PHPT Lada
PHPT Lada
FAKULTAS PERTANIAN
Disusun oleh :
PRODI: AGROTEKNOLOGI
KELAS: D
KELOMPOK 8
Kebijakan Pemerintah dalam PHPT pada Komoditas Lada
Tanaman lada (Piper nigrum, L) merupakan salah satu komoditas ekspor tradisional
dan merupakan produk tertua dari rempah-rempah yang memiliki peluang strategis dalam
agribisnis perkebunan. Untuk mempertahankan kedudukan lada sebagai komoditas ekspor,
upaya antisipatif yang dilakukan dalam agribisnis lada tidak hanya berhenti pada peningkatan
produksi dan produktivitas melainkan lebih difokuskan pada perbaikan teknologi budidaya dan
mutu lada yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Lada juga merupakan salah
satu komoditas subsektor perkebunan yang telah memberikan kontribusi nyata sebagai sumber
devisa, penyedia lapangan kerja, dan sumber pendapatan petani. Luas areal perkebunan lada
pada tahun 2009 mencapai 191,54 ribu hektar yang tersebar di 29 provinsi dengan produksi
84,51ribu ton (Risfaheri. 2012).
Pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia akan diharapkan pada berbagai pilihan.
Bila Sumber daya tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan produk-produk ekspor, maka
pilihan akan Jatuh pada produk yang memiliki keunggulan komparatif tinggi, yaitu produk
yang membutuhkan Sumber daya dalam negeri minimum tetapi menghasilkan devisa
maksimum. Menurut Zaubin dan P. (1996) budidaya lada di Indonesia sampai saat ini
umumnya menggunakan tiang panjat, sehinga memerlukan biaya mahal perawatan intensif.
Bibit lada biasa ditanam petani bersal dari bibit asal sulur panjat. Penanaman lada dengan cara
ini memerlukan tiang panjat baik tiang panjat hidup seperti pohon dadap, gamal, kapuk, pinang.
Beberapa sentra produksi lada adalah Bangka belitung, lampung, Kalimantan timur, Sumatera
selatan, Sulawesi selatan.
Secara umum, para petani komoditas perkebunan rakyat (kopi, lada dan teh) memiliki
karakteristik yaitu, skala pemilikan lahan yang relatif sempit dan lokasi usahatani yang
terpencar dan kurangnya dukungan sarana/ prasarana, modal dan keterampilan yang terbatas,
serta rendahnya akses pasar. Keterbatasan yang dimiliki petani tersebut menyebabkan belum
optimalnya tingkat produksi dan produktivitas serta mutu produk yang belum sesuai dengan
tuntutan pasar. Masalah lainnya dalam peningkatan produktivitas adalah adanya serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT) dan belum berkembangnya kelembagaan petani.
Menurut Suryana (2004), agribisnis perkebunan masih harus lebih ditingkatkan antara lain
karena produktivitas komoditas dan lahan perkebunan belum sepenuhnya menerapkan
teknologi rekomendasi seperti: varietas, pemeliharaan berupa pemupukan dan penerapan
pengendalian hama terpadu (PHT), cara panen, sistem dan pola penguasaan perkebunan secara
efektif.
Dalam pengertian klasik PHT adalah suatu sistem pengelolaan populasi hama yang
memanfaatkan semua teknik pengendalian yang sesuai, sekompatibel mungkin dengan tujuan
untuk mengurangi populasi hama dan mempertahankannya pada suatu aras yang berada di
bawah aras populasi hama yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi. Setelah
penyelenggaraan pelatihan PHT secara terprogram, paradigma PHT yang berkembang adalah
PHT Ekologi. Rachmat, dkk (2004) menyatakan bahwa dalam PHT ekologi proses
pengendalian alami hama dan pengelolaan ekosistem lokal oleh petani ditempatkan sebagai
posisi sentral. Segala kegiatan pengelolaan ekosistem pertanian dan pengendalian hama
sepenuhnya didasarkan pada pengetahuan dan informasi tentang dinamika ekosistem termasuk
populasi musuh alami. Di dalam paradigma ini secara jelas tidak mengembangkan perlunya
dilakukan intervensi pengendalian dengan pestisida kimia sintetik. Pengambilan keputusan
pengelolaan ekosistem kebun termasuk pengendalian hama harus didasarkan pada hasil analisis
agro-ekosistem yang dinamis.
Salah satu kebijakan mendukung upaya tersebut dilakukan melalui Pengendalian Hama
Terpadu (PHT). Kegiatan PHT di Perkebunan khususnya pada komoditas lada telah
disosialisasikan semenjak tahun Anggaran 1997/1998 yang diawali dengan penyelenggaraan
SL- PHT. Sebagian besar petani peserta SLPHT terdiri dari petani yang memiliki kebun lada
yang sudah berproduksi baik di Bangka Belitung maupun di Lampung. Kegiatan SL-PHT telah
dimulai semenjak tahun 1997 melalui beberapa tahapan yaitu: (a) pelatihan untuk Pemandu
Lapang (PL); (b) Petani Try out dan Murni, dan (c) Petani tindak lanjut (petani alumni SL-
PHT).
Risfaheri. 2012. Diversifikasi Produk Lada (Piper nigrum) untuk Peningkatan Nilai Tambah.
Rachmat, H., Saktyanu, K. D., Tjetjep N., dan Roosgandha, E. 2004. Perspektif Penerapan
Pengendalian Hama Terpadu dalam Usahatani Lada. Bogor : Balai Pengkajian dan
Suryana, 2004. Dukungan IPTEK dalam Pengembangan Industri perkebunan. Bogor : Badan
Litbang Pertanian.
Zaubin, R., dan P, Y. 1996. Jenis Tegakan dan Produktivitas Tanaman Lada. Bogor : Balitbang
- Deptan.