Pendahuluan
Di dalam ajaran agama yang diwahyukan ada dua jalan untuk memperoleh
pengetahuan, pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada
manusia, dan kedua jalan akal, yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan
memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk
sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini
bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal
bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah.
Makalah ini akan mencoba membahas kedua hal tersebut. Sebuah topik pembahasan
yang sarat dengan dialektika para ulama, baik yang terdahulu hingga kini; sebuah
telaah sederhana guna mencoba memahami pemikiran-pemikiran ulama terdahulu
yang telah terlebih dahulu hanyut dalam perdebatan panjang.
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-aql yang
dalam bentuk kata benda, berlainan dengan al-wahy, tidak terdapat dalam Al-
Quran. Al-Quran hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh dalam 1 ayat,
ta’qilun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qilun 22 ayat. Kata-kata itu
datang dalam arti faham dan mengerti.
Kamus bahasa Arab Lisan Al-‘Arab menjelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr
menahan dan al-‘aqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu.
Seterusnya diterangkan pula bahwa al-‘aql mengandung arti kebijaksanaan, al-nuha,
lawan dari lemah pikiran, al-humq. Selanjutnya disebut bahwa al-‘aql juga
mengandung arti kalbu, al-qalb.
Arti asli dari kata ‘aqala kelihatannya adalah mengikat dan menahan dan orang yang
‘aqil di jaman jahiliah, yang dikenal dengan hamiyyah atau darah panasnya, adalah
orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap
dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang
dihadapinya.[1]
Dalam pemahaman Profesor Izutsu (Harun Nasution, 1986), kata ‘aql di jaman
jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam
istilah psikologi mpdern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving
capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan
problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi.
Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab jaman jahiliah.[2]
Wahyu sendiri berasal dari kata Arab al-wahy, dan al-wahy adalah kata asli Arab
dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan
kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan
kitab. Al-Wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi
dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan
Tuhan kepada nabi-nabi”.
Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan
kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia dalam perjalanan
hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu atau sabda
Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya
dalam Al-Quran.[3]
Banyak terdapat dalam buku-buku klasik tentang ilmu kalam yang membahas
persoalan akal dan wahyu, keduanya terkait dengan dua masalah pokok yang
masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal mengetahui Tuhan dan
masalah kedua soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang menjadi mengetahui
Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah Arab disebut husnul
ma’rifah Allah dan wujud ma’rifah Allah.[4] Kedua cabang dari masalah kedua
ialah: mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan
kewajiban menjauhi perbuatan jahat atau ma’rifah i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-
qabih, yang disebut al-tahsin wa al-taqbih.[5]
Polemik yang terjadi antara aliran-aliran teologi Islam yang bersangkutan ialah:
yang manakah di antara keempat masalah itu yang dapat diperoleh melalui akal dan
mana melalui wahyu? Masing-masing aliran memberikan jawaban-jawaban yang
berlainan.
Jelas bahwa antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah terdapat perbedaan besar mengenai
kesanggupan akal manusia. Kalau bagi aliran pertama daya fikir manusia adalah
kuat, bagi aliran kedua akal adalah lemah.
Kaum Maturidiah Bukhara tidak sefaham dengan Samarkand dalam hal ini. Bagi
Bukhara hanya pengetahuan-pengetahuan yang dapat diperoleh akal. Adapun
kewajiban-kewajiban, itu wahyulah yang menentukannya. Jadi yang dapat diketahui
akal hanya dua dari ke-empat masalah di atas, yaitu adanya Tuhan dan kebaikan
serta kejahatan.
Jika diadakan perbandingan antara ke-empat golongan ini akan dijumpai bahwa dua
aliran memberi daya kuat kepada akal, aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiah
Samarkand dan dua aliran memandang akal manusia lemah, aliran Maturidiah
Bukhara dan Asy’ariah. Dan jika diperinci lebih lanjut lagi Mu’tazilah memberi
angka 4 kepada akal, Maturidiah Samarkand memberi angka 3, Maturidiah Bukhara
memberi angka 2, dan Asy’ariah memberi angka 1. Uraian di atas menunjukkan
bahwa akal mempunyai kedudukan terkuat dalam pendapat Mu’tazilah dan terlemah
dalam pendapat Asy’ariah.
Kalau demikian peranan akal dalam soal keagamaan, timbul pertanyaan: apa jadinya
fungsi wahyu? Pertanyaan ini terutama dihadapkan kepada golongan Mu’tazilah dan
maturidiah Samarkand yang memberikan daya kuat kepada akal manusia.
Akal dalam pendapat Mu’tazilah dapat mengetahui hanya garis-garis besar dari ke-
empat masalah di atas. Akal, kata Al Qadi ‘Abd Al-Jabbar, seorang pemuka
Mu’tazilah dapat mengetahui kewajiban-kewajiban secara umum, tetapi tidak
sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti,
maupun mengenai hidup manusia di dunia sekarang. Wahyu datang untuk
menjelaskan perincian dari garis-garis besar itu. Umpamanya akal dapat mengetahui
kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui
cara dan perinciannya. Wahyulah yang menjelaskan cara dan perincian kewajiban
tersebut yaitu dalam bentuk salat lima kali sehari. Zakat sekali setahun, puasa
sebbulan setahun dan haji sekali seumur hidup.
Selanjutnya tidak semua kebaikan dan kejahatan dapat diketahui akal. Akal, kata
Ibnu Abi Hasyim, seorang tokoh Mu’tazilah lain, mengetahui kewajiban menjauhi
perbuatan-perbuatan yang membawa kemudaratan, tetapi ada perbuatan-perbuatan
yang tak dapat diketahui akal apakah membawa kebaikan atau kejahatan. Dalam hal
demikian wahyulah yang menentukan buruk atau baiknya perbuatan bersangkutan.
Umpamanya akal mengatakan bahwa meotong binatang adalah perbuatan tidak
baik. Tetapi wahyu turun menjelaskan bahwa menyembelih binatang untuk
keperluan-keperluan tertentu, seperti memperingati peristiwa keagamaan
bersejarah, memperkuat tali persahabatan dengan tetangga dan menunjukkan rasa
kasih sayang kepada fakir miskin, adalah baik.
Jelas kiranya bahwa kaum Mu’tazilah, sungguhpun mereka memberi daya yang kuat
kepada akal, tidak membelakangkan wahyu, tetapi tetap berpegang dan berhajat
pada wahyu. Demikian pula kaum Maturidiah Samarkand. Adapun Maturidiah
Bukhara dan kaum Asy’ariah, bagi kedua aliran ini fungsi wahyu lebih banyak dari
padabegi kedua aliran di atas.
Bagi mereka hanya wahyulah yang dapat menentukan wajibnya bagi manusia
sebagai makhluk untuk berterimakasih kepada sang Pencipta, hanya wahyulah yang
dapat menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk dan hanya
wahyulah yang dapat mewajibkan orang berbuat baik dan mewajibkannya menjauhi
perbuatan jahat. Akal tidak mempunyai peranan dalam hal-hal ini. Bagi Asy’ariah
bahkan akal tidak dapat mengetahui kebaikan dan kejahatan. Sekiranya tidak ada
wahyu, manusia tidak akan dapat membedakan antara apa yang baik dan apa yang
buruk. Dalam hubungan ini Al-Asy’ari menjelaskan bahwa berdusta adalah
perbuatan jahat karena wahyu menentukan demikian; sekiranya wahyu mengatakan
berdusta adalah perbuatan baik, maka itu mesti baik, dan jika berdusta diwajibkan
Tuhan, maka ia mesti bersifat wajib.
Sejalan dengan uraian ini, maka manusia dalam pandangan Mu’tazilah dan
Maturidiah Samarkand merupakan manusia yang kuat sedang dalam pandangan
Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara manusia merupakan makhluk lemah.
Diungkapkan dengan kata-kata lain, kalau dalam paham aliran pertama manusia
merupakan dewasa dan dapat berdiri sendiri, dalam paham kedua aliran lainnya
manuia merupakan anak yang belum dewasa dan masih banyak bergantung pada
bimbingan orang lain.
[1] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986, hlm 5-6.
[2] Toshihiko Izutsu, Litt. D., God and Man in the Quran, Tokio, Keio University,
1964, hlm. 65.
[3] Ibid, hlm. 15
[4] Lihat al-Syahrastani, Kitab Nihayah al-Iqdam fi ‘Ilm al-Kalam (selanjutnya
disebut Nihayah) London, 1934, hlm.371.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986. Hlm 81-82
[6] Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
Hlm. 97-111
[7] Ibid. hlm. 112-139
[8] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986. Hlm. 80-81
P E ND A H UL U AN
K e d u d u k a n a k a l d a n w a h yu d a l a m I s l a m m e n e m p a t i p o s i s i ya n g
s a n g a t t e r h o r m a t , m e l e b i h i agama-agama lain. karena Akal dan wahyu adalah suatu
yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk
mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu
sehingga mnghasilkan budi pekrti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan
dan juga tujuan dari baginda rasulullah SAW. Tidak hanaya itu dengan akal juga manusia
bisa menjadi ciptaan pilihan yang allah amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi
ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian allah yang sangat luar
biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Namun dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid, karena
ketauhitan sang pencipta tak akan terukur dalam menemukan titik ahir, begitu pula dengan
wahyu sang Esa, karena wahyu diberikan kepada orang-orang terpilih dan semata-mata untuk
menunjukkan kebesaran Allah. Maka dalam menangani anatara wahyu dana akal harus slalu
mengingat bahwa semua itu karna allah semata. Dan tidak akan terjadi jika allah tak
mengijinkannya. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kemusyrikan terhadap allah karena
kesombongannya.
BAB II
RUMUSAN MAKALAH
1) Wahyu
2) Akal
3) Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam Islam
BAB III
PEMBAHASAN
A. Wahyu
a. Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan
pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan.[1] Dan ketika Al-Wahyu
berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu wahyu sering
disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa
seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhada
Nabi-NabiNYA ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.[2]
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah
pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa
semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui pelantara maupun tanpa pelantara. Baik
menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainya.
b. Fungsi wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksut memberi informasi
disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan,
menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian
upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan allah kepada
nabi-nabiNYA untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak
menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu
Allah SWT.
c. Kekuatan wahyu
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita tidak
mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karna itu wahyu diyakini memiliki kekuatan
karena beberapa faktor antara lain:
1) Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2) Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3) Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
4) Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
5) Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
B. Akal
a. Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql ()العـقـل, yang
dalam bentuk kata benda.[3] Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh
( )عـقـلوهdalam 1 ayat, ta’qiluun ( )تعـقـلون24 ayat, na’qil ( )نعـقـل1 ayat, ya’qiluha ( )يعـقـلها1 ayat
dan ya’qiluun ( )يعـقـلون22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Maka
dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk
membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya
sangat luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut
kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut
pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah.
Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan
Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: sutu daya yang hanya dimiliki manusia
dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.
b. Fungsi Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
[1] Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, cetakan kedua, 1986.
[2] Nasution, Harun Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), UI Press, Jakarta,cet.V,1986.
[4] Nasution, Harun, Tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid I,II.
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang disampaikan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai
Rasul-Nya mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah kurang lebih selama 23 tahun. Sebagai agama
wahyu, seperti telah disebutkan berulang-ulang, komponen agama Islam adalah akidah, syari’ah dan
akhlaq yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Selain komponen utama agama islam, di dalam
Al-Qur’an perkataan ilmu ( pengetahuan tentang sesuatu ) dalam berbagai bentuk disebut sebanyak
854 kali. Karena banyak dan seringnya perkataan itu disebut dalam berbagai hubungan atau konteks,
dapatlah disimpulkan bahwa kedudukan ilmu sangat penting dalam agama Islam. Perkataan ilmu
dilihat dari sudut kebahasaan bermakna penjelasan. Menurut Al-Qur’an, ilmu adalah suatu
keistimewaan pada manusia yang menyebabkan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain. Ini
tercermin, seperti dalam kisah nabi Adam sewaktu ditanya oleh Allah tentang nama-nama benda.
Adam dapat menjawab semua nama benda yang Allah tanyakan kepadanya. Dalam surat Al-Baqarah
(2):38. Allah berfirman sambil memerintahkan: “Hai Adam, beritahukan kepada mereka ( Iblis )
nama-nama benda”. Berdasarkan keterangan Al-Qur’an itu, manusia telah mempunyai potensi
berilmu dan mengembangkan ilmunya dengan izin Allah (Quraish Shihab, 1996 : 445).
Pandangan Al-Quran tentang ilmu dan teknologi juga dapat diketahui prinsip - prinsipnya
dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. “Bacalah dengan nama
Tuhanmu yang telah mencipta. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhan
engkau adalah Maha Mulia. Dia yang mengajarkan dengan qalam. Mengajari manusia apa-apa yang
PEMBAHASAN
Akal menghasilkan ilmu, dan ilmu berkembang dalam masa keemasan sejarah Islam. Agar dapat
dipelajari dengan baik dan benar. Sebagian klasifikasi ilmu itu asli dan berpengaruh, tetapi sebagian
lagi hanyalah pengulangan klasifikasi sebelumnya yang kemudian dilupakan orang. Pada massa Al-
Farabi, Al-Gazali, Qutubuddin telah berhasil mengklasifikasikan ilmu Islam menjadi beberapa bagian.
Ketiga tokoh tersebut adalah orang- orang pendiri terkemuka aliran intelektual dan mereka tumbuh
dan berkembang dalam periode-periode penting sejarah Islam. Adapun mereka telah
a. Ilmu Bahasa
b. Ilmu Logika
c. Ilmu Matematis
d. Metafisika
1) Para pengkaji dapat memilih subjek-subjek yang benar-benar membawa manfaat bagi dirinya.
3) Memberikan sarana yang bermanfaat dalam menentukan sejauh mana spesialisasi dapat ditentukan
secara benar.
4) Memberikan informasi kepada para pengkaji tentang apa yang seharusnya dipelajari sebelum
Ilmu teoritis adalah ilmu yang menjadikan keadaan-keadaan yang wujud diketahui sebagaimana
adanya.
Ilmu yang dihadirkan adalah bersifat langsung, serta merta, suprarasional ( diatas atau diluar
jangkauan akal ), intuitif ( berdasar bisikan hati ), dan kontemplatif ( bersifat renungan ). Dia biasa
Ilmu yang dicapai adalah ilmu yang dicapai oleh akal pikiran manusia (ilmu insani)
Ilmu keagamaan adalah ilmu-ilmu yang diperoleh dari para nabi, tidak hadir dari akal pikiran
manusia biasa.
Ilmu intelektual adalah berbagai ilmu yang dicapai atau diperolek melalui kemampuan intelek ( daya
Ilmu fardu ‘ain merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap muslim dan muslimah.
Ilmu fardu kifayah lebih kepada hal-hal yang merupakan perintah ilahi yang bersifat mengikat
b. Ilmu-ilmu nonfilosofi adalah ilmu-ilmu religius atau termasuk dalam ajaran wahyu.
Klasifikasi dari ke-3 tokoh tersebut terhadap ilmu pengetahuan, berpengaruh sampai kini. Di
tanah air kita sering mendengar klasifikasi ilmu dengan : ilmu agama dan ilmu umum.
Pembagian ilmu kedalam 2 golongan ini dilakukan karena menurut Al-Qur’an ada hal-hal yang
ada tetapi tidak diketahui manusia, ada pula yang wujud yang tidak
tampak. Ditegaskan dalam Al-Quran antara lain dalam firmanNya pada surat Al-Haqqah ayat 38-39
yang artinya:
“ Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan yang tidak kamu lihat.”
Dari kalimat terakhir jelas bahwa obyek Ilmu ada 2 yakni : materi dan nonmateri, fenomena
dan nonfenomena, bahkan ada yang wujud yang jangankan dilihat diketahui manusia saja tidak.
Dari kutipan-kutipan ayat-ayat diatas jelas bahwa pengetahuan manusia hanyalah sedikit, dan telah
diregaskan oleh Allah dalam firmanNya:“ kamu tidak diberi ilmu ( pengetahuan ) kecuali sedikit.”(
manusia.
ilmiahnya. Disamping itu perlu dikemukakan bahwa manusia memiliki naluri haus pengetahuan,
mencari harta”
Yang perlu diusahakan adalah mengarahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
untuk kemaslahatan hidup, bukan untuk merusak dan membahayakan umat manusia. Pengarahnya
adalah agama dan moral yang selaras dengan ajaran agama. Disinilah letak hubungan antara agama
Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ( iptek )
Profesi perawat merupakan pekerjaan yang mulia. Menurut handerson, tugas unik perawat
ialah membantu individu baik dalam keadaan sehat maupun sakit melalui berbagai upayanya
melaksanakan berbagai aktivitas guna mendukung kesehatan dan penyembuhan individu atau
proses meninggal dengan damai. Keperawatan juga merupakan manifestasi dari ibadah yang
berbentuk pelayanan profesional dan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang
didasarkan pada keimanan, keilmuan, dan amal serta kiat keperawatanm berbentuk pelayanan bio-
Pada masa ini keperawatan sejalan dengan perang kaum Muslimin/jihad (holy wars), pada masa
tokoh-tokoh Islam dalam dunia kedokteran seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Abu Bakar Ibnu
Pada masa ini negara-negara di Jazirah Arab membangun rumah sakit dengan baik dan
memperkenalkan metode perawatan orang sakit. Di masa ini mulai ada pemisahan antara kamar
perawatan laki-laki dan perempuan dan sampai sekarang banyak diikuti semua rumah sakit di
seluruh dunia.
Pada masa inilah perawat-perawat asing dari dunia barat mulai berkembang. Saat itu, seorang
perawat/bidan Muslimah pada tahun 1960 yang bernama Lutfiyyah Al-Khateeb mendapatkan
Al-Gazali menyebut dalam klasifikasinya, ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardu kifayah. Istilah fardu
‘ain merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap muslim dan muslimah. Ilmu fardu kifayah
merujuk pada hal-hal yang merupakan perintah Ilahi yang mengikat komunitas muslim dan muslimat
Kalau klasifikasi Al-Gazali tersebut diatas dihubungkan dengan ilmu, maka menuntut ilmu
merupakan kewajiban semua umat manusia tidak memandang umur, jenis kelamin ataupun
derajatnya. Sesuai dengan keadaan, bakat, dan kemampuan. Bahwa mencari ilmu adalah kewajiban
bagi setiap manusia dasarnya baik dalam Al-Qur’an maupun di dalam al-Hadist.
Salah satu sifat Allah yang disebut dalam Al-Qur’an adalah ‘Alim yang berarti yang memiliki
pengetahuan. Oleh karena itu pula memiliki pengetahuan merupakan sifat Ilahi dan mencari
pengetahuan merupakan kewajiban bagi setiap orang beriman. Dan apabila orang yang beriman
diwajibkan mewujudkan sifat-sifat Allah dalam diri mereka sendiri seperti dikatakan dalam sebuah
hadist maka setiap orang berkewajiban untuk beriman kepada Allah yang menjadi sumber segala
sesuatu, meneladani sifat-sifat-Nya dan pengetahuan, sehingga wawasan tentang Allah akan
mendarah daging bagi umat manusia. Namun tidak semua sifat Allah dapat kita teladani karena
a. Perbedaan yang jelas antara orang yang berilmu dengan orang yan g tidak berilmu.
b. Hanya orang –orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran ( Q.S 39 : 9 )
c. Hanya orang yang berilmu yang mempu memahami hakikat sesuatu yang disampaikan Allah
e. Orang yang mencari ilmu berjalan dijalan Allah, telah melakukan ibadah.
Pentingnya ilmu menurut agama Islam, dorongan serta kewajiban mencari dan menuntut
ilmu seperti disebutkan diatas, telah menjadikan dunia Islam pada suatu masa di zaman lampau
menjadi pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan. Di masa yang akan datang kejayaan yang telah
ada itu, Insyaallah akan datang kembali kalau pemeluk agama Islam menyadari makna firman allah
“kalian adalah umat terbaik yang yang dilahirkan untuk manusia, mempelajari dan mengamalkan
yang tidak, menerangi jalan kesurga, kawan diwaktu sepi dan teman ketika kita kehilangan sahabat.
c. Ilmu memimpin kita kepada kebahagiaan, menghibur kita dalam duka, perhiasan dalam pergaulan,
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”
ُّللا إِ َُّل إِلَهَُ َُل أَنَّهُ فَا ْعلَ ْم ْ ِل َذ ْنبِكَُ َوا
َُّ ست َ ْغ ِف ُْر
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selainAllah dan
yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat
ikhlas, maka ini bukanlah amalan. Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
َُّارا ي َو ِرثوا لَ ُْم األ َ ْنبِيَا َُء إِن ُْ َوافِرُ بِ َحظُ أ َ َخ َُذ بِ ُِه أ َ َخ َُذ فَ َم
ً َن ا ْل ِع ْل َُم َو َّرثوا إِنَّ َما د ِْر َه ًما َو ُلَ دِين
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu.
Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.”
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setiap muslim wajib menuntut ilmu. Rasulullah saw bersabda: “Menuntut ilmu adalah
kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan”. Allah memberikan keutamaan dan
kemuliaan bagi orang-orang yang berilmu dalam firman-Nya dalam Al-Qur`an surat Al-Mujaadilah
ayat 11 : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. Orang-orang yang berilmu akan pula dimudahkan
jalannya ke syurga oleh Allah dan senantiasa didoakan oleh para malaikat.
Sabda Rasullullah SAW :“Seorang alim (berilmu)dengan ilmunya dan amal perbuatannya
akan berada di dalam syurga, maka apabila seseorang yang berilmu tidak mengamalkan ilmunya
maka ilmu dan amalnya akan berada di dalam syurga, sedangkan dirinya akan berada dalam neraka”
(HR. Daiylami)
Keutamaan manusia dari makhluk Allah lainnya terletak pada ilmunya. Allah bahkan menyuruh
para malaikat agar sujud kepada Nabi Adam as karena kelebihan ilmu yang dimilikinya. Cara kita
bersyukur atas keutamaan yang Allah berikan kepada kita adalah dengan menggunakan segala
potensi yang ada pada diri kita untuk Allah atau di jalan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
http://iffah-althafunnisa.blogspot.com/2013/02/kedudukan-ilmu-dalam-islam_9765.html
Asmadi, 2008. KONSEP DASAR KEPERAWATAN. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC
Salim, Muhammad Ibrahim.2002. Perempuan-Perempuan Mulia Di Sekitar Rasulullah Saw.Jakarta:
Gema insane
HADIST TENTANG KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
Nabi bersabda: ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim”. (HR. Ibnu Majah)
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu
hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebahagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu”
apakah yang dimaksud dalam hadis ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah Ta’ala
atau Rasul-Nya Muhammad SAW menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-
Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu agama, termasuk kata “ilmu” yang terdapat
dalam hadis di atas.
Ilmu membuat seseorang jadi mulia, baik di hadapan manusia juga di hadapan Allah:
”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa darjat dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS Al Mujaadilah [58] : 11)
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Az-
Zumar [39]: 9).
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa darjat.” (Al-Mujadilah:11)
“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah akan fahamkan dia dalam
(masalah) dien (agama).” (HR.Bukhari)
Dalam hadis lainnya dijelaskan bahwa ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang
bermanfaat. Yang bukan hanya benar, tapi juga dapat mendekatkan diri kita kepada Allah
SWT dan dapat memberi kebahagiaan bagi kita, keluarga, dan masyarakat baik di dunia mau
pun di akhirat.
Allah berfirman, “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi
tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, nescaya tidak akan
habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu dan hikmah) Allah. Sesungguhnya Allah Maha
perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS Lukman [31] : 27)
Oleh kerana itu, Rasulullah SAW pernah memohon dalam doanya, “Allaahumma inni
a’uudzubika min ‘ilmin laa yanfa’u”. ‘Ya, Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang
tidak bermanfaat.’
Kita menuntut ilmu dunia selama 12 tahun dari tahun 1 hingga tahun 6, disambung pula
dengan tingkatan 1 hingga tingkatan 5 dan selepas itu melanjutkan pelajaran ke universiti.
Setiap hari paling tidak 5 jam kita mempelajari ilmu dunia. Tapi pernahkah kita menghitung
berapa lama kita belajar ilmu agama? Adakah sejam sehari? atau hanya sejam atau dua jam
dalam satu minggu??
Jika tidak, sungguh malang nasib kita, padahal ilmu agama penting bagi kita guna
mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Bukankah kebahagiaan di akhirat lebih baik dan lebih
kekal? Bukankah hidup di dunia hanya sekejap saja?
Meski kita berpangkat besar seperti Profesor atau Doktor Pakar sekali pun, tapi jika tidak
tahu ilmu agama apakah yang akan kita bawa untuk kembali ke alam akhirat nanti?
Tentu saja bukan maksud kita menyanggah kepentingan ilmu dunia. Mempelajari ilmu dunia
yang bermanfaat adalah fardu kifayah. Sejarah Islam menunjukkan bahwa meski pun umat
Islam gemar mempelajari ilmu agama, namun ilmu dunia mereka juga tinggi. Angka yang
dunia pakai sekarang adalah angka Arab (Arabic Numeral) yang diperkenalkan sarjana
Muslim kepada dunia. Bukan angka Romawi atau Eropa! Aljabar (Algebra), Algoritma yang
mengembangkannya adalah sarjana Muslim: Al Khawarizm. Demikian pula di bidang
kedoktoran dikenal Avicenna (Ibnu Sinna), di bidang sosial Averroes (Ibnu Rusyid), dan
sebagainya. Kimia (Chemical) juga berasal dari bahasa Arab Alkimia (Alchemy). Yang
memperkenalkan angka 0 ke dunia adalah ummat Islam. Itulah prestasi ummat Islam di
bidang ilmu dunia.
Jika sebahagian muslim sudah mempelajarinya (misalnya ada beberapa orang yang belajar
ilmu kedoktoran), maka gugurlah kewajiban itu bagi yang lainnya. Tapi mempelajari ilmu
agama adalah fardu ‘ain, kewajiban bagi setiap Muslim. Tanpa ilmu, maka semua amalnya
akan menjadi sia-sia.
Jadi kesimpulannya, sebagai seorang Muslim kita wajib mempelajari ilmu dunia dan lebih-
lebih lagi ilmu akhirat
Kewajiban Menuntut Ilmu
Nah, tahukah Anda bahwa di dalam Islam, menuntut ilmu itu wajib hukumnya,
sebagaimana Nabi bersabda. “Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.”
(HR.Bukhari).
Ditambah lagi dalam firman Allah “Ilmu membuat seseorang jadi mulia, baik di hadapan
manusia juga di hadapan-Nya”.Selain itu Allah juga menegaskan bahwa akan
mengangkat derajat orang yang mempunyai ilmu pengetahuan. Seperti di bawah ini
” ….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS Al Mujaadilah [58] : 11)
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Az-
Zumar [39]: 9).
Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui? (Az-Zumar:9)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah:11).
“Barangsiapa berjalan di satu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah mudahkan
jalan menuju surga. Dan sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penunutu
ilmu tanda ridha dengan yang dia perbuat. (Dari hadits yang panjang riwayat Muslim)
“Barangsiapa keluar dalam rangka thalabul ilmu (mencari ilmu), maka dia berada dalam
sabilillah hingga kembali.” (HR. Tirmidzi, hasan)
“Barangsiap menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan
menuju surga.” (HR.Muslim)
“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah akan pahamkan dia
dalam (masalah) dien (agama).” (HR.Bukhari)
Dalam hadits lainnya dijelaskan bahwa ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang
bermanfaat. Yang bukan hanya benar, tapi juga dapat mendekatkan diri kita kepada
Allah SWT dan dapat memberi kebahagiaan bagi kita, keluarga, dan masyarakat baik
di dunia mau pun di akhirat.
Rasulullah saw bersabda: “Apabila anak cucu adam itu wafat, maka terputuslah amalannya
kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholih yang mendoakan
orangtuanya.” (HR.Muslim, dari Abu Hurairah ra)
Allah berfirman, “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi
tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan
habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu dan hikmah) Allah. Sesungguhnya Allah Maha
perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS Lukman [31] : 27)
“Sesungguhnya Allah SWT dan para malaikat-Nya, serta penghuni langit dan bumi, hingga
semut yang ada pada lubangnya, dan ikan hiu yang ada di lautan akan membacakan shalawat
atas orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (Merupakan bagian dari hadits Abu
Umamah di atas.).
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mengajar orang lain kepada suatu petunjuk, maka dia
akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melaksanakan petunjuk itu, tanpa
mengurangi pahala mereka sama sekali.”
Nabi bersabda, ”Barangsiapa mengamalkan apa-apa yang ia ketahui, maka Allah akan
mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya, dan Allah akan menolong dia dalam
amalan nya sehingga ia mendapatkan surga. Dan barangsiapa yang tidak mengamalkan
ilmunya maka ia tersesat oleh ilmunya itu. Dan Allah tidak menolong dia dalam amalannya
sehingga ia akan mendapatkan neraka“.
Dalam Kitab Bidayatul Hidayah, Imam Al Ghazali menulis sebagai berikut : “Wahai, hamba
Allah yang rajin menuntut ilmu.Jika kalian menuntut ilmu, hendaknya dengan niat yang
ikhlas karena Allah semata-mata. Di samping itu, juga dengan niat karena melaksanakan
kewajiban karena menuntut ilmu wajib hukumnya, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam laki-laki maupun perempuan” [HR Ibnu
Abdul barr]
Nabi SAW mencegah hal seperti itu dengan sabdanya. “Barangsiapa menuntut ilmu yang
biasanya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah, tiba-tiba ia tidak mempelajarinya, kecuali
hanya untuk Mendapatkan harta benda keduniaan, maka ia tidak akan memperoleh bau
harumnya surga pada hari kiamat. ” [HR Abu Dawud]
” Ilmu lebih utama daripada harta, Ilmu adalah pusaka para Nabi, sedang harta adalah
pusaka Karun, Sadad, Fir’aun, dan lain-lain.”
” Ilmu lebih utama daripada harta, karena ilmu itu menjagamu sedangkan harta malah
engkau yang harus menjaganya.”
” Harta itu bila engkau tasarrufkan (berikan) menjadi berkurang, sebaliknya ilmu jika
engkau tasarrufkan malahan bertambah.”
” Pemilik harta disebut dengan nama bakhil (kikir) dan buruk, tetapi pemilik ilmu disebut
dengan nama keagungan dan kemuliaan.
” Pemilik harta itu musuhnya banyak, sedangkan pemilik ilmu temannya banyak.”
” Ilmu lebih utama daripada harta, karena diakhirat nanti pemilik harta akan dihisab,
sedangkan orang berilmu akan memperoleh safa’at.”
” Harta akan hancur berantakan karena lama ditimbun zaman, tetapi ilmu tidak akan rusak
dan musnah walau ditimbun zaman.”
” Harta membuat hati seseorang menjadi keras, sedang ilmu malah membuat hati menjadi
bercahaya.”
” Ilmu lebih utama daripada harta, karena pemilik harta bisa mengaku menjadi Tuhan
akibat harta yang dimilikinya, sedang orang yang berilmu justru mengaku sebagai hamba
karena ilmunya.”
Lalu, apakah semua ilmu akan mendapatkan balasan luar biasa seperti diatas? Tidak.
Hanyalah ilmu yang bermanfaatlah yang mendapatkan ini semua. Apa sih ilmu yang
bermanfaat?
“Ya, Rabbi. apakah ilmu yang bermanfaat itu ? ” tanya Nabi Daud.
“Ialah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui keluhuran, keagungan, kebesaran, dan
kesempurnaan kekuasaan-Ku atas segala sesuatu.Inilah yang mendekatkan engkau kepada-
Ku.”
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ar Rabi-i’, Rasulullah SAW bersabda,
“Tuntutlah ilmu. Sesungguhnya, menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza
wa Jalla, sedangkan Mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah
shadaqah. Sesungguhnya ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya didunia dan
akhirat.”
Oleh karena itu, Rasulullah SAW pernah memohon dalam doanya, “Allaahumma inni
a’uudzubika min ‘ilmin laa yanfa’u”.‘Ya, Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang
tidak bermanfaat.’
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Allah SWT Memberi wahyu kepada Nabi Dawud
a.s. Firman-Nya, “Wahai, Dawud. Pelajarilah olehmu ilmu yang bermanfaat.”
Itulah sedikit hal yang perlu diperhatikan dalam menjadi pencari ilmu. Baik sebagai
penyemangat dan menjadi ilmu buat kedepan. Ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang
menyebabkan kita semakin dapat mengenal Allah, yang dapat kita amalkan, yang membuat
kita rendah hati serta terhindar dari sifat takabur. Semoga kita dapat menjadi pribadi yang
haus akan ilmu yang bermanfaat yang akan berguna bagi kita di dunia dan di akhirat. Amin..
Contoh Makalah
Tugas Mandiri
Mata Kuliah : Perkembangan Peserta Didik
#LOGO#
Disusun oleh :
NIM : 2013150152
Ruang : 02 PPKMB
UNIVERSITAS PAMULANG
2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puja dan Puji hanya layak tercurahkan kepada Allah SWT. , karena atas
limpahan karunia-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam. Manusia istimewa yang seluruh perilakunya layak
untuk diteladani, yang seluruh ucapannya adalah kebenaran, yang seluruh getar hatinya
kebaikan. Sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas mandiri ini tepat pada waktunya.
Penulis sangat tertarik untuk mengajukan Judul : KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN
SOSIAL REMAJA.
Banyak kesulitan dan hambatan yang Penulis hadapi dalam membuat tugas mandiri ini tapi
dengan semangat dan kegigihan serta arahan, bimbingan dari berbagai pihak sehingga Penulis
mampu menyelesaikan tugas mandiri ini dengan baik, oleh karena itu pada kesempatan ini,
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
Perempuan istimewa Mamah dan Alm ayah yang selalu menjadi inspirasiku, serta
mencurahkan kasih sayang tanpa pamrih.
Bapak Sucipto sebagai dosen Perkembangan Peserta Didik. Semoga ilmunya berkah dan
menjadi aliran amal hingga kelak di Barzakh.
Mahardika, yang sudah memberikan motivasinya dan teman – teman kelas 02PPKMB.
Penulis menyimpulkan bahwa tugas mandiri ini masih belum sempurna, oleh karena itu
Penulis menerima saran dan kritik, guna kesempurnaan tugas mandiri ini dan bermanfaat bagi
Penulis dan pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL……………………………………………………………………………………… i
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………………
…. ii
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………………
… iv
BAB
I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………
.. 1
1. Latar Belakang…………………………………………………………………………… 1
2. Rumusan Masalah………………………………………………………………………. 2
BAB
II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………
….. 3
DAFTAR
PUTAKA……………………………………………………………………………………….
8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peserta didik adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, ia membutuhkan orang lain
untuk dapat tumbuh kembang menjadi manusia yang utuh. Dalam perkembangannya,
pendapat dan sikap peserta didik dapat berubah karena interaksi dan saling berpengaruh antar
sesama peserta didik maupun dengan proses sosialisasi. Dengan mempelajari perkembangan
hubungan sosial diharapkan dapat memahami pengertian dan proses sosialisasi peserta didik.
Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam arti belum memiliki kemampuan
dalam berinteraksi dengan orang lain. Perkembangan sosial pada masa remaja berkembang
kemampuan untuk memahami orang lain sebagai individu yang unik. Baik menyangkut sifat-
sifat pribadi, minat, nilai-nilai atau perasaan sehingga mendorong remaja untuk bersosialisasi
lebih akrab dengan lingkungan sebaya atau lingkungan masyarakat baik melalui persahabatan
atau percintaan. Pada masa ini berkembangan sikap cenderung menyerah atau mengikuti
opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran, keinginan orang lain. Ada lingkungan sosial
remaja (teman sebaya) yang menampilkan sikap dan perilaku yang dapat dipertanggung
jawabkan misalnya: taat beribadah, berbudi pekerti luhur, dan lain-lain. Tapi ada juga
beberapa remaja yang terpengaruh perilaku tidak bertanggung jawab teman sebayanya,
seperti : mencuri, pergaulan bebas, narkotik, miras, dan lain-lain. Remaja diharapkan
memiliki penyesuaian sosial yang tepat dalam arti kemampuan untuk mereaksi secara tepat
terhadap realitas sosial, situasi dan relasi baik di lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat.
Oleh karena itu, penyusun ingin membuat makalah dengan judul : “Karakteristik
Perkembangan Sosial Remaja”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun merumuskan rumusan masalah sebagai
berikut.
PEMBAHASAN
Perkembangan sosial adalah kemajuan yang progresif melalui kegiatan yang terarah dari
individu dalam pemahaman atas warisan sosial dan formasi pola tingkah lakunya yang luwes.
Hal itu disebabkan oleh adanya kesesuaian yang layak antara dirinya dengan warisan sosial
itu.
Jadi, dapat diartikan bahwa perkembangan sosial akan menekankan perhatiannya kepada
pertumbuhan yang bersifat progresif. Seorang individu yang lebih besar tidak bersifat statis
dalam pergaulannya, karena dirangsang oleh lingkungan sosial, adat istiadat, kebiasaan –
kebiasaan kelompok dimana ia sebagai salah satu anggota kelompoknya.
Remaja yang dalam masa mencari dan ingin menentukan jati dirinya memiliki sikap yang
terlalu tinggi menilai dirinya atau sebaliknya. Mereka belum memahami benar tentang
norma-norma sosial yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat. Keduanya dapat
menimbulkan hubungan sosial yang kurang serasi, karena mereka sukar untuk menerima
norma sesuai dengan kondisi dalam kelompok atau masyarakat. Sikap menentang dan sikap
canggung dalam pergaulan akan merugikan kedua belah pihak. Oleh karena itu, diperlukan
adanya upaya pengembangan hubungan sosial remaja diantaranya :
Lingkungan Keluarga
o Menjalin hubungan yang baik dengan anggota keluarga.
o Menerima otoritas orang tua.
o Bertanggung jawab norma-norma yang berlaku dikeluarga.
o Berusaha untuk membantu anggota keluarga, sebagai individu maupun kelompok
dalam mencapai tujuannya.
Lingkungan Sekolah.
o Menghormati dan menerima peraturan sekolah.
o Berpartisipasi dalam kegiatan sekolah.
o Bersosisalisasi dengan lingkungan sekolah.
Lingkungan Masyarakat
o Menghormati hak-hak orang lain
o Bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat.
o Bersimpati dan empati terhadap kesejahteraan orang lain.
o Menghormati nilai-nilai, hukum, tradisi dan kebijakan yang berlaku dimasyarakat.
D. Transisi Sosial
Santrock (2003: 24) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial remaja mengalami perubahan
dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam emosi, dalam kepribadian, dan
dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Membantah orang tua, serangan
agresif terhadap teman sebaya, perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam
peristiwa tertentu serta peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran proses sosial-
emosional dalam perkembangan remaja. John Flavell (dalam Santrock, 2003: 125) juga
menyebutkan bahwa kemampuan remaja untuk memantau kognisi sosial mereka secara
efektif merupakan petunjuk penting mengenai adanya kematangan dan kompetensi sosial
mereka.
Perkembangan sosial manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: keluarga, kematangan
anak, status ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, dan kemampuan mental terutama emosi
dan inteligensi.
a. Keluarga
Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan
oleh keluarga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menempatkan diri terhadap
lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan oleh keluarga.
b. Kematangan Anak
Dengan demikian, untuk mampu bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik
sehingga setiap orang fisiknya telah mampu menjalankan fungsinya dengan baik.
Dari pihak anak itu sendiri, perilakunya akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang
telah ditanamkan oleh keluarganya. Sehubungan dengan itu, dalam kehidupan sosial anak
akan senantiasa “menjaga” status sosial dan ekonomi keluarganya. Dalam hal tertentu,
maksud “menjaga status sosial keluarganya” itu mengakibatkan menempatkan dirinya dalam
pergaulan sosial yang tidak tepat. Hal ini dapat berakibat lebih jauh, yaitu anak menjadi
“terisolasi” dari kelompoknya. Akibat lain mereka akan membentuk kelompok elit dengan
normanya sendiri.
d. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai
proses pengoperasian ilmu yang normatif, akan memberikan warna kehidupan sosial anak di
dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang. Pendidikan dalam arti
luas harus diartikan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh kehidupan keluarga,
masyarakat, dan kelembagaan. Penanaman norma perilaku yang benar secara sengaja
diberikan kepada peserta didik yang belajar di kelembagaan pendidikan (sekolah).
Kepada peserta didik bukan saja dikenalkan kepada norma-norma lingkungan dekat, tetapi
dikenalkan kepada norma kehidupan bangsa (nasional) dan norma kehidupan antarbangsa.
Etik pergaulan membentuk perilaku kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sikap saling pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal utama
dalam kehidupan sosial dan hal ini akan dengan mudah dicapai oleh remaja yang
berkemampuan intelektual tinggi.
1. Kesimpulan
Sesuai dengan kesimpulan diatas, Penulis menyarankan setiap calon peserta didik dapat
memahami konsep perkembangan sosial peserta didiknya.
DAFTAR PUSTAKA