Berbicara mengenai Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga tentu menjadi sesuatu yang
sangat menarik. Terlebih setelah diterbitkannya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perbuatan tersebut dapat dialami
oleh siapa saja, baik laki – laki maupun perempuan dari anak – anak sampai dewasa hal itu
sangat jelas tertuang dalam Pasal 2 Undang – Undang No.23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ruang lingkupnya adalah :
a. Suami, istri dan anak
b. Orang – orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, karena hubungan darah, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan /atau
c. Orang yang bekerja sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c dipandang sebagai anggota
keluarga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.[1]
Jadi dengan demikian, maka sesungguhnya korban (viktim) bahkan pelaku dalam tindak
Pidana ini bisa di cantumkan terhadap siapa saja, baik terhadap suami maupun istri bahkan
anggota keluarga lain didalam rumah tangga.
Sejatinya Rumah Tangga adalah tempat yang dijadikan surga bagi setiap anggota
keluarga, rumah tangga adalah tempat dimana setiap orang bertumbuh, menciptakan suasana
kedekatan,keakraban diantara setiap anggotanya. Namun akan menjadi neraka apabila yang
terjadi kemudian adalah tindakan kekerasan. Keluarga[2]memiliki andil besar dalam
menciptakan kepribadian seseorang, tentu akan menjadi sebuah hal yang buruk, apabila
kekerasan menjadi salah satu menu yang terhidang dalam rumah tangga. Dengan demikian
Perlindungan dan rasa aman sangat diperlukan oleh setiap lapisan masyarakat didunia ini,
dalam hal ini adalah setiap anggota keluarga yang dimaksud oleh pasal 2 Undang – Undang
No.23 tahun 2004 tersebut diatas. Pandangan negara mengenai perlindungan tersebut tertuang
dalam Pasal 28 G (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa :
“ setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat
dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi”[3].
Untuk itu sebagai upaya perlindungan yang berbentuk nyata kepada masyarakat
khususnya korban diperlukan penegakan hukum, salah satu sarana yang dibuat oleh
pembentuk Undang – Undang adalah dengan Pidana [4] sebagaimana yang diatur Bab VIII
UU KDRT tersebut[5]. Lalu yang tidak kalah menarik adalah bagaimana memahami sebab –
sebab, bbentuk dan aspek pidana terhadap tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga
penanganannya bisa dilakukan secara komprehensif. Tentu merupakan cara pandang yang
baru untuk melihat keadaan ini, mengingat secara kultural pada umumnya masyarakat
Indonesia sangat enggan untuk mengurusi hal – hal semacam ini, ini bahkan dianggap tabu
dan tidak untuk konsumsi publik. Pemahaman yang sudah mapan ini, tentu akan mendapat
kendala dalam menerapakan pidanananya. Namun yang perlu juga dipahami, dikarenakan
Undang – Undang itu sendiri diciptakan dengan sifatnya yang memaksa, maka tak pelak
pandangan yang sudah mapan itu akan sedikit banayak mengalami pergeseran, apalagi
dengan maraknya kasus – kasus yang demikian dan volume publisitasnya yang begitu tinggi
di media – media nasional telah membukakan mata piohak – pihak yang selama ini
menganggap hal tersebut tabu.
Sehingga tentunya penting bagi kita masyarakat, khususnya mahasiswa hukum
untuk memahami sebab – sebab, bbentuk dan aspek pidana terhadap tindak Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, sehingga penanganannya bisa dilakukan secara komprehensif., mengingat
begitu masifnya tindak kekerasan ini di era sekarang ini, era dimasa informasi begitu
cepatnya beredar tanpa batasan. Untuk itulah sangat perlu untuk membahas hal ini, dengan
pemahaman yang memadai, maka cara kita menyikapi permasalahan tersebut apabila timbul
di sekitar kita akan lebih tepat. Mahasiswa hukum sebagai akademisi mengemban
tanggungjawab untuk memberikan penjelasan ini, hal tersebutlah yang melatar belakangi
penyusun untuk menyusun makalah ini, dimana Penyusun adalah Mahasiswa Hukum
semester V (lima) di Sekolah Tinggi Hukum Bandung.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah Aspek Pemidanaan Pada Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aspek Pemidanaan
Aspek pemidanaan terdiri dari dua kata, yaitu Aspek dan Pemidanaan. Maka terkait
dengan itu harus ditelaah makna dari dua akta tersebut. Berdasarkan Kamus Besar bahasa
Indonesia defenisi dariaspek/as·pek/ /aspék/ n1tanda: linguis dapat mencatat dengan baik
ucapan-ucapan yang mempunyai -- fonemis;2 sudut pandangan:mempertimbangkan sesuatu
hendaknya dari berbagai --;3 pemunculan atau penginterpretasian gagasan, masalah, situasi,
dan sebagainya sebagai pertimbangan yang dilihat dari sudut pandang
tertentu; 4Ling kategori gramatikal verba yang menunjukkan lama dan jenis perbuatan;[6].
Sehingga apabila di hubungkan dengan kata pemidahaan maka tak lain pengertiannya adalah
“sudut pandang” atau “penginterpretasian” dari Pemidanaan, atau dengan kata yang lebih
sederhana menjawab pertanyaan “bagaimana Pemidanaannya?”. Untuk itu harus
memperhatikan teori dari pemidanaan itu sendiri.
Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai
reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai
kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri,
berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori
relatif (deterrence/utilitarian), teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori
perlindungan sosial (social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai
aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.[7]
Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan
atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi
masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana
pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini,
hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni
memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus
dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi)
kejahatan.
Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi
kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain
yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib masyarakat,
dan untuk menegakan tata tertib masyarakat itu diperlukan pidana. [12]
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang
yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya
adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang
membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini
sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).[13]
Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu :
1. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ;
2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang
lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ;
3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja
(misal karena sengaja atauculpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana ;
4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan ;
5. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur
pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan
kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib
pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari
penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori
relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk
mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu : [14]
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh
melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib
masyarakat;
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi
penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang
dilakukan terpidana.
Defenisi secara Yurudis, Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutaman perempuan , yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik , seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[21] Dengan demikian maka yang dilindungi
disini adalah semua pihak yang ada kaitannya dengan rumah tangga khususnya Perempuan,
lebihspesifiknya bisa suami,istri, anak,orang – orang yang mempunyai hubungan keluarga,
orang yang bekerja dalam rumah tangga [22]. Beberapa asas yang dianut dalam penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga yakni ;
1. Penghormatn Hak Asasi manusia
2. Keadilan dan kesetaraan Gender
3. Nondiskrmnasi, dan
4. Perlindungan Korban[23]
Lebih lanjut dalam dalam penjelasannya, diantara beberapa asa tersebut hanya dijeskan
tentang pengertian dari kesetaraan gender, yaitu suatu keadaan dimana perempuan dan laki –
laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara
penuh hak –hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara
proporsional.
Dalam kaitannya dengan pembahasan bentuk – bentuk kekrasan, maka jenis – jenis
kekerasan yang termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga yaitu : kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga[24] Kekerasan dalam
rumah tangga adalah masalah sosial , bukan masalah keluarga yang harus disembunyikan,
dengan demikian menjadi jelas bahwa pada hakikatnya tujuan dari penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga adalah mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
melindungi korban, menindak pelaku, dan memelihara keutuhan rumah tangga. Jadi
singkatnya kekerasan dalam rumah tangga adalah segala bentuk kekerasan yang ditentukan
oleh UU KDRT yang bentuknya variatif, seperti kekerasan fisik,psikis, seksual dan
penelantaran rumah tangga.
BAB III
METODE PENULISAN
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan saya adalah :
Bahwa dengan adanya ketentuan pidana alam UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa pada hakikatnya Undang
– Undang tersebut tidak dapat dipisahkan dari Aspek Pemidaan sebagai bagian dari Suatu
sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Aspek pemidanaan tersebut berkaitan dari
proses penyelelidikan dengan aduan atau laporan, penyidikan, penuntutan hingga putusan
pengadilan yang kemudian berakhir pada pelaksanaan pidana oleh Terpidana baik itu berupa
Pidana Penjara di Lembaga Pemasyaraktan yang dijatuhi pidana penjara atau
pemenuhan/pembayaran denda yang dijatuhi Pidana Denda. Selanjutnya selain itu sema ada
bentuk sanksi lain, yang dinamakan pidana tambahan berupa pembatasan gerak dan
konseling. Itu semua merupakan aspek pemidanaan yang ada dalam tindak kekerasan dalam
rumah tangga.
B. SARAN
Beberapa saran yang dapat saya sampaikan adalah :
1. Adanya sosialisasi yang intens dan masif dalam masyarakat terkait KDRT.
2. Ada perhatian khusus tentang perlindungan korban agar berani mengambil tindakan atas
kekerasan yang dialaminya (seperti perlindungan sementara).
3. Masyarakat lebih berperan aktif dalam memeragi KDRT sebab dilindungi oleh Pasal 15 UU
KDRT.
DARTAR PUSTAKA
a. Buku - buku
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010.
Aroma Elmina Martha, Hukum KDRT, Yogyakarta : PT. Aswajapressindo, 2015
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Rafika
Aditama, 2009.
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika,, 2009.
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif yuridis –
viktimologis, Jakarta : PT. Sinar Grafika,2011 cetakan ke II.
Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek,
Jakarta : PT. Ghalia Indonesia, 2010.
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung : Alumni, Bandung,
1992.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005
b. Undang – Undang
KUHP tejemahan Profesor Mulyatno, cetakan ke 30.
Undang – Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Undang – Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
Undang – Undang Dasar 1945
[1] Pasal 2 Undang – undang No.23 Tahun 2004 tetang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
[2] Pasal 1 (30) UU. No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP “keluarga adalah mereka yang
mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan perkawinan dengan mereka
yang terlibat dalam suatu proses pidana sebagaimana diatur dalam Undang – Undang ini.
[3] Pasal 28 G (1) UUD 1945
[4] Jenis Pidana yang dianut oleh UU No.23 tahun 2004 adalah Pidana Penjara dan Denda
beserta Pidana tambahan berupa pembatasan gerak dan program konseling.
[5] Pasal 44 sampai 53 UU No.23 Tahun 2004.
[6] “Aspek” dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Online
[7]Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Rafika
Aditama, 2009, Hlm 22.
[8]Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, Hlm 105.
[9]Dwidja Priyanto, Op. Cit, Hlm 24.
[10]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, Hlm 90.
[12]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, Hlm 96-97.
[13]Dwidja Priyanto, Op. Cit, Hlm 26
[14]Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010, Hlm 162-163.
[15]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, Hlm 96-97
[16]Muladi dan Barda Nawawi, Op. Cit, Hlm 12.
[17] ibid
[18]Aroma Elmina Martha, Hukum KDRT,Yogyakarta : Aswara Presindo, 2015, Hlm 1.
[19]ibid
[20]id
[21]Pasal 1 butir 1 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
[22]Pasal 2 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
[23]Pasal 3 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT
[24]Pasal 5 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT
[25]Pasal 4 KUHAP mengatakan semua pejabat kepolisian adalah penyidik.
[26]Aroma Elmina Martha, Op.Cit, Hlm 67
[27]Mulyatno, KUHP,Yogyakarta : Bumi Aksara, 2012, cetakan ke 30.