Anda di halaman 1dari 16

A.

Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-
undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk kekerasan
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak
asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus
dihapus.
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus
mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan
atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaan.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu
dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang berat
dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang
secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri
atau anak diancam hukuman pidana”

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga


Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga
dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku
kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik
rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan
sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas
luka lainnya.
b. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-
komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau
,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
c. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa
melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
d. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah
istri, bahkan menghabiskan uang istri (http://kompas.com., 2006).

C. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga


Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga,
yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
a. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu
mengatur dan mengendalikan wanita.
b. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri)
ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan
kekerasan.
c. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal
yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan
dalam rumah tangga.
d. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki
untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk
melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi
tertib.
e. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima
sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang
lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan
sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga


Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara
penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga
Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu
mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota
keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang
rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara
kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga.
Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka
mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat
cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga
seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi
dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Berbicara mengenai Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga tentu menjadi sesuatu yang
sangat menarik. Terlebih setelah diterbitkannya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perbuatan tersebut dapat dialami
oleh siapa saja, baik laki – laki maupun perempuan dari anak – anak sampai dewasa hal itu
sangat jelas tertuang dalam Pasal 2 Undang – Undang No.23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ruang lingkupnya adalah :
a. Suami, istri dan anak
b. Orang – orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, karena hubungan darah, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan /atau
c. Orang yang bekerja sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c dipandang sebagai anggota
keluarga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.[1]
Jadi dengan demikian, maka sesungguhnya korban (viktim) bahkan pelaku dalam tindak
Pidana ini bisa di cantumkan terhadap siapa saja, baik terhadap suami maupun istri bahkan
anggota keluarga lain didalam rumah tangga.
Sejatinya Rumah Tangga adalah tempat yang dijadikan surga bagi setiap anggota
keluarga, rumah tangga adalah tempat dimana setiap orang bertumbuh, menciptakan suasana
kedekatan,keakraban diantara setiap anggotanya. Namun akan menjadi neraka apabila yang
terjadi kemudian adalah tindakan kekerasan. Keluarga[2]memiliki andil besar dalam
menciptakan kepribadian seseorang, tentu akan menjadi sebuah hal yang buruk, apabila
kekerasan menjadi salah satu menu yang terhidang dalam rumah tangga. Dengan demikian
Perlindungan dan rasa aman sangat diperlukan oleh setiap lapisan masyarakat didunia ini,
dalam hal ini adalah setiap anggota keluarga yang dimaksud oleh pasal 2 Undang – Undang
No.23 tahun 2004 tersebut diatas. Pandangan negara mengenai perlindungan tersebut tertuang
dalam Pasal 28 G (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa :
“ setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat
dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi”[3].
Untuk itu sebagai upaya perlindungan yang berbentuk nyata kepada masyarakat
khususnya korban diperlukan penegakan hukum, salah satu sarana yang dibuat oleh
pembentuk Undang – Undang adalah dengan Pidana [4] sebagaimana yang diatur Bab VIII
UU KDRT tersebut[5]. Lalu yang tidak kalah menarik adalah bagaimana memahami sebab –
sebab, bbentuk dan aspek pidana terhadap tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga
penanganannya bisa dilakukan secara komprehensif. Tentu merupakan cara pandang yang
baru untuk melihat keadaan ini, mengingat secara kultural pada umumnya masyarakat
Indonesia sangat enggan untuk mengurusi hal – hal semacam ini, ini bahkan dianggap tabu
dan tidak untuk konsumsi publik. Pemahaman yang sudah mapan ini, tentu akan mendapat
kendala dalam menerapakan pidanananya. Namun yang perlu juga dipahami, dikarenakan
Undang – Undang itu sendiri diciptakan dengan sifatnya yang memaksa, maka tak pelak
pandangan yang sudah mapan itu akan sedikit banayak mengalami pergeseran, apalagi
dengan maraknya kasus – kasus yang demikian dan volume publisitasnya yang begitu tinggi
di media – media nasional telah membukakan mata piohak – pihak yang selama ini
menganggap hal tersebut tabu.
Sehingga tentunya penting bagi kita masyarakat, khususnya mahasiswa hukum
untuk memahami sebab – sebab, bbentuk dan aspek pidana terhadap tindak Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, sehingga penanganannya bisa dilakukan secara komprehensif., mengingat
begitu masifnya tindak kekerasan ini di era sekarang ini, era dimasa informasi begitu
cepatnya beredar tanpa batasan. Untuk itulah sangat perlu untuk membahas hal ini, dengan
pemahaman yang memadai, maka cara kita menyikapi permasalahan tersebut apabila timbul
di sekitar kita akan lebih tepat. Mahasiswa hukum sebagai akademisi mengemban
tanggungjawab untuk memberikan penjelasan ini, hal tersebutlah yang melatar belakangi
penyusun untuk menyusun makalah ini, dimana Penyusun adalah Mahasiswa Hukum
semester V (lima) di Sekolah Tinggi Hukum Bandung.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah Aspek Pemidanaan Pada Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

C. Tujuan Penyususunan Makalah


Adapun Tujuan dari Penyusunan Makalah ini adalah :
1.Menjelaskan tentan aspek pemidanaan yang dimbul dari Tindak Kekerasan dalam Rumah
tangga.
2. Pemenuhan Tugas Kapita Selekta HukumPidana

D. Manfaat Penyusunan Makalah

Manfaat dari penyusunan Makalah ini adalah:


1. Penerapan pemidanaan yang tepat bagi Pelaku Tindak Pidana Kekerasan dalam rumah
tangga.
2. Masyarakat Umum, khususnya Mahasiswa berperan aktif dalam mengkritisi aspek
pemidanaan yang lahir dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang tidak tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aspek Pemidanaan
Aspek pemidanaan terdiri dari dua kata, yaitu Aspek dan Pemidanaan. Maka terkait
dengan itu harus ditelaah makna dari dua akta tersebut. Berdasarkan Kamus Besar bahasa
Indonesia defenisi dariaspek/as·pek/ /aspék/ n1tanda: linguis dapat mencatat dengan baik
ucapan-ucapan yang mempunyai -- fonemis;2 sudut pandangan:mempertimbangkan sesuatu
hendaknya dari berbagai --;3 pemunculan atau penginterpretasian gagasan, masalah, situasi,
dan sebagainya sebagai pertimbangan yang dilihat dari sudut pandang
tertentu; 4Ling kategori gramatikal verba yang menunjukkan lama dan jenis perbuatan;[6].
Sehingga apabila di hubungkan dengan kata pemidahaan maka tak lain pengertiannya adalah
“sudut pandang” atau “penginterpretasian” dari Pemidanaan, atau dengan kata yang lebih
sederhana menjawab pertanyaan “bagaimana Pemidanaannya?”. Untuk itu harus
memperhatikan teori dari pemidanaan itu sendiri.
Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai
reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai
kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri,
berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori
relatif (deterrence/utilitarian), teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori
perlindungan sosial (social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai
aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.[7]

Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan


atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada
kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi
kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena
kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya
(vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.[8]
Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar.
Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat
apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin
akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan.[9]Penjatuhan
pidana pada dasarnya berakibat penderitaan pada penjahat dan dibenarkan karena penjahat
telah membuat penderitaan bagi orang lain.[10] Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan
keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.[11]Ciri pokok atau karakteristik
teori retributif, yaitu :
1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan ;
2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk
tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana ;
4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar ;
5. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk
memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.

Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan
atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi
masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana
pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini,
hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni
memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus
dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi)
kejahatan.
Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi
kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain
yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib masyarakat,
dan untuk menegakan tata tertib masyarakat itu diperlukan pidana. [12]
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang
yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya
adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang
membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini
sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).[13]
Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu :
1. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ;
2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang
lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ;
3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja
(misal karena sengaja atauculpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana ;
4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan ;
5. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur
pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan
kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib
pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari
penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori
relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk
mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu : [14]
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh
melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib
masyarakat;
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi
penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang
dilakukan terpidana.

Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada


pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki keistimewaan dari segi
proses re-sosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan
moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus,
pelaku kejahatan tetap human offender, namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku
kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu,
pengenaan sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan
sanksi yang bersifat treatment.[15]
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran ini
beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak
bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-
faktor lingkungan maupun kemasyarakatannya.[16]Dengan demikian kejahatan merupakan
manifestasi dari keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan
tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan
harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.

Teori perlindungan sosial(social defence) merupakan perkembangan lebih lanjut dari


aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah
mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap
perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mengisyaratkan penghapusan pertanggungjawaban
pidana (kesalahan) digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu
adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk
kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.[17]

Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa


tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara kebijakan penal dan non-
penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di sinilah peran negara melindungi
masyarakat dengan menegakan hukum. Aparat penegak hukum diharapkan dapat
menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System),
hal tersebut telah diakomodir dalam bab VIII Undang – Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu dari berbagai macam tindak
pidana kekerasan yang telah teridentifikasi dalam masyarakat Internasional.[18] Tindak
Pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tangga didefensikan sebagai kekerasan yang tejadi dalam ranah pribadi, pada
umumnya terjadi antara individu yang dihubungkan melalui inimacy ( hubungan intim,
hubungan seksual, perzinahan), hubungandarah maupun hubungan yang diatur oleh
hukum/peran).[19]Istilah kekerasan dalam rumah tangga dalam literatur barat umumnya
digunakan secara bervariasi, misalnya “domestic violence”, “family vioence”, “wife abuse”,
istilah kekerasan dalam perkawinan”marital violence” dan kekerasan dalam rumah terhadap
istri atau suami, mengabaikan maksud dari sebagian besar tindak kekerasan semacam ini[20].

Defenisi secara Yurudis, Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutaman perempuan , yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik , seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[21] Dengan demikian maka yang dilindungi
disini adalah semua pihak yang ada kaitannya dengan rumah tangga khususnya Perempuan,
lebihspesifiknya bisa suami,istri, anak,orang – orang yang mempunyai hubungan keluarga,
orang yang bekerja dalam rumah tangga [22]. Beberapa asas yang dianut dalam penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga yakni ;
1. Penghormatn Hak Asasi manusia
2. Keadilan dan kesetaraan Gender
3. Nondiskrmnasi, dan
4. Perlindungan Korban[23]
Lebih lanjut dalam dalam penjelasannya, diantara beberapa asa tersebut hanya dijeskan
tentang pengertian dari kesetaraan gender, yaitu suatu keadaan dimana perempuan dan laki –
laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara
penuh hak –hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara
proporsional.
Dalam kaitannya dengan pembahasan bentuk – bentuk kekrasan, maka jenis – jenis
kekerasan yang termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga yaitu : kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga[24] Kekerasan dalam
rumah tangga adalah masalah sosial , bukan masalah keluarga yang harus disembunyikan,
dengan demikian menjadi jelas bahwa pada hakikatnya tujuan dari penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga adalah mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
melindungi korban, menindak pelaku, dan memelihara keutuhan rumah tangga. Jadi
singkatnya kekerasan dalam rumah tangga adalah segala bentuk kekerasan yang ditentukan
oleh UU KDRT yang bentuknya variatif, seperti kekerasan fisik,psikis, seksual dan
penelantaran rumah tangga.

BAB III
METODE PENULISAN

A. Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah :
• Data Sekunder yaitu berupa data yang diperoleh melalui studi pustaka buku – buku,
dokumen, peraturan perundang – undangan, berkaitan dengan identifikasi masalah yang
hendak di bahas oleh Penyusun
B. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik yang digunakan untuk mengumpulkan data – data dilakukan dengan dua cara
yakni :
• Penilaian Kepustakaan (library research) penelitian dilaksanakan dengan mengumpulkan,
membaca dan menelusuri sejumlah buku – buku, dokumen, peraturan perundang – undangan
dan literatur lain yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
C. Analisa Data
Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian dari data sekunder dianalisi dan disajikan
secara deskriptif.

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Aspek Pemidanaan Pada Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Ketentuan Pidana Pada Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga


a. Berdasarkan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
Selama ini, apabila terjadi tindak pidana kekerasan dalam lingkup keluarga atau rumah
tangga sebelum eksisnya Undang – Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga sealu ditangani berdasarkan Kitab Undang – Undan
Hukum Pidana (KUHP). Petugas yang menanganinya adalah polisi baik laki – laki maupun
perempuan[25]. Beberapa pasal yang berkenan dengan hal tersebut didalam KUHP
dikelompokkan dalam 6 kelompok yaitu :
1. Pasal mengenai Perzinahan yaitu Pasal 284 KUHP dan Pasal 288 KUHP
2. Pasal Mengenai Penganiayaan yaitu, pasal 351 (1) KUHP, 353, 354,355 dan 356 KUHP.
3. Pasal mengenai Pembunuhan yaitu pasal 338, 339 dan 340 KUHP
4. Suami menikah lagi dengan identitas palasu, yaitu pasal 263 KUHP
5. Suami menikah lagi, yaitu pasal 279
6. Penelantaranterhadap suami atau istri, yaitu pasal 304 KUHP.[26]
Khusus penganiayaan suami terhadap istri atau sebaliknya dalam pasal 356 ke 1
KUHP diatur pasal pemberatan, sebagai mana bunyinya :“Pidana ditentukan dalam pasal
351, 353, dan 355 dapat ditambah sepertigaKe 1. Bagi yang melakukan kejahatan itu
tehadap ibunya,bapaknya, menurut undang – undang, istrinya atau
anaknya”.[27] Sedangkan pasal penganiayaan, perzinahan, pembunuhan ini biasanya lebih
sering digunakan oleh penyidik dalam membuat BAP dalam proses pidana KDRT. Namun
pasal pemalsuan pasal 63 KUHP dimana suami menikah lagi dengan identitas palsu , pasal
279 KUHP dimana suami menikah lagi padahal pernikahan yang sah menjadi penghalang ,
menyembunyikan pernihakannya pada pihak lain, serta pasal 304 yang membiatkan pihak
lain dalam keadaan sengsara, beberapa pasal tersebut sangat jarang diajukan ke
Pengadilan.[28]
Pasal – pasal tersebut diatas memang menunjukkan adanya kelemahan, sebab tidak
mampu lagi mengakomodir permasalahan yang timbul didalam masayarakat dewasa ini, dan
tentunya mengingat didalalam KUHP tidak diatur mengenai sanksi tamahan berupa
kewajiban konseling, pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan
pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak – hak
tertentu dari pelaku, penetapan pelaku mengikuri konseling dibawah pengawasan lembaga
tertentu. Untuk itulah lahirnya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dianggap sebagai solusi yang paling
memadai, mampu mengakomodir segala kekurangan dalam KUHP.
2. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
Dalam Bab III UU KDRT dari pasal 5 sampai dengan pasal 9 ditentukan mengenai
larangan kekerasan dalam rumah tangga. Setiap orang (subyek hukum) dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara ;
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran rumah tangga.[29].
Adapun kekerasan yang dimaksud dalam kekerasan fisik adalah segala perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit dan luka berat[30]. Kekerasan Psikis dijelaskan dalam
pasal 7, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan , hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, tasa tidak berdaya, dan/atau pederitaan psikis berat
pada seseorang.
Pengertian kekerasan seksual dijelaskan dalam pasal 8, dimana kekerasan seksual
yang dimaksud meliputi; pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga, pemaksaan hubungan seksual terhdao salah seorang
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain dengan tujuan komersil, dan/atau tujuan
tertentu. Selanjutnya dalam pasal 9 diterangkan lebih lanjut mengenai penelantaran rumah
tangga. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dan atau perjanjiania wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan terhadap orang tersebut. Dalam
penelantaran rumah tangga tersebut juga menvakup segala perbuatan yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/ atau melarang bekerja yang layak
didalam atau diluar rumah sehingga seseorang berada dibawah kendali orang yang
bersangkutan.
Mengenai ketentuan pidana terhadap hal – hal yang dilarang tersebut diatas,
sebagaimana tertuang dalam pasal 5 sampai dengan pasal 9 UU KDRT, maka diatur lebih
lanjut ketntuan Pidananya dalam BabVIII Undang – Undang Tersebut, mulai dari Pasal 44
hingga pasal 53. Jadi mengacu pada ketentuan pidananya maka dapat dikelompkkan menjadi
:
a. Dalam hal yang dilakukan itu adalah kekerasan fisik maka pidana penjaranya adalah 5
tahun, atau denda paling banyak Rp. 15.000.000.000.- (lima belas juta rupiah), namun
apabila mengakibatkan sakit atau luka berat diancam pidana penjara paling lama 10 Tahun
atau denda Rp.30.000.000.- (tiga puluh juta rupiah), apabila mengakibatkan kematian maka
ancama pidana penjaranya 15 Tahun atau denda Rp.45.000.000.- (Empat puluh lima juta
rupiah), namun apabila tidak meimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan ancama pidananya 4 bulan atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000.- (lima juta
rupiah).[31]
b. Dalam hal kekerasan Psikis maka ancama pidana penjaranya 3 Tahun atau denda paling
banyak Rp.9.000.000.000.- (sembilan juta rupiah), namun apabila tidak meimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan ancama pidananya 4 bulan atau denda paling
banyak Rp.3.000.000.000.- (tiga juta rupiah).[32]
c. Dalam hal kekerasans seksual diancam pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun atau
denda paling banyak Rp.36.000.000.000.- (tiga puluh enam juta rupiah), dan apabila
memaksa melakukan hubungan seksual dengan tujuan komersial atau tujuan tertentu
sebgaimana dalam pasal 8 UU KDRT diancam pidana penjara paling lama 15 tahun atau
denda paling sedikit Rp.12.000.000.000.- (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp.300.000.000.- (tiga ratus juta rupiah), atau jika mengakibatkan luka berat diancam pidana
penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun atau denda paling sedikit Rp.25.000.000.-
(dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000.- (lima ratus juta rupiah.[33]
d. Dalam hal penelantaran diancam pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling
banyak Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).

B. Pemidanaan dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004.


Telah saya paparkan diatas mengenai ketentuan – ketentuan terkait Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, sehingga tentu sudah pasti memiliki aspek pemidanaan. Kemudian timbul
pertanyaan, bagaimana Aspek pemidanaanya. Sebagaiman kita ketatahui bersaa bahwa proses
penyelesaian perkara didahului oleh 2 jenis, yaitu aduan dan laporan. Laporan adalah
pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang seorang karena hak dan kewajiban
berdasarkan undang – undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau
diduga akan terjadinya tindak pidana.[34]Sedangkan Pengaduan adalah pemberitahuan
disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk
menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang
merugikannya.[35] Dengan demikian proses penyelesaian tindak kekerasan dalam rumah
tangga dapat diawali dengan aduan atau laporan.
Pada Undang – Undang KDRT, pembentuk Undang – Undang juga membagi delik –
delik dalam undang – undang tersebut kedalam 2 bagian, yaitu delik aduan dan delik biasa.
Delik aduan jelas diberlakukan pada kekerasan fisik yang tidak mengakibatkan luka
berat [36], kekerasan psikis yang tidak mengakibatkan luka berat[37] dan tindk pidana
kekerasan seksual berupa pemaksaan melakukan hubungan intim yang dilakukan suami
terhadap istri[38]. Berkenaan dengan pemidanaan oleh hakimjiak diartikan secara luas dapat
didefenisikan sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, juga
mencakup keseluruhan ketentuan peran yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan
atau dioperasionalkan secara kongkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum Pidana). Ini
berarti semua aturan peran hukum pelaksanaan hukum pidana formal dan sitem pelaksanaan
pemidanaan sebagai suatu sistem pemidanaan.[39]Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan dalam
kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa punishmen atau treeatmen[40]. Persamaan dari
kedua bentuk ini sama – sama berupa sanksi pidana , sedangkan perbedaannya punishmen
lebih memfokuskan pada respon yang seimbang atas perbuatan terdakwa dan hak negara
dalam memberikan sanksi pembatasan kemerdekaan dan memeberikan penderitaan sebagai
kompensasi perbuatan pelaku, sedangkan treatmen lebih kepada orientasi perbaikan perilaku
pelaku. Dalam KDRT tujaun treatmen didasari pada keinginan melindungi tujuan dari
perkawinan itu sendiri.[41]
Dalam melihat bagaimana aspek pemidanaan pada kekerasan dalam rumah tangga, maka
sebaiknya dilihat bagaimana proses yang dilalui sebelum pemidanaan hingga selesainya
pemidanaan. Berdasarkan Pasal 54 UU KDRT dikatakan bahwa proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut hukum acara pidana
yang berlaku, sehingga menjadi jelas bahwa tetap saja kita akan mengacu kepada KUHAP
sebagai hukum pidana formal yang berlaku di Indonesia yang dikenal dalam Undang –
Undang No. 8 tahun 1981.
Terhadap delik aduan, seperti pasal 51 hingga pasal 53 UUKDRT maka tidak akan ada
penuntutan jika saja tidak ada pengaduan dari korban sebgai mana dimaksud oleh pasal
tersebut, namun untuk pasal lainnya yang dilanggar oleh seseorang maka dapat dilakukan
penuntutan dikarenakan itu adalah delik biasa. Untuk mesyarakat umum selain bisa
melaporkan juga mempunyai kewajiban untuk ; mencegah berlangsungnya tindak pidana
(preventif), memberikan perlindungan terhadap korban, membantu proses pengajuan
permohonan penetapan perlindungan.[42]
Setelah adanya laporan atau adoan, maka dalam waktu 1 hari[43] yaitu 1 x 24 jam,
kepolisian harus segera memberikan perlindungan sementara kepada korban, perlindungan
sementara tersebut dilakukan selama 7 (tujuh haru) sejak korban diterima atau ditangani[44].
Surat penetapan diberikan oleh pengadilan atas permintaan kepolisian. Ketua pengadilan
dalam tenggang waktu 7 hari setelah menerima permohonan wajib mengeluarkan surat
penetapan yang berisi perintah perlindungan perlindungan terhadap korban, dimana
permohonan perlindungan tersebut dapat diajukan oleh ;
1. Korban ata keluarga korban
2. Teman korban
3. Kepolisian
4. Relawan pendamping
5. Pembingbing rohani.[45]
Dalam memberikan perlindungan sementara kepolisian dapat bekerjasama dengan tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping atau pembingbing rohani untuk mendampingi
korban. Selanjutnya kepolisian harus melakukan penyelidikan, penyidikan , penuntutan oleh
jaksa penuntut umum dan kemudian diputus oleh Majelis hakim yang memeriksa perkara
tersebut di Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Sebagaimana diketahui dalam tindakan pemeriksaan yang mendahuli dipengadilan ,
dibagi dalam 2 tingkatan yaitu :
a. Pada tingkat penyelidik / penyidik (kepolisian), dimana termasuk dalam hal itu penyelidika,
penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat.
b. Pada tindaka Penuntut umum yang meliputi menerima dan memeriksa berkas Perkara
penyidikan dari penyidik, mengadakan pra penuntutan apbila ada kekurangan pada
penyidikan, memberikan penahanan, perpanjangan penahanan dan atau mengubah
status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik, membuat surat dakwaan,
melimpahan perkara ke pengadilan, panggilan kepada para phak ang berperkara, melakukan
penuntutan, menutup perkara demi kepentingan umum, melaksanakan penetapan hakim.[46]
Selanjutnya adalah pemeriksaan dalam sidang pengadilan, dalam hal ini saya akan berfokus
pada pemeriksaan biasa yang menyangkut pemeriksaan terdakwa, eksepsi, perlawanan
terhadap putusan eksepsi, pembuktian, penuntutan dan pembelaan (pledoi), setelah itu adalah
putusan pengadilan.
Dalam tindak kekerasan dalam rumah tangga ada pengecualian dari ketentuan pasal 183
KUHAP, dimana bunyi pasal tersebut ;
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang – kurangnya dua alat bukti yah sah, yang ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Penyimpangan terhada pasal itu terang dimuat dalam pasal 55 UUKDRT
yang menyatakan sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja
sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat
bukti lainnya, alat bukti lainnya adalah keterangan terdakwa[47]. Mengenai aspek
pemidanaan tentu mengacu pada putusan hakim yang memutus bahwa terdakwa terbukti
secara sah dan meyakinkan bahwa ia melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga, sehingga untuk itu saya akan memfokuskan terhadap putusan hakim yang berupa
pemidanaan sebagaimana dimaksud oleh pasal 193 KUHAP[48].
Jadi apabila terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
dan diputus pidana melalui putusan pengadilan, maka bentuk pemidanaan yang akan
dijatuhkan kepada si terpidana ada 2 bentuk, yaitu pidana penjara atau pidana denda. Pidana
penjara atau denda yang dimaksud adalah
a. Ancaman Pidana penjaranya adalah 5 tahun, atau denda paling banyak Rp.
15.000.000.000.- (lima belas juta rupiah), namun apabila mengakibatkan sakit atau luka berat
diancam pidana penjara paling lama 10 Tahun atau denda Rp.30.000.000.- (tiga puluh juta
rupiah), apabila mengakibatkan kematian maka ancama pidana penjaranya 15 Tahun atau
denda Rp.45.000.000.- (Empat puluh lima juta rupiah), namun apabila tidak meimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan ancama pidananya 4 bulan atau denda
paling banyak Rp.5.000.000.000.- (lima juta rupiah).
b. Ancaman pidana penjaranya 3 Tahun atau denda paling banyak Rp.9.000.000.000.-
(sembilan juta rupiah), namun apabila tidak meimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan ancama pidananya 4 bulan atau denda paling banyak
Rp.3.000.000.000.- (tiga juta rupiah).
c. Ancaman pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak
Rp.36.000.000.000.- (tiga puluh enam juta rupiah), dan apabila memaksa melakukan
hubungan seksual dengan tujuan komersial atau tujuan tertentu sebgaimana dalam pasal 8 UU
KDRT diancam pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit
Rp.12.000.000.000.- (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp.300.000.000.- (tiga ratus
juta rupiah), atau jika mengakibatkan luka berat diancam pidana penjara minimal 5 tahun dan
maksimal 20 tahun atau denda paling sedikit Rp.25.000.000.- (dua puluh lima juta rupiah)
dan paling banyak Rp.500.000.000.- (lima ratus juta rupiah.
d.Dalam hal penelantaran diancam pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling
banyak Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).Pidana penjara tersebut dilaksanakan di
lembaga pemasyarakatan.
Dalam ketentuan piana yang dianut oleh UU KDRT hanya mengadung 2 jenis pidana tersebut
dan ditambah olehketentuan tambahan berupa :
a. Pembatasan gerak pelaku, baik yang bertujuan untuk menauhkan pelaku dari korban dalam
jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak – hak tertent dari pelaku.
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu.[49]

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan saya adalah :
Bahwa dengan adanya ketentuan pidana alam UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa pada hakikatnya Undang
– Undang tersebut tidak dapat dipisahkan dari Aspek Pemidaan sebagai bagian dari Suatu
sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Aspek pemidanaan tersebut berkaitan dari
proses penyelelidikan dengan aduan atau laporan, penyidikan, penuntutan hingga putusan
pengadilan yang kemudian berakhir pada pelaksanaan pidana oleh Terpidana baik itu berupa
Pidana Penjara di Lembaga Pemasyaraktan yang dijatuhi pidana penjara atau
pemenuhan/pembayaran denda yang dijatuhi Pidana Denda. Selanjutnya selain itu sema ada
bentuk sanksi lain, yang dinamakan pidana tambahan berupa pembatasan gerak dan
konseling. Itu semua merupakan aspek pemidanaan yang ada dalam tindak kekerasan dalam
rumah tangga.
B. SARAN
Beberapa saran yang dapat saya sampaikan adalah :
1. Adanya sosialisasi yang intens dan masif dalam masyarakat terkait KDRT.
2. Ada perhatian khusus tentang perlindungan korban agar berani mengambil tindakan atas
kekerasan yang dialaminya (seperti perlindungan sementara).
3. Masyarakat lebih berperan aktif dalam memeragi KDRT sebab dilindungi oleh Pasal 15 UU
KDRT.

DARTAR PUSTAKA

a. Buku - buku
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010.
Aroma Elmina Martha, Hukum KDRT, Yogyakarta : PT. Aswajapressindo, 2015
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Rafika
Aditama, 2009.
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika,, 2009.
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif yuridis –
viktimologis, Jakarta : PT. Sinar Grafika,2011 cetakan ke II.
Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek,
Jakarta : PT. Ghalia Indonesia, 2010.
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung : Alumni, Bandung,
1992.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005

b. Undang – Undang
KUHP tejemahan Profesor Mulyatno, cetakan ke 30.
Undang – Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Undang – Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
Undang – Undang Dasar 1945

c. Sumber dari lain


Kamus besar bahasa Indonesia online

[1] Pasal 2 Undang – undang No.23 Tahun 2004 tetang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
[2] Pasal 1 (30) UU. No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP “keluarga adalah mereka yang
mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan perkawinan dengan mereka
yang terlibat dalam suatu proses pidana sebagaimana diatur dalam Undang – Undang ini.
[3] Pasal 28 G (1) UUD 1945
[4] Jenis Pidana yang dianut oleh UU No.23 tahun 2004 adalah Pidana Penjara dan Denda
beserta Pidana tambahan berupa pembatasan gerak dan program konseling.
[5] Pasal 44 sampai 53 UU No.23 Tahun 2004.
[6] “Aspek” dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Online
[7]Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Rafika
Aditama, 2009, Hlm 22.
[8]Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, Hlm 105.
[9]Dwidja Priyanto, Op. Cit, Hlm 24.
[10]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, Hlm 90.

[12]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, Hlm 96-97.
[13]Dwidja Priyanto, Op. Cit, Hlm 26
[14]Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010, Hlm 162-163.
[15]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, Hlm 96-97
[16]Muladi dan Barda Nawawi, Op. Cit, Hlm 12.
[17] ibid
[18]Aroma Elmina Martha, Hukum KDRT,Yogyakarta : Aswara Presindo, 2015, Hlm 1.
[19]ibid
[20]id
[21]Pasal 1 butir 1 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
[22]Pasal 2 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
[23]Pasal 3 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT
[24]Pasal 5 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT
[25]Pasal 4 KUHAP mengatakan semua pejabat kepolisian adalah penyidik.
[26]Aroma Elmina Martha, Op.Cit, Hlm 67
[27]Mulyatno, KUHP,Yogyakarta : Bumi Aksara, 2012, cetakan ke 30.

[28]Aroma Elmina Martha, Op.Cit, Hlm 68


[29]Pasal 5 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT
[30]Pasal 90 KUHP menjelaskan bahwa luka berat berarti jatuh sakit atau tidak akan
memberikan harapan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut, tidak mampu
terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau atau mata pencaharian, kehilangan salah
satu panca indra, mendapat cacat berat, mendapat sakit lumpuh, terganggunya daya pikir
selama 4 minggu lebih, gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.
[31]Pasal 44 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT
[32]Pasal 45 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT
[33]Pasal 46-48 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT
[34]Pasal 1 butir 24 KUHAP
[35]Pasal 1 butir 25 KUHAP
[36]Pasal 51 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT
[37]Pasal 52 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT
[38]Pasal 52 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT.
[39]Aroma Elmina Martha, Loc.it hal, 24
[40] Ibid, hal 27
[41]ibid
[42]Moerti Hadiati Soeroso, Op.cit, hal 40
[43]Pasal 1 butir 31 , satu hari adalah 24 jam
[44]Pasal 16 UU. No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
[45]Pasal 29 Pasal 16 UU. No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
[46]Muhammada Taufik Makarao, Hukum acara pidana dalam teoi dan Praktek, Jakarta: Ghalia
Indonesia hal,24 – 82.
[47]Penjelasan pasl 55 UU No.23 Tahun 2014.
[48]Pasal 193 (1) KUHAP berbunyi “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah
melakukan tinak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.
[49]Psal 50 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.

Anda mungkin juga menyukai