PENDAHULUAN
Pernikahan menjadi sebuah kebutuhan dasar manusia2 dan sebagai suatu akad
yang sangat kuat (M îtsâqan Ghalîzha) untuk mentaati perintah Allah, bahkan
Di samping itu, pernikahan juga merupakan ikatan lahir batin antara seorang
pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal4 berdasarkan tuntunan Rabbnya dan sesuai dengan Sunnah
Nabi-Nya.5
Di balik akad nikah terdapat sebuah rahasia ilahi, yaitu terjalin makna cinta
dan kasih sayang antara suami istri.6 Makna ini disinggung oleh firman Allah
1 Mustafa Al-Khin dan Mustafa Al-Bugha ‘Ali Asyarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Mazhab
Imam asy-Syafi’i, (ttp.: Dâr Al-Qalam, t.t.), jilid. 2, hlm.7
2 Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, (Beirut-lebanon: Dâr al-Fikri, t.t.), hlm. 333
3 Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf al-‘Az-Zazi, Tamamul Minnah, (ttp: Dâr al-‘Aqidah, t.t.),
jilid. 3, hlm. 27
5 Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Lin Nisa’, (Kairo: Dâr at-Taufiqi, t.t.),
hlm. 437
6 Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Bassam, Taisirul ‘Alam Syarhu ‘Umdatul
Ahkam, (Saudi: Darul Mughni, 2007), hlm. 800-801
1
2
merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan
kebesaran Allah Ta’ala bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-rûm: 21)
diperhatikan, salah satunya adalah mahar, karena salah satu hubungan hukum
yang timbul dari sebab pernikahan adalah kewajiban calon suami untuk memberi
mahar.
Mahar merupakan suatu pemberian yang wajib ditunaikan oleh calon suami
kepada calon istri serta disebut dalam shighat akad nikah sebagai tanda
persetujuan dan kerelaan untuk hidup bersama sebagai suami istri. Mahar
berfungsi sebagai lambang atau simbol atau tanda bukti bahwa suami menaruh
cinta kasih terhadap wanita calon istri yang akan dinikahinya. 7 Pemberian mahar
kewajiban. Akan tetapi, jika mereka berikan kepada kamu sebagian dari padanya
dengan senang hati, maka makanlah dengan senang hati.” (QS. An-Nisa: 4)
7 Abi ‘Abbas Ahmad bin Hamzah ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, (Beirut: Dâr al-Fikri, 1430
H), jilid. 6, hlm. 386
3
Para ulama sepakat tidak ada batasan maksimal mahar yang diberikan seorang
laki-laki untuk calon istrinya.8 Adapun dalam batasan minimal mahar para ulama
berbeda pendapat mengenai hal tersebut,9 akan tetapi menurut pendapat yang
rajih, tidak ada batasan minimal untuk mahar. Mahar di nilai sah dengan segala
sesuatu yang bisa disebut harta, atau sesuatu yang dapat dinilai dengan harta
Dalam pernikahan, mahar terbagi menjadi dua jenis dilihat dari pertimbangan
nilainya. Dari kedua jenis mahar tersebut yaitu, mahar musamma dan mahar
mitsli.11 Dan jika dilihat dari pertimbangan waktu pembayarannya, mahar terbagi
menjadi mahar yang dibayar secara tunai dan yang dibayar secara tunda.
Sementara jika dilihat dari pertimbangan kadar yang berhak diterima wanita dari
8 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Kairo-mesir: Maktabah at-
Taufiqiyah, 2003), jilid. 3, hlm. 162. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol fi Ahkam al-Mar’ah wa
Baitil Muslim, cet. ke-3, (Beirut: Muassatur Risalah, 2000), jilid. 7, hlm. 63
9 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikri, 2007), jilid. 9,
hlm. 6764
11 Mahar musamma adalah mahar yang disebutkan jumlahnya dengan kesepakatan kedua
pihak yang akan melakukan akad, sedangkan mahar mitsli adalah jumlah yang dibayarkan sebagai
mahar dalam pernikahan wanita-wanita seperti dirinya dari kalangan kerabatnya dari pihak
ayahnya, seperti saudara-saudara perempuannya dan bibi-bibinya, bukan dari pihak ibunya. Sebab
pihak ibu mungkin berasal dari keluarga yang memiliki kebiasaan-kebiasan yang berbeda dengan
keluarga dari pihak ayahnya. Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah…, jilid.
3, hlm. 167
12 Sejumlah harta yang diberikan suami kepada istri yang dicerainya. Jumlahnya bisa
berbeda-beda tergantung keadaan suami. (Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih
Sunnah…, jilid. 3, hlm. 167)
4
mahar. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Wahbah az-Zuhaili 13 dalam
mahar kepadanya sedikit pun. Dan wajib bagi laki-laki tersebut memberikan
sesuai dengan yang telah ia sebutkan tersebut. Akan tetapi, jangan sampai mahar
13 Wahbah az-Zuhaili lahir di Da’ir ‘Atiyah, Damaskus, pada tanggal 6 maret 1932. Pada
tahun 1956, beliau berhasil menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas al-Azhar Fakultas
Syari’ah. Beliau memperoleh gelar magister pada tahun 1959 pada bidang Syari’ah Islam dari
Universitas al-Azhar Kairo dan memperoleh gelar doctor pada tahun 1959 pada bidang Syari’ah
Islam dari Universitas al-Azhar Kairo. Tahun 1963, beliau mengajar di Universitas Damaskus.
Disana beliau mendalami ilmu fiqih serta ushul fiqih dan mengajarkannya di Fakultas Syari’ah.
Beliau juga kerap mengisi seminar dan acara televisi di Damaskus, Emirat Arab, Kuwait, dan Arab
Saudi. Ayah beliau adalah seorang hafidz al-Qur’an dan mencintai as-Sunnah. (Wahbah az-Zuhaili,
Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2010), jilid.
9)
15 Abu ‘Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jammal, Shahih Fiqih Wanita, cet. ke-1,
(Surakarta: Insan Kamil, 2010), hlm. 265
5
“Syarat yang paling wajib yang harus kalian tunaikan adalah memberikan
sekarang ini mengakhirkan pemberian mahar hingga cerai atau meninggal. Dan
sisi negatif paling besar dari persyaratan seperti ini adalah suami akan terus
mempertahankan istrinya sekalipun tidak suka lagi kepadanya, karena dia merasa
akan dituntut untuk memberinya mahar yang ditunda.17 Hal tersebut terjadi
mahar.
yaitu status mahar yang belum dibayar namun suami meninggal sebelum berjimak
dengan istrinya. Hal ini menjadi permasalahan di kalangan wanita yang ditinggal
mati suaminya.
fuqaha sepakat bahwa mahar dalam akad yang benar harus diberikan secara penuh
apabila suami telah berjimak dengan istrinya, baik itu mahar musamma ataupun
17 Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Lin..., hlm. 487
18 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2010), jilid. 9, hlm. 263
6
Akan tetapi beberapa mazhab fikih berbeda pendapat atas status mahar yang
Perbedaan pendapat ini terjadi di antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i
ditinjau dari jenis mahar itu sendiri. Apakah dari berbedanya jenis mahar tersebut
akan berbeda juga status mahar hutangnya ketika suami meninggal sebelum
jimak?
dalam terkait hukum mahar hutang, ketentuan, syarat dan status mahar hutang
pendapat mazhab Maliki dan Syafi’i dan melakukan analisis dengan mendalam
untuk menemukan pendapat yang lebih relevan yang menjadi kemashlahatan umat
B. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini berfokus pada pokok permasalahan, maka penulis hanya
sebelum jimak’ menurut pendapat mazhab Maliki dan Syafi’i, rumusan masalah
mazhab Maliki dan Syafi’i tentang status mahar hutang ketika suami meninggal
sebelum jimak?
19 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah,...., jilid. 3, hlm. 169
7
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain
adalah untuk mengetahui pendapat dan istidlal mazhab Maliki dan Syafi’i tentang
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
pada umumnya.
berikutnya.
2. Secara Praktis
dakwah.
8
jimak.
sumbangan akademis.
E. Kajian Pustaka
Dalam mengkaji tentang status mahar hutang ketika suami meninggal sebelum
jimak, usaha penelusuran yang dilakukan terhadap beberapa literatur antara lain
karya tulis, buku-buku maupun hasil penelitian yang sudah ada. Di antara buku-
Tema ini juga pernah ditulis oleh A. Khoirul Anam dalam skripsinya di IAIN
Walisongo Semarang Tahun 2011 yang berjudul “ Studi Analisis Pendapat Imam
Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal
Dunia “. Didalamnya hanya dibahas analisis pendapat Imam Syafi’i tentang mahar
hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia serta metode
istinbatnya.
Sekilas dari pemaparan buku dan skripsi di atas, maka dapat diyakinkan
bahwa skripsi yang ditulis penulis ini bukanlah suatu pengulangan dari karya tulis
ilmiah yang telah ada. Dalam tulisan ini penulis berusaha mengkomparasikan
pendapat mazhab Maliki dan Syafi’i tentang status mahar hutang ketika suami
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
status mahar hutang ketika suami meninggal serta hal-hal yang mempunyai
3. Sumber Data
Data dalam penelitian ini secara garis besar dapat digolongkan menjadi:
a) Data Primer
Sumber data primer ialah sumber yang diperoleh melalui pengamatan dan
analisa terhadap literatur-literatur pokok yang dipilih untuk dikaji kembali antara
Kutub al-Ilmiyah, 2011, jilid. 20, hlm. 66), karya Abu Ishaq
Hadits, 2005, jilid. 2, hlm. 359), karya Malik bin Anas al-
b) Data Sekunder
Sumber data sekunder ialah sumber data yang diperoleh dari sumber-sumber
antaranya adalah:
G. Sistematika Pembahasan
Bab pertama, berisi tentang pendahuluan, bab ini sebagai sebuah pengantar
yang menggambarkan secara singkat dari seluruh isi pembahasan dalam penelitian
ini. Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan pembahasan, manfaat
Bab kedua, membahas tentang biografi mazhab Malilki dan Syafi’i serta
mahar, dasar hukum mahar, kadar mahar, macam-macam mahar, bentuk dan
pendapat dan istidlal Mazhab Syafi’i dan Maliki tentang status mahar hutang
14
ketika suami meninggal sebelum jimak serta menentukan pendapat yang rajih
mengenai status mahar hutang yang terjadi sebelum jimak ketika suami meninggal
dunia.
Bab kelima, penutup, penulis menarik suatu kesimpulan berupa jawaban atas
BAB II
ISTINBATHNYA
Pengertian Mazhab
Secara Bahasa
15
Mazhab merupakan mashdar mimi20 dan isim makan21 yang di ambil dari fi’il
madhi “dzahaba” yang berarti pergi. Bisa juga berarti at-Thariqah yang artinya
jalan.22
Mazhab adalah jalan yang ditempuh atau yang dilewati. Mazhab juga diartikan
dengan sesuatu yang dituju manusia baik bersifat materi atau non materi.23
Secara Istilah
antara lain:
Mazhab adalah jalan atau cara yang telah digariskan oleh seseorang atau
permasalahan.25
20 Kata sifat
22 Ibrahim Unais dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (ttp: t.p, t.t), hlm. 340, Ahmad Warson Munawir,
al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 453
23Abdullah Haidir, Mazhab Fiqih Kedudukan dan Cara Menyikapinya, (ttp: t.p, t.t), hlm. 12
24 Ibid, hlm. 13
25 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikri, 2007), jilid. 1,
hlm. 39
16
Mazhab menurut para ulama adalah kumpulan pandangan dan teori ilmiyah
serta filsafat yang satu sama lain saling berkaitan sehingga menjadi satu kesatuan
yang erat.26
ijtihad seorang mujtahid tentang hukum dalam Islam yang digali dari ayat
tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan as-
Sunnah.28
Kata mazhab merupakan istilah arab yang terserap oleh bahasa Indonesia.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, ia diartikan sebagai haluan atau aliran
mengenai hukum fikih yang menjadi panutan umat Islam dan juga pemikir yang
sefaham di dalam teori, ajaran atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian
Mazhab Maliki
Mazhab Maliki adalah salah satu mazhab fiqih ahlu hadits. Mazhab ini
didirikan oleh Imam Malik bin Anas. Mazhab fiqih ini merupakan mazhab kedua
setelah mazhab Hanafi dan muncul pada abad ke-2 H,30 Beliau cenderung kepada
ucapan dan praktek Rasulullah SAW dan para Sahabatnya serta ulama madinah. 31
Kemudian mazhab tersebut menyebar di Hijaz, Mesir, Afrika Utara, Hijaz, Teluk
dan Sudan.32
Mazhab Imam Malik banyak diikuti oleh masyarakat Maghrib dan Andalusia.
Meski di sana terdapat mazhab lain, namun hanya sedikit dari mereka mengikuti
mazhab lain. Hal ini disebabkan bahwa perjalanan mereka lebih dilakukan ke
Hijaz, yang merupakan ujung perjalanan mereka. Madinah ketika itu menjadi
pusat ilmu pengetahuan. Dari Madinah ini biasanya mereka keluar menuju Irak.
Namun Irak bukanlah jalur perjalanan kafilah dagang mereka sehingga mereka
Di samping itu, sebagian masyarakat Maghrib dan Andalusia hidup jauh dari
Hijaz karena kesamaan kebaduiannya, oleh karena itu mazhab Maliki lebih
30 Ahmad Taimur Basya, al-Madzahib al-Fiqhiyah al-Arba’ah, cet. ke-1, (Kairo: Dâr: al-
Afaq al-Arabiyah, 2001 M), hlm. 64
mereka kenal dan tidak mengalami seleksi peradaban sebagaimana yang terjadi
Imam Malik dijuluki dengan Syaikhul Islam, Hujjatul Ummah, Imam Darul
Hijrah34. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik
bin Abi Amir bin Amr bin Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin al-Harits
al-Ashbahi al-Humairi. Menurut pendapat yang paling benar, ia lahir pada tahun
93 Hijriyah yang bertepatan dengan tahun wafatnya sahabat Anas ra, pelayan
berkecukupan.35 Ia lahir dari keluarga Arab yang berada sejak zaman Jahiliyah
Abu Mush’ab berkata: “Imam Malik tidak pernah membaca sebuah hadits
33 Ibnu Khaldun, Mukaddimah, terj. Masturi irham dkk, cet. ke-1, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2011 M), hlm. 829
35 Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyar A’lami An-Nubala’, (Kairo: Dâr
al-Hadits, 1427 H/2006 M), jilid. 7, hlm. 150
36Abdul Wahhab Zahid, Kitab Hayatul Aimmah Al-Arba’ah, (24-Jumadil-‘Ula 1424 H/25-
Juli-2003 M), hlm. 65
19
“Tidak ada yang tersisa di muka bumi ini seorang yang amanah terhadap hadits
Pendidikan Beliau
Imam Malik mulai menuntut ilmu ketika umurnya menginjak sepuluh tahun,
darinya di saat ia masih muda belia. Orang-orang dari berbagai penjuru sudah
mulai menuntut ilmu kepadanya, dan kondisi tersebut terjadi akhir kekuasaan Abu
Ja’far al-Manshur. Dan orang-orang mulai ramai menuntut ilmu kepadanya ketika
Imam Malik belajar kepada para Ulama Madinah, adapun yang menjadi guru
pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’
Pada waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini
tidak menghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada al-Qamah bin al-Qamah,
disamping itu dia juga menuntu ilmu nahwu, syair dan juga menghafal al-Quran,
beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama’ yang dikenal sangat cerdas
37 Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al-Ashfahani, Hilyatul Auliya Wa Thabaqath al-
Ashfiya, cet. Ke-1, (Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyah, 2014 M), jilid. 6, hlm. 347
38 Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyar A’lami An-Nubala’..., jilid. 7,
hlm. 154
diantara para ulama’ yang menjadi gurunya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat
Imam Malik diakui oleh ulama di Madinah sebagai ahli hadist dan ahli fikih,
beliau menghafal hadits sebanyak seratus ribu hadist. Ada yang mengatakan
“Mâlik adalah guruku, darinya aku mendapatkan ilmu, dan ia adalah hujjah antara
aku dengan Allah Ta’ala kelak, dan tak seorangpun yang lebih kupercayai dari
pada beliau dan jika berbicara tentang para ulama, maka Mâlik adalah seperti
Imam Malik menuntut ilmu kepada Ulama Madinah dan ia pun bermulazamah
dengan Abdurrahman bin Hurmuz dalam kisaran waktu yang cukup lama, selain
itu, ia juga belajar dari Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab az-Zuhri.43
An-Nawawi berkata, “Al-Imam Abu Al-Qasim Abdul Malik bin Zaid bin
40 Ibid.
41 Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam, cet. ke-1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2003), hlm. 146
43 Ibid.
21
ratus orang guru, yaitu tiga ratus orang dari generasi Tabi’in dan enam ratus orang
Guru-guru Imam Malik adalah orang-orang yang dia pilih sendiri, dan
yang bisa dipercaya.45 Diantara murid-murid46 beliau yang terkenal yaitu dari
44 Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, cet. ke-3, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008 M),
hlm. 273
45 Abu Dzakariya Muhyi ad-Din bin Syarif an-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), jilid. 2, hlm. 78-79
46 Dari mesir ada tujuh yaitu: Abu Abdillah, Abdur Rahmân bin al-Qâshim wafat di
Mesir tahun 191 H, beliau berguru kepada Imâm Malik selama dua puluh tahun dan kepada laits
bin sa’ad seorang Ahli fikih asal mesir yang wafat pada tahun 175 H, beliau adalah seorang
mujtahid muthlak.
Abu Muhammad, Abdullah bin Wahab bin Muslim yang lahir pada tahun 125 dan wafat
pada tahun 197 H, mulazamah kepada Imâm Malik selam dua puluh tahun.
Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaishy dilahirkan pada tahun Imâm Syafi’I dilahirkan yaitu
150 H dan wafat pada tahun 204 setelah Imâm Syafi’i wafat 18 hari.
Abu Muhammad Abdullah bin Abdul hikam yang wafat pada tahun 214, beliau adalah
seorang yang faham terhadap madzhâb syafi’I dalam masalah ikhtilaf dan menjadi penerus
madzhâb maliki setelah Asyhab.
Adbagh bin al-Farj, al-umawi yang wafat pada tahun 225 belajar bersama Ibnu Qâshim,
Ibnu Wahab dan Asyhab. Mereka adalah para pakar yang faham mâdzhab maliki.
Muhammad bin Abdullah bin Abdul hikam yang wafat pada tahun 268 yang mana
beliau menimba ilmu fikih dari ayahnya sendiri.
Muhammad bin Ibrahim al-Iskandary bin Ziyad, yang dikenal dengan al-Muwaz ynag wafat
pada tahun 269 H mengambil ilmu fikih kepada ulama masanya sampai beliau dijuluki seorang
yang faham dalam fikih dan fatwa. Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah Fiqhul Islam Wa Qhadhaya
Mu’ashiroh, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2010 M), jilid. 1, hlm. 45
Karya Beliau
Imam Malik adalah seorang Imam Hadits dan Fiqh dan memiliki kitab Al-
hadits yang terelaminasi, sehingga hanya tersisa seperti yang ada sekarang.49
Wafatnya
Isma’il bin Uwais berkata: “Imam Malik merasakan sakit lalu meninggal, dan
aku bertanya pada keluarganya tentang apa yang terakhir dikatakannya ketika
48 Ibid, hlm. 44
Imam Malik meninggal di waktu Shubuh pada tanggal 14 Rabiul Awwal tahun
179 Hijriyah. Amirul Mu’minin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim juga ikut
menyolatinya.”50
diantaranya:
Al-Qur’an
al-Qur’an sebagai landasan hukum yang paling sempurna.51 Beliau terlebih dulu
mengedepankan al-Qur’an dari as-Sunnah dan yang lainnya. Beliau juga tidak
pernah mengambil nash kecuali nash yang jelas dan tidak mengambil takwil.52
As-Sunnah
Qur’an. Beliau selalu mengambil hadits yang mutawatir dan sangat hati-hati
mursal selama perawi haditsnya tsiqoh.53 Imam Malik berkata, “Saya hanyalah
manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku.
51 Mana’ al-Qathan, Tarikh Tasyri’ al-Islam at-Tasyri’ wa al-Fiqh, cet. ke-2, (Riyadh:
Maktabah al-Ma’arif , 1996 H), hlm. 352
52 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Arba’ah, (t.t.p.: Dâr al-Fikr, t.t.), jilid. 2,
hlm. 214
Bila sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ambilah dan bila tidak sesuai dengan
keduanya, tinggalkanlah.54
yang lainnya. Karenanya Imam Malik menjadikan Amal Ahlu Madinah sebagai
hujjah yang lebih diutamakan dari pada qiyas dan khabar ahad.55
Apabila tidak ditemukan hadits shahih dalam suatu permasalahan, maka Imam
Malik menjadikan Qaul Shahabi sebagai hujjah, karena para sahabat adalah orang
yang paling mengetahui takwil dan paling tahu dalam masalah mâqhasid suatu
54 Abu Umar Abdullah Kamil, Tabel Thaharah Empat Mazhab, (Solo: Media Zikr, 2010),
hlm. 20
shahih, diriwayatkan dari sahabat terkemuka dan tidak menyalahi hadits marfu’
Maslahah Mursalah
Qiyas
Imam Malik ketika tidak menemukan dalil dari al-Qur’an ataupun as-Sunnah,
qaul shahabah, ijma’ dari amalu ahlul madinah, maka Imam Malik berijtihad
muwatha’ suatu ketika Imam Malik ditanya tentang wanita haidh yang hendak
seorang yang junub ketika tidak adanya air, maka boleh bertayamum. Imam Malik
Saddu Dzara’i
Adz-Dzara’i bentuk jamak dari dzari’ah, menurut al-Qurafi dalam kitab al-
yang dipebolehkan kepada amalan yang terlarang, maknanya yaitu segala sesuatu
yang secara dzahir diperbolehkan akan tetapi menjurus kepada sesuatu yang
sesuatu kepada kerusakan, walaupun hukum aslinya mubah akan tetapi menuju
dzari’ah dalam berfatwa, barang siapa yang melihat hilal sendirian maka tidak
Mazhab Syafi’i
Imam Malik dan bertemu dengan para sahabat Imam Abu Hanifah dan banyak
Hijaz (ahli hadits) dengan metode masyarakat Irak (ahli ra’yi), lalu ia mendirikan
mazhab sendiri yang berbeda dengan mazhab Imam Malik dalam berbagai
60 Ibid.
61 Ibid., hlm.356
27
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin
Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-
Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah.
Beliau dilahirkan di Gaza, Palestina, tepatnya di negeri Syam pada tahun 150
Hijriyah, bertepatan dengan tahun wafatnya Abu Hanifah.64 Ayahnya wafat ketika
nasabnya tidak hilang atau tidak terputus dengan keluarga ayahnya, dan akhirnya
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Imam Syafi’i bagaikan matahari bagi alam
raya, dan penyegar bagi tubuh, apakah ada manusia yang tidak membutuhkannya?
Dia juga seorang penyair yang bijak, ahli bahasa, dan ahli nasab.”
Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al Umm, Terj. Muhammad Yasir Abd Muthalib,
(Jakarta:Pustaka Azzam cet.10, 2013 ) , jilid. 1-2, hlm. 3
65 Abul Fida’ Isma’il bin Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah, (t.t.p.: Dâr al-Aqidah, t.t.),
jilid.10, hlm. 226
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 340
28
Pendidikan Beliau
Imam Syafi’i belajar di Mekkah dan berguru dengan seorang ulama’ bernama
Muslim bin kholid az-Zanji, sampai akhirnya ia diizinkan untuk berfatwa ketika
Syafi’i berguru kepada Malik bin Anas, darinya Imam Syafi’i mempelajari kitab
Madinah ia juga telah meriwayatkan hadits dari Sufyan bin ‘Uyainah, Fudhail bin
Berbagai disiplin ilmu agama telah diperoleh oleh Imam Syafi’i di Madinah,
menuntut ilmu namun ditempat yang berbeda. Untuk itu Imam Syafi’i berhijroh
Pada tahun 187 H Imam Ahmad bin Hanbal bertemu dengan Imam Syafi’i di
Dari Imam Syafi’i ia mempelajari ilmu fiqih dan ushul fiqh, serta ilmu nasikh dan
orang shahabat yang berasal dari Irak, yakni diantaranya; Ahmad bin Hanbal, Abu
67 Ibid
29
pada tahun 200 H, lahirlah mazhabul jadid (mazhab baru).68 Adapun yang
meriwayatkan mazhab baru Imam Syafi’I dalam al-Umm juga empat orang
muridnya namun dari kalangan penduduk Mesir. Mereka ialah al-Muzani, al-
dalamnya ilmu tentang ushul fiqih dan kitab Al-Umm yang merupakan kitab fiqih
mazhab baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, ia juga Imam di
bidang fiqih, hadits, dan ilmu ushul. Imam Syafi’i telah berhasil menggabungkan
ilmu fiqih ulama’ Hijaz dengan ulama’ Iraq. Imam Ahmad berkata, “Imam Syafi’i
adalah orang yang paling alim berkenaan dengan kitab Allah dan sunnah
Rasulullah SAW.” ia juga pernah berkata, “Siapapun yang memegang tinta dan
“Imam asy-Syafi’i berguru kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji, Imam Malik bin
Anas, Ibrahim bin Sa’ad, Said bin Salam Al-Qaddah, Ad-Darawardi, Abdul
Wahab Ats-Tsaqafi, Ibnu Ulyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Dhamrah, Hatim bin
Ismail, Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya, Ismail bin Ja’far, Muhammad bin
69 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2010), jilid. 1, hlm. 45
30
Khalid Al-Jundi, Umar bin Muhammad bin Ali bin Syafi’ Ash-Shan’ani, Athaf bin
Khalid Al-Makhzumi, Hisyam bin Yusuf Ash-Shan’ani dan masih banyak lagi.”
Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, Imam Ahmad bin Hambal, Abu Ya’qub Yusuf bin
Yahya Al-Buwaithi, Harmalah, Abu Ath-Thahir bin As-Sahr, Abu Ibrahim bin
Ismail bin Yahya bin Al-Muzni, Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, Ar-Rabi’ bin
Sulaiman Al-Jizi, Amr bin Sawad Al-Amiri, Al-Hasan bin Muhammad bin Ash-
Shabbah Az-Za’farani, Abul Walid Musa bin Abi Al-Jarud Al-Makki, Yunus bin
Abdil A’la, Abu Yahya Muhammad bin Sa’ad bin Ghalib Al-Aththar, dan lain-
lain.”70
Karya Beliau
Termasuk kitab yang terpenting yang ditulis oleh imam Syafi’i adalah kitab al-
Umm. Syaikh Abu Zahrah berkata: ulama telah bersepakat bahwa apa yang ada di
Imam Syafi’i itu benar, dan ini merupakan hujjah pertama di dalam mazhabnya,
kitab ini terdiri dari delapan juz yang berisi tentang masalah fiqh. Yang kedua
kitab Kasyfu ad-Dhunun mengatakan: orang pertama kali yang menyusun ilmu
70 Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Tahdzib At-Tahdzib, (t.t.p.: Muassasah ar-Risalah, t.t.), jilid. 3,
hlm. 497-498
71 Abul Fida’ Isma’il bin Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah...., jilid.10, hlm. 305, 306
31
Wafatnya
jum’at setelah maghrib. Pada waktu itu, aku sedang berada di sampingnya.
Jasadnya di makamkan pada hari jum’at setelah ashar, hari terakhir di bulan
Rajab. Ketika kami pulang dari mengiring jenazahnya, kami melihat hilal bulan
Al-Qur’an
memahaminya dari segi lafadz perintah dan larangan, lafadz umum dan khusus,
As-Sunnah
Rasulullah SAW dan mengikutinya. Apaupun jika aku mengatakan sesuatu sesuai
dengan Rasulullah SAW maka ikutilah, namun apabila pendapat yang aku katakan
ambilah pendapat Rasulullah SAW karena itu merupakan sandaran pendapat yang
aku katakan.”75
Ijma’
Imam Asy-Syafi’i menjadikan ijma' sebagai hujjah setelah al-Qur’an dan as-
Sunnah dan sebelum qiyas. Ijma’ menurutnya yaitu kesepakatan para ulama pada
suatu masa dalam satu perkara yang dijadikan hujjah. Beliau mengambil ijma’nya
Menurut beliau tidak dikatakan ijma’ kecuali dari para ulama kaum muslimin
disetiap daerah, beliau berpanutan kepada gurunya yaitu Imam Malik yang
(kitab yang baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam
al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau
salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih
senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika
kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang
lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang
mempunyai dilalah”.77
Qiyas
metode pengambilan hukum beliau, yang mana berbeda dengan Abu Hanifah yang
mendahulukan qiyas dari pada hadits ahad dan dilarang melakukan ijtihad
sebelum mengqiyaskannya.78
77 Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad Bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm...., jilid.3,
hlm. 24
BAB III
LANDASAN TEORI
Definisi Mahar
Secara Bahasa
Kata mahar berasal dari bahasa arab yaitu al-Mahr, jamaknya muhur dan
Mahar ini memiliki sepuluh nama, yaitu mahar, shidâq, shadaqah, nihlah, ajr,
Mahar adalah harta yang berhak didapatkan oleh seorang istri yang harus
al-‘Arba’ah” mengatakan bahwa mahar adalah nama harta yang wajib diberikan
79 Ibnu Mandhur, Lisanul Arab, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, t.t.), jilid. 46, hlm. 4286
80 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, t.t.), hlm. 431
81 Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet. ke-14, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1363
82 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, (Jakarta:
Gema Insani, 2010), jilid. 9, hlm. 231
kepada seorang perempuan pada saat akad nikah, sebagai imbalan untuk
bersenang-senang dengannya.85
Menurut Hanafiyah
Menurut Malikiyah
Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan
jimak dengannya.87
Menurut Syafi’iyah
Mahar adalah sesuatu yang diwajibkan sebab akad pernikahan atau jimak.88
84 Nama beliau adalah Abdurrahman bin Muhammad ‘Iwadh al-Jaziri, beliau seorang ahli
fiqih dan salah satu ulama al-Azhar. Beliau dilahirkan di Jazirah Syanduwail, Mesir pada tahun
1299 H/18882 M. Beliau menuntut ilmu di Universitas al-Azhar pada tahun 1313 H sampai tahun
1326 H. Beliau juga merupakan seorang ustadz di Universitas Ushul ad-Din, dan termasuk bagian
dari Hai’ah Kibar al-Ulama’. Beliau meninggal dunia di Hulwan pada tahun 1360 H/1941 M. Di
antara kitab karangannya yaitu, al-Fiqih ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Taudhih al-‘Aqaid, dan al-
Akhlak ad-Diniyah wa al-Hukum asy-Syar’iyah. Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala Madzahib
al-‘Arba’ah, (t.t.p.: Dâr at-Takwa, t.t.), jilid. 1
85 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah, (t.t.p.: Dâr at-Takwa, t.t.),
jilid. 4, hlm. 75
86 Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, cet.
ke-2, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 1986), jilid. 2, hlm. 278
Menurut Hanabilah
Masyru’iyyah Mahar
Hukum mahar adalah wajib bagi laki-laki dan bukan bagi perempuan, dengan
dalil-dalil berikut:
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-
Nisa’: 4)
89 Idris al-Bahuti, Kasyaful Qina’ ‘an Matan al-Iqna’, cet. ke-1, (Beirut: ‘Alahul Kitab,
1997), jilid. 4, hlm. 115, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-
Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2008), jilid. 5,
hlm. 553
37
kewajiban mahar bagi perempuan, dan ini telah menjadi ijma’ serta tidak ada
perselisihan didalamnya, kecuali pendapat sebagian Ahlu ‘Ilmi dari Irak, bahwa
jika ada tuan yang menikahkan budak perempuannya maka tidak ada kewajiban
“Jami’ Ahkami an-nisa’”, dari perkataan salah seorang ahlu ilmi bahwa makna
90 Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-
Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, beliau meninggal pada malam senin tanggal 9 bulan
syawal 671 H. Beliau memiliki keistimewaan akan sifatnya yang terpuji sampai banyak ulama
yang menyanjungnya. Al-Hafidz Abdul Karim berkata: “Beliau adalah seorang hamba Allah yang
sholih, seorang ulama yang mulia dan wara’, yang zuhud terhadap dunia dan seorang yang
disibukan akan perkara-perkara akhirat.” Di antara kitab karangannya yaitu, Tafsir al-Qurthubi.
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, cet.
ke-3, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2010), jilid. 1
91 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-
Qur’an, cet. ke-3, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2010), jilid. 3, hlm. 17
92 Syeikh Mustafa al-'Adawi adalah seorang da’i ahli sunnah dan ulama' yang cukup terkenal
dari Mesir. Dilahirkan pada tahun 1945 di sebuah kampung bernama Maniah Samnud di wilayah
al-Daqhaliah. Beliau pernah menempuhi pendidikan di fakultas teknik tepatnya jurusan teknik
mesin tahun 1977.. Dia tinggalkan kampung halaman tercinta menuju Yaman tepatnya untuk
belajar dengan Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i. Di antara karya beliau dalam bidang tafsir
Qur’an yang dinamakan At Tashiil wa Ta’wil. Dalam bidang fikih beliau memiliki kitab Al Jaami’
li Ahkaamin Nisa’. Dalam hadits beliau punya kitab Ash Shahih Al Musnad min Ahadits Al Fitan
wa Asyrotis Saa’ah. Dan dalam ilmu mustholah hadits, beliau memiliki kitab As-ilah wa Ajwibah
fii ‘Ilmi Mustholahil Hadits. http://ustaznaim.blogspot.co.id/2011/07/syeikh-mustafa-al-adawi-
lulusan-teknik.html, diakses tanggal 22 Februari 2016.
93 Nama lengkapnya adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-
Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H di
sebuah desa Majdal yang menjadi bagian dari kota Bashra di negeri Syam. Ibn Katsir tumbuh
besar di kota Damaskus. Di sana, beliau banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut,
salah satunya adalah Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari. Beliau juga menimba ilmu dari Isa
bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi. Kitab beliau dalam bidang
tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Selain Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, beliau juga menulis
kitab-kitab lain yang sangat berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di
antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu.
Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 657 H di Damaskus dan dikuburkan bersebelahan dengan
makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Kairo:
38
makna bahwa seorang laki-laki wajib atasnya untuk membayar mahar kepada
فههماً ناسسهتنمهتنع نهت ربره رم ننههنَ فهئهاًتهنوُلُهههنَ أأهجوُلُهرهههنَ فهررينهضئة هوهل هجنهاًهح عهلهنينهك رقنيهماً تههراهضني نهت ربره رمننَ ب هنعرد نال ههفررينهضرة
kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah
“Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu membayar kepada
Diriwayatkan dari Sufyan dari Abi Hazim dari Sahl bin Sa’id, bahwasannya
94 Musthafa al-Adawi, Jami’ Ahkami an-nisa’, Cet. 1 (Riyadh: Dâr Ibnul Qayyim, 1429 H/
2008 M), jld. 3, hlm. 315
39
“Nikahlah walaupun hanya sekedar cincin yang terbuat dari besi.” (HR. Al-
Bukhari)95
pernikahan harus ada mahar. Disunnahkan untuk menyebutkan mahar dalam akad
dan karena untuk menghindari adanya permusuhan, agar tidak menyerupai nikah
Abdurrahman bin ‘Auf menikahi seorang wanita pada masa Rasulullah SAW
Abu Daud)97
95 Muhammad bin Isma’il al-Al-Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih, “Kitab Nikah”, cet. Ke-1,
(kairo: Maktabah as-Salafiyah, 1400 H), jilid. 3, hlm. 375, hadits no. 5150, Ahmad bin ‘Ali bin
Hajar al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Al-Bukhari, “Kitab Nikah”, (Kairo: Dâr al-
Hadits, 2003), jilid. 9, hlm. 249
97 Imam Muslim, al-Jami’ ash-Shahih, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Jail, t.t.),
jilid. 4, hlm. 144, Abu Daud, Sunan Abi Daud, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, (Beirut: Dâr Ibnu Hazm,
1418 H/1997 M), jilid. 2, hlm. 403, hadits no. 2109
40
Mahar hukumnya wajib atas laki-laki dalam pernikahan, menurut ijma’ ulama
kaum Muslimin.98 Ibnu Abdil Bar99 menukil bahwa Ahlul Ilmi sepakat akan
kewajiban membayar mahar dan beliau mengatakan bahwa ulama kaum muslimin
Kedudukan Mahar
sah nikah menurut para ulama mazhab Maliki. Yaitu pernikahan harus dilakukan
dengan mahar dan pernikahan tidaklah sah tanpa mahar. Akan tetapi tidak
disyaratkan menyebutkannya ketika akad, hanya saja dianjurkan, karena hal itu
hari. Jika tidak disebutkan ketika akad maka harus disebutkan ketika hendak
98 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari dan
Amir Hamzah, (Jakarta: Pustaka at-Tazkiya, 2006), jilid. 4, hlm. 217
99 Nama lengkap beliau adalah Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Barr bin Ashim
an-Namiri al-Andalusi al-Qurthubi al-Maliki. Beliau dilahirkan pada tahun 368 H bulan Rabiul
Akhir dan ada juga yang mengatakan ia dilahirkan pada bulan Jumadil Ula. Beliau adalah seorang
ahli fikih dan ulama yang banyak meriwayatkan hadits. Dalam bidang fikih, ia condong ke mazhab
Syafi’i. Di antara guru-gurunya adalah Khalaf bin al-Qasim, Abdul Warits bin Sufyan, dan
sejumlah lainnya. Adapun murid-muridnya adalah Abu Muhammad bin Hazm, Abu Daud dan
yang lainnya. Di antaranya adalah kitab at-Tamhid lima fi al-Muwaththa min al-Ma’ani wa al-
Asanid. Dan beliau meninggal pada malam jum’at, akhir bulan Rabiul Akhir 463 H. Ahmad Farid,
60 Biografi Ulama Salaf, cet. ke-3, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008 M), hlm. 684-68
100 Umar Sulaiman al-Asyqar, Ahkam az-Zawaj fi Dhou’i al-Kitab wa as-Sunnah, cet. ke-1,
(t.t.p: Dâr an-Nafais, 1997), hlm. 255
41
berjimak, atau ditetapkan mahar mitsli setelah berjimak.101 Dan ini adalah
pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Hujjah pendapat ini sebagai berikut:
“Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu membayar kepada
Allah Ta’ala menjadikan pernikahan dengan tanpa mahar sebagai salah satu
Dan sebagaiman hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas,
أأنعرطههاً هشللينئئاً هقلنللهت: قهاًهل, انبرنَ رب, هي هرهسوُلُهل ا م رل:ض اهمل هعننهاً فههقلنهت
تههزمونجهت فهاًرطهمهة هر ر ه: هعننَ انبرنَ هعمباًءس أأمنِ عهرليياً قهاًهل
“Dari Ibnu Abbas, Ali berkata: Aku menikahi Fathimah, maka aku katakan,
kepadanya.” Aku mengatakan, “Aku tidak punya apa-apa.” Nabi bertanya, “Di
manakah baju perangmu yang hancur itu?” Aku menjawab, “Ada padaku.” Nabi
هلهجنهاًهح عهلهنينهك انِ هطل منق ههت ال رن مهسآ آهء هماًل هنم تههمشسوُلُههمنَ أأنو تهنفررهضوُلُا ل هههمنَ فهرريهضئة
إ
“Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu menceraikan
dan belum menyerahkannya kepada istri, dan ini adalah perkara yang telah
102 An-nasa’i, as-Sunan al-Kubra Li an-Nasa’i, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, (Beirut: Muassah
ar-Risalah, 1421 H/200i M), jilid. 5, hlm. 241, hadits no. 5541
43
Abu Malik Kamal bin as-Sayid Salim, 103 pengarang kitab Shahih Fiqih
Sunnah berkata, “Mungkin yang menjadi alasan mereka bahwa akad pernikahan
dinilai sah dengan tanpa menentukan mahar, sehingga sah pula dengan menafikan
mahar.”104
Dari perbedaan pendapat diatas, pendapat yang paling rajih adalah pendapat
pertama, yaitu pendapat mazhab maliki. Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
pendapat yang tidak sesuai dengan kenyataannya, karena mahar adalah rukun
dalam pernikahan. Jika mahar disyaratkan di dalam pernikahan, maka itu lebih
ditegaskan ketimbang syarat harga, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Syarat yang
paling berhak untuk kalian tepati, ialah syarat yang dengannya kalian dihalalkan
Harta benda dihalalkan dengan tukar menukar (jual beli dan sejenisnya), dan
kemaluan wanita tidak dihalalkan kecuali dengan mahar. Pernikahan hanyalah sah
103 Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim adalah di antara ulama yang dahulunya
seorang Insinyur. Beliau meninggalkan profesinya tersebut dan beralih menimba ilmu syar’i.
Beliau berasal dari Mesir dan sudah sangat ma’ruf dengan kitabnya yang terkenal yaitu kitab
Shahih Fiqh Sunnah yang diterbitkan oleh Al Maktabah At Taufiqiyah. Di antara guru beliau
adalah Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dan Syaikh Abu Malik di antara muridnya yang senior. Syaikh
Abu Malik juga pernah belajar dari ulama-ulama di Kuwait dan ulama Saudi Arabia. Beliau
banyak mempelajari ilmu hadits dan fikih. Dan saat ini sering menyalurkan ilmu fikih dan ushul
fikih. Di antara karya beliau yang terkenal adalah Shahih Fiqh Sunnah, Fiqh Sunnah lin Nisaa.
Kitab lain yang beliau susun ialah Kitab fii Ahkamil Jum’ah, Kitab fi Akhthoin Nisaa’, Kitab
Ta’zhim Qodrish Sholaah, dan Ta’liq ‘ala Syarh Al Baiquniyah. https://rumaysho.com/2992-
ilmuwan-yang-menjadi-ulama-1.html, diakses tanggal 22 Februari 2016.
104 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Kairo-mesir: Maktabah
at-Taufiqiyah, 2003), jilid. 3, hlm. 147-149
105 Muhammad bin Isma’il al-Al-Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih, “Kitab Nikah”, cet. Ke-1,
(kairo: Maktabah as-Salafiyah, 1400 H), jilid. 3, hlm. 375, hadits no. 5151
44
mutlak itu mengarah kepada mahar mitsli. Jadi, harus ada maharnya, baik
Maliki berkata, tidaklah rusak akad nikah tanpa mahar, karena mahar bukan
merupakan rukun dalam akad, juga bukan syarat dalam nikah. Akan tetapi mahar
merupakan salah satu hukum dari hukum-hukum akad. Kerusakan pada mahar
tidak akan berpengaruh pada akad. Karena, jika mahar merupakan syarat dalam
akad maka pastilah wajib menyebutkannya ketika akad. Padahal mahar tidak
wajib disebutkan ketika akad, akan tetapi wajib menyebutkan mahar mitsli107
Kadar Mahar
Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan yang paling tinggi untuk
ًهواننِ أأهرد ش هت انسرتنبهداهل هزنوجء ممهكهنِ هزنوجء هوهءاتهين نهت انحهداههمنَ رقنهطاًئرا فههلتهآأهخهذوا رمننهه هشينئئاً أأتهآأهخهذون ههه هبنتهاًئن هواثنئماً شمربينئا
إ إ إ
106 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah..., jilid. 3, hlm. 149
108 Umar Sulaiman al-Asyqar, Ahkam az-Zawaj..., hlm. 259, Muhammad al-Khasyat, Fiqhu
an-Nisa fi Mazhab al-Arba’ah, cet. ke-1, (Damaskus: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1994), hlm. 231, al-
Mawardi, al-Hawi al-Kabir, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), hlm. 396
45
“Dan jika kamu ingin menggauli istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu
telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya.” (QS. An-Nisa: 20)
kemudahan dan kesanggupan materi lalu ingin memberi calon istrinya mahar
dalam jumlah yang banyak, maka hal itu tidak menjadi masalah. Karena Allah
Akan tetapi, disunnahkan meringankan mahar dan tidak terlalu tinggi dalam
109 Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin
Abi al-Qasim bin Taimiyah al-Harani ad-Dimasyqi al-Hanbali. Beliau dilahirkan di kota Harran
pada hari senin tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 H. Begitu tiba di Damsyik beliau segera
menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-
ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut
tercengang. Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu
Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab. Di antara gurunya
yaitu ayahnya sendiri, Syihabbuddin Abdul Halim dan Zainuddin Abu al-Abbas Ahmad bin
Abuddaim. Adapun muridnya adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Kitab-kitab karyanya yaitu
Majmu’ Fatawa, Fatawa al-Kubra dan Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah. Beliau meninggal pada
malam senin tanggal 20 Dzulqa’dah tahun 728 H. Ibnu Taimiyah, Majmu’atul Fatawa, (ttp:
Maktabah at-Taufiqiyah, t.t.), jilid. 1, hlm. 6.
110 Ibnu Taimiyah, Majmu’atul Fatawa, (ttp: Maktabah at-Taufiqiyah, t.t.), jilid. 32, hlm.
128
46
Sedangkan mengenai standar yang paling rendah untuk mahar, maka para
fuqaha berbeda pendapat mengenai masalah ini, yang terbagi menjadi tiga
pendapat:
“Tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham.” (HR. Ad-Daru
Quthni)113
Ketentuan ini, juga diqiyaskan kepada ukuran pencurian, yaitu yang membuat
tangan si pencuri dipotong. Menurut mereka, yaitu pencurian dalam jumlah satu
111 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, cet. Ke-1, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1429 H/2008 M), jilid. 10, hlm. 307, hadits no. 25861
112 Abdul Ghani al-Ghanimi, al-Lubab fi Syarhi al-Kitab, (Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyah,
t.t.), jilid. 3, hlm. 14, Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol fi Ahkam al-Mar’ah wa Baitil Muslim, cet.
ke-3, (Beirut: Muassatur Risalah, 2000 M), jilid. 7, hlm. 59, Wahbah Az-Zuhaily, Mausu’ah Al
fiqh…, jilid. 8, hlm. 252
113 Ad-Daru Quthni, Sunan ad-Daru Quthni, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, (Beirut: Muassasah
ar-Risalah, 1424 H/2004 M)Jilid. 4, hlm. 361, hadits no. 3610
114 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikri, 2007 M), jilid.
9, hlm. 6764
47
seperempat dinar atau tiga dirham perak murni yang sama sekali tidak
mengandung campuran. Atau dengan barang-barang yang suci dan terbebas dari
najis yang sebanding dengan harganya, yang berupa barang, hewan, atau
bangunan yang dibeli dengan secara legal, dan bermanfaat menurut syari’at.
untuk menunjukan harga diri dan posisi perempuan. Jika seorang laki-laki
menikah dengan perempuan dengan mahar kurang dari standar ini, maka si suami
harus menyempurnakan maharnya jika dia telah berjimak dengan istrinya tersebut.
Jika suami tidak berjimak dengan istrinya, maka dikatakan kepadanya apakah
Mazhab Syafi’i116 dan Hanbali117 berpendapat, tidak ada batasan terendah bagi
mahar. Sahnya mahar tidak ditentukan dengan sesuatu. Oleh karena itu, sah jika
mahar adalah harta yang sedikit ataupun banyak. Batasannya adalah semua yang
sah untuk dijual atau yang memiliki nilai, dianggap sah untuk menjadi mahar. Dan
115 Abdul Bar an-Namiri, al-Kafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah al-Maliki, cet. ke-2, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), hlm. 249, Shadiq ‘Abdurrahman al-garyani, Mudawwanah al-Fiqhi...,
jilid. 2, hlm. 581, Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol fi Ahkam..., jilid. 7, hlm. 59, Wahbah Az-
Zuhaily, Mausu’ah Al fiqh..., jilid. 8, hlm. 252
116 Syamsyuddin Muhammad bin Khathib asy-Syarbini, Mughni Muhtaj…, jilid. 3, hlm.
292, Muhammad Zuhaily, Al-muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, cet. ke-1, (Damaskus: Dâr
al-Qalam, 1996), jilid. 4, hlm. 193, Salim al-Imrani asy-Syafi’i al-Yamani, al-Bayan fi Mazhabi
al-Imam asy-Syafi’i, cet. ke-1, (Lebanon: Dâr al-Minhaj, 2000), jilid. 9, hlm. 369
117 Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni ‘ala
Mukhtashar al-Khiraqi, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2008), jilid. 5, hlm. 554
48
yang tidak memiliki nilai, maka tidak bisa dijadikan mahar, selama tidak sampai
Dalil mazhab Syafi’i dan Hanbali adalah, firman Allah Ta’ala yang artinya:
Syari’at tidak memberikan batasan mahar, oleh karena itu dijalankan sesuai
dengan kemutlakannya.
“Menikahlah walaupun hanya dengan sekadar cincin yang terbuat dari besi.”
(HR. Al-Bukhari)118
Berdasarkan uraian di atas, para ulama berbeda pendapat dalam hal kadar
terendah dalam mahar. Adapun pendapat yang rajih dari ketiga pendapat di atas
adalah pendapat jumhur yaitu mazhab Syafi’i dan Hanbali yang berpendapat
Jenis-jenis Mahar
Mahar Musamma
118 Muhammad bin Isma’il al-Al-Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih, “Kitab Nikah”, cet. Ke-1,
(kairo: Maktabah as-Salafiyah, 1400 H), jilid. 3, hlm. 375, hadits no. 5150
Mahar musamma adalah mahar yang ditentukan di dalam akad atau setelah
akad dengan saling ridho. Dengan cara menyepakatinya secara jelas di dalam
akad, diberikan kepada istri setelah akad dengan saling merasa ridha, atau yang
Berjimak
memberi mahar. Suami telah mendapatkan haknya, yaitu berjimak, sehingga istri
pun berhak mendapatkan haknya, yaitu seluruh maharnya. Ini berdasarkan firman
Allah Ta’ala,
{20} ًهواننِ أأهرد ش هت انسرتنبهداهل هزنوجء ممهكهنِ هزنوجء هوهءاتهين نهت انحهداههمنَ رقنهطاًئرا فههلتهآأهخهذوا رمننهه هشينئئاً أأتهآأهخهذون ههه هبنتهاًئن هواثنئملاً شمربينئلا
إ إ إ
{21} ًهوهكني هف تهآأهخهذون ههه هوقهند أأفنهض ب هنعهضنهك اهل ب هنعءض هوأأهخنذهنِ رمنهك رمميثهاًقئاً غهرليئظا
إ
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-
isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 20-
21)
SAW bersabda,
ِ فهللاًمنِ الشسلللنهطاًهن,ٌ هول هههاً همنههرههاً ربهماً أأهصاًهب رم ننهاً فهاًرنِ ناشسللهتهجهرنوا- ٌ ثههلئث-أأي شهماً رانمهرأأءة نهركهحنت ربهغ ن ري انذرنِ همهوُلُارلنيهاً فهرنهك ه هحاً هبرطةل
إ إ إ
هو شرل همننَ هل هو مرل ه هل
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa mendapat izin dari walinya, maka
pernikahannya tidak sah – beliau mengulanginya tiga kali. Jika telah melakukan
hubungan badan itu, jika kedua belah pihak berselisih, maka penguasa adalah
wali bagi orang yang tidak punya wali” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)120
hubungan suami istri dalam pernikahan yang batil, tentu lebih utama lagi
kewajiban memenuhi seluruh mahar itu ditetapkan dalam pernikahan yang sah.
istri adalah tidak dikurangi sedikit pun kadar mahar itu dan memberikan mahar
Mahar adalah hak yang ditetapkan untuk wanita karena sebab jimak, walaupun
jimak yang diharamkan, seperti bersetubuh lewat dubur dan pada saat sedang
haidh atau nifas, sedang ihram, sedang berpuasa, atau sedang i’tikaf.121
Jika salah seorang pasangan suami istri meninggal dunia sebelum terjadinya
persetubuhan dalam pernikahan yang sah, maka istri berhak mendapatkan semua
Khalwat yang benar adalah pasangan suami istri tinggal berduaan setelah
melangsungkan akad yang sah di sebuah tempat yang membuat keduanya mampu
untuk bercumbu secara sempurna. Yaitu sebuah tempat yang tidak bisa dimasuki
oleh seorang pun ketika keduaanya tengah berdua-duaan. Salah satu dari
keduanya tidak memiliki halangan yang alami, indrawi, atau yang bersifat syari’at
Halangan yang bersifat alami adalah, adanya orang ketiga yang berakal, masih
kecil maupun sudah besar. Sedangkan halangan yang bersifat indrawi adalah
121 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Kairo-mesir: Maktabah
at-Taufiqiyah, 2003 M), jilid. 3, hlm. 168-169
122 Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, cet. Ke-4, (Jakarta: Al-
I’tisham Cahaya Umat, 2010 M), hlm. 672
52
adanya penyakit yang diderita oleh salah satu dari keduanya yang mencegah
daging di dalam vagina, adanya tulang yang menutupi vagina dan adanya
misalnya salah satu dari keduanya tengah melakukan puasa di bulan ramadhan
atau tengah melakukan ihram ibadah haji ataupun umrah wajib atau sunnah.123
Mahar Mitsli
Mahar mitsli adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa
menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar kerabat
Jika seorang wanita berkata kepada walinya, “Nikahkan aku tanpa mahar”
menikahkannya dengan mahar yang kurang dari mahar mitsli atau kedua belah
wanita bagian dari mahar atau menyebut mahar yang rusak seperti khamr.
Dalam berbagai contoh di atas, mahar mitsli wajib diberikan jika telah terjadi
jimak diantara suami istri atau meninggal dunia salah satu dari pasangan suami
istri, karena kematian seperti jimak dalam menetapkan mahar yang disebutkan dan
dalam kewajiban mahar mitsli dalam serah terima. Jika suami belum berjimak
dengan istrinya atau tidak ada yang meninggal salah satunya dari keduanya maka
bagi wanita berhak menuntut mahar sebelum berjimak, berhak menahan dirinya
Mahar mitsli wajib diberikan karena terjadinya jimak yang syubhat. Seperti,
seorang laki-laki mendapati seorang wanita lain yang tidur di tempat tidur istri
setelah itu ia menyadari ternyata bukan istrinya. Demikian juga dalam pernikahan
yang rusak (fasid), seperti seorang menikahi perempuan tanpa wali dan saksi
Yaitu, mahar yang disebutkan bukan merupakan harta secara asalnya, seperti
bangkai, biji gandum, tetesan air, dan barang yang sejenisnya yang pada asalnya
125 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat,
cet. ke-1, (Jakarta: Amzah, 2009 M), hlm. 188
tidak dapat dimanfaatkan, atau bisa dimanfaatkan dalam bentuk yang tidak
biasa.127 Atau mahar yang disebutkan adalah harta yang tidak bisa dihargakan,
atau yang mengandung tipuan bagi orang Islam, seperti minuman keras dan babi,
meskipun istri adalah Ahli Kitab. Dalam kondisi yang seperti ini, mahar mitsli
kerabat istrinya. Dalam ketentuan kerabat tersebut para ulama berbeda pendapat,
wanita-wanita seperti dirinya dari pihak bapaknya bukan dari pihak ibunya. Ini
bukan sebanding dengan ibunya dan bibinya dari pihak ibu. Namun jika ibunya
dari pihak ayahnya yaitu anak paman dari pihak ayahnya maka mahar boleh
disamakan dengannya.130
127 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam..., Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, jilid. 9, hlm. 249
130 Ahmad al-‘Aini, al-Binayah fi Syarhi al-Hidayah, cet. ke-2, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990
M), jilid. 4, hlm. 712, 714, Ibnu Abidin, Raddu al-Mukhtar ‘ala ad-Daril Mukhtar Syarhu Tanwir
55
Menurut Malikiyah bahwa yang menjadi patokan bagi mahar mitsli adalah
mahar saudara perempuan sekandung atau sebapak. Bukannya mahar ibu, atau
bibi dari pihak bapak, maksudnya saudara perempuan bapak yang seibu. Oleh
karenanya yang menjadi patokan mahar mitsli bukanlah keduanya, karena bisa
pihak bapak dan anak-anak perempuan pamannya dari pihak bapak. Jika dia tidak
memiliki kerabat perempuan yang ashabah, maka yang dijadikan standar adalah
perempuan yang memiliki hubungan paling dekat dengannya, yaitu ibunya dan
bibinya dari pihak ibu. Karena mereka adalah orang yang memiliki hubungan
yang paling dekat dengannya. Jika dia tidak memiliki kerabat, maka yang
hadits yang diriwayatkan oleh Hanbal disebutkan bahwa yang menjadi patokan
al-Abshar, (Riyadh: Dâr Alimul Kutub, 1423 H/2003 M), jilid. 4, hlm. 281
131 Muhammad ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarhu al-Kabir, (t.t.p.: Dâr al-Ihya al-
Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), jilid. 2, hlm. 316-317
132 Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, Majmu’ Syarhu al-Muhadzab, (Jeddah:
Maktabah al-Irsyad,t.t.), jilid. 18, hlm. 58
56
mahar mitsli adalah semua kerabat perempuan dari pihak bapak. Disebutkan juga
di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ishaq bahwa yang menjadi patokan
mahar mitsli adalah semua kerabat perempuan dari pihak ibu seperti, ibunya
Dalil pendapat pertama adalah berdasarkan hadits riwayat Ibnu Mas’ud yang
mahar untuknya oleh suaminya. Ibnu Mas’ud berkata, “Untuknya adalah mahar
yang seperti mahar para kerabat perempuannya, tidak kurang dan tidak lebih”,
yaitu kerabat perempuan dari pihak bapak. Karena nasab dikembalikan kepada
bapak.135
Pendapat kedua, menetapkan bahwa mahar mitsli dinilai dengan orang yang
perempuannya dari pihak bapak, ibunya, bibinya dari pihak ibu, dan perempuan
yang lain yang merupakan kerabat dekatnya. Ini merupakan pendapat salah satu
133 Beliau adalah seorang imam, ahli fiqih dan zuhud, Asy Syaikh Muwaffaquddin Abu
Muhammad Abdullah Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Almaqdisi.
Dilahirkan pada bulan Sya’ban 541 H di desa Jamma’il, salah satu daerah bawahan Nabulsi, dekat
Baitul Maqdis, Tanah Suci di Palestina. Ia berguru kepada para ulama Damaskus. Ia hafal
Mukhtasar Al Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal dan kitab-kitab lainnya. Pada
tahun 574 H ia menunaikan ibadah haji, seusai ia pulang ke Damaskus. Di sana ia mulai menyusun
kitabnya Al-Mughni Syarh Mukhtasar Al-Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal). Imam
Ibnu Qudamah wafat pada tahun 629 H. Beliau dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shalihiya,
di sebuah lereng di atas Jami’ Al-Hanabilah (masjid besar para pengikut madzab Imam Ahmad Bin
Hanbal). Abdus Salam al-Indunisy, Biografi Ahlu Hadits, vol. 1, 2011
134 Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyadh: Dâr ‘Alimul Kutub, t.t.), jilid. 10, hlm. 150
dari dua riwayat Ahmad dan merupakan pendapat para ulama fiqih mutaakhirun
dari hanabilah.136
Dalil pendapat kedua adalah hadits riwayat Ibnu Mas’ud mengenai perempuan
yang melakukan nikah tafwidh.137 Ibnu Mas’ud berkata, “Untuknya adalah mahar
memiliki pengaruh secara umum, jadi semua kerabat dari pihak bapak dan ibu.138
patokan ukuran mahar mitsli adalah pendapat pertama yang merupakan pendapat
jumhur fuqaha yang mengatakan bahwa ukuran mahar mitsli yang diberikan
dirinya dari pihak bapaknya bukan dari pihak ibunya. Karena nasab disandarkan
kepada bapaknya.139
Mahar yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada calon istri adalah suatu
kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan atau dihilangkan, bahkan tidak dapat
pula kurang dari syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat mahar tersebut
adalah:
136 Idris al-Bahuqi, Kasyaful Qina’..., jilid. 4, hlm. 140, Idris al-Bahuqi, Syarhu Muntaha al-
Iradat, cet. ke-1, (t.t.p.: Muassasatu ar-Risalah, 2000 M), jilid. 5, hlm. 277
137 Pernikahan yang shahih akan tetapi tanpa menyebutkan mahar ketika akad. (Wahbah az-
Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani,
2010), jilid. 9, hlm. 245)
Mahar harus merupakan suatu benda yang mempunyai harga, maka tidak sah
mahar dengan harga murah dan tidak mempunyai harga, seperti biji gandum.
Apabila seseorang menikah dengan mahar yang harganya murah, walaupun hanya
segenggam makanan dari gandum, maka maharnya sah, akan tetapi disunnahkan
untuk tidak mengurangi mahar hingga kurang dari sepuluh dirham. 140 Mahar boleh
berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan,
Suatu benda yang akan dijadikan mahar harus benar-benar terhindar dari unsur
haram, maka tidak sah mahar dengan minuman keras, babi, darah, dan bangkai
karena yang demikian itu tidak ada harganya menurut pendapat syari’at Islam.
Mahar harus terhindar dari tipuan atau kesamaran, oleh karena itu, mahar
harus berupa sesuatu yang diketahui dengan jelas. Mahar tidak sah jika berupa
sesuatu yang tidak diketahui, seperti mahar rumah yang tidak ditentukan atau
141 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih ‘ala Madzahib al-Khamsah Fiqih Lima Mazhab,
terj. Afif Muhammad, cet. ke-1, (Jakarta: Basrie Prees, 1994 M), hlm. 365
Mahar harus benda yang dimiliki oleh seseorang dan mampu diserahkan
kepada perempuan tersebut, dengan demikian mahar tidak boleh seperti burung
Dalam syarat-syarat mahar, para fuqaha empat mazhab juga meletakan aturan
untuk menentukan batasan barang atau harta yang dapat dijadikan mahar.
Diantaranya adalah:
1. Menurut Hanafiyah
Setiap harta yang memiliki harga yang diketahui oleh orang lain dan yang
dapat diserahkan kepada perempuan.144 Apabila sesuatu yang dijadikan mahar itu
berupa harta maka sah mahar tersebut. Oleh karena itu sah jika mahar berupa
emas atau perak, baik berupa uang maupun perhiasan, dan yang sejenisnya, baik
Mahar sah juga sebagai uang atau dokumen keuangan, baik yang berupa
takaran atau timbangan, baik berupa hewan maupun bangunan, atau barang jualan,
seperti pakaian dan yang lainnya.145 Sah juga jika mahar berbentuk manfaat
143 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih
Munakahat..., hlm. 184
144 Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada’i ash-Shana’i..., jilid. 2, hlm. 281
145 Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islam wal Qadhaya Al-Mu’ashirah..., jld. 8,
hlm. 255
60
pribadi atau barang yang bisa dibarter dengan uang, seperti rumah, hewan,
2. Menurut Malikiyah
Sesuatu yang dapat dihargakan secara syari’at, baik berupa barang, hewan,
atau bangunan, yang suci dan tidak bernajis karena yang bernajis tidak bisa
dihargakan secara syari’at, yang bisa dimanfaatkan dan yang bisa diserahkan
Menurut kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa semua yang bisa dijadikan
barang jualan bisa dijadikan mahar dan semua yang bisa dijadikan harga atau
sewaan, bisa dijadikan mahar, meskipun jumlahnya sedikit. Yaitu semua barang
yang dapat dihargakan, baik dalam bentuk tunai maupun utang, tunai maupun
dengan tempo, yang berupa pekerjaan serta manfaat yang dapat diketahui. Seperti
melayaninya dalam waktu yang diketahui, mengajarkan al-Qur’an atau suatu syair
yang dibolehkan, atau mengajarkan menulis atau suatu keterampilan tertentu, serta
Hikmah Mahar
146 ‘Alauddin as-Samarqindi, Tuhfatul Fuqaha, cet. ke-1, (Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyah,
1405 H/ 1984 M), jilid. 2, hlm. 135
147 Ahmad ad-Dardir, asy-Syarhu ash-Shaghir, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, t.t.), jilid. 2, hlm. 428
148 Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, Majmu’ Syarhu al-Muhadzab, cet. ke- 8,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2011), jilid. 20, hlm. 12, Idris al-Bahuqi, Kasyaful Qina’..., jilid.
4, hlm. 115-116
61
nafkah kehidupan, dan yang selainnya karena laki-laki lebih mampu untuk
sebagai tanda hormat suami kepada pihak wanita dan sebagai tanda
149 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih ‘ala Madzahib al-Khamsah..., hlm. 177
151 Shalih bin Fauzan, al-Mulakhash Fiqhi, (ttp.:t.p., t.t.,), hlm. 581
62
nikah, tentu suami tidak akan peduli dengan hilangnya akad nikah tersebut dengan
keributan kecil yang terjadi diantara keduanya. Karena dia tidak akan susah dan
tidak perlu takut akan wajibnya mahar. Hal ini berarti suami akan mudah
menceraikan istrinya dan mencari istri lagi tanpa perlu takut adanya kewajiban
mahar. Jika hal itu terjadi maka tidak akan tercapailah tujuan menikah, karena
mashlahat dan tujuan menikah tidak akan didapat kecuali dengan kesepakatan.
Dan kesepakatan tidak akan didapat kecuali jika sang wanita mulia di sisi
suaminya. Kemuliaan itu akan didapat jika jalan suami untuk mencapai seorang
istri tertutup dan baru terbuka setelah adanya harta berharga dari suami yaitu
154 Al-Kasani merupakan salah satu ulama fiqih angkatan baru yang memperkuat dan
mempertahankan mazhab Imam Hanafi. Nama asli beliau adalah Abi Bakar mas’ud bin Ahmad bin
Alauddin al-Kasani. Alauddin al Kasani merupakan salah satu ulama mazhab Hanafi yang tinggal
di Damaskus pada masa kekuasaan Sultan Nuruddin Mahmud. Beliau wafat tanggal 10 rajab 587
Hijriyah dan dimakamkan disisi makam istrinya di komplek pemakaman nabi Ibrahim di kota al
Khalik di luar Halab. Karya terbesar Alauddin al Kasani yaitu kitab fiqh yang berjudul Bada’i ash
Shona’i fi Tartibis asy-Syar’i. Di antara guru-gurunya yaitu Alauddin Mahmud bin Ahmad al
Samarqondi, Sadr al-Islam Abi al-Yasar al-uli, Majidul Aimah Imam al-Ridlo al-Syarkasi dan
Murid-murid Alauddin al Kasani di antaranya Mahmud yaitu putra Alauddin al Kasani. Ahmad bin
Mahmud al-Ghoznawi, yaitu pengarang kitab al-Muqodimah al-Ghoznawiyah al-Fiqh al-Hanafi.
Choeruddin, “Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Alauddin al-kasani Tentang Konsep
Kafa’ah”, Skripsi S 1 (Semarang: IAIN Walisongo, 2008 M), hlm. 46-47
63
mahar. Karena, semakin sulit untuk mendapatkannya, semakin mulialah ia, dan
semakin remeh hal itu dimata lelaki, semakin pula si wanita. Jika begini, tidak
akan terjadilah kesepakatan, dan tidak akan tercapai pula maksud (tujuan)
nikah.”155
diberikan dimuka dan diakhirkan hingga setelah menikah. Dan boleh juga
dimuka dan diakhirkan hingga setelah menikah. Dan boleh juga diberikan
sebagiannya dimuka dan sebagian lain diberikan setelah menikah. Karena mahar
merupakan imbalan yang diberikan suami atas manfaat yang didapatkan dari istri,
hubungan badan. Dalam hal ini, wanita berhak menolak melakukan hubungan
155 Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada’i ash-Shana’i..., jilid. 2, hlm. 279
156 Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Lin Nisa’, (Kairo: Dâr at-
Taufiqi, t.t.), hlm. 486
64
yang disepakati oleh pasangan suami istri untuk diakhirkan pemberiannya hingga
berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan tidak dosa atasmu mengawini mereka
Fathimah r.a sebagai mahar pernikahannya. Rasulullah SAW menyuruh Ali agar
sama dengan hutang yang harus dilunasi oleh suami kepada istrinya. Hutang dan
“Kedatangan si fulan” dan semisalnya, maka penundaan seperti ini tidak sah
batasannya.158
157 Ibid,
158 Muhammad bin Ali al-Hanafi, ad-Dâr al-Mukhtar, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kitab al-
Ilmiyah, 1423 H/2002 M), hlm. 193, Ahmad bin muhammad ad-Dardir, Syarhu shaghir..., jilid. 2,
hlm. 433, Syamsyuddin Muhammad bin Khathib asy-Syarbini, Mughni Muhtaj..., jilid. 3, hlm.
65
Jika mahar ditunda sebagiannya dan tidak menyebutkan batasannya serta tidak
menentukan waktu dan batasan pembayarannya, maka mengenai hal ini tejadi
Pertama, menurut Hanafiyah dan Hanabilah, maharnya sah dan wanita berhak
Islam.159
mahar mitsli.160
menunda hingga kematian atau perceraian, maka akadnya rusak dan akadnya
wajib dibatalkan. Kecuali jika sang suami telah bercampur dengan istrinya, ketika
294, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni ‘ala Mukhtashar
al-Khiraqi, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2008), jilid. 5, hlm. 565
159 Muhammad bin Ali al-Hanafi, ad-Dâr al-Mukhtar…, hlm. 193, Abdullah bin Ahmad bin
Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni ‘ala Mukhtashar..., jilid. 5, hlm. 565
160 Syamsyuddin Muhammad bin Khathib asy-Syarbini, Mughni Muhtaj…, jilid. 3, hlm. 29
161 Muhammad ad-Dusuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarhu al-Kabir, (t.t.p.: Dâr al-Ihya al-
Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), jilid. 2, hlm. 297
66
1. Batas waktu pemberian mahar harus jelas dan tidak boleh bersifat
ketika bercerai.
hingga cerai atau meninggal yang berkembang di kalangan kaum muslimin pada
masa sekarang ini tidak boleh terjadi lagi. Sisi negatif paling besar dari
persyaratan pemberian mahar hingga batas waktu yang tidak diketahui atau terlalu
jauh adalah suami akan terus mempertahankan istrinya sekalipun tidak suka lagi
kepadanya, karena dia merasa akan dituntut untuk memberinya mahar yang
ditunda. Sehingga, timbullah berbagai masalah besar, baik yang dilakukan oleh
mahar maupun yang dilakukan oleh istri dalam upaya mendesak suami untuk
Para fuqaha sepakat bahwa mahar dalam akad yang benar harus diberikan
secara penuh jika suami telah melakukan hubungan badan dengan istrinya baik itu
162 Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Lin..., hlm. 486-487
163 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2010), jilid. 9, hlm. 263
67
Tentang wajib melunasi mahar karena telah melakukan jimak, Allah Ta’ala
berfirman,
ًهواننِ أأهرد ش هت انسرتنبهداهل هزنوجء ممهكهنِ هزنوجء هوهءاتهين نهت انحهداههمنَ رقنهطاًئرا فههلتهآأهخهذوا رمننهه هشينئئا
إ إ
“Dan jika kamu ingin menggantikan istrimu dengan istri yang lain, sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak,
maka janganlah kamu mengambil kembali darinya sedikit pun.” (QS. An-Nisa’:
20)
Namun dalam status mahar hutang ketika suami meninggal dunia sebelum
jimak, para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai hal ini, karena ditinjau dari
status mahar hutang itu sendiri, apakah dalam kondisi mahar musamma atau
mitsli. Terkait dengan pembahasan di atas, penulis akan membahas pada bab
selanjutnya.
Definisi Jimak
Secara Bahasa
164 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Imam Ghazali Sa’id, (Jakarta: Pustaka Amani,
1428 H/2007 M), jilid. 2, hlm. 442
68
dari kata kerja هورطهئyang artinya memijak sesuatu.165 Dan bisa juga dikatakan هورطهئ
Secara Istilah
istri antara kedua belah pihak, yang sudah diikat oleh suatu ikatan yang resmi
yaitu pernikahan.
Masyru’iyyah Jimak
{ فههمللرنَ ابنهتهغللىَ هوهرأ آهء هذ ر هللل6} { المعههل أأنزهوا ر رجنم أأنوهماًهملههكنت أأينهماً ههننم فهاً همننم غه ن هي هم لهلوُلُرمهي5} ِهوا م رليهنَ ه نه رلهفهرو ر رجنم هحاًرفهظوُلُهن
إ إ
{7} ِفهآأنوهلرئهك ه هه النهعاًهدوهن
mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
165 Ibrahim Unais dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (ttp: t.p, t.t), hlm. 1083
166 Muhammad Masnur Hamzah, Qomusika Kamus Klasik Kontemporer, cet. ke-2, (Kaira:
t.t.p., 2013 M), hlm. 1474
tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-
هكن هنت ه هل هصهدقهئة,ًاهذا أأننهفهق النس ر هل نفقئة عههل أأنه ر رل هو هههوُلُ نهي ه رتسسهبها
إ
Allah Ta’ala dari nafkahnya tersebut, maka baginya pahala shadaqah.” (HR. Al-
Bukhari)168
jika ia mengharapkan ridha Allah Ta’ala dari nafkahnya terhadap istrinya. Apabila
Macam-macam Jimak
yaitu:
Jimak Masyru’
Jimak masyru’ atau wath’u masyru’ adalah jimak yang dihalalkan, yang
dilakukan suami kepada istrinya atau hamba sahayanya. Dan diharamkan bagi
168 Muhammad bin Isma’il al-Al-Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih, cet. Ke-1, (kairo: Maktabah
as-Salafiyah, 1400 H), jilid. 3, hlm. 424
suami istri dalam beberapa keadaan diantaranya, ketika istri sedang haidh atau
Jimak Mahzhur
Jimak mahzhur atau wath’u mahzhur adalah jimak yang diharamkan. jimak
Pertama, berjimak dengan seorang wanita asing yang bukan mahram yang
Kedua, berjimak yang bukan pada tempatnya, seperti berjimak dengan istri
atau wanita asing bukan mahram yang dilakukan lewat duburnya atau berjimak
dengan hewan.170
Tuntunan Nabi SAW tentang jimak atau bersetubuh merupakan tuntunan yang
dasarnya ketetapan tentang jimak ini mempunyai tiga tujuan yang mendasar,
yaitu:
badan.
yang diharamkan, serta bermanfaat untuk dunia dan akhirat. Manfaat yang sama
BAB IV
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, terkait status
mahar hutang, bahwa Para fuqaha sepakat, mahar dalam akad yang benar harus
diberikan secara penuh jika suami telah berjimak dengan istrinya, baik itu mahar
musamma ataupun mahar mitsli dan baik mahar itu dibayar tunai atau tunda.
Namun mengenai status mahar hutang ketika suami meninggal sebelum jimak,
para ulama berbeda pendapat. Terkhusus perbedaan itu terjadi antara mazhab
Maliki dan mazhab Syafi’i, dan perbedaan tersebut dipengaruhi oleh jenis mahar
A. Mahar Musamma
171 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zadul Ma’ad, cet. ke-2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000 M),
jilid. 4, hlm. 49-50
72
Jika maharnya disebutkan di dalam akad yaitu mahar musamma, lalu suami
mahar, dalam kondisi seperti ini, mazhab Maliki dan Syafi’i tidak berbeda
pendapat namun dalil yang digunakan oleh kedua mazhab tersebut berbeda.
Menurut mazhab Maliki bahwa status mahar yang disebutkan di dalam akad
(mahar musamma) namun suami meninggal dunia sebelum jimak dan belum
membayar maharnya, maka dalam kondisi ini, istri berhak mendapatkan mahar
secara sempurna.172
ًهعرنَ انبرنَ هجهرينءج قهاًهل ه رسنعهت هعهطاًئء ي ههقوُلُهل ه رسنعهت انبهنَ هعمباًءس هسسئرهل هعرنَ النهمنرأأرة ي ههموُلُهت هعننهاً هزنو ه هجاً هوقهند فههرهض ل هههاً هصللهداقئا
“Dari Ibnu Juraij berkata, aku telah mendengar bahwa ‘Atha berkata, ‘Aku
yang ditinggal mati oleh suaminya namun suaminya telah menentukan mahar
Hadits di atas menjelaskan, bahwa jika suami meninggal dan mahar telah
ditentukan kadarnya di dalam akad maka dalam kondisi ini, istri berhak
mendapatkan maharnya secara penuh. Akan tetapi berbeda hal nya jika suami
meninggal sebelum terjadinya jimak dan mahar belum ditentukan kadarnya dalam
akad, maka dalam kondisi ini istri tidak berhak mendapatkan mahar.174
Pendapat mazhab Syafi’i selaras dengan mazhab Maliki yaitu status mahar
yang disebutkan di dalam akad (mahar musamma) namun suami meninggal dunia
sebelum berjimak dan belum membayar mahar, maka dalam kondisi ini, istri
Imam Syafi’i berpendapat dalam kitab al-Umm, yang dijadikan dalil oleh
mazhab Syafi’i,
173 Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, cet. ke-3, “Kitab
ash-Shadaq”, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H/2002 M), jilid. 7, hlm. 403, hadits no.
14425
174 Muhammad Dhiya ar-Rahman al-A’zhami, al-Minah al-Kubra Syarhu wa Takhrij as-
Sunan ash-Shugra, (Riyadh: Maktabah ar-Rusd, t.t,.), jilid. 6, hlm. 243
175 Imam an-Nawawi, Raudhah at-Thalibin, (Saudi Arabia: Dâr ‘Alimul Kutub, 1423
H/2003 M), jilid. 5, hlm. 587
74
ًدخل باً إاننِ كنِ ن هنقئدا فهاًلنمنقهد هواننِ كنِ هديننئاً فهاًملنيهنَ أأو هكنيئل همنوُلُهصوُلُفئاً فهاًلنهكنيللهل أأو هعنرئضللاً همنوُلُهصللوُلُفئاً فلهلاًلنهعنرهض هواننِ كللنِ هعنرئضللا
إ إ
ل ذل ف ي ههدينره قبل أأننِ ي هندفههعهه ه مث هطل مهقههاً قبل أأننِ ي هندهخهل بللاً فهلهههللاً رننصلل هف رقي هترللره ربهعنيرنره رمثنهل هعنبءد أأو أأهمءة أأو ب هرعءي أأو ب ههقهرءة فههه ه ه
“Imam Syafi’i berkata: Apabila suami menikahi wanita dengan mahar yang
walaupun suami atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri
atau setelah melakukan hubungan suami istri. Apabila mahar yang disebut berupa
uang maka suami wajib membayar dengan uang. Apabila dengan hutang maka
harus dibayar dengan hutang, apabila berupa takaran yang disifati maka berupa
takaran dan apabila berupa barang yang disifati maka dengan barang. Apabila
mahar yang disebut berupa barang tertentu, semisal unta atau sapi, dan rusak
ketika masih dibawa suami sebelum ia serahkan kemudian suami mentalak istri
sebelum melakukan hubungan suami istri maka istri berhak mendapatkan separuh
harga barang tersebut, terhitung harga pada waktu akad nikah yaitu pada hari istri
memiliki mahar.”176
Berdasarkan dari ijtihad Imam Syafi’i di atas, maka jelaslah bahwa mahar
yang disebutkan dalam akad (mahar musamma) harus dibayarkan oleh suami
meskipun telah meninggal dunia baik sudah terjadi jimak ataupun belum terjadi
jimak. Besaran mahar yang harus dikeluarkan sama seperti saat diucapkan dalam
akad pernikahan seperti yang telah disebutkan oleh Imam Syafi’i dalam
176 Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Al-Umm..., jilid. 3, hlm. 66
75
tidak dapat membayar dengan uang maka dapat diganti dengan barang yang
jumlahnya sama seperti nilai uang yang disebutkan ketika itu, atau apabila tidak
mampu dengan barang maka dapat memakai takaran yang nilainya sama seperti
B. Mahar Mitsli
Jika mahar tidak disebutkan di dalam akad dan belum ditentukan yaitu mahar
mitsli, kemudian suami meninggal dunia sebelum berjimak dengan istrinya dan ia
belum membayar mahar, maka dalam kondisi ini terdapat dua perbedaan pendapat
ulama mazhab. Perbedaan itu terjadi di antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i.
Menurut mazhab Maliki bahwa status mahar yang tidak disebutkan di dalam
akad dan belum ditentukan kadar maupun jumlahnnya (mahar mitsli), namun
maharnya, maka dalam kondisi ini, sang istri tidak mempunyai hak untuk
memperoleh mahar yang belum ditunaikan akan tetapi dia berhak mendapatkan
warisan.177 Terkait dengan itu, diantara beberapa pendapat ulama dari kalangan
177 Malik bin Anas al-Ashbahi, al-Mudawwanah al-Kubra, (Kairo: Dâr al-Hadits, 2005 M),
jilid. 2, hlm. 359. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-qurthubi,
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (t.t.p: Dâr al-Ma’rifah, 1982 M), jilid. 2, hlm. 27
76
Jika seorang suami menikahi perempuan dengan mahar yang tidak disebutkan
atau tidak ditentukan maharnya (mahar mitsli) dan pemberian mahar tersebut
ditangguhkan, maka nikahnya sah. Jika suami telah berjimak dengan istrinya
maka istri berhak mendapatkan mahar mitsli. Jika suami menceraikan istrinya
sebelum melakukan jimak maka istrinya berhak mendapatkan mut’ah, akan tetapi
jika suami meninggal namun belum berjimak dengan istrinya maka istri tidak
suaminya.179
178 Nama beliau adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Baar an-Namiri al-
Qurthubi. Beliau adalah seorang ulama Andalusia dan ulama hadits yang besar serta terkenal pada
masanya. Beliau menuntut ilmu kepada Abi Umar bin al-Maqwa dan banyak mendengar hadits
dari beberapa ulama diantaranya, Sa’id bin Nashr, Abdul Warits bin Sufyan dan Ahmad bin Qasim
al-Bazar. Selain itu beliau juga mendengarkan hadits dari para ulama terkemuka diantaranya, Abu
al-‘Abbas ad-Dala’i, Abi Muhammad bin Abi Quhafah dan Abu Muhammad bin Hazm. Kitab
karangan beliau diantaranya al-Isti’ab li Asma ash-Shahabah, Jami’ Bayan al-Ilmu dan kitab at-
Taqshi li Hadits Muwatha’. Abi Umar bin ‘Abdil Baar an-Namiri al-Qurthubi, al-Kafi fi Fiqh
Ahlul madinah al-Maliki, cet. ke-2, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1992 M), hlm. 5-6
179 Abi Umar bin ‘Abdil Baar an-Namiri al-Qurthubi, al-Kafi fi Fiqh Ahlul madinah al-
Maliki, cet. ke-2, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1992 M), hlm. 250
180 Beliau adalah syaikh al-Malikiyah pada masanya, Abu Muhammad Abdul Wahab bin Ali
bin Nashr bin Ahmad bin Husain bin Harun bin Amir al-‘Arab Malik bin Thuqi ats-Tsa’labi
al-‘Iraqi. Beliau adalah seorang ahli fikih yang beradab dan ahli sya’ir. Beliau menuntu ilmu fikih
ilmu ushul dan ilmu kalam kepada Abi Bakar al-Maqalani dan kepada syaikh yang lainnya yang
termasuk dari ahli fikih dan ahli hadits. Diantara murid-muridnya adalah Abdul Haq bin Harun al-
Faqih ash-Shaqli dan Abu Abdillah al-Maziri. Dan diantara kitab karangan beliau yaitu at-Talqin.
Abdul Wahab al-Baghdadi al-Maliki, at-Talqin, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1425
H/2004 M), jilid. 1, hlm. 5-6
77
Apabila salah satu dari suami istri meninggal dunia sebelum melakukan jimak
dan mahar tidak disebutkan dalam akad serta belum ditunaikan, maka bagi
meninggal.181
(3) Al-Qurafi182
Jika suami meninggal dunia namun belum terjadi jimak maka istri berhak
mendapatkan warisan dan tidak mendapatkan mahar. Karena pada dasarnya istri
suaminya.183
181 Abdul Wahab al-Baghdadi al-Maliki, at-Talqin, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyah, 1425 H/2004 M), jilid. 1, hlm. 317
182 Beliau adalah Ahmad bin Idris bin Abdurrahman bin Abdullah bin Yallin ash-Shanhaji.
Beliau dijuluki dengan nama Shihabbud Dien dan dikenal dengan nama al-Qurafi. Beliau
dilahirkan pada tahun 626 H. Beliau menuntut ilmu dari beberapa syaikh diantaranya Muhammad
bin Imran, Abi Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Wahid bin Ali al-Idrisi. Karangan beliau
diantaranya yaitu ad-Dakhirah, Hasyiyah ‘ala Kitab al-Qurafi fil Ushul. Syihabuddin Ahmad bin
Idris al-Qurafi, ad-Dakhirah, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Gharib al-Islami, t.t.), jilid. 1, hlm. 9
183 Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qurafi, ad-Dakhirah, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Gharib
al-Islami, t.t.), jilid. 4, hlm. 368
184 Beliau adalah Abu al-walid Muhammad bin Ahmad bin Rasyid. Dilahirkan di Qurthubah
pada tahun 450 H/1048 M. Beliau menuntut ilmu fikih kepada ulama Andalusia, diantaranya Abi
Ja’far bin Razaq, Abi Abdillah Muhammad bin khairah al-Amwi, adapun dalam mempelajari
hadits beliau berguru kepada Abi al-‘Abbas Ahmad bin Umar bin Anas al-‘udzri ad-Dala’i dan
dalam mendalami bahasa beliau berguru kepada Abi Marwan Abdul Malik bin Siraj. Buku
karangannya yaitu al-Bayan wa at-Tahsil, Nawazil Ibnu Rusd, Ikhtishar al-Mabsuthah dan al-
Masa’il al-Khilafiyah. Abi Walid bin Rasyid al-Qurthubi, al-Bayan wa at-Tahsil, cet. ke-2, (Beirut:
Dâr al-Gharib al-Islami, t.t.), jilid. 1, hlm. 11
78
Imam Malik akadnya rusak dan akadnya wajib dibatalkan. Jika salah satu dari
Pendapat mazhab Maliki juga merupakan pendapat Ali, Ibnu Umar, Ibnu
Abbas, Zaid bin Tsabit, Imam malik, al-Auza’i, al-Laits, dan al-Hadi. Al-Qasim
menegaskan bahwa wanita tersebut berhak menerima warisan saja. Jadi istri tidak
berhak memperoleh mahar yang belum ditunaikan, juga mut’ah. Karena mut’ah
itu hanya diberikan kepada wanita yang ditalak saja, sementara mahar itu
diberikan sebagai ganti dari jimak, meskipun ia belum sempat disentuh oleh
هولهنهك رننص هف هماً تههرهك أأنزهواهجنهك اننِ ل هنم يههكننَ ل هههمنَ هو ه ةل فهاًننِ هكهنِ ل هههمنَ هو ه ةل فهله ه هك الشرب ههع رممماً تههرنكهنَ رمننَ ب هنعرد هورصميءة ي هوُلُرصهي ربهاً أأنو
إ إ
َهدنيءنَ هول هههمنَ الشرب ههع رممماً تههرنك نهت اننِ ل هنم يههكننَ لهنهك هو ه ةل فهاًننِ هكهنِ لهنهك هو ه ةل فهلهههمنَ الث شهمهنَ رممماً تههرنك نهت رمننَ ب هنعرد هورصميءة تهوُلُهصوُلُهنِ ربهاً أأنو هدنيءن
إ إ
185 Abi Walid bin Rasyid al-Qurthubi, al-Bayan wa at-Tahsil, cet. ke-2, (Beirut: Dâr al-
Gharib al-Islami, t.t.), jilid. 4, hlm. 478
186 Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, (Kairo: Dâr al-Hadits, 1426 H/2005 M), jilid. 6, hlm.
560
79
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.”
Abu Ja’far berkata di dalam kitab tafsirnya, Jami’ul Bayan ‘An Ta’wil Ayyi al-
istrinya jika tidak ada anak laki-laki ataupun perempuan, namun jika ada anak
bagian dari harta peninggalan istrinya setelah menunaikan hutang atau tanggungan
peninggalan suaminya jika tidak ada anak laki-laki ataupun perempuan, namun
jika ada anak laki-laki ataupun perempuan maka perempuan hanya mendapatkan
suami istri saling mewarisi, dan ayat di atas dijadikan dalil oleh mazhab Maliki
dalam permasalahan status mahar yang belum ditunaikan namun suami meninggal
187 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘An Ta’wil Ayyi al-Qur’an ,
(Kairo: Darus Salam, 1430 M/2009, cet: 4), jilid. 3, hlm. 2178
80
sebelum jimak, maka dalam kondisi tersebut istri berhak mendapatkan seperempat
bagian dari harta peninggalan suami karena bersamanya tidak ada anak.
, هكللن هنت ه نتللهت انبللءنَ رلهعنبللرد ا م رللل نبللرنَ ه هعللره, هوأأشمههاً ربن نهت هزينرد نبللرنَ النهخمطللاًرب,هعننَ هماً ر ءل هعننَ هنرفع ء أأمنِ ابننههة هعهبنيرد ا م رل نبرنَ ه هعهر
ً هول هللنوُلُ هكللهنِ ل هههللا, ل هينللهس ل هههللاً هصللهداةق: فههقاًهل هعنبهد ا م رللل نبللهنَ ه هعللره,ًفههماًهت هول هنم ي هندهخنل ربهاً هول هنم ي ههس م رم ل هههاً هصهداقئاً فهاًبنهتهغنت أأشمههاً هصهداقههها
ً فههجهعلهلوُلُا ب هين ههنلنم هزنيلهد نبلهنَ هث ربءت فههقهضلل أأننِ هل هصلهداهق ل هههلاً هول هههلا, هفلآأب هنت أأشمههلاً أأننِ تهنقهبلهل هذ ر هلل.ً هول هللنم ن هنظرلنمههلا,هصهداةق ل هنم ن هنمرسنكهه
.النرمهياهث
“Dari Malik dari nafi’ bahwa anak perempuan Ubaydillah bin Umar yang
ibunya adalah anak perempuan Zaid bin al-Khathab, menikah dengan putra
atas anaknya dan Abdullah bin Umar berkata: “Ia (si istri) tidak berhak atas
mahar. Jika ia berhak atas maharnya kami tidak akan menahannya, dan kami tidak
memperlakukannya secara tidak adil.” Si ibu menolak untuk menerima hal itu.
Zaid bin Tsabit dibawa untuk mengadili mereka, dan ia memutuskan bahwa si istri
188 Imam Malik, al-Muwatha, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1432 H/2011 M), hlm. 257
81
Mazhab Maliki berdalil dengan riwayat Imam Malik di dalam kitab al-
Muwaththa serta qaul ash-Shahabah dan ijtihad Zaid bin Tsabit yang dijadikan
dari lafadz hadits di atas “Bahwa anak perempuan Ubaydillah bin Umar yang
ibunya adalah anak perempuan Zaid bin al-Khathab, menikah dengan putra
tersebut dilakukan dengan cara nikah tafwidh. Nikah tafwidh adalah pernikahan
dalam akad nikah. Hal tersebut bisa terjadi karena nikah terbagi menjadi 2 jenis
yaitu nikah yang dilakukan dengan menyebutkan mahar dan yang dilakukan
هل هجنهاًهح عهلهنينهك اننِ هطل منق ههت ال رن مهساًهء هماً ل هنم تههمشسوُلُههمنَ أأنو تهنفررهضوُلُا ل هههمنَ فهرريهضئة
إ
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum
kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah:
236)
tafwidh adalah bahwa ayat tersebut menjelaskan tidak berdosa bagi orang yang
189 Abi Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji, al-Muntaqa Syarhu Muwatha Malik, cet. Ke-1,
(Beirut: Dar kutub al-Ilmiyah, 1420 H/1999 M), jilid. 5, hlm. 36
82
dengan ini bahwa tidak berdosa jika akad nikah berlangsung dengan tidak
menyebutkan dan menentukan mahar, maka hal itu menunjukan kebolehan akan
nikah tafwidh.190
Riwayat Imam Malik yang telah disebutkan di atas, menjelaskan bahwa jika
ada seorang wanita dinikahi dengan mahar yang tidak ditentukan dan disebutkan
dalam akad yaitu mahar mitsli serta belum ditunaikan maka istri berhak mendapat
mahar mitsli jika sudah terjadi hubungan suami istri. Akan tetapi, jika suami
meninggal dan belum berjimak maka istri tidak berhak mendapatkan mahar
Dalil Mazhab Maliki juga sebagaimana pendapat yang dikatakan oleh Imam
النرمهكهح هجللاًرئةز رعننللهد هماً ر ءللل هوي هنفللهرهض ل هههللاً هصللهداهق: أأهرأأينهت ل هنوُلُ أأمنِ هرهجئل تههزموهج انمهرأأئة هول هنم ي هنفررنض ل هههاً هصهداقئاً؟ُ قهاًهل:هقلنهت
ٍ فههل همنتهعهة،ٍ فهلهههاً النتهعهة هواننِ هماًهت قهنبهل أأننِ ي ه ه هتاهضهياً عههل هصهداءق، هواننِ هطل مقهههاً قهنبهل أأننِ ي ه ه هتاهضهياً عههل هصهداءق,ًرمثنرلههاً اننِ هدهخهل ربها
إ إ إ
.ل هههاً هوهل هصهداهق هول هههاً ارل ن هياهث
“Aku berkata (Sahnun bin Sa’id at-Tanukhi): Apa pendapatmu jika ada
baginya, Imam Malik berkata: ‘Nikah tersebut diperbolehkan dan ditetapkan bagi
perempuan tersebut mahar mitsli jika ia telah berjimak dengan suaminya, jika
190 Ibid,
83
berhak mendapatkan mut’ah, akan tetapi jika ia (suami) meninggal dunia sebelum
menetapkan mahar kepada istrinya dan belum berjimak, maka istri tidak berhak
memperoleh mut’ah dan mahar, tetapi ia berhak menerima bagian warisan (dari
Mazhab Maliki mengqiyaskan hal tersebut kepada jual beli. Mahar merupakan
sebagai pengganti (penukar), maka selama benda yang akan diganti tersebut tidak
juga kematian.192
191 Abi al-Hasan ‘Ali bin Sa’id ar-Rajraji, Manahij at-Tahshil wa Nataij Lathaif at-Ta’wil fi
Syarh al-Mudawwanah wa Halli Musyakilatiha, cet. ke-1, (Beirut: Dâr Ibnu Hazm, 1428 H/2007
M), jilid. 3, hlm. 488
Menurut mazhab Syafi’i bahwa status mahar hutang yang tidak disebutkan di
dalam akad dan belum ditentukan (mahar mitsli), namun suami meninggal dunia
sebelum melakukan jimak maka istri berhak memperoleh mahar mitsli dan juga
warisan.193 Ini juga merupakan pendapat mazhab Hanafi194 dan pendapat yang
shahih dari mazhab Hanbali.195 Dan diantara beberapa pendapat ulama dari
(1) Asy-Syarbini196
Apabila suami menceraikan istrinya namun belum berjimak, maka istri tidak
berhak mendapatkan sesuatu dari mahar namun istri berhak mendapatkan mut’ah.
Dan jika suami meninggal dunia sebelum berjimak maka istri tidak berhak
mendapatkan mahar mitsli namun pendapat yang zhahir dalam mazhab syafi’i
194 Syamsuddin as-Sarkhasi, al-Mabsuth, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t.), jilid. 5, hlm. 62
195 Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Kafi, cet. ke-1, (t.t.p: Dâr al-Hijr, 1418 H/1997 M), jilid. 4,
hlm. 342
196 Nama beliau adalah Muhammad bin Muhammad asy-Syarbini al-Qahiri asy-Syafi’i.
Beliau berguru kepada beberapa syaikh, diantaranya yaitu Ahmad al-Burlis yang dijuluki ‘Amirah,
an-Nur al-Muhli, dan asy-Syams Muhammad bin Abdurrahman bin Khalil an-Nusyki al-Kardi.
Beliau merupakan seorang yang berilmu, zuhud, dan wara’. Adapun kitab karangan beliau yaitu
Syarhu Kitab Minhaj dan Kitab Tanbih. Beliau wafat pada hari kamis di bulan Sya’ban tahun 977.
Syamsyuddin Muhammad bin Khathib asy-Syarbini, Mughni Muhtaj, cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-
Ma’rifah, 1418 H/1997 M), jilid. 1, hlm. 17
197 Syamsyuddin Muhammad bin Khathib asy-Syarbini, Mughni Muhtaj, cet. ke-1, (Beirut:
Dâr al-Ma’rifah, 1418 H/1997 M), jilid. 3, hlm. 305
85
(2) Al-Haitami198
mahar mitsli.199
satu dari kedua suami istri meninggal sedangkan mahar belum ditentukan dan
belum terjadi jimak, maka istri berhak mendapat mahar mitsli. Mahar mitsli
berhak dalam pernikahan yang shahih dan karena kematian sama seperti jimak
198 Nama beliau Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Hajar as-
Salmunti al-Haitami al-Azhari al-Wa`ili as-Sa'di al-Makki al-Anshari asy-Syafi'i. Dikenal dengan
Ibnu Hajar al-Haitami, lahir di Mahallah Abi al-Haitam, Mesir bagian Barat, Rajab 909 H, wafat di
Mekkah Rajab 973 H. Beliau adalah seorang ulama di bidang fikih mazhab syafi'i. Diantara guru
beliau adalah Syaikh Abdul Haq as-Sanbathi, Asy-Syams al-Masyhadi, Asy-Syams as-Samhudi
dan Syihabuddin ar-Ramli. Dan beliau memiliki banyak karya tulis, antara lain Syarh al-Misykat,
Tuhfatu al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj, dan Syarh al-Hamziyyah al-Bushiriyyah.
https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Hajar_al-Haitami diakses pada tanggal 30 Maret 2016.
199 Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitimi asy-Syafi’i, Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj bi
Syarhi al-Muhtaj, (t.p.: t.t.p, t.t), jilid. 7, hlm. 395
200 Nama lengkap beliau adalah Ibrahim al-Bajuri bin Syaikh Muhammad al-Jizawi bin
Ahmad.. Beliau dilahirkan pada tahun 1198 H/1783 M di desa Bajur, sebuah desa di Provinsi Al-
Manjufiyah, Mesir. Pada tahun 1212 Hijriyah, beliau berangkat ke Al-Azhar dan menimba ilmu
disana. Waktu itu umur beliau baru masuk 14 tahun. Diantara guru-guru beliau selama belajar di
al-Azhar yaitu Muhammad al-Amir al-Kabir al-Maliki, Abdullah asy-Syarqawi, dan Syaikh
Muhammad al-Fadhali. Diantara Hasyiyah ‘Ala Risalah Syaikh al-Fadhali, Fathu al-Qaril al-Majid
Syarh Bidayatu al-Murid, dan Hasyiyah ‘Ala Maulid Musthafa Libni Hajar. Beliau wafat pada hari
kamis, 28 Dzulqa’dah 1276 H/19 Juli 1860 M. http://pii-mesir.blogspot.co.id/2012/04/ibrahim-al-
bajuri-ulama-produktf.html, diakses pada tanggal 30 Maret 2016.
86
(4) An-Nawawi202
suami meninggal dunia sebelum berjimak dengan istrinya dan belum menunaikan
maharnya.203
Pendapat mazhab Syafi’i juga merupakan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Sirin,
Ibnu Abu Laila, Imam Abu Hanifah beserta seluruh sahabatnya diantaranya Ishaq,
Abu Hanifah juga berpendapat, bahwa istri memperoleh mahar mitsli dan
201 Ibrahim al-Baijuri, Hasyiah al-baijuri, cet.ke-2, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1420
H/1999 M, jilid 2, hlm. 228
202 Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husain bin Hizam bin
Muhammad An-Nawawi Asy-Syafi’i. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram, tahun 631 H di
perkampungan Nawa dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah
memulai hafal Al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqh pada sebagian ulama di sana. Guru beliau
diantaranya, Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi Al-Maqdisi, Abdurrahman bin Nuh bin
Muhammad al-Maqdisi, Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari, dan Syaikh Ahmad bin
Salim al-Mishri. Adapun diantara murid-muridnya yaitu ‘Alauddin’Ali Ibnu Ibrahim, Sulaiman bin
Hilal Al-Ja’fari, dan Ahmad Ibnu Farah Al-Isybili. Kitab karangan beliau adalah Tahdzib Asma Wa
al-Lughat, Tahrir at-Tanbih, Manaqib asy-Syafi’i, Risalah maqashid dan al-Adzkar. Beliau wafat
pada hari rabu tanggal 24 bulan rajab tahun 676. Imam an-Nawawi, Tashhih at-Tanbih, cet. ke-1,
(Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1417 H/1996 M), jilid. 1, hlm. 11
203 Imam an-Nawawi, Tashhih at-Tanbih, cet. ke-1, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1417
H/1996 M), jilid. 2, hlm. 37
204 Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syirazi, Majmu’..., jilid. 20, hlm. 66-67
sebagian maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4)
membayar mahar khususnya mahar hutang yang belum dibayar karena suami
meninggal dunia. Ada dua pendapat yang menjelaskan tentang penunjukan khitab
ayat tersebut. Pertama, khitab ayat tersebut ditujukan kepada suami, oleh karena
itu suami mempunyai kewajiban untuk membayar mahar. Kedua, khitab ayat
tersebut ditujukan kepada wali perempuan, karena pada masa jahiliyah mahar
206 Nama lengkap beliau adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi.
Beliau adalah seorang ahli fiqh dari Irak. Al-Mawardi lahir di kota Basra Irak, disinilah dia belajar
fiqh dari Abu al-Wahid al-Simari, dan kemudian pindah ke Baghdad untuk berguru pada Sheikh
Abd al-Hamid dan Sheikh Abdallah al-Baqi. Bukunya yang terkenal adalah Kitab al-Ahkam al-
Sultania (buku tentang tata pemerintahan), Qanun al-Wazarah (Undang-undang tentang
Kementrian), dan kitab nasihat al-Muluk. https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Al-Hasan_Al-
Mawardi, diakses pada tanggal 30 Maret 2016.
88
Adapun kata nihlah menurut Abi Shalih mempunyai tiga takwil (penafsiran).
Pertama, bahwa dia wajib membayarkan mahar artinya dia mempunyai hutang
kepada istrinya. Kedua, kerelaan hati seorang istri akan terganti ketika mahar itu
فههقللاًهل.هعننَ عهلنهقهمهة هعرنَ انبرنَ همنسهعوُلُءد أأن مهه هسسرئهل هعننَ هرهجءل تههزموهج انمهرأأئة هول هنم ي هنفررنض ل هههاً هصهداقئاً هول هنم ي هندهخنل ربهللاً هحمتلل همللاًهت
فههقاًهم همنعرقهل بنللهنَ رسسللنهاًءنِ األ ن ه.ط هوعهلهنيهاً النرعمدهة هول هههاً النرمهياهث
شللرعشىَ فههقللاًهل انبهنَ همنسهعوُلُءد ل هههاً رمثنهل هصهدارق رنهساًرئهاً هل هونكهس هوهل هشهط ه
. فههفررهح ربهاً انبهنَ همنسهعوُلُءد. ٌ رف ربنرهوهع ربن نرت هوارشءق انمهرأأءة رمن ماً رمثنهل ا م رلىِذَّ قههضينهت-ٌصل ا عليه وسل- قههض هرهسوُلُهل ا م رل
“Dari al-Qamah dari Ibnu Mas’ud sesungguhnya dia ditanya tentang seorang
laki-laki yang menikahi perempuan dan belum memberinya mahar dan juga belum
melakukan hubungan suami istri sampai dia meninggal. Ibnu Mas’ud berkata:
ada kerugian dan melebihi batas. Dan dia berkewajiban iddah dan berhak
mendapatkan warisan. Kemudian Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i berdiri dan berkata:
“Rasulullah SAW pernah memutuskan masalah yang terjadi pada Barwa binti
207 Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashry, al-Hawi al-Kabir, cet. ke-1, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1414 H/1994 M), jilid. 9, hlm. 390
89
Wasyiq perempuan dari kalangan kami sebagaimana yang engkau putuskan. Ibnu
shahih dan kematian suami tersebut diqiyaskan dengan jimak, oleh karena itu
mahar ditetapkan untuk istri karena kematian.209 Ibnu Hajar mengatakan di dalam
yang telah dishahihkan oleh Tirmidzi. Ibnu Mahdi dan Ibnu Hazm mengatakan
bahwa tidak diragukan lagi akan keshahihan haditsnya. Begitupun dengan al-
208 Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir Li at-Tirmidzi, “Kitab Nikah”,
cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Gharbi al-Islami, 1996 M), jilid. 2, hlm. 436, hadits no. 1145
209 Taqyuddin Muhammad Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini ad-Dimasyqi asy-Syafi’i,
Kifayatuh al-Akhyar Fi Halli ‘Inayah al-Ikhtishar, cet. ke-2, (Kairo: Syirkah al-Quds, 1433
H/2012 M), jilid. 2, hlm. 96
210 Nama beliau adalah Abu al-‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim bin Bihadir
al-Mubarakfuri. Dilahirkan pada tahun 1283 di desa Mubarakfuri, beliau tumbuh besar di desa
Mubarakfuri bersama dengan kedua orang tuanya. Semasa kecilnya beliau menyibukan dirinya
dengan membaca al-Qur’an sampai mengkhatamkannya dan menulis beberapa risalah dengan
bahasa persi dan urdan. Setelah beliau besar, beliau melakukan perjalanan mengelilingi beberapa
kota dan desa untuk berguru ilmu syar’i kepada para ulama terkemuka diantaranya Syaikh
Hisyamuddin al-Ma’wa, Syaikh Fayadhullah al-Ma’wa. Dan beberapa murid-muridnya yaitu Abu
al-Huda Abdussalam al-Mubarakfuri, ‘Ubaidillah ar-Rahmani, dan Muhammad bin abdul Qadir al-
Hilali. Kitab karangan beliau yaitu Tuhfatul ahwadzi Syarhu Jami’u at-Tirmidzi, Muqaddimah
Tuhfatul Ahwadzi, Tuhfatul Kalam Fi Wujubil Qira’ah Khalfa al-Imam dan Dhiya al-Abshar.
Beliau wafat pada hari selasa malam tanggal 16 Syawal tahun 1353. Muhammad Abdurrahman bin
Abdurrahim al-Mubarakfuri, tuhfah al-Ahwadzi Syarhu Jami’ at-Tirmidzi, (t.p.: Dâr al-Fikr, t.t.),
jilid. 2, hlm. 189
suaminya akan tetapi suami belum memberikan maharnya dan belum berjimak
dengan istrinya, maka istri tersebut berhak menerima mahar secara penuh, istri
pun wajib ber’iddah, dan baginya mendapat warisan. 212 Sebab, akad pernikahan
adalah sebuah akad yang masanya sepanjang umur, maka akad ini terhenti dengan
kematian salah satu dari kedua belah pihak dan ditetapkan gantinya, seperti
terhentinya akad sewa menyewa. Ketika ditetapkan maka tidak menjadi gugur apa
Ahlu ilmi dari mazhab Maliki seperti, Imam malik, al-Auza’i, al-Laits, dan al-
Hadi, serta ahlul ilmi dari para shahabah Rasulullah SAW seperti Ali, Ibnu Umar,
Ibnu Abbas, dan Zaid bin Tsabit mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan dari
Karena ada yang mengatakan bahwa salah satu dari perawi hadits tersebut
bernama Ma’qil bin Sinan, dan ada juga yang mengatakan Ma’qil bin Yasar,
dari al-Qamah dan Ali bin Abi Thalib juga menolak hadits itu dikarenakan Ma’qil
Namun, pernyataan tentang hadits yang menjadi dasar mazhab syafi’i yang
dianggap hadits idhtirab oleh mazhab Maliki mendapat sanggahan dari al-
212 Ibid,
213 Hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari arah yang bermacam-macam,
yang kekuatannya sama. Muhammad Thahan, Taisir al-Mushthalah al-Hadits, cet. ke-7, (t.p.:
Markaz al-Hadi li ad-Dirasat, t.t.), hlm. 86
Tuhfatul Ahwadzi, beliau mengatakan bahwa hadits idhthirab itu tidak tercela
hanya karena disebabkan berbeda salah satu orang yang meriwayatkannya dan hal
Ma’qil bin Sinan atau Ma’qil bin Yasar. Al-Baihaqi mengatakan bahwa Ibnu Sinan
Terkait dengan permasalahan ini, Imam Syafi’i berpendapat dalam kitab al-
Umm yaitu:
ًدخل باً إاننِ كنِ ن هنقئدا فهاًلنمنقهد هواننِ كنِ هديننئاً فهاًملنيهنَ أأو هكنيئل همنوُلُهصوُلُفئاً فهاًنلهكنيللهل أأو هعنرئضللاً همنوُلُهصللوُلُفئاً فلهلاًلنهعنرهض هواننِ كللنِ هعنرئضللا
إ إ
ل ذل ف ي ههدينره قبل أأننِ ي هندفههعهه ه مث هطل مقهههاً قبل أأننِ ي هندهخهل بللاً فهلهههللاً رننصلل هف رقي هترللره ربهعنينرره رمثنهل هعنبءد أأو أأهمءة أأو ب هرعءي أأو ب هقههرءة فههه ه ه
“Imam Syafi’i berkata: Apabila suami menikahi wanita dengan mahar yang
telah disebutkan, maka mahar tersebut ditetapkan sebagai kewajiban suami, jika
suami atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri atau setelah
melakukan hubungan suami istri. Apabila mahar yang disebut berupa uang maka
suami wajib membayar dengan uang. Apabila dengan hutang maka harus dibayar
dengan hutang, apabila berupa takaran yang disifati maka berupa takaran dan
apabila berupa barang yang disifati maka dengan barang. Apabila mahar yang
disebut berupa barang tertentu, semisal unta atau sapi dan rusak ketika masih
melakukan hubungan suami istri maka istri berhak mendapatkan separuh harga
barang tersebut, terhitung harga pada waktu akad nikah yaitu pada hari istri
memiliki mahar.”216
Berdasarkan dari ijtihad Imam Syafi’i di atas, maka jelaslah bahwa mahar
yang disebutkan (mahar musamma) harus dibayarkan oleh suami meskipun telah
meninggal dunia baik sudah terjadi jimak ataupun belum terjadi jimak. Besaran
mahar yang harus dikeluarkan sama seperti saat diucapkan dalam akad pernikahan
seperti yang telah disebutkan oleh Imam Syafi’i dalam pendapatnya. Disamping
itu, Imam Syafi’i bahkan berpendapat apabila suami tidak dapat membayar
dengan uang maka dapat diganti dengan barang yang jumlahnya sama seperti nilai
uang yang disebutkan ketika itu, atau apabila tidak mampu dengan barang maka
dapat memakai takaran yang nilainya sama seperti harga barang tersebut.
Jika keadaan yang menuntut, dimana akad nikah berlangsung dengan tidak
disebutkan jumlah mahar yang akan diberikan maka istri berhak mendapatkan
mahar mitsli. Jika telah terjadi hubungan suami istri atau suami meninggal dan
belum terjadi jimak serta mahar belum ditunaikan maka mahar wajib dibayarkan
musamma, maka mahar mitsli juga menjadi sempurna bagi perempuan tersebut.
Silang perbedaan pendapat antara mazhab Maliki dan Syafi’i dalam mahar
mitsli disebabkan oleh adanya perselisihan antara qiyas dan hadits. Yang mana
dalam hal ini, qiyas dijadikan dalil oleh mazhab Maliki dan hadits dijadikan dalil
فههقاًهم همنعرقللهل نبللهنَ رسسللنهاًءنِ األ ن ه.ط هوعهلهنيهاً النرعمدهة هول هههاً النرمهياهث
شللرعشىَ فههقلاًهل قههضلل ل هههاً رمثنهل هصهدارق رنهساًرئهاً هل هونكهس هوهل هشهط ه
.ٌ رف ربنرهوهع ربن نرت هوارشءق انمهرأأءة رمن ماً رمثنهل ا م رلىِذَّ قههضينهت-ٌصل ا عليه وسل- هرهسوُلُهل ا م رل
kerugian dan melebihi batas. Dan dia berkewajiban iddah dan berhak
mendapatkan warisan. Kemudian Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i berdiri dan berkata:
“Rasulullah SAW pernah memutuskan masalah yang terjadi pada Barwa binti
(HR. Tirmidzi)217
Adapun segi pertentangan qiyas dengan hadits di atas ialah pemahaman mahar
itu pengganti. Dan karena mahar belum diterima, pengganti tersebut tidak
217 Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir Li at-Tirmidzi..., jilid. 2, hlm.
436, hadits no. 1145
Sebelum Jimak
Keberadaan mahar dalam pernikahan haruslah ada, karena mahar wajib dalam
diantara beberapa mazhab, terutama dalam hal status mahar hutang ketika suami
meninggal sebelum jimak. Perbedaan ini terjadi antara mazhab Maliki dan
mazhab Syafi’i, yang mana perbedaan tersebut dipengaruhi oleh jenis mahar itu
kondisi ini, mazhab Maliki dan Syafi’i sepakat bahwa mahar hutang tetap
sebelum berjimak dengan istrinya. Dalil yang digunakan kedua mazhab tersebut
berbeda secara zhahir akan tetapi memiliki makna yang sama. Mazhab Maliki
Ibnu Juraij yang menjelaskan bahwa jika suami meninggal dunia dan mahar telah
meninggal dunia baik sudah terjadi jimak ataupun belum terjadi jimak.
95
Selain dalil yang disebutkan di atas, mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i juga
beralasan bahwa akad tidak batal karena kematian, tetapi akadnya berakhir dengan
kematian, yakni umurnya telah habis. Oleh karena itu, seluruh hukum yang
Dikarenakan juga mahar yang telah ditetapkan di dalam akad, jika belum
disebutkan dalam akad (mahar mitsli) lalu suami meninggal sebelum terjadi
hubungan suami istri, dan mahar belum ditunaikan secara utuh maka dalam
kondisi ini, mazhab Maliki dan Syafi’i yang juga termasuk dalam pendapat
memperoleh mahar yang belum ditunaikan akan tetapi dia mendapatkan warisan.
sebelumnya bahwa perbedaan pendapat antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i
terkait dengan mahar mitsli, disebabkan karena adanya perselisihan antara qiyas
dan hadits. Hadits tersebut adalah riwayat Ibnu Mas’ud yang dijadikan dalil oleh
mendapatkan warisan. Selain hadits riwayat Ibnu Mas’ud yang dijadikan dalil,
mazhab Syafi’i juga berdalil dengan menggunakan al-Qur’an yaitu surat an-Nisa
Adapun segi pertentangan qiyas dengan hadits riwayat Ibnu Mas’ud ialah
dengan mengqiyaskan hal tersebut kepada jual beli. Qiyas tersebut dijadikan dalil
oleh mazhab Maliki, yang menyatakan bahwa pemahaman mahar adalah sebuah
pengganti, selama benda yang akan diganti tersebut tidak diambil, maka tidak
diwajibkan memberi gantinya. Mazhab Maliki juga mengatakan bahwa istri tidak
ini sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits yang diriwatkan oleh Imam
Melihat dari beberapa penjelasan pendapat dan istidlal dari kedua mazhab di
atas, tentang status mahar mitsli yang belum ditunaikan namun suami meninggal
dunia sebelum jimak, penulis lebih condong memilih pendapat mazhab Syafi’i
yang tetap memberikan mahar bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh
suaminya meskipun belum maupun telah melakukan hubungan suami istri serta
Islam, dan mahar sebagai bentuk ungkapan ketulusan hati suami benar-benar
mencintai istrinya.
Adapun, tentang siapa yang memberikan mahar kepada istrinya karena suami
meninggal dunia, maka dalam hal ini sebagai pihak yang mewakili adalah ahli
97
waris dari suami itu sendiri yang membayar dari tirkahnya (harta peninggalan
suami).219 Besaran mahar yang diberikan sesuai yang disebutkan dalam akad
Di samping itu mahar menjadi konsekuensi dari adanya akad nikah. Karena
menurut mazhab Syafi’i bahwa mahar merupakan pemberian wajib dari suami
kepada istrinya ketika terjadi akad nikah, sehingga meskipun suami meninggal
sebelum terjadi hubungan suami istri dan mahar belum ditunaikan, maka mahar
tetap wajib diberikan. Selain itu, hal ini dikuatkan oleh pendapat mazhab
Hanafiyah220 dan mazhab Hanabilah221 terkait dengan definisi mahar yaitu mahar
surat an-Nisa ayat 4 yang dijadikan dalil umum mazhab Syafi’i, bahwa Allah
SWT berfirman:
sebagian maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4)
219 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Imam Ghazali Sa’id, (Jakarta: Pustaka Amani,
1428 H/2007 M), jilid. 2, hlm. 442
220 Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada’i..., jilid. 2, hlm. 278
Namun, berbeda halnya jika istri merasa ridho untuk menggugurkan haknya
atas mahar yang telah ditentukan ataupun belum ditentukan kadarnya dan mahar
itu menjadi hutang yang menjadi tanggungan suaminya yang meninggal, maka
mahar itu gugur. Hal ini merupakan perkara ibra’ yaitu menggugurkan hak atas
merupakan pendapat yang rajih karena kekuatan dalilnya. Dalam kitab al-umm,
Imam Syafi’i menjelaskan mengenai sahnya hadits yang diriwayatkan dari al-
Qamah dan Rasulullah SAW pernah memutuskan masalah yang terjadi pada
Barwa binti Wasyiq yang ditinggal mati oleh suaminya namun mahar belum
ditunaikan dan belum berjimak. Imam Syafi’i membedakan antara kematian dan
Oleh karena itu, diwajibkan iddah akibat kematian sebelum terjadinya jimak, dan
mazhab Syafi’i merupakan pendapat yang rajih karena kekuatan dalilnya. 224
222 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih..., jilid. 4, hlm. 237
223 Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Al-Umm..., jilid. 3, hlm. 76
a) Letak Persamaan
Apabila maharnya adalah mahar musamma, maka dalam kondisi ini, mazhab
Maliki dan mazhab Syafi’i sepakat bahwa wanita itu berhak mendapatkan mahar
secara sempurna. Sedangkan, apabila maharnya adalah mahar mitsli, maka dalam
kondisi seperti ini, persamaan antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i yaitu
b) Letak Perbedaan
Apabila maharnya adalah mahar musamma, maka dalam kondisi ini tidak ada
perbedaan pendapat antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i. Sedangkan apabila
maharnya adalah mahar mitsli, maka dalam kondisi seperti ini, mazhab Maliki dan
istri tidak berhak mendapatkan mahar yang belum ditunaikan ketika suami
meninggal sebelum jimak dikarenakan istri tersebut belum dirugikan dan suami
belum menikmati apa-apa dari istrinya dan karena mahar menurut mazhab Maliki
adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan berjimak
dengannya.
Sedangkan Mazhab Syafi’i yang juga sejalan dengan pendapat jumhur ulama
berpendapat bahwa mahar harus tetap diberikan meskipun suami meninggal dunia
100
sebelum melakukan jimak, untuk itu istri berhak mendapatkan mahar mitsli dan
pendapat di atas, bahwa mahar menurut Imam Syafi’i merupakan pemberian wajib
dari suami kepada istrinya ketika terjadi akad nikah, sehingga meskipun suami
meninggal sebelum terjadi hubungan suami istri dan belum ditunaikan mahar
BAB V
PENUTUP
D. Kesimpulan
101
Dari pemaparan yang telah penulis kaji tentang status mahar hutang ketika
suami meninggal sebelum jimak menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, kesimpulan
Apabila mahar dalam akad adalah mahar musamma lalu suami meninggal
dunia sebelum berjimak dengan istrinya dan ia belum membayar mahar, maka
dalam kondisi seperti ini, mazhab Maliki dan Syafi’i sepakat bahwa wanita itu
berhak mendapatkan mahar secara sempurna. Dalil yang digunakan kedua mazhab
tersebut berbeda secara zhahir akan tetapi memiliki makna yang sama. Akan
tetapi, apabila mahar dalam akad adalah mahar mitsli lalu suami meninggal dunia
sebelum berjimak dengan istrinya dan ia belum membayar mahar, maka dalam
memperoleh mahar yang belum ditunaikan akan tetapi dia mendapatkan warisan.
dengan mengqiyaskan permasalahan tersebut dengan jual beli, dan mazhab Maliki
juga menjadikan hadits yang diriwatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-
Muwatha sebagai dalil, yang menjelaskan bahwa istri yang ditinggal mati oleh
mitsli dan juga warisan. Dalil yang dipakai dalam menjelaskan pendapatnya
adalah hadits al-Qamah atau riwayat Ibnu Mas’ud yang menyatakan bahwa istri
102
berhak mendapatkan warisan. Selain itu, mereka juga berdalil dengan al-Qur’an
Melihat dari beberapa penjelasan pendapat dan istidlal tentang status mahar
mitsli dan harta warisan suaminya. Ini merupakan pendapat mazhab Syafi’i,
ketika suami meninggal sebelum jimak antara mazhab Maliki dan Syafi’i yaitu:
Apabila maharnya adalah mahar musamma, maka dalam kondisi ini tidak ada
perbedaan pendapat antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i, namun yang ada
tersebut yaitu mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i sepakat bahwa wanita itu berhak
antara mazhab Maliki dan Syafi’i bahwa keduanya sama-sama menggunakan dalil
Syafi’i yang juga termasuk dalam pendapat jumhur berpendapat bahwa mahar
103
jimak, untuk itu istri berhak mendapatkan mahar mitsli dan warisan suaminya.
E. Saran
masalah ini untuk memperkaya referensi agar penelitian yang akan dikaji lebih
berhubungan dengan status mahar hutang ketika suami meninggal sebelum jimak
dalam perspektif ulama yang lain. Tidak hanya kitab-kitab klasik yang harus
F. Penutup
dengan segala pertolongan dan kemudahan dari Allah Ta’ala akhirnya penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, meskipun masih banyak kekurangan.
Sungguh jikalau tidak karena pertolongan-Nya, maka penulis tidak akan mampu
“Tak ada gading yang tak retak”, demikian manusia tidak ada yang sempurna.
Maka dari itu penulis sangat memerlukan saran dan kritik yang membangun dari
memberikan motivasi, do’a dan jasa kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat
menjadi sumbangsih dalam khazanah keilmuan dan dapat bermanfaat bagi kaum
muslimin. Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita menuju jalan yang
diridhoi-Nya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Haidir, Madzhab Fiqih Kedudukan dan Cara Menyikapinya, ttp: t.p,
t.t.
105
Abidin, Ibnu, Raddu al-Mukhtar ‘ala ad-Daril Mukhtar Syarhu Tanwir al-
Adawi, al-, Musthafa, Jami’ Ahkami an-nisa’, Cet. 1, Riyadh: Dâr Ibnul
‘Aini, al-, Ahmad, al-Binayah fi Syarhi al-Hidayah, cet. ke-2, Beirut: Dâr al-
Ashbahi, al-, Malik bin Anas, al-Mudawwanah al-Kubra, Kairo: Dâr al-
Thabaqath al-Ashfiya, cet. Ke-1, Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyah, 2014 M, jilid. 6.
t.t., jilid. 3.
Asqalani, al-, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-
‘Az-Zazi, al-, Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf, Tamamul Minnah, ttp: Dâr
al-‘Aqidah, t.t.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed, Fiqih
Bahuqi, al-, Idris, Kasyaful Qina’ ‘an Matan al-Iqna’, cet. ke-1, Beirut:
Baihaqi, al-, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali, as-Sunan al-Kubra, cet.
ke-3, “Kitab ash-Shadaq”, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H/2002 M, jilid.
7.
Baijuri, al-, Ibrahim, Hasyiah al-baijuri, cet.ke-2, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Baji, al-, Abi Walid Sulaiman bin Khalaf, al-Muntaqa Syarhu Muwatha Malik,
Bassam, Alu, Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih, Taisirul ‘Alam Syarhu
Bukhari, al-, Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah, al-Jami’ ash-Shahih al-
Dardir, ad-, Ahmad, asy-Syarhu ash-Shaghir, Kairo: Dâr al-Ma’arif, t.t., jilid.
2.
Dasuqi, ad-, Muhammad, Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarhu al-Kabir, t.t.p.: Dâr
Daud, Abu, Sunan Abi Daud, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, Beirut: Dâr Ibnu
Dzahabi, Adz-, Muhammad bin Ahmad bin Utsman, Siyar A’lami An-Nubala’,
Farid, Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf, cet. ke-3, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2008 M.
Hanafi, al-, Muhammad bin Ali, ad-Dâr al-Mukhtar, cet. ke-1, Beirut: Dâr al-
Hanafi, al-, Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Bada’i ash-Shana’i fi Tartib
Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad bin Hanbal, cet. Ke-1, Beirut: Dar al-
Jammal, al-, Abu ‘Ubaidah Usamah bin Muhammad, Shahih Fiqih Wanita,
Jauziyah, al-, Ibnu Qayyim, Zadul Ma’ad, cet. ke-2, Jakarta: Pustaka Azzam,
2000 M, jilid. 4.
Jaza’iri, Al-, Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, Beirut-lebanon: Dâr al-Fikri,
t.t.
Jaziri, al-, Abdurrahman, al-Fiqhu ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah, t.t.p.: Dâr at-
Kamil, Abu Umar Abdullah, Tabel Thaharah Empat Madzhab, Solo: Media
Zikr, 2010.
Katsir, Abul Fida’ Isma’il bin, Al-Bidayah wan-Nihayah, t.t.p.: Dâr al-Aqidah,
t.t., jilid.10.
jilid. 1.
Khaldun, Ibnu, Mukaddimah, terj. Masturi irham dkk, cet. ke-1, Jakarta:
Maliki, al-, Abdul Wahab al-Baghdadi, at-Talqin, cet. ke-1, Beirut: Dâr al-
Malik, Imam, al-Muwatha, cet. ke-1, Beirut: Dâr al-Fikr, 1432 H/2011 M.
Mandhur, Ibnu, Lisanul Arab, Kairo: Dâr al-Ma’arif, t.t., jilid. 46.
110
Maqdisi, al-, Ibnu Qudamah, al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, cet. ke-
H/1997 M, jilid. 4.
Mazhab, terj. Afif Muhammad, cet. ke-1, Jakarta: Basrie Prees, 1994 M.
Muslim, Imam, al-Jami’ ash-Shahih, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, Beirut: Dâr al-
Namiri, an-, Abdul Bar, al-Kafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah al-Maliki, cet. ke-2,
Nawawi, an-, Abu Dzakariya Muhyi ad-Din bin Syarif, Tahdzib al-Asma’ wa
Qathan, al-, Mana’, Tarikh Tasyri’ al-Islam at-Tasyri’ wa al-Fiqh, cet. ke-2,
Qudamah, Ibnu, al-Mughni, Riyadh: Dâr ‘Alimul Kutub, t.t., jilid. 10.
Qurafi, al-, Syihabuddin Ahmad bin Idris, ad-Dakhirah, cet. ke-1, Beirut: Dâr
Quthni, Ad-Daru, Sunan ad-Daru Quthni, “Kitab Nikah”, cet. ke-1, Beirut:
Qurthubi, al-, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd,
Qurthubi, al-, Abi Umar bin ‘Abdil Baar an-Namiri, al-Kafi fi Fiqh Ahlul
madinah al-Maliki, cet. ke-2, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1992 M.
Ahkami al-Qur’an, cet. ke-3, Beirut: Dâr al-Kitab al-Ilmiyah, 2010, jilid. 1
112
Qurthubi, al-, Abi Walid bin Rasyid, al-Bayan wa at-Tahsil, cet. ke-2, Beirut:
Ramli, ar-, Abi ‘Abbas Ahmad bin Hamzah, Nihayatul Muhtaj, Beirut: Dâr al-
Fikri, 1430 H
Rajraji, ar-, Abi al-Hasan ‘Ali bin Sa’id, Manahij at-Tahshil wa Nataij Lathaif
Sayis, as-, Muhammad Ali, Sejarah Fikih Islam, cet. ke-1, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2003.
Salim, Abu Malik Kamal bin Sayyid, Shahih Fiqih Sunnah, Kairo-mesir:
Salim, Abu Malik Kamal bin Sayyid, Shahih Fiqih Sunnah, terj. Abu Ihsan al-
Samarqindi, as-, ‘Alauddin, Tuhfatul Fuqaha, cet. ke-1, Beirut: Dâr Kutub al-
Syafi’i, asy-, Abi Abdillah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Cet. ke-1, Beirut:
Syafi’i, asy-, Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitimi, Hawasyi Tuhfah al-
Fikri, 2009 M
Syaukani, asy-, Imam, Nailul Authar, Kairo: Dâr al-Hadits, 1426 H/2005 M,
jilid. 6.
Syirazi, asy-, Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Majmu’ Syarhu al-
_______________________________________________________________
32.
114
Thabari, Ath-, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ul Bayan ‘An Ta’wil
Tirmidzi, At-, Sunan at-Tirmidzi, “Kitab Nikah”, Beirut: Dâr al-Gharbi al-
H.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, t.t.
1424 H/25-Juli-2003 M.
t.t., jilid. 2.
115
2007 M
http://ustaznaim.blogspot.co.id/2011/07/syeikh-mustafa-al-adawi-lulusan-
https://rumaysho.com/2992-ilmuwan-yang-menjadi-ulama-1.html, diakses
Maret 2016.
http://pii-mesir.blogspot.co.id/2012/04/ibrahim-al-bajuri-ulama-produktf.html,