Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Herba daun sendok (Plantago mayor L.) merupakan salah satu obat tradisional
yang telah banyak dikenal masyarakat Indonesia.Berdasarkan penelitian
sebelumnya herba daun sendok (Plantago mayor L.) mengandung saponin,
flavonoid dan polifenol yang berkhasiat diantaranya sebagai antiradang,
antiseptic, antipiretik, diuretic, ekspetoran, homeostatis, astringen, menerangkan
penglihatan dengan menormalkan aktivitas organ hati. (Syamsuhidayat1991)
Pada masa sekarang penelitian akan bahan alam menjurus kefitofarmaka dan
sekaligus merupakan jembatan obat tradisional dan obat modern. Penelitian akan
bahan alam ini tidak cukup hanya bahan aktifnya saja, tetapi perlu juga didukung
1
oleh data anatomi, morfologi dan data farmakognosi serbuk bahan alam tersebut.
Data ini penting bila simplisia nabati telah dimasukan kedalam simplisia resmi.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan jangka pendek :
1. Menjelaskan data monografi tanaman daun sendok
2. Menganalisis data makroskopis dan mikroskopis tanaman daun sendok
3. Mengidentifikasi karakteristik flouresensi dan pola kromatografi tanaman
daun sendok
4. Mengetahui kandungan senyawa yang terkandug dalam tanaman daun
sendok
Tujuan jangka panjang adalam melengkapi monografi tanaman daun
sendok berdasarkan kajian farmakognosi dan skrining fitokimia.
2
D. Manfaat penelitian
Dari hasil penelitian kajian farmakognosi ini diharapkan dapat
memberikan tambahan informasi dan pengembangan data karakteristik
farmakognosi dan senyawa-senyawa yang terdapat dalam tanaman daun
sendok (Plantago mayor L.).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Daun Sendok
a. Taksonomi
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Sub Classis : Sympetalae
Ordo : Plantaginales
Familia : Plantaginaceae
Genus : Plantago
Species : Plantago mayor L. (Syamsuhidayat dan Hutapea
1991)
b. Nama Daerah
Sumatera: Daun urat, daun urat-urat, daun sendok, ekor angin,
kuping menjangan (Melayu); Jawa: Ki urat, deuli, deuli uncal (Sunda),
meloh kiloh, otot-ototan sangkabuwah, sangkubah, sangkuwah,
sembung otot, suri panda; Sulawesi: Torongoat (Minahasa). (Depkes
RI 1977)
c. Deskripsi Tanaman
Tumbuhan berhabitus terna, tumbuh tegak 15-20 cm. Helaian daun
tunggal berwarna hijau, tersusun dalam roset akar.Bentuk daun bulat
telur sampai lanset melebar dengan ukuran 5-10 cm x 4-9 cm, tepi
daun rata atau sedikit berlekuk.Kedua permukaan helaian daun licin
atau agak berambut, bertulang daun melengkung dan mempunyai
tangkai daun yang panjang.Bunga tersusun dalam bulir yang
panjangnya sekitar 30 cm. Bunganya kecil-kecil berwarna putih. Buah
berbentuk lonjong, bulat telur, warnanya hitam apabila masak.
Simplisia : Daun tunggal, bertangkai, warna hijau keabu-abuan
sampai hijau kecoklatan, helaian daun berkerut, berbentuk bulat telur
sampai lanset melebar dengan ujung daun dan pangkal daun agak
4
membulat, tepi daun rata; kedua permukaan daun licin atau agak
berambut; tulang daun melengkung menuju ujung daun, menonjol
pada permukaan bawah. Bau lemah, rasa agak kelat (Anonim 1977).
Habitat Tersebar luas di dunia.Di Indonesia banyak tumbuh liar
sebagai gulma di kebun teh dan karet.Tumbuh baik mulai dataran
rendah sampai dataran tinggi, pada daerah yang agak lembab.
Berkembang biak dengan biji. (Anonim 1977)
5
(provitamin A), asam askorbat, dehidroaskorbat, asam oksalat, asam
erusat dan nitrat, filokuinon (Vitamin K1); Asam organik: asam
fumarat, asam siringat, asam vanilat, asam p-hidroksi benzoat, asam
ferulat, asam p-kumarat, asam gentisat, trace asam salisilat, asam
benzoat, asam sinamat. (Samuelsen 2000)
e. Khasiat dan Kegunaan
Herba ini berkhasiat sebagai antiradang, antiseptic, antipiretik,
diuretic, ekspetoran, homeostatis, astringen, menerangkan penglihatan
dengan menormalkan aktivitas organ hati yang berlebihan dan
menghilangkan rasa haus polifenol (Syamsuhidayat 1991).
Daun sendok juga berkhasiat sebagai penurun kadar glukosa darah
dengan dosis 0,38 g/kgBB, 0,756 g/kgBB, dan 1,5 g/kgBB memiliki
efek menurunkan kadar gula darah tikus putih jantan galur wistar yang
diinduksi sukrosa. (Ayu, Fatmawati & Citraningtyas 2014), Ekstrak
metanol daun sendok menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap
bakteri Gram positif dan Gram negatif (Staphylococcus aureus dengan
KHM 100 mg/mL dan Escherichia coli dengan KHM 120 mg/mL).
Sedangkan ekstrak etanol daun sendok mempunyai KHM 200
mg/mL untuk S. aureus dan 140 mg/mL untuk E. coli (Sharifa 2008).
Ekstrak air daun sendok dilaporkan memiliki aktivitas tinggi terhadap
S. aureus, aktivitas moderat terhadap Shigella sonnei, dan aktivitas
rendah terhadap E. coli, Pseudomonas aeruginosa dan Salmonella
typhi (Chang 1986).
Studi klinik menggunakan 100% dekokta daun sendok segar, dosis
60-120 mL setiap hari pada 43 kasus akut dan 45 kasus kronik disentri
basiler menunjukkan bahwa gejala demam mulai berkurang dalam 1,3
dan 1,8 hari, sakit perut dan lendir serta mukus menghilang dalam 10
hari, dengan tingkat efektivitas mencapai 84%. Dekokta tersebut juga
efektif terhadap disentri basiler pada anak-anak, dimana gejala teratasi
dalam 2 hari dan frekuensi pergerakan usus menjadi normal.
6
2. Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat
yang belum mengalami pengolahan apapun kecuali dinyatakan lain,
berupa bahan yang telah dikeringkan.
Simplisia dibedakan menjadi tiga, yaitu simplisia nabat, hewani, dan
simplisia pelican (mineral).Simplisia nabati merupakan simplisia yang
berupa tanaman utuh, bagian tumbuhan atau eskudat tumbuhan. Eskudat
tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi
sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati
lainnya dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum
berupa senyawa kimia murni (Depkes RI 1995).
3. Ekstrasi
Esktraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau
fisika suatu bahan padat atau bahan cair suatu padatan, yaitu tanaman obat
(DEPKES RI 2000). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelrut
dibedakan menjadi dua cara yaitu : cara panas dan cara dingin, cara dingin
dibagi menjadi dua yaitu maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas
terbagi menjadi empat jenis yaitu ; refluks, soxhlet, digesti, infuse, dan
dekok (Depkes RI 2000).
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan
pada temperature ruang (kamar) (Depkes RI 2000). Maserasi berasal dari
kata macerase berarti mengairi dan melunakan. Maserasi merupakan cara
yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan
kandungan dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan,
ekstraksi (difusi) bahan kandungan sel dari sel yang masih utuh. Setelah
selesai waktu maserasi artinya keseimbangan antara bahan yang
diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk kedalam cairan,
telah tercapai maka proses difusi segera berakhir.
4. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi
zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
7
yang sesuai, kemudian semua atau hamper semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang terisisa diperlukan sedemikian hingga memenuhi
baku yang telah ditetapkan (Depkes RI 1995). Ada beberapa jenis ekstrak
yakni : ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak kering. Ekstrak cair hasil
ekstraksi masih bisa dituang, biasanya kasar air lebih dari 30%. Ekstrak
kental jika memiliki kadar air antara antara 5%-30%. Ekstrak kering jika
mengandung kadar air kurang dari 5%.
Faktor yang mempengaruhi ekstrak yaitu faktor biologi dan kimia.
Faktor biologi meliputi : spesied tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu
pemanenan, penyimbanan bahan tumbuhan dan bagian yang digunakan.
Sedangkan faktor kimia yaitu ; faktor internal (jenis senyawa aktif dalam
bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode
ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran, kekerasan dan
kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan
logam berat, kandungan pestisida) (Depkes RI 2000).
Selain faktor yang memperngaruhi ekstrak, ada faktor penentu
mutu ekstrak yang terdiri dari beberapa aspek, yaitu ; kesahihan tanaman,
genetik, lingkungan tempat tumbuh, penambahan bahan pendukung
pertumbuhan, waktu panen, penanganan pasca panen, teknologi ekstraksi,
teknologi pengentalan dan pengeringan ekstrak, dan penyimpanan ekstrak
(Saifudin dkk 2011).
5. Kajian Farmakognosi
Kajian famakognosi dan skrining fitokimia sangat perlu sebagai
informasi awal dari suatu simplisia bila ingin digunakan sebagai obat atau
bahan obat. Tujuan utama dari kajian farmakognosi adalah untuk
menentukan nama tumbuhan, bagian yang dipakai sebagai obat.
Disamping itu kajian farmakognosi suatu simplisia sangat penting untuk
menentukan kemurnian simplisia (Jubahar 1994).
6. Parameter Fisiko Kimia
a. Senyawa terlarut pada pelarut tertentu : melarutkan esktrak dengan
pelarut (alcohol/air) untuk ditentukan jumlah larutan yang identik
denga jumlah senyawa kandungan secara gravimetik. Dalam hal
8
tertentu dapat diukur senyawa pelarut dalam pelarut air misalnya
heksana, diklorometan, methanol. Tujuannya untuk memeberikan
gambaran awal senyawa kandungan
b. Kadar abu : Parameter kadar abu adalah bahan yang dipanaskan pada
temperature dimana senyawa organik dan turunananya terdekstruksi
dan menguap. Sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik, yang
memebeerikan gambaran kandungan mineral internal dan ekstrernal
yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya esktrak. Parameter
kadar abu ini terkait kemurnian dan kontaminasi suatu ekstrak (Depkes
RI 2000)
c. Kadar air : pengukuran kandungan air dalam bahan dilakukan dengan
titrasi dengan cara yang tepat. Tujuannya memberikan batasan minimal
tentang besarnya kadar air dalam bahan (Depkes RI 2000)
7. Fitokimia
a. Alkaloid
Alkaloid merupakan metabolit sekunder terbesar yang banyak
ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi dan mempunyai susunan basa
nitrogen, yaitu satu atau 2 atom nitrogen (Harborne, 1987; Bhat et al.,
2009). Alkaloid sering beracun bagi manusia dan mempunyai efek
fisiologis yang menonjol, sehingga sering digunakan untuk pengobatan
(Harborne, 1987). Alkaloid dibentuk berdasarkan prinsip pembentukan
campuran dan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu elemen yang
mengandung N terlibat pada pembentukan alkaloid, elemen tanpa N
yang ditemukan dalam molekul alkaloid dan reaksi yang terjadi untuk
pengikatan khas elemen-elemen pada alkaloid (Sirait, 2007). Alkaloid
tidak mempunyai tata nama sistematik, oleh karena itu, suatu alkaloid
dinyatakan dengan nama trivial yang berakhiran -in (Lenny, 2006).
Fungsi alkaloid dalam tumbuhan belum diketahui secara pasti. Namun
alkaloid berfungsi sebagai pengatur tumbuh atau penghalau dan
penarik serangga (Harborne, 1987).
b. Triterpenoid dan Steroid
9
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
6 satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon
C30 asiklik, yaitu skualena. Triterpenoid merupakan senyawa tanpa
warna, berbentuk kristal, sering kali mempunyai titik leleh tinggi dan
aktif optik yang umumnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan
kimianya (Harborne, 1987).
Steroid adalah molekul kompleks yang larut di dalam lemak
dengan 4 cincin yang saling bergabung (Lehninger, 1982; Bhat et al,
2009). Steroid yang paling banyak adalah sterol yang merupakan
steroid alkohol.
c. Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi
dalam lebih dari 90 genus pada tumbuhan. Glikosida adalah suatu
kompleks antara gula pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon).
Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai 5 dan komponen
yang umum ialah asam glukuronat. Adanya saponin dalam tumbuhan
ditunjukkan dengan pembentukan busa yang mantap sewaktu
mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak (Harborne, 1987).
d. Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar yang senyawa yang
terdiri dari C6-C3-C6 dan sering ditemukan diberbagai macam
tumbuhan dalam bentuk glikosida atau gugusan gula bersenyawa pada
satu atau lebih grup hidroksil fenolik (Sirait, 2007; Bhat et al., 2009).
Flavonoid adalah senyawa fenol, sehingga warnanya berubah bila
ditambah basa atau amoniak. Terdapat sekitar 10 jenis flavonoid yaitu
antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil,
khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon (Harborne, 1987).
Penamaan flavonoid berasal dari bahasa latin yang mengacu pada
warna kuning dan sebagian besar flavonoid adalah berwarna kuning.
Flavonoid sering ditemukan dalam bentuk pigmen dan co-pigmen.
Flavonoid adalah golongan pigmen organik yang tidak mengandung
molekul nitrogen. Kombinasi dari berbagai macam pigmen ini
10
membentuk pigmentasi pada daun, bunga, buah dan biji tanaman.
Pigmen ini merupakan antraktan bagi serangga dan merupakan agen
polinasi. Pigmen juga bermanfaat bagi manusia dan salah satu manfaat
yang penting adalah sebagai antioksidan (Bhat et al., 2009). Bagi
manusia, flavon dalam dosis kecil bekerja sebagai stimulan pada
jantung dan pembuluh darah kapiler, sebagai diuretic dan antioksidan
pada lemak (Sirait, 2007).
8. Kromatografi
Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan
perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua
fase yaitu fase diam, dapat berupa zat cair atau zat padat dan fase gerak,
dapat berupa zat cair atau zat padat dan fase gerak dapat berupa zat gas
atau cair ( Depkes 1995). Fase diam dapat berupa bahan padat dalam
bentuk molekul kecil , atau dalam bentuk cairan yang dilapiskan pada
pendukung padat atau dilapiskan pada dinding kolom. Fase gerak dapat
berupa cairan atau gas. Jika gas digunakan dalam fase gerak, maka
prosesnya dikenal sebagai kromatografi gas. Dalam kromatografi cair dan
kromatografi lapis tipis, fase gerak yang digunakan selalu cair ( Ginanjar
2007).
a. Kromatografi Lapis tipis
Kromatografi Lapis Tipis merupakan metode pilihan kromatografi
secara fisikokimia. Kromatografi lapis tipis merupakan metode planar.
Berbeda dengan kromtografi kolom yang mana fase diamnya dikemas
di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis fase diamnya berupa lapisan
seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng
kaca dan plat alumunium. Kromatografi lapis tipis ini merupakan
bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Ginanjar 2007).
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaanya lebih mudah dan
lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga
dengan peralatan yang digunakan, ada beberapa keuntungan
menggunakan Kromatografi Lapis Tipis yaitu:
11
KLT memberikan fleksibilitas yang lebih besar, dalam hal memilih
fase gerak.
Berbagai macam teknik untuk optimasi pemisahan seperti
pengembang konvensional, 2 dimensi, dan pengembang bertingkat.
Proses KLT dapat diikuti dengan mudah dan dapat dihentikan
kapan saja
b. Komponen KLT
1) Fase diam
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap
berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm.Semakin
kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit
kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KlT dalam
shal efisiensinya dan resolusinya (Rohman 2009).
Kebanyakan penjerap yang digunakan adalah silika gel,
aluminium oksida, kieselgur, selulosa poliamida dan lain-
lain.Dapat dipastikan bahwa silika gel paling banyak digunakan.
Namun adahal yang perlu diperhatikan karena silika gel
mempunyai kadar air yang berpengaruh nyata terhadap
pemisahanya (Stahl 1985).
2) Fase gerak
Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau
beberapa pelarut yang bergeak didalam fase diam, yaitu suatu
lapisan berpori, karena ada gaya kapiler pada pengembang secara
menaik (ascending) Sistem yang paling sederhana ialah dengan
menggunakan campuran 2 pelarut organik karena daya elusi
campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa
sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal.
12
3) Aplikasi (Penotolan) Sampel
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan
diperoleh hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak
yang kecil dan sesempit mungkin. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada
penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan
ditotolkan lebih dari 15 μl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan
menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda.
4) Deteksi Bercak
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak
yang tidak bewarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara
kimia dengan cara penyemprotan dengan menggunakan reaksi
kimia sehingga bercak menjadi jelas. Kadang-kadang lempeng
dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi
pembentukan warna dan intensitas warna bercak.Cara fisika yang
dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan
fluoresensi sinar ultraviolet.Lapisan tipis sering mengandung
indikator fluoresensi yang ditambahkan untuk membantu
penampakan bercak bewarna pada lapisan yang telah
dikembangkan.Indikator fluoresensi ialah senyawa yang
memancarkan sinar tampak jika disinari dengan sinar berpanjang
gelombang, biasanya sinar ultraviolet.Indikator fluoresensi yang
paling sering digunakan ialah sulfida anorganik yang mampu
memancarkan cahaya jika disinari pada 254 nm (Rohman 2009).
B. Kerangka Berfikir
Kajian Farmakognosi dan skrining fitokimia sangat perlu sebangai
informasi awal dari suatu simplisia bila ingin digunakan sebagai obat atau
bahan obat.Tanaman daun sendok merupakan tanaman yang tersebar luas
di dunia, di Indonesia tanaman daun sendok banyak tumbuh liar sebagai
gulma di kebun the dan karet.
13
Tujuan pengkajian farmakognosi tanaman daun sendok ini sebagai
media untuk membantu melengkapi informasi monografi terkait tanaman
daun sendok untuk pengembangan pemanfaatan tanaman tersebut. Dalam
penelitian ini dilakukan dengan uji mikroskopis dan makroskopis tanaman
baik dalam bentuk segar maupun simplisia kering, penetapan kadar abu,
kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, pemeriksaan pola
kromatogram dan skrining fitokimia untuk mengetahui gambaran dasar
kandungan yang terdapat dalam tanaman daun sendok sehingga diperoleh
hasil yang akurat untuk menjadi informasi tambahan terkait tanaman ini.
C. Hipotesis
Tumbuhan Daun Sendok memiliki data kajian farmakognosi dan
diidentifikasi secara makroskopis, mikroskopis, flourosensi, dan pola
kromatografiyang spesifik sehingga dapat digunakan sebagai tambahan
monografi.
14
BAB III
METODE PENELITIAN
15
diklorometan, asam sulfat, methanol, pereakis boucardat, pereak asam
asetat anhidrat,pereaksi mayer, logam Mg, klorahidrat dalam flourogusin.
C. Prosedur Penelitian
1. Determinasi Tanaman
Pemeriksaan atau determinasi tanaman dilakukan di Herbarium
Bogorinase, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat.
2. Penyiapan Simplisia
Daun Sendok (Plantago mayor L) di dapatkan dari BALITTRO
Bogor yang telah dideterminasi, kemudian disortasi basah dari bahan-
bahan pengotor.Lalu dilakukan pencucian dengan air mengalir hingga
bersih, setelah diangin-anginkan hingga kering.Kemudian dihaluskan
hingga menjadi serbuk dengan ukuran derajat kehalusan serbuk simplisia
yang sesuai.Setelah itu disimpan dalam wadah kering tertutup rapat
dalam ruangan terlindung dari cahaya matahari.
3. Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia
a. Uji Makroskopik
Uji makroskopik bertujuan untuk menentukan ciri khas simplisia
dengan pengamatan secara langsung berdasarkan bentuk simplisia dan
ciri-ciri organoleptik daun sendok menurut litreratur secara umum.
b. Uji mikroskopik
1) Semua organ tanaman
Setiap bagian bahan dipotong melintang kemudian dilihat
fragmen pengenalnya menggunakan mikroskop.
2) Serbuk
Simplisia yang telah diserbukan diteteskan denga larutan
klorahidrat dan florogusin kemudian diamati perubahan yang
terjadi.
4. Pembuatan ekstrak
a. Ekstrak etanol 70%
Pembuatan ekstrak dengan metode maserasi, simplisia di rendam
selama 6 menit pertama sambil sekali-kali diaduk, kemudian diamkan
selama 18 jam, lalu pisahkan maserat dengan cara pengendapan.
16
Ulangi sekurang-kurangnya dua kali menggunakan pelarut yang
sama, kemudian disaring dan dievaporasi menggunakan rotary
evaporator hingga mendapatkan ekstrak kental. (Depkes RI 2008).
17
6. Parameter Fisiko Kimia
a. Penentuan kadar abu total
Lebih kurang 2g sampai 3g ekstrak yang telah digerus dan
ditimbang seksama, dimasukan kedalam krus silikat yang telah
dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang
habis, dinginkan, timbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan,
tambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebs abu. Pijarkan
sisa kertas dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukan filtrate
kedalam krus. Uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung
kadar abu terhadap bahan yang dikeringkan diudara.
b. Penentuan kadar abu tidak larut asam
Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, dididihkan dengan
2,5 mL asam klorida encer P selama 5 menit, kumpulkan bagian yang
tidak larut dalam asam, saring melalui krus kaca masit atau kertas
saring bebas abu, cuci dengan air panas pijarkan dengan bobot tetap,
timbang. Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap
bahan yang telah dikeringkan diudara (Depkes RI, 2008).
c. Penentuan kadar sari larut air
Sejumlah 0,5 g ekstrak disari selama 24 jam dengan 10 ml air-
kloroform LP, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali
dikocok selama 6 jam pertama dan emudian dibiarkan selama 18 jam,
kemudian disaring. Diuapkan 2 ml filtrate hingga kering dalam
cawan penguap, residu dipanaska pada suhu 105 C hingga bobot
tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air
terhadap berat ekstrak awal (Depkes RI, 2008)
d. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol
Maserasi sejumlah 5.0 gram ekstrak selam 24 jam dengan 100 mL
etanol (95%), menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali
dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18
jam. saring cepat dengan menghindarkan penguapan etanol, kemudian
uapkan 20 ml filtrate hingga kering dalam cawan dangkal berdasar
18
rata yang telah di tara. Panaskan residu pada suhu 150°C hingga
bobot tetap. Hitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam
etanol (95%), dihitung terhadap ekstrak awal.
e. Penetapan kadar air
Bersihkan tabung penerima dan pendingin dengan asam pencuci,
bilas dengan air kemudian keringkan dalam lemari pengering.Timbag
seksama sejumlah bahan yang diperkiraan mengandug 1 sampai 4 ml
air, masukan kesalam labu kering.Masukan lebih kurang 200 ml
toluene jenug air kedalam tabung penerima melalui pendingin sampai
leher alat penampung.Panskan labu hati-hati selam 15 menit (Depkes
RI 2008).
Setelah toluene mulai mendidih, atur penyulingan dengan
kecepatan lebih kurang 2 tetes tiap detik, hingga sebagian air
tersuling, kemudian naikan kecepatan penyulingan dengan kecepatan
lebih kurang 2 tetes tiap detik.Setelag semua air tersuling, bagian
dalam pendingin dicuci dengan toluen jenuh air, sambil dibersihkan
dengan sikat tabung yang disambung pada sebuah kawat tembaga dan
telah dibasahi dengan toluene jenuh air.Lanjutkan penyulingan selama
5 menit.Dinginkan tabung peneima hingga suhu ruangan.Jika ada
tetes air melekat, gosok tabung pendingin dan tabung penerima
dengan karet yang diikat pada sebuah kawat tembaga dan dibasahi
dengan toluene jenuh air hingga tetesan air turun.Baca volume air
setelah air dan toluene memisah sempurna.Kadar air dihitung dalam
%v/b (Depkes RI 2008).
7. Pola kromatografi
Ekstrak diambil dengan pipa kailer. Beri tanda untuk batas bawah dan
batas atas, dab tentukan tempat totolnya, tentukan jarak elusi atau jarak
rambat eluen. Totolkan pada plat silica gel lalu diamkan hingga
mongering. Kemudian masukan dalam bejana yang sudah jenuh dengna
eluen sampai silica gek sedikit terendam, dan tutup bejana.Biarkan
sampai eluen merambat naik sampai garis akhir.Angkat dan biarkan
19
mengering.Lakukan pendetejsuan dengan disinari sinar tampak dan UV
dengan panjang gelombang 245 dan 366 nm.Bercak yang timbul dan
setiap bercak yang timbul atau terdeteksi dilingkaru.Amati warna yang
ditimbulka. Hitung nilai Rf dengan rumus :
𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘𝑠𝑝𝑜𝑡𝑛𝑜𝑑𝑎𝑑𝑎𝑟𝑖𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘𝑎𝑤𝑎𝑙
Rf= 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘𝑔𝑎𝑟𝑖𝑠𝑑𝑒𝑝𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟𝑖𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘𝑎𝑤𝑎𝑙
8. Karakteristik Fitokimia
Serbuk dan ekstrak pada plat hasil KLT di tambahkan air, asam
klorida, asam sulfat pekat, asam nitrat, natrium hidroksida pada plat yang
berbeda-beda. Lakukan pendeteksian yaitu dengan disinari sinar tampak
dan UV dengan panjang gelombang 245 dan 366 nm.Setiap bercak yang
timbul atau terdeteksi dilingkaru.Dihitung jumlah bercak dan warna yang
nampak.
20
BAB IV
A. HASIL DETERMINASI
Untuk identifikasi tanaman yang digunakan dalam penelitian ini,
maka dilakukan determinasi di Herbarium Bogorinase, Pusat Penelitian
Biologi LIPI, Cibinong, Bogor. Hasil Determinasi menunjukan bahwa
semua sampel yang digunakan merupakan spesies Plantago major L.
Lihat lampiran 2.
B. HASIL IDENTITAS DAN ORGANOLEPTIK TANAMAN
Table 4.1 identitas dan organoleptik tanaman
Identitas Simplisia
Nama Simplisia Simplisia Daun Sendok
Nama Latin Plantago major L.
Bagian Tanaman Seluruh bagian Tanaman
Organoleptik Simplisia
Bentuk Simplisia Kering
Warna Hijau
Rasa Kelat
Bau Bau Khas
21
2. Mikroskopik Tanaman
a. Mikroskopik Tanaman Segar
Tabel 4.3 Mikroskopik Tanaman Segar
Daun
1. Floem
2. Xylem
3. Jaringan palisade
4. Epidermis bawah
5. Epidermis atas
6. Stomata
Batang
1. Epidermis
2. Kortex
3. Endodermis
4. Floem
5. Xylem
6. Stele
22
Akar
1. Epidermis
2. Kotrex
3. Xylem dan floem
4. Endodermis
23
Gambar 4.2 Berkas Pengangkut dengan Penebalan Spiral
24
Gambar 4.5 Rambut Kelenjar
25
E. Flourosensi Serbuk dan Ekstrak
Table 4.5 Flourosensi Serbuk dan Ekstrak
F. Skrining Fitokimia
Table 4.6 Skrining Fitokimia
Kandungan Hasil
Alkaloid
Boucardat ++++
Mayer ++
Flavonoid ++++
Saponin ++
Tannin
FeCl3 ++++
Gelatin ++++
Steroid/Triterpenoid ++++
26
H. PEMBAHASAN
Penelitian “ Kajian Farmakognosi dan Skrining Fitokimia
Tanaman Daun Sendok (Plantago major L.) bertujuan untuk melengkapi
monografi daun sendok bedasarkan kajian farmakognosi dan skrining
fitokimia. Ekstrak Plantago major yang digunakan dalam pengujian
diperoleh dari proses ekstraksi yang menggunakan metode maserasi.
Metode maserasi ini dipilih sebagai metode dalam mengekstraksi karena
merupakan cara penyari akan sederhana dimana pelarut akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif.
Penggunaan pelarut etanol 70% karena memiliki sifat yang mampu
melautkan hamper semua zat baik yang bersifat polar maupun nonpolar
serta kemampuannya untuk mengendapan protein dan menghambat kerja
enzim sehingga terhindar proses hidrolisis dan oksidasi (Voigt 1994).
Etanol 70% juga merupakan pelarut yang disarankan setelah air untuk
bahan baku obat. Filtrate hasil maserasi yang diperoleh dikumpulkan dan
dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator sampai diperoleh
ekstrak kental.
Maserasi bertingkat juga digunakan dalam penelitian ini dengan
variasi pelarut yang berbeda, yaitu menggunakan pelarut N-Heksan
sebagai pelarut non polar, Diclorometan sebagai pelarut semi polar dan
etanol 70% sebagai pelarut polar yang menghasilkan rendemen sebagai
mana terdapat dalam table 4.4 dan terlihat bahwa ekstrak diclorometan
mempunyai rendemen paling rendah dibandingkan dengan n-Heksan dan
etanol, hasil maserasi bertingkat ini yang akan digunakan untuk melihat
profil KLT.
Ekstrak etanol dari simplisia Plantago major menghasilkan
rendemnen ekstrak yang tertera pada tabel 4.4. penetapan rendemen ini
bertujuan mengetahui jumlah kira-kira simplisia yang dibutuhkan untuk
pembuatan sejumlah tertentu ekstrak yang dibutuhkan untuk pembuatan
sejumlah tertentu ekstrak kental.
27
Parameter Fisikokimia yang di uji yaitu penentuan kadar senyawa
larut dalam air dan etanol. Kedua pelarut ini merupakan cairan pelarut
yang diperbolehkan dan memenuhi syarat kefarmasian. Penggunaan
pelarut air dimaksudkan untuk melarutkan senyawa polar dan pelarut
etanol untuk melarutkan senyawa kurang polar dalam ekstrak. Parameter
ini dapat memberikan informasi berupa jumlah kandungan senyawa yang
dapat diekstraksi. Hasil pengujian kdar senyawa yang terlarut dalam air
diperoleh 60,4252%±0,86, sedangkan untuk senyawa larut etanol sebesar
61,4691±0,54. Dengan hasil seperti ini menunjukan kadar senyawa dalam
ekstrak lebih banyak terlarut dalam etanol sehingga senyawa-senyawa
yang tersari lebih banyak senyawa organik dibanding senyawa anorganik.
Penetapan kasar sari larut air dan etanol bukanlah hal yang berdampak
pada efek farmakologinya namun sebagai perkiraan kadar-kadar senyawa
yang bersifat polar (larut air) dan senyawa aktif yang bersifat semi polar-
nonpolar (pelarut etanol) (Saifudin, 2011).
Pengukuran kadar air dalam suatu bahan sangat diperlukan dalam
berbagai bidang, terlebih lagi pada suatu tanaman. Tingginya kadar air
dapat mengakibatkan tumbuhnya jamur-jamur yang tidak baik bagi
kesehatan. Untuk penetapan kadar air ini menggunakan metode destilasi
toluene. Adapun kadar air yang terdapat dalam ekstrak tersebut sebesar
11,9133±0,005. Pengukuran kadar ini ditetapkan selain untuk menghindari
cepatnya pertumbuhan mikroba dalam ekstrak juga untuk menjaga kualitas
ekstrak (Soetarno dan Soediro 1997).
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran sautu bahan
organic. Kandungan abu tergantung pada jenis bahan dan cara
pengabuannya. Kadar abu sendiri ada hubungannya dengan mineral suatu
bahan yang mana dapat berupa garam organik dan anorganik. Dengan ini
kadar abu menjadi penting dilakukan karena kadar abu dapat menunjukan
kelayakan suatu sampel untuk pengolahan selanjutnya. Penentuan kadar
abu dapat menunjukan kelayakan suatu sampel untuk pengolahan
selanjutnya. Penentuan kadar abu ini bertujuan untuk memberikan
gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari
28
proses awal sampai terbentuknya ekstrak dengan prinsipnya ekstrak
dipanaskan hingga senyawa organic dan turunannya terdekstruksi dan
menguap sampai hanya undur mineral anorganik saja. Kadar abu total
ekstrak diperoleh sebesar 11,6223%±0,0264 dan kadar abu tidak larut
asam sebesar 0,2873±0,5067. Besarnya kadar abu total pada ekstrak
Plantago major menunjukan bahwa ekstrak yang di peroleh dari proses
maserasi banyak mengandung mineral. Sedangkan adanya kadar abu tidak
larut dalam asam menunjukan adanya pasir atau pengotor lainnya yang
masih ada. Dengan hasil penetapan kadar abu ini dapat mengetahui
kandungan mineral dalam ekstrak dan kandungan mineral yang tidak larut
dalam asam dimana renyang maksimal berhubungan dengan kemurnian
dan kontaminan.
Identifikasi golongan senyawa kimia yang terkandung dalam
Plantago major dilakukan dengan menggunakan reaksi kimia (warna dan
endapan). Berdasarkan hasil identifikasi golongan kimia ekstrak
menunjukan bahwa ekstrak mengandung alkaloid, flavonoid, saponin,
tannin, steroid dan tritrpenoid. Pada identifikasi alkaloid ekstrak di
tambahkan dengan HCl 2N dan diencerkan dengan air. Penambahan HCl
2N bertujuan untuk menarik senyawa alkaloid dalam ekstrak karena
alkaloid bersifat basa maka dengan penambahan asam seperti HCl akan
terbentuk garam, sehingga alkaloid terpisah dengan komponen-komponen
lain dari sel tumbuhan yang ikut terekstrak dengan mendistribusikannya ke
fasa asam. Selanjutnya ditambahkan dengan pereaksi mayer terjadi
kekeruhan namun hanya sedikit saja endapan yang terbentuk, hal ini
dikarenakan tidak semua alkaloid bereaksi dengan mayer. Pengendapan
terjadi tergantung pada jenis alkaloidnya. Setelah itu di tambahkan dengan
pereaksi bouchardat dan terbentuk coklat kehitaman yang menandakan
adanya alkaloid.
Pada identifikasi flavonoid, ekstrak ditambahkan serbuk Mg yang
terlihat larut dengan penambahan HCl pekat. Penambahan Mg digunakan
sebagai pereduksi dimana proses reduksi dengan Mg dan HCl pekat
menghasilkan warna kemerahan intensuf. Hal ini menunjukan adanya
29
flavonoid. Pada identifikasi saponin dilakukan penambahan HCl dan
dilakukan pengojokan yang akan terbentuk buih pada permukaan. Dari
hasil identifikasi di peroleh terbentuk sedikit buih ketika pengocokan.
Pada identifikasi tannin, filtrat air yang dihasilkan dari pemanasan
ditambahkan FeCl3 1% yang menghasilkan warna hijau kehitaman atau
biru tua. Hasil skrining menunjukan bahwa filtrat berwarna hijau
kehitaman, di tabung yang lain filtrat ditambahkan dengan larutan gelatin
dan membentuk endapan putih. Untuk identifikasi steroid dan triterpenod
dilakukan dengan penambahan asam asetan anhidrat dan asam sulfat
pekat, penambahan asam asetat anhidrat memberikan suasana asm
sehingga mengjasilkan warna hijau untuk steroid dan merah atau violet
untuk triterpenoid.
Penetapan pola kromatografi dilakukan dengan metode KLT dari
ekstrak yang diperoleh dari maserasi bertingkat dengan penentuan eluen
menggunakan metode trial dan eror, untuk ekstrak n-Heksan menggunakan
eluen heksan : DCM 4 : 6, ekstrak DCM menggunakan eluen kloroform :
methanol 5 : 5, dan ekstrak etanol 70% menggunakan eluen kroroform :
methanol 5 : 5, dimana Rf dapat dilihat pada table 4.7.
Table 4.7 Profil KLT
Ekstrak Bertingkat Rf
n-Heksan 𝑅𝑓1 : 0,2
Rf2 : 1,14
DCM Rf1 : 0,7
Rf2 : 0,9
Etanol Rf1 : 0,8
30
Gambar 4.6 profil KLT Ekstrak Bertingkat n-Heksan
31
BAB V
A. KESIMPULAN
Dari serangakain pengujian yang dilakuan mulai dari makroskopis dan
mikroskopis tanaman, parameter fisikokimia. Dapat disimpulkan berikut
ini :
1. Secara organoleptik simplisia kering berwarna hijau, berbau khas, dan
berasa kelat.
2. Fragmen pengenal serbuk simplisia terdiri dari stomata dengan model
anomostatik, berkas pengankut dengan penebalan spiral dan tangga,
sklerenkim, dan rambut kelenjar.
3. Rendemen yang di dapatkan dari ekstraksi bertingkat n-Heksan 4,2%,
DCM 1,4%, dan ekstrak bertingkat etanol 70% adalah 13,8%.
Sedangkan untuk ekstrak kental etanol 70% adalah 15,57%
4. Kandungan kimia yang terkandung dalam ekstrak yaitu alkaloid,
flavonoid, tannin, dan triterpenoid
5. Kadar air diperoleh sebesar 11,9133±0,005. Kadar abu total
11.6223±0.0246. kadar abu tidak larut asam 0,2873±0,0506. Kadar sari
larut air 60,4252±0,8603. Kadar sari larut etanol 61,4591±0,5431
32