Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG RIBA DALAM PERSPEKTIF

AGAMA DAN SEJARAH

A. RIBA DALAM SUDUT PANDANG AJARAN AGAMA DAN SEJARAH

1. Pengertian Riba

Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain,

secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar1. Menurut istilah teknis, riba

berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.2 Ada

beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang

merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan baik dalam

transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan

prinsip muamalat dalam Islam.

Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam Al-quran Surah An-Nisa (4) ayat

29 sebagai berikut.



   

  

 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu

dengan jalan yang batil.


20
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam

dan berbagi madzahib fiqhiyyah, di antaranya sebagai berikut.


1
Abdullah Saeed, Islamic Banking and interest: A study of the Prohibition of Riba and its Comtemporary
Interpretation, (Leiden: EJ Brill, 1996)
2
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah:Wacana Ulama dan Cendiakawan, Central Bank of Indonesia and
Tazkia Institute, Jakarta, 1999.
a. Badr ad-Din al-Ayni, Pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari

“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti

penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis rill.”3

b. Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi

“Riba adalah tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya

iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”4

c. Raghib al-Asfahani

“ Riba adalah penambahan atas harta pokok”

d. Imam an-Nawawi dari Mazhab Syafi’i5

Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba

yang dilarang Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah Penambahan atas harta pokok

karena unsure waktu.

e. Qatadah

“Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga

waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu

membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”

f. Zaid bin Aslam

“Yang dimaksud dengan riba jahiliyah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan

dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya pada saat

jatuh tempo, ia berkata, “Bayar sekarang atau tambah.”6

g. Mujahid
3
Badr Ad-Din Al-Ayni, Umdatul Qari: Syarah Shahih Al-Bukhari (Constantinople: Mathba’ah Al-Amira, 1310
H), vol v, hal. 436.
4
Al-Mabsut, Vol XII, hal. 109.
5
Majmu Syarh Al-Muhadzdzab, Vol IX, (Kairo, Zakaria Ali Yusuf, tt), hal.442.
6
Lihat, Tafsir Al-Qurthubi 4/202 dan Tafsir Ath-Thabary 7/204.
“ Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan

(tidak mampu bayar), si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahaan

waktu.”7

h. Jafar ash-Shadiq dari Kalangan Syi’ah

Ja’far ash-shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba,

“Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan . Hal ini karena ketika

diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman seseorang tidak berbuat

makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya padahal qard

bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebijakan antar manusia.”8

i. Imam Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanbali

Ketika Imam Ahmad bin Hanbali ditanya tentang riba, ia menjawab,

“Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan

kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu

melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas

penambahan waktu yang diberikan.”9

2. JENIS-JENIS RIBA

a. Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang

berutang (muqtaridh).

b. Riba Jahiliyyah

7
Lihat, Ibid.
8
Lihat, Tahdzib At-Tahzib, 2, hal.
9
Ibn Qayyim al-Jauziyyah I’iam al-Muwaqqiin, 2/132.
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar

utangnya pada waktu yang ditetapkan.

c. Riba Fadhl

Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,

sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barag ribawi.

d. Riba Nasi’ah

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang di

pertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul

karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat

ini dan yang diserahkan kemudian.10

3. JENIS BARANG RIBAWI

Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi

dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan

disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang

ribawi meliputi:

a. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.

b. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan

tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

4. KONSEP RIBA DALAM PERSPEKTIF NON MUSLIM11

Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai

kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan ini. karenanya, kajian

10
Az-Zawajir Ala Iqtiraaf al-Kabaair, vol. II, hal. 205.
11
Sub bab ini sangat banyak bersumber dari tulisan Prof. Dr. Sudin Haron, Prinsip dan Operasi Perbankan
Islam (Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn.Bhd,1996)
terhadap masalah riba dapat dirunut hingga lebih dari dua ribu tahun silam. Masalah

riba telah menjadi bahan bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi.

Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai

riba.

Karena itu, sepantasnya bila kajian tentang riba pun melihat perspektif dari

kalangan non muslim tersebut. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dari

kalangan non muslim tersebut perlu pula dikaji.

Pertama, agama Islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak,

Musa, dan Isa. Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh orang yahudi dan Nasrani. Islam

juga mengakui kedua kaum ini sebagai Ahli Kitab karena kaum Yahudi dikarunia

Allah SWT kitab Taurat, sedangkan kaum Kristen dikaruniai kitab Injil.

Kedua, pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat banyak

tulisan mengenai bunga yang dibuat para pemuka agama tersebut.

Ketiga, pendapat orang-orang Yunani dan Romawi juga perlu diperhatikan

karena mereka memberikan kontribusi yang besar pada peradaban manusia. Pendapat

mereka juga banyak mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen serta Islam

dalam memberikan argumentasi sehubungan dengan riba.

a. Konsep Bunga di Kalangan Yahudi

Orang-orang Yaudi dilarang mempraktikan pengambilan bunga.

Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old

Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud.

Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan, “Jika engkau

meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di

antaramu, maka janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya.”


Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan, “Janganlah

engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan,

atau apa pun yang dapat dibungakan.”

Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan, “Janganlah

engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut

akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau

member uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah

kau berikan dengan meminta riba.”

a. Konsep Bunga di Kalangan Kristen

Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas.

Akan tetapi, sebagian kalangan Kristiani mengangap bahwa ayat yang terdapat

dalam Luksa 6:34-35 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga.

Ayat tersebut menyatakan,

“Dan, jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap
akan menerima sesuatu darinya, apakah jasam? Orang-orang berdosa pun
meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama
banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan
pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan
kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi sebab ia baik terhadap
orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.”

Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatakan munculnya berbagai

tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh-tidaknya

orang Kristen mempraktikkan pengambilan bunga, Berbagai pandangan

dikalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode

utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I-XII) yang

mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII_XVI) yang

berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen

(abad XVI-tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.


b. Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII-XVI)

Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang

perekonnomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi

unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja

kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal abad XII. Pasar uang perlahan-

lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar

secara meluas.

Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan

bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama

maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di

antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap

harta, cirri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan

perbuatan manusia, serta perbedaan antara dosa individu dan kelompok.

Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan

pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan

melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut

mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga

yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat

yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-

1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-

1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274).

Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut

sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut.

1) Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan

pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan,


2) Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya

bergantung pada niat si pemberi utang.

c. Pandangan Reformis Kristen pada Abad XVI_XIX M

Para reformis di kalangan pemeluk agama Kristen telah mengubah dan

membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu, di antaranya :

John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500-1566), Calaude Saumaise

(1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli

(1484-1531).

Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga, antara lain:

1) Dosa apabila bunga memberatkan,

2) Uang dapat membiak (Kontra dengan Aristoteles),

3) Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi, dan

4) Jangan mengambil bunga dari orang miskin.

Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana

diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif.

Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga,

meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang

adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang

yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama

tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.

5. KONSEP RIBA DI DALAM AL-QUR’AN

Konsep pelarangan riba dalam berbagai jenis didalam Al-Qur’an. terdapat dari

berbagai surat dan hadist Rasulullah saw. sebagai berikut.

a. Larangan Riba di dalam Al-Qur’an dan Hadist


Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan oleh Allah

SWT sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.12

1) Tahap Pertama

Peringatan Allah SWT dalam Al-qur’an mengenai riba adalah menolak

anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong

mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub

kepada Allah SWT dalam Al-qur’an Surat Ar-Rum ayat 39 sebagai berikut.

   


  
   
    
  
  
 

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada

harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang

kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan

Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang

melipatgandakan (pahalanya).

2) Tahap Kedua

Peringatan Allah SWT dalam Al-qur’an mengenaimengenai riba digambarkan

sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengencam akan member balasan yang

keras kAllah SWT mengencam akan member balasan yang keras kepada orang

Yahudi yang memakan riba. Ancaman Allah SWT dimaksud, diungkapkan

dalam Al-qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 160-161 sebagai berikut.

12
Penjelasan lebih luas, lihat Sayyid Quthb “Tafsir Ayat ar-Riba” dan Abdul-A’la al-Maududi, Riba (Lahore:
Islamic Publication, 1951)
  
  
  
   
 
 
  
 
  
 
  


“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas

mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)

dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia)

dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya

mereka telah dilarang daripadanya, dank arena mereka memakan untuk orang-

orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

3) Tahap Ketiga

Peringatan Allah SWT dalam Al-qur’an mengenai riba yang berlipat ganda

Riba yang diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat

ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat

yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa

tersebut.

Allah berfirman dalam Al-qur’an Surat Ali Imran ayat 130 sebagai berikut.

 
  
 
  
  

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan

berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT supaya kamu

mendapat keberuntungan.

4) Tahap Keempat atau Tahap Terakhir

Peringatan Allah SWT dalam Al-qur’an sebagai peringatan terakhir

mengenai riba secara jelas dan tegas mengharamkan riba dalam berbagai jenis

tambahan yang diambil dari pinjaman. Lrangan dimaksud, Allah SWT

berfirman di dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 278-279 sebagai berikut.

 
  
   
  
 
   
  
   
   
  

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan

sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka

jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah,

bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat

(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak

menganiaya dan tidak pula dianiaya.

b. Larangan Riba dalam Hadist

Pelarangan riba dalam hukum Islam tidak hanya merujuk kepada Al-

qur’an melainkan juga ditemukan dasar hukum di dalam hadist. Posisi umum

hadist terhadap Al-qur’an adalah menjelaskan aturannya tentang pelarangan riba

secara rinci. Hal dimaksud, dapat dilihat dalam amanat Nabi Muhammad
Rasulullah saw. Pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, yang menekankan

sikap ajaran agama Islam tentang pelarangan riba. Hadist dimaksud, diungkapkan

artinya sebagai berikut.

Ingatlah bahawa kamu akan akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan
menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena
itu utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak
kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.

Selain itu, penulis mengungkapkan beberapa hadist yang menguraikan

pelarangan masalah riba. Di antaranya adalah

Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, Ayahku membeli seorang budak yang

pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala), ayahku

kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada

ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab, bahwa Rasulullah saw.

melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak

perempuan, beliau juga melaknat pekerjaan pentato dan yang minta ditato,

menerima dan member riba serta beliau melaknat para pembuat gambar. (HR.

Bukhari No.2084 kitab Al-Buyu)

Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri bahwa pada suatu ketikaBilal membawa

Barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Nabi saw. dan beliau bertanya

kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab , “Saya

mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarkannya

dua sha’ untuk itu Nabi saw. terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati! Ini

sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika

kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya

rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk

membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (HR. Bukhari No. 2145, kitab Al-

Wakalah)
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata: “Nabi

saw. melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali

sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu

juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (HR. Bukhari No. 2034, kitab Al-

Buyu)

Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabada: “Emas

hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum, tepung dengan

tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan

ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan,

sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. penerima dan pemberi sama-sama

bersalah.” (HR. Muslim No.2971, dalam kitab Al-Musaqqah)

Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah

Suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di

dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang

laki-laki lain dengan batu di tangannya, laki-laki yang di tengah sungai itu

berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari

mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya:

“Siapakah itu?” Aku diberitahu, bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah

orang yang memakan riba.’ (HR.Bukhari No. 6525, kitab At-Ta’bir)

Jabir berkata bahwa Rasulullah saw. mengutuk orang yang menerima riba, orang

yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya dan dua orang saksinya,

kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (HR. Muslim No.2995,

kitab, Al-Masaqqah)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. berkata yang artinya:

“Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka

seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku

bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka

adalah orang-orang yang memakan riba.” Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu

Mas’ud, bahwa Nabi saw. bersabda: “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan),

yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina

dengan ibunya.”

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tuhan

sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki

surge atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) Peminum

arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak

bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya.”

B. BERBAGAI FATWA TENTANG RIBA

Hampir semua majelis fatwa dari kalangan organisasi warga masyarakat Islam

yang berpengaruh di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan lainnya

telah membahas masalah riba. Pembahasan dimaksud, sebagai bagaian dari kepedulian

oraganisasi, terhadap berbagai masalah yang berkembang dalam kehidupan sosial

masyarakat Islam. Untuk itu, kedua organisasi besar tersebut mempunyai lembaga ijtihad,

yaitu Majlis Tarjih di pihak Muhammadiyah dan lajnah Bahsul Masa’il di pihak

Nahdatul Ulama. Kedua lembaga fatwa dimaksud, penulis mengemukakan dan

menguraikan keputusan penting dari kedua lembaga ijtihad tersebut yang berkenaan

dengan riba dan pembungaan uang.

1. Majlis Tarjih Muhammadiyah


Majlis Tarjih Muhammadiyah telah mengambil keputusan mengenai hukum

ekonomi/keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972),

keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan-pinjam (1989). sebagai contoh

diuraikan sebagai berikut.13

a. Majlis Tarjih Sidoarjo

Pada tahun 1968 memutuskan: Status hukum riba adalah haram berdasarkan nash

sharih dari Al-qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, bank yang menggunakan

sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.14

b. Majlis Tarjih Muhammadiyah Wiradesa

Pada tahun 1972 mengamanatkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk

segera dapat memenuhi keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo

tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya

lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam. Oleh karena itu, mendesak

Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammaduyah untuk dapat mengajukan konsepsi

tersebut dalam muktamar yang akan datang.

2. Lajnah Bahsul Msa’il Nahdatul Ulama15

Lajnah Bahsul Masa’il Nahdatul Ulama melalui beberapa kali sidang

memutuskan mengenai bank dan pembungaan uang sama dengan status hukum gadai.

Para Musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga bank konvensional.

Perbedaan dimaksud, sebagai berikut.

13
Lihat Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Lembaga Study Agama dan Filsafat,
Jakarta, 1999.
14
Pembahasan lebih lanjut mengenai Majelis Tarjih lihat, Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis
Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995.
15
Lihat, Rifal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999.
a. Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara

mutlak, sehingga hukumnya haram. Pendapat ini mempunyai beberapa variasi

keadan antara lain sebagai berikut.

1) Bunga itu dengan segala sejenisnya sama dengan riba, sehingga hukumnya

haram.

2) Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut

sebelum beroperasi sistem perbankan yang Islami atau tanpa bunga.

3) Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut

sebab ada kebutuhan yang kuat (hajah rajihah).

b. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga

hukumnya boleh.

c. Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram).

C. Hubungan Hukum antara Bank Syariah dan Nasabahnya Diatur oleh Hukum

Perjanjian Berdasarkan KUH Perdata16

Sudah merupakan kelaziman dalam praktek perbankan, sebagaimana praktek

dunia bisnis pada umumnya, bahwa untuk pemberian fasilitas pembiayaan atau jasa

perbankan lainnya, hubungan hukum antara bank (termasuk juga bank syariah) dan para

nasabahnya selalu dituangkan dalam perjanjian tertulis. Apabila hubungan hukum antara

bank dan nasabahnya dituangkan dalam suatu perjanjian, maka bagi hubungan hukum itu

berlaku ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dituangkan dalam perjanjian itu.

Dalam praktek perbankan, bagi hubungan hukum jasa-jasa tertentu, bank menyediakan

pula ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum tersebut adalah berdasarkan surat

16
Baca lebih lanjut mengenai masalah ini dalam Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia. Jakarta: Institut Bankir
Indonesia, 1993.
pernyataan yang ditandatangani oleh nasabah atau berdasarkan perjanjian antara bank dan

nasabah yang di dalamnya memuat pernyataan bahwa nasabah tunduk pada ketentuan-

ketentuan dan syarat-syarat umum tersebut. Adakalanya ketentuan-ketentuan dan syarat-

syarat umum itu dideponir pada suatu kantor notaris. Dengan penundukan diri oleh

nasabah terhadap ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum berdasarkan surat

pernyataan atau perjanjian tersebut, maka apabila timbul perbedaan pendapat mengenai

hubungan hukum antara bank syariah dan nasabah kedua belah pihak akan merujuk

kepada ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum yang dimaksud. Contoh mengenai

hal ini adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum yang baku dalam hal

pembukaan rekening giro. Contoh lain adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat

umum yang dibakukan untuk jasa kiriman uang.

Sehubungan dengan hubungan hukum antara bank syariah dan nasabahnya akan

muncul pertanyaan, terutama oleh mereka yang kurang memahami hukum, hukum apakah

yang akan diberlakukan dalam hal terjadi sengketa antara bank syariah yang bersangkutan

dengan nasabah mengenai pengunaan suatu jasa perbankan syariah? Apakah terhadap

sengketa yang timbul akan diberlakukan hukum Islam? Ataukah yang akan diberlakukan

adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dituangkan di dalam perjanjian antara

bank dan nasabah? Pertanyaan ini perlu dikemukakan dan jawabannya sangat diperlukan

untuk menghindarkan kesalahpahaman bagi mereka yang awam hukum dan bermaksud

untuk berhubungan dengan bank syariah.

Di dalam tata hukum Indonesia, sebagai bukan negara Islam (tetapi negara

muslim, yaitu negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam), hukum Islam

bukanlah merupakan hukum positif (bukan merupakan hukum yang berlaku resmi dan

dapat dipaksakan atas pelanggarannya oleh pengadilan). Dengan kata lain, sengketa yang

timbul di antara bank syariah dan nasabahnya tidak akan diberlakukan hukum Islam.
Yang diberlakukan adalah hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata,

karena KUH Perdata itulah yang merupakan hukum positif.

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak

hanya sah apabila perjanjian itu dibuat oleh pihak-pihak yang oleh hukum dianggap cakap

untuk membuat suatu perjanjian, dan dibuat berdasarkan kesepakatan di antara para pihak

yang membuatnya (dengan kata lain, tidak dibuat atas dasar paksaan oleh satu pihak

terhadap pihak lainnya). Di samping itu, hukum perjanjian menentukan bahwa isi

perjanjian hanyalah sah apabila tidak bertentangan dengan undang-undang, dengan

kepatutan, dan dengan ketertiban umum serta dibuat dan dilaksanakan dengan itikad baik

oleh para pihak yang membuatnya.

Dalam hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata itu, bagi pembuatan

suatu perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak (Freedom of contract). Berdasarkan

asas kebebasan berkontrak, para pihak bebas memperjanjikan apa saja yang dikehendaki

oleh mereka sebagai isi perjanjian (syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian

itu), sepanjang, seperti telah dikemukakan di atas, isi perjanjian itu tidak bertentangan

dengan undang-undang, dengan kepatutan dan dengan ketertiban umum. Setelah

perjanjian dibuat oleh para pihak, hukum perjanjian menentukan bahwa perjanjian yang

dibuat oleh para pihak, maka perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan

kesepakatan kedua belah pihak atau apabila menuntut undang-undang terdapat alasan

yang cukup untuk itu. Demikian ditentukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata.

Terdapat asas lain yang harus diperhatikan dalam hukum perjanjian. Asas tersebut

menentukan bahwa apabila di dalam perjanjian tidak diatur mengenai hal yang

dipermasalahkan oleh para pihak, tetapi hal itu (telah) diatur oleh hukum perjanjian dalam

KUH Perdata, maka ketentuan dalam KUH Perdata itu yang diberlakukan. Namun,

apabila mengenai hal itu telah diatur di dalam perjanjian. tetapi isi perjanjian itu berbeda
dengan pengaturannya dalam hukum perjanjian di dalam KUH Perdata, maka yang harus

diberlakukan adalah ketentuan dalam perjanjian itu dengan ketentuan sepanjang

pengaturan dalam hukum perjanjian tidak merupakan ketentuan yang tidak boleh

disampangi (ketentuan itu bersifat memaksa atau merupakan dwingend recht). Apabila

ketentuan dari hukum perjanjian dalam KUH Perdata itu merupakan ketentuan yang tidak

boleh disimpangi (bersifat memaksa), maka sesuai dengan asas bahwa isi perjanjian tidak

boleh bertentangan dengan undang-undang ketentuan dari hukum perjanjian itu yang

harus diberlakukan, sedangkan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam KUH

Perdata bersifat tidak memaksa (aanvullend recht). Artinya, boleh disimpangi oleh para

pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang lain di dalam

perjanjian yang dibuat oleh mereka.

Berkenaan dengan penafsiran perjanjanjian, apabila terjadi perbedaan pendapat

diantara para pihak mengenai isi suatu perjanjian, sedangkan mengenai hal yang di

Persengketakan itu tidak jelas pengaturannya di dalam perjanjian itu dan hukum

perjanjian juga tidak mengaturnya, maka para pihak dapat mengacu kepada ketentuan-

ketentuan kebiasaan. Dengan kata lain, para pihak harus mencari “bagaimana kebiasaan

mengatur atau menentukan hal yang dipermasalahkan itu”. Asas ini sesuai dengan

ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang menentukan bahwa perjanjian-perjanjian tidak

hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga

untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian itu diharuskan oleh kepatutan,

kebiasaan atau undang-undang. Asas tersebut juga sesuai dengan ketentuan pasal 1347

KUH Perdata yang menentukan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya

diperjanjikan, secara diam-diam dianggap telah di masukkan pula kedalam perjanjian itu,

meskipun hal yang demikian itu tidak secara tegas dinyatakan dalam perjanjian itu.
Dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 1347 KUH Perdata itulah ketentuan

syariah berlaku bagi penafsiran perjanjian antara bank syariah dengan nasabah. Sekalipun

prinsip atau ketentuan syariah bukan merupakan hukum positif, melainkan dalam hal

hubungan antara bank syariah dengan nasabah, prinsip atau ketentuan syariah itu

berkedudukan sebagai hukum kebiasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1347 KUH

Perdata itu. Dengan kata lain, apabila di dalam perjanjian antara bank syariah dan

nasabah telah tidak diperjanjikan mengenai hal yang dipersengketakan, sedangkan hukum

perjanjian sebagaimana dimaksud dalam KUH Perdata tidak pula mengaturnya, maka

prinsip atau ketentuan syariah itu (yang belum dituangkan sebagai ketentuan-ketentuan

dan syarat-syarat dari perjanjian yang bersangkutan) harus dirujuk.

Sehubungan dengan berlakunya asas-asas tersebut di atas, termasuk asas

kebebasan berkontrak, menurut hemat penulis, dalam perjanjian antara bank syariah dan

nasabah mengenai penggunaan jasa tertentu berdasarkan Prinsip Syariah, hendaknya

diatur dan ditentukan secara rinci dan jelas mengenai ketentuan-ketentuan dan syarat-

syarat yang dikehendaki oleh semua pihak agar berlaku bagi hubungan hukum antara

bank syariah dan nasabah berkenaan dengan transaksi tersebut. Namun, hal itu harus

dilakukan dengan mencermati bahwa ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat tersebut tidak

sampai melanggar undang-undang, kepatutan, atau ketertiban umum. Antara lain agar

tidak sampai melanggar undang-undang semua pihak yang membuat perjanjian itu harus

memastikan bahwa ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dimaksudkan dalam

perjanjian itu tidak sampai menyimpangi ketentuan-ketentuan memaksa (dwingend

rechts) dari hukum perjanjian.

Dalam hubungan itu, Bank Indonesia dengan bantuan Dewan Syariah Nasional

dapat membuat penyeragaman terhadap perjanjian-perjanjian baku (standard contracts)

yang digunakan oleh bank-bank syariah di Indonesia. Penyeragaman perjanjian-perjanjian


baku yang berlaku bagi hubungan bank syariah dengan para nasabahnya oleh Bank

Indonesia itu, karena pada saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang tentang

perjanjian baku, sebagaimana undang-undang tentang perjanjian baku, sebagaimana

undang-undang semacam itu telah dipunyai oleh banyak negara maju. Dengan

penyeragaman perjanjian-perjanjian baku perbankan syariah itu, akan dapat dicapai hal-

hal sebagai berikut:

1. Lingkup dan isi perjanjian transaksi syariah antara bank syariah yang satu dan yang

lain tidak menjadi berbeda-beda seperti sekarang ini. Dalam praktek perbankan

(terutama praktek perbankan konvensional), antara perjanjian baku yang dibuat dan

digunakan oleh satu bank dengan bank yang lain sangat berbeda-beda. Ada yang

sangat rinci dan ada yang sangat sederhana.

2. Penyeragaman perjanjian baku perbankan syariah, misalnya bagi transaksi bagi

transaksi mudharabah dalam hal penerimaan deposito berjangka, transaksi wadi’ah

dalam hal pembukaan rekening giro, transaksi musyarakah, bai’salam, atau

murabahah dalam rangka pemberian fasilitas pembiayaan oleh bank syariah,

ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat dari janjian itu dapat dibuat jelas dan rinci. Hal

itu diperlukan agar isi yang rinci dari perjanjian itu dapat dijadikan acuan apabila

terjadi perbedaan pendapat antara nasabah dengan bank. Bukan saja dapat saja

dijadikan acuan oleh para nasabah bank yang pada umumnya tidak menguasai

ketentuan-ketentuan syariah mengenai transaksi-transaksi syariah itu atau oleh

penasehat hukumnya, tetapi juga dapat dijadikan acuan oleh hakim yang akan

menangani perkara itu apabila sengketa itu sampai harus diselesaikan melalui

pengadilan.

3. Menghindarkan terjadinya pembuatan perjanjian yang berat sebelah oleh pihak bank.

Sebagaimana diketahui perjanjian baku dalam industry perbankan dibuat sepihak oleh
bank. Karena dibuat sepihak oleh bank, maka perjanjian baku itu sering berat sebelah,

yaitu hanya memuat hak-hak bank dan kewajiban-kewajiban nasabah saja, dan kurang

memuat hak-hak nasabah dan kewajiban-kewajiban nasabah saja, dan kurang memuat

hak-hak nasabah dan kewajiban-kewajiban bank. Dalam perjanjian-perjanjian baku

yang disiapkan oleh bank itu sering dimuat klausul-klausul yang sangat menekan

nasabah. Yang demikian itu bertentangan dengan asas kepatuhan atau asas keadilan.

Termasuk klausul-klausul yang berat sebelah itu adalah klausul-klausul eksemsi

(exemption clauses). Perjanjian-perjanjian yang berat sebelah yang bernada mau

menang sendiri saja di pihak bank itu, pada masa lalu banyak dinyatakan oleh

pengadilan sebagai perjanjian yang telah dibuat bertentangan dengan asas kepatutan.

Sesuai dengan asas hukum perjanjian, kalusul-klausul yang berat sebelah dan dinilai

bertentangan dengan asas kepatutan itu akhirnya dinyatakan sebagai klausul-klausul

yang tidak sah dan batal demi hukum. Pengadilan juga berpendirian bahwa dalam hal

kemudian bank dalam menjalankan haknya, melakukan tindakan terhadap nasabah

berdasarkan klausul-klausul yang berat sebelah itu, pengadilan akan menganggap

bank telah berat sebelah itu, pengadilan akan menganggap bank telah melakukan

perbuatn melawan hukum. Tindakan bank tersebut terancam dinyatakan tidak sah dan

dibatalkan oleh pengadilan. Dalam banyak kasus, pengadilan sering pula berpendirian

bahwa dalam hal pembuatan perjanjian yang berat sebelah itu, bank dianggap telah

melakukan “penyalahgunaan keadaan” atau misbruik van omstandigheden. Artinya,

pada waktu perjanjian itu dibuat pengadilan berpendapat bahwa bank telah

menyalahgunakan keadaan nasabah yang lemah dan tidak berdaya dalam menghadapi

bank yang bargaining power-nya lebih kuat. Sementara nasabah sangat membutuhkan

fasilitas pembiayaan yang dimaksud dan apabila nasabah menolak klausul-klausul

yang memberatkan itu bank akan menolak untuk memberikan fasilitas pembiayaan

yang sangat dibutuhkan oleh nasabah itu. Bila pengadilan menganggap bahwa bank

telah melakukan penyalahgunaan keadaan, berarti perjanjian itu telah tidak dibuat
berdasarkan kesepakatan murni antara bank dan nasabah yang merupakan unsure

yang menentukan sahnya pembuatan perjanjian itu. Akibat dari dinilainya perjanjian

itu sebagai telah dibuat berdasarkan penyalahgunaan keadaan, maka seluruh

perjanjian itu telah dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan.17

17
Baca lebih lanjut mengenai masalah ini dalam Sutan Remy Sjahdeni, Op.cit.

Anda mungkin juga menyukai