Anda di halaman 1dari 16

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Anemia

Anemia adalah tingkat kekurangan zat besi yang paling berat dan

terjadi bila konsentrasi hemoglobin (Hb) jauh dibawah ambang batas yang

ditentukan.

Anemia dalam kehamilan yang disebabkan karena kekurangan zat

gizi, jenis pengobatannya relatif mudah bahkan murah. Kurangnya zat besi

(Fe) Anemia adalah kondisi dengan kadar (Hb) dalam darahnya kurang dari

12 gr%. Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan

kadar Hb di bawah 11 gr% pada trimester I dan trimester II (Hyder, 2002).

Dalam tubuh pada ibu hamil karena perdarahan menahun atau berulang di

semua bagian tubuh. Faktor resiko defisiensi zat besi (Fe) terjadi pada ibu

hamil karena cadangan besi dalam tubuh lebih sedikit sedangkan

kebutuhannya lebih tinggi yaitu antara 1-2 mg zat besi (Fe) secara normal

(Puspasari, 2008).

B. Klasifikasi anemia dalam kehamilan

Menurut Mochtar (1998) klasifikasi anemia dalam kehamilan adalah

sebagai berikut:

1. Anemia defisiensi besi

Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam

darah. Pengobatannya yaitu bagi wanita hamil, tidak hamil dan dalam
5

laktasi yang memerlukan asupan zat besi dianjurkan untuk diberikan

tablet besi. Untuk menegakkan diagnosa anemia defisiensi besi dapat

dilakukan dengan anamnesa. Kebutuhan zat besi pada wanita hamil yaitu

rata-rata mendekati 800 mg.

2. Anemia megaloblastik

Adalah anemia yang disebabkan oleh karena kekurangan asam

folik, jarang sekali karena kekurangan vitamin B 12.

3. Anemia Hipoplastik

Adalah anemia yang disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang,

membentuk sel darah merah baru. Untuk diagnostik diperlukan

pemeriksaan diantaranya darah tepi lengkap, pemeriksaan fungsi

ekternal dan pemeriksaan retikulasi.

4. Anemia hemolitik

Adalah anemia yang disebabkan oleh penghancuran atau

pemecahan sel darah merah yang lebih cepat pembuatannya. Gejala

utama dengan kelainan gambaran darah, kelelahan, kelemahan serta

gejala komplikasi bila terjadi kelainan pada organ-organ vital.

C. Kebutuhan zat besi pada ibu hamil

1. Zat besi

Zat besi merupakan bagian dari molekul hemoglobin, ketika

tubuh kekurangan zat besi (Fe), produksi hemoglobin akan menurun.

Penurunan hemoglobin sebetulnya akan terjadi jika cadangan zat besi

(Fe) dalam tubuh sudah benar-benar habis. Kebutuhan zat besi (Fe) pada

ibu hamil terjadi peningkatan, dimana asupan kurang atau rendah,


6

sehingga tidak mencukupi tingkat yang dibutuhkan yang menimbulkan

anemia (Thirukkanesh, 2010).

Kebutuhan Fe pada ibu hamil yaitu dianjurkan kombinasi 60 mg

besi dan 50 nanogram asam folat untuk profilaksis anemia (Depkes RI,

2002). Kebutuhan zat besi pada wanita hamil yaitu rata-rata mendekati

800 mg. Kebutuhan ini terdiri dari sekitar 300 mg diperlukan untuk janin

dan plasenta serta 500 mg lagi digunakan untuk meningkatkan massa

maternal. Selama kehamilan dengan perhitungan 288 hari ibu hamil akan

menghasilkan zat besi sebanyak 100 mg sehingga kebutuhan zat besi

masih kekurangan untuk wanita hamil (Hasanah, 2007; Simon, 1995)

Faktor resiko terjadinya anemia akibat dari kekurangan zat besi

(Fe) lebih banyak pada wanita dibandingkan laki-laki. Cadangan besi

dalam tubuh wanita lebih sedikit sedangkan kebutuhan per harinya justru

lebih tinggi. Seorang wanita dalam sehari akan kehilangan sekitar 1-2

mg zat besi melalui ekskresi secara normal. Pada saat haid, kehilangan

zat besi bisa bertambah hingga 1 mg (Hyder, 2002).

2. Mengkonsumsi tablet zat besi (Fe)

Tablet zat besi (Fe) adalah tablet untuk suplementasi

penanggulangan anemia gizi yang setiap tablet mengandung fero sulfat

200 mg atau setara 60 mg besi elemental dan 0.25 mg asam folat.

Pelayanan pada ibu hamil baik pada K1 maupun K4 ibu hamil akan

dibekali dengan tablet zat besi (Puspasari, 2008).

Konsumsi suplemen zat besi (Fe) sebaiknya dilakukan secara

hati-hati sesuai dengan dosis yang dianjurkan, karena asupan zat besi
7

(Fe) secara berlebihan tidak dibenarkan tetapi dapat menimbulkan

gangguan kesehatan. Mengkonsumsi suplemen zat besi (Fe) dapat

menimbulkan mual, nyeri lambung, konstipasi, ataupun diare sebagai

efek sampingnya. Untuk mengatasinya dengan mengkonsumsi setengah

dosis yang ditingkatkan secara berlahan-lahan sampai mencapai dosis

yang dianjurkan (Purwaningsih, 2006).

D. Kadar Hemoglobin

Hemoglobin adalah protein majemuk yang tersusun atas protein

sederhana yaitu globin dan radikal prostetik yang berwarna, yang disebut

heme. Protein ini terdapat dalam butir-butir darah merah dan dapat

dipisahkan daripadanya dengan cara pemusingan. Berat molekulnya yang

ditentukan dengan ultrasentrifuge sebesar 68.000, merupakan protein

pertama yang diperoleh dalam bentuk hablur (Hyder, 2002). Hemoglobin

merupakan protein pembawa oksigen dalam darah. Tiap liter darah

mengandung kira-kira 150 gr hemoglobin. Kadar hemoglobin adalah

jumlah K3Fe (CN)6 akan diubah menjadi methemoglobin yang kemudian

diubah menjadi hemoglobin sianida (HiCN) oleh KCN dengan batas

ambang berat bila Hb < 8 gr/dl, anemia ringan jika Hb > 8 – 11 gr/dl dan

normal pada ibu hamil Hb > 11 gr/dl (Hyder, 2002).

Kadar hemoglobin pada darah dikatakan anemia apabila kadar Hb

dasar pada pria <13 gr/%, wanita < 12 gr/% dan pada ibu hamil < 11 gr/%.

Gangguan medis yang paling umum ditemui pada masa hamil,

mempengaruhi sekurang – kurangnya 20% wanita hamil. Wanita hamil

memiliki insiden komplikasi puerperal yang lebih tinggi, dari pada wanita
8

hamil dengan nilai hematology normal. Dikatakan anemia bila kadar Hb

pada wanita hamil trimester I < 11 gr/dl, trimester II < 10,5 gr/dl dan

trimester III < 10 gr/dl (Hasanah, 2007).

Kadar Hb ibu hamil terjadi jika produksi sel darah merah

meningkat, nilai normal hemoglobin (12 sampai 16 gr/%) dan nilai normal

hematokrit (37% sampai 47%) menurun secara menyolok. Penurunan

lebih jelas terlihat selama trimester kedua, saat terjadi ekspansi volume

darah yang cepat. Apabila nilai hematokrit turun sampai 35% atau lebih,

wanita dalam keadaan anemia (Hasanah, 2007).

Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah mulai sejak

kehamilan umur 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan

antara 32 dan 36 minggu. Dari kehamilan 8 minggu sampai 40 hari

postpartum, kadar Hb, jumlah eritrosit dan nilai hematokrit, ketiganya

turun sehingga kehamilan sampai 7 hari postpartum. Setelah itu ketiga

nilai meningkat pada dan pada 40 hari postpartum mencapai angka yang

kira-kira sama dengan diluar kehamilan. Batas terendah untuk kadar Hb

dalam kehamilan nilai 10 gr/dl, bila kurang dari itu disebut anemia dalam

kehamilan. Menurut klasifikasi WHO kadar Hb untuk ibu hamil ditetapkan

menjadi tiga kategori yaitu Normal (> 11 gr/%), anemia ringan (8-11 gr/%)

dan anemia berat (< 8 gr/% ) (Gaventa, 2001).


9

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil

a. Umur

Umur adalah usia ibu yang secara garis besar menjadi

indikator dalam kedewasaan dalam setiap pengambilan keputusan

yang mengacu pada setiap pengalamannya. Umur sangat berpengaruh

pada kepatuhan ibu mengkonsumsi tablet Fe (zat besi), dimana

semakin muda umur yang ibu hamil maka dapat menyebabkan

ketidaksiapan ibu dalam menerima sebuah kehamilan yang berdampak

pada terjadinya gangguan selama kehamilan misalnya akan terjadi

anemia (Depkes RI, 2001).

Usia seorang perempuan dapat mempengaruhi emosi

selama kehamilannya. Usia antara 20-30 tahun merupakan periode

yang paling aman untuk melahirkan. Sebab pada usia tersebut fungsi

alat reproduksi dalam keadaan optimal. Sedangkan pada umur kurang

dari 20 tahun kondisi masih dalam pertumbuhan, sehingga masukan

makanan banyak dipakai untuk ibu yang mengakibatkan gangguan

pertumbuhan janin. Di negara berkembang sekitar 10-20% bayi

dilahirkan dari ibu dengan usia remaja (Depkes RI, 2001).

b. Jarak kehamilan

Jarak kehamilan adalah sejak ibu hamil sebelumnya sampai

terjadinya kehamilan sekarang (Amiruddin, 2004). Setiap kehamilan

akan menyebabkan cadangan zat besi berkurang. Pada setiap akhir

kehamilan diperlukan waktu 2 tahun untuk mengembalikan cadangan

zat besi ke tingkat normal dengan syarat bahwa selama masa tenggang
10

waktu tersebut kesehatan dan gizi dalam kondisi yang baik. Maka

sebaiknya jarak persalinan terakhir dengan jarak persalinan berikutnya

minimal 2 tahun. Dengan adanya tenggang waktu tersebut diharapkan

ibu dapat mempersiapkan keadaan fisiknya dengan cara makanan

yang mengandung protein dan zat besi serta bergizi tinggi untuk

menghindari terjadinya anemia. Hal tersebut juga akan memberikan

kesempatan kepada organ-organ tubuh untuk memulihkan fungsi faal

maupun anatomisnya (Manuaba, 2007)

Makin pendek jarak kehamilan makin besar kematian

maternal bagi ibu dan anak, terutama jika jarak tersebut < 2 tahun

dapat terjadi komplikasi kehamilan dan persalinan seperti anemia

berat, partus lama dan perdarahan. Seorang wanita memerlukan waktu

2 – 3 tahun untuk jarak kehamilannya agar pulih secara fisiologis

akibat hamil atau persalinan sehingga dapat mempersiapkan diri untuk

kehamilan dan persalinan berikutnya (Manuaba, 2007)

Berdasarkan analisis data yang dilakukan Amirudin (2004)

diperoleh bahwa responden paling banyak menderita anemia pada

jarak kehamilan < 2 tahun. Hasil uji memperlihatkan jarak kehamilan

mempunyai risiko lebih besar terhadap kejadian anemia. Hal ini

dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan kebutuhan

zat-zat gizi belum optimal, sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi

janin yang dikandung.

c. Pendidikan
11

Tingkat rendahnya pendidikan erat kaitannya dengan

tingkat pengertian tentang zat besi (Fe) serta kesadarannya terhadap

konsumsi tablet zat besi (Fe) untuk ibu hamil. Keadaan defisiensi zat

besi (Fe) pada ibu hamil sangat ditentukan oleh banyak faktor antara

lain tingkat pendidikan ibu hamil. Tingkat pendidikan ibu hamil yang

rendah mempengaruhi penerimaan informasi sehingga pengetahuan

tentang zat besi (Fe) menjadi terbatas dan berdampak pada terjadinya

defisiensi zat besi (Grossman, 1999).

d. Kepatuhan konsumsi tablet Fe

Kepatuhan merupakan hasil akhir dari perubahan perilaku

yang dimulai dari peningkatan pengetahuan. Pengetahuan yang baik

tentang sesuatu akan merubah sikap orang tersebut. Pengetahuan baru

yang dimilikinya selanjutnya akan merubah perilakunya. Dalam

merubah perilakunya seseorang terlebih dahulu menilai manfaat yang

akan dia dapatkan (Notoatmodjo, 2003). Seorang ibu disebut patuh

minum tablet fe apabila ≥ 90% dari jumlah seharusnya telah diminum

(Sivanganan, 2015).

Menurut hasil penelitian Gunawan (2004), bumil yang tidak

mengkonsumsi tablet besi (Fe) mempunyai peluang untuk menderita

anemia sebesar 3,48 kali lebih besar dibandingkan dengan bumil yang

mengkonsumsi tablet Fe dengan baik dan ada hubungan yang

bermakna antara mengkonsumsi tablet Fe dengan kejadian anemia

pada bumil (Gunawan, 2004).


12

Di Indonesia, program pencegahan anemia pada ibu hamil

yaitu dengan memberikan suplemen Fe sebanyak 90 tablet selama

masa kehamilan. Namun banyak ibu hamil yang menolak atau tidak

mematuhi anjuran karena berbagai alasan sehingga prevalensi pada

anemia ibu hamil masih tinggi (Departemen Kesehatan RI, 2003).

e. Pekerjaan

Banyak ibu-ibu bekerja mencari nafkah, baik untuk

kepentingan sendiri maupun keluarga. Faktor bekerja saja nampak

belum berperan sebagai timbulnya suatu masalah pada ibu hamil,

tetapi kondisi kerja yang menonjol, aktifitas yang berlebih dan

kurangnya istirahat saat bekerja berpengaruh pada kurangnya zat besi.

Selain itu penyediaan makanan dari perusahaan tempat ibu hamil

bekerja yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi ibu hamil akan

berisiko kekurangan anemia gizi, jika hal ini terjadi dalam waktu

panjang (Grossman, 1999)

f. Pengetahuan Ibu Hamil

Pengetahuan merupakan hasil dari akibat proses

penginderaan terhadap suatu obyek baik meliputi penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan

domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang

atau terbentuknya praktek. Karena dari pengalaman dan penelitian


13

ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng

dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan melalui

wawancara dengan alat bantu kuisioner yang menanyakan tentang isi

materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden.

Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat

kita sesuaikan dengan tingkatan (Puspasari, 2008).

g. Paritas

Salah satu yang mempengaruhi anemia adalah jumlah anak

dan jarak antara kelahiran yang pendek. Di Negara yang sedang

berkembang terutama didaerah pedesaan, ibu-ibu yang berasal dari

tingkat sosial ekonomi yang rendah dengan jumlah anak yang banyak

dan jarak kehamilan pendek serta masih menyusui untuk waktu yang

panjang tanpa memperhatikan gizi saat laktasi akan sangat berbahaya

bagi kelangsungan hidup anak dan sering menimbulkan anemia pada

ibu hamil (Gaventa, 2001).

Jumlah anak yang dilahirkan wanita selama hidupnya

sangat mempengaruhi kesehatan. Kelahiran yang pertama disertai

bahaya komplikasi yang agak tinggi atau kematian ibu dan anak

dibandingkan dengan kelahiran yang kedua atau ketiga, terutama

karena kelahiran pertama menunjukan kelemahan-kelemahan fisik

atau ketidak normalan keturunan ibu. Kelahiran kedua atau ketiga

pada umumnya lebih aman dari pada kelahiran keempat, kematian ibu,

bayi lahir mati dan angka kematian bayi meningkat. Angka kematian
14

bayi dan anak semakin meningkat dengan kelahiran anak kelima dan

setiap anak yang menyusul sesudahnya

h. Infeksi dan Penyakit

Zat besi merupakan unsur penting dalam mempertahankan daya tahan

tubuh agar tidak mudah terserang penyakit. Menurut penelitian, orang

dengan kadar HB < 10 gr/dl memiliki kadar sel darah putih (untuk

melawan bakteri) yang rendah pula. Seseorang dapat terkena anemia

karena meningkatnya kebutuhan tubuh akibat kondisi fisiologis

(hamil, kehilangan darah karena kecelakaan, pasca bedah atau

menstruasi), adanya penyakit kronis atau infeksi (infeksi cacing

tambang, malaria, TBC, diare, gastritis, dan lain-lain).

F. Patofisiologi anemia pada ibu hamil

Darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim

disebut Hidremia atau Hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel darah

kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi

pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah sebagai berikut: plasma

30%, sel darah 18% dan haemoglobin 19% Bertambahnya darah dalam

kehamilan sudah dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai

puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu. Secara fisiologis,

pengenceran darah ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang

semakin berat dengan adanya kehamilan (Hanifa, 2002).


15

Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh

karena perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dan

pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada

trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan

meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterm serta

kembali normal 3 bulan setelah partus (Rukiyah, 2010).

G. Komplikasi

1. Efek anemia pada ibu hamil yaitu sebagai berikut :

a. Trimester I : anemia dapat mengakibatkan abortus, missed abortus

dan kelainan kongenital

b. Trimester II : mengakibatkan persalinan prematur, perdarahan

antepartum, gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia

aintrauterin sampai kematian, berat badan bayi lahir rendah, gestosis

dan mudah terkena infeksi, IQ rendah dan bahkan bisa

mengakibatkan kematian.

c. Trimester III : merupakan saat inpartu anemia dapat menimbulkan

gangguan his baik primer maupun sekunder. Janin akan lahir dengan

anemia dan persalinan dengan tindakan yang disebabkan karena ibu

cepat lelah. Setelah post partum anemia dapat menyebabkan atonia

uteri, tensio placenta, perlukaan sukar sembuh, mudah terjadi febris

puerpurolis dan gangguan involusio uteri.

2. Akibat kekurangan zat besi (Fe) Pada ibu hamil yaitu sebagai berikut :

a. Anemia Gizi
16

Anemia gizi adalah kekurangan kadar (Hb) dalam darah

yang disebabkan karena kekurangan zat besi yang (Fe) diperlukan

untuk pembentukan haemoglobin. Sebagian besar anemia terjadi

pada ibu hamil karena kekurangan zat besi (Fe) yang disebut anemia

kekurangan zat besi atau anemia gizi besi (Muryanti, 2006).

Anemia gizi besi dapat terjadi karena kandungan zat besi

(Fe) yang berasal dari makanan yang dikonsumsi ibu hamil tidak

mencukupi kebutuhan dimana makanan yang kaya akan kandungan

zat besi (Fe) seperti makanan sumber hewani (daging, ikan) serta

makanan yang mengandung sumber nabati (sayuran hijau), serta

meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi (Fe) yaitu pada masa

hamil. Kebutuhan zat besi (Fe) meningkat karena zat besi (Fe)

diperlukan untuk pertumbuhan janin serta untuk kebutuhan ibu

sendiri (Hyder, 2002).

b. Anemia defisiensi zat besi (Fe)

Anemia defisiensi zat besi (Fe) merupakan anemia yang

terjadi karena kebutuhan zat besi (Fe) untuk erithopoetic tidak

cukup, biasanya ditandai dengan eritrosit mikrositik, kadar besi

serum rendah, satu rasi transferin mengurang dan tidak adanya zat

besi (Fe) pada sumsum tulang dan tempat cadangan zat besi (Fe)

yang lain. Pemeriksaan dan pengawasan haemoglobin dapat

dilakukan dengan menggunakan alat Sahli. Berkurangnya kadar

haemoglobin pada wanita hamil menurut WHO adalah, normal (11


17

gr%), anemia ringan (10-11 gr%), anemia sedang (7-0 gr%), anemia

berat (<7 gr%) (Hyder, 2002).

Pada ibu hamil jika terjadi anemia defisiensi zat besi (Fe)

dapat menimbulkan perdarahan sebelum atau saat persalinan,

meningkatnya risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir

rendah (BBLR <2,5 kg). Pada anemia berat, bahkan dapat

menyebabkan kematian ibu atau bayinya, untuk itu dibutuhkan

suatu penangganan defisiensi zat besi (Fe) melalui pencegahan

dengan memberikan tablet zat besi (Fe) pada ibu hamil yang

dibagikan pada waktu memeriksakan kehamilan, dimana suplemen

tablet besi (Fe) merupakan salah satu cara yang paling efektif

meningkatkan kadar zat besi (Fe) dalam jangka pendek (Hyder,

2002).

H. Tatalaksana

a. Tatalaksana Umum

Apabila diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan pemeriksaan

apusan darah tepi untuk melihat morfologi sel darah merah. Bila

pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia, berikan suplementasi

besi dan asam folat. Tablet yang saat ini banyak tersedia di Puskesmas

adalah tablet tambah darah yang berisi 60 mg besi elemental dan 250

µg asam folat. Pada ibu hamil dengan anemia, tablet tersebut dapat

diberikan 3 kali sehari. Bila dalam 90 hari muncul perbaikan,

lanjutkan pemberian tablet sampai 42 hari pascasalin. Apabila setelah


18

90 hari pemberian tablet besi dan asam folat kadar hemoglobin tidak

meningkat, rujuk pasien ke pusat pelayanan yang lebih tinggi untuk

mencari penyebab anemia.

b. Tatalaksana Khusus

Bila tersedia fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan penyebab

anemia berdasarkan hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan apus

darah tepi.

i. Anemia mikrositik hipokrom dapat ditemukan pada keadaan:

1. Defisiensi besi: lakukan pemeriksaan ferritin. Apabila

ditemukan kadar ferritin < 15 ng/ml, berikan terapi besi dengan

dosis setara 180 mg besi elemental per hari. Apabila kadar

ferritin normal, lakukan pemeriksaan SI dan TIBC

2. Thalassemia: Pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu

dilakukan tatalaksana bersama dokter spesialis penyakit dalam

untuk perawatan yang lebih spesifik

ii. Anemia normositik normokrom dapat ditemukan pada keadaan:

1. Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari tanda dan gejala aborsi,

mola, kehamilan ektopik, atau perdarahan pasca persalinan

2. Infeksi kronik

iii. Anemia makrositik hiperkrom dapat ditemukan pada keadaan:

Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1 x 2 mg

dan vitamin B12 1 x 250-1000 µg

iv. Transfusi untuk anemia dilakukan pada pasien dengan kondisi

berikut:
19

1. Kadar Hb <7 g/dl atau kadar hematokrit <20 %

2. Kadar Hb >7 g/dl dengan gejala klinis: pusing, pandangan

berkunang-kunang, atau takikardia (frekuensi nadi >100x per

menit)

v. Lakukan penilaian pertumbuhan dan kesejahteraan janin dengan

memantau pertambahan tinggi fundus, melakukan pemeriksaan USG,

dan memeriksa denyut jantung janin secara berkala (WHO, 2013).

Anda mungkin juga menyukai