah, injeksi, dan

cedera adalah rentang 5 sampai 9 tahun, walaupun onset terjadi pada usia

puncak untuk tipe situasional adalah lebih tinggi, dalam pertengahan usia 20-

an, yang dekat dengan usia onset untuk agorafobia. Objek dan situasi yang

ditakuti pada fobia spesifik (dituliskan dalam frekuensi menurun) adalah

binatang, badai, ketinggian, penyakit, cedera, dan kematian.12

Prevelensi enam bulan untuk fobia sosial adalah kira-kira 2 sampai 3

per 100 orang. Dalam penelitian epidemiologis, wanita lebih sering tekena

8
daripada laki-laki, tetapi pada sampel klinis sering kali terjadi hal yang

sebaliknya. Alasan untuk observasi yang berlainan tersebut adalah tidak

diketahui. Onset usia puncak untuk fobia sosial adalah pada usia belasan

tahun, walaupun onset sering kali paling muda pada usia 5 tahun dan paling

lanjut pada usia 35 tahun.12,15

2.3 Etiologi

Faktor biologis

Satu interprestasi dari riset mengenai dasar biologi gangguan panik

ialah terkait dengan suatu kisaran abnormalitas biologi dalam struktur dan

fungsi otak. Sebagian besar penelitian dilakukan di area dengan penggunaan

stimulan biologis untuk mencetuskan serangan panik pada pasien dengan

gangguan panik. Pada sejumlah pasien dengan gangguan panik dilaporkan

menunjukkan peningkatan tonus simpatik, beradaptasi lambat terhadap

stimulus berulang dan berespon berlebihan terhadap stimulus sedang. 1

Disfungsi serotonergik cukup terlihat pada gangguan panik dan dari

berbagai studi dikatakan obat campuran agonis-antagonis serotonin

menunjukkan peningkatan angka anxietas. Respon tersebut dapat disebabkan

oleh hipersensitifitas serotonin pasca sinaps pada gangguan panik. Terdapat

bukti bahwa melemahnya transmisi inhibisi GABAnergik di amigdala

basolateral, otak tengah, dan hipotalamus dapat mencetuskan respon

fisiologis mirip ansietas. Diantara berbagai neurotransmitter yang terlibat,

9
sistem noradrenergic juga menarik banyak perhatian, terutama reseptor alfa 2

prasinaps yang memegang peran yang signifikan.1

Zat yang mencetuskan panik

Zat yang mencetuskan panik (panikogen) menginduksi serangan panik

pada mayoritas pasien dengan panik dan pada proporsi yang jauh lebih kecil

pada orang tanpa gangguan panik atau dengan riwayat serangan panik. Zat

yang disebut penginduksi panik pernapasan menyebabkan rangsangan

pernapasan dan pergeseran keseimbangan asam basa. Zat ini mencakup CO2,

natrium laktat dan bikarbonat. Zat penginduksi panik neurokimia mencakup

yohimbin, fenfluramin, flumazenil, kolesistokinin dan kafein. Zat penginduksi

panik pernapasan awalnya bekerja di baroreseptor kardiovaskuler di perifer

dan mengirim sinyal melalui aferen vagus ke nucleus tractus solitarii dan

kemudian ke nucleus paragingantoselularis medulla. Hiperventilasi pada

psien gangguan panik disebabkan oleh sistem alarm kekurangan udara

hipersensitif, sementara peningkatan konsentrasi PCO2 dan laktat secara

prematur mengaktifkan monitor asfiksik fisiologik. Zat penginduksi panik

neurokimia dianggap terutama mempengaruhi reseptor noradrenergic,

serotonerik, GABA di Sistem Saraf Pusat secara langsung. 1

Pencitraan otak

Studi pencitraan struktur otak contoh nya Magnetic Resonance

Imaging (MRI) pada pasien dengan gangguan panik melibatkan keterlibatan

10
patologis lobus temporalis, terutama hipokampus. Salah satu studi MRI

melaporkan abnormalitas terutama atrofi korteks di lobus temporalis kanan

pada pasien ini. Studi pencitraan otak fungsional contohnya PET melibatkan

adanya disregulasi aliran darah otak. Khususnya, gangguan ansietas dan

serangan panik disertai vasokonstriksi serebral, yang dapat menimbulkan

gejala SSP seperti pusing dan gejala sistem saraf perifer yang dapat

dicetuskan oleh hiperventilasi dan hipokapnia. Sebaigian besar studi

pencitraan otak fungsional menggunakan zat penginduksi panik spesifik

(laktat, kafein, dan yohimbin) dikombinasi dengan PET atau SPECT untuk

mengkaji efek saat zat penginduksi panik dan serangan panik yang dinduksi

pada aliran darah otak. 1

Faktor genetik

Walaupun studi mengenai dasar genetik gangguan panik dan

agoraphobia jumlahnya sedikit, data saat ini mendukung kesimpulan bahwa

gangguan ini memiliki komponen genitik yang khas. Sejumlah data

menunjukkan bahwa gangguan panik dan agoraphobia adalah bentuk parah

gangguan panik sehingga lebih mungkin diturunkan. Berbagai studi

mengatakan terdapat resiko 4 hingga 8 kali untuk gangguan panik diantara

kerabat derajat serta pasien dengan gangguan panik dibandingkan kerabat

derajat pertama pasien lain. Studi kembar lain melaporkan bahwa kedua

kembar monozigot lebih mudah tekena bersamaan disbanding kemar dizogot.

11
Saat ini tidak ada data yang menunjukkan lokasi romosom spesifik atau cara

transmisi gangguan ini. 1

Faktor psikososial

Patogenesis gangguan panik dan agoraphobia diterangkan dalam

psikoanalitik dan perilaku kognitif. 1

Teori perilaku kognitif

Teori perilaku menyatakan bahwa ansietas adalah respon yang

dipelajari baik dari menirukan perilaku orang tua mapun melalui proses

pembelajaran klasik. Didalam metode pembelajaran klasik pada gangguan

panik dan agoraphobia, stimulus berbahaya (seperti serangan panik) yang

timbul bersama stimulus netral (seperti naik bus) dapat mengakibatkan

penghindaran stimulus netral. Teori perilaku lain menyatakan hubungan

antara sensasi gejala somatik ringan seperti palpitasi dan timbulnya serangan

panik. Teori in tidak menerangkan timbulnya serangan panik pertama yang

tidak dicetuskan dan tidak disangka dialami pasien. 1

Teori psikoanalitik

Teori ini mengonseptualisasi serangan panik sebagai serangan yang

timbul dari pertahanan yang tidak berhasil terhadap impuls yang mencetuskan

ansietas. Untuk menjelaskan agoraphobia, teori psikoanalitik menekankan

hilang orangtua dimasa kanak dan riwayat ansietas perpisahan. Berada

12
sendirian ditempat umum membangkitkan kembali ansietas saat diabaikan

dimasa kanak. Mekanisme defens yang digunakan mencakup represi,

displacement, penghindaran dan simbolisasi. 1

Serangan panik secara neurofisiologis berhubungan dengan locus

ceruleus, awitan panik umunya terkait dengan faktor lingkungan atau

psikologis. Pasien dengan gangguan panik memiliki insiden yang lebih tinggi

mengalami peristiwa hidup yang penuh tekanan, khususnya kehilangan.

Hipotesis bahwa peristiwa psikologis yang penuh tekanan menimbulkan

perubahan neurofisiologis didukung oleh penelitian pada kembar perempuan.

Perpisahan dari ibu di masa kehidupan awal dengan jelas lebih menimbulkan

gangguan panik daripada perpisahan ayah. Faktor etiologi selain pada pasien

perempuan tampaknya adalah penyiksaan fisik dan seksual dimasa kanak-

kanak. Sekitar 60% perempuan dengan gangguan panik memiliki riwayat

penyiksaan seksual pada masa kanak-kanak. 1

Riset menunjukkan bahwa penyebab serangan panik cenderung

melibatkan arti peristiwa yang menimbulkan stress secara tidak disadari serta

bahwa patogenesis serangan panik dapat berkaitan dengan faktor

neurofisiologis yang dicetuskan reaksi psikologis. 1

2.4 Patofisiologi Fobia

Fobia spesifik yang umum, gangguan yang heterogen ciri utama adalah

terus-menerus, ketakutan yang tidak masuk akal dari suatu obyek atau situasi

terbatas. Hal ini termasuk pengkondisian, dimodifikasi conditioning dan

13
model nonassociative pembangunan fobia, fisiologis terhadap rangsangan

fobia, neuroimaging, primata, dan biologis studi tantangan. Hipotesis

patofisiologi disarankan oleh riset terbaru mengenai neurocircuitry dari

dikondisikan takut juga dibahas, meskipun telah fobia spesifik kurang

kesehatan masyarakat dan kepentingan klinis dari gangguan kecemasan lain,

mereka mungkin dibatasi alam dan hubungannya dengan dikondisikan takut

dapat membuat mereka menjadi subjek yang produktif bagi penelitian ke

patofisiologi dasar.1,10

Patofisiologi fobia sosial tidak jelas. Namun, teori-teori telah muncul

didasarkan pada kemanjuran agen farmakologi digunakan untuk mengobati

fobia social. dengan demikian, fungsi serotonergic mungkin terlibat karena

serotonergic reuptake inhibitor mambantu mengurangi gejal. Similary,

beberapa peneliti percaya dalam etiologi adrenergic karena keberhasilan terapi

Propanolol. Neurocircuitry amigdala, suatu struktur yang terlibat dalam

ketakutan, mungkin terlibat.1,10

Respon fisiologis tinggi dan peningkatan catecholamine memainkan

peran penting dalam respons fisiologis normal tubuh terhadap stress dan

kecemasan. Kecemasan patologis telah dihipotesiskan sebagai akibat dari

gangguan di korteks serebral, terutama sistem limbik. Neurotransmitter

terutama terkait dengan kecemasan di daerah ini norepinephrine, gamma-

aminobutyric acid (GABA), dan serotonin.1,10

14
2.5 Gambaran klinis gangguan panik

Serangan panik yang pertama sering benar-benar spontan walaupun

serangan panik kadang-kadang mengikuti kegairahan, kerja fisik, aktivitas

seksual atau trauma emosi sedang. Menurut DSM V menekankan bahwa

setidaknya serangan pertama harus tidak diduga untuk memenuhi kriteria

diagnostik gangguan panik. Klinisi harus berupaya untuk mendapatkan setiap

kebiasaan yang mendahului serangan panik pasien. Aktivitas tersebut dapat

mencakup penggunaan kafein, alkohol, nikotin atau zat lain, pola tidur atau

makanan yang tidak biasa, dan situasi lingkungan tertentu seperti

pencahayaan yang berlebihan. 1,13

Serangan sering dimulai dengan periode meningkatnya gejala dengan

cepat selama 10 menit. Gejala mental utama adalah rasa takut yang ekstrim

dan rasa kematian serta ajal yang mengancam. Pasien biasanya tidak mampu

menyebutkan sumber rasa takutnya, mereka menjadi bingung dan memiliki

masalah konsentrasi. Tanda fisik sering mencakup takikardi, palpitasi,

dispneu, dan berkeringat. Pasien sering mencoba pergi untuk mencari

pertolongan. Serangan biasanya bertahan 20-30 menit jarang lebih dari 1 jam.

Pemeriksaan status mental formal selama serangan panik dapat

mengungkapkan adanya perenungan, kesulitan bicara dan gangguan memori.

Pasien dapat mengalami depresi atau depersonalisasi selama serangan. Gejala

dapat hilang segera atau bertahap. Diantara serangan pasien dapat memiliki

ansietas antisipatorik dan gangguan ansietas menyeluruh mungkin sulit,

15
walaupun pasien gangguan nyeri dengan ansietas antisipatorik mampu

menyebutkan fokus ansietas mereka.1,13

Pasien biasanya khawatir akibat masalah jantung atau pernapasan.

Pasien biasanya dapat meyakini bahwa palpitasi dan nyeri dada menunjukkan

bahwa mereka akan mati. Sebanyak 20% pasien benar-benar mengalami

episode sinkop selama serangan panik. 1,13

Menurut DSM V gejala gangguan panik antara lain adalah sebagai

berikut : 3

• Merasa pusing, tidak stabil berdiri, hingga pingsan

• Merasa kehilangan kontrol, seperti mau gila

• Takut mati

• Leher serasa dicekik

• Palpitasi, berdebar-debar, denyut jantung bertambah cepat

• Nyeri dada, rasa tidak nyaman di dada

• Merasa sesak, bernapas pendek

• Mual atau distress abdominal

• Gemetaran

• Berkeringat

• Rasa panas dikulit, menggigil

• Mati rasa, kesemutan

• Derealisasi, depersonalisasi (merasa seperti terlepas dari diri sendiri)

16
2.6 Pemicu Panik

Salah satu upaya untuk mengatasi gangguan panik adalah dengan cara

menjauhkan pasien dari segala pemicu gangguan panik. Adapun beberapa

pemicu gangguan panik antara lain: 14,18

 Cedera (oleh sebab kecelakaan atau operasi)

 Penyakit somatik

 Adanya konflik dengan orang lain

 Pengunaan ganja

 Penyalahgunaan stimulan seperti kafein, dekongestan, kokain dan

obat-obatan simpatomimetik (seperti amfetamin, MDMA)

 Berada pada tempat-tempat tertutup atau tempat umum (terutama

gangguan panik yang disertai agrofobia)

 Penggunaan sertraline, yang dapat menginduksi pasien gangguan

panik yang awalnya asimptomatik

 Sindrom putus obat golongan SSRI yang dapat menginduksi gejala-

gejala yang menyerupai gangguan panik

Pada beberapa penilitian, gejala-gejala serangan panik sering timbul pada

pasien penderita gangguan panik yang mengalami hiperventilasi,

menginhalasi CO2 , konsumsi kafein atau yang mendapat injeksi natrium

laktat hipertonis atau larutan selain hipertonis, kolesistokinin, isoproterenol,

fulamazenil atau naltrexone.14

17
2.7 Terapi

Pada awal perkembangan psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi

secara dinamik, ahli teori percaya bahwa metode tersebut adalah pengobatan

terpilih untuk neurosis fobik, yang selanjutnya diperkirakan berasal dari

konflik genital oedipal. Tetapi, segera kemudian, ahli terapi mengetahui

bahwa, walaupun ada kemajuan dalam mengungkapkan dan menganalisa

konflik yang tidak disadari, pasien seringkali gagal melepaskan gejala

fobiknya. Selain itu, dengan terus menghindari situasi fobik, pasien

menghindari suatu derajat bermakna kecemasan dan hubungannya dari proses

analitik. Freud dan muridnya Sandor Ferenczi mengetahui bahwa, jika

diperoleh kemajuan di dalam menganalisis gejala tersebut, ahli terapi telah

melewati pranan analitiknya dan secara aktif mendorong pasien fobik untuk

mencari situasi fobik dan mengalami kecemasan dan didapatkan tilikan. Sejak

saat itu, dokter psikiatrik biasanya setuju bahwa suatu aktivitas pada pihak

ahli terapi seringkali diperlukan utnuk mengobati kecemasan fobik secara

berhasil. Keputusan untuk menerapkan teknik terapi psikodinamika

berorientasi-tilikan harus didasarkan bukan pada adanya gejala fobik saja

tetapi pada indikasi positif dari struktur ego dan pola hidup pasien untuk

menggunakan metoda terapi tersebut. Terapi berorientasi-tilikan

memungkinkan pasien mengerti asal dari fobia, fenomena tujuan sekunder,

dan peranan daya tahan dan memungkinkan pasien mencari cara yang sehat

dalam menghadapi stimuli yang menyebabkan kecemasan.13,16

18
Terapi suportif dan terapi keluarga mungkin berguna dalam

pengobatan fobia. Hipnosis digunakan untuk meningkatkan sugesti ahli terapi

bahwa objek adalah tidak berbahaya, dan hipnosis-diri (self-hypnosis) dapat

diajarkan pada pasien sebagai suatu metoda relaksasi jika berhadapan dengan

objek fobik. Psikoterapi suportif dan terapi keluarga seringkali berguna dalam

mambantu pasien secara aktif menghadapi objek fobik selama pengobatan.

Tidak hanya terapi keluarga dapat menggunakan bantuan keluarga dalam

mengobati pasien, tetapi terapi ini juga dapat mambantu keluarga mengerti

sifat masalah pasien.11,13,16

Terapi yang paling sering digunakan untuk fobia spesifik adalah terapi

pemaparan (exposure therapy), suatu tipe terapi perilaku yang asalnya

didahului oleh Joseph Wolpe. Ahli terapi mendesensitisasi pasien, dengan

menggunakan pemaparan stimulus fobik yang serial, terhadap dan dipacu diri

sendiri. Ahli terapi mengajari pasien tentang berbagai teknik utuk menghadapi

kecemasan, termasuk relaksasi, kontrol pernafasan, dan pendekatan kognitif

terhadap gangguan. Pendekatan kognitif adalah termasuk mendorong

kenyataan bahwa situasi tersebut pada dasarnya adalah aman. Aspek kunci

dari terapi perilaku yang berhasil adalah (1) komitmen pasien terhadap

pengobatan, (2) masalah dan tujuan yang didentifikasikan dengan jelas, dan

(3) strategi alternatif yang tersedia untuk mengatasi perasaan pasien. Pada

situasi spesifik fobia darah, injeksi, dan cedera, beberapa ahli terapi

menganjurkan bahwa pasien mengencangkan tubuhnya selama pemaparan

untuk membantu menghindari kemungkinan pingsan akibat reaksi vasovagal

19
terhadap stimulasi fobik. Beberapa laporan awal menyatakan bahwa antagonis

beta adrenergik dapat berguna dalam pengobatan fobia spesifik. Jika fobia

spesifik disertai dengan serangan panik, farmakoterapi atau psikoterapi yang

diarahkan pada serangan panik mungkin juga bermanfaat.13,17

Pengobatan fobia sosial menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi,

dan berbagai pendekatan adalah diindikasikan untuk tipe umum dan situasi

kerja. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pemakaian farmakoterapi

menghasilkan hasil yang lebih baik daripada terapi tersebut sendiri-sendiri,

walaupun temuan tersebut mungkin tidak dapat diterapkan pada semua situasi

dan pasien.13,17

Beberapa penelitian yang terkontrol dengan baik telah menemukan

bahwa inhibitor monoamine oksidase, khususnya Phenezine (Nardil), adalah

efektif dalam mangobati fobia sosial tipe umum. Obat lain yang telah

dilaporkan efektif, walaupun tidak banyak uji terkontrol baik, adalah

Aprazolam (Xanax), Clonazepam (Klonopin), dan kemungkinan inhibitor

ambilan kembali Serotonin. Dosis untuk obat tersebut adalah sama dengan

yang digunakan pada gangguan depresif, dan respons biasanya memerlukan

waktu empat sampai enam minggu.beberapa dat menyatakan bahwa obat

trisiklik dan Buspirone (Buspar) mungkin tidak efektif pada fobia sosial,

walaupun data adalah terbatas dan tidak definitive.11,13

Psikoterapi untuk fobia sosial tipe umum biasanya melibatkan suatu

kombinasi metoda perilaku dan kognitif, termasuk latihan hilang kognitif,

desensitisasi, sesion selama latihan, dan berbagai tugas pekerjaan rumah.

20
Pengobatan fobia sosial yang disertai dengan situasi kinerja seringkali

melibatkan pemakaian antagonis reseptor beta-adrenergik segera sebelum

pemaparan dengan stimulus fobik. Dua senyawa yang paling luas digunakan

adalah Atenolol (Tenormin), 50 sampai 100 mg tiap pagi atau satu jam

sebelum kinerja, dan Propranolol (20 sampai 40 mg), teknik kognitif, perilaku,

dan pemaparan dapat juga berguna dalam situasi kinerja.17,18

2.8 Prognosis Fobia

Fobia spesifik mempunyai prognosis yang paling baik. Fobia sosial

cenderung meningkat secara berangsur-angsur dan agorafobia yang paling

buruk prognosisnya dibandingkan kelompok fobia lainnya karena cenderung

ke arah kronik.20

Tidak banyak yang diketahui tentang perjalanan penyakit dan

prognosis fobia spesifik dan fobia sosial karena mereka relatif baru dikenali

sebagai gangguan mental yang penting. Diperkenalkannya psikoterapi spesifik

dan farmakoterapi untuk mengobati fobia akan juga mempengaruhi

interprestasi data tentang perjalanan penyakit dan prognosis kecuali kontrol

pemeriksaan untuk strategi pengobatan.11,20

Gangguan fobik mungkin disertai dengan lebih bannyak morbiditas

dibandingkan yang diketahui sebelumnya. Tergantung pada derajat mana

perilaku fobik mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi, pasien

yang terkena mungkin memiliki ketergantungan finansial pada orang lain

21
semasa dewasa dan memiliki berbagai derajat gangguan dalam kehidupan

sosialnya, keberhasilan pekerjaan, dan pada orang muda, prestasi sekolahnya.

Perkembangan gangguan berhubungan zat yang menyertainya juga merugikan

perjalanan penyakit dan prognosis gangguan.19,20

22
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Fobia adalah suatu ketakutan yang tidak rasional yang menyebabkan

penghindaran yang disadari terhadap objek, aktivitas, atau situasi yang

ditakuti. Fobia sosial fokus dari takutnya adalah pada peristiwa dipermalukan

seseorang di tempat ramai, sedangkan agorafobia fokus takutnya ialah

ketidakmampuan untuk melarikan diri. Fobia spesifik ialah rasa takut yang

tidak sesuai kenyataan terhadap stimuli spesifik seperti laba-laba, ular, tempat

tinggi, halilintar, penyakit, cedera, kesendirian, kematian, dan ketularan

penyakit.

Ada beberapa cara dalam pendekatan pengobatan yang dipakai untuk

menanggulangi fobia. Jika cara-cara ini dikombinasikan akan memberikan

banyak manfaat pada penderitaan fobia. Para ahli yang bekerja di bidang

kesehatan jiwa mempunyai orientasi deskriptif dan dinamik, menyadari bahwa

keduanya saling melengkapi dan menambah relevansi klinik dari gejala-gejala

yang ditampilkan pasien. Ditinjau dari aspek dinamik setiap pasien

mempunyai ciri khas masing-masing, dan dari aspek deskriptif kita

menemukan gejala yang terlihat saat itu. Dengan memberikan tempat yang

wajar pada kedua pandangan itu serta penanggualangannya yang tepat, maka

diharapkan penderita akan mendapatkan terapi yang tepat dan adekuat.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Ibrahim A, Hor S, Bahar O, Dwomoh D, McKay M, Esena R, et al.

Pathways to psychiatric care for mental disorder : a retrospective study of

patients seeking mental health services at a public psychiatric facility in

Ghana. BioMed Central. 2016;10:63.

2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan

Perilaku Psikiatri Klinis Jilid I. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher.

2010.

3. Li J, Li J, Huang Y, Thornicroft G. Mental health training program for

community mental health staff in Guangzhou, China : effects on

knowledge of mental illness and stigma. Biomed Central. 2014;8-49.

4. American Psychiatric Association. DSM-5 Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorders: Fifth Edition. American Psychiatric

Publishing; Washington DC. 2013.

5. Puri, Basant K. Laking, Paul J, Treaseden. Text Book of Psychiatry 2nd

Edition. London: Churchill Livingstone. 2002.

6. Maramis, Willy F. Ilmu Kedokteran Jiwa. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa


Universitas Airlangga . 2009. Surabaya
7. Maslim, R. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III
cetakan I. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Atmajaya. 2001.
Jakarta.

24
8. Hood HK, Antony MM. Evidence Based Assessment and Treatment of

Spesific Phobias in Adults. Chapter 2. Depertment of Psychology Ryerson

University Toronto. 2012.

9. Atkinson, RL. Smith EE. Bem, DJ. Hilgard’s Introduction to Psychology

13th edition. New York: Harcourt College Publishers. 2012.

10. Kleim B, Wihelm FH, Temp L, Margraf J, Wiederhold BK, Rasch B.

Psychological Medicine. 2013.

11. Moscovitch DA, Hofmann SG, Suvak MK. Meditation of changes in

anxiety and depression during treatment of social phobia. J Consult Clin

Psychol. 73(5): 945-52. 2015.

12. Smoller JW, Sheidley BK, Tsuang MI. Anxiety disorder and social

phobia: A population based twin study. USA: American Psychiatry

Publishing Inc; p150-6. 2008.

13. Walker LR, Veale D, Chapman C, Olge F, Rosko D, Najmi S, et al.

Cognitive Behaviour Therapy for Specific Phobia of Vomiting

(Emetophobia) : A pilot randomized contolled trial. Journal of Anxiety

Disorder. Elsevier. 2014. 14-22.

14. Settineri S, Mallamace , Rosaria M, Muscatello A, Zoccali R, Mento C.

Dental anxiety, psychiatry and dental treatment : How are they linked?.

OPJPsych. 2013.

15. Gupta D, Gupta N, Choundhary T. Effectiveness of the EMDR Therapy

on Specific Phobia in Young Children. Case Report. Dehli Psychiatry

Journal. Vol 17. 2014.

25
16. Melfsen S, Kuhnemund M, Schwieger J, Warnke A, Stadler C, Poustka F,

et al. Cognitive Behavioral Therapy of Socially Phobic Children Focusing

on Cognitive : a randomized wait list control study. Reaserch. 2011.

17. Hudsona J, dodd H. Introduction to special issue on social phobia in

children. Journal of Experimental Psychopathology. Vol 2. 2011.

18. Jodonou A, Tognon F, Adoukonou T, Ataigba I, Issa C, Gandaho P.

Associated Factors and Impacts of Social Phobia on Academic

Performance among Students from the University of Parakou (UP). Open

Journal of Psychiatry. 2016(6) : 151 -157.

19. Morris F. Considerations in Art E-therapy for Anxiety Disorder. J Depress

Anxiety 2014,4:1.

20. Pires A, Casanova C, Quevedo L, Jansen K, Silva R. Panic Disorder and

Psycoactive Subtance use in Primary Care. Trends Psychiatry Psychother.

2014;36(2) : 113-18.

26

Anda mungkin juga menyukai