PEMBUKAAN
Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan
kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hokum kepada setiap anggotanya
dalam menjalankan profesinya.
Penata Anestesi sebagai profesi yang telah diakui keberadaannya di Indonesia
yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hokum, undang-undan
dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian
Penata Anestesi yang berpegang teguh kepada Kemandirian (Otonomy), Berbuat Baik
(Beneficience), Keadilan (Justice), Prinsip Tidak Merugikan (non-maleficence),
Kejujuran (Veracity), Menepati Janji (Fidelity), Kerahasiaan (Confidentiality), dan
Akuntabilitas ( Accountability).
Bahwa profesi Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) adalah merupakan salah
satu dari jenis tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan berupa asuhan kepenataan anestesi yang sejajar dengan tenaga
kesehatan lainnya. Oleh karena itu, satu sama lainnya harus saling menghargai antara
teman sejawat dan juga antara para pemberi pelayanan kesehatan khususnya pemberi
pelayanan keanestesian.
Tanggung jawab utama Penata Anestesi adalah memberikan dan berpartisipasi
dalam penyediaan jasa pelayanan anestesi. Penata Anestesi dalam menjalankan praktik
keprofesiannya berwenang untuk melakukan pelayanan asuhan kepenataan anestesi pada;
Praanestesi, Intraanestesi dan Pascaanestesi. Selain wewenang tersebut Penata Anestesi
juga dapat melaksanakan pelayanan anestesi berupa; di bawah pengawasan atas
pelimpahan wewenang secara mandate dari dokter spesialis anestesiologi atau dokter lain
dan berdasarkan penugasan pemerintah sesuai kebutuhan.
Oleh karena itu, juga setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI)
harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi
Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Majelis
sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Anggota Ikatan
Penata Anestesi Indonesia (IPAI) yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesinya
tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Ikatan Penata Anestesi
Indonesia (IPAI) yang berlaku.
Tujuan kode etik adalah untuk mengetahui kesepakatan profesi tentang
tanggungjawab dan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat dan memahami
kebutuhan bangsa Indoensia dalam kode etik ini.
Dengan demikian, Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) adalah
sebagai hokum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi,
tetapi membebankan kewajiban kepada setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia
(IPAI) untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada
Klien, Tempat Kerja, Negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif,
maupun rehabilitative yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyartakat.
3. Klien adalah orang, badan hokum atau lembaga lain yang menerima jasa dan/atau
pelayanan kepenataan anestesi dari Penata Anestesi.
4. Teman sejawat adalah orang atau mereka yang menjalankan praktik Pelayanan
Asuhan Kepenataan Anesetesi sebagai Penata Anestesi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
6. Majelis Kode Etik adalah lembaga atau badan yang dibentuk oleh organisasi
profesi Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) yang berfungsi dan ber-
kewenangan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia
(IPAI) sebagaimana semestinya oleh Penata Anestesi dan behak menerima dan
memeriksa pengaduan terhadap seseorang Anggota Ikatan Penata Anestesi
Indonesia (IPAI) yang dianggap melanggar Kode Etik Ikatan Penata Anestesi
Indonesia (IPAI).
Pasal 2
(1) Setiap Penata Anestesi harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
Sumpah Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI).
(3) Dalam melakukan Asuhan Kepenataan Anestesi, Penata Anestesi tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
(4) Seorang Penata Anestesi harus menghindarkan diri dari perbuatan yang memuji
diri sendiri.
(5) Seorang Penata Anestesi harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan klien dan
sejawat, dan berupaya mengingatkan sejawatnya yang diketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi.
(6) Seorang Penata Anestesi harus menghormati hak-hak klien, hak-hak sejawatnya,
dan hak tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan klien.
(7) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) dalam bekerja sama
dengan cara profesional dibidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat
hendaknya memelihara saling menghormati.
(8) Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan makhluk
insani, psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan klien.
(9) Seorang Penata Anestesi hendaknya hanya memberikan keterangan atau pendapat
yang dapat dibuktikan kebenarannya.
(10) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) hendaknya senantiasa
mengikuti perkembangan Iptek Pelayanan Asuhan Kepenataan Anestesi dan
meningkatkan ketrampilannya serta tetap setia kepada cita-cita yang luhur.
BAB III
Pasal 3
(1) Setiap Penata Anestesi dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada
tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan pasien.
(3) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) dalam memberi pelayanan
asuhan kepenataan anestesi kepada pasien wajib memegang rahasia jabatan tentang
hal-hal yang diberitahukan oleh pasien secara kepercayaan dan wajib tetap
menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Anggota Ikatan Penata
Anestesi Indonesia (IPAI) dengan pasien.
(4) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) harus menolak
memberikan pelayanan asuhan kepenataan anestesi kepada pasien yang menurut
keyakinannya tidak didasarkan pada standar pelayanan, kode etik dan peraturan
perundang-undangan.
(5) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) tidak dibenarkan
membebani pasien dengan biaya-biaya yang tidak perlu diluar yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
(6) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib menghormati hak
asasi pasien.
BAB IV
Pasal 4
(1) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib memberikan
pelayanan paripurna kepada pasien sesuai dengan kemampuan profesi yang
dimilikinya berdasarkan kebutuhan pasien.
(2) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib memelihara mutu
pelayanan asuhan kepenataan anestesi yang tinggi disertai kejujuran professional
dalam menerapkan pengetahuan serta ketrampilan sesuai kebutuhan pasien.
BAB V
Pasal 5
(1) Hubungan antara teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya dengan Penata
Anestesi harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling
mempercayai.
(2) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) jika membicarakan teman
sejawat dan tenaga kesehatan lainnya hendaknya tidak menggunakan kata-kata
yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis.
(4) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib memperlakukan
teman sejawatnya dan tenaga kesehatan lainnya sebagaimana ia sendiri ingin
diberlakukan.
(5) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib menjalin hubungan
yang baik dengan teman sejawatnya dan tenaga kesehatan lainnya untuk mencapai
suasana kerja yang serasi.
BAB VI
Pasal 6
(1) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib menjaga nama baik
dan menjunjung tinggi cita-cita profesinya dengan menampilkan kepribadian yang
tinggi dan memberikan pelayanan yang bermutu dan paripurna kepada pasien.
(2) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib mengembangkan
diri dan meningkatkan kemamouan profesinya sesuai dengan perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
(3) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) senantiasi berperan serta
dalam kegiatan penelitian dan kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu
dan citra profesinya.
BAB VII
Pasal 7
(1) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib memelihara
kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik.
(2) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) seyogyanya berusah untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya sesuai dengan perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
BAB VIII
Pasal 8
(1) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) dalam menjalankan
tugasnya senantiasa melaksanakan ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan,
khususnya dalam Pelayanan Asuhan Kepenataan Anestesi.
(2) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) melalui profesinya
berfartisipasi dan menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah untuk
meningkatkan mutu Pelayanan Asuhan Kepenataan Anestesi.
BAB IX
Pasal 9
(1) Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib tunduk dan
mematuhi Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) ini.
(2) Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI)
ini dilakukan oleh Majelis Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI).
BAB X
Bagian Pertama
Ketentuan Umum
Pasal 10
(1) Majelis Kode Etik berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode
Etik yang dilakukan oleh Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI).
(2) Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui 2 (dua) tingkat, yaitu:
a. tingkat Majelis Kode Etik Daerah;dan
b. tingkat Majelis Kode Etik Pusat.
(3) Majelis Kode Etik Daerah memeriksa pengaduan pada tingkat pertama dan Majelis
Kode Etik Pusat pada tingkat terakhir.
Bagian Kedua
Pengaduan
Pasal 11
(1) Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa
dirugikan, yaitu:
a. Pasien;
b. Teman sejawat IPAI;
c. Pejabat pemerintah;
d. Anggota masyarakat;dan
e. Dewan Pengurus Pusat/Daerah dan organisasi profesi dimana Teradu
menjadi anggota.
(2) Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pengurus Pusat atau Dewan Pengurus
Daerah dapat juga bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut
kepentingan hukum, kepentingan Organisasi dan kepentingan umum dan yang
dipersamakan untuk itu.
(3) Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai pelanggaran terhadap
Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI).
Bagian Ketiga
Pasal 12
(1) Pengaduan terhadap Anggota Ikatan Penata Anestesi (IPAI) sebagai teradu yang
dianggap melanggar Kode Etik Ikatan Penata Anestesi (IPAI) harus disampaikan
secara tertulis desertai dengan alasan-alasannya kepada Majelis Kode Etik Daerah
atau Dewan Pengurus Daerah (DPD) atau Dewan Pengurus Pusat (DPP) dimana
teradu menjadi anggota.
(2) Bilamana di suatu tempat tidak ada Dewan Pengurus Daerah (DPD) Organisasi,
pengaduan disampaikan kepada Majelis Kode Etik Daerah terdekat atau Majelis
Kode Etik Pusat.
(3) Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pengurus Daerah (DPD), maka
Dewan Pengurus Daerah (DPD) meneruskannya kepada Majelis Kode Etik Daerah
yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu atau .
(4) Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pengurus Pusat atau Majelis
Kode Etik Pusat, maka Dewan Pengurus Pusat atau Majelis Kode Etik Pusat
meneruskannya kepada Majelis Kode Etik Daerah yang berwenang untuk
memeriksa pengaduan itu baik langsung atau melalui Dewan Pengurus Daerah
(DPD).
Bagian Keempat
Pasal 13
(1) Majelis Kode Etik Daerah setelah menerima pengaduan tertulis yang disertai surat-
surat bukti yang dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan selambat-
lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender dengan surat kilat
khusus/tercatat kepada teradu tentang adanya pengaduan dengan menyampaikan
salinan/copy surat pengaduan tersebut.
(2) Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender pihak teradu
harus memberikan jawabannya secara tertulis kepada Majelis Kode Etik Daerah
yang bersangkutan, disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu.
(3) Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender tersebut teradu tidak
memberikan jawaban secara tertulis, Majelis Kode Etik Daerah menyampaikan
pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat
belas) hari kalender sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap tidak
memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya.
(4) Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban sebagaimana diatur di atas dan
dianggap telah melepaskan hak jawabnya, Majelis Kode Etik Daerah dapat segera
menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan.
(5) Dalam hal jawaban yang diadukan telah diterima, maka Majelis Kode Etik Daerah
dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender menetapkan hari
sidang dan menyampaikan panggilan secara patut kepada pengadu dan kepada
teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah ditetapkan tersebut.
(6) Panggilan-panggilan tersebut harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling
lambat 3 (tiga) hari kalender sebelum hari sidang yang ditentukan.
(9) Apabila pada sidang yang pertama kalinya salah satu pihak tidak hadir:
a. Sidang ditunda sampai dengan sidang berikutnya paling lambat 14 (empat
belas) hari kalender dengan memanggil pihak yang tidak hadir secara patut;
b. apabila pengadu yang telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak hadir tanpa
alasan yang sah, pengaduan dinyatakan gugur dan ia tidak dapat mengajukan
pengaduan lagi atas dasar yang sama kecuali Majelis Kode Etik Daerah
berpendapat bahwa materi pengaduan berkaitan dengan kepentingan umum
atau kepentingan organisasi;
c. apabila teradu telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak datang tanpa alasan
yang sah, pemeriksaan diteruskan tanpa hadirnya teradu;dan
d. Majelis Kode Etik Daerah berwenang untuk memberikan keputusan di luar
hadirnya yang teradu, yang mempunyai kekuatan yang sama seperti
keputusan biasa.
Bagian Kelima
Pasal 14
(1) Majelis Kode Etik Daerah bersidang dengan Majelis yang terdiri sekurang-
kurangnya atas 3 (tiga) orang anggota yang salah satunya merangkap sebagai
Ketua Majelis, tetapi harus selalu berjumlah ganjil.
(2) Majelis dapat terdiri Majelis Kode Etik Daerah atau ditambah dengan Anggota
Majelis Kode Etik Daerah Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang
hokum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Ikatan Penata
Anestesi Indonesia.
(3) Majelis dipilih dalam rapat Majelis Kode Etik Daerah yang khusus dilakukan
untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Majelis Kode Etik Daerah atau jika
berhalangan oleh anggota Majelis Kode Etik Daerah lainnya yang tertua.
(4) Setiap dilakukan persidangan, Majelis Kode Etik Daerah diwajibkan membuat atau
menyuruh membuat berita acara persidangan yang disahkan dan ditandatangani
oleh Ketua Majelis Kode Etik Daerah yang menyidangkan perkara tersebut.
Bagian Keenam
Pasal 15
(3) Majelis Kode Etik Daerah mengambil keputusan dengan suara terbanyak dan
mengucapkannya dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-
pihak yang bersangkutan, setelah sebelumnya memberitahukan hari, tanggal dan
waktu persidangan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
(4) Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara berhak membuat catatan
keberatan yang dilampirkan didalam berkas perkara.
(5) Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota Majelis, yang apabila
berhalangan untuk menandatangani keputusan, hal mana disebut dalam Keputusan
yang bersangkutan.
Bagain Ketujuh
Sanksi-Sanksi
Pasal 16
(2) Dengan mempertimbangkan atas berat atau ringannya sifaf pelanggarannya dapat
dikenakan sanksi:
a. peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat;;
b. peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena
mengulangi kembali perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan yang
berlaku atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang pernah diberikan;
c. pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat
pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan
peraturan organisasi atau bilamana setelah mendapat sanksi berupa
peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran;
d. pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan
pelanggaran peraturan organisasi dengan maksud dan tujuan merusak citra
serta martabat kehormatan profesi IPAI yang wajib dijunjung tinggi sebagai
profesi yang otonom dan mandiri.
(3) Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti
larangan untuk menjalankan profesi IPAI dimanapun.
(4) Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu
tertentu dan/atau pemecatan dari keanggotaan organisasi IPAI disampaikan kepada
Kementerian Kesehatan untuk diketahui.
Bagian Keelapan
Penyampaian Salinan Keputusan
Pasal 17
Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender setelah keputusan
diucapkan, salinan keputusan Majelis Kode Etik Daerah harus disampaikan kepada:
1. Anggota yang diadukan/teradu;
2. Pengadu;
3. Dewan Pengurus Daerah;
4. Dewan Pengurus Pusat;
5. Majelis Kode Etik Pusat;dan
6. Instansi-Instansi yang dianggap perlu apabila keputusan telah mempunyai
kekuatan hukum yang pasti.
Bagian Kesembilan
Pasal 18
(1) Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan Majelis Kode Etik
Daerah, ia berhak mengajukan permohonan banding atas keputusan tersebut
Kepada Majelis Kode Etik Pusat.
(2) Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding yang sifatnya wajib,
harus disampaikan melalui Majelis Kode Etik Daerah dalam waktu 21 (dua puluh
satu) hari kalender sejak tanggal yang bersangkutan menerima salinan keputusan.
(3) Majelis Kode Etik Daerah setelah menerima Memori Banding yang bersangkutan
selaku pembanding selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas0 hari
kalender sejak penerimaannya, mengirimkan salinannya melalaui surat kilat
khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku terbanding.
(5) Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak menyampaikan Kontra
Memori Banding ia dianggap telah melepaskan haknya untuk itu.
(6) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak
berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang diperlukan, berkas perkara
tersebut diteruskan oleh Majelis Kode Etik Daerah kepada Majelis Kode Etik
Pusat.
(8) Majelis Kode Etik Pusat memutuskan dengan susunan Majelis yang terdiri dari
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota atau lebih, tetapi harus berjumlah ganjil
yang salah satu merangkap Ketua Majelis.
(9) Majelis dapat terdiri Majelis Kode Etik Pusat atau ditambah dengan Anggota
Majelis Kode Etik Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hokum
serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Ikatan Penata Anestesi
Indonesia.
(10) Majelis dipilih dalam rapat Majelis Kode Etik Pusat yang khusus dilakukan untuk
itu yang dipimpin oleh Ketua Majelis Kode Etik Pusat atau jika berhalangan oleh
anggota Majelis Kode Etik Pusat lainnya yang tertua.
(11) Majelis Kode Etik Pusat memutuskan berdasarkan bahan-bahan yang ada dalam
berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu dapat meminta bahan tambahan dari
pihak-pihak yang bersangkutan atau memanggil mereka langsung atas biaya
sendiri.
(12) Majelis Kode Etik Pusat secara prerogratif dapat menerima permohonan
pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang diteruskan oleh Majelis Kode Etik
Daerah asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari kedua
belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Majelis Kode Etik Pusat.
(13) Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat pertama oleh
Majelis Kode Etik Daerah, secara otomatis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat
banding oleh Majelis Kode Etik Pusat.
Bagian Kesepuluh
Pasal 19
(1) Majelis Kode Etik Pusat dapat menguatkan, mengubah atau membatalkan
keputusan Majelis Kode Etik Daerah dengan memutus sendri.
(2) Keputusan Majelis Kode Etik Pusat mempunyai kekuatan tetap sejak diucapkan
dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal
dan waktunya telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak-pihak yang
bersangkutan.
(3) Keputusan Majelis Kode Etik Pusat adalah final dan mengikat yang tidak dapat
diganggu gugat dalam forum manapun, termasuk dalam MUNAS, MUNASLUB
dan MUKERNAS.
(4) Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender setelah keputusan
diucapkan, salinan keputusan Majelis Kode Etik Pusat harus disampaikan kepada:
a. anggota yang diadukan/teradu baik sebagai pembanding ataupun terbanding;
b. pengadu baik selaku pembanding ataupun terbanding;
c. Dewan Pengurus Daerah;
d. Dewan Pengurus Pusat;
e. Majelis Kode Etik Daerah;dan
f. Instansi-Instansi yang dianggap perlu apabila keputusan telah mempunyai
kekuatan okum yang pasti.
(5) Apabila seseorang telah dipecat, maka Majelis Kode Etik Pusat atau Majelis Kode
Etik Daerah meminta kepada Dewan Pengurus Pusat untuk memecat orang yang
bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi IPAI.
Bagain Kesebelas
Pasal 20
Majelis Kode Etik berwenang menyempurnakan hal-hal yang telah diatur tentang Majelis
Kode Etik dalam Kode Etik ini dan/atau menentukan hal-hal yang belum diatur
didalamnya dengan kewajiban melaporkannya kepada Dewan Pengurus Pusat (DPP)
IPAI agar diumumkan dan diketahui oleh setiap anggota Ikatan Penata Anestesi
Indonesia (IPAI).
BAB XI
Pasal 21
Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan Tentang Majelis Kode
Etik bagi mereka yang menjalankan profesi Penata Anestesi, sebagai satu-satunya
Peraturan Kode Etik yang diberlakukan dan berlaku di seluruh Indonesia.
BAB XII
PENUTUP
Pasal 22
Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.