Anda di halaman 1dari 20

PROBLEMATIKA ASSET RECOVERY DALAM PENGEMBALIAN

KERUGIAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI


Kajian Putusan Nomor 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR

PROBLEMATICS OF ASSET RECOVERY IN


RESTORING STATE LOSS DUE TO CORRUPTION
An Analysis of Court Decision Number 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR

Ade Mahmud
Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
Jl Ranggagading No. 8, Bandung 40116
E-mail: ademahmud100@yahoo.com

Naskah diterima: 12 Oktober 2017; revisi: 13 November 2018; disetujui: 6 Desember 2018

http://dx.doi.org/10.29123/jy.v11i3.262

ABSTRAK pemulihan aset (asset recovery) dihadapkan pada


realitas ketidakmampuan terpidana korupsi untuk
Majelis hakim dalam Putusan Nomor 62/Pid.Sus/
membayar pidana uang pengganti karena secara normatif
Tipikor/2013/PN.PBR telah menjatuhkan pidana
dimungkinkan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang
penjara dan denda bagi terpidana korupsi. Putusan ini
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
dilihat dari sisi kerugian ekonomi menyisakan problem
Pidana Korupsi. Padahal kenyataaannya masih ada aset
tersendiri karena tidak memulihkan kerugian materiil
tersembunyi milik terpidana yang belum dilakukan
yang dialami Kabupaten Indragiri Hulu dan berdampak
penyitaan oleh penegak hukum. Akibatnya asset
pada keterlambatan pelayanan bagi masyarakat. Realitas
recovery tidak bisa dicapai karena terpidana memilih
ini tidak sejalan dengan teori pengembalian aset (asset
menjalani pidana subsider dan negara tetap merugi.
recovery) yang setia pada prinsip “berikan kepada negara
apa yang menjadi haknya.” Rumusan masalah dalam Kata kunci: korupsi, pemulihan aset, kerugian negara.
penelitian ini adalah apakah Putusan Nomor 62/Pid.Sus/
Tipikor/2013/PN.PBR sudah mampu mengembalikan
ABSTRACT
kerugian keuangan negara dan bagaimana problematika
asset recovery akibat tindak pidana korupsi. Metode In Court Decision Number 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/
penelitian menggunakan penelitian hukum normatif PN.PBR, the panel of judges had dropped imprisonment
(yuridis normatif). Hasil penelitian menunjukkan and fines for the offenders in cases of corruption. In
Putusan Nomor 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR terms of economic losses, this decision leaves its own
belum mengembalikan kerugian negara karena tidak problem because it does not recover material losses
memberikan pemulihan (restorasi) terhadap kerugian suffered by Indragiri Hulu Regency and the impact on
materiil yang diderita Kabupaten Indragiri Hulu yang service delay for the community. This reality is not in
ditimbulkan akibat pertentangan antara pertimbangan line with the theory of asset recovery adhering to the
hukum dengan putusan akhirnya. Problematika principle of “give to state what she deserves.” The

Problematika Asset Recovery dalam Pengembalian Kerugian Negara (Ade Mahmud) | 347
formulation of the problem in this study is whether Indragiri Hulu Regency due to conflicts between legal
the Court Decision Number 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/ considerations and the final decision. The fact is there
PN.PBR has been able to restore state financial loss, are still hidden assets belonging to the convict, that have
and how the problem of asset recovery is caused by not been confiscated by law enforcement. As a result,
criminal acts of corruption. The research method asset recovery cannot be achieved because the convicts
used is a normative legal research. The results of the choose to undergo subsidies, and the state still loses.
study show that Court Decision Number 62/Pid.Sus/
Tipikor/2013/PN.PBR has not yet restored the state loss Keywords: corruption, assets recovery, state loss.
as for not providing recovery of assets losses suffered by

I. PENDAHULUAN Itulah sebabnya hakim dituntut untuk


A. Latar Belakang menghasilkan putusan yang berkualitas. Putusan
hakim yang berkualitas dalam konteks ini
Seorang hakim dalam memutus
adalah putusan perkara pidana yang didasarkan
perkara harus ekstra hati-hati, hakim perlu
pada pertimbangan hukum sesuai fakta yang
memperhatikan faktor keseimbangan untuk
terungkap di persidangan, sesuai undang-undang
melindungi kepentingan pelaku, korban, dan
dan keyakinan hakim tanpa terpengaruh berbagai
masyarakat secara keseluruhan sehingga hakim
intervensi internal dan eksternal sehingga dapat
dituntut harus arif dan bijaksana (Fuady, 2010:
dipertanggungjawabkan secara profesional
176). Untuk menentukan kesalahan seorang
kepada publik (the truth hand justice) (Sutatiek,
pelaku hakim harus mendasarkan pada dua alat
2013: 29).
bukti yang sah didukung dengan keyakinan
(nurani) hakim bahwa terdakwa bersalah (Alfitra, Praktiknya sering kali ditemukan putusan
2012: 29). hakim yang bertentangan dengan fakta-fakta yang
terungkap di persidangan. Contohnya putusan-
Putusan hakim akan terasa begitu
putusan hakim yang memeriksa, mengadili,
dihargai dan mempunyai nilai kewibawaan, jika
dan memutus kasus tindak pidana korupsi yang
putusan tersebut merefleksikan rasa keadilan
merugikan keuangan negara. Masyarakat banyak
hukum masyarakat dan merupakan sarana bagi
mengeluhkan berbagai problem putusan hakim
masyarakat pencari keadilan untuk mendapatkan
di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
kebenaran dan keadilan. Sebelum seorang hakim
tidak sesuai dengan bukti-bukti yang muncul di
memutus suatu perkara, maka ia akan menanyakan
persidangan dan berujung pada pengabaian nilai
terlebih dahulu kepada hati nuraninya sendiri,
keadilan terutama berkaitan dengan tuntutan
apakah putusan ini nantinya akan adil dan
pengembalian kerugian negara. Salah satu
bermanfaat (kemaslahatan) bagi manusia atau
contohnya adalah Putusan Nomor 62/Pid.Sus/
sebaliknya akan lebih banyak menimbulkan
Tipikor/2013/PN.PBR.
kerusakan (kemudaratan), sehingga untuk itulah
seorang hakim diharapkan mempunyai otak yang Duduk perkara dalam kasus ini dimulai
cerdas, dan memiliki hati nurani yang bersih sejak adanya penganggaran pengadaan komputer
(Rifa’i, 2014: 3). di Kec. Rengat, Kec. Pasir Penyu, Kec. Peranap,
Kec. Batang, dan pengadaan peralatan jaringan

348 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3 Desember 2018: 347 - 366


komputer di Kec. Batang Gangsal, Kec. Lirik, Kec. pada APBD Kabupaten Indragiri Hulu sejumlah
Lubuk Batu Jaya, dan Kec. SeiLala, Kabupaten Rp960.386.000,-.
Indragiri Hulu. Dalam dakwaan kasus korupsi
Hakim dalam pertimbangan Putusan
ini berawal dari adanya kegiatan pembangunan
Nomor 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR
tower sebagai pengembangan dan pengoperasian
mencantumkan bahwa unsur kerugian negara
KTP SIAK senilai Rp767.898.000,- sesuai
telah dibuktikan di persidangan oleh penuntut
kontrak dana tersebut digunakan untuk belanja
umum melalui laporan Badan Pengawasan
modal pengadaan tower dan komputer untuk
Keuangan dan Pembangunan Provinsi Riau,
empat kecamatan. Kemudian pada APBD
tetapi hakim mengabaikan laporan tersebut dan
perubahan tahun 2011 kembali dianggarkan
tidak menjatuhkan pidana pembayaran uang
kegiatan serupa untuk empat kecamatan yang
pengganti kepada terdakwa. Fakta persidangan
berbeda dengan nilai Rp796.556.000,-, sesuai
ini memicu lahirnya problematika asset
kontrak dana tersebut digunakan untuk modal
recovery, di mana seseorang yang sepatutnya
pengadaan tower.
mempertanggungjawabkan perbuatan pidana
Persoalan hukum muncul ketika beberapa yang menimbulkan kerugian negara tetapi
item pekerjaan dan pembelian alat yang sudah pengadilan membebaskannya dari kewajiban
dianggarkan ternyata tidak dilaksanakan oleh untuk mengganti kerugian tersebut. Padahal
pihak kontraktor pemenang tender, padahal dalam hukum pidana jika terdapat kesalahan
dalam laporan alat-alat tersebut sudah dibeli (opzet) maka pembuat tindak pidana harus
dan dipasang di delapan kecamatan. Begitu bertanggung jawab (Sinta, 2017: 24).
juga panitia pelaksana kegiatan yang menerima
Hakim juga membenarkan dan menyatakan
barang, mereka hanya tinggal tanda tangan atas
laporan Badan Pengawasan Keuangan dan
perintah terdakwa Z. Rangkaian kegiatan ini
Pembangunan Provinsi Riau Nomor SR-4078/
memunculkan adanya dugaan penyalahgunaan
PW04/5/2012 dinyatakan sah di persidangan.
wewenang antara Z, M, bersama-sama dengan
Mestinya putusan akhirnya akan mengikuti
pemenang tender.
sebagaimana pertimbangan hukum yang
Perkara ini menjerat Kepala Dinas diuraikan sebelumnya, tetapi nampaknya dalam
Kependudukan dan Catatan Sipil Z dan H selaku putusan tersebut terjadi pertentangan antara
pemenang tender yang telah divonis bersalah pertimbangan dengan putusan akhir. Meskipun
dan berkekuatan hukum tetap. Selanjutnya juga pidana uang pengganti dalam hukum positif
melibatkan M selaku Kasubbag. Umum Dinas kedudukannya hanya sebagai pidana tambahan,
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten di mana hakim tidak wajib menjatuhkannya,
Indragiri Hulu periode tahun 2011 selaku Pejabat namun demikian pidana uang pengganti layak
Pelaksana Teknis Kegiatan. Bahwa dalam dijatuhkan bilamana pelaku tindak pidana
dakwaannya penuntut umum telah berupaya korupsi dalam persidangan terbukti memenuhi
membuktikan kepada hakim untuk menjatuhkan unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Pasal 2
sanksi pidana sekaligus membayar uang atau 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
pengganti, karena di persidangan penuntut umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
berhasil menunjukkan bukti adanya kerugian Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi

Problematika Asset Recovery dalam Pengembalian Kerugian Negara (Ade Mahmud) | 349
kekuasaan penjatuhannya sangat ditentukan kejahatan berdasi. Berbeda dengan kejahatan
oleh kehendak sang hakim yang mengadili, konvensional yang melibatkan pelaku jalanan
memeriksa, dan memutus. (street crime, blue collar crime, blue jeans
crime), terhadap white collar crime ini, pihak
Putusan ini dalam pandangan masyarakat
yang terlibat adalah mereka orang-orang yang
setempat tidak merefleksikan rasa keadilan dan
terpandang dalam masyarakat dan biasanya
tidak memberi maslahat bagi warga Kabupaten
berpendidikan tinggi. Modus operandi white
Indragiri Hulu karena sekalipun pelaku dijatuhi
collar crime ini dilakukan dengan cara-cara
pidana penjara, tetapi persoalan Sistem Informasi
canggih, bercampur dengan teori-teori ilmu
Administrasi Kependudukan (SIAK) di Kabupaten
pengetahuan seperti akuntansi dan statistik. Jika
Indragiri Hulu belum terselesaikan karena dalam
diukur dari canggihnya modus operandi, kelas
penganggarannya terjadi penyimpangan.
orang yang terlibat dan besaran dana yang dijarah,
jelas korupsi merupakan kejahatan kelas tinggi,
B. Rumusan Masalah yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh prinsip
1. Apakah Putusan Nomor 62/Pid.Sus/ yang keliru yaitu gredy is beautiful (kerakusan
Tipikor/2013/PN.PBR telah berorientasi itu indah) (Fuady, 2004: 2).
pada pemulihan (restorasi) kerugian Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu
negara yang menjadi korban tindak pidana corruption dari kata kerja corrumpere berarti
korupsi? busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik,
2. Bagaimana problematika asset recovery menyogok. Menurut Transparency International,
dalam pengembalian aset akibat tindak korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik
pidana korupsi? politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
C. Tujuan dan Kegunaan
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
1. Untuk mengetahui dan mengkaji Putusan dipercayakan kepada mereka (Shoim, 2009: 14).
Nomor 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR
Baharudin Lopa mengemukakan tindak
telah berorientasi pada pemulihan
pidana korupsi adalah tindak pidana yang
(restorasi) kerugian negara yang menjadi
dilakukan dengan penyuapan manipulasi dan
korban tindak pidana korupsi.
perbuatan-perbuatan melawan hukum yang
2. Untuk mendeskripsikan problematika asset merugikan atau dapat merugikan keuangan
recovery dalam pengembalian aset akibat negara atau perekonomian negara, merugikan
tindak pidana korupsi. kesejahteraan atau kepentingan rakyat
(Berdiansyah, 2017: 92).
D. Tinjauan Pustaka Lubis & Scott memandang korupsi adalah
1. Tindak Pidana Korupsi tingkah laku yang menguntungkan kepentingan
Korupsi merupakan salah satu jenis diri sendiri dengan merugikan orang lain,
kejahatan kerah putih (white collar crime) atau oleh para pejabat pemerintah yang langsung

350 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3 Desember 2018: 347 - 366


melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku landasan moral bagi justifikasi pengembalian aset
tersebut (Hafidz, 2015: 6). Klitgaard melihat negara seperti yang dikemukakan oleh Michael
korupsi sebagai tingkah laku yang menyimpang Levi, yaitu:
dari tugas resmi sebuah jabatan negara karena
a. Alasan pencegahan (prophylactic),
keuntungan status atau uang yang menyangkut yaitu untuk mencegah pelaku tindak
pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok pidana memiliki kendali atas aset-
sendiri) yang melanggar aturan (Hafidz, 2015: aset yang diperoleh secara tidak sah
untuk melakukan tindakan lain di
4). Secara umum korupsi dipahami sebagai suatu masa yang akan datang;
tindakan pejabat publik yang menyelewengkan
b. Alasan kepatutan (propriety), yaitu
kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, pelaku tindak pidana tidak punya
kroni, dan kelompok yang mengakibatkan hak yang pantas atas aset-aset yang
kerugian negara. diperoleh secara tidak sah tersebut;
c. Alasan prioritas/mendahului, yaitu
Korupsi adalah kejahatan kalkulasi yang karena tindak pidana memberi
menggunakan pikiran bukan didorong oleh prioritas kepada negara untuk
menuntut aset yang diperoleh secara
emosi. Pemahaman terhadap aspek-aspek
tidak sah daripada hak yang dimiliki
korupsi serta penyebabnya dalam konteks situasi oleh pelaku tindak pidana;
tertentu, menjadikan reformasi anti korupsi dapat
d. Alasan kepemilikan (proprietary),
dilakukan. Gerakan ini dilakukan melalui dua yaitu karena aset tersebut diperoleh
tahap. Pertama, merumuskan kebijaksanaan secara tidak sah, maka negara
memiliki kepentingan selaku pemilik
untuk menangani penyebab korupsi. Kedua, aset tersebut (Yanuar, 2015: 101).
menciptakan kemauan politik (political will)
yang sangat krusial bagi gerakan reformasi anti Pengembalian aset merupakan salah satu
korupsi (Nugroho, 2014: 541). Korupsi mesti tujuan pemidanaan yang baru dalam hukum
segera diatasi dengan berbagai cara yang rasional pidana pemberantasan tindak pidana korupsi dan
dan terukur (Santoso, 2013: 403). tindak pidana pencucian uang. Untuk menjelaskan
teori pengembalian aset perlu terlebih dahulu
dikemukakan pengertian dan prinsip-prinsip
2. Teori Pengembalian Aset
yang mendasari teori pengembalian aset.
Dalam tindak pidana korupsi sebagai
Menurut Matthew H Fleming, dalam dunia
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
internasional, tidak ada pengertian pengembalian
mewajibkan negara melalui penegak hukum
aset yang disepakati bersama. Fleming sendiri
untuk bertanggung jawab mengembalikan
tidak mengemukakan rumusan definisi, tetapi
kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat
menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah
tindak pidana korupsi yang didasarkan pada
proses pelaku-pelaku kejahatan dicabut, dirampas,
keadilan sosial. Teori dan tanggung jawab negara
dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana.
untuk mewujudkan keadilan sosial, memberikan
Pendapat Fleming tersebut lebih menekankan
justifikasi moral bagi negara untuk melakukan
pada tiga faktor, yaitu: pertama, pengembalian
upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak
aset sebagai proses pencabutan, perampasan,
pidana korupsi. Teori keadilan sosial memberikan
penghilangan; kedua, yang dicabut, dirampas

Problematika Asset Recovery dalam Pengembalian Kerugian Negara (Ade Mahmud) | 351
dan dihilangkan adalah hasil/keuntungan yang yang berakar pada esensi paling dalam dari
diperoleh dari tindak pidana korupsi; dan ketiga, hukum anti korupsi, terutama dalam fungsinya
salah satu tujuan pencabutan, perampasan, mengupayakan pengembalian aset hasil tindak
penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana pidana korupsi kepada negara, mencegah
tidak dapat menggunakan hasil/keuntungan- pelaku melakukan tindak pidana lain dengan
keuntungan dari tindak pidana sebagai alat/sarana menggunakan aset tersebut. Teori pengembalian
untuk melakukan tindak pidana lainnya (Yanuar, aset adalah teori hukum yang menjelaskan
2015: 102). sistem hukum pengembalian aset berdasarkan
prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan
Menurut Fleming, dari perspektif
kemampuan, tugas, dan tanggung jawab kepada
pemberantasan tindak pidana korupsi,
institusi negara dan institusi hukum untuk
pengembalian aset umumnya dianggap sebagai
memberikan perlindungan dan peluang kepada
alat atau sarana untuk memerangi tindak pidana
individu-individu dalam masyarakat untuk
yang berorientasi pada keuntungan, termasuk
mencapai kesejahteraan.
tindak pidana akuisitif (tindak pidana yang
didorong oleh nafsu keserakahan) dan tindak Teori ini dilandaskan pada prinsip dasar
pidana terorganisasi. Dalam praktik dan dalam “berikan kepada negara apa yang menjadi
istilah yang paling umum pengembalian aset haknya.” Dalam hak negara terkandung
hasil tindak pidana korupsi merupakan proses kewajiban yang menjadi hak individu warga
yang banyak tahapannya dan cabang dari negara, sehingga prinsip tersebut setara dengan
sejumlah kompleksitas, meliputi sejumlah prinsip “berikan kepada rakyat apa yang menjadi
lembaga, termasuk polisi (dalam pengertian yang haknya.” Pada hakiktanya adil bermakna
luas meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, menempatkan sesuatu pada tempatnya dan
kepabeanan, dan badan-badan investigasi memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
lainnya). haknya. (Ravena & Kristian, 2017: 179)

Konvensi Anti Korupsi Tahun 2003 Teori pengembalian aset merupakan


menunjukkan pengembalian aset merupakan upaya untuk menghadirkan keadilan ekonomi.
prinsip dasar dari konvensi. Berdasarkan Keadilan dalam konteks putusan hakim dapat
penelitian yang dilakukan, penulis menilai penting
dilihat dari dua sisi yaitu keadilan prosedural
untuk menciptakan dan merumuskan teori hukum dan keadilan substantif. Keadilan prosedural
yang disebut teori pengembalian aset, sebab adalah keadilan terkait dengan perlindungan hak
seperti yang dikatakan Oliver Wendel Holmes asasi manusia, dan hak-hak hukum para pihak
teori adalah bagian terpenting dari hukum, seperti
(tersangka, terdakwa, saksi, dan korban) dalam
layaknya seorang arsitek dalam membangun setiap proses tahapan peradilan yang diatur oleh
sebuah rumah, teori memberi bentuk, yang undang-undang. Keadilan substantif adalah
menurut Rudolf Von Jhering berakar pada esensi keadilan terkait dengan putusan hakim dalam
paling dalam dari hukum (Prasetyo, 2010: 88). memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang didasarkan pada pertimbangan
Teori pengembalian aset merupakan bagian
kejujuran, objektif, dan sesuai dengan hati nurani
terpenting dari hukum anti korupsi dalam bentuk
(Syamsudin, 2012: 41).

352 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3 Desember 2018: 347 - 366


3. Teori Penjatuhan Putusan Hakim pengetahuan hukum dan juga wawasan
keilmuan hakim dalam menghadapi suatu
Selanjutnya menurut Mackenzine (Manan,
perkara yang harus diputusnya.
2006: 7) ada beberapa teori yang dipergunakan
oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan d. Teori Pendekatan Pengalaman
putusan yaitu sebagai berikut:
Pengalaman dari seorang hakim
a. Teori Keseimbangan merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara
Teori keseimbangan menjelaskan bahwa
yang dihadapinya sehari-hari. Dengan
dalam menjatuhkan putusan hakim harus
pengalaman yang dimilikinya, seorang
mempertimbangkan keseimbangan antara
hakim dapat mengetahui bagaimana
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
dampak dari putusan yang dijatuhkan
undang dan kepentingan pihak-pihak yang
dalam suatu perkara pidana yang berkaitan
tersangkut dan berkaitan dengan perkara
dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
antara lain, seperti keseimbangan antara
pelaku dengan masyarakat, kepentingan e. Teori Ratio Decidendi
pelaku dan kepentingan korban.
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat
b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi yang mendasar dan mempertimbangkan
segala aspek yang berkaitan dengan pokok
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan
perkara yang disengketakan, kemudian
diskresi atau kewenangan dari hakim.
mencari peraturan perundang-undangan
Sebagai diskresi dalam menjatuhkan
yang relevan dengan pokok perkara yang
putusan hakim menyesuaikan dengan
disengketakan sebagai dasar hukum dalam
keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap
penjatuhan putusan, serta pertimbangan
pelaku tindak pidana, hakim akan melihat
hakim harus didasarkan pada motivasi
keadaan pihak terdakwa atau penuntut
yang jelas untuk menegakkan hukum dan
umum.
memberikan keadilan bagi para pihak
c. Teori Pendekatan Keilmuan yang berperkara. Pasal 53 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
bahwa proses penjatuhan pidana harus
menyatakan bahwa “dalam memeriksa dan
dilakukan secara sistematik dan penuh
memutuskan perkara, hakim bertanggung
kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya
jawab atas penerapan putusan yang
dengan putusan-putusan terdahulu dalam
dibuatnya.”
rangka menjamin konsistensi dari putusan
hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan Putusan tersebut harus memuat
semacam peringatan bahwa dalam pertimbangan hakim yang didasarkan pada
memutus suatu perkara, hakim tidak boleh alasan dan dasar hukum yang tepat dan
semata-mata atas dasar intuisi atau insting benar. Adanya Undang-Undang Nomor
semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu 48 Tahun 2009 membuat kebebasan

Problematika Asset Recovery dalam Pengembalian Kerugian Negara (Ade Mahmud) | 353
hakim menjadi semakin besar, atau dapat Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru
dikatakan bahwa hakim tidak hanya dapat yang memeriksa, mengadili, dan memutus kasus
menetapkan tentang hukumnya, tetapi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh M
hakim dapat menemukan hukumnya. seorang pegawai negeri yang menjabat sebagai
Kasubbag. Umum pada Dinas Kependudukan
Hakim dalam menjatuhkan putusan,
dan Pencatatan Sipil Kabupaten Indragiri Hulu
akan menggunakan berbagai pendekatan
periode tahun 2011.
sebagaimana diuraikan di atas dan
berdasarkan alat bukti yang cukup serta M adalah Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan
keyakinannya. Perlu diketahui bahwa yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan
sebelum mengeluarkan putusan, hakim harus Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan
mengetahui tingkat kesalahan pelaku dan Sipil Kabupaten Indragiri Hulu Nomor KEP/09/
akibat yang ditimbulkan dari kesalahannya. DKPS/XI/2011 tanggal 1 November 2011, yang
Asas “tidak dipidana jika tidak ada melakukan atau turut serta melakukan dengan
kesalahan,” merupakan dasar dipidananya saksi Z (penuntutan dilakukan secara terpisah/
si pembuat. Apabila pelaku tidak dapat mempunyai kekuatan hukum tetap/inkracht)
dipertanggungjawabkan, walaupun selaku Kepala Dinas Kependudukan dan
perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur Pencatatan Sipil Kabupaten Indragiri Hulu yang
rumusan delik, pelaku harus dilepaskan dari diangkat berdasarkan Surat Keputusan Bupati
segala tuntutan hukum. Orang yang dapat Indragiri Hulu Nomor 225/X/2010 tanggal 6
dituntut di muka pengadilan dan dijatuhi Oktober 2010 selaku Pengguna Anggaran, dalam
pidana haruslah melakukan tindak pidana Kegiatan Pengembangan dan Pengoperasian
dengan “kesalahan.” Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
(SIAK) Secara Terpadu Kabupaten Indragiri
II. METODE Hulu pada APBD Kabupaten Indragiri Hulu
tahun 2011.
Metode penelitian ini menggunakan
penelitian hukum normatif (yuridis normatif) M selaku terdakwa dituntut oleh jaksa
dengan menganalisis Putusan Nomor 62/Pid.Sus/ penuntut umum dengan Pasal 2 dan 3 Undang-
Tipikor/2013/PN.PBR sebagai objek penelitian Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
yang dikaji dengan menggunakan konsep, teori, diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, karena telah melakukan perbuatan
melawan hukum berupa penyalahgunaan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang
A. Kajian Putusan Nomor 62/Pid.Sus/
ada padanya karena jabatan atau kedudukan
Tipikor/2013/PN.PBR Kaitannya
yang dapat merugikan keuangan negara atau
dengan Pengembalian Kerugian Daerah
perekonomian negara.
Sebagai Korban Tindak Pidana Korupsi
Pemikiran yang berhubungan dengan
Perjalanan kasus ini dimulai pada tahun
perbuatan melawan hukum dengan kerugian
2013 di lingkungan Pengadilan Tindak Pidana

354 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3 Desember 2018: 347 - 366


keuangan negara selalu didasarkan pada prinsip, Bukti atau keterangan yang bersifat instansional
bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum akan lebih meyakinkan dibandingkan dengan
dan menimbulkan kerugian keuangan negara yang bersifat personal dan secara teori bukti itu
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian menunjukan adanya hubungan kausal dari sebab
itu karena kesalahannya untuk menggantikan ke akibat (Alkostar, 2008: 36).
kerugian keuangan negara tersebut. Menurut
Penentuan kerugian negara dalam praktik
Minarno dalam tindak pidana korupsi unsur
peradilan tindak pidana korupsi seringkali
melawan hukum adalah genus-nya, sedangkan
menimbulkan perdebatan. Penentuan ada atau
unsur menyalahgunakan wewenang adalah
tidaknya kerugian negara dan berapa jumlahnya,
species-nya. Dengan demikian, setiap perbuatan
dalam praktik masing-masing lembaga memiliki
penyalahgunaan wewenang sudah pasti melawan
perhitungan yang berbeda-beda. Perhitungan
hukum (Minarno, 2009: 16).
yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
Hubungan kausalitas antara perbuatan sering berbeda hasilnya dengan perhitungan
melawan hukum dan kerugian keuangan negara penyidik kejaksaan atau Komisi Pemberantasan
seringkali menjadi perdebatan antara jaksa Korupsi. Persoalannya lembaga mana yang dapat
penuntut umum dengan tim pembela dalam dijadikan acuan untuk menentukan kerugian
tindak pidana korupsi. Ilmu hukum mengenal negara.
bermacam-macam doktrin dan teori mengenai
Merujuk pada Undang-Undang Badan
hubungan kausalitas, seperti ajaran atau teori
Pemeriksa Keuangan dan Keputusan Presiden
conditio sine qua non dari Von Buri dan teori
Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
adequat. Teori conditio sine qua non menjelaskan
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi
hubungan yang sangat luas, sedangkan teori
dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
adequat akibat yang timbul harus seimbang
Departemen menentukan, bahwa yang menilai/
dengan perbuatan yang menjadi penyebabnya
menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan
(Latief, 2014: 299).
negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan
Penerapan hukum kerugian keuangan negara Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
dalam hubungan dengan tindak pidana korupsi Adapun perhitungan kerugian keuangan negara
yang harus dibuktikan adalah adanya kerugian sendiri bersifat kasuistis, atau dilihat kasus per
keuangan negara yang mempunyai hubungan kasus.
kausal dengan perbuatan terdakwa. Dalam
Badan Pemeriksa Keuangan bukanlah satu-
perspektif hakim, pembuktian adanya kerugian
satunya lembaga yang berwenang melakukan
keuangan negara didasarkan pada hal-hal yang
audit perhitungan kerugian keuangan negara
relevan secara yuridis yang muncul secara sah di
dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana
persidangan, antara lain perhitungan atau hasil
korupsi. Akan tetapi, perhitungan kerugian
audit investigasi dari pihak yang berkompeten,
keuangan negara juga dapat dilakukan oleh
misalnya Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan
ahli lainnya seperti akuntan publik, demikian
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, atau
juga Badan Pengawasan Kenuangan dan
instansi resmi yang memiliki keahlian dalam
Pembangunan atas permintaan dari penyidik.
hal menentukan kerugian keuangan negara.

Problematika Asset Recovery dalam Pengembalian Kerugian Negara (Ade Mahmud) | 355
Bahkan apabila penyidik dan jaksa penuntut Bahwa dalam pelaksanaan kegiatan
umum memiliki kemampuan untuk melakukan pengembangan dan pengoperasian KTP
SIAK ditemukan beberapa item pekerjaan
penghitungan, juga dapat menghitung sendiri dan pembelian alat yang sudah dianggarkan
kerugian negara akibat korupsi. ternyata tidak dilaksanakan oleh kontraktor
pelaksana, sementara dalam laporannya
Hal tersebut didasarkan pada Putusan alat-alat tersebut sudah dibeli dan dipasang.
Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012. Bahwa terdakwa M selaku Pejabat
Aswidjon menjelaskan putusan Mahkamah Pelaksana Kegiatan Teknis selaku panitia
penerima barang langsung menandatangani
Konstitusi itu membenarkan bahwa Komisi
berkas penerimaan barang yang sudah
Pemberantasan Korupsi bukan hanya dapat disiapkan pegawai Disdukcapil atas
berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa perintah Z tanpa melakukan verifikasi data
terlebih dahulu.
Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan dalam rangka pembuktian Bahwa menurut keterangan terdakwa
Z yang dilakukan penuntutan secara
tindak pidana korupsi, melainkan dapat terpisah, mantan Kadisdukcapil Kabupaten
pula berkoordinasi dengan instansi lain. Inhu mengakui bahwa dirinya bersama-
Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi bisa sama H selaku kontraktor sepakat untuk
mengurangi spesifikasi, yakni besi dan
membuktikan sendiri atau mengundang ahli. tinggi tower dari yang seharusnya 75
meter dan menggunakan besi 40 cm x 40
Penerapan hukum kerugian keuangan cm, sehingga pembangunan tower SIAK
negara dalam Putusan Nomor 62/Pid.Sus/ tidak sesuai spesifikasi yang ada dalam
kesepakatan.
Tipikor/2013/PN.PBR menurut penulis telah
terdapat kekhilafan secara nyata yang dilakukan Bahwa pada tanggal 19 Desember 2012
sesuai dengan Laporan Hasil Perhitungan
oleh hakim, karena menurut data dan informasi
Kerugian Keuangan Negara dari Badan
yang diperoleh dalam pertimbangan putusan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
tersebut menyatakan: Perwakilan Provinsi Riau Nomor SR-
4078/PW04/5/2012 yang ditandatangani
Bahwa akibat dari perbuatan terdakwa oleh M sebagai kepala perwakilan, K
M bersama-sama dengan saksi Z telah sebagai pembantu penanggung jawab,
mengakibatkan kerugian Keuangan Negara MH sebagai pengendali teknis, AS sebagai
Cq. Dinas Kependudukan dan Pencatatan ketua tim, dan HP sebagai anggota tim,
Sipil Kab. Indragiri Hulu sejumlah dengan kesimpulan sebagai berikut: jumlah
Rp960.386.000,- yaitu pada kegiatan kerugian negara atas dugaan tindak pidana
Belanja Modal Pengadaan Komputer korupsi sejumlah Rp960.386.000,- atau
untuk empat lokasi di Kec. Rengat, Kec. setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut.
Pasir Penyu, Kec. Peranap, Kec. Batang
Peranap dengan pagu anggaran sebesar Berdasarkan pertimbangan tersebut ada
Rp945.812.200,- (APBD murni tahun
beberapa fakta yang menunjukkan adanya
2011), terjadi kerugian negara sebesar
Rp533.136.000,- perbuatan pidana yang mengakibatkan kerugian
daerah yang muncul di persidangan yaitu:
Bahwa Belanja Modal Pengadaan Peralatan
Jaringan Komputer untuk empat lokasi
di Kec. Batang Gangsal, Kec. Lirik, Kec. 1. Beberapa item pekerjaan dan pembelian
Lubuk Batu Jaya dan Kec. SeiLala dengan alat sudah dianggarkan tetapi tidak
pagu anggaran sebesar Rp861.266.000,- dilaksanakan, sementara dalam laporan
(APBD perubahan tahun 2011) terjadi
kerugian negara sebesar Rp427.250.000,- item tersebut telah dibeli dan dipasang.

356 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3 Desember 2018: 347 - 366


2. Terdakwa M dengan sengaja langsung menunjukkan adanya perbuatan melawan
menandatangani dokumen penerimaan hukum berupa penyalahgunaan wewenang yang
barang/jasa tanpa melakukan verifikasi dilakukan terpidana M bersama-sama dengan
terhadap kebenarannya. Z Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kabupaten Indragiri Hulu periode tahun
3. Adanya pengurangan spesifikasi bangunan
2011, di mana M bertugas selaku Pejabat
tower dan bahan yang digunakan tidak
Pelaksana Teknis Kegiatan yang mengakibatkan
sesuai dengan kesepakatan.
kerugian keuangan negara secara nyata dan
4. Adanya laporan Badan Pengawasan pasti jumlahnya karena dalam laporan Badan
Keuangan dan Pembangunan Provinsi Pengawasan Keuangan dan Pembangunan nilai
Riau bahwa dugaan tindak pidana korupsi kerugiannya disebutkan secara jelas.
pembangunan tower dan komputer di
Problem asset recovery yang mengemuka
delapan kecamatan Kabupaten Indragiri
dalam putusan ini baik Z selaku Kepala Dinas
Hulu merugikan keuangan daerah sebesar
Indragiri Hulu maupun M selaku Pejabat
Rp960.386.000,-
Pelaksana Teknis Kegiatan telah dilakukan
Informasi mengenai fakta tersebut muncul penuntutan secara terpisah tidak dijatuhi pidana
dalam pertimbangan hakim dan diakui oleh uang pengganti, sebagaimana temuan Badan
terdakwa M, maka sudah sewajarnya informasi Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
ini menjadi bagian penting yang tidak bisa Provinsi Riau yang menunjukkan adanya
dipisahkan dalam kontruksi hukum yang dibuat kerugian APBD sejumlah Rp960.386.000,-.
oleh hakim dalam merumuskan putusannya. Padahal Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Proses pembuatan putusan pengadilan yang
Korupsi memberikan kewenangan bagi hakim
berkualitas selalu mencerminkan kepiawaian dan
untuk menjatuhkan pidana uang pengganti
kemampuan hakim dalam memutus perkara.
kepada terdakwa apabila terbukti secara sah dan
Putusan pengadilan yang berkualitas selalu
meyakinkan telah merugikan keuangan negara.
mencerminkan eksistensi bahwa hakim yang
memutus juga berkualitas. Bagi pencari keadilan Setiap putusan hakim secara yuridis formal
putusan pengadilan berkualitas adalah putusan tetap tidak dapat mengabaikan aspek prosedural,
yang dapat mewujudkan keadilan atau putusan namun yang terpenting dari itu semua adalah
yang mencerminkan rasa keadilan yang dapat lahirnya suatu putusan yang dapat mengantarkan
dilaksanakan dan diterima atau memberikan para hakim untuk sampai pada tujuan hukum yang
kepuasan pencari keadilan. sesungguhnya yaitu berkeadilan, bermanfaat, dan
berkepastian hukum. (Anshar, 2018 : 157)
Hakim dalam merumuskan putusan tidak
mempertimbangkan hasil perhitungan kerugian Menurut teori hukum pidana,
keuangan negara dari Badan Pengawasan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
Keuangan dan Pembangunan Provinsi Riau terpidana M adalah sebuah bentuk kesalahan,
Nomor SR-4078/PW04/5/2012. Laporan di mana kesalahan adalah salah satu dasar
ini merupakan bukti dokumen (surat) yang munculnya tuntutan pertanggungjawaban pidana

Problematika Asset Recovery dalam Pengembalian Kerugian Negara (Ade Mahmud) | 357
yang bersumber dari asas besar bahwa “geen Dengan pengalamannya seorang hakim
straf zonder schuld” atau (tiada pidana tanpa dapat mengetahui bagaimana dampak
kesalahan). Amar putusan berupa pemidanaan dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu
terhadap terpidana sudah dijatuhkan, tetapi perkara pidana yang berkaitan dengan
persoalan yang berkaitan dengan kerugian pelaku, korban maupun masyarakat.
ekonomi negara sebesar Rp 960.386.000,- tidak Penulis berpendapat bahwa hakim tidak
dipandang sebagai sebuah fakta persidangan menggunakan pengalaman dan instuisinya
yang mendukung hakim untuk menjatuhkan untuk mengetahui siapa yang menikmati
pidana uang pengganti. Patut dicatat bahwa aliran dana sebesar Rp960.386.000,-
dalam teori yang dikemukakan Mackenzine ada yang menyebabkan negara merugi, yang
beberapa pertimbangan yang wajib diperhatikan berdampak pada buruknya pelayanan
hakim sebelum menjatuhkan putusan antara lain: administrasi di delapan kecamatan yang
memiliki proyek pengadaan komputer dan
1. Faktor keseimbangan yang menjelaskan
pengadaan jaringan komputer di Kabupaten
bahwa dalam menjatuhkan putusan hakim
Indragiri Hulu.
harus mempertimbangkan keseimbangan
kepentingan pihak-pihak yang ada dalam Dikaji dari perspektif teori kausalitas
perkara tersebut seperti pelaku, korban. dan (teori sebab akibat) munculnya kerugian
masyarakat. Penulis melihat dalam Putusan keuangan daerah di Kabupaten Indragiri Hulu
Nomor 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR, disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang
hakim mengabaikan aspek keseimbangan yang dilakukan oleh terpidana sebagai pejabat
kepentingan pelaku dan korban (Kabupaten yang berwenang mengatur proyek pengadaan
Indragiri Hulu), karena mengabaikan fakta komputer dan pengadaan alat jaringan komputer
sekaligus bukti surat berupa laporan Badan (tower), sehingga sepatutnya terpidana harus
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dapat mempertanggungjawabkan dampak dari
tentang adanya kerugian yang riil. Padahal tindak pidana korupsi bukan hanya sebatas
seharusnya bukti tersebut menjadi dasar pidana penjara dan denda melainkan memulihkan
hakim untuk menjatuhkan putusan pidana (merestorasi) kerugian materiil Kabupaten
uang pengganti walaupun terpidana tidak Indragiri Hulu.
menikmatinya, karena undang-undang
Upaya pengembalian aset (asset recovery)
tidak mensyaratkan terpidana harus
tidak nampak dalam Putusan Nomor 62/Pid.
menikmatinya. Hal ini sebagai konsekuensi
Sus/Tipikor/2013/PN.PBR. Pengembalian aset
hukum akibat perbuatan melawan hukum
merupakan suatu upaya pemulihan hak korban
yang diperbuatnya.
dalam hal ini Kabupaten Indragiri Hulu untuk
2. Faktor pengalaman seorang hakim menerima kembali kerugian materiil yang
semestinya menggunakan pendekatan diderita pasca terjadi tindak pidana korupsi.
pengalaman untuk mengetahui modus Pengembalian aset berakar dari keadilan
dan strategi terpidana untuk mengalihkan restorative karena paradigma retributive justice
aset hasil korupsi agar ia lolos dari saat ini sudah mulai banyak ditinggalkan.
kewajiban membayar uang pengganti. Keadilan restorative menuntut adanya pemulihan

358 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3 Desember 2018: 347 - 366


hak (keadaan) seperti semula seperti sebelum pengambilan putusan. Padahal kemampuan
terjadinya korupsi. Putusan pengadilan untuk merekonstruksi fakta dalam menerapkan hukum
memulihkan keadaan yang semula tidak adil, yang dituangkan dalam putusan akan memberikan
karena pelanggaran hukum ke keadaan semula cerminan eksistensi hakim dalam merekonstruksi
(restitutio in integrum) itulah puncak dari keadilan dan kemanfaatan yang dibutuhkan oleh
penegakan hukum (Triningsih, 2015: 136). masyarakat Kabupaten Indragiri Hulu.

Instrumen yang digunakan dalam Menakar nilai keadilan pengembalian


pengembalian keadaan seperti semula ini aset (asset recovery) dalam Putusan Nomor 62/
melalui pidana tambahan berupa pidana uang Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR masih jauh dari
pengganti. Pidana uang pengganti dipandang harapan pencari keadilan (justitiabelen), karena
sebagai sebuah kemajuan dari segi politik kerugian yang hilang itu tidak dapat dikembalikan,
hukum karena menunjukan adanya kemauan padahal sangat berkaitan dengan kepentingan
negara untuk mengembalikan uang negara yang hajat hidup orang banyak di Kabupaten Indragiri
hilang/berkurang akibat tindak pidana korupsi Hulu. Dengan demikian harapan pengembalian
(Mahmud, 2017: 139). Meskipun demikian aset dalam putusan hakim untuk mengembalikan
pengembalian aset sulit dilaksanakan karena hak-hak korban (Kabupaten Indragiri Hulu) yang
hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti menyangkut pelayanan administrasi di berbagai
atau dijatuhkan, tetapi disubsiderkan dengan kecamatan belum terpenuhi.
pidana kurungan.

Putusan yang berorientasi pada B. Problematika Pemulihan Aset dalam


pengembalian aset seharusnya dapat memenuhi Pengembalian Aset Akibat Tindak
tuntutan korban yang nyata-nyata dirampas tanpa Pidana Korupsi
hak dan melawan hukum. Setidaknya ada tiga hal Pembuatan putusan oleh hakim merupakan
menjadi tuntutan pengembalian aset, yaitu: proses yang kompleks dan penuh dengan
1. Pemulihan kerugian materiil akibat tindak dinamika dan problematika sehingga memerlukan
pidana korupsi; pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan.
Menurut Alkostar, sebagai figur sentral penegak
2. Putusan hakim mampu menghadirkan hukum para hakim memiliki kewajiban moral
keseimbangan antara kepentingan pelaku, dan tanggung jawab profesional untuk menguasai
korban, dan masyarakat; knowledge, memiliki skill berupa legal technical
capacity. Dengan adanya kecukupan pengetahuan
3. Putusan hakim dapat memberikan manfaat
dan keterampilan teknis para hakim dalam
secara ekonomis bagi masyarakat.
memutus suatu perkara, akan dapat memberikan
Melihat beberapa pertimbangan yang pertimbangan hukum (legal reasoning) yang
menjadi sumber problem dalam Putusan Nomor tepat dan benar. Jika suatu putusan pengadilan
62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR, penulis tidak tidak cukup mempertimbangkan (onvoldoende
menemukan adanya kemahiran hakim dalam gemotiveerd) tentang hal-hal yang relevan
merekonstruksi fakta dalam persidangan dengan secara yuridis dan sah muncul di persidangan

Problematika Asset Recovery dalam Pengembalian Kerugian Negara (Ade Mahmud) | 359
maka akan terasa adanya kejanggalan yang akan korupsi yang menegaskan sebagai berikut:
menimbulkan matinya akal sehat (Syamsudin, (1) Selain pidana tambahan sebagaimana
2012: 41). Lebih jauh dimungkinkan adanya dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
dugaan judicial corruption (Rahman, 2016: Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan
adalah:
4521).
a. Perampasan barang bergerak yang
Problematika yang muncul dalam upaya berwujud atau yang tidak berwujud
pemulihan aset (asset recovery) dalam perkara atau barang tidak bergerak yang
digunakan untuk atau yang diperoleh
tindak pidana korupsi adalah mengenai putusan dari tindak pidana korupsi, termasuk
hakim yang berupaya menjatuhkan pidana perusahaan milik terpidana di mana
tindak pidana korupsi dilakukan,
tambahan berupa pembayaran uang pengganti,
begitu pula harga dari barang
akan tetapi selalu dibenturkan dengan keadaan yang menggantikan barang-barang
ekonomi terpidana yang tidak mampu untuk tersebut.
b. Pembayaran uang pengganti yang
membayar lunas uang pengganti. Akibatnya jumlahnya sebanyak-banyaknya
pidana uang pengganti sebagai upaya asset dengan harta benda yang diperoleh
recovery disubsiderkan dengan pidana penjara, dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagian
sehingga putusan hakim tidak dapat mewujudkan perusahaan untuk waktu yang paling
harapan mencapai keadilan ekonomi. lama satu tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian
Menurut data Litbang Komisi hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan
Pemberantasan Korupsi nilai kerugian negara
tertentu yang telah atau dapat
akibat tindak pidana korupsi di Indonesia diberikan oleh pemerintah kepada
selama tahun 2003-2015 mencapai Rp153,01 terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang
triliun. Sedangkan jumlah hukuman finansial pengganti sebagaimana dimaksud dalam
yang berhasil mengembalikan kerugian ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu
negara berupa denda, penyitaan aset, dan satu bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum
pembayaran uang pengganti hanya terkumpul tetap, maka harta bendanya dapat disita
Rp15.957.821.529.773,- atau sekitar 10,4%. oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi
Total kerugian negara itu berasal dari 2.321 uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta
kasus yang melibatkan 3.109 terdakwa. Data ini benda yang mencukupi untuk membayar
menunjukkan bahwa hukuman finansial kepada uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana
para terpidana korupsi cenderung sub optimal,
dengan pidana penjara yang lamanya
lebih rendah dari kerugian negara yang muncul tidak melebihi ancaman maksimum dari
akibat korupsi (Mas, 2015: 146). pidana pokoknya sesuai ketentuan dalam
undang-undang ini dan lamanya pidana
Secara normatif ketentuan pembayaran tersebut sudah ditentukan dalam putusan
pengadilan.
pidana uang pengganti diatur dalam Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Kaidah ini menunjukkan bahwa dasar
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang hukum upaya pengembalian kerugian negara
mengatur tentang pidana tambahan sebagai usaha melalui pembayaran pidana uang pengganti
untuk pengembalian kerugian negara akibat telah ada. Kenyataan dalam praktik peradilan

360 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3 Desember 2018: 347 - 366


menunjukkan bahwa hakim telah menjatuhkan menjadi spirit of norm dalam undang-undang
putusan pembayaran pidana uang pengganti korupsi. Salah satu asas tidak tertulis yang
sesuai dengan kerugian keuangan negara yang menjiwai undang-undang korupsi adalah asas
ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi, namun “pengembalian kerugian negara (assetrecovery)”
saat akan dieksekusi jaksa, terpidana mengakui (Pardede, 2015: 236).
dirinya tidak memiliki harta yang cukup untuk
Realitas upaya pemulihan kerugian
membayar pidana uang pengganti, pada akhirnya
negara (asset recovery) tidak senafas dengan
pidana uang pengganti diganti dengan pidana
teori pengembalian aset (asset recovery) yang
penjara pengganti yang lamanya tidak melebihi
dilandaskan pada prinsip dasar bahwa “berikan
pidana pokok yang dijatuhkan seperti ditentukan
kepada negara apa yang menjadi haknya.” Dalam
dalam Pasal 18 ayat (3) di atas. Putusan pengadilan
hak negara terkandung kewajiban yang menjadi
seperti ini tidak mungkin mampu memulihkan
hak individu warga negara, sehingga prinsip
kerugian negara (asset recovery) akibat tindak
tersebut setara dengan prinsip “berikan kepada
pidana korupsi dan tidak akan menimbulkan efek
rakyat apa yang menjadi haknya.”
jera.
Barda Nawawi Arief memaparkan
Putusan pengadilan untuk pidana uang
bahwa strategi kebijakan pemidanaan dalam
pengganti selama ini mengacu pada Pasal 18
kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
memperhatikan hakikat permasalahan. Bila
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bila
hakikat permasalahannya lebih dekat dengan
dilihat dari paham positivistik-legalistik tidak
masalah-masalah di bidang hukum perekonomian
menimbulkan persoalan karena hakim telah
maka lebih diutamakan penggunaan pidana
melaksanakan norma yang ada dalam undang-
denda atau semacamnya. Penetapan sanksi
undang dan telah memberikan kepastian hukum
pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan
sebagaimana tujuan dari paham positivisme,
rasional. Bila berdasar pada konsep rasional ini,
namun jika dilihat dari paham sosiologis praktik
maka kebijakan penetapan sanksi pidana tidak
ini menjadi suatu problematika pemidanaan
terlepas dari penetapan tujuan yang ingin dicapai
karena pembayaran uang pengganti yang
oleh kebijakan kriminal secara keseluruhan
disubsiderkan dengan pidana penjara tidak
(Arief, 2009: 13).
memberikan keadilan ekonomi dan kemanfaatan
bagi kepentingan negara. Sekalipun pelaku Berdasarkan pendapat di atas, maka
menjalani hukuman penjara, tetapi asetnya tidak sepatutnya sanksi pidana yang diterapkan bagi
berhasil dikembalikan pada negara, sehingga terpidana korupsi adalah pidana yang berorientasi
negara tetap mengalami kerugian. pada kerugian ekonomi negara, yaitu:

Undang-Undang Pemberantasan Tindak 1. Perampasan barang bergerak yang berwujud


Pidana Korupsi dibentuk berdasarkan asas atau yang tidak berwujud atau barang tidak
yang melandasi dan menjiwai lahirnya berbagai bergerak yang digunakan untuk atau yang
norma dalam undang-undang korupsi. Asas diperoleh dari tindak pidana korupsi;
merupakan norma hukum tidak tertulis yang
2. Pembayaran uang pengganti; dan
hidup dan berkembang di dalam masyarakat dan

Problematika Asset Recovery dalam Pengembalian Kerugian Negara (Ade Mahmud) | 361
3. Penutupan seluruh atau sebagian dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal
perusahaan. (Setiadi, 2010: 154).

Jenis pidana semacam ini akan lebih Problematika asset recovery tidak hanya
menghadirkan keadilan ekonomi dan kemanfaatan berhenti sampai pen-subsideran pidana uang
ekonomi bagi negara yang menderita kerugian pengganti, tetapi juga terjadi ketidakseimbangan
materiil. Namun demikian Pasal 18 ayat antara pidana uang pengganti yang harus dibayar
(3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan pidana subsider yang dijalani. Penyebab
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi munculnya ketidaksebandingan uang pengganti
memberikan ruang bagi terpidana untuk lolos dengan pidana subsider karena tidak adanya
dari kewajiban membayar uang pengganti. acuan yang menjadi panduan hakim dalam
memutuskan besar kecilnya pidana subsider yang
Ruang ini yang menjadi problematika
dijatuhkan, maka subjektivitas hakim merupakan
dalam upaya pemulihan asset recovery karena
satu-satunya ukuran. Realitas ini menimbulkan
secara empiris muncul berbagai putusan hakim
kekhawatiran terjadinya abuse of power akibat
yang disubsiderkan dengan pidana penjara,
adanya discretionary power yang sedemikian
padahal sesungguhnya terpidana memiliki uang/
besar akibat jaminan yang diberikan undang-
aset tersembunyi yang bisa dibayarkan untuk
undang atas kebebasan hakim dalam menangani
mengganti kerugian keuangan negara.
perkara pidana menjadi demikian terbuka (Zulfa,
Uang haram yang berasal dari kejahatan 2011: 40).
korupsi tersebut praktiknya banyak disamarkan
Beberapa contoh putusan Pengadilan
asal-usulnya untuk menghindari tindakan dari
Tindak Pidana Korupsi yang menunjukkan
otoritas yang berwenang, terutama memasukkan
ketidaksebandingan antara pidana uang pengganti
uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial
dengan pidana subsider yang dijalani, seperti
system) sehingga uang tersebut dapat dikeluarkan
terlihat pada bagan di bawah ini:

Tabel 1. Ketidaksebandingan Uang Pengganti dengan Pidana Subsidernya

No. Putusan Uang Pengganti Pidana Penjara Pengganti

1. Nomor 746 K/Pid.Sus/2010 Rp115.381.189,- 6 bulan

2. Nomor 17 K/Pid.Sus/2010 Rp148.145.833,- 2 bulan

3. Nomor 2790 K/Pid.Sus/2011 Rp150.000.000,- 3 bulan

4. Nomor 1087 K/Pid.Sus/2012 Rp150.000.000,- 5 bulan

5. Nomor 2360 K/Pid.Sus/2013 Rp155.000.000,- 15 bulan

6. Nomor 11 K/Pid.Sus/2014 Rp599.550.000,- 8 bulan

7. Nomor 1/K/Pid.Sus/2015 Rp681.045.454,- 6 bulan

Sumber: Sistem Informasi Mahkamah Agung Tahun 2015

362 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3 Desember 2018: 347 - 366


Disparitas ini memperlihatkan bahwa pola berpikir legal positivism, dan jarang sekali
penjatuhan uang pengganti dalam jumlah besar ditemukan hakim yang mengikuti cara berfikir
tidak serta merta diikuti dengan pidana penjara non-positivistik dalam memutuskan perkara
pengganti dalam kurun waktu yang sepadan (Syamsudin, 2011: 173). Itu sebabnya angka
dengan nilai uang pengganti. Begitu pula tindak pidana korupsi tetap tinggi dengan nilai
sebaliknya, jika uang pengganti yang dijatuhkan kerugian negara cukup besar karena putusan
cukup besar namun pidana penjara pengganti pengadilan tidak memberikan efek jera untuk
yang ditetapkan tidak seimbang, bahkan lebih bagi terpidana korupsi.
rendah dari uang pengganti yang jumlahnya
lebih kecil dalam putusan yang lain. Contohnya IV. KESIMPULAN
(lihat tabel 1) pada Putusan Nomor 746 K/Pid.
Sus/2010, nilai uang penggantinya sebesar 1. Putusan Nomor 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/
Rp115.381.189,- pidana subsidernya enam bulan, PN.PBR belum mampu mengembalikan
sedangkan Putusan Nomor 17 K/Pid.Sus/2010 kerugian negara/daerah sebagai korban
nilai uang penggantinya Rp148.145.833,- tetapi karena tidak memberikan pemulihan
pidana subsidernya jauh lebih ringan yaitu dua (restorasi) terhadap kerugian materiil yang
bulan, padahal jumlah uang penggantinya lebih diderita Dinas Kependudukan dan Catatan
besar dari Putusan Nomor 746 K/Pid.Sus/2010. Sipil Kabupaten Indragiri Hulu. Dalam
Begitu pula pada Putusan Nomor 2360 K/Pid. pertimbangannya hakim mengabaikan
Sus/2013, nilai uang pengganti Rp155.000.000,- laporan hasil investigasi Badan Pengawasan
pidana subsidernya 15 bulan, sedangkan Putusan Keuangan dan Pembangunan yang
Nomor 11 K/Pid.Sus/2014 nilai uang pengganti menunjukkan adanya kerugian keuangan
Rp599.000.000,- pidana subsidernya lebih ringan daerah secara riil dan pasti jumlahnya
hanya delapan bulan. sebesar Rp 960.386.000,- padahal secara
kausalitas kerugian tersebut muncul karena
Pidana subsider selama ini tidak adanya perbuatan melawan hukum berupa
mengandung ukuran yang konsisten antara satu penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
perkara dengan perkara lain, sehingga disparitas terdakwa M dan sebagai fakta persidangan
yang lebar berpotensi menimbulkan pilihan bagi yang seharusnya menjadi dasar penjatuhan
terpidana untuk memilih tambahan pidana penjara pidana uang pengganti, tetapi majelis
ketimbang mengembalikan uang negara yang hakim hanya menjatuhkan pidana penjara
dikorupsi (Munzil et al, 2015: 29-30). Putusan dan denda. Hakim dalam pertimbangannya
di atas menunjukkan terjadi ketidaksebandingan tidak melihat hak ekonomi korban secara
antara pidana uang pengganti dengan pidana luas yang berkaitan langsung dengan
subsider yang dijalani terpidana. kepentingan pelayanan masyarakat di Kec.
Putusan ini juga menggambarkan Rengat, Kec. Pasir Penyu, Kec. Peranap,
problematika proses asset recovery yang Kec. Batang Peranap, Kec. Batang Gangsal,
dilakukan penegak hukum belum menunjukkan Kec. Lirik, Kec. Lubuk Batu Jaya, dan Kec.
hasil yang maksimal, karena adanya SeiLala.
kecenderungan umum para hakim mengikuti

Problematika Asset Recovery dalam Pengembalian Kerugian Negara (Ade Mahmud) | 363
2. Problematika pemulihan aset (asset pada problematika yuridis Pasal 18 ayat
recovery) dalam putusan pengadilan (3) Undang-Undang Pemberantasan
tindak pidana korupsi dihadapkan pada Tindak Pidana Korupsi yang membolehkan
realitas ketidakmampuan terpidana untuk hakim untuk mensubsiderkan pidana
membayar pidana uang pengganti yang uang pengganti dengan pidana penjara,
secara normatif dimungkinkan dalam dan realitasnya terpidana lebih memilih
Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor pidana subsider dibandingkan harus
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan mengembalikan kerugian keuangan
Tindak Pidana Korupsi. Kenyataannya negara. Mengatasi problem tersebut
masih ada aset tersembunyi milik terpidana disarankan hakim agar berhukum progresif
yang belum dilakukan penyitaan oleh dengan melakukan penemuan hukum
penegak hukum. Realitas ini tidak sejalan (rechtsvinding) atau terobosan hukum
dengan teori pengembalian aset (asset (rule breaking) untuk mengatasi kekakuan
recovery) yang setia pada prinsip “berikan hukum positif yang didasarkan pada
kepada negara apa yang menjadi haknya.” kejujuran, kemanfaatan, dan keadilan bagi
Akibatnya keadilan ekonomi tidak bisa pencari keadilan (justitiabelen).
dicapai karena terpidana memilih menjalani
pidana subsider dan negara tetap merugi.
Selain itu, terjadi ketidaksebandingan
antara pidana uang pengganti yang harus DAFTAR ACUAN
dibayar dengan pidana subsider yang
Alfitra. (2012). Hukum pembuktian dalam beracara
dijalani.
pidana, perdata & korupsi di Indonesia.
Jakarta: Raih Asa Sukses.
V. SARAN
Alkostar, A. (2008, Oktober). Kerugian keuangan
1. Hakim sebagai insan kekuasaan yudikatif negara dalam perspektif tindak pidana korupsi.
menjadi ujung tombak dalam memeriksa, Majalah Hukum Varia Peradilan, XXIII(275),
mengadili, dan memutus perkara tindak 33-41.
pidana korupsi. Demi mengembalikan
Anshar. (2018, Agustus). Infra petita putusan
kerugian negara disarankan kepada hakim pengadilan tindak pidana korupsi yang
sebelum memutus agar menggunakan menerobos ketentuan pemidanaan minimum.
pendekatan keseimbangan yang mendalam, Jurnal Yudisial, 11(2), 151-170.
bukan hanya menjatuhkan pidana penjara
dan denda, tetapi juga memperhatikan Arief, B.N. (2009, Desember). Pembaruan penegakan
hukum dengan nilai-nilai moral religius.
kepentingan ekonomi negara sebagai korban
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
karena berkaitan dengan kepentingan hajat
Menembus Kebuntuan Legal Formal Menuju
hidup masyarakat luas.
Pembangunan Hukum dengan Pendekatan
2. Upaya memulihkan kerugian keuangan Hukum Progresif. Semarang: FH Undip.
negara (asset recovery) hakim dihadapkan
Berdiansyah. (2017, Desember). Analisis yuridis

364 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3 Desember 2018: 347 - 366


terhadap pengadaan barang & jasa guna Tidak Dipublikasi.
mencegah korupsi. Jurnal Integritas, 3(2), 79-
Prasetyo, T. (2010). Kriminalisasi dalam hukum
104.
pidana. Bandung: Nusa Media.
Fuady, M. (2004). Anatomi kejahatan kerah putih.
Rahman, A. (2016, Mei). Penguatan lembaga
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Komisi Yudisial sebagai upaya mencegah &
__________. (2010). Dinamika teori hukum. Bogor: menanggulangi judicial corruption lembaga
Ghalia Indonesia. peradilan. Jurnal Simbur Cahaya, XXIII(2),
4518-4539.
Hafidz, J. (2015). Korupsi dalam perspektf HAM.
Jakarta: Sinar Grafika. Ravena, D., & Kristian. (2017) Kebijakan kriminal.
Jakarta: Prenada Media Group.
Latief, A. (2014). Hukum administrasi dalam tindak
pidana korupsi. Jakarta: Prenada Media Group. Rifa’i, A. (2014). Penemuan hukum oleh hakim
dalam perspektif hukum progresif. Jakarta:
Mahmud, A. (2017 Desember). Dinamika pembayaran
Sinar Grafika.
uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.
Jurnal Mimbar Justitia, 3(2), 137-156. Santoso, T. (2013, September). Menguak relevansi
ketentuan gratifikasi di Indonesia. Jurnal
Manan, B. (2006, Agustus). Hakim & Pemidanaan.
Dinamika Hukum, 13(3), 402-414.
Majalah Hukum Varia Peradilan, 249, 7-12.
Setiadi, E. (2010). Hukum pidana ekonomi.
Mas, M. (2015). Pemberantasan tindak pidana
Yogyakarta: Graha Ilmu.
korupsi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Shoim, M. (2009). Laporan penelitian individual
Minarno, B. (2009). Penyalahgunaan wewenang
(Pengaruh pelayanan publik terhadap tingkat
& tindak pidana korupsi dalam pengelolaan
korupsi pada lembaga peradilan di Kota
keuangan daerah. Jakarta: Laksbang
Semarang). Semarang: Pusat Penelitian IAIN
Mediatama.
Walisongo.
Munzil, F., et al. (2015, Januari). Kesebandingan
Sinta, A. (2017, Mei). Pertanggungjawaban pidana &
pidana uang pengganti & pengganti pidana
pemidanaan terhadap pelaku pedofilia dalam
uang pengganti dalam rangka melindungi
hukum pidana Indonesia. Jurnal Magister
hak ekonomi negara. Jurnal Ius Quia Iustum,
Hukum Udayana, 6(1), 23-36.
22(1), 25-53.
Sutatiek, S. (2013). Menyoal akuntabilitas moral
Nugroho, E. (2014, September). Pemanfaatan
hakim pidana. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
teknologi informasi dalam rangka memberantas
tindak pidana korupsi secara elektronik. Jurnal Syamsudin, M. (2011, Januari). Rekonstruksi pola
Dinamika Hukum, 14(3), 539-546. pikir hakim dalam memutuskan perkara korupsi
berbasis hukum progresif. Jurnal Dinamika
Pardede, R. (2015, Februari). Pengembalian
Hukum, 11(1), 11-21.
kerugian keuangan negara ditinjau dari tujuan
pembentukan Undang-Undang Nomor 31 __________. (2012, April). Keadilan subtantif yang
Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. terabaikan dalam sengketa sita jaminan. Jurnal
Disertasi Pascasarjana Unisba. Bandung: Yudisial, 5(1), 36-50.

Problematika Asset Recovery dalam Pengembalian Kerugian Negara (Ade Mahmud) | 365
Triningsih, A. (2015, Maret). Pengadilan sebagai
lembaga penegakan hukum. Jurnal Konstitusi,
12(1), 134-153.

Yanuar, P. (2015). Pengembalian aset hasil korupsi.


Bandung: PT Alumni.

Zulfa, A. (2011). Paradigma pergeseran pemidanaan.


Bandung: CV Lubuk Agung.

366 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3 Desember 2018: 347 - 366

Anda mungkin juga menyukai