Anda di halaman 1dari 115

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan menurut hukum Islam adalah sebuah akad yang menghalalkan

suami istri untuk saling menikmati (berhubungan badan) dengan pasangannya.1

Pernikahan menjadi sebuah kebutuhan dasar manusia2 dan sebagai suatu akad

yang sangat kuat (M îtsâqan Ghalîzha) untuk mentaati perintah Allah, bahkan

melaksanakannya merupakan ibadah.3

Di samping itu, pernikahan juga merupakan ikatan lahir batin antara seorang

pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal4 berdasarkan tuntunan Rabbnya dan sesuai dengan Sunnah

Nabi-Nya.5

Di balik akad nikah terdapat sebuah rahasia ilahi, yaitu terjalin makna cinta

dan kasih sayang antara suami istri.6 Makna ini disinggung oleh firman Allah

1 Mustafa Al-Khin dan Mustafa Al-Bugha ‘Ali Asyarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Mazhab
Imam asy-Syafi’i, (ttp.: Dâr Al-Qalam, t.t.), jilid. 2, hlm.7

2 Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, (Beirut-lebanon: Dâr al-Fikri, t.t.), hlm. 333

3 Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf al-‘Az-Zazi, Tamamul Minnah, (ttp: Dâr al-‘Aqidah, t.t.),
jilid. 3, hlm. 27

4 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,


(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 234

5 Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Lin Nisa’, (Kairo: Dâr at-Taufiqi, t.t.),
hlm. 437

6 Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Bassam, Taisirul ‘Alam Syarhu ‘Umdatul
Ahkam, (Saudi: Darul Mughni, 2007), hlm. 800-801

1
2

Ta’ala, “Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan

pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan

merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan

sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda

kebesaran Allah Ta’ala bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-rûm: 21)

Ketika membicarakan masalah pernikahan, banyak hal yang harus

diperhatikan, salah satunya adalah mahar, karena salah satu hubungan hukum

yang timbul dari sebab pernikahan adalah kewajiban calon suami untuk memberi

mahar.

Mahar merupakan suatu pemberian yang wajib ditunaikan oleh calon suami

kepada calon istri serta disebut dalam shighat akad nikah sebagai tanda

persetujuan dan kerelaan untuk hidup bersama sebagai suami istri. Mahar

berfungsi sebagai lambang atau simbol atau tanda bukti bahwa suami menaruh

cinta kasih terhadap wanita calon istri yang akan dinikahinya. 7 Pemberian mahar

sebagai syarat sahnya pernikahan sehingga hukum mahar adalah wajib.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

‫هوهءاتهوُلُا ال رن مهسآ آهء هصهدقهاً ررتمنَ ر نن ه ئل فهاًنِ رط ن هب لهنهك هعنَ ه ن‬


ً‫شءء رممننهه ن ههفئساً فه ه هكوُلُهه ههرنيئئاً ممرريئئا‬
‫إ‬

“Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskawin sebagai

kewajiban. Akan tetapi, jika mereka berikan kepada kamu sebagian dari padanya

dengan senang hati, maka makanlah dengan senang hati.” (QS. An-Nisa: 4)

7 Abi ‘Abbas Ahmad bin Hamzah ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, (Beirut: Dâr al-Fikri, 1430
H), jilid. 6, hlm. 386
3

Para ulama sepakat tidak ada batasan maksimal mahar yang diberikan seorang

laki-laki untuk calon istrinya.8 Adapun dalam batasan minimal mahar para ulama

berbeda pendapat mengenai hal tersebut,9 akan tetapi menurut pendapat yang

rajih, tidak ada batasan minimal untuk mahar. Mahar di nilai sah dengan segala

sesuatu yang bisa disebut harta, atau sesuatu yang dapat dinilai dengan harta

selama keduanya menyetujuinya.10

Dalam pernikahan, mahar terbagi menjadi dua jenis dilihat dari pertimbangan

nilainya. Dari kedua jenis mahar tersebut yaitu, mahar musamma dan mahar

mitsli.11 Dan jika dilihat dari pertimbangan waktu pembayarannya, mahar terbagi

menjadi mahar yang dibayar secara tunai dan yang dibayar secara tunda.

Sementara jika dilihat dari pertimbangan kadar yang berhak diterima wanita dari

mahar itu, terbagi menjadi mahar seluruhnya, setengahnya, dan mut’ah.12

8 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Kairo-mesir: Maktabah at-
Taufiqiyah, 2003), jilid. 3, hlm. 162. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol fi Ahkam al-Mar’ah wa
Baitil Muslim, cet. ke-3, (Beirut: Muassatur Risalah, 2000), jilid. 7, hlm. 63

9 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikri, 2007), jilid. 9,
hlm. 6764

10 Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol..., jilid. 7, hlm. 62

11 Mahar musamma adalah mahar yang disebutkan jumlahnya dengan kesepakatan kedua
pihak yang akan melakukan akad, sedangkan mahar mitsli adalah jumlah yang dibayarkan sebagai
mahar dalam pernikahan wanita-wanita seperti dirinya dari kalangan kerabatnya dari pihak
ayahnya, seperti saudara-saudara perempuannya dan bibi-bibinya, bukan dari pihak ibunya. Sebab
pihak ibu mungkin berasal dari keluarga yang memiliki kebiasaan-kebiasan yang berbeda dengan
keluarga dari pihak ayahnya. Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah…, jilid.
3, hlm. 167

12 Sejumlah harta yang diberikan suami kepada istri yang dicerainya. Jumlahnya bisa
berbeda-beda tergantung keadaan suami. (Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih
Sunnah…, jilid. 3, hlm. 167)
4

Suatu pernikahan dapat dilakukan dengan menentukan mahar dan

menyebutkannya dalam akad ataupun tanpa menentukan mahar dan

menyebutkannya dalam akad dan diperbolehkan mengakhirkan pembayaran

mahar. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Wahbah az-Zuhaili 13 dalam

kitabnya al-Fiqhi Islam wa Adillatuhu.14

Seorang suami boleh berjimak dengan istrinya meskipun dalam akad

pernikahannya tidak menyebutkan mahar terlebih dahulu dan belum memberikan

mahar kepadanya sedikit pun. Dan wajib bagi laki-laki tersebut memberikan

mahar mitsli. Namun, jika ia menyebutkan maharnya, ia wajib memberikan mahar

sesuai dengan yang telah ia sebutkan tersebut. Akan tetapi, jangan sampai mahar

tersebut tidak ditunaikan karena itu adalah syarat sebuah pernikahan, 15

sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:

‫شنورط أأننِ تهنوُلُفهنوُلُا ربره هماً ناسسهتنحلهلن نهت ربره الهفهرنوهج‬


‫أأهحشق هماً أأنوفهني نهت رمهنَ ال ش ه‬

13 Wahbah az-Zuhaili lahir di Da’ir ‘Atiyah, Damaskus, pada tanggal 6 maret 1932. Pada
tahun 1956, beliau berhasil menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas al-Azhar Fakultas
Syari’ah. Beliau memperoleh gelar magister pada tahun 1959 pada bidang Syari’ah Islam dari
Universitas al-Azhar Kairo dan memperoleh gelar doctor pada tahun 1959 pada bidang Syari’ah
Islam dari Universitas al-Azhar Kairo. Tahun 1963, beliau mengajar di Universitas Damaskus.
Disana beliau mendalami ilmu fiqih serta ushul fiqih dan mengajarkannya di Fakultas Syari’ah.
Beliau juga kerap mengisi seminar dan acara televisi di Damaskus, Emirat Arab, Kuwait, dan Arab
Saudi. Ayah beliau adalah seorang hafidz al-Qur’an dan mencintai as-Sunnah. (Wahbah az-Zuhaili,
Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2010), jilid.
9)

14 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu..., jilid. 9, hlm. 6764

15 Abu ‘Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jammal, Shahih Fiqih Wanita, cet. ke-1,
(Surakarta: Insan Kamil, 2010), hlm. 265
5

“Syarat yang paling wajib yang harus kalian tunaikan adalah memberikan

sesuatu yang dapat menghalalkan kemaluan.” (HR. Al-Bukhari)16

Namun, tidak sedikit berkembang di kalangan kaum muslimin pada masa

sekarang ini mengakhirkan pemberian mahar hingga cerai atau meninggal. Dan

sisi negatif paling besar dari persyaratan seperti ini adalah suami akan terus

mempertahankan istrinya sekalipun tidak suka lagi kepadanya, karena dia merasa

akan dituntut untuk memberinya mahar yang ditunda.17 Hal tersebut terjadi

dikarenakan mereka tidak memahami ketentuan dan syarat akan penundaan

mahar.

Selain itu, permasalahan yang terjadi dengan mengakhirkan pemberian mahar

yaitu status mahar yang belum dibayar namun suami meninggal sebelum berjimak

dengan istrinya. Hal ini menjadi permasalahan di kalangan wanita yang ditinggal

mati suaminya.

Ketentuan adanya mahar dalam sebuah pernikahan sangatlah urgen. Para

fuqaha sepakat bahwa mahar dalam akad yang benar harus diberikan secara penuh

apabila suami telah berjimak dengan istrinya, baik itu mahar musamma ataupun

mahar mitsli, baik mahar itu dibayar tunai atupun tunda.18

16Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah al-Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar,


(Beirut: Dâr Ibnu Katsir, 1987), jilid. 5, hlm. 1978

17 Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Lin..., hlm. 487

18 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2010), jilid. 9, hlm. 263
6

Akan tetapi beberapa mazhab fikih berbeda pendapat atas status mahar yang

belum ditunaikan, namun suami meninggal sebelum melakukan jimak.19

Perbedaan pendapat ini terjadi di antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i

ditinjau dari jenis mahar itu sendiri. Apakah dari berbedanya jenis mahar tersebut

akan berbeda juga status mahar hutangnya ketika suami meninggal sebelum

jimak?

Sehubungan dengan uraian di atas, penulis terdorong untuk mengkaji lebih

dalam terkait hukum mahar hutang, ketentuan, syarat dan status mahar hutang

ketika suami meninggal dunia sebelum jimak dengan mengkomparasikan

pendapat mazhab Maliki dan Syafi’i dan melakukan analisis dengan mendalam

untuk menemukan pendapat yang lebih relevan yang menjadi kemashlahatan umat

dengan mengangkat sebuah pembahasan yang berjudul “ Status Mahar Hutang

Ketika Suami Meninggal Sebelum Jimak’ Menurut Mazhab Maliki dan

Syafi’i (Studi Analisis Komparatif) “

B. Rumusan Masalah

Agar penelitian ini berfokus pada pokok permasalahan, maka penulis hanya

membatasi persoalan mengenai status mahar hutang ketika suami meninggal

sebelum jimak’ menurut pendapat mazhab Maliki dan Syafi’i, rumusan masalah

dapat dijelaskan dalam bentuk pertanyaan: Bagaimana pendapat dan istidlal

mazhab Maliki dan Syafi’i tentang status mahar hutang ketika suami meninggal

sebelum jimak?

19 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah,...., jilid. 3, hlm. 169
7

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain

adalah untuk mengetahui pendapat dan istidlal mazhab Maliki dan Syafi’i tentang

status mahar hutang ketika suami meninggal sebelum jimak.

D. Manfaat Penelitian

Setelah penelitian ini selesai, diharapkan akan memberikan konstribusi yang

bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Secara Teoritis

a. Kajian ini bermanfaat memberikan kontribusi ilmu dan

khazanah penulisan Islam.

b. Sumbangan karya ilmiyah bagi perkembangan ilmu

pengetahuan baik di kalangan akademis maupun masyarakat luas

pada umumnya.

c. Hasil penelitian ini dapat membantu untuk penelitian

berikutnya.

2. Secara Praktis

a. Bagi para da’i sebagai khazanah keilmuan dalam dunia

dakwah.
8

b. Bagi masyarakat luas sebagai wawasan akan pentingnya

mengetahui status mahar hutang ketika suami meninggal sebelum

jimak.

c. Bagi almameter Ma’had ‘Aly Hidayaturrahman sebagai

sumbangan akademis.

E. Kajian Pustaka

Dalam mengkaji tentang status mahar hutang ketika suami meninggal sebelum

jimak, usaha penelusuran yang dilakukan terhadap beberapa literatur antara lain

karya tulis, buku-buku maupun hasil penelitian yang sudah ada. Di antara buku-

buku ataupun skripsi yang terkait dengan pembahasan ini:

1. Muhammad al-Khothib asy-Syarbini, di dalam kitabnya,

Mughni al-Muhtaj (Beirut: Dâr al-Fikri, 2009, jilid. 3, hlm. 295),

beliau menjelaskan pendapat mazhab Syafi’i secara singkat akan

tetapi tidak disertai secara lengkap istidlal dari pendapatnya.

2. Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, dalam

kitabnya, Majmu’ Syarhu al-Muhadzab (Beirut: Dâr al-Kutub al-

Ilmiyah, 2011, jilid. 20, hlm. 66), beliau menjelaskan pendapat

Syafi’i beserta istidlalnya tentang status mahar hutang ketika suami

meninggal sebelum jimak.

3. Malik bin Anas al-Ashbahi, dalam kitabnya, al-

Mudawwanah al-Kubra , (Kairo: Dâr al-Hadits, 2005, jilid. 2, hlm.


9

359), beliau menjelaskan pendapatnya sendiri tentang status mahar

hutang ketika suami meninggal sebelum jimak’.

4. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin

Rusyd al-Qurthubi, di dalam kitabnya, Bidayatul Mujtahid wa

Nihayatul Muqtashid (t.t.p: Dâr al-Ma’rifah, 1982, jilid. 2, hlm. 27),

beliau menyebutkan perbedaan pendapat antara mazhab Syafi’i dan

Maliki tentang mahar hutang serta disebutkan sebab perbedaannya.

5. Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya, al-Mufashol fi

Ahkam al-Mar’ah wa Baitil Muslim (Beirut: Muassatur Risalah,

2000, jilid. 7, hlm. 49), menjelaskan tentang konsep umum tentang

mahar yang meliputi definisi, masyru’iyah mahar, jenis dan ketentuan

kadar mahar. Pembahasan dalam kitab tersebut disertakan dengan

pendapat yang rajih.

6. Wahbah az-Zuhaili, dalam kitabnya, Fiqih Islam wa

Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2010, jilid. 9, hlm. 243),

menjelaskan tentang jenis mahar yang diantaranya mahar musamma

dan mahar mitsli serta hukum mahar hutang. Pembahasan dalam

kitab tersebut sudah terperinci hanya saja tidak mencantumkan secara

jelas ayat-ayat atau hadits yang berkenaan dengan masalah status

mahar hutang ketika suami meninggal sebelum jimak’.

7. Abu ‘Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jammal, dalam

kitabnya, Shahih Fiqih Wanita (Surakarta: Insan Kamil, 2010, hlm.


10

265), memaparkan bahwa Seorang suami boleh menggauli istrinya

meskipun dalam akad pernikahannya tidak menyebutkan mahar

terlebih dahulu dan belum memberikan mahar kepadanya sedikit pun.

Dan wajib bagi laki-laki tersebut memberikan mahar mitsli.

Tema ini juga pernah ditulis oleh A. Khoirul Anam dalam skripsinya di IAIN

Walisongo Semarang Tahun 2011 yang berjudul “ Studi Analisis Pendapat Imam

Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal

Dunia “. Didalamnya hanya dibahas analisis pendapat Imam Syafi’i tentang mahar

hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia serta metode

istinbatnya.

Sekilas dari pemaparan buku dan skripsi di atas, maka dapat diyakinkan

bahwa skripsi yang ditulis penulis ini bukanlah suatu pengulangan dari karya tulis

ilmiah yang telah ada. Dalam tulisan ini penulis berusaha mengkomparasikan

pendapat mazhab Maliki dan Syafi’i tentang status mahar hutang ketika suami

meninggal sebelum jimak.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Menurut jenisnya, penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library

research) yaitu studi yang memfokuskan pembahasan pada literatur-literatur baik

berupa buku, jurnal, makalah-makalah atau literatur lain mengenai materi-materi

yang berhubungan dengan tema.


11

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan metode dokumentasi, yaitu dengan mencatat,

membaca, mempelajari, mengkaji ataupun menganalisis materi-materi mengenai

status mahar hutang ketika suami meninggal serta hal-hal yang mempunyai

korelasi dengan obyek penelitian yang sedang penulis teliti.

3. Sumber Data

Data dalam penelitian ini secara garis besar dapat digolongkan menjadi:

a) Data Primer

Sumber data primer ialah sumber yang diperoleh melalui pengamatan dan

analisa terhadap literatur-literatur pokok yang dipilih untuk dikaji kembali antara

kesesuaiannya teks dengan realitas berdasarkan berbagai macam tinjauan ilmiah.

Di antara data pokok yang digunakan adalah:

1) Kitab Mughni al-Muhtaj (Beirut: Dâr al-Fikri, 2009,

jilid. 3, hlm. 295), karya Muhammad al-Khothib asy-Syarbini, ini

merupakan kitab mazhab Syafi’i yang di dalamnya beliau

menjelaskan pendapat mazhab Syafi’i secara singkat akan tetapi

tidak disertai secara lengkap istidlal dari pendapatnya.

2) Kitab Majmu’ Syarhu al-Muhadzab (Beirut: Dâr al-

Kutub al-Ilmiyah, 2011, jilid. 20, hlm. 66), karya Abu Ishaq

Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, beliau menjelaskan


12

pendapat Syafi’i beserta istidlalnya tentang status mahar hutang

ketika suami meninggal sebelum jimak.

3) Kitab al-Mudawwanah al-Kubra (Kairo: Dâr al-

Hadits, 2005, jilid. 2, hlm. 359), karya Malik bin Anas al-

Ashbahi, ini merupakan kitab mazhab Maliki, beliau

menjelaskan pendapatnya sendiri tentang status mahar hutang

ketika suami meninggal sebelum jimak.

4) Kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid

(t.t.p: Dâr al-Ma’rifah, 1982, jilid. 2, hlm. 27), karya Muhammad

bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi, di

dalam kitabnya, beliau menyebutkan perbedaan pendapat antara

mazhab Syafi’i dan Maliki tentang mahar hutang serta

disebutkan sebab perbedaannya.

b) Data Sekunder

Sumber data sekunder ialah sumber data yang diperoleh dari sumber-sumber

bacaan yang mendukung sumber primer yang dianggap relevan, sebagai

penyempurna bahan penelitian terhadap pembahasan dan pemahaman peneliti. Di

antaranya adalah:

1) Kitab al-Mufashol fi Ahkam al-Mar’ah wa Baitil

Muslim (Beirut: Muassatur Risalah, 2000, jilid. 7, hlm. 49),

karya Abdul Karim Zaidan, menjelaskan tentang konsep umum

tentang mahar yang meliputi definisi, masyru’iyah mahar, jenis


13

dan ketentuan kadar mahar. Pembahasan dalam kitab tersebut

disertakan dengan pendapat yang rajih.

2) Kitab Fiqih Islam wa Adillatuhu (Jakarta: Gema

Insani, 2010, jilid. 9, hlm. 243), karya Wahbah az-Zuhaili,

menjelaskan tentang jenis mahar yang diantaranya mahar

musamma dan mahar mitsli serta hukum mahar hutang.

G. Sistematika Pembahasan

Guna memudahkan di dalam penyajian, penulis sertakan rencana sistematika

pembahasan penelitian ini. Pada bagian isi, peneliti membagi pembahasan

menjadi empat bab, sebagai berikut:

Bab pertama, berisi tentang pendahuluan, bab ini sebagai sebuah pengantar

yang menggambarkan secara singkat dari seluruh isi pembahasan dalam penelitian

ini. Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan pembahasan, manfaat

penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, membahas tentang biografi mazhab Malilki dan Syafi’i serta

metode istinbath keduanya.

Bab ketiga, membahas tentang landasan teori, yang meliputi pengertian

mahar, dasar hukum mahar, kadar mahar, macam-macam mahar, bentuk dan

syarat-syarat mahar, hikmah adanya mahar, pengertian jimak serta dalilnya.

Bab keempat, pembahasan fokus dalam mengkomparasi dan menganalisa

pendapat dan istidlal Mazhab Syafi’i dan Maliki tentang status mahar hutang
14

ketika suami meninggal sebelum jimak serta menentukan pendapat yang rajih

mengenai status mahar hutang yang terjadi sebelum jimak ketika suami meninggal

dunia.

Bab kelima, penutup, penulis menarik suatu kesimpulan berupa jawaban atas

permasalahan dalam penelitian ini. Penulis juga mencoba mengemukakan saran-

saran yang dianggap penting.

BAB II

BIOGRAFI MAZHAB MALIKI DAN SYAFI’I SERTA METODE

ISTINBATHNYA

Pengertian Mazhab

Secara Bahasa
15

Mazhab merupakan mashdar mimi20 dan isim makan21 yang di ambil dari fi’il

madhi “dzahaba” yang berarti pergi. Bisa juga berarti at-Thariqah yang artinya

jalan.22

Mazhab adalah jalan yang ditempuh atau yang dilewati. Mazhab juga diartikan

dengan sesuatu yang dituju manusia baik bersifat materi atau non materi.23

Secara Istilah

Sedangkan pengertian mazhab menurut istilah, ada beberapa pengertian,

antara lain:

Mazhab adalah jalan atau cara yang telah digariskan oleh seseorang atau

sekelompok orang, baik dalam masalah keyakinan, perilaku, hukum atau

lainnya.24 Mazhab juga adalah hukum-hukum yang terdiri atas kumpulan

permasalahan.25

20 Kata sifat

21 Kata yang menunjukan tempat

22 Ibrahim Unais dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (ttp: t.p, t.t), hlm. 340, Ahmad Warson Munawir,
al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 453

23Abdullah Haidir, Mazhab Fiqih Kedudukan dan Cara Menyikapinya, (ttp: t.p, t.t), hlm. 12

24 Ibid, hlm. 13

25 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikri, 2007), jilid. 1,
hlm. 39
16

Mazhab menurut para ulama adalah kumpulan pandangan dan teori ilmiyah

serta filsafat yang satu sama lain saling berkaitan sehingga menjadi satu kesatuan

yang erat.26

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian yaitu:

1. Mazhab adalah paham atau aliran pikiran yang merupakan hasil

ijtihad seorang mujtahid tentang hukum dalam Islam yang digali dari ayat

al-Qur’an atau Hadits yang dapat diijtihadkan.27

2. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid

tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan as-

Sunnah.28

Kata mazhab merupakan istilah arab yang terserap oleh bahasa Indonesia.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, ia diartikan sebagai haluan atau aliran

mengenai hukum fikih yang menjadi panutan umat Islam dan juga pemikir yang

sefaham di dalam teori, ajaran atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian

dan lainnya yang berusaha untuk memajukan hal itu.29

Mazhab Maliki

26 Ibrahim Unais dkk, al-Mu’jam..., hlm. 340

27 Hasbiyallah, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Subdit Kelembagaan Direktorat Pendidikan


Tinggi Islam, 2012), hlm. 5

28 Huzaimah, Perbandingan Mazhab, (Yogjakarta: Logos Wacana, 1997), hlm. 71

29 Hasbiyallah, Perbandingan..., hlm. 5


17

Mazhab Maliki adalah salah satu mazhab fiqih ahlu hadits. Mazhab ini

didirikan oleh Imam Malik bin Anas. Mazhab fiqih ini merupakan mazhab kedua

setelah mazhab Hanafi dan muncul pada abad ke-2 H,30 Beliau cenderung kepada

ucapan dan praktek Rasulullah SAW dan para Sahabatnya serta ulama madinah. 31

Mazhab Malik tumbuh berkembang di Madinah, tempat Imam Malik dilahirkan.

Kemudian mazhab tersebut menyebar di Hijaz, Mesir, Afrika Utara, Hijaz, Teluk

dan Sudan.32

Mazhab Imam Malik banyak diikuti oleh masyarakat Maghrib dan Andalusia.

Meski di sana terdapat mazhab lain, namun hanya sedikit dari mereka mengikuti

mazhab lain. Hal ini disebabkan bahwa perjalanan mereka lebih dilakukan ke

Hijaz, yang merupakan ujung perjalanan mereka. Madinah ketika itu menjadi

pusat ilmu pengetahuan. Dari Madinah ini biasanya mereka keluar menuju Irak.

Namun Irak bukanlah jalur perjalanan kafilah dagang mereka sehingga mereka

hanya mempelajarinya dari masyarakat Madinah.

Di samping itu, sebagian masyarakat Maghrib dan Andalusia hidup jauh dari

peradaban. Mereka tidak mengenal peradaban seperti yang telah dikenal

masyarakat Irak. Karenanya, mereka cenderung berinteraksi dengan masyarakat

Hijaz karena kesamaan kebaduiannya, oleh karena itu mazhab Maliki lebih

30 Ahmad Taimur Basya, al-Madzahib al-Fiqhiyah al-Arba’ah, cet. ke-1, (Kairo: Dâr: al-
Afaq al-Arabiyah, 2001 M), hlm. 64

31 Huzaimah, Perbandingan...., hlm. 77

32 Ahmad Taimur Basya, al-Madzahib al-Fiqhiyah al-Arba’ah..., hlm. 64


18

mereka kenal dan tidak mengalami seleksi peradaban sebagaimana yang terjadi

pada mazhab-mazhab yang lain.33

Biografi Imam Malik

Nasab, Kelahiran, dan Keistimewaannya

Imam Malik dijuluki dengan Syaikhul Islam, Hujjatul Ummah, Imam Darul

Hijrah34. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik

bin Abi Amir bin Amr bin Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin al-Harits

al-Ashbahi al-Humairi. Menurut pendapat yang paling benar, ia lahir pada tahun

93 Hijriyah yang bertepatan dengan tahun wafatnya sahabat Anas ra, pelayan

Rasulullah SAW, Malik tumbuh di dalam keluarga yang bahagia dan

berkecukupan.35 Ia lahir dari keluarga Arab yang berada sejak zaman Jahiliyah

sampai datangnya zaman Islam.36

Abu Mush’ab berkata: “Imam Malik tidak pernah membaca sebuah hadits

Rasulullah SAW kecuali ia dalam keadaan suci sebagai bentuk penghormatan

terhadap hadits Rasulullah SAW.” Abdurrahman bin Mahdi pernah berkata:

33 Ibnu Khaldun, Mukaddimah, terj. Masturi irham dkk, cet. ke-1, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2011 M), hlm. 829

34 Kota Madinah Al-Munawwaroh

35 Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyar A’lami An-Nubala’, (Kairo: Dâr
al-Hadits, 1427 H/2006 M), jilid. 7, hlm. 150

36Abdul Wahhab Zahid, Kitab Hayatul Aimmah Al-Arba’ah, (24-Jumadil-‘Ula 1424 H/25-
Juli-2003 M), hlm. 65
19

“Tidak ada yang tersisa di muka bumi ini seorang yang amanah terhadap hadits

Rasulullah SAW kecuali Malik bin Anas.37

Pendidikan Beliau

Imam Malik mulai menuntut ilmu ketika umurnya menginjak sepuluh tahun,

sedang Malik mulai memberikan fatwa dan memberikan keterangan tentang

hukum ketika umurnya 21 tahun. Dan orang-orang telah mengambil hadits

darinya di saat ia masih muda belia. Orang-orang dari berbagai penjuru sudah

mulai menuntut ilmu kepadanya, dan kondisi tersebut terjadi akhir kekuasaan Abu

Ja’far al-Manshur. Dan orang-orang mulai ramai menuntut ilmu kepadanya ketika

pada zaman khalifah ar-Rasyid sampai Malik meninggal.38

Imam Malik belajar kepada para Ulama Madinah, adapun yang menjadi guru

pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’

Maulana ibnu Umar, Ibnu Syihab, dan az-Zuhri.39

Pada waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini

tidak menghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada al-Qamah bin al-Qamah,

disamping itu dia juga menuntu ilmu nahwu, syair dan juga menghafal al-Quran,

beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama’ yang dikenal sangat cerdas

37 Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al-Ashfahani, Hilyatul Auliya Wa Thabaqath al-
Ashfiya, cet. Ke-1, (Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyah, 2014 M), jilid. 6, hlm. 347

38 Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyar A’lami An-Nubala’..., jilid. 7,
hlm. 154

39 Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah Fiqhul Islam Wa Qhadhaya Mu’ashirah, (Damaskus: Dâr


al-Fikr, 2010 M), jilid. 1, hlm. 44
20

diantara para ulama’ yang menjadi gurunya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat

mengagumi gurunya tersebut, karena kecerdasan dan kealimanya.40

Imam Malik diakui oleh ulama di Madinah sebagai ahli hadist dan ahli fikih,

beliau menghafal hadits sebanyak seratus ribu hadist. Ada yang mengatakan

hadits-haditsnya sekitar sepuluh ribu.41 Berkata Imam Syafi’i tentang beliau:

“Mâlik adalah guruku, darinya aku mendapatkan ilmu, dan ia adalah hujjah antara

aku dengan Allah Ta’ala kelak, dan tak seorangpun yang lebih kupercayai dari

pada beliau dan jika berbicara tentang para ulama, maka Mâlik adalah seperti

bintang yang cahayanya paling terang.”42

Guru dan Murid-Muridnya

Imam Malik menuntut ilmu kepada Ulama Madinah dan ia pun bermulazamah

dengan Abdurrahman bin Hurmuz dalam kisaran waktu yang cukup lama, selain

itu, ia juga belajar dari Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab az-Zuhri.43

An-Nawawi berkata, “Al-Imam Abu Al-Qasim Abdul Malik bin Zaid bin

Yasin Ad-Daulaqi dalam kitab Ar-Risalah Al-Mushannafah fi Bayani

Subulissunnah Al-Musyarrafah berkata, “Malik mengambil hadits dari sembilan

40 Ibid.

41 Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam, cet. ke-1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2003), hlm. 146

42 Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah Fiqhul Islam Wa Qhadhaya Mu’ashiroh..., jilid. 1, hlm. 44

43 Ibid.
21

ratus orang guru, yaitu tiga ratus orang dari generasi Tabi’in dan enam ratus orang

dari generasi Tabi’ut-Tabi’in.”44

Guru-guru Imam Malik adalah orang-orang yang dia pilih sendiri, dan

pilihannya didasarkan pada ketaatannya beragama, ilmu fiqihnya, cara

meriwayatkan hadits, syarat-syarat meriwayatkan dan mereka adalah orang-orang

yang bisa dipercaya.45 Diantara murid-murid46 beliau yang terkenal yaitu dari

Mesir, Selatan Afrika dan Andalusia.47

44 Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, cet. ke-3, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008 M),
hlm. 273

45 Abu Dzakariya Muhyi ad-Din bin Syarif an-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), jilid. 2, hlm. 78-79

46 Dari mesir ada tujuh yaitu: Abu Abdillah, Abdur Rahmân bin al-Qâshim wafat di
Mesir tahun 191 H, beliau berguru kepada Imâm Malik selama dua puluh tahun dan kepada laits
bin sa’ad seorang Ahli fikih asal mesir yang wafat pada tahun 175 H, beliau adalah seorang
mujtahid muthlak.

Abu Muhammad, Abdullah bin Wahab bin Muslim yang lahir pada tahun 125 dan wafat
pada tahun 197 H, mulazamah kepada Imâm Malik selam dua puluh tahun.

Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaishy dilahirkan pada tahun Imâm Syafi’I dilahirkan yaitu
150 H dan wafat pada tahun 204 setelah Imâm Syafi’i wafat 18 hari.

Abu Muhammad Abdullah bin Abdul hikam yang wafat pada tahun 214, beliau adalah
seorang yang faham terhadap madzhâb syafi’I dalam masalah ikhtilaf dan menjadi penerus
madzhâb maliki setelah Asyhab.

Adbagh bin al-Farj, al-umawi yang wafat pada tahun 225 belajar bersama Ibnu Qâshim,
Ibnu Wahab dan Asyhab. Mereka adalah para pakar yang faham mâdzhab maliki.

Muhammad bin Abdullah bin Abdul hikam yang wafat pada tahun 268 yang mana
beliau menimba ilmu fikih dari ayahnya sendiri.

Muhammad bin Ibrahim al-Iskandary bin Ziyad, yang dikenal dengan al-Muwaz ynag wafat
pada tahun 269 H mengambil ilmu fikih kepada ulama masanya sampai beliau dijuluki seorang
yang faham dalam fikih dan fatwa. Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah Fiqhul Islam Wa Qhadhaya
Mu’ashiroh, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2010 M), jilid. 1, hlm. 45

47 Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh..., jilid. 1, hlm. 45


22

Karya Beliau

Imam Malik adalah seorang Imam Hadits dan Fiqh dan memiliki kitab Al-

Muwaththa’, merupakan diantara kitab besar tentang hadits dan fiqih.48

Imam Malik mengarang kitab Al-Muwaththa’ dengan tujuan untuk

mengumpulkan hadits-hadits shahih yang berasal dari Hijaz, dan di dalamnya

disertakan pendapat-pendapat dari para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Ia

mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab Al-Muwaththa’ sebanyak sepuluh ribu

hadits. Ia senantiasa meneliti hadits-hadits tersebut setiap tahunnya, dan banyak

hadits yang terelaminasi, sehingga hanya tersisa seperti yang ada sekarang.49

Wafatnya

Isma’il bin Uwais berkata: “Imam Malik merasakan sakit lalu meninggal, dan

aku bertanya pada keluarganya tentang apa yang terakhir dikatakannya ketika

menghadapi sakaratul maut. Mereka menjawab, “Malik mengucapkan dua

syahadat kemudian dia membaca ayat al-Qur’an yang berbunyi:

‫ر م رل ناألنمهر رمنَ قهنبهل هورمنَ ب هنعهد‬

“Bagi Allah-lah sebelum dan sesudah (mereka menang).” (QS. Ar-Ruum: 4)

48 Ibid, hlm. 44

49 Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama’... hlm. 274-275


23

Imam Malik meninggal di waktu Shubuh pada tanggal 14 Rabiul Awwal tahun

179 Hijriyah. Amirul Mu’minin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim juga ikut

menyolatinya.”50

Metode Istinbath Imam Malik

Adapun kaidah yang digunakan Imam Malik dalam istinbath hukum

diantaranya:

Al-Qur’an

Imam Malik menyandarkan pendapatnya kepada al-Qur’an, beliau menjadikan

al-Qur’an sebagai landasan hukum yang paling sempurna.51 Beliau terlebih dulu

mengedepankan al-Qur’an dari as-Sunnah dan yang lainnya. Beliau juga tidak

pernah mengambil nash kecuali nash yang jelas dan tidak mengambil takwil.52

As-Sunnah

Imam Malik menjadikan as-Sunnah sebagai kedudukan kedua setelah al-

Qur’an. Beliau selalu mengambil hadits yang mutawatir dan sangat hati-hati

dalam mengambil periwayatan hadits, terkadang Imam Malik menerima hadits

mursal selama perawi haditsnya tsiqoh.53 Imam Malik berkata, “Saya hanyalah

manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku.

50 Ibid., hlm. 276

51 Mana’ al-Qathan, Tarikh Tasyri’ al-Islam at-Tasyri’ wa al-Fiqh, cet. ke-2, (Riyadh:
Maktabah al-Ma’arif , 1996 H), hlm. 352

52 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Arba’ah, (t.t.p.: Dâr al-Fikr, t.t.), jilid. 2,
hlm. 214

53 Mana’ al-Qathan, Tarikh Tasyri’ al-Islam..., hlm. 353


24

Bila sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ambilah dan bila tidak sesuai dengan

keduanya, tinggalkanlah.54

Amalu Ahlu Madinah (Amalan Penduduk Madinah)

Imam Malik meyakini bahwasanya Madinah adalah Darul Hijrah, tempat

turunnya al-qur’an, tempat tinggal Rasulullah SAW beserta para Sahabatnya.

Penduduk Madinah adalah orang yang paling faham bagaimana Al-Qur’an

diturunkan dikarenakan Rasulullah SAW apabila wahyu turun langsung

menjelaskannya kepada Ahlu Madinah, inilah keutaman penduduk Madinah dari

yang lainnya. Karenanya Imam Malik menjadikan Amal Ahlu Madinah sebagai

hujjah yang lebih diutamakan dari pada qiyas dan khabar ahad.55

Qaul Shahabi (Perkataan Sahabat)

Apabila tidak ditemukan hadits shahih dalam suatu permasalahan, maka Imam

Malik menjadikan Qaul Shahabi sebagai hujjah, karena para sahabat adalah orang

yang paling mengetahui takwil dan paling tahu dalam masalah mâqhasid suatu

hukum dikarenakan mereka mengetahui bagaimana ayat itu turun, mereka

mendengar perkataan Rasulullah SAW. Akan tetapi Imam Malik lebih

mengutamakan Amalan Ahlu Madinah dari pada Qaul Shahabi.56

54 Abu Umar Abdullah Kamil, Tabel Thaharah Empat Mazhab, (Solo: Media Zikr, 2010),
hlm. 20

55 Mana’ al-Qathan, Tarikh Tasyri’ al-Islam..., hlm. 353

56 Mana’ al-Qathan, Tarikh Tasyri’....., hlm. 354


25

Imam Malik menjadikan perkataan sahabat menjadi hujjah ketika sanadnya

shahih, diriwayatkan dari sahabat terkemuka dan tidak menyalahi hadits marfu’

yang baik dijadikan hujjah.57

Maslahah Mursalah

Mengamalkan maslahat mursalah adalah landasan yang digunakan Imam

Mâlik dalam mazhabnya, yaitu meraih kemaslahatan dan menghilangkan

kemadharatan yang mana syari’at tidak membatalkannya dan tidak mengambilnya

juga dalam keadaan-keadaan tertentu. Karena pembebanan syari’at itu

dikembalikan kepada penjagaan maqhasid syari’ah, baik secara dharuriyat,

hajiyat, ataupun tahsiniyat.58

Qiyas

Imam Malik ketika tidak menemukan dalil dari al-Qur’an ataupun as-Sunnah,

qaul shahabah, ijma’ dari amalu ahlul madinah, maka Imam Malik berijtihad

dengan menggunakan qiyas dalam ijtihadnya. Sebagimana disebutkan dalam al-

muwatha’ suatu ketika Imam Malik ditanya tentang wanita haidh yang hendak

bersuci namun ia tidak menemukan air, maka apakah boleh ia bertayamum?

Beliau mengatakan,”Ya”. Beliau menyamakan keadaan wanita tersebut dengan

seorang yang junub ketika tidak adanya air, maka boleh bertayamum. Imam Malik

menqiyaskan wanita haidh dengan seorang yang junub.59

57 Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah...., hlm. 149

58 Mana’ al-Qathan, Tarikh Tasyri’....., hlm. 354

59 Mana’ al-Qathan, Tarikh Tasyri’....., hlm. 355


26

Saddu Dzara’i

Adz-Dzara’i bentuk jamak dari dzari’ah, menurut al-Qurafi dalam kitab al-

Furuq artinya perantara kepada sesuatu. Menurut Imam asy-Syatibhi dalam

kitabnya al-Muwafaqot yaitu sikap kehati-hatian dalam melakukan suatu amalan

yang dipebolehkan kepada amalan yang terlarang, maknanya yaitu segala sesuatu

yang secara dzahir diperbolehkan akan tetapi menjurus kepada sesuatu yang

diharamkan. Yang dimaksud saddu dzari’ah disini adalah penghalang segala

sesuatu kepada kerusakan, walaupun hukum aslinya mubah akan tetapi menuju

kerusakan. Maka wajib untuk ditinggalkan karena meninggalkan suatu kerusakan

itu lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan.60

Imam Malik dalam mengistinbathkan suatu hukum banyak menggunakan

saddu dzari’ah. Contohnya dalam masalah hilal, beliau menggunakan saddu

dzari’ah dalam berfatwa, barang siapa yang melihat hilal sendirian maka tidak

diambil dikarenakan celah untuk berbuat fasik itu sangat memungkinkan.61

Mazhab Syafi’i

Mazhab ini mengikuti Imam asy-Syafi’i. Ia mengembara ke Irak setelah

Imam Malik dan bertemu dengan para sahabat Imam Abu Hanifah dan banyak

belajar dari mereka. Imam asy-Syafi’ menyatukan antara metode masyarakat

Hijaz (ahli hadits) dengan metode masyarakat Irak (ahli ra’yi), lalu ia mendirikan

mazhab sendiri yang berbeda dengan mazhab Imam Malik dalam berbagai

60 Ibid.

61 Ibid., hlm.356
27

permasalahan fiqih.62 Mazhab syafi’i berkembang di Mesir, Siria, Pakistan, Saudi

Arabia, India Selatan, Muangtai, Malaysia, Philipina dan Indonesia.63

Biografi Imam Syafi’i

Nasab, Kelahiran, dan Keistimewaannya

Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin

Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-

Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah.

Beliau dilahirkan di Gaza, Palestina, tepatnya di negeri Syam pada tahun 150

Hijriyah, bertepatan dengan tahun wafatnya Abu Hanifah.64 Ayahnya wafat ketika

ia masih kecil berumur dua tahun, ibunya membawanya ke Makkah supaya

nasabnya tidak hilang atau tidak terputus dengan keluarga ayahnya, dan akhirnya

ia bertumbuh dewasa di sana.65

Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Imam Syafi’i bagaikan matahari bagi alam

raya, dan penyegar bagi tubuh, apakah ada manusia yang tidak membutuhkannya?

Dia juga seorang penyair yang bijak, ahli bahasa, dan ahli nasab.”

62 Ibnu Khaldun, Mukaddimah..., hlm. 827

63 Huzaimah, Perbandingan....., hlm. 77

Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al Umm, Terj. Muhammad Yasir Abd Muthalib,
(Jakarta:Pustaka Azzam cet.10, 2013 ) , jilid. 1-2, hlm. 3

64 Wahbah Az-Zuhaili, Musu’atul Fiqhi...., hlm. 47

65 Abul Fida’ Isma’il bin Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah, (t.t.p.: Dâr al-Aqidah, t.t.),
jilid.10, hlm. 226

Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 340
28

Pendidikan Beliau

Imam Syafi’i belajar di Mekkah dan berguru dengan seorang ulama’ bernama

Muslim bin kholid az-Zanji, sampai akhirnya ia diizinkan untuk berfatwa ketika

berumur 15 tahun. Kemudian Imam Syafi’i berhijroh ke Madinah, disana Imam

Syafi’i berguru kepada Malik bin Anas, darinya Imam Syafi’i mempelajari kitab

Al-Muwattho’ dan dalam sembilan malam ia mampu menghafalnya. Selama di

Madinah ia juga telah meriwayatkan hadits dari Sufyan bin ‘Uyainah, Fudhail bin

‘Iyadh, dan pamannya Muhammad bin Syafi’i.66

Berbagai disiplin ilmu agama telah diperoleh oleh Imam Syafi’i di Madinah,

meskipun demikian tidak membuat ia berpuas diri hingga kemudian ia kembali

menuntut ilmu namun ditempat yang berbeda. Untuk itu Imam Syafi’i berhijroh

ke Yaman, disana ia menguasai banyak ilmu agama. Hingga akhirnya iapun

berhijroh ke Baghdad pada tahun 183 H.67

Pada tahun 187 H Imam Ahmad bin Hanbal bertemu dengan Imam Syafi’i di

Mekkah, kemudian di tahun 190 H, ia bertemu untuk kedua kalinya di Baghdad.

Dari Imam Syafi’i ia mempelajari ilmu fiqih dan ushul fiqh, serta ilmu nasikh dan

mansukh dalam al-Qur’an.

Di Baghdad Imam Syafi’i mengarang kitab bernama al-Hujjah yang memuat

didalamnya mazhabul qadim (mazhab lama), ia meriwayatkan bersama empat

orang shahabat yang berasal dari Irak, yakni diantaranya; Ahmad bin Hanbal, Abu

66 Wahbah Az-Zuhaily, Mausu’ah Al fiqh....., jilid. 1, hlm. 47

67 Ibid
29

Tsaur, Ja’faroni, Al-Karabisi, dan ia sendiri. Kemudian ketika berpindah ke Mesir

pada tahun 200 H, lahirlah mazhabul jadid (mazhab baru).68 Adapun yang

meriwayatkan mazhab baru Imam Syafi’I dalam al-Umm juga empat orang

muridnya namun dari kalangan penduduk Mesir. Mereka ialah al-Muzani, al-

Buwaithi, ar-Rabi’ al-Jizi dan ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi.

Karangan pertama Imam Syafi’i adalah kitab Ar-Risalah yang memuat di

dalamnya ilmu tentang ushul fiqih dan kitab Al-Umm yang merupakan kitab fiqih

mazhab baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, ia juga Imam di

bidang fiqih, hadits, dan ilmu ushul. Imam Syafi’i telah berhasil menggabungkan

ilmu fiqih ulama’ Hijaz dengan ulama’ Iraq. Imam Ahmad berkata, “Imam Syafi’i

adalah orang yang paling alim berkenaan dengan kitab Allah dan sunnah

Rasulullah SAW.” ia juga pernah berkata, “Siapapun yang memegang tinta dan

pena ditangannya, maka ia berutang budi kepada Syafi’i.”69

Guru dan Murid-Muridnya

Terkait dengan guru-gurunya Imam Syafi’i: al-Hafizh Ibnu Hajar berkata,

“Imam asy-Syafi’i berguru kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji, Imam Malik bin

Anas, Ibrahim bin Sa’ad, Said bin Salam Al-Qaddah, Ad-Darawardi, Abdul

Wahab Ats-Tsaqafi, Ibnu Ulyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Dhamrah, Hatim bin

Ismail, Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya, Ismail bin Ja’far, Muhammad bin

68 Wahbah Az-Zuhaily, Mausu’ah Al fiqh....., jilid. 1, hlm. 47

69 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2010), jilid. 1, hlm. 45
30

Khalid Al-Jundi, Umar bin Muhammad bin Ali bin Syafi’ Ash-Shan’ani, Athaf bin

Khalid Al-Makhzumi, Hisyam bin Yusuf Ash-Shan’ani dan masih banyak lagi.”

Adapun murid-muridnya diantaranya: Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, Abu

Bakar Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi, Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami,

Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, Imam Ahmad bin Hambal, Abu Ya’qub Yusuf bin

Yahya Al-Buwaithi, Harmalah, Abu Ath-Thahir bin As-Sahr, Abu Ibrahim bin

Ismail bin Yahya bin Al-Muzni, Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, Ar-Rabi’ bin

Sulaiman Al-Jizi, Amr bin Sawad Al-Amiri, Al-Hasan bin Muhammad bin Ash-

Shabbah Az-Za’farani, Abul Walid Musa bin Abi Al-Jarud Al-Makki, Yunus bin

Abdil A’la, Abu Yahya Muhammad bin Sa’ad bin Ghalib Al-Aththar, dan lain-

lain.”70

Karya Beliau

Termasuk kitab yang terpenting yang ditulis oleh imam Syafi’i adalah kitab al-

Umm. Syaikh Abu Zahrah berkata: ulama telah bersepakat bahwa apa yang ada di

dalam kitab al-Umm yang merupakan pendapat-pendapat yang bersumber dari

Imam Syafi’i itu benar, dan ini merupakan hujjah pertama di dalam mazhabnya,

kitab ini terdiri dari delapan juz yang berisi tentang masalah fiqh. Yang kedua

adalah kitab Ar-Risalah yang berisi tentang kaidah-kaidah mazhabnya. Pengarang

kitab Kasyfu ad-Dhunun mengatakan: orang pertama kali yang menyusun ilmu

Ushulul Fiqh adalah Imam Syafi’i.71

70 Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Tahdzib At-Tahdzib, (t.t.p.: Muassasah ar-Risalah, t.t.), jilid. 3,
hlm. 497-498

71 Abul Fida’ Isma’il bin Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah...., jilid.10, hlm. 305, 306
31

Wafatnya

Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata, “Imam asy-Syafi’i meninggal pada malam

jum’at setelah maghrib. Pada waktu itu, aku sedang berada di sampingnya.

Jasadnya di makamkan pada hari jum’at setelah ashar, hari terakhir di bulan

Rajab. Ketika kami pulang dari mengiring jenazahnya, kami melihat hilal bulan

Sya’ban tahun 204 Hijriyah.”72

Metode Istinbath Imam Syafi’i

Kaidah yang digunakan Imam asy-Syafi’i dalam melakukan istinbathkan

terhadap suatu hukum yaitu:

Al-Qur’an

Imam asy-Syafi’i merujuk kepada al-Qur’an sebagai sumber dalam hukum

syar’i. Menurut Imam asy-Syafi’i, berdalil menggunakan al-Qur’an harus dengan

memahaminya dari segi lafadz perintah dan larangan, lafadz umum dan khusus,

mujmal dan mubayyin, serta nasikh dan mansukh.73

As-Sunnah

Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwasanya kita wajib menerima sunnah

sebagaimana telah diwajibkan dalam al-Qur’an untuk menta’ati Rasulullah

SAW.74 Imam asy-Syafi’i berkata, “Setiap orang harus bermazhab kepada

72 Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama ..., hlm. 383

73 Mana’ al-Qathan, Tarikh Tasyri’....., hlm. 371-372

74 Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Fikih....., hlm. 155


32

Rasulullah SAW dan mengikutinya. Apaupun jika aku mengatakan sesuatu sesuai

dengan Rasulullah SAW maka ikutilah, namun apabila pendapat yang aku katakan

itu berlawanan dengan Rasulullah SAW, maka tinggalkanlah pendapatku dan

ambilah pendapat Rasulullah SAW karena itu merupakan sandaran pendapat yang

aku katakan.”75

Ijma’

Imam Asy-Syafi’i menjadikan ijma' sebagai hujjah setelah al-Qur’an dan as-

Sunnah dan sebelum qiyas. Ijma’ menurutnya yaitu kesepakatan para ulama pada

suatu masa dalam satu perkara yang dijadikan hujjah. Beliau mengambil ijma’nya

para shahabat dikarenakan para shahabat mendengarkan langsung dari Rasulullah

SAW terhadap sunnah dan sepakat didalamnya walaupun mereka berijtihad.

Menurut beliau tidak dikatakan ijma’ kecuali dari para ulama kaum muslimin

disetiap daerah, beliau berpanutan kepada gurunya yaitu Imam Malik yang

menjadikan ijma’ penduduk madinah jadi hujjah.76

Qaul Shahabi (Perkataan Sahabat)

Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm

(kitab yang baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam

al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau

salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih

senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika

75 Abu Umar Abdullah Kamil, Tabel Thaharah......., hlm. 21

76 Mana’ al-Qathan, Tarikh Tasyri’....., hlm. 374


33

kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang

lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang

mempunyai dilalah”.77

Qiyas

Setelah ijma’ para shahabat Imam Asy-Syafi’I menjadikan qiyas sebagai

metode pengambilan hukum beliau, yang mana berbeda dengan Abu Hanifah yang

mendahulukan qiyas dari pada hadits ahad dan dilarang melakukan ijtihad

menggunakan akal sebelum mengambil dari al-Qur’an atau as-Sunnah ataupun

sebelum mengqiyaskannya.78

77 Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad Bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm...., jilid.3,
hlm. 24

78 Mana’ al-Qathan, Tarikh Tasyri’....., hlm. 375-376


34

BAB III

LANDASAN TEORI

Definisi Mahar

Secara Bahasa

Kata mahar berasal dari bahasa arab yaitu al-Mahr, jamaknya muhur dan

muhurah.79 Asal katanya di ambil dari fi’il madhi “mahara” sedangkan

pemakaian katanya ialah ‫ أأنمههللهر ال هللنرأأهة‬yang artinya ia memberikan mahar kepada

seorang perempuan.80 Dalam kamus al-Munawwir, kata mahar berarti maskawin.81

Mahar ini memiliki sepuluh nama, yaitu mahar, shidâq, shadaqah, nihlah, ajr,

faridhah, hibâ, ‘uqr, ‘alâ’iq, thaul, dan nikah.82

Secara Istilah Syar’i

Mahar adalah harta yang berhak didapatkan oleh seorang istri yang harus

diberikan oleh suami, baik karena akad maupun karena jimak.83

Abdurrahman al-Jaziri84 dalam kitabnya “al-Fiqhu ‘ala Madzahib

al-‘Arba’ah” mengatakan bahwa mahar adalah nama harta yang wajib diberikan

79 Ibnu Mandhur, Lisanul Arab, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, t.t.), jilid. 46, hlm. 4286

80 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, t.t.), hlm. 431

81 Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet. ke-14, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1363

82 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, (Jakarta:
Gema Insani, 2010), jilid. 9, hlm. 231

83 Ibid., jilid. 9, hlm. 230


35

kepada seorang perempuan pada saat akad nikah, sebagai imbalan untuk

bersenang-senang dengannya.85

Menurut istilah syar’i, para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai

pengertian mahar, diantaranya:

Menurut Hanafiyah

Menurut sebagian mazhab Hanafiyah, mahar adalah sesuatu yang didapatkan

seorang perempuan akibat akad pernikahan ataupun persetubuhan.86

Menurut Malikiyah

Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan

jimak dengannya.87

Menurut Syafi’iyah

Mahar adalah sesuatu yang diwajibkan sebab akad pernikahan atau jimak.88

84 Nama beliau adalah Abdurrahman bin Muhammad ‘Iwadh al-Jaziri, beliau seorang ahli
fiqih dan salah satu ulama al-Azhar. Beliau dilahirkan di Jazirah Syanduwail, Mesir pada tahun
1299 H/18882 M. Beliau menuntut ilmu di Universitas al-Azhar pada tahun 1313 H sampai tahun
1326 H. Beliau juga merupakan seorang ustadz di Universitas Ushul ad-Din, dan termasuk bagian
dari Hai’ah Kibar al-Ulama’. Beliau meninggal dunia di Hulwan pada tahun 1360 H/1941 M. Di
antara kitab karangannya yaitu, al-Fiqih ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Taudhih al-‘Aqaid, dan al-
Akhlak ad-Diniyah wa al-Hukum asy-Syar’iyah. Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala Madzahib
al-‘Arba’ah, (t.t.p.: Dâr at-Takwa, t.t.), jilid. 1

85 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah, (t.t.p.: Dâr at-Takwa, t.t.),
jilid. 4, hlm. 75

86 Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, cet.
ke-2, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 1986), jilid. 2, hlm. 278

87 Shadiq ‘Abdurrahman al-garyani, Mudawwanah al-Fiqhi al-Maliki wa Adillatuhu, cet. ke-


1, (Beirut: Muassasah ar-Rayan, 2002 M), jilid. 2, hlm. 578, Muhammad ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-
Dasuqi ‘ala Syarhu al-Kabir, (t.t.p.: Dâr al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), jilid. 2, hlm. 293
36

Menurut Hanabilah

Mahar merupakan sebagai pengganti dalam akad pernikahan, baik mahar

ditentukan di dalam akad, atau ditetapkan setelahnya dengan keridhaan kedua

belah pihak atau hakim.89

Masyru’iyyah Mahar

Hukum mahar adalah wajib bagi laki-laki dan bukan bagi perempuan, dengan

dalil-dalil berikut:

Dalil-Dalil dari Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman:

‫هوهءاتهنوُلُا الرنهسآ آهء هصهدقه ررتمنَ ر نن ه ئل فهاًنِ رط ن هب لهنهك هعنَ ه ن‬


ً‫شءء رممننهه ن ههفئساً فه ه هكوُلُهه ههرنيئئاً ممرريئئا‬
‫إ‬

"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian dengan penuh kerelaan Jika mereka menyerahkan kepada kamu

sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah)

pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-

Nisa’: 4)

88 Muhammad Zuhaily, Al-muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, cet. ke-1, (Damaskus:


Dâr al-Qalam, 1996), jilid. 4, hlm. 193, Syamsyuddin Muhammad bin Khathib asy-Syarbini,
Mughni Muhtaj, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1997), jilid. 3, hlm. 291

89 Idris al-Bahuti, Kasyaful Qina’ ‘an Matan al-Iqna’, cet. ke-1, (Beirut: ‘Alahul Kitab,
1997), jilid. 4, hlm. 115, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-
Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2008), jilid. 5,
hlm. 553
37

Al-Qurthubi90 mengatakan dalam tafsirnya: “Ayat ini menunjukkan adanya

kewajiban mahar bagi perempuan, dan ini telah menjadi ijma’ serta tidak ada

perselisihan didalamnya, kecuali pendapat sebagian Ahlu ‘Ilmi dari Irak, bahwa

jika ada tuan yang menikahkan budak perempuannya maka tidak ada kewajiban

mahar dalam pernikahannya.91 Musthafa al-‘Adawi92 mengatakan dalam kitabnya,

“Jami’ Ahkami an-nisa’”, dari perkataan salah seorang ahlu ilmi bahwa makna

“Nihlah” adalah kewajiban. Dan al-Hafidz Ibnu Katsir 93 berkata setelah

90 Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-
Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, beliau meninggal pada malam senin tanggal 9 bulan
syawal 671 H. Beliau memiliki keistimewaan akan sifatnya yang terpuji sampai banyak ulama
yang menyanjungnya. Al-Hafidz Abdul Karim berkata: “Beliau adalah seorang hamba Allah yang
sholih, seorang ulama yang mulia dan wara’, yang zuhud terhadap dunia dan seorang yang
disibukan akan perkara-perkara akhirat.” Di antara kitab karangannya yaitu, Tafsir al-Qurthubi.
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, cet.
ke-3, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2010), jilid. 1

91 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-
Qur’an, cet. ke-3, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2010), jilid. 3, hlm. 17

92 Syeikh Mustafa al-'Adawi adalah seorang da’i ahli sunnah dan ulama' yang cukup terkenal
dari Mesir. Dilahirkan pada tahun 1945 di sebuah kampung bernama Maniah Samnud di wilayah
al-Daqhaliah. Beliau pernah menempuhi pendidikan di fakultas teknik tepatnya jurusan teknik
mesin tahun 1977.. Dia tinggalkan kampung halaman tercinta menuju Yaman tepatnya untuk
belajar dengan Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i. Di antara karya beliau dalam bidang tafsir
Qur’an yang dinamakan At Tashiil wa Ta’wil. Dalam bidang fikih beliau memiliki kitab Al Jaami’
li Ahkaamin Nisa’. Dalam hadits beliau punya kitab Ash Shahih Al Musnad min Ahadits Al Fitan
wa Asyrotis Saa’ah. Dan dalam ilmu mustholah hadits, beliau memiliki kitab As-ilah wa Ajwibah
fii ‘Ilmi Mustholahil Hadits. http://ustaznaim.blogspot.co.id/2011/07/syeikh-mustafa-al-adawi-
lulusan-teknik.html, diakses tanggal 22 Februari 2016.

93 Nama lengkapnya adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-
Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H di
sebuah desa Majdal yang menjadi bagian dari kota Bashra di negeri Syam. Ibn Katsir tumbuh
besar di kota Damaskus. Di sana, beliau banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut,
salah satunya adalah Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari. Beliau juga menimba ilmu dari Isa
bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi. Kitab beliau dalam bidang
tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Selain Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, beliau juga menulis
kitab-kitab lain yang sangat berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di
antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu.
Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 657 H di Damaskus dan dikuburkan bersebelahan dengan
makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Kairo:
38

menyebutkan perkataan ahlu ilmi maka dari perkataan mereka mengandung

makna bahwa seorang laki-laki wajib atasnya untuk membayar mahar kepada

perempuan secara sempurna.94

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

‫فههماً ناسسهتنمهتنع نهت ربره رم ننههنَ فهئهاًتهنوُلُهههنَ أأهجوُلُهرهههنَ فهررينهضئة هوهل هجنهاًهح عهلهنينهك رقنيهماً تههراهضني نهت ربره رمننَ ب هنعرد نال ههفررينهضرة‬

“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,

berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu

kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah

saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.” (QS. An-Nisa’: 24)

Allah Ta’ala juga berfirman:

َ‫هوهل هجنهاًهح عهلهنينهك أأننِ تهننركهحنوُلُههمنَ اهذا أ آتهينهتهمنوُلُههمنَ أأهجنوُلُهرههمن‬


‫إ‬

“Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu membayar kepada

mereka maharnya.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Dalil-Dalil dari As-Sunnah

Diriwayatkan dari Sufyan dari Abi Hazim dari Sahl bin Sa’id, bahwasannya

Rasulullah SAW berkata kepada seorang laki-laki yang hendak menikah,

‫تههزمونج هول هنوُلُ ر هباًهت رمننَ هحردينءد‬

Maktabah at-Taufiqiyah, t.t.), jilid. 1, hlm. 7

94 Musthafa al-Adawi, Jami’ Ahkami an-nisa’, Cet. 1 (Riyadh: Dâr Ibnul Qayyim, 1429 H/
2008 M), jld. 3, hlm. 315
39

“Nikahlah walaupun hanya sekedar cincin yang terbuat dari besi.” (HR. Al-

Bukhari)95

Dalam hadits di atas Rasulullah SAW telah menetapkan bahwa dalam

pernikahan harus ada mahar. Disunnahkan untuk menyebutkan mahar dalam akad

karena Rasulullah SAW tidak pernah tidak menyebutkannya dalam pernikahan

dan karena untuk menghindari adanya permusuhan, agar tidak menyerupai nikah

wahibah (terlihat bahwa ia memberikan dirinya untuk Nabi).96

Sebagaimana yang diriwayatkan juga dari Anas bin Malik, bahwasannya

Abdurrahman bin ‘Auf menikahi seorang wanita pada masa Rasulullah SAW

dengan emas seberat biji-bijian. Rasulullah SAW bersabda,

‫أأنورلنم هو ل هنوُلُ ربهشاًءة‬

“Buatlah walimah dengan menyembelih seekor kambing.” (HR. Muslim dan

Abu Daud)97

Dalil dari Ijma’

95 Muhammad bin Isma’il al-Al-Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih, “Kitab Nikah”, cet. Ke-1,
(kairo: Maktabah as-Salafiyah, 1400 H), jilid. 3, hlm. 375, hadits no. 5150, Ahmad bin ‘Ali bin
Hajar al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Al-Bukhari, “Kitab Nikah”, (Kairo: Dâr al-
Hadits, 2003), jilid. 9, hlm. 249

96 Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islam Wa al-Qhadhaya al-Mu’ashirah,


(Damaskus: Dâr al-Fikr, 2010 M), jld. 8, hlm. 248

97 Imam Muslim, al-Jami’ ash-Shahih, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Jail, t.t.),
jilid. 4, hlm. 144, Abu Daud, Sunan Abi Daud, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, (Beirut: Dâr Ibnu Hazm,
1418 H/1997 M), jilid. 2, hlm. 403, hadits no. 2109
40

Mahar hukumnya wajib atas laki-laki dalam pernikahan, menurut ijma’ ulama

kaum Muslimin.98 Ibnu Abdil Bar99 menukil bahwa Ahlul Ilmi sepakat akan

kewajiban membayar mahar dan beliau mengatakan bahwa ulama kaum muslimin

bersepakat akan ketidakbolehan melakukan jimak dalam pernikahan tanpa

membayar mahar baik secara tunai atau di tangguhkan.100

Kedudukan Mahar

Mahar adalah sesuatu yang penting dalam pernikahan. Ulama bersepakat

bahwasannya mahar merupakan kewajiban bagi suami. Mahar merupakan syarat

sah nikah menurut para ulama mazhab Maliki. Yaitu pernikahan harus dilakukan

dengan mahar dan pernikahan tidaklah sah tanpa mahar. Akan tetapi tidak

disyaratkan menyebutkannya ketika akad, hanya saja dianjurkan, karena hal itu

mengandung ketenangan jiwa dan mencegah terjadinya sengketa di kemudian

hari. Jika tidak disebutkan ketika akad maka harus disebutkan ketika hendak

98 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari dan
Amir Hamzah, (Jakarta: Pustaka at-Tazkiya, 2006), jilid. 4, hlm. 217

99 Nama lengkap beliau adalah Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Barr bin Ashim
an-Namiri al-Andalusi al-Qurthubi al-Maliki. Beliau dilahirkan pada tahun 368 H bulan Rabiul
Akhir dan ada juga yang mengatakan ia dilahirkan pada bulan Jumadil Ula. Beliau adalah seorang
ahli fikih dan ulama yang banyak meriwayatkan hadits. Dalam bidang fikih, ia condong ke mazhab
Syafi’i. Di antara guru-gurunya adalah Khalaf bin al-Qasim, Abdul Warits bin Sufyan, dan
sejumlah lainnya. Adapun murid-muridnya adalah Abu Muhammad bin Hazm, Abu Daud dan
yang lainnya. Di antaranya adalah kitab at-Tamhid lima fi al-Muwaththa min al-Ma’ani wa al-
Asanid. Dan beliau meninggal pada malam jum’at, akhir bulan Rabiul Akhir 463 H. Ahmad Farid,
60 Biografi Ulama Salaf, cet. ke-3, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008 M), hlm. 684-68

100 Umar Sulaiman al-Asyqar, Ahkam az-Zawaj fi Dhou’i al-Kitab wa as-Sunnah, cet. ke-1,
(t.t.p: Dâr an-Nafais, 1997), hlm. 255
41

berjimak, atau ditetapkan mahar mitsli setelah berjimak.101 Dan ini adalah

pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Hujjah pendapat ini sebagai berikut:

Allah Ta’ala berfirman:

‫فههماً ناسسهتنمهتنع نهت ربره رم ننههنَ فهئهاًتهنوُلُهههنَ أأهجوُلُهرهههنَ فهررينهضئة‬

“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,

berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu

kewajiban” (QS. An-Nisa’: 24)

Allah Ta’ala juga berfirman:

َ‫هوهل هجنهاًهح عهلهنينهك أأننِ تهننركهحنوُلُههمنَ اهذا أ آتهينهتهمنوُلُههمنَ أأهجنوُلُهرههمن‬


‫إ‬

“Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu membayar kepada

mereka maharnya.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Allah Ta’ala menjadikan pernikahan dengan tanpa mahar sebagai salah satu

keistimewaan Nabi, dan tidak berlaku bagi seorang pun selainnya.

Dan sebagaiman hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas,

‫ أأنعرطههاً هشللينئئاً هقلنللهت‬:‫ قهاًهل‬,‫ انبرنَ رب‬,‫ هي هرهسوُلُهل ا م رل‬:‫ض اهمل هعننهاً فههقلنهت‬
‫تههزمونجهت فهاًرطهمهة هر ر ه‬: ‫هعننَ انبرنَ هعمباًءس أأمنِ عهرليياً قهاًهل‬

‫إ‬ ‫ ر ه‬:‫شءء قهاًهل فهآأنيهنَ ردنرعههك النهحهطرمميهة؟ُ قهلنهت‬


‫ فهآأنعرطههاً اميهه‬:‫ قهاًله‬,ِ‫ه رعننردي‬ ‫هماً رعننرديِ رمننَ ه ن‬

“Dari Ibnu Abbas, Ali berkata: Aku menikahi Fathimah, maka aku katakan,

“Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku.” Nabi berkata, “Berikanlah sesuatu


101 Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh...,jld. 8 hlm. 90
42

kepadanya.” Aku mengatakan, “Aku tidak punya apa-apa.” Nabi bertanya, “Di

manakah baju perangmu yang hancur itu?” Aku menjawab, “Ada padaku.” Nabi

berkata, “Berikanlah ia padanya (sebagai maharnya)” (HR. An-Nasa’i)102

Nash-nash diatas, zhahirnya menunjukan penyebutan mahar dan

penyerahannya adalah syarat sahnya pernikahan. Namun Allah Ta’ala

menyebutkan dalam firmannya:

‫هلهجنهاًهح عهلهنينهك انِ هطل منق ههت ال رن مهسآ آهء هماًل هنم تههمشسوُلُههمنَ أأنو تهنفررهضوُلُا ل هههمنَ فهرريهضئة‬
‫إ‬

“Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu menceraikan

istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu

menentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236)

Ayat di atas menunjukan sahnya pernikahan dengan tanpa menyebutkan mahar

dan belum menyerahkannya kepada istri, dan ini adalah perkara yang telah

disepakati. Meskipun persyaratan mahar belum ditentukan kadar besar dan

kecilnya, tetap saja memberi mahar pada hukum asalnya wajib.

Sementara jumhur ulama diantaranya, Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad

berpendapat, mensyaratkan penafian mahar tidak membatalkan pernikahan dan

wanita tersebut wajib mendapatkan mahar mitsli.

102 An-nasa’i, as-Sunan al-Kubra Li an-Nasa’i, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, (Beirut: Muassah
ar-Risalah, 1421 H/200i M), jilid. 5, hlm. 241, hadits no. 5541
43

Abu Malik Kamal bin as-Sayid Salim, 103 pengarang kitab Shahih Fiqih

Sunnah berkata, “Mungkin yang menjadi alasan mereka bahwa akad pernikahan

dinilai sah dengan tanpa menentukan mahar, sehingga sah pula dengan menafikan

mahar.”104

Dari perbedaan pendapat diatas, pendapat yang paling rajih adalah pendapat

pertama, yaitu pendapat mazhab maliki. Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

“Barangsiapa berpendapat bahwa mahar bukanlah tujuan, maka ini adalah

pendapat yang tidak sesuai dengan kenyataannya, karena mahar adalah rukun

dalam pernikahan. Jika mahar disyaratkan di dalam pernikahan, maka itu lebih

ditegaskan ketimbang syarat harga, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Syarat yang

paling berhak untuk kalian tepati, ialah syarat yang dengannya kalian dihalalkan

terhadap kemaluan wanita.” (HR. Al-Bukhari)105

Harta benda dihalalkan dengan tukar menukar (jual beli dan sejenisnya), dan

kemaluan wanita tidak dihalalkan kecuali dengan mahar. Pernikahan hanyalah sah

103 Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim adalah di antara ulama yang dahulunya
seorang Insinyur. Beliau meninggalkan profesinya tersebut dan beralih menimba ilmu syar’i.
Beliau berasal dari Mesir dan sudah sangat ma’ruf dengan kitabnya yang terkenal yaitu kitab
Shahih Fiqh Sunnah yang diterbitkan oleh Al Maktabah At Taufiqiyah. Di antara guru beliau
adalah Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dan Syaikh Abu Malik di antara muridnya yang senior. Syaikh
Abu Malik juga pernah belajar dari ulama-ulama di Kuwait dan ulama Saudi Arabia. Beliau
banyak mempelajari ilmu hadits dan fikih. Dan saat ini sering menyalurkan ilmu fikih dan ushul
fikih. Di antara karya beliau yang terkenal adalah Shahih Fiqh Sunnah, Fiqh Sunnah lin Nisaa.
Kitab lain yang beliau susun ialah Kitab fii Ahkamil Jum’ah, Kitab fi Akhthoin Nisaa’, Kitab
Ta’zhim Qodrish Sholaah, dan Ta’liq ‘ala Syarh Al Baiquniyah. https://rumaysho.com/2992-
ilmuwan-yang-menjadi-ulama-1.html, diakses tanggal 22 Februari 2016.

104 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Kairo-mesir: Maktabah
at-Taufiqiyah, 2003), jilid. 3, hlm. 147-149

105 Muhammad bin Isma’il al-Al-Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih, “Kitab Nikah”, cet. Ke-1,
(kairo: Maktabah as-Salafiyah, 1400 H), jilid. 3, hlm. 375, hadits no. 5151
44

dengan tanpa menentukan maharnya bukan menafikannya dan pernikahan secara

mutlak itu mengarah kepada mahar mitsli. Jadi, harus ada maharnya, baik

disebutkan dengan mahar yang ditentukan maupun tidak disebutkan.”106

Wahbah az-Zuhaili mengatakan dalam kitabnya Mausu’ah al-Fiqh al-Islam

Wa al-Qhadhaya al-Mu’ashirah bahwa jumhur ulama mazhab, selain mazhab

Maliki berkata, tidaklah rusak akad nikah tanpa mahar, karena mahar bukan

merupakan rukun dalam akad, juga bukan syarat dalam nikah. Akan tetapi mahar

merupakan salah satu hukum dari hukum-hukum akad. Kerusakan pada mahar

tidak akan berpengaruh pada akad. Karena, jika mahar merupakan syarat dalam

akad maka pastilah wajib menyebutkannya ketika akad. Padahal mahar tidak

wajib disebutkan ketika akad, akan tetapi wajib menyebutkan mahar mitsli107

Kadar Mahar

Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan yang paling tinggi untuk

mahar,108 karena tidak disebutkan di dalam syari’at yang menunjukan batasannya

yang paling tinggi, berdasarkan firman Allah SWT,

ً‫هواننِ أأهرد ش هت انسرتنبهداهل هزنوجء ممهكهنِ هزنوجء هوهءاتهين نهت انحهداههمنَ رقنهطاًئرا فههلتهآأهخهذوا رمننهه هشينئئاً أأتهآأهخهذون ههه هبنتهاًئن هواثنئماً شمربينئا‬
‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬

106 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah..., jilid. 3, hlm. 149

107 Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islam Wa al-Qhadhaya..., jilid. 8, hlm. 90

108 Umar Sulaiman al-Asyqar, Ahkam az-Zawaj..., hlm. 259, Muhammad al-Khasyat, Fiqhu
an-Nisa fi Mazhab al-Arba’ah, cet. ke-1, (Damaskus: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1994), hlm. 231, al-
Mawardi, al-Hawi al-Kabir, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), hlm. 396
45

“Dan jika kamu ingin menggauli istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu

telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka

janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya.” (QS. An-Nisa: 20)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah109 berkata, “Setiap orang yang diberi

kemudahan dan kesanggupan materi lalu ingin memberi calon istrinya mahar

dalam jumlah yang banyak, maka hal itu tidak menjadi masalah. Karena Allah

Ta’ala berfirman, “Dan kamu memberikan kepada seorang di antara mereka

(istri-istri) harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali

daripadanya walau sedikit pun.” (QS. An-Nisa’: 20).”110

Akan tetapi, disunnahkan meringankan mahar dan tidak terlalu tinggi dalam

menetapkan mahar. Berdasarkan hadits Aisyah dari Nabi SAW bersabda:

‫سهه همنؤن هةة‬


‫امنِ أأنعهظهم النرمهكحر بههرهكةة أأين ه ه‬
‫إ‬

109 Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin
Abi al-Qasim bin Taimiyah al-Harani ad-Dimasyqi al-Hanbali. Beliau dilahirkan di kota Harran
pada hari senin tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 H. Begitu tiba di Damsyik beliau segera
menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-
ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut
tercengang. Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu
Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab. Di antara gurunya
yaitu ayahnya sendiri, Syihabbuddin Abdul Halim dan Zainuddin Abu al-Abbas Ahmad bin
Abuddaim. Adapun muridnya adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Kitab-kitab karyanya yaitu
Majmu’ Fatawa, Fatawa al-Kubra dan Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah. Beliau meninggal pada
malam senin tanggal 20 Dzulqa’dah tahun 728 H. Ibnu Taimiyah, Majmu’atul Fatawa, (ttp:
Maktabah at-Taufiqiyah, t.t.), jilid. 1, hlm. 6.

110 Ibnu Taimiyah, Majmu’atul Fatawa, (ttp: Maktabah at-Taufiqiyah, t.t.), jilid. 32, hlm.
128
46

“Sesungguhnya keberkahan pernikahan yang paling besar adalah orang yang

maharnya paling rendah.” (HR. Ahmad)111

Sedangkan mengenai standar yang paling rendah untuk mahar, maka para

fuqaha berbeda pendapat mengenai masalah ini, yang terbagi menjadi tiga

pendapat:

Mazhab Hanafi berpendapat, standar mahar yang paling rendah adalah

sepuluh dirham,112 berdasarkan hadits Ali dari Nabi SAW,

‫شرة هدهرا ر ءه‬


‫هل همنههر أأقهشل رمننَ هع ن ه‬

“Tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham.” (HR. Ad-Daru

Quthni)113

Ketentuan ini, juga diqiyaskan kepada ukuran pencurian, yaitu yang membuat

tangan si pencuri dipotong. Menurut mereka, yaitu pencurian dalam jumlah satu

dinar atau sepuluh dirham, untuk menampakan posisi perempuan. Maka

penetapan mahar dengan harta suami memiliki nilai penting.114

111 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, cet. Ke-1, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1429 H/2008 M), jilid. 10, hlm. 307, hadits no. 25861

112 Abdul Ghani al-Ghanimi, al-Lubab fi Syarhi al-Kitab, (Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyah,
t.t.), jilid. 3, hlm. 14, Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol fi Ahkam al-Mar’ah wa Baitil Muslim, cet.
ke-3, (Beirut: Muassatur Risalah, 2000 M), jilid. 7, hlm. 59, Wahbah Az-Zuhaily, Mausu’ah Al
fiqh…, jilid. 8, hlm. 252

113 Ad-Daru Quthni, Sunan ad-Daru Quthni, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, (Beirut: Muassasah
ar-Risalah, 1424 H/2004 M)Jilid. 4, hlm. 361, hadits no. 3610

114 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikri, 2007 M), jilid.
9, hlm. 6764
47

Mazhab Maliki berpendapat, standar mahar yang paling rendah adalah

seperempat dinar atau tiga dirham perak murni yang sama sekali tidak

mengandung campuran. Atau dengan barang-barang yang suci dan terbebas dari

najis yang sebanding dengan harganya, yang berupa barang, hewan, atau

bangunan yang dibeli dengan secara legal, dan bermanfaat menurut syari’at.

Dalil mazhab Maliki adalah, mahar wajib diberikan di dalam perkawinan

untuk menunjukan harga diri dan posisi perempuan. Jika seorang laki-laki

menikah dengan perempuan dengan mahar kurang dari standar ini, maka si suami

harus menyempurnakan maharnya jika dia telah berjimak dengan istrinya tersebut.

Jika suami tidak berjimak dengan istrinya, maka dikatakan kepadanya apakah

kamu sempurnakan mahar atau kamu batalkan pernikahan.115

Mazhab Syafi’i116 dan Hanbali117 berpendapat, tidak ada batasan terendah bagi

mahar. Sahnya mahar tidak ditentukan dengan sesuatu. Oleh karena itu, sah jika

mahar adalah harta yang sedikit ataupun banyak. Batasannya adalah semua yang

sah untuk dijual atau yang memiliki nilai, dianggap sah untuk menjadi mahar. Dan

115 Abdul Bar an-Namiri, al-Kafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah al-Maliki, cet. ke-2, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), hlm. 249, Shadiq ‘Abdurrahman al-garyani, Mudawwanah al-Fiqhi...,
jilid. 2, hlm. 581, Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol fi Ahkam..., jilid. 7, hlm. 59, Wahbah Az-
Zuhaily, Mausu’ah Al fiqh..., jilid. 8, hlm. 252

116 Syamsyuddin Muhammad bin Khathib asy-Syarbini, Mughni Muhtaj…, jilid. 3, hlm.
292, Muhammad Zuhaily, Al-muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, cet. ke-1, (Damaskus: Dâr
al-Qalam, 1996), jilid. 4, hlm. 193, Salim al-Imrani asy-Syafi’i al-Yamani, al-Bayan fi Mazhabi
al-Imam asy-Syafi’i, cet. ke-1, (Lebanon: Dâr al-Minhaj, 2000), jilid. 9, hlm. 369

117 Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni ‘ala
Mukhtashar al-Khiraqi, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2008), jilid. 5, hlm. 554
48

yang tidak memiliki nilai, maka tidak bisa dijadikan mahar, selama tidak sampai

kepada batasan yang tidak bisa dinilai.

Dalil mazhab Syafi’i dan Hanbali adalah, firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Dan dihalalkan bagi kamu sekalian (perempuan-perempuan) yang

demikian.” (QS. An-Nisa: 24)

Syari’at tidak memberikan batasan mahar, oleh karena itu dijalankan sesuai

dengan kemutlakannya.

Dan hadits Rasulullah SAW,

‫تههزموهج هول هنوُلُ ر هباً ه ءت رمننَ هحردينءد‬

“Menikahlah walaupun hanya dengan sekadar cincin yang terbuat dari besi.”

(HR. Al-Bukhari)118

Berdasarkan uraian di atas, para ulama berbeda pendapat dalam hal kadar

terendah dalam mahar. Adapun pendapat yang rajih dari ketiga pendapat di atas

adalah pendapat jumhur yaitu mazhab Syafi’i dan Hanbali yang berpendapat

bahwa tidak ada batasan terendah untuk mahar.119

Jenis-jenis Mahar

Mahar Musamma

118 Muhammad bin Isma’il al-Al-Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih, “Kitab Nikah”, cet. Ke-1,
(kairo: Maktabah as-Salafiyah, 1400 H), jilid. 3, hlm. 375, hadits no. 5150

119 Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol..., jilid. 7, hlm. 62


49

Definisi Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar yang ditentukan di dalam akad atau setelah

akad dengan saling ridho. Dengan cara menyepakatinya secara jelas di dalam

akad, diberikan kepada istri setelah akad dengan saling merasa ridha, atau yang

diwajibkan oleh hakim, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

‫هوقهند فههرنض نهت ل هههمنَ فهرريهضئة فهرننص هف هماً فههرنض نهت‬

“Padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari

yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237)

Kondisi Yang Mewajibkan Mahar Musamma

Ulama fikih sepakat bahwa mahar musamma dalam pelaksanaannya harus

diberikan secara penuh apabila:

Berjimak

Jika seorang laki-laki berjimak dengan istrinya, maka jatuhlah kewajiban

memberi mahar. Suami telah mendapatkan haknya, yaitu berjimak, sehingga istri

pun berhak mendapatkan haknya, yaitu seluruh maharnya. Ini berdasarkan firman

Allah Ta’ala,

{20} ً‫هواننِ أأهرد ش هت انسرتنبهداهل هزنوجء ممهكهنِ هزنوجء هوهءاتهين نهت انحهداههمنَ رقنهطاًئرا فههلتهآأهخهذوا رمننهه هشينئئاً أأتهآأهخهذون ههه هبنتهاًئن هواثنئملاً شمربينئلا‬
‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬
{21} ً‫هوهكني هف تهآأهخهذون ههه هوقهند أأفنهض ب هنعهضنهك اهل ب هنعءض هوأأهخنذهنِ رمنهك رمميثهاًقئاً غهرليئظا‬
‫إ‬

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam.., jilid. 9, hlm. 6773


50

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu

memberikan kepada seorang diantara mereka (istri-istri) harta yang banyak,

maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya walau sedikit pun.

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah

bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-

isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 20-

21)

Dan sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Aisyah bahwa Rasulullah

SAW bersabda,

ِ‫ فهللاًمنِ الشسلللنهطاًهن‬,‫ٌ هول هههاً همنههرههاً ربهماً أأهصاًهب رم ننهاً فهاًرنِ ناشسللهتهجهرنوا‬- ‫ٌ ثههلئث‬-‫أأي شهماً رانمهرأأءة نهركهحنت ربهغ ن ري انذرنِ همهوُلُارلنيهاً فهرنهك ه هحاً هبرطةل‬
‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬
‫هو شرل همننَ هل هو مرل ه هل‬

“Siapa saja wanita yang menikah tanpa mendapat izin dari walinya, maka

pernikahannya tidak sah – beliau mengulanginya tiga kali. Jika telah melakukan

hubungan badan maka wanita tersebut mendapatkan maharnya, karena

hubungan badan itu, jika kedua belah pihak berselisih, maka penguasa adalah

wali bagi orang yang tidak punya wali” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)120

Jika kewajiban memenuhi seluruh mahar ditetapkan dengan terjadinya

hubungan suami istri dalam pernikahan yang batil, tentu lebih utama lagi

kewajiban memenuhi seluruh mahar itu ditetapkan dalam pernikahan yang sah.

Konsekuensi dari ditetapkannya hak mahar dengan terjadinya hubungan suami


120 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal..., jilid. 10, hlm. 361, hadits no. 26068,
at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, “Kitab Nikah”, (Beirut: Dâr al-Gharbi al-Islami, 1998 M), jilid. 3,
hlm. 399, hadits no. 1102
51

istri adalah tidak dikurangi sedikit pun kadar mahar itu dan memberikan mahar

kepada yang berhak menerimanya.

Mahar adalah hak yang ditetapkan untuk wanita karena sebab jimak, walaupun

jimak yang diharamkan, seperti bersetubuh lewat dubur dan pada saat sedang

haidh atau nifas, sedang ihram, sedang berpuasa, atau sedang i’tikaf.121

Kematian Salah Satu Pasangan Suami atau Istri

Jika salah seorang pasangan suami istri meninggal dunia sebelum terjadinya

persetubuhan dalam pernikahan yang sah, maka istri berhak mendapatkan semua

mahar menurut kesepakatan fuqaha jika pernikahan tersebut menyebutkan mahar

di dalam akad (mahar musamma).122

Melakukan Khalwat (Tinggal Bersama) yang Benar

Khalwat yang benar adalah pasangan suami istri tinggal berduaan setelah

melangsungkan akad yang sah di sebuah tempat yang membuat keduanya mampu

untuk bercumbu secara sempurna. Yaitu sebuah tempat yang tidak bisa dimasuki

oleh seorang pun ketika keduaanya tengah berdua-duaan. Salah satu dari

keduanya tidak memiliki halangan yang alami, indrawi, atau yang bersifat syari’at

yang membuatnya terhalang untuk melakukan jimak.

Halangan yang bersifat alami adalah, adanya orang ketiga yang berakal, masih

kecil maupun sudah besar. Sedangkan halangan yang bersifat indrawi adalah
121 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Kairo-mesir: Maktabah
at-Taufiqiyah, 2003 M), jilid. 3, hlm. 168-169

122 Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, cet. Ke-4, (Jakarta: Al-
I’tisham Cahaya Umat, 2010 M), hlm. 672
52

adanya penyakit yang diderita oleh salah satu dari keduanya yang mencegah

terjadinya persutubuhan, termasuk diantaranya adalah penyakit adanya gumpalan

daging di dalam vagina, adanya tulang yang menutupi vagina dan adanya

pembesaran kelenjar di alat kelamin. Sedangkan halangan yang bersifat syari’at

misalnya salah satu dari keduanya tengah melakukan puasa di bulan ramadhan

atau tengah melakukan ihram ibadah haji ataupun umrah wajib atau sunnah.123

Mahar Mitsli

Definisi Mahar Mitsli

Mahar mitsli adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa

menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar kerabat

istri dari segi sifatnya dan disesuaikan dengan kebiasaan di negerinya.124

Kondisi Yang Mewajibkan Mahar Mitsli

Mahar mitsli diwajibkan dalam beberapa kondisi diantaranya:

Akad Nikah Sah yang Memenuhi Syarat dan Rukunnya

Jika seorang wanita berkata kepada walinya, “Nikahkan aku tanpa mahar”

kemudian wali menikahkannya dengan menghilangkan mahar atau

menikahkannya dan tidak menyebutkan mahar dalam akad atau wali

menikahkannya dengan mahar yang kurang dari mahar mitsli atau kedua belah

123 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam..., jilid. 9, hlm. 6802

124 Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol..., jld. 7, hlm. 118


53

pihak mempersyaratkan syarat yang rusak, seperti ia mempersyaratkan bapak

wanita bagian dari mahar atau menyebut mahar yang rusak seperti khamr.

Dalam berbagai contoh di atas, mahar mitsli wajib diberikan jika telah terjadi

jimak diantara suami istri atau meninggal dunia salah satu dari pasangan suami

istri, karena kematian seperti jimak dalam menetapkan mahar yang disebutkan dan

dalam kewajiban mahar mitsli dalam serah terima. Jika suami belum berjimak

dengan istrinya atau tidak ada yang meninggal salah satunya dari keduanya maka

bagi wanita berhak menuntut mahar sebelum berjimak, berhak menahan dirinya

sampai dibayar maharnya.125

Melakukan Hubungan Badan (Jimak) yang Syubhat

Mahar mitsli wajib diberikan karena terjadinya jimak yang syubhat. Seperti,

seorang laki-laki mendapati seorang wanita lain yang tidur di tempat tidur istri

kemudian ia menduga wanita itu adalah istrinya sampai berjimak dengannya,

setelah itu ia menyadari ternyata bukan istrinya. Demikian juga dalam pernikahan

yang rusak (fasid), seperti seorang menikahi perempuan tanpa wali dan saksi

kemudian ia berjimak dengannya, maka wajib baginya membayar mahar mitsli.126

Penentuan Mahar yang tidak Benar

Yaitu, mahar yang disebutkan bukan merupakan harta secara asalnya, seperti

bangkai, biji gandum, tetesan air, dan barang yang sejenisnya yang pada asalnya

125 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat,
cet. ke-1, (Jakarta: Amzah, 2009 M), hlm. 188

126 Ibid., hlm. 188-189


54

tidak dapat dimanfaatkan, atau bisa dimanfaatkan dalam bentuk yang tidak

biasa.127 Atau mahar yang disebutkan adalah harta yang tidak bisa dihargakan,

atau yang mengandung tipuan bagi orang Islam, seperti minuman keras dan babi,

meskipun istri adalah Ahli Kitab. Dalam kondisi yang seperti ini, mahar mitsli

wajib diberikan untuk istrinya.128

Ketentuan Kerabat Dalam Mahar Mitsli

Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam definisi mahar mitsli, bahwa

ketentuan ukuran mahar mitsli dalam sebuah pernikahan disamakan dengan

kerabat istrinya. Dalam ketentuan kerabat tersebut para ulama berbeda pendapat,

perbedaan itu terbagi menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama, ukuran mahar mitsli yang diberikan disamakan dengan

wanita-wanita seperti dirinya dari pihak bapaknya bukan dari pihak ibunya. Ini

merupakan pendapat jumhur fuqaha,129 diantara pendapat-pendapatnya adalah:

Hanafiyah berpendapat bahwa mahar mitsli sebanding dengan saudara

perempuannya, bibinya, dan anak perempuan pamannya dari pihak bapaknya,

bukan sebanding dengan ibunya dan bibinya dari pihak ibu. Namun jika ibunya

dari pihak ayahnya yaitu anak paman dari pihak ayahnya maka mahar boleh

disamakan dengannya.130

127 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam..., Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, jilid. 9, hlm. 249

128 Abdul Ghani al-Ghanimi, al-Lubab fi Syarhi..., jilid. 3, hlm. 16

129 Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol..., jld. 7, hlm. 118

130 Ahmad al-‘Aini, al-Binayah fi Syarhi al-Hidayah, cet. ke-2, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990
M), jilid. 4, hlm. 712, 714, Ibnu Abidin, Raddu al-Mukhtar ‘ala ad-Daril Mukhtar Syarhu Tanwir
55

Menurut Malikiyah bahwa yang menjadi patokan bagi mahar mitsli adalah

kerabat perempuan istri, kondisi, kedudukan, harta, dan kecantikannya seperti

mahar saudara perempuan sekandung atau sebapak. Bukannya mahar ibu, atau

bibi dari pihak bapak, maksudnya saudara perempuan bapak yang seibu. Oleh

karenanya yang menjadi patokan mahar mitsli bukanlah keduanya, karena bisa

jadi keduanya berasal dari kaum yang berbeda dengannya.131

Syafi’iyyah berpendapat bahwa yang menjadi standar mahar mitsli adalah

mahar kerabat perempuannya yang ashabah seperti saudara-saudara

perempuannya, para keponakan perempuan dari saudara laki-laki, bibinya dari

pihak bapak dan anak-anak perempuan pamannya dari pihak bapak. Jika dia tidak

memiliki kerabat perempuan yang ashabah, maka yang dijadikan standar adalah

perempuan yang memiliki hubungan paling dekat dengannya, yaitu ibunya dan

bibinya dari pihak ibu. Karena mereka adalah orang yang memiliki hubungan

yang paling dekat dengannya. Jika dia tidak memiliki kerabat, maka yang

dijadikan patokan adalah perempuan senegaranya, kemudian perempuan yang

paling serupa kondisinya dengannya.132

Menurut Hanbali bahwa adanya perbedaan riwayat dari Ahmad dalam

menetapkan ketentuan kerabat untuk patokan ukuran mahar mitsli. Di dalam

hadits yang diriwayatkan oleh Hanbal disebutkan bahwa yang menjadi patokan

al-Abshar, (Riyadh: Dâr Alimul Kutub, 1423 H/2003 M), jilid. 4, hlm. 281

131 Muhammad ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarhu al-Kabir, (t.t.p.: Dâr al-Ihya al-
Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), jilid. 2, hlm. 316-317

132 Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, Majmu’ Syarhu al-Muhadzab, (Jeddah:
Maktabah al-Irsyad,t.t.), jilid. 18, hlm. 58
56

mahar mitsli adalah semua kerabat perempuan dari pihak bapak. Disebutkan juga

di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ishaq bahwa yang menjadi patokan

mahar mitsli adalah semua kerabat perempuan dari pihak ibu seperti, ibunya

sendiri, atau saudara perempuannya. Menurut Ibnu Qudamah133 bahwa riwayat

Hanbal lebih diutamakan.134

Dalil pendapat pertama adalah berdasarkan hadits riwayat Ibnu Mas’ud yang

memberikan keputusan mengenai seorang perempuan yang tidak ditetapkan

mahar untuknya oleh suaminya. Ibnu Mas’ud berkata, “Untuknya adalah mahar

yang seperti mahar para kerabat perempuannya, tidak kurang dan tidak lebih”,

yaitu kerabat perempuan dari pihak bapak. Karena nasab dikembalikan kepada

bapak.135

Pendapat kedua, menetapkan bahwa mahar mitsli dinilai dengan orang yang

menyerupainya dari semua kerabat perempuannya dari pihak bapaknya dan

ibunya. Seperti saudara perempuannya, bibinya dari pihak bapak, sepupu

perempuannya dari pihak bapak, ibunya, bibinya dari pihak ibu, dan perempuan

yang lain yang merupakan kerabat dekatnya. Ini merupakan pendapat salah satu

133 Beliau adalah seorang imam, ahli fiqih dan zuhud, Asy Syaikh Muwaffaquddin Abu
Muhammad Abdullah Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Almaqdisi.
Dilahirkan pada bulan Sya’ban 541 H di desa Jamma’il, salah satu daerah bawahan Nabulsi, dekat
Baitul Maqdis, Tanah Suci di Palestina. Ia berguru kepada para ulama Damaskus. Ia hafal
Mukhtasar Al Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal dan kitab-kitab lainnya. Pada
tahun 574 H ia menunaikan ibadah haji, seusai ia pulang ke Damaskus. Di sana ia mulai menyusun
kitabnya Al-Mughni Syarh Mukhtasar Al-Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal). Imam
Ibnu Qudamah wafat pada tahun 629 H. Beliau dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shalihiya,
di sebuah lereng di atas Jami’ Al-Hanabilah (masjid besar para pengikut madzab Imam Ahmad Bin
Hanbal). Abdus Salam al-Indunisy, Biografi Ahlu Hadits, vol. 1, 2011

134 Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyadh: Dâr ‘Alimul Kutub, t.t.), jilid. 10, hlm. 150

135 Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol..., jilid. 7, hlm. 119


57

dari dua riwayat Ahmad dan merupakan pendapat para ulama fiqih mutaakhirun

dari hanabilah.136

Dalil pendapat kedua adalah hadits riwayat Ibnu Mas’ud mengenai perempuan

yang melakukan nikah tafwidh.137 Ibnu Mas’ud berkata, “Untuknya adalah mahar

yang seperti mahar para kerabat perempuannya”. Karena kemutlakan kerabat

memiliki pengaruh secara umum, jadi semua kerabat dari pihak bapak dan ibu.138

Adapun pendapat yang rajih dalam menetapkan ketentuan kerabat untuk

patokan ukuran mahar mitsli adalah pendapat pertama yang merupakan pendapat

jumhur fuqaha yang mengatakan bahwa ukuran mahar mitsli yang diberikan

disamakan dengan kerabat perempuannya yang ashabah dan wanita-wanita seperti

dirinya dari pihak bapaknya bukan dari pihak ibunya. Karena nasab disandarkan

kepada bapaknya.139

Syarat Sahnya Mahar

Mahar yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada calon istri adalah suatu

kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan atau dihilangkan, bahkan tidak dapat

pula kurang dari syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat mahar tersebut

adalah:

136 Idris al-Bahuqi, Kasyaful Qina’..., jilid. 4, hlm. 140, Idris al-Bahuqi, Syarhu Muntaha al-
Iradat, cet. ke-1, (t.t.p.: Muassasatu ar-Risalah, 2000 M), jilid. 5, hlm. 277

137 Pernikahan yang shahih akan tetapi tanpa menyebutkan mahar ketika akad. (Wahbah az-
Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani,
2010), jilid. 9, hlm. 245)

138 Idris al-Bahuqi, Kasyaful Qina’..., jilid. 4, hlm. 140

139 Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol..., jld. 7, hlm. 120


58

Benda yang Berharga

Mahar harus merupakan suatu benda yang mempunyai harga, maka tidak sah

mahar dengan harga murah dan tidak mempunyai harga, seperti biji gandum.

Apabila seseorang menikah dengan mahar yang harganya murah, walaupun hanya

segenggam makanan dari gandum, maka maharnya sah, akan tetapi disunnahkan

untuk tidak mengurangi mahar hingga kurang dari sepuluh dirham. 140 Mahar boleh

berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan,

atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga.141

Benda yang Suci dan Bisa Dimanfaatkan

Suatu benda yang akan dijadikan mahar harus benar-benar terhindar dari unsur

haram, maka tidak sah mahar dengan minuman keras, babi, darah, dan bangkai

karena yang demikian itu tidak ada harganya menurut pendapat syari’at Islam.

Mahar harus bisa dimiliki, diperjual belikan atau dimanfaatkan.

Terhindar dari Tipuan

Mahar harus terhindar dari tipuan atau kesamaran, oleh karena itu, mahar

harus berupa sesuatu yang diketahui dengan jelas. Mahar tidak sah jika berupa

sesuatu yang tidak diketahui, seperti mahar rumah yang tidak ditentukan atau

buah yang masih ada pada pohonnya.142

140 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah..., jilid. 4, hlm. 75

141 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih ‘ala Madzahib al-Khamsah Fiqih Lima Mazhab,
terj. Afif Muhammad, cet. ke-1, (Jakarta: Basrie Prees, 1994 M), hlm. 365

142 Nahkbah Min al-Ulama’, al-Fiqhi al-Muyassar fi dhoui al-Kitab wa as-Sunnah,


(Madinah: Majma’ al-Malik Fahdi Li Thaba’atil Mushaf asy-Syarif, 1424 H), hlm. 321
59

Benda yang Dimiliki dan Mampu Diserahkan

Mahar harus benda yang dimiliki oleh seseorang dan mampu diserahkan

kepada perempuan tersebut, dengan demikian mahar tidak boleh seperti burung

yang terbang di udara atau ikan laut yang belum dimiliki.143

Dalam syarat-syarat mahar, para fuqaha empat mazhab juga meletakan aturan

untuk menentukan batasan barang atau harta yang dapat dijadikan mahar.

Diantaranya adalah:

1. Menurut Hanafiyah

Setiap harta yang memiliki harga yang diketahui oleh orang lain dan yang

dapat diserahkan kepada perempuan.144 Apabila sesuatu yang dijadikan mahar itu

berupa harta maka sah mahar tersebut. Oleh karena itu sah jika mahar berupa

emas atau perak, baik berupa uang maupun perhiasan, dan yang sejenisnya, baik

berupa utang maupun tunai.

Mahar sah juga sebagai uang atau dokumen keuangan, baik yang berupa

takaran atau timbangan, baik berupa hewan maupun bangunan, atau barang jualan,

seperti pakaian dan yang lainnya.145 Sah juga jika mahar berbentuk manfaat

143 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih
Munakahat..., hlm. 184

144 Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada’i ash-Shana’i..., jilid. 2, hlm. 281

145 Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islam wal Qadhaya Al-Mu’ashirah..., jld. 8,
hlm. 255
60

pribadi atau barang yang bisa dibarter dengan uang, seperti rumah, hewan,

bercocok tanam, dan yang sejenisnya.146

2. Menurut Malikiyah

Sesuatu yang dapat dihargakan secara syari’at, baik berupa barang, hewan,

atau bangunan, yang suci dan tidak bernajis karena yang bernajis tidak bisa

dihargakan secara syari’at, yang bisa dimanfaatkan dan yang bisa diserahkan

kepada perempuan dalam jumlah yang diketahui.147

3. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah

Menurut kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa semua yang bisa dijadikan

barang jualan bisa dijadikan mahar dan semua yang bisa dijadikan harga atau

sewaan, bisa dijadikan mahar, meskipun jumlahnya sedikit. Yaitu semua barang

yang dapat dihargakan, baik dalam bentuk tunai maupun utang, tunai maupun

dengan tempo, yang berupa pekerjaan serta manfaat yang dapat diketahui. Seperti

menggembala dombanya dalam tempo yang diketahui, menjahit bajunya,

melayaninya dalam waktu yang diketahui, mengajarkan al-Qur’an atau suatu syair

yang dibolehkan, atau mengajarkan menulis atau suatu keterampilan tertentu, serta

berbagai manfaat lainnya yang dibolehkan.148

Hikmah Mahar
146 ‘Alauddin as-Samarqindi, Tuhfatul Fuqaha, cet. ke-1, (Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyah,
1405 H/ 1984 M), jilid. 2, hlm. 135

147 Ahmad ad-Dardir, asy-Syarhu ash-Shaghir, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, t.t.), jilid. 2, hlm. 428

148 Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, Majmu’ Syarhu al-Muhadzab, cet. ke- 8,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2011), jilid. 20, hlm. 12, Idris al-Bahuqi, Kasyaful Qina’..., jilid.
4, hlm. 115-116
61

Diantara beberapa hikmah mahar yang lainnya adalah:

1. Mahar disyari’atkan Allah SWT untuk mengangkat derajat wanita

dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai

kedudukan yang tinggi.149

2. Mahar sebagai suatu kewajiban bagi laki-laki bukan perempuan,

selaras dengan prinsip syari’at bahwa seorang perempuan sama sekali

tidak dibebankan kewajiban nafkah, baik sebagai seorang ibu, anak

perempuan ataupun seorang istri. Sesungguhnya yang dibebankan untuk

memberikan nafkah adalah laki-laki, baik yang berupa mahar, maupun

nafkah kehidupan, dan yang selainnya karena laki-laki lebih mampu untuk

berusaha dan mencari rezeki.150

3. Mahar adalah sebagai pengganti dihalalkannya wanita atau

dihalalkannya bersetubuh dengan suaminya, disamping itu mahar juga

sebagai tanda hormat suami kepada pihak wanita dan sebagai tanda

kedudukan wanita tersebut telah menjadi hak suami.151

149 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih ‘ala Madzahib al-Khamsah..., hlm. 177

150 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu..., jilid. 9, hlm. 232

151 Shalih bin Fauzan, al-Mulakhash Fiqhi, (ttp.:t.p., t.t.,), hlm. 581
62

4. Mahar merupakan bukti kesungguhan cinta suami dalam

bermuasyarah152 dengan istrinya serta mewujudkan sebuah pasangan

suami istri yang mulia.153

Al-Kasani154 mengatakan: “Seandainya mahar tidak diwajibkan dalam akad

nikah, tentu suami tidak akan peduli dengan hilangnya akad nikah tersebut dengan

keributan kecil yang terjadi diantara keduanya. Karena dia tidak akan susah dan

tidak perlu takut akan wajibnya mahar. Hal ini berarti suami akan mudah

menceraikan istrinya dan mencari istri lagi tanpa perlu takut adanya kewajiban

mahar. Jika hal itu terjadi maka tidak akan tercapailah tujuan menikah, karena

mashlahat dan tujuan menikah tidak akan didapat kecuali dengan kesepakatan.

Dan kesepakatan tidak akan didapat kecuali jika sang wanita mulia di sisi

suaminya. Kemuliaan itu akan didapat jika jalan suami untuk mencapai seorang

istri tertutup dan baru terbuka setelah adanya harta berharga dari suami yaitu

152 Pergaulan antara suami dan istri

153 Nahkbah Min al-Ulama’, al-Fiqhi al-Muyassar fi dhoui al-Kitab wa as-Sunnah,


(Madinah: Majma’ al-Malik Fahdi Li Thaba’atil Mushaf asy-Syarif, 1424 H), hlm. 320

154 Al-Kasani merupakan salah satu ulama fiqih angkatan baru yang memperkuat dan
mempertahankan mazhab Imam Hanafi. Nama asli beliau adalah Abi Bakar mas’ud bin Ahmad bin
Alauddin al-Kasani. Alauddin al Kasani merupakan salah satu ulama mazhab Hanafi yang tinggal
di Damaskus pada masa kekuasaan Sultan Nuruddin Mahmud. Beliau wafat tanggal 10 rajab 587
Hijriyah dan dimakamkan disisi makam istrinya di komplek pemakaman nabi Ibrahim di kota al
Khalik di luar Halab. Karya terbesar Alauddin al Kasani yaitu kitab fiqh yang berjudul Bada’i ash
Shona’i fi Tartibis asy-Syar’i. Di antara guru-gurunya yaitu Alauddin Mahmud bin Ahmad al
Samarqondi, Sadr al-Islam Abi al-Yasar al-uli, Majidul Aimah Imam al-Ridlo al-Syarkasi dan
Murid-murid Alauddin al Kasani di antaranya Mahmud yaitu putra Alauddin al Kasani. Ahmad bin
Mahmud al-Ghoznawi, yaitu pengarang kitab al-Muqodimah al-Ghoznawiyah al-Fiqh al-Hanafi.
Choeruddin, “Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Alauddin al-kasani Tentang Konsep
Kafa’ah”, Skripsi S 1 (Semarang: IAIN Walisongo, 2008 M), hlm. 46-47
63

mahar. Karena, semakin sulit untuk mendapatkannya, semakin mulialah ia, dan

semakin kuatlah suami untuk mempertahankan mahar tersebut. Dan sebaliknya,

semakin remeh hal itu dimata lelaki, semakin pula si wanita. Jika begini, tidak

akan terjadilah kesepakatan, dan tidak akan tercapai pula maksud (tujuan)

nikah.”155

Definisi Mahar Hutang

Mahar hutang adalah mahar yang pembayarannya diakhirkan. Mahar boleh

diberikan dimuka dan diakhirkan hingga setelah menikah. Dan boleh juga

diberikan sebagiannya dimuka dan sebagian lain diberikan setelah menikah.156

Hukum Mahar Hutang

Para fuqaha membolehkan penangguhan mahar. Mahar boleh diberikan

dimuka dan diakhirkan hingga setelah menikah. Dan boleh juga diberikan

sebagiannya dimuka dan sebagian lain diberikan setelah menikah. Karena mahar

merupakan imbalan yang diberikan suami atas manfaat yang didapatkan dari istri,

sehingga boleh diakhirkan seperti pembayaran transaksi.

Mahar yang diberikan dimuka diterima oleh istri sebelum melakukan

hubungan badan. Dalam hal ini, wanita berhak menolak melakukan hubungan

badan sebelum menerimanya. Mahar yang pemberiannya diakhirkan adalah mahar

155 Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada’i ash-Shana’i..., jilid. 2, hlm. 279

156 Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Lin Nisa’, (Kairo: Dâr at-
Taufiqi, t.t.), hlm. 486
64

yang disepakati oleh pasangan suami istri untuk diakhirkan pemberiannya hingga

setelah melakukan hubungan badan.

Akan tetapi, mendahulukan pemberian mahar sangat dianjurkan. Ini

berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan tidak dosa atasmu mengawini mereka

apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Nabi SAW sendiri menyuruh Ali ra agar memberikan sesuatu kepada

Fathimah r.a sebagai mahar pernikahannya. Rasulullah SAW menyuruh Ali agar

memberikan baju besi besarnya sebagai mahar untuk putrinya itu.

Disamping itu, alasan lain yang memperkuatnya adalah kedudukan mahar

sama dengan hutang yang harus dilunasi oleh suami kepada istrinya. Hutang dan

hak-hak lainnya dianjurkan agar dibayarkan dimuka kepada para pemiliknya.157

Ketentuan Penundaan Mahar

Dalam penundaan mahar, ada beberapa ketentuan diantaranya:

Jika ditunda hingga batas waktu yang tidak diketahui, misalnya ia

mengatakan: “Aku menikahimu dengan mahar 1000 dengan syarat ada

kemudahan,” atau “Aku akan membayarnya ketika angin bertiup” atau

“Kedatangan si fulan” dan semisalnya, maka penundaan seperti ini tidak sah

menurut kesepakatan empat mazhab dikarenakan sangat tidak diketahui

batasannya.158
157 Ibid,

158 Muhammad bin Ali al-Hanafi, ad-Dâr al-Mukhtar, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kitab al-
Ilmiyah, 1423 H/2002 M), hlm. 193, Ahmad bin muhammad ad-Dardir, Syarhu shaghir..., jilid. 2,
hlm. 433, Syamsyuddin Muhammad bin Khathib asy-Syarbini, Mughni Muhtaj..., jilid. 3, hlm.
65

Jika mahar ditunda sebagiannya dan tidak menyebutkan batasannya serta tidak

menentukan waktu dan batasan pembayarannya, maka mengenai hal ini tejadi

perselisihan pendapat dikalangan ulama:

Pertama, menurut Hanafiyah dan Hanabilah, maharnya sah dan wanita berhak

mendapatkannya, jika terjadi perceraian atau ditinggal mati oleh suaminya,

kondisi ini, sebagaimana tradisi dan kebiasaan yang berlaku di negeri-negeri

Islam.159

Kedua, menurut Syafi’iyah, maharnya rusak, dan wanita berhak mendapatkan

mahar mitsli.160

Ketiga, menurut Malikiyah, jika waktu penundaannya tidak diketahui, seperti

menunda hingga kematian atau perceraian, maka akadnya rusak dan akadnya

wajib dibatalkan. Kecuali jika sang suami telah bercampur dengan istrinya, ketika

itulah wajib memberikan mahar mitsli.161

Syarat Penundaan Penyerahan Mahar

Para fuqaha membolehkan penangguhan mahar, akan tetapi penangguhan

mahar tersebut harus diiringi dengan dua syarat, diantaranya:

294, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni ‘ala Mukhtashar
al-Khiraqi, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2008), jilid. 5, hlm. 565

159 Muhammad bin Ali al-Hanafi, ad-Dâr al-Mukhtar…, hlm. 193, Abdullah bin Ahmad bin
Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni ‘ala Mukhtashar..., jilid. 5, hlm. 565

160 Syamsyuddin Muhammad bin Khathib asy-Syarbini, Mughni Muhtaj…, jilid. 3, hlm. 29

161 Muhammad ad-Dusuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarhu al-Kabir, (t.t.p.: Dâr al-Ihya al-
Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), jilid. 2, hlm. 297
66

1. Batas waktu pemberian mahar harus jelas dan tidak boleh bersifat

tidak diketahui, seperti menunda pemberiannya hingga meninggal atau

ketika bercerai.

2. Batas waktunya tidak terlalu jauh, karena bisa menjadi peluang

untuk menggugurkan kewajiban memberi mahar.

Berdasarkan dua syarat di atas, praktik mengakhirkan pemberian mahar

hingga cerai atau meninggal yang berkembang di kalangan kaum muslimin pada

masa sekarang ini tidak boleh terjadi lagi. Sisi negatif paling besar dari

persyaratan pemberian mahar hingga batas waktu yang tidak diketahui atau terlalu

jauh adalah suami akan terus mempertahankan istrinya sekalipun tidak suka lagi

kepadanya, karena dia merasa akan dituntut untuk memberinya mahar yang

ditunda. Sehingga, timbullah berbagai masalah besar, baik yang dilakukan oleh

suami agar istrinya rela mengorbankan diri dengan membatalkan pembayaran

mahar maupun yang dilakukan oleh istri dalam upaya mendesak suami untuk

melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya.162

Status Mahar Hutang

Para fuqaha sepakat bahwa mahar dalam akad yang benar harus diberikan

secara penuh jika suami telah melakukan hubungan badan dengan istrinya baik itu

mahar musamma ataupun mahar mitsli.163

162 Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Lin..., hlm. 486-487

163 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2010), jilid. 9, hlm. 263
67

Ibnu Rusyd, menjelaskan dalam kitabnya, Bidayatul Mujtahid, bahwa

melunasi mahar menjadi wajib dengan terjadinya jimak atau kematian.164

Tentang wajib melunasi mahar karena telah melakukan jimak, Allah Ta’ala

berfirman,

ً‫هواننِ أأهرد ش هت انسرتنبهداهل هزنوجء ممهكهنِ هزنوجء هوهءاتهين نهت انحهداههمنَ رقنهطاًئرا فههلتهآأهخهذوا رمننهه هشينئئا‬
‫إ‬ ‫إ‬

“Dan jika kamu ingin menggantikan istrimu dengan istri yang lain, sedang

kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak,

maka janganlah kamu mengambil kembali darinya sedikit pun.” (QS. An-Nisa’:

20)

Namun dalam status mahar hutang ketika suami meninggal dunia sebelum

jimak, para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai hal ini, karena ditinjau dari

status mahar hutang itu sendiri, apakah dalam kondisi mahar musamma atau

mitsli. Terkait dengan pembahasan di atas, penulis akan membahas pada bab

selanjutnya.

Definisi Jimak

Secara Bahasa

164 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Imam Ghazali Sa’id, (Jakarta: Pustaka Amani,
1428 H/2007 M), jilid. 2, hlm. 442
68

Jimak dalam bahasa arab berarti al-Wath’u (‫ )الهوُلُنطهء‬yang merupakan mashdar

dari kata kerja ‫ هورطهئ‬yang artinya memijak sesuatu.165 Dan bisa juga dikatakan ‫هورطهئ‬

‫ ال هنرأأهة‬yang artinya menyetubuhi perempuan.166

Secara Istilah

Jimak adalah masuknya zakar (kemaluan laki-laki) ke dalam Farj (kemaluan

perempuan).167 Dengan demikian jimak adalah proses terjadinya hubungan suami

istri antara kedua belah pihak, yang sudah diikat oleh suatu ikatan yang resmi

yaitu pernikahan.

Masyru’iyyah Jimak

Jumhur fuqaha bersepakat bahwa menyutubuhi istri dan hamba sahaya

hukumnya adalah sunnah. Allah Ta’ala berfirman:

‫{ فههمللرنَ ابنهتهغللىَ هوهرأ آهء هذ ر هللل‬6} ‫{ المعههل أأنزهوا ر رجنم أأنوهماًهملههكنت أأينهماً ههننم فهاً همننم غه ن هي هم لهلوُلُرمهي‬5} ِ‫هوا م رليهنَ ه نه رلهفهرو ر رجنم هحاًرفهظوُلُهن‬
‫إ‬ ‫إ‬
{7} ِ‫فهآأنوهلرئهك ه هه النهعاًهدوهن‬

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri

mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini

165 Ibrahim Unais dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (ttp: t.p, t.t), hlm. 1083

166 Muhammad Masnur Hamzah, Qomusika Kamus Klasik Kontemporer, cet. ke-2, (Kaira:
t.t.p., 2013 M), hlm. 1474

167 Wazaratu al-Awqaf wa asy-Syu’unu al-Islamiyah, Mausuatu al-Fiqhiyah al-quwaitiyah,


cet. Ke-1, (Kuwait: Wazaratu al-Awqaf wa asy-Syu’unu al-Islamiyah, 2006 M), jilid. 44, hlm. 11
69

tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-

orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu’minun)

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Mas’ud al-Anshari bahwa

rasulullah SAW bersabda:

‫ هكن هنت ه هل هصهدقهئة‬,ً‫اهذا أأننهفهق النس ر هل نفقئة عههل أأنه ر رل هو هههوُلُ نهي ه رتسسهبها‬
‫إ‬

“Apabila seorang muslim menafkahi keluarganya, dan ia mengharapkan ridha

Allah Ta’ala dari nafkahnya tersebut, maka baginya pahala shadaqah.” (HR. Al-

Bukhari)168

Hadits di atas menunjukan bahwasannya seorang hamba akan diberi pahala

jika ia mengharapkan ridha Allah Ta’ala dari nafkahnya terhadap istrinya. Apabila

ia berinfak terhadap istrinya diwajibkan maka memberi nafkah batin terhadap

istrinya juga diwajibkan.169

Macam-macam Jimak

Para fuqaha membagi macam-macam jimak menjadi 2 bagian, diantaranya

yaitu:

Jimak Masyru’

Jimak masyru’ atau wath’u masyru’ adalah jimak yang dihalalkan, yang

dilakukan suami kepada istrinya atau hamba sahayanya. Dan diharamkan bagi
168 Muhammad bin Isma’il al-Al-Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih, cet. Ke-1, (kairo: Maktabah
as-Salafiyah, 1400 H), jilid. 3, hlm. 424

169 Wazaratu al-Awqaf wa asy-Syu’unu al-Islamiyah, Mausuatu al-Fiqhiyah al-quwaitiya…,


jilid. 44, hlm. 12
70

suami istri dalam beberapa keadaan diantaranya, ketika istri sedang haidh atau

nifas, dalam keadaan puasa, haji, ihram dan i’tikaf.

Jimak Mahzhur

Jimak mahzhur atau wath’u mahzhur adalah jimak yang diharamkan. jimak

yang diharamkan ini dibagi menjadi dua macam:

Pertama, berjimak dengan seorang wanita asing yang bukan mahram yang

dilakukan lewat qubulnya.

Kedua, berjimak yang bukan pada tempatnya, seperti berjimak dengan istri

atau wanita asing bukan mahram yang dilakukan lewat duburnya atau berjimak

dengan hewan.170

Hikmah Disyari’atkannya Jimak

Tuntunan Nabi SAW tentang jimak atau bersetubuh merupakan tuntunan yang

paling sempurna, yang dengannya bisa menjaga kesehatan, mendatangkan

kenikmatan dan kesenangan jiwa dan mewujudkan tujuan penetapannya. Pada

dasarnya ketetapan tentang jimak ini mempunyai tiga tujuan yang mendasar,

yaitu:

1. Menjaga keturunan dan kelangsungan jenis hingga mencapai

bilangan yang telah ditetapkan Allah Ta’ala untuk alam ini.

170 Wazaratu al-Awqaf wa asy-Syu’unu al-Islamiyah, Mausuatu al-Fiqhiyah al-quwaitiya…,


jilid. 44, hlm. 12-13
71

2. Mengeluarkan air sperma, yang berbahaya jika tertahan di dalam

badan.

3. Memenuhi kebutuhan, memperoleh, kesenangan dan kenikmatan.

Diantara manfaat jimak ialah dapat menundukan pandangan mata, menguasai

jiwa, menjaga kehormatan diri agar tidak terjerumus kepada tindakan-tindakan

yang diharamkan, serta bermanfaat untuk dunia dan akhirat. Manfaat yang sama

juga diperoleh pihak wanita.171

BAB IV

STATUS MAHAR HUTANG KETIKA SUAMI MENINGGAL

SEBELUM JIMAK MENURUT MAZHAB MALIKI DAN SYAFI’I

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, terkait status

mahar hutang, bahwa Para fuqaha sepakat, mahar dalam akad yang benar harus

diberikan secara penuh jika suami telah berjimak dengan istrinya, baik itu mahar

musamma ataupun mahar mitsli dan baik mahar itu dibayar tunai atau tunda.

Namun mengenai status mahar hutang ketika suami meninggal sebelum jimak,

para ulama berbeda pendapat. Terkhusus perbedaan itu terjadi antara mazhab

Maliki dan mazhab Syafi’i, dan perbedaan tersebut dipengaruhi oleh jenis mahar

itu sendiri yaitu mahar musamma dan mahar mitsli.

A. Mahar Musamma

171 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zadul Ma’ad, cet. ke-2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000 M),
jilid. 4, hlm. 49-50
72

Jika maharnya disebutkan di dalam akad yaitu mahar musamma, lalu suami

meninggal dunia sebelum berjimak dengan istrinya dan ia belum membayar

mahar, dalam kondisi seperti ini, mazhab Maliki dan Syafi’i tidak berbeda

pendapat namun dalil yang digunakan oleh kedua mazhab tersebut berbeda.

1. Pendapat dan Istidlal Mazhab Maliki

a) Pendapat Mazhab Maliki

Menurut mazhab Maliki bahwa status mahar yang disebutkan di dalam akad

(mahar musamma) namun suami meninggal dunia sebelum jimak dan belum

membayar maharnya, maka dalam kondisi ini, istri berhak mendapatkan mahar

secara sempurna.172

b) Istidlal Mazhab Maliki

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Juraij,

ً‫هعرنَ انبرنَ هجهرينءج قهاًهل ه رسنعهت هعهطاًئء ي ههقوُلُهل ه رسنعهت انبهنَ هعمباًءس هسسئرهل هعرنَ النهمنرأأرة ي ههموُلُهت هعننهاً هزنو ه هجاً هوقهند فههرهض ل هههاً هصللهداقئا‬

‫ ل هههاً المصهداهق هوالنرمهياهث‬: ‫قهاًهل‬

“Dari Ibnu Juraij berkata, aku telah mendengar bahwa ‘Atha berkata, ‘Aku

telah mendengar, sesungguhnya Ibnu Abbas ditanya tentang seorang perempuan

yang ditinggal mati oleh suaminya namun suaminya telah menentukan mahar

172 Shadiq ‘Abdurrahman al-garyani, Mudawwanah al-Fiqhi al-Maliki wa Adillatuhu, cet.


ke-1, (Beirut: Muassasah ar-Rayan, 2002 M), jilid. 2, hlm. 597, Ahmad ad-Dardir, asy-Syarhu ash-
Shaghir, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, t.t.), jilid. 2, hlm. 438, Al-‘alamah al-Humam Maulana asy-Syaikh
nidzam, Fatawa Hindi, cet. ke-1, (Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyah, 1421 H/2000 M), jilid. 1, hlm.
334, Idris al-Bahuti, Kasyaful Qina’ ‘an Matan al-Iqna’, cet. ke-1, (Beirut: ‘Alahul Kitab, 1997
M), jld. 4, hlm. 133
73

untuknya’, kemudian Ibnu Abbas berkata: ‘Baginya (istri) berhak mendapatkan

mahar dan juga harta warisan.’ (HR. Al-Baihaqi)173

Hadits di atas menjelaskan, bahwa jika suami meninggal dan mahar telah

ditentukan kadarnya di dalam akad maka dalam kondisi ini, istri berhak

mendapatkan maharnya secara penuh. Akan tetapi berbeda hal nya jika suami

meninggal sebelum terjadinya jimak dan mahar belum ditentukan kadarnya dalam

akad, maka dalam kondisi ini istri tidak berhak mendapatkan mahar.174

2. Pendapat dan Istidlal Mazhab Syafi’i

a) Pendapat Mazhab Syafi’i

Pendapat mazhab Syafi’i selaras dengan mazhab Maliki yaitu status mahar

yang disebutkan di dalam akad (mahar musamma) namun suami meninggal dunia

sebelum berjimak dan belum membayar mahar, maka dalam kondisi ini, istri

berhak mendapatkan mahar secara sempurna.175

b) Istidlal Mazhab Syafi’i

Imam Syafi’i berpendapat dalam kitab al-Umm, yang dijadikan dalil oleh

mazhab Syafi’i,

173 Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, cet. ke-3, “Kitab
ash-Shadaq”, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H/2002 M), jilid. 7, hlm. 403, hadits no.
14425

174 Muhammad Dhiya ar-Rahman al-A’zhami, al-Minah al-Kubra Syarhu wa Takhrij as-
Sunan ash-Shugra, (Riyadh: Maktabah ar-Rusd, t.t,.), jilid. 6, hlm. 243

175 Imam an-Nawawi, Raudhah at-Thalibin, (Saudi Arabia: Dâr ‘Alimul Kutub, 1423
H/2003 M), jilid. 5, hlm. 587
74

‫فإاًذا تههزمو ه هجاً عل ه ن‬: ‫قهاًهل المشهاًفعشي هر ر هحهه اهمل تههعاًهل‬


‫شءء همهسيمىَ فههذ ر هل هلرزةم ل إاننِ هماًهت أأو هماًتهنت قبل أأننِ ي هندهخهل باً أأو‬

ً‫دخل باً إاننِ كنِ ن هنقئدا فهاًلنمنقهد هواننِ كنِ هديننئاً فهاًملنيهنَ أأو هكنيئل همنوُلُهصوُلُفئاً فهاًلنهكنيللهل أأو هعنرئضللاً همنوُلُهصللوُلُفئاً فلهلاًلنهعنرهض هواننِ كللنِ هعنرئضللا‬
‫إ‬ ‫إ‬
‫ل ذل ف ي ههدينره قبل أأننِ ي هندفههعهه ه مث هطل مهقههاً قبل أأننِ ي هندهخهل بللاً فهلهههللاً رننصلل هف رقي هترللره‬ ‫ربهعنيرنره رمثنهل هعنبءد أأو أأهمءة أأو ب هرعءي أأو ب ههقهرءة فههه ه ه‬

‫يوُلُم هوقههع عليه النرمهكهح‬

“Imam Syafi’i berkata: Apabila suami menikahi wanita dengan mahar yang

telah disebutkan, maka mahar tersebut ditetapkan sebagai kewajiban suami,

walaupun suami atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri

atau setelah melakukan hubungan suami istri. Apabila mahar yang disebut berupa

uang maka suami wajib membayar dengan uang. Apabila dengan hutang maka

harus dibayar dengan hutang, apabila berupa takaran yang disifati maka berupa

takaran dan apabila berupa barang yang disifati maka dengan barang. Apabila

mahar yang disebut berupa barang tertentu, semisal unta atau sapi, dan rusak

ketika masih dibawa suami sebelum ia serahkan kemudian suami mentalak istri

sebelum melakukan hubungan suami istri maka istri berhak mendapatkan separuh

harga barang tersebut, terhitung harga pada waktu akad nikah yaitu pada hari istri

memiliki mahar.”176

Berdasarkan dari ijtihad Imam Syafi’i di atas, maka jelaslah bahwa mahar

yang disebutkan dalam akad (mahar musamma) harus dibayarkan oleh suami

meskipun telah meninggal dunia baik sudah terjadi jimak ataupun belum terjadi

jimak. Besaran mahar yang harus dikeluarkan sama seperti saat diucapkan dalam

akad pernikahan seperti yang telah disebutkan oleh Imam Syafi’i dalam
176 Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Al-Umm..., jilid. 3, hlm. 66
75

pendapatnya. Disamping itu, Imam Syafi’i bahkan berpendapat apabila suami

tidak dapat membayar dengan uang maka dapat diganti dengan barang yang

jumlahnya sama seperti nilai uang yang disebutkan ketika itu, atau apabila tidak

mampu dengan barang maka dapat memakai takaran yang nilainya sama seperti

harga barang tersebut.

B. Mahar Mitsli

Jika mahar tidak disebutkan di dalam akad dan belum ditentukan yaitu mahar

mitsli, kemudian suami meninggal dunia sebelum berjimak dengan istrinya dan ia

belum membayar mahar, maka dalam kondisi ini terdapat dua perbedaan pendapat

ulama mazhab. Perbedaan itu terjadi di antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i.

1. Pendapat dan Istidlal Mazhab Maliki

a) Pendapat Mazhab Maliki

Menurut mazhab Maliki bahwa status mahar yang tidak disebutkan di dalam

akad dan belum ditentukan kadar maupun jumlahnnya (mahar mitsli), namun

suami meninggal dunia sebelum melakukan jimak dan belum menunaikan

maharnya, maka dalam kondisi ini, sang istri tidak mempunyai hak untuk

memperoleh mahar yang belum ditunaikan akan tetapi dia berhak mendapatkan

warisan.177 Terkait dengan itu, diantara beberapa pendapat ulama dari kalangan

mazhab Maliki yaitu:

177 Malik bin Anas al-Ashbahi, al-Mudawwanah al-Kubra, (Kairo: Dâr al-Hadits, 2005 M),
jilid. 2, hlm. 359. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-qurthubi,
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (t.t.p: Dâr al-Ma’rifah, 1982 M), jilid. 2, hlm. 27
76

(1) Abu Umar bin ‘Abdil Baar an-Namiri al-Qurthubi178

Jika seorang suami menikahi perempuan dengan mahar yang tidak disebutkan

atau tidak ditentukan maharnya (mahar mitsli) dan pemberian mahar tersebut

ditangguhkan, maka nikahnya sah. Jika suami telah berjimak dengan istrinya

maka istri berhak mendapatkan mahar mitsli. Jika suami menceraikan istrinya

sebelum melakukan jimak maka istrinya berhak mendapatkan mut’ah, akan tetapi

jika suami meninggal namun belum berjimak dengan istrinya maka istri tidak

berhak mendapatkan mahar ataupun mut’ah namun berhak mendapatkan warisan

suaminya.179

(2) Abdul Wahab al-Baghdadi al-Maliki180

178 Nama beliau adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Baar an-Namiri al-
Qurthubi. Beliau adalah seorang ulama Andalusia dan ulama hadits yang besar serta terkenal pada
masanya. Beliau menuntut ilmu kepada Abi Umar bin al-Maqwa dan banyak mendengar hadits
dari beberapa ulama diantaranya, Sa’id bin Nashr, Abdul Warits bin Sufyan dan Ahmad bin Qasim
al-Bazar. Selain itu beliau juga mendengarkan hadits dari para ulama terkemuka diantaranya, Abu
al-‘Abbas ad-Dala’i, Abi Muhammad bin Abi Quhafah dan Abu Muhammad bin Hazm. Kitab
karangan beliau diantaranya al-Isti’ab li Asma ash-Shahabah, Jami’ Bayan al-Ilmu dan kitab at-
Taqshi li Hadits Muwatha’. Abi Umar bin ‘Abdil Baar an-Namiri al-Qurthubi, al-Kafi fi Fiqh
Ahlul madinah al-Maliki, cet. ke-2, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1992 M), hlm. 5-6

179 Abi Umar bin ‘Abdil Baar an-Namiri al-Qurthubi, al-Kafi fi Fiqh Ahlul madinah al-
Maliki, cet. ke-2, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1992 M), hlm. 250

180 Beliau adalah syaikh al-Malikiyah pada masanya, Abu Muhammad Abdul Wahab bin Ali
bin Nashr bin Ahmad bin Husain bin Harun bin Amir al-‘Arab Malik bin Thuqi ats-Tsa’labi
al-‘Iraqi. Beliau adalah seorang ahli fikih yang beradab dan ahli sya’ir. Beliau menuntu ilmu fikih
ilmu ushul dan ilmu kalam kepada Abi Bakar al-Maqalani dan kepada syaikh yang lainnya yang
termasuk dari ahli fikih dan ahli hadits. Diantara murid-muridnya adalah Abdul Haq bin Harun al-
Faqih ash-Shaqli dan Abu Abdillah al-Maziri. Dan diantara kitab karangan beliau yaitu at-Talqin.
Abdul Wahab al-Baghdadi al-Maliki, at-Talqin, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1425
H/2004 M), jilid. 1, hlm. 5-6
77

Apabila salah satu dari suami istri meninggal dunia sebelum melakukan jimak

dan mahar tidak disebutkan dalam akad serta belum ditunaikan, maka bagi

keduanya berhak mendapatkan harta warisan dari yang terlebih dahulu

meninggal.181

(3) Al-Qurafi182

Jika suami meninggal dunia namun belum terjadi jimak maka istri berhak

mendapatkan warisan dan tidak mendapatkan mahar. Karena pada dasarnya istri

tidak berhak memperoleh mahar sampai ia menyerahkan dirinya kepada

suaminya.183

(4) Ibnu al-Qasim184

Sebagaimana Imam Malik memberitahuku secara jelas bahwa penduduk mesir

mengakhirkan pemberian mahar hingga kematian atau perceraian, maka menurut

181 Abdul Wahab al-Baghdadi al-Maliki, at-Talqin, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyah, 1425 H/2004 M), jilid. 1, hlm. 317

182 Beliau adalah Ahmad bin Idris bin Abdurrahman bin Abdullah bin Yallin ash-Shanhaji.
Beliau dijuluki dengan nama Shihabbud Dien dan dikenal dengan nama al-Qurafi. Beliau
dilahirkan pada tahun 626 H. Beliau menuntut ilmu dari beberapa syaikh diantaranya Muhammad
bin Imran, Abi Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Wahid bin Ali al-Idrisi. Karangan beliau
diantaranya yaitu ad-Dakhirah, Hasyiyah ‘ala Kitab al-Qurafi fil Ushul. Syihabuddin Ahmad bin
Idris al-Qurafi, ad-Dakhirah, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Gharib al-Islami, t.t.), jilid. 1, hlm. 9

183 Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qurafi, ad-Dakhirah, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Gharib
al-Islami, t.t.), jilid. 4, hlm. 368

184 Beliau adalah Abu al-walid Muhammad bin Ahmad bin Rasyid. Dilahirkan di Qurthubah
pada tahun 450 H/1048 M. Beliau menuntut ilmu fikih kepada ulama Andalusia, diantaranya Abi
Ja’far bin Razaq, Abi Abdillah Muhammad bin khairah al-Amwi, adapun dalam mempelajari
hadits beliau berguru kepada Abi al-‘Abbas Ahmad bin Umar bin Anas al-‘udzri ad-Dala’i dan
dalam mendalami bahasa beliau berguru kepada Abi Marwan Abdul Malik bin Siraj. Buku
karangannya yaitu al-Bayan wa at-Tahsil, Nawazil Ibnu Rusd, Ikhtishar al-Mabsuthah dan al-
Masa’il al-Khilafiyah. Abi Walid bin Rasyid al-Qurthubi, al-Bayan wa at-Tahsil, cet. ke-2, (Beirut:
Dâr al-Gharib al-Islami, t.t.), jilid. 1, hlm. 11
78

Imam Malik akadnya rusak dan akadnya wajib dibatalkan. Jika salah satu dari

suami istri meninggal sebelum berjimak maka keduanya mendapatkan warisan

dari yang terlebih dahulu meninggal.185

Pendapat mazhab Maliki juga merupakan pendapat Ali, Ibnu Umar, Ibnu

Abbas, Zaid bin Tsabit, Imam malik, al-Auza’i, al-Laits, dan al-Hadi. Al-Qasim

menegaskan bahwa wanita tersebut berhak menerima warisan saja. Jadi istri tidak

berhak memperoleh mahar yang belum ditunaikan, juga mut’ah. Karena mut’ah

itu hanya diberikan kepada wanita yang ditalak saja, sementara mahar itu

diberikan sebagai ganti dari jimak, meskipun ia belum sempat disentuh oleh

suaminya yang meninggal tersebut.186

b) Istidlal Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berdalil dengan berlandaskan dalil-dalil dari al-Qur’an, as-

Sunnah, ijtihad Imam Malik dan qiyas.

(1) Dalil dari Al-Qur’an

‫هولهنهك رننص هف هماً تههرهك أأنزهواهجنهك اننِ ل هنم يههكننَ ل هههمنَ هو ه ةل فهاًننِ هكهنِ ل هههمنَ هو ه ةل فهله ه هك الشرب ههع رممماً تههرنكهنَ رمننَ ب هنعرد هورصميءة ي هوُلُرصهي ربهاً أأنو‬
‫إ‬ ‫إ‬
َ‫هدنيءنَ هول هههمنَ الشرب ههع رممماً تههرنك نهت اننِ ل هنم يههكننَ لهنهك هو ه ةل فهاًننِ هكهنِ لهنهك هو ه ةل فهلهههمنَ الث شهمهنَ رممماً تههرنك نهت رمننَ ب هنعرد هورصميءة تهوُلُهصوُلُهنِ ربهاً أأنو هدنيءن‬
‫إ‬ ‫إ‬

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh

isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu

185 Abi Walid bin Rasyid al-Qurthubi, al-Bayan wa at-Tahsil, cet. ke-2, (Beirut: Dâr al-
Gharib al-Islami, t.t.), jilid. 4, hlm. 478

186 Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, (Kairo: Dâr al-Hadits, 1426 H/2005 M), jilid. 6, hlm.
560
79

mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah

dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu

tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka

para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah

dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.”

(QS. An-Nisa: 12)

Abu Ja’far berkata di dalam kitab tafsirnya, Jami’ul Bayan ‘An Ta’wil Ayyi al-

Qur’an, “Bagi laki-laki mendapatkan setengah bagian dari harta peninggalan

istrinya jika tidak ada anak laki-laki ataupun perempuan, namun jika ada anak

laki-laki ataupun perempuan maka laki-laki hanya mendapatkan seperempat

bagian dari harta peninggalan istrinya setelah menunaikan hutang atau tanggungan

istrinya. Sedangkan bagi perempuan mendapatkan seperempat bagian dari harta

peninggalan suaminya jika tidak ada anak laki-laki ataupun perempuan, namun

jika ada anak laki-laki ataupun perempuan maka perempuan hanya mendapatkan

seperdelapan bagian dari harta peninggalan suaminya setelah menunaikan hutang

atau tanggungan istrinya.”187

Berdasarkan penjelasan tafsir di atas dapat dipahami bahwa diantara kedua

suami istri saling mewarisi, dan ayat di atas dijadikan dalil oleh mazhab Maliki

dalam permasalahan status mahar yang belum ditunaikan namun suami meninggal

187 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘An Ta’wil Ayyi al-Qur’an ,
(Kairo: Darus Salam, 1430 M/2009, cet: 4), jilid. 3, hlm. 2178
80

sebelum jimak, maka dalam kondisi tersebut istri berhak mendapatkan seperempat

bagian dari harta peninggalan suami karena bersamanya tidak ada anak.

(2) Dalil dari as-Sunnah

Sebuah riwayat dari Imam Malik bahwa,

,‫ هكللن هنت ه نتللهت انبللءنَ رلهعنبللرد ا م رللل نبللرنَ ه هعللره‬,‫ هوأأشمههاً ربن نهت هزينرد نبللرنَ النهخمطللاًرب‬,‫هعننَ هماً ر ءل هعننَ هنرفع ء أأمنِ ابننههة هعهبنيرد ا م رل نبرنَ ه هعهر‬

ً‫ هول هللنوُلُ هكللهنِ ل هههللا‬,‫ ل هينللهس ل هههللاً هصللهداةق‬:‫ فههقاًهل هعنبهد ا م رللل نبللهنَ ه هعللره‬,ً‫فههماًهت هول هنم ي هندهخنل ربهاً هول هنم ي ههس م رم ل هههاً هصهداقئاً فهاًبنهتهغنت أأشمههاً هصهداقههها‬

ً‫ فههجهعلهلوُلُا ب هين ههنلنم هزنيلهد نبلهنَ هث ربءت فههقهضلل أأننِ هل هصلهداهق ل هههلاً هول هههلا‬,‫ هفلآأب هنت أأشمههلاً أأننِ تهنقهبلهل هذ ر هلل‬.ً‫ هول هللنم ن هنظرلنمههلا‬,‫هصهداةق ل هنم ن هنمرسنكهه‬

.‫النرمهياهث‬

“Dari Malik dari nafi’ bahwa anak perempuan Ubaydillah bin Umar yang

ibunya adalah anak perempuan Zaid bin al-Khathab, menikah dengan putra

Abdullah bin Umar, kemudian ia (suami) meninggal sebelum berjimak dengan

istrinya dan belum menentukan maskawinnya. Ibu si istri menginginkan mahar

atas anaknya dan Abdullah bin Umar berkata: “Ia (si istri) tidak berhak atas

mahar. Jika ia berhak atas maharnya kami tidak akan menahannya, dan kami tidak

memperlakukannya secara tidak adil.” Si ibu menolak untuk menerima hal itu.

Zaid bin Tsabit dibawa untuk mengadili mereka, dan ia memutuskan bahwa si istri

tidak memperoleh mahar, tapi ia memiliki hak waris.”188

188 Imam Malik, al-Muwatha, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1432 H/2011 M), hlm. 257
81

Mazhab Maliki berdalil dengan riwayat Imam Malik di dalam kitab al-

Muwaththa serta qaul ash-Shahabah dan ijtihad Zaid bin Tsabit yang dijadikan

pegangan oleh mazhab Maliki dalam memperkuat pendapatnya.

Dalam kitab al-Muntaqa Syarhu Muwatha Malik dijelaskan bahwa maksud

dari lafadz hadits di atas “Bahwa anak perempuan Ubaydillah bin Umar yang

ibunya adalah anak perempuan Zaid bin al-Khathab, menikah dengan putra

Abdullah bin Umar, kemudian ia (suami) meninggal sebelum berjimak dengan

istrinya dan belum menentukan maskawinnya”. Maksudnya adalah pernikahan

tersebut dilakukan dengan cara nikah tafwidh. Nikah tafwidh adalah pernikahan

yang dilakukan dengan tidak menetapkan mahar sehingga tidak disebutkan di

dalam akad nikah. Hal tersebut bisa terjadi karena nikah terbagi menjadi 2 jenis

yaitu nikah yang dilakukan dengan menyebutkan mahar dan yang dilakukan

dengan tidak menentukan dan menyebutkan mahar (nikah tafwidh).189

Nikah tafwidh hukumnya diperbolehkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

‫هل هجنهاًهح عهلهنينهك اننِ هطل منق ههت ال رن مهساًهء هماً ل هنم تههمشسوُلُههمنَ أأنو تهنفررهضوُلُا ل هههمنَ فهرريهضئة‬
‫إ‬

“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum

kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah:

236)

Abu Walid berkata: “Menurutku kesesuaian ayat tersebut dengan nikah

tafwidh adalah bahwa ayat tersebut menjelaskan tidak berdosa bagi orang yang

189 Abi Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji, al-Muntaqa Syarhu Muwatha Malik, cet. Ke-1,
(Beirut: Dar kutub al-Ilmiyah, 1420 H/1999 M), jilid. 5, hlm. 36
82

menceraikan istrinya namun belum menyentuhnya dan belum menentukan mahar,

dengan ini bahwa tidak berdosa jika akad nikah berlangsung dengan tidak

menyebutkan dan menentukan mahar, maka hal itu menunjukan kebolehan akan

nikah tafwidh.190

Riwayat Imam Malik yang telah disebutkan di atas, menjelaskan bahwa jika

ada seorang wanita dinikahi dengan mahar yang tidak ditentukan dan disebutkan

dalam akad yaitu mahar mitsli serta belum ditunaikan maka istri berhak mendapat

mahar mitsli jika sudah terjadi hubungan suami istri. Akan tetapi, jika suami

meninggal dan belum berjimak maka istri tidak berhak mendapatkan mahar

namun berhak mendapatkan warisan suaminya.

(3) Dalil dari Ijtihad Imam Malik

Dalil Mazhab Maliki juga sebagaimana pendapat yang dikatakan oleh Imam

Malik dalam kitab Mudawwanah al-Kubra,

‫ النرمهكهح هجللاًرئةز رعننللهد هماً ر ءللل هوي هنفللهرهض ل هههللاً هصللهداهق‬:‫ أأهرأأينهت ل هنوُلُ أأمنِ هرهجئل تههزموهج انمهرأأئة هول هنم ي هنفررنض ل هههاً هصهداقئاً؟ُ قهاًهل‬:‫هقلنهت‬

‫ٍ فههل همنتهعهة‬،‫ٍ فهلهههاً النتهعهة هواننِ هماًهت قهنبهل أأننِ ي ه ه هتاهضهياً عههل هصهداءق‬،‫ هواننِ هطل مقهههاً قهنبهل أأننِ ي ه ه هتاهضهياً عههل هصهداءق‬,ً‫رمثنرلههاً اننِ هدهخهل ربها‬
‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬
.‫ل هههاً هوهل هصهداهق هول هههاً ارل ن هياهث‬

“Aku berkata (Sahnun bin Sa’id at-Tanukhi): Apa pendapatmu jika ada

seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan ia tidak menetapkan mahar

baginya, Imam Malik berkata: ‘Nikah tersebut diperbolehkan dan ditetapkan bagi

perempuan tersebut mahar mitsli jika ia telah berjimak dengan suaminya, jika

190 Ibid,
83

suami mentalaknya sebelum menetapkan mahar dan membayarnya maka istri

berhak mendapatkan mut’ah, akan tetapi jika ia (suami) meninggal dunia sebelum

menetapkan mahar kepada istrinya dan belum berjimak, maka istri tidak berhak

memperoleh mut’ah dan mahar, tetapi ia berhak menerima bagian warisan (dari

harta suami yang meninggal tersebut)”.

(4) Dalil dari Qiyas

Dalam permasalahan ini, mazhab Maliki juga menggunakan dalil qiyas.

Mazhab Maliki mengqiyaskan hal tersebut kepada jual beli. Mahar merupakan

sebagai pengganti (penukar), maka selama benda yang akan diganti tersebut tidak

diambil, maka tidak diwajibkan memberi gantinya.191

Dan karena akad pernikahan tersebut tidak memiliki konsekuensi apa-apa.

Kematian ini diqiyaskan dengan perceraian. Perceraian yang terjadi sebelum

terjadinya persetubuhan dan khalwat dan sebelum penentuan mahar sehingga

belum ditunaikan maka tidak menimbulkan konsekuensi apa-apa, seperti halnya

juga kematian.192

2. Pendapat dan Istidlal Mazhab Syafi’i

Malik bin Anas al-Ashbahi, Mudawwanah..., jilid. 2, hlm. 357

191 Abi al-Hasan ‘Ali bin Sa’id ar-Rajraji, Manahij at-Tahshil wa Nataij Lathaif at-Ta’wil fi
Syarh al-Mudawwanah wa Halli Musyakilatiha, cet. ke-1, (Beirut: Dâr Ibnu Hazm, 1428 H/2007
M), jilid. 3, hlm. 488

192 Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islam Wa al-Qhadhaya al-Mu’ashirah,


(Damaskus: Dâr al-Fikr, 2010 M), jld. 8, hlm. 282
84

a) Pendapat Mazhab Syafi’i

Menurut mazhab Syafi’i bahwa status mahar hutang yang tidak disebutkan di

dalam akad dan belum ditentukan (mahar mitsli), namun suami meninggal dunia

sebelum melakukan jimak maka istri berhak memperoleh mahar mitsli dan juga

warisan.193 Ini juga merupakan pendapat mazhab Hanafi194 dan pendapat yang

shahih dari mazhab Hanbali.195 Dan diantara beberapa pendapat ulama dari

kalangan mazhab Syafi’i adalah:

(1) Asy-Syarbini196

Apabila suami menceraikan istrinya namun belum berjimak, maka istri tidak

berhak mendapatkan sesuatu dari mahar namun istri berhak mendapatkan mut’ah.

Dan jika suami meninggal dunia sebelum berjimak maka istri tidak berhak

mendapatkan mahar mitsli namun pendapat yang zhahir dalam mazhab syafi’i

bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsli.197


193 Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, Majmu’ Syarhu al-Muhadzab, cet. ke- 8,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2011 M), jilid. 20, hlm. 66-67. Abi Abdillah Muhammad bin
Idris asy-Syafi’i, Al-Umm, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Fikri, 2009 M), jilid. 3, hlm. 66. Muhammad
al-Khothib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dâr al-Fikri, 2009 M), jilid. 3, hlm. 295

194 Syamsuddin as-Sarkhasi, al-Mabsuth, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t.), jilid. 5, hlm. 62

195 Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Kafi, cet. ke-1, (t.t.p: Dâr al-Hijr, 1418 H/1997 M), jilid. 4,
hlm. 342

196 Nama beliau adalah Muhammad bin Muhammad asy-Syarbini al-Qahiri asy-Syafi’i.
Beliau berguru kepada beberapa syaikh, diantaranya yaitu Ahmad al-Burlis yang dijuluki ‘Amirah,
an-Nur al-Muhli, dan asy-Syams Muhammad bin Abdurrahman bin Khalil an-Nusyki al-Kardi.
Beliau merupakan seorang yang berilmu, zuhud, dan wara’. Adapun kitab karangan beliau yaitu
Syarhu Kitab Minhaj dan Kitab Tanbih. Beliau wafat pada hari kamis di bulan Sya’ban tahun 977.
Syamsyuddin Muhammad bin Khathib asy-Syarbini, Mughni Muhtaj, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-
Ma’rifah, 1418 H/1997 M), jilid. 1, hlm. 17

197 Syamsyuddin Muhammad bin Khathib asy-Syarbini, Mughni Muhtaj, cet. ke-1, (Beirut:
Dâr al-Ma’rifah, 1418 H/1997 M), jilid. 3, hlm. 305
85

(2) Al-Haitami198

Al-Haitami berpendapat, menurutnya bahwa jika suami meninggal dunia

sebelum berjimak dan menunaikan maharnya maka istri berhak mendapatkan

mahar mitsli.199

(3) Ibrahim al-Baijuri200

Al-Baijuri dalam kitabnya Hasyiah al-Baijuri menjelaskan bahwa jika salah

satu dari kedua suami istri meninggal sedangkan mahar belum ditentukan dan

belum terjadi jimak, maka istri berhak mendapat mahar mitsli. Mahar mitsli

berhak dalam pernikahan yang shahih dan karena kematian sama seperti jimak

198 Nama beliau Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Hajar as-
Salmunti al-Haitami al-Azhari al-Wa`ili as-Sa'di al-Makki al-Anshari asy-Syafi'i. Dikenal dengan
Ibnu Hajar al-Haitami, lahir di Mahallah Abi al-Haitam, Mesir bagian Barat, Rajab 909 H, wafat di
Mekkah Rajab 973 H. Beliau adalah seorang ulama di bidang fikih mazhab syafi'i. Diantara guru
beliau adalah Syaikh Abdul Haq as-Sanbathi, Asy-Syams al-Masyhadi, Asy-Syams as-Samhudi
dan Syihabuddin ar-Ramli. Dan beliau memiliki banyak karya tulis, antara lain Syarh al-Misykat,
Tuhfatu al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj, dan Syarh al-Hamziyyah al-Bushiriyyah.
https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Hajar_al-Haitami diakses pada tanggal 30 Maret 2016.

199 Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitimi asy-Syafi’i, Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj bi
Syarhi al-Muhtaj, (t.p.: t.t.p, t.t), jilid. 7, hlm. 395

200 Nama lengkap beliau adalah Ibrahim al-Bajuri bin Syaikh Muhammad al-Jizawi bin
Ahmad.. Beliau dilahirkan pada tahun 1198 H/1783 M di desa Bajur, sebuah desa di Provinsi Al-
Manjufiyah, Mesir. Pada tahun 1212 Hijriyah, beliau berangkat ke Al-Azhar dan menimba ilmu
disana. Waktu itu umur beliau baru masuk 14 tahun. Diantara guru-guru beliau selama belajar di
al-Azhar yaitu Muhammad al-Amir al-Kabir al-Maliki, Abdullah asy-Syarqawi, dan Syaikh
Muhammad al-Fadhali. Diantara Hasyiyah ‘Ala Risalah Syaikh al-Fadhali, Fathu al-Qaril al-Majid
Syarh Bidayatu al-Murid, dan Hasyiyah ‘Ala Maulid Musthafa Libni Hajar. Beliau wafat pada hari
kamis, 28 Dzulqa’dah 1276 H/19 Juli 1860 M. http://pii-mesir.blogspot.co.id/2012/04/ibrahim-al-
bajuri-ulama-produktf.html, diakses pada tanggal 30 Maret 2016.
86

dalam menetapkan mahar musamma. Sedangkan dalam pernikahan yang rusak

maka mahar mitsli tidak diwajibkan.201

(4) An-Nawawi202

Sementara an-Nawawi berpendapat bahwa mahar mitsli wajib diberikan jika

suami meninggal dunia sebelum berjimak dengan istrinya dan belum menunaikan

maharnya.203

Pendapat mazhab Syafi’i juga merupakan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Sirin,

Ibnu Abu Laila, Imam Abu Hanifah beserta seluruh sahabatnya diantaranya Ishaq,

dan Imam Ahmad bin Hanbal.204

Abu Hanifah juga berpendapat, bahwa istri memperoleh mahar mitsli dan

warisan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad dan Dawud.205

201 Ibrahim al-Baijuri, Hasyiah al-baijuri, cet.ke-2, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1420
H/1999 M, jilid 2, hlm. 228

202 Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husain bin Hizam bin
Muhammad An-Nawawi Asy-Syafi’i. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram, tahun 631 H di
perkampungan Nawa dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah
memulai hafal Al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqh pada sebagian ulama di sana. Guru beliau
diantaranya, Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi Al-Maqdisi, Abdurrahman bin Nuh bin
Muhammad al-Maqdisi, Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari, dan Syaikh Ahmad bin
Salim al-Mishri. Adapun diantara murid-muridnya yaitu ‘Alauddin’Ali Ibnu Ibrahim, Sulaiman bin
Hilal Al-Ja’fari, dan Ahmad Ibnu Farah Al-Isybili. Kitab karangan beliau adalah Tahdzib Asma Wa
al-Lughat, Tahrir at-Tanbih, Manaqib asy-Syafi’i, Risalah maqashid dan al-Adzkar. Beliau wafat
pada hari rabu tanggal 24 bulan rajab tahun 676. Imam an-Nawawi, Tashhih at-Tanbih, cet. ke-1,
(Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1417 H/1996 M), jilid. 1, hlm. 11

203 Imam an-Nawawi, Tashhih at-Tanbih, cet. ke-1, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1417
H/1996 M), jilid. 2, hlm. 37

204 Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, Majmu’..., jilid. 20, hlm. 66-67

205 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid..., jilid. 2, hlm. 27


87

b) Istidlal Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i berdalil dengan berlandaskan dalil-dalil dari al-Qur’an, as-

Sunnah, dan Ijtihad Imam Syafi’i.

(1) Dalil dari al-Qur’an

Firman Allah ta’ala dalam QS. an-Nisa ayat 4,

‫هوهءاتهوُلُا ال رن مهسآ آهء هصهدقهاً ررتمنَ ر نن ه ئل فهاًنِ رط ن هب لهنهك هعنَ ه ن‬


ً‫شءء رممننهه ن ههفئساً فه ه هكوُلُهه ههرنيئئاً ممرريئئا‬
‫إ‬

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian dengan penuh kerelaan. Jika mereka menyerahkan kepada kamu

sebagian maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian

itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4)

Al-Mawardi206 menjelaskan dalam kitabnya, al-Hawi al-Kabir bahwa ayat

tersebut sebagai istinbath hukum Imam Syafi’i dalam menetapkan kewajiban

membayar mahar khususnya mahar hutang yang belum dibayar karena suami

meninggal dunia. Ada dua pendapat yang menjelaskan tentang penunjukan khitab

ayat tersebut. Pertama, khitab ayat tersebut ditujukan kepada suami, oleh karena

itu suami mempunyai kewajiban untuk membayar mahar. Kedua, khitab ayat

tersebut ditujukan kepada wali perempuan, karena pada masa jahiliyah mahar

206 Nama lengkap beliau adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi.
Beliau adalah seorang ahli fiqh dari Irak. Al-Mawardi lahir di kota Basra Irak, disinilah dia belajar
fiqh dari Abu al-Wahid al-Simari, dan kemudian pindah ke Baghdad untuk berguru pada Sheikh
Abd al-Hamid dan Sheikh Abdallah al-Baqi. Bukunya yang terkenal adalah Kitab al-Ahkam al-
Sultania (buku tentang tata pemerintahan), Qanun al-Wazarah (Undang-undang tentang
Kementrian), dan kitab nasihat al-Muluk. https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Al-Hasan_Al-
Mawardi, diakses pada tanggal 30 Maret 2016.
88

menjadi milik wali perempuan, kemudian Allah ta’ala memerintahkan kepada

para wali perempuan untuk memberikan mahar kepada anak perempuannya.

Adapun kata nihlah menurut Abi Shalih mempunyai tiga takwil (penafsiran).

Pertama, bahwa dia wajib membayarkan mahar artinya dia mempunyai hutang

kepada istrinya. Kedua, kerelaan hati seorang istri akan terganti ketika mahar itu

diberikan. Ketiga, Allah mewajibkan membayar mahar kepada suami sesudah

mempunyai hak untuk memiliki istrinya dari wali istri.207

(2) Dalil dari as-Sunnah

‫ فههقللاًهل‬.‫هعننَ عهلنهقهمهة هعرنَ انبرنَ همنسهعوُلُءد أأن مهه هسسرئهل هعننَ هرهجءل تههزموهج انمهرأأئة هول هنم ي هنفررنض ل هههاً هصهداقئاً هول هنم ي هندهخنل ربهللاً هحمتلل همللاًهت‬

‫ فههقاًهم همنعرقهل بنللهنَ رسسللنهاًءنِ األ ن ه‬.‫ط هوعهلهنيهاً النرعمدهة هول هههاً النرمهياهث‬
‫شللرعشىَ فههقللاًهل‬ ‫انبهنَ همنسهعوُلُءد ل هههاً رمثنهل هصهدارق رنهساًرئهاً هل هونكهس هوهل هشهط ه‬

.‫ فههفررهح ربهاً انبهنَ همنسهعوُلُءد‬. ‫ٌ رف ربنرهوهع ربن نرت هوارشءق انمهرأأءة رمن ماً رمثنهل ا م رلىِذَّ قههضينهت‬-‫ٌصل ا عليه وسل‬- ‫قههض هرهسوُلُهل ا م رل‬

“Dari al-Qamah dari Ibnu Mas’ud sesungguhnya dia ditanya tentang seorang

laki-laki yang menikahi perempuan dan belum memberinya mahar dan juga belum

melakukan hubungan suami istri sampai dia meninggal. Ibnu Mas’ud berkata:

Baginya mendapatkan mahar sebagaimana mahar kerabat perempuannya. Tidak

ada kerugian dan melebihi batas. Dan dia berkewajiban iddah dan berhak

mendapatkan warisan. Kemudian Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i berdiri dan berkata:

“Rasulullah SAW pernah memutuskan masalah yang terjadi pada Barwa binti

207 Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashry, al-Hawi al-Kabir, cet. ke-1, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1414 H/1994 M), jilid. 9, hlm. 390
89

Wasyiq perempuan dari kalangan kami sebagaimana yang engkau putuskan. Ibnu

Mas’ud pun merasa senang dengannya.” (HR. Tirmidzi)208

Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits di atas merupakan hadits hasan

shahih dan kematian suami tersebut diqiyaskan dengan jimak, oleh karena itu

mahar ditetapkan untuk istri karena kematian.209 Ibnu Hajar mengatakan di dalam

kitabnya, Bulughul Maram, bahwa hadits al-Qamah tersebut shahih, sebagaimana

yang telah dishahihkan oleh Tirmidzi. Ibnu Mahdi dan Ibnu Hazm mengatakan

bahwa tidak diragukan lagi akan keshahihan haditsnya. Begitupun dengan al-

Mubarakfuri210 di dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi mengatakan bahwa hadits al-

Qamah merupakan hadits yang shahih.211

208 Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir Li at-Tirmidzi, “Kitab Nikah”,
cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Gharbi al-Islami, 1996 M), jilid. 2, hlm. 436, hadits no. 1145

209 Taqyuddin Muhammad Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini ad-Dimasyqi asy-Syafi’i,
Kifayatuh al-Akhyar Fi Halli ‘Inayah al-Ikhtishar, cet. ke-2, (Kairo: Syirkah al-Quds, 1433
H/2012 M), jilid. 2, hlm. 96

210 Nama beliau adalah Abu al-‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim bin Bihadir
al-Mubarakfuri. Dilahirkan pada tahun 1283 di desa Mubarakfuri, beliau tumbuh besar di desa
Mubarakfuri bersama dengan kedua orang tuanya. Semasa kecilnya beliau menyibukan dirinya
dengan membaca al-Qur’an sampai mengkhatamkannya dan menulis beberapa risalah dengan
bahasa persi dan urdan. Setelah beliau besar, beliau melakukan perjalanan mengelilingi beberapa
kota dan desa untuk berguru ilmu syar’i kepada para ulama terkemuka diantaranya Syaikh
Hisyamuddin al-Ma’wa, Syaikh Fayadhullah al-Ma’wa. Dan beberapa murid-muridnya yaitu Abu
al-Huda Abdussalam al-Mubarakfuri, ‘Ubaidillah ar-Rahmani, dan Muhammad bin abdul Qadir al-
Hilali. Kitab karangan beliau yaitu Tuhfatul ahwadzi Syarhu Jami’u at-Tirmidzi, Muqaddimah
Tuhfatul Ahwadzi, Tuhfatul Kalam Fi Wujubil Qira’ah Khalfa al-Imam dan Dhiya al-Abshar.
Beliau wafat pada hari selasa malam tanggal 16 Syawal tahun 1353. Muhammad Abdurrahman bin
Abdurrahim al-Mubarakfuri, tuhfah al-Ahwadzi Syarhu Jami’ at-Tirmidzi, (t.p.: Dâr al-Fikr, t.t.),
jilid. 2, hlm. 189

211 Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi Syarhu


Jami’ at-Tirmidzi, (t.p.: Dâr al-Fikr, t.t.), jilid. 4, hlm. 300
90

Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang wanita yang ditinggal mati

suaminya akan tetapi suami belum memberikan maharnya dan belum berjimak

dengan istrinya, maka istri tersebut berhak menerima mahar secara penuh, istri

pun wajib ber’iddah, dan baginya mendapat warisan. 212 Sebab, akad pernikahan

adalah sebuah akad yang masanya sepanjang umur, maka akad ini terhenti dengan

kematian salah satu dari kedua belah pihak dan ditetapkan gantinya, seperti

terhentinya akad sewa menyewa. Ketika ditetapkan maka tidak menjadi gugur apa

pun darinya dengan dibatalkannya pernikahan dan tidak yang lainnya.

Ahlu ilmi dari mazhab Maliki seperti, Imam malik, al-Auza’i, al-Laits, dan al-

Hadi, serta ahlul ilmi dari para shahabah Rasulullah SAW seperti Ali, Ibnu Umar,

Ibnu Abbas, dan Zaid bin Tsabit mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan dari

al-Qamah yang dijadikan dalil mazhab Syafi’i merupakan hadits mudhtharib.213

Karena ada yang mengatakan bahwa salah satu dari perawi hadits tersebut

bernama Ma’qil bin Sinan, dan ada juga yang mengatakan Ma’qil bin Yasar,

bertolak dari itu, sehinngga al-Waqidi mendho’ifkan hadits yang diriwayatkan

dari al-Qamah dan Ali bin Abi Thalib juga menolak hadits itu dikarenakan Ma’qil

bin Sinan adalah orang badwi.214

Namun, pernyataan tentang hadits yang menjadi dasar mazhab syafi’i yang

dianggap hadits idhtirab oleh mazhab Maliki mendapat sanggahan dari al-
212 Ibid,

213 Hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari arah yang bermacam-macam,
yang kekuatannya sama. Muhammad Thahan, Taisir al-Mushthalah al-Hadits, cet. ke-7, (t.p.:
Markaz al-Hadi li ad-Dirasat, t.t.), hlm. 86

214 Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, tuhfah al-Ahwadzi..., jilid. 4,


hlm. 300
91

Mubarakfuri, yang mana al-mubarakfuri membantah semua itu di dalam kitabnya

Tuhfatul Ahwadzi, beliau mengatakan bahwa hadits idhthirab itu tidak tercela

hanya karena disebabkan berbeda salah satu orang yang meriwayatkannya dan hal

itu tidak menjadikan periwayatannya cacat walaupun ada yang mengatakan

Ma’qil bin Sinan atau Ma’qil bin Yasar. Al-Baihaqi mengatakan bahwa Ibnu Sinan

adalah seorang sahabat yang masyhur.215

(3) Dalil dari Ijtihad Imam Syafi’i

Terkait dengan permasalahan ini, Imam Syafi’i berpendapat dalam kitab al-

Umm yaitu:

‫فإاًذا تههزمو ه هجاً عل ه ن‬: ‫قهاًهل المشهاًفعشي هر ر هحهه اهمل تههعاًهل‬


‫شءء همهسيمىَ فههذ ر هل هلرزةم ل إاننِ هماًهت أأو هماًتهنت قبل أأننِ ي هندهخهل باً أأو‬

ً‫دخل باً إاننِ كنِ ن هنقئدا فهاًلنمنقهد هواننِ كنِ هديننئاً فهاًملنيهنَ أأو هكنيئل همنوُلُهصوُلُفئاً فهاًنلهكنيللهل أأو هعنرئضللاً همنوُلُهصللوُلُفئاً فلهلاًلنهعنرهض هواننِ كللنِ هعنرئضللا‬
‫إ‬ ‫إ‬
‫ل ذل ف ي ههدينره قبل أأننِ ي هندفههعهه ه مث هطل مقهههاً قبل أأننِ ي هندهخهل بللاً فهلهههللاً رننصلل هف رقي هترللره‬ ‫ربهعنينرره رمثنهل هعنبءد أأو أأهمءة أأو ب هرعءي أأو ب هقههرءة فههه ه ه‬

‫يوُلُم هوقههع عليه النرمهكهح‬

“Imam Syafi’i berkata: Apabila suami menikahi wanita dengan mahar yang

telah disebutkan, maka mahar tersebut ditetapkan sebagai kewajiban suami, jika

suami atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri atau setelah

melakukan hubungan suami istri. Apabila mahar yang disebut berupa uang maka

suami wajib membayar dengan uang. Apabila dengan hutang maka harus dibayar

dengan hutang, apabila berupa takaran yang disifati maka berupa takaran dan

apabila berupa barang yang disifati maka dengan barang. Apabila mahar yang

215 Ibid, jilid. 4, hlm. 301


92

disebut berupa barang tertentu, semisal unta atau sapi dan rusak ketika masih

dibawa suami sebelum ia serahkan kemudian suami mentalak istri sebelum

melakukan hubungan suami istri maka istri berhak mendapatkan separuh harga

barang tersebut, terhitung harga pada waktu akad nikah yaitu pada hari istri

memiliki mahar.”216

Berdasarkan dari ijtihad Imam Syafi’i di atas, maka jelaslah bahwa mahar

yang disebutkan (mahar musamma) harus dibayarkan oleh suami meskipun telah

meninggal dunia baik sudah terjadi jimak ataupun belum terjadi jimak. Besaran

mahar yang harus dikeluarkan sama seperti saat diucapkan dalam akad pernikahan

seperti yang telah disebutkan oleh Imam Syafi’i dalam pendapatnya. Disamping

itu, Imam Syafi’i bahkan berpendapat apabila suami tidak dapat membayar

dengan uang maka dapat diganti dengan barang yang jumlahnya sama seperti nilai

uang yang disebutkan ketika itu, atau apabila tidak mampu dengan barang maka

dapat memakai takaran yang nilainya sama seperti harga barang tersebut.

Jika keadaan yang menuntut, dimana akad nikah berlangsung dengan tidak

disebutkan jumlah mahar yang akan diberikan maka istri berhak mendapatkan

mahar mitsli. Jika telah terjadi hubungan suami istri atau suami meninggal dan

belum terjadi jimak serta mahar belum ditunaikan maka mahar wajib dibayarkan

dengan ukuran mahar mitsli. Karena kematian membuat sempurna mahar

musamma, maka mahar mitsli juga menjadi sempurna bagi perempuan tersebut.

3. Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Antara Mazhab

Maliki dan Mazhab Syafi’i Terkait Mahar Mitsli


216 Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Al-Umm..., jilid. 3, hlm. 66
93

Silang perbedaan pendapat antara mazhab Maliki dan Syafi’i dalam mahar

mitsli disebabkan oleh adanya perselisihan antara qiyas dan hadits. Yang mana

dalam hal ini, qiyas dijadikan dalil oleh mazhab Maliki dan hadits dijadikan dalil

oleh mazhab Syafi’i.

Hadits tersebut adalah riwayat Ibnu Mas’ud. Ketika ia ditanya tentang

persoalan tersebut, ia menegaskan:

‫ فههقاًهم همنعرقللهل نبللهنَ رسسللنهاًءنِ األ ن ه‬.‫ط هوعهلهنيهاً النرعمدهة هول هههاً النرمهياهث‬
‫شللرعشىَ فههقلاًهل قههضلل‬ ‫ل هههاً رمثنهل هصهدارق رنهساًرئهاً هل هونكهس هوهل هشهط ه‬

.‫ٌ رف ربنرهوهع ربن نرت هوارشءق انمهرأأءة رمن ماً رمثنهل ا م رلىِذَّ قههضينهت‬-‫ٌصل ا عليه وسل‬- ‫هرهسوُلُهل ا م رل‬

“Baginya mendapatkan mahar sebagaimana mahar istrinya. Tidak ada

kerugian dan melebihi batas. Dan dia berkewajiban iddah dan berhak

mendapatkan warisan. Kemudian Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i berdiri dan berkata:

“Rasulullah SAW pernah memutuskan masalah yang terjadi pada Barwa binti

Wasyiq perempuan dari kalangan kami sebagaimana yang engkau putuskan.”

(HR. Tirmidzi)217

Adapun segi pertentangan qiyas dengan hadits di atas ialah pemahaman mahar

itu pengganti. Dan karena mahar belum diterima, pengganti tersebut tidak

diwajibkan, karena diqiyaskan dengan jual beli.218

217 Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir Li at-Tirmidzi..., jilid. 2, hlm.
436, hadits no. 1145

218 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid..., jilid. 2, hlm. 28


94

C. Analisis dan Komparasi Pandangan Mazhab Syafi’i Dan

Maliki Terkait Status Mahar Hutang Ketika Suami Meninggal

Sebelum Jimak

1. Analisis Pandangan Mazhab Syafi’i Dan Maliki

Keberadaan mahar dalam pernikahan haruslah ada, karena mahar wajib dalam

Islam. Akan tetapi, dalam perkembangannya masih terjadi perbedaan pendapat

diantara beberapa mazhab, terutama dalam hal status mahar hutang ketika suami

meninggal sebelum jimak. Perbedaan ini terjadi antara mazhab Maliki dan

mazhab Syafi’i, yang mana perbedaan tersebut dipengaruhi oleh jenis mahar itu

sendiri yaitu mahar musamma dan mahar mitsli.

Apabila akad pernikahan dilaksanakan dengan mahar musamma, maka dalam

kondisi ini, mazhab Maliki dan Syafi’i sepakat bahwa mahar hutang tetap

diberikan kepada istri secara keseluruhan walaupun suami meninggal dunia

sebelum berjimak dengan istrinya. Dalil yang digunakan kedua mazhab tersebut

berbeda secara zhahir akan tetapi memiliki makna yang sama. Mazhab Maliki

dalam memutuskan pendapatnya, berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari

Ibnu Juraij yang menjelaskan bahwa jika suami meninggal dunia dan mahar telah

ditentukan kadarnya di dalam akad (mahar musamma), maka istri berhak

mendapatkan maharnya secara penuh. Sedangkan mazhab Syafi’i berdalil dengan

ijtihadnya Imam Syafi’i yang menjelaskan bahwa mahar yang disebutkan

kadarnya (mahar musamma) harus dibayarkan oleh suami meskipun telah

meninggal dunia baik sudah terjadi jimak ataupun belum terjadi jimak.
95

Selain dalil yang disebutkan di atas, mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i juga

beralasan bahwa akad tidak batal karena kematian, tetapi akadnya berakhir dengan

kematian, yakni umurnya telah habis. Oleh karena itu, seluruh hukum yang

berkaitan dengannya tetap berlaku dengan berakhirnya akad, termasuk mahar.

Dikarenakan juga mahar yang telah ditetapkan di dalam akad, jika belum

diserahkan, itu merupakan sebuah tanggungan hutang, dan tanggungan hutang

tidak akan gugur karena kematian.

Sedangkan apabila akad pernikahan dilaksanakan dengan mahar yang tidak

disebutkan dalam akad (mahar mitsli) lalu suami meninggal sebelum terjadi

hubungan suami istri, dan mahar belum ditunaikan secara utuh maka dalam

kondisi ini, mazhab Maliki dan Syafi’i yang juga termasuk dalam pendapat

jumhur (Hanafiyah dan Hanabilah) berbeda pendapat.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa istri tidak mempunyai hak untuk

memperoleh mahar yang belum ditunaikan akan tetapi dia mendapatkan warisan.

Sedangkan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa istri berhak memperoleh mahar

mitsli dan juga warisan.

Dalam konteks ini, sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan

sebelumnya bahwa perbedaan pendapat antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i

terkait dengan mahar mitsli, disebabkan karena adanya perselisihan antara qiyas

dan hadits. Hadits tersebut adalah riwayat Ibnu Mas’ud yang dijadikan dalil oleh

mazhab Syafi’i, yang menyatakan bahwa istri mendapatkan mahar sebagaimana

mahar kerabat perempuannya dan dia berkewajiban iddah serta berhak


96

mendapatkan warisan. Selain hadits riwayat Ibnu Mas’ud yang dijadikan dalil,

mazhab Syafi’i juga berdalil dengan menggunakan al-Qur’an yaitu surat an-Nisa

ayat 4 yang menetapkan kewajiban membayar mahar khususnya mahar hutang

yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.

Adapun segi pertentangan qiyas dengan hadits riwayat Ibnu Mas’ud ialah

dengan mengqiyaskan hal tersebut kepada jual beli. Qiyas tersebut dijadikan dalil

oleh mazhab Maliki, yang menyatakan bahwa pemahaman mahar adalah sebuah

pengganti, selama benda yang akan diganti tersebut tidak diambil, maka tidak

diwajibkan memberi gantinya. Mazhab Maliki juga mengatakan bahwa istri tidak

berhak mendapatkan mahar namun berhak mendapatkan warisan suaminya. Hal

ini sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits yang diriwatkan oleh Imam

Malik dalam kitab Al-Muwatha.

Melihat dari beberapa penjelasan pendapat dan istidlal dari kedua mazhab di

atas, tentang status mahar mitsli yang belum ditunaikan namun suami meninggal

dunia sebelum jimak, penulis lebih condong memilih pendapat mazhab Syafi’i

yang tetap memberikan mahar bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh

suaminya meskipun belum maupun telah melakukan hubungan suami istri serta

belum memberikan maharnya. Karena keberadaan wanita sangat dihormati oleh

Islam, dan mahar sebagai bentuk ungkapan ketulusan hati suami benar-benar

mencintai istrinya.

Adapun, tentang siapa yang memberikan mahar kepada istrinya karena suami

meninggal dunia, maka dalam hal ini sebagai pihak yang mewakili adalah ahli
97

waris dari suami itu sendiri yang membayar dari tirkahnya (harta peninggalan

suami).219 Besaran mahar yang diberikan sesuai yang disebutkan dalam akad

pernikahan dan apabila tidak disebutkan berarti menggunakan mahar mitsli.

Di samping itu mahar menjadi konsekuensi dari adanya akad nikah. Karena

menurut mazhab Syafi’i bahwa mahar merupakan pemberian wajib dari suami

kepada istrinya ketika terjadi akad nikah, sehingga meskipun suami meninggal

sebelum terjadi hubungan suami istri dan mahar belum ditunaikan, maka mahar

tetap wajib diberikan. Selain itu, hal ini dikuatkan oleh pendapat mazhab

Hanafiyah220 dan mazhab Hanabilah221 terkait dengan definisi mahar yaitu mahar

adalah sesuatu yang didapatkan seorang perempuan akibat akad pernikahan.

Dalam kewajiban membayar mahar tersebut sudah diterangkan dalam al-Qur’an

surat an-Nisa ayat 4 yang dijadikan dalil umum mazhab Syafi’i, bahwa Allah

SWT berfirman:

‫هوهءاتهوُلُا ال رن مهسآ آهء هصهدقهاً ررتمنَ ر نن ه ئل فهاًنِ رط ن هب لهنهك هعنَ ه ن‬


ً‫شءء رممننهه ن ههفئساً فه ه هكوُلُهه ههرنيئئاً ممرريئئا‬
‫إ‬

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian dengan penuh kerelaan. Jika mereka menyerahkan kepada kamu

sebagian maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian

itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4)

219 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Imam Ghazali Sa’id, (Jakarta: Pustaka Amani,
1428 H/2007 M), jilid. 2, hlm. 442

220 Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada’i..., jilid. 2, hlm. 278

221 Idris al-Bahuti, Kasyaful Qina’..., jilid. 4, hlm. 115


98

Namun, berbeda halnya jika istri merasa ridho untuk menggugurkan haknya

atas mahar yang telah ditentukan ataupun belum ditentukan kadarnya dan mahar

itu menjadi hutang yang menjadi tanggungan suaminya yang meninggal, maka

mahar itu gugur. Hal ini merupakan perkara ibra’ yaitu menggugurkan hak atas

seluruh mahar, baik sebelum berjimak maupun sesudahnya.222

Di samping itu, pendapat mazhab Syafi’i terkait dengan mahar mitsli

merupakan pendapat yang rajih karena kekuatan dalilnya. Dalam kitab al-umm,

Imam Syafi’i menjelaskan mengenai sahnya hadits yang diriwayatkan dari al-

Qamah dan Rasulullah SAW pernah memutuskan masalah yang terjadi pada

Barwa binti Wasyiq yang ditinggal mati oleh suaminya namun mahar belum

ditunaikan dan belum berjimak. Imam Syafi’i membedakan antara kematian dan

perceraian karena kematian membuat terhenti akad pernikahan, sedangkan

perceraian membuat pernikahan terputus sebelum mencapai kesempurnaannya.

Oleh karena itu, diwajibkan iddah akibat kematian sebelum terjadinya jimak, dan

tidak diwajibkan dengan perceraian. Mahar musamma dan mitsli disempurnakan

dengan kematian dan tidak disempurnakan dengan perceraian.223

Pendapat mazhab Syafi’i tersebut, dikuatkan juga oleh wahbah Zuhaili di

dalam kitabnya Fikih Islam wa Adillatuhu, beliau menyatakan bahwa pendapat

mazhab Syafi’i merupakan pendapat yang rajih karena kekuatan dalilnya. 224

222 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih..., jilid. 4, hlm. 237

223 Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Al-Umm..., jilid. 3, hlm. 76

224 Wahbah az-Zuhaili, Fikih Islam..., jilid. 9, hlm. 6801


99

2. Komparasi Pandangan Mazhab Syafi’i Dan Maliki

a) Letak Persamaan

Apabila maharnya adalah mahar musamma, maka dalam kondisi ini, mazhab

Maliki dan mazhab Syafi’i sepakat bahwa wanita itu berhak mendapatkan mahar

secara sempurna. Sedangkan, apabila maharnya adalah mahar mitsli, maka dalam

kondisi seperti ini, persamaan antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i yaitu

keduanya sama-sama menggunakan dalil dari al-Qur’an, dan as-Sunnah.

b) Letak Perbedaan

Apabila maharnya adalah mahar musamma, maka dalam kondisi ini tidak ada

perbedaan pendapat antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i. Sedangkan apabila

maharnya adalah mahar mitsli, maka dalam kondisi seperti ini, mazhab Maliki dan

mazhab Syafi’i berbeda pendapat.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa istri tidak berhak mendapatkan mahar

namun berhak mendapatkan warisan. Alasan mazhab Maliki berpendapat bahwa

istri tidak berhak mendapatkan mahar yang belum ditunaikan ketika suami

meninggal sebelum jimak dikarenakan istri tersebut belum dirugikan dan suami

belum menikmati apa-apa dari istrinya dan karena mahar menurut mazhab Maliki

adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan berjimak

dengannya.

Sedangkan Mazhab Syafi’i yang juga sejalan dengan pendapat jumhur ulama

berpendapat bahwa mahar harus tetap diberikan meskipun suami meninggal dunia
100

sebelum melakukan jimak, untuk itu istri berhak mendapatkan mahar mitsli dan

warisan suaminya. Karena sebagaimana yang telah disebutkan dalam analisis

pendapat di atas, bahwa mahar menurut Imam Syafi’i merupakan pemberian wajib

dari suami kepada istrinya ketika terjadi akad nikah, sehingga meskipun suami

meninggal sebelum terjadi hubungan suami istri dan belum ditunaikan mahar

tetap wajib diberikan.

BAB V

PENUTUP

D. Kesimpulan
101

Dari pemaparan yang telah penulis kaji tentang status mahar hutang ketika

suami meninggal sebelum jimak menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, kesimpulan

yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

Apabila mahar dalam akad adalah mahar musamma lalu suami meninggal

dunia sebelum berjimak dengan istrinya dan ia belum membayar mahar, maka

dalam kondisi seperti ini, mazhab Maliki dan Syafi’i sepakat bahwa wanita itu

berhak mendapatkan mahar secara sempurna. Dalil yang digunakan kedua mazhab

tersebut berbeda secara zhahir akan tetapi memiliki makna yang sama. Akan

tetapi, apabila mahar dalam akad adalah mahar mitsli lalu suami meninggal dunia

sebelum berjimak dengan istrinya dan ia belum membayar mahar, maka dalam

kondisi seperti ini, mazhab Maliki dan Syafi’i berbeda pendapat.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa istri tidak mempunyai hak untuk

memperoleh mahar yang belum ditunaikan akan tetapi dia mendapatkan warisan.

Dalam menjelaskan pendapatnya mazhab Maliki menggunakan dalil qiyas, yaitu

dengan mengqiyaskan permasalahan tersebut dengan jual beli, dan mazhab Maliki

juga menjadikan hadits yang diriwatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-

Muwatha sebagai dalil, yang menjelaskan bahwa istri yang ditinggal mati oleh

suaminya sebelum jimak dan belum membayar maharnya hanya berhak

mendapatkan warisan saja.

Sedangkan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa istri berhak memperoleh mahar

mitsli dan juga warisan. Dalil yang dipakai dalam menjelaskan pendapatnya

adalah hadits al-Qamah atau riwayat Ibnu Mas’ud yang menyatakan bahwa istri
102

berhak mendapatkan mahar sebagaimana mahar kerabat perempuannya dan dia

berhak mendapatkan warisan. Selain itu, mereka juga berdalil dengan al-Qur’an

surat an-Nisa’ ayat 4 yang menetapkan kewajiban membayar mahar khususnya

mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.

Melihat dari beberapa penjelasan pendapat dan istidlal tentang status mahar

mitsli di atas, penulis menyimpulkan bahwa istri berhak mendapatkan mahar

mitsli dan harta warisan suaminya. Ini merupakan pendapat mazhab Syafi’i,

pendapat ini adalah pendapat yang rajih karena kekuatan dalilnya.

Adapun persamaan dan perbedaan pendapat tentang status mahar hutang

ketika suami meninggal sebelum jimak antara mazhab Maliki dan Syafi’i yaitu:

Apabila maharnya adalah mahar musamma, maka dalam kondisi ini tidak ada

perbedaan pendapat antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i, namun yang ada

hanyalah persamaan pendapat dari kedua mazhab tersebut. Persamaan pendapat

tersebut yaitu mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i sepakat bahwa wanita itu berhak

mendapatkan mahar secara sempurna.

Sedangkan jika maharnya adalah mahar mitsli, maka persamaan pendapat

antara mazhab Maliki dan Syafi’i bahwa keduanya sama-sama menggunakan dalil

dari al-Qur’an, dan as-Sunnah.

Sedangkan perbedaan pendapat diantara Mazhab Maliki dan Syafi’i dalam

permasalahan tersebut bahwa mazhab Maliki berpendapat istri tidak berhak

mendapatkan mahar namun berhak mendapatkan warisan. Sedangkan Mazhab

Syafi’i yang juga termasuk dalam pendapat jumhur berpendapat bahwa mahar
103

harus tetap diberikan meskipun suami meninggal dunia sebelum melakukan

jimak, untuk itu istri berhak mendapatkan mahar mitsli dan warisan suaminya.

E. Saran

Setelah melewati beberapa pembahasan, maka penulis menyarankan kepada

peneliti selanjutnya yang ingin melengkapi dan memperbaiki pembahasan seputar

masalah ini untuk memperkaya referensi agar penelitian yang akan dikaji lebih

sempurna, dengan mengkaji lebih lanjut tentang kitab-kitab klasik yang

berhubungan dengan status mahar hutang ketika suami meninggal sebelum jimak

dalam perspektif ulama yang lain. Tidak hanya kitab-kitab klasik yang harus

dijadikan rujukan, tetapi kitab-kitab modern juga diperhatikan demi tercapainya

hasil yang maksimal dalam pembahasan tersebut.

F. Penutup

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, hamdan wa syukran lillah ‘ala ni‘amihi,

dengan segala pertolongan dan kemudahan dari Allah Ta’ala akhirnya penulisan

skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, meskipun masih banyak kekurangan.

Sungguh jikalau tidak karena pertolongan-Nya, maka penulis tidak akan mampu

melewati berbagai macam kesulitan yang datang menghadang.

“Tak ada gading yang tak retak”, demikian manusia tidak ada yang sempurna.

Maka dari itu penulis sangat memerlukan saran dan kritik yang membangun dari

segenap pembaca, demi memperbaiki skripsi ini.


104

Jazakumullah khoir, penulis ucapkan kepada segenap pihak yang telah

memberikan motivasi, do’a dan jasa kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat

menjadi sumbangsih dalam khazanah keilmuan dan dapat bermanfaat bagi kaum

muslimin. Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita menuju jalan yang

diridhoi-Nya. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Haidir, Madzhab Fiqih Kedudukan dan Cara Menyikapinya, ttp: t.p,

t.t.
105

Abidin, Ibnu, Raddu al-Mukhtar ‘ala ad-Daril Mukhtar Syarhu Tanwir al-

Abshar, Riyadh: Dâr Alimul Kutub, 1423 H/2003 M, jilid. 4.

Adawi, al-, Musthafa, Jami’ Ahkami an-nisa’, Cet. 1, Riyadh: Dâr Ibnul

Qayyim, 1429 H/ 2008 M, jld. 3.

‘Aini, al-, Ahmad, al-Binayah fi Syarhi al-Hidayah, cet. ke-2, Beirut: Dâr al-

Fikr, 1990 M, jilid. 4.

A’zhami, al-, Muhammad Dhiya ar-Rahman, al-Minah al-Kubra Syarhu wa

Takhrij as-Sunan ash-Shugra, Riyadh: Maktabah ar-Rusd, t.t., jilid. 6.

Ashbahi, al-, Malik bin Anas, al-Mudawwanah al-Kubra, Kairo: Dâr al-

Hadits, 2005 M, jilid. 2.

Ashfahani, Al-, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah, Hilyatul Auliya Wa

Thabaqath al-Ashfiya, cet. Ke-1, Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyah, 2014 M, jilid. 6.

‘Asqalani, -al, Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, t.t.p.: Muassasah ar-Risalah,

t.t., jilid. 3.

Asqalani, al-, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-

Bukhari, “Kitab Nikah”, Kairo: Dâr al-Hadits, 2003, jilid. 9.

Asyarbaji, Mustafa Al-Khin dan Mustafa Al-Bugha ‘Ali, al-Fiqh al-Manhaji

‘ala Madzhab Imam asy-Syafi’i, ttp.: Dâr al-Qalam, t.t.

Asyqar, al-, Umar Sulaiman, Ahkam az-Zawaj fi Dhou’i al-Kitab wa as-

Sunnah, cet. ke-1, t.t.p: Dâr an-Nafais, 1997.


106

‘Az-Zazi, al-, Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf, Tamamul Minnah, ttp: Dâr

al-‘Aqidah, t.t.

Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed, Fiqih

Munakahat, cet. ke-1, Jakarta: Amzah, 2009 M.

Bahuqi, al-, Idris, Kasyaful Qina’ ‘an Matan al-Iqna’, cet. ke-1, Beirut:

‘Alahul Kitab, 1997, jilid. 4.

______________, Syarhu Muntaha al-Iradat, cet. ke-1, t.t.p.: Muassasatu ar-

Risalah, 2000 M, jilid. 5.

Baihaqi, al-, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali, as-Sunan al-Kubra, cet.

ke-3, “Kitab ash-Shadaq”, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H/2002 M, jilid.

7.

Baijuri, al-, Ibrahim, Hasyiah al-baijuri, cet.ke-2, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

Ilmiyah, 1420 H/1999 M, jilid 2.

Baji, al-, Abi Walid Sulaiman bin Khalaf, al-Muntaqa Syarhu Muwatha Malik,

cet. Ke-1, Beirut: Dar kutub al-Ilmiyah, 1420 H/1999 M, jilid. 5.

Bassam, Alu, Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih, Taisirul ‘Alam Syarhu

‘Umdatul Ahkam, Saudi: Darul Mughni, 2007 M

Basya, Ahmad Taimur, al-Madzahib al-Fiqhiyah al-Arba’ah, cet. ke-1, Kairo:

Dâr: al-Afaq al-Arabiyah, 2001 M.


107

Bukhari, al-, Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah, al-Jami’ ash-Shahih al-

Mukhtashar, “Kitab Nikah”, Beirut: Dâr Ibnu Katsir, 1987

____________________________________________, al-Jami’ ash-Shahih,

“Kitab Nikah”, cet. Ke-1, kairo: Maktabah as-Salafiyah, 1400 H, jilid. 3.

Choeruddin, “Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Alauddin al-kasani

Tentang Konsep Kafa’ah”, Skripsi S 1, Semarang: IAIN Walisongo, 2008 M.

Dardir, ad-, Ahmad, asy-Syarhu ash-Shaghir, Kairo: Dâr al-Ma’arif, t.t., jilid.

2.

Dasuqi, ad-, Muhammad, Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarhu al-Kabir, t.t.p.: Dâr

al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t., jilid. 2.

Daud, Abu, Sunan Abi Daud, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, Beirut: Dâr Ibnu

Hazm, 1418 H/1997 M, jilid. 2.

Dzahabi, Adz-, Muhammad bin Ahmad bin Utsman, Siyar A’lami An-Nubala’,

Kairo: Dâr al-Hadits, 1427 H/2006 M, jilid. 7.

Farid, Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf, cet. ke-3, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2008 M.

Fauzan, Shalih bin, al-Mulakhash Fiqhi, ttp.: t.p., t.t.

Garyani, al-, Shadiq ‘Abdurrahman, Mudawwanah al-Fiqhi al-Maliki wa

Adillatuhu, cet. ke-1, Beirut: Muassasah ar-Rayan, 2002, jilid. 2.


108

Ghanimi, al-, Abdul Ghani, al-Lubab fi Syarhi al-Kitab, Beirut: al-Maktabah

al-Ilmiyah, t.t., jilid. 3.

Hamzah, Muhammad Masnur, Qomusika Kamus Klasik Kontemporer, cet. ke-

2, Kaira: t.t.p., 2013 M.

Hanafi, al-, Muhammad bin Ali, ad-Dâr al-Mukhtar, cet. ke-1, Beirut: Dâr al-

Kitab al-Ilmiyah, 1423 H/2002 M.

Hanafi, al-, Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Bada’i ash-Shana’i fi Tartib

asy-Syara’i, cet. ke-2, Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 1986, jilid. 2.

Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad bin Hanbal, cet. Ke-1, Beirut: Dar al-

Kutub al-Ilmiyah, 1429 H/2008 M, jilid. 10.

Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, Jakarta: Subdit Kelembagaan Direktorat

Pendidikan Tinggi Islam, 2012.

Huzaimah, Perbandingan Madzhab, Yogjakarta: Logos Wacana, 1997.

Indunisy, al-, Abdus Salam, Biografi Ahlu Hadits, vol. 1, 2011

Islamiyah, al-, Wazaratu al-Awqaf wa asy-Syu’unu, Mausuatu al-Fiqhiyah al-

quwaitiyah, cet. Ke-1, (Kuwait: Wazaratu al-Awqaf wa asy-Syu’unu al-Islamiyah,

2006 M), jilid. 44

Jammal, al-, Abu ‘Ubaidah Usamah bin Muhammad, Shahih Fiqih Wanita,

Cet. ke-1, Surakarta: Insan Kamil, 2010 M


109

Jauziyah, al-, Ibnu Qayyim, Zadul Ma’ad, cet. ke-2, Jakarta: Pustaka Azzam,

2000 M, jilid. 4.

Jaza’iri, Al-, Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, Beirut-lebanon: Dâr al-Fikri,

t.t.

Jaziri, al-, Abdurrahman, al-Fiqhu ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah, t.t.p.: Dâr at-

Takwa, t.t., jilid. 4.

Kamil, Abu Umar Abdullah, Tabel Thaharah Empat Madzhab, Solo: Media

Zikr, 2010.

Katsir, Abul Fida’ Isma’il bin, Al-Bidayah wan-Nihayah, t.t.p.: Dâr al-Aqidah,

t.t., jilid.10.

Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Kairo: Maktabah at-Taufiqiyah, t.t.,

jilid. 1.

Khaldun, Ibnu, Mukaddimah, terj. Masturi irham dkk, cet. ke-1, Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 2011 M.

Khasyat, al-, Muhammad, Fiqhu an-Nisa fi Mazhab al-Arba’ah, cet. ke-1,

Damaskus: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1994.

Maliki, al-, Abdul Wahab al-Baghdadi, at-Talqin, cet. ke-1, Beirut: Dâr al-

Kutub al-Ilmiyah, 1425 H/2004 M, jilid. 1.

Malik, Imam, al-Muwatha, cet. ke-1, Beirut: Dâr al-Fikr, 1432 H/2011 M.

Mandhur, Ibnu, Lisanul Arab, Kairo: Dâr al-Ma’arif, t.t., jilid. 46.
110

Maqdisi, al-, Ibnu Qudamah, al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, cet. ke-

1, Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2008, jilid. 5.

________________________, al-Kafi, cet. ke-1, t.t.p: Dâr al-Hijr, 1418

H/1997 M, jilid. 4.

Mubarakfuri, al-, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, tuhfah al-

Ahwadzi Syarhu Jami’ at-Tirmidzi, t.p.: Dâr al-Fikr, t.t., jilid. 4.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih ‘ala Madzahib al-Khamsah Fiqih Lima

Mazhab, terj. Afif Muhammad, cet. ke-1, Jakarta: Basrie Prees, 1994 M.

Munawir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet. ke-14,

Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Muslim, Imam, al-Jami’ ash-Shahih, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, Beirut: Dâr al-

Jail, t.t., jilid. 4.

Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang

Sejarah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.

Nasa’i, an-, as-Sunan al-Kubra Li an-Nasa’i, “Kitab Nikah”, cet. ke-1,

Beirut: Muassah ar-Risalah, 1421 H/200i M, jilid. 5.

Namiri, an-, Abdul Bar, al-Kafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah al-Maliki, cet. ke-2,

Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1992.

Nawawi, an-, Abu Dzakariya Muhyi ad-Din bin Syarif, Tahdzib al-Asma’ wa

al-Lughat, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.t, jilid. 2.


111

_____________________________________________, Tashhih at-Tanbih,

cet. ke-1, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1417 H/1996 M, jilid. 2.

_____________________________________________, Raudhah at-

Thalibin, Saudi Arabia: Dâr ‘Alimul Kutub, 1423 H/2003 M, jilid. 5.

Nidzam, Al-‘alamah al-Humam Maulana asy-Syaikh, Fatawa Hindi, cet. ke-1,

Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyah, 1421 H/2000 M, jilid. 1.

Qathan, al-, Mana’, Tarikh Tasyri’ al-Islam at-Tasyri’ wa al-Fiqh, cet. ke-2,

Riyadh: Maktabah al-Ma’arif , 1996 H.

Qudamah, Ibnu, al-Mughni, Riyadh: Dâr ‘Alimul Kutub, t.t., jilid. 10.

Qurafi, al-, Syihabuddin Ahmad bin Idris, ad-Dakhirah, cet. ke-1, Beirut: Dâr

al-Gharib al-Islami, t.t., jilid. 4.

Quthni, Ad-Daru, Sunan ad-Daru Quthni, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, Beirut:

Muassasah ar-Risalah, 1424 H/2004 M, jilid. 4.

Qurthubi, al-, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd,

Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, t.t.p: Dâr al-Ma’rifah, 1982 M.

Qurthubi, al-, Abi Umar bin ‘Abdil Baar an-Namiri, al-Kafi fi Fiqh Ahlul

madinah al-Maliki, cet. ke-2, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1992 M.

Qurthubi, al-, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, al-Jami’ li

Ahkami al-Qur’an, cet. ke-3, Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2010, jilid. 1
112

Qurthubi, al-, Abi Walid bin Rasyid, al-Bayan wa at-Tahsil, cet. ke-2, Beirut:

Dâr al-Gharib al-Islami, t.t., jilid. 4.

Ramli, ar-, Abi ‘Abbas Ahmad bin Hamzah, Nihayatul Muhtaj, Beirut: Dâr al-

Fikri, 1430 H

Rajraji, ar-, Abi al-Hasan ‘Ali bin Sa’id, Manahij at-Tahshil wa Nataij Lathaif

at-Ta’wil fi Syarh al-Mudawwanah wa Halli Musyakilatiha, cet. ke-1, Beirut: Dâr

Ibnu Hazm, 1428 H/2007 M, jilid. 3.

Sayis, as-, Muhammad Ali, Sejarah Fikih Islam, cet. ke-1, Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, 2003.

Salim, Abu Malik Kamal bin Sayyid, Shahih Fiqih Sunnah, Kairo-mesir:

Maktabah at-Taufiqiyah, 2003 M

__________________________________, Fiqih Sunnah Lin Nisa’, Kairo:

Dâr at-Taufiqi, t.t.

Salim, Abu Malik Kamal bin Sayyid, Shahih Fiqih Sunnah, terj. Abu Ihsan al-

Atsari dan Amir Hamzah, Jakarta: Pustaka at-Tazkiya, 2006, jilid. 4.

_______________________________, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, cet. Ke-

4, Jakarta: Al-I’tisham Cahaya Umat, 2010 M.

Samarqindi, as-, ‘Alauddin, Tuhfatul Fuqaha, cet. ke-1, Beirut: Dâr Kutub al-

Ilmiyah, 1405 H/ 1984 M, jilid. 2.


113

Syafi’i, asy-, Abi Abdillah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Cet. ke-1, Beirut:

Dâr al-Fikri, 2009, jilid. 3.

Syafi’i, asy-, Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitimi, Hawasyi Tuhfah al-

Muhtaj bi Syarhi al-Muhtaj, t.p.: t.t.p, t.t, jilid. 7.

__________, Imam, Ringkasan Kitab Al Umm, Terj. Muhammad Yasir Abd

Muthalib, Jakarta:Pustaka Azzam cet.10, 2013, jilid. 1-2.

__________, Taqyuddin Muhammad Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini ad-

Dimasyqi, Kifayatuh al-Akhyar Fi Halli ‘Inayah al-Ikhtishar, cet. ke-2, Kairo:

Syirkah al-Quds, 1433 H/2012 M, jilid. 2

Syarbini, asy-, Muhammad al-Khothib, Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dâr al-

Fikri, 2009 M

Syaukani, asy-, Imam, Nailul Authar, Kairo: Dâr al-Hadits, 1426 H/2005 M,

jilid. 6.

Sarkhasi, as-, Syamsuddin, al-Mabsuth, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t., jilid. 5.

Syirazi, asy-, Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Majmu’ Syarhu al-

Muhadzab, Cet. ke-1, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2011 M

_______________________________________________________________

__, Jeddah: Maktabah al-Irsyad,t.t., jilid. 18.

Taimiyah, Ibnu, Majmu’atul Fatawa, ttp: Maktabah at-Taufiqiyah, t.t., jilid.

32.
114

Thabari, Ath-, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ul Bayan ‘An Ta’wil

Ayyi al-Qur’an , Kairo: Darus Salam, 1430 M/2009, cet: 4, jilid. 3.

Thahan, Muhammad, Taisir al-Mushthalah al-Hadits, cet. ke-7, t.p.: Markaz

al-Hadi li ad-Dirasat, t.t.

Tirmidzi, At-, Sunan at-Tirmidzi, “Kitab Nikah”, Beirut: Dâr al-Gharbi al-

Islami, 1998 M, jilid. 3.

Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di

Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 M

Unais dkk, Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasith, ttp: t.p, t.t.

Ulama’, al-, Nahkbah Min, al-Fiqhi al-Muyassar fi dhoui al-Kitab wa as-

Sunnah, Madinah: Majma’ al-Malik Fahdi Li Thaba’atil Mushaf asy-Syarif, 1424

H.

Yamani, al-, Salim al-Imrani asy-Syafi’i, al-Bayan fi Mazhabi al-Imam asy-

Syafi’i, cet. ke-1, Lebanon: Dâr al-Minhaj, 2000, jilid. 9.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, t.t.

Zahid, Abdul Wahhab, Kitab Hayatul Aimmah Al-Arba’ah, 24-Jumadil-‘Ula

1424 H/25-Juli-2003 M.

Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Arba’ah, t.t.p.: Dâr al-Fikr,

t.t., jilid. 2.
115

Zaidan, Abdul Karim, al-Mufashol fi Ahkam al-Mar’ah wa Baitil Muslim,

Beirut: Muassatur Risalah, 2000 M

Zuhaili, az-, Wahbah, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Dâr al-Fikri,

2007 M

_________________, Mausu’ah Fiqhul Islam Wa Qhadhaya Mu’ashirah,

Damaskus: Dâr al-Fikr, 2010 M, jilid. 1.

_________________, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-

Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2010, jilid. 1.

Zuhaily, Muhammad, Al-muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, cet. ke-1,

Damaskus: Dâr al-Qalam, 1996, jilid. 4.

http://ustaznaim.blogspot.co.id/2011/07/syeikh-mustafa-al-adawi-lulusan-

teknik.html, diakses tanggal 22 Februari 2016.

https://rumaysho.com/2992-ilmuwan-yang-menjadi-ulama-1.html, diakses

tanggal 22 Februari 2016.

https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Hajar_al-Haitami diakses pada tanggal 30

Maret 2016.

http://pii-mesir.blogspot.co.id/2012/04/ibrahim-al-bajuri-ulama-produktf.html,

diakses pada tanggal 30 Maret 2016.

https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Al-Hasan_Al-Mawardi, diakses pada

tanggal 30 Maret 2016.

Anda mungkin juga menyukai