Bab2 TTG Riba
Bab2 TTG Riba
1. Pengertian Riba
secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar1. Menurut istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.2 Ada
beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan
Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam Al-quran Surah An-Nisa (4) ayat
29 sebagai berikut.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti
“Riba adalah tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
c. Raghib al-Asfahani
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba
yang dilarang Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah Penambahan atas harta pokok
e. Qatadah
“Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga
waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu
dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya pada saat
g. Mujahid
3
Badr Ad-Din Al-Ayni, Umdatul Qari: Syarah Shahih Al-Bukhari (Constantinople: Mathba’ah Al-Amira, 1310
H), vol v, hal. 436.
4
Al-Mabsut, Vol XII, hal. 109.
5
Majmu Syarh Al-Muhadzdzab, Vol IX, (Kairo, Zakaria Ali Yusuf, tt), hal.442.
6
Lihat, Tafsir Al-Qurthubi 4/202 dan Tafsir Ath-Thabary 7/204.
“ Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan
waktu.”7
Ja’far ash-shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba,
“Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan . Hal ini karena ketika
bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebijakan antar manusia.”8
kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu
2. JENIS-JENIS RIBA
a. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berutang (muqtaridh).
b. Riba Jahiliyyah
7
Lihat, Ibid.
8
Lihat, Tahdzib At-Tahzib, 2, hal.
9
Ibn Qayyim al-Jauziyyah I’iam al-Muwaqqiin, 2/132.
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar
c. Riba Fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barag ribawi.
d. Riba Nasi’ah
pertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi
dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan
disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang
ribawi meliputi:
a. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
b. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan
kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan ini. karenanya, kajian
10
Az-Zawajir Ala Iqtiraaf al-Kabaair, vol. II, hal. 205.
11
Sub bab ini sangat banyak bersumber dari tulisan Prof. Dr. Sudin Haron, Prinsip dan Operasi Perbankan
Islam (Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn.Bhd,1996)
terhadap masalah riba dapat dirunut hingga lebih dari dua ribu tahun silam. Masalah
riba telah menjadi bahan bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi.
Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai
riba.
Karena itu, sepantasnya bila kajian tentang riba pun melihat perspektif dari
kalangan non muslim tersebut. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dari
Musa, dan Isa. Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh orang yahudi dan Nasrani. Islam
juga mengakui kedua kaum ini sebagai Ahli Kitab karena kaum Yahudi dikarunia
Allah SWT kitab Taurat, sedangkan kaum Kristen dikaruniai kitab Injil.
Kedua, pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat banyak
karena mereka memberikan kontribusi yang besar pada peradaban manusia. Pendapat
mereka juga banyak mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen serta Islam
Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old
meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di
engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut
Akan tetapi, sebagian kalangan Kristiani mengangap bahwa ayat yang terdapat
dalam Luksa 6:34-35 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga.
“Dan, jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap
akan menerima sesuatu darinya, apakah jasam? Orang-orang berdosa pun
meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama
banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan
pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan
kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi sebab ia baik terhadap
orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.”
tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh-tidaknya
utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I-XII) yang
perekonnomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi
unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja
kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal abad XII. Pasar uang perlahan-
lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar
secara meluas.
Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan
bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama
pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan
mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga
yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat
yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-
(1484-1531).
meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang
adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang
yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama
Konsep pelarangan riba dalam berbagai jenis didalam Al-Qur’an. terdapat dari
1) Tahap Pertama
kepada Allah SWT dalam Al-qur’an Surat Ar-Rum ayat 39 sebagai berikut.
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
melipatgandakan (pahalanya).
2) Tahap Kedua
sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengencam akan member balasan yang
keras kAllah SWT mengencam akan member balasan yang keras kepada orang
12
Penjelasan lebih luas, lihat Sayyid Quthb “Tafsir Ayat ar-Riba” dan Abdul-A’la al-Maududi, Riba (Lahore:
Islamic Publication, 1951)
dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dank arena mereka memakan untuk orang-
3) Tahap Ketiga
Peringatan Allah SWT dalam Al-qur’an mengenai riba yang berlipat ganda
Riba yang diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat
yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa
tersebut.
Allah berfirman dalam Al-qur’an Surat Ali Imran ayat 130 sebagai berikut.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT supaya kamu
mendapat keberuntungan.
mengenai riba secara jelas dan tegas mengharamkan riba dalam berbagai jenis
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
Pelarangan riba dalam hukum Islam tidak hanya merujuk kepada Al-
qur’an melainkan juga ditemukan dasar hukum di dalam hadist. Posisi umum
secara rinci. Hal dimaksud, dapat dilihat dalam amanat Nabi Muhammad
Rasulullah saw. Pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, yang menekankan
sikap ajaran agama Islam tentang pelarangan riba. Hadist dimaksud, diungkapkan
Ingatlah bahawa kamu akan akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan
menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena
itu utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak
kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, Ayahku membeli seorang budak yang
melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak
perempuan, beliau juga melaknat pekerjaan pentato dan yang minta ditato,
menerima dan member riba serta beliau melaknat para pembuat gambar. (HR.
Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri bahwa pada suatu ketikaBilal membawa
Barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Nabi saw. dan beliau bertanya
mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarkannya
dua sha’ untuk itu Nabi saw. terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati! Ini
sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika
kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya
rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk
membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (HR. Bukhari No. 2145, kitab Al-
Wakalah)
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata: “Nabi
saw. melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali
sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu
juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (HR. Bukhari No. 2034, kitab Al-
Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabada: “Emas
hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum, tepung dengan
tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan
“Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah
laki-laki lain dengan batu di tangannya, laki-laki yang di tengah sungai itu
berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari
mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya:
“Siapakah itu?” Aku diberitahu, bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah
Jabir berkata bahwa Rasulullah saw. mengutuk orang yang menerima riba, orang
yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya dan dua orang saksinya,
kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (HR. Muslim No.2995,
kitab, Al-Masaqqah)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. berkata yang artinya:
“Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka
seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku
bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka
Mas’ud, bahwa Nabi saw. bersabda: “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan),
yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina
dengan ibunya.”
surge atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) Peminum
arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak
Hampir semua majelis fatwa dari kalangan organisasi warga masyarakat Islam
telah membahas masalah riba. Pembahasan dimaksud, sebagai bagaian dari kepedulian
masyarakat Islam. Untuk itu, kedua organisasi besar tersebut mempunyai lembaga ijtihad,
yaitu Majlis Tarjih di pihak Muhammadiyah dan lajnah Bahsul Masa’il di pihak
menguraikan keputusan penting dari kedua lembaga ijtihad tersebut yang berkenaan
keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan-pinjam (1989). sebagai contoh
Pada tahun 1968 memutuskan: Status hukum riba adalah haram berdasarkan nash
sharih dari Al-qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, bank yang menggunakan
sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.14
lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam. Oleh karena itu, mendesak
memutuskan mengenai bank dan pembungaan uang sama dengan status hukum gadai.
Para Musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga bank konvensional.
13
Lihat Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Lembaga Study Agama dan Filsafat,
Jakarta, 1999.
14
Pembahasan lebih lanjut mengenai Majelis Tarjih lihat, Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis
Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995.
15
Lihat, Rifal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999.
a. Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara
1) Bunga itu dengan segala sejenisnya sama dengan riba, sehingga hukumnya
haram.
2) Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut
3) Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut
b. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga
hukumnya boleh.
c. Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram).
C. Hubungan Hukum antara Bank Syariah dan Nasabahnya Diatur oleh Hukum
dunia bisnis pada umumnya, bahwa untuk pemberian fasilitas pembiayaan atau jasa
perbankan lainnya, hubungan hukum antara bank (termasuk juga bank syariah) dan para
nasabahnya selalu dituangkan dalam perjanjian tertulis. Apabila hubungan hukum antara
bank dan nasabahnya dituangkan dalam suatu perjanjian, maka bagi hubungan hukum itu
Dalam praktek perbankan, bagi hubungan hukum jasa-jasa tertentu, bank menyediakan
16
Baca lebih lanjut mengenai masalah ini dalam Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia. Jakarta: Institut Bankir
Indonesia, 1993.
pernyataan yang ditandatangani oleh nasabah atau berdasarkan perjanjian antara bank dan
nasabah yang di dalamnya memuat pernyataan bahwa nasabah tunduk pada ketentuan-
syarat umum itu dideponir pada suatu kantor notaris. Dengan penundukan diri oleh
pernyataan atau perjanjian tersebut, maka apabila timbul perbedaan pendapat mengenai
hubungan hukum antara bank syariah dan nasabah kedua belah pihak akan merujuk
hal ini adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum yang baku dalam hal
Sehubungan dengan hubungan hukum antara bank syariah dan nasabahnya akan
muncul pertanyaan, terutama oleh mereka yang kurang memahami hukum, hukum apakah
yang akan diberlakukan dalam hal terjadi sengketa antara bank syariah yang bersangkutan
dengan nasabah mengenai pengunaan suatu jasa perbankan syariah? Apakah terhadap
sengketa yang timbul akan diberlakukan hukum Islam? Ataukah yang akan diberlakukan
bank dan nasabah? Pertanyaan ini perlu dikemukakan dan jawabannya sangat diperlukan
untuk menghindarkan kesalahpahaman bagi mereka yang awam hukum dan bermaksud
Di dalam tata hukum Indonesia, sebagai bukan negara Islam (tetapi negara
muslim, yaitu negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam), hukum Islam
bukanlah merupakan hukum positif (bukan merupakan hukum yang berlaku resmi dan
dapat dipaksakan atas pelanggarannya oleh pengadilan). Dengan kata lain, sengketa yang
timbul di antara bank syariah dan nasabahnya tidak akan diberlakukan hukum Islam.
Yang diberlakukan adalah hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata,
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak
hanya sah apabila perjanjian itu dibuat oleh pihak-pihak yang oleh hukum dianggap cakap
untuk membuat suatu perjanjian, dan dibuat berdasarkan kesepakatan di antara para pihak
yang membuatnya (dengan kata lain, tidak dibuat atas dasar paksaan oleh satu pihak
terhadap pihak lainnya). Di samping itu, hukum perjanjian menentukan bahwa isi
kepatutan, dan dengan ketertiban umum serta dibuat dan dilaksanakan dengan itikad baik
Dalam hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata itu, bagi pembuatan
asas kebebasan berkontrak, para pihak bebas memperjanjikan apa saja yang dikehendaki
oleh mereka sebagai isi perjanjian (syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian
itu), sepanjang, seperti telah dikemukakan di atas, isi perjanjian itu tidak bertentangan
perjanjian dibuat oleh para pihak, hukum perjanjian menentukan bahwa perjanjian yang
dibuat oleh para pihak, maka perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan
kesepakatan kedua belah pihak atau apabila menuntut undang-undang terdapat alasan
yang cukup untuk itu. Demikian ditentukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata.
Terdapat asas lain yang harus diperhatikan dalam hukum perjanjian. Asas tersebut
menentukan bahwa apabila di dalam perjanjian tidak diatur mengenai hal yang
dipermasalahkan oleh para pihak, tetapi hal itu (telah) diatur oleh hukum perjanjian dalam
KUH Perdata, maka ketentuan dalam KUH Perdata itu yang diberlakukan. Namun,
apabila mengenai hal itu telah diatur di dalam perjanjian. tetapi isi perjanjian itu berbeda
dengan pengaturannya dalam hukum perjanjian di dalam KUH Perdata, maka yang harus
pengaturan dalam hukum perjanjian tidak merupakan ketentuan yang tidak boleh
disampangi (ketentuan itu bersifat memaksa atau merupakan dwingend recht). Apabila
ketentuan dari hukum perjanjian dalam KUH Perdata itu merupakan ketentuan yang tidak
boleh disimpangi (bersifat memaksa), maka sesuai dengan asas bahwa isi perjanjian tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang ketentuan dari hukum perjanjian itu yang
Perdata bersifat tidak memaksa (aanvullend recht). Artinya, boleh disimpangi oleh para
diantara para pihak mengenai isi suatu perjanjian, sedangkan mengenai hal yang di
Persengketakan itu tidak jelas pengaturannya di dalam perjanjian itu dan hukum
perjanjian juga tidak mengaturnya, maka para pihak dapat mengacu kepada ketentuan-
ketentuan kebiasaan. Dengan kata lain, para pihak harus mencari “bagaimana kebiasaan
mengatur atau menentukan hal yang dipermasalahkan itu”. Asas ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang menentukan bahwa perjanjian-perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian itu diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang. Asas tersebut juga sesuai dengan ketentuan pasal 1347
KUH Perdata yang menentukan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya
diperjanjikan, secara diam-diam dianggap telah di masukkan pula kedalam perjanjian itu,
meskipun hal yang demikian itu tidak secara tegas dinyatakan dalam perjanjian itu.
Dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 1347 KUH Perdata itulah ketentuan
syariah berlaku bagi penafsiran perjanjian antara bank syariah dengan nasabah. Sekalipun
prinsip atau ketentuan syariah bukan merupakan hukum positif, melainkan dalam hal
hubungan antara bank syariah dengan nasabah, prinsip atau ketentuan syariah itu
berkedudukan sebagai hukum kebiasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1347 KUH
Perdata itu. Dengan kata lain, apabila di dalam perjanjian antara bank syariah dan
nasabah telah tidak diperjanjikan mengenai hal yang dipersengketakan, sedangkan hukum
perjanjian sebagaimana dimaksud dalam KUH Perdata tidak pula mengaturnya, maka
prinsip atau ketentuan syariah itu (yang belum dituangkan sebagai ketentuan-ketentuan
kebebasan berkontrak, menurut hemat penulis, dalam perjanjian antara bank syariah dan
diatur dan ditentukan secara rinci dan jelas mengenai ketentuan-ketentuan dan syarat-
syarat yang dikehendaki oleh semua pihak agar berlaku bagi hubungan hukum antara
bank syariah dan nasabah berkenaan dengan transaksi tersebut. Namun, hal itu harus
sampai melanggar undang-undang, kepatutan, atau ketertiban umum. Antara lain agar
tidak sampai melanggar undang-undang semua pihak yang membuat perjanjian itu harus
Dalam hubungan itu, Bank Indonesia dengan bantuan Dewan Syariah Nasional
Indonesia itu, karena pada saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang tentang
undang-undang semacam itu telah dipunyai oleh banyak negara maju. Dengan
penyeragaman perjanjian-perjanjian baku perbankan syariah itu, akan dapat dicapai hal-
1. Lingkup dan isi perjanjian transaksi syariah antara bank syariah yang satu dan yang
lain tidak menjadi berbeda-beda seperti sekarang ini. Dalam praktek perbankan
(terutama praktek perbankan konvensional), antara perjanjian baku yang dibuat dan
digunakan oleh satu bank dengan bank yang lain sangat berbeda-beda. Ada yang
ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat dari janjian itu dapat dibuat jelas dan rinci. Hal
itu diperlukan agar isi yang rinci dari perjanjian itu dapat dijadikan acuan apabila
terjadi perbedaan pendapat antara nasabah dengan bank. Bukan saja dapat saja
dijadikan acuan oleh para nasabah bank yang pada umumnya tidak menguasai
penasehat hukumnya, tetapi juga dapat dijadikan acuan oleh hakim yang akan
menangani perkara itu apabila sengketa itu sampai harus diselesaikan melalui
pengadilan.
3. Menghindarkan terjadinya pembuatan perjanjian yang berat sebelah oleh pihak bank.
Sebagaimana diketahui perjanjian baku dalam industry perbankan dibuat sepihak oleh
bank. Karena dibuat sepihak oleh bank, maka perjanjian baku itu sering berat sebelah,
yaitu hanya memuat hak-hak bank dan kewajiban-kewajiban nasabah saja, dan kurang
memuat hak-hak nasabah dan kewajiban-kewajiban nasabah saja, dan kurang memuat
yang disiapkan oleh bank itu sering dimuat klausul-klausul yang sangat menekan
nasabah. Yang demikian itu bertentangan dengan asas kepatuhan atau asas keadilan.
menang sendiri saja di pihak bank itu, pada masa lalu banyak dinyatakan oleh
pengadilan sebagai perjanjian yang telah dibuat bertentangan dengan asas kepatutan.
Sesuai dengan asas hukum perjanjian, kalusul-klausul yang berat sebelah dan dinilai
yang tidak sah dan batal demi hukum. Pengadilan juga berpendirian bahwa dalam hal
bank telah berat sebelah itu, pengadilan akan menganggap bank telah melakukan
perbuatn melawan hukum. Tindakan bank tersebut terancam dinyatakan tidak sah dan
dibatalkan oleh pengadilan. Dalam banyak kasus, pengadilan sering pula berpendirian
bahwa dalam hal pembuatan perjanjian yang berat sebelah itu, bank dianggap telah
pada waktu perjanjian itu dibuat pengadilan berpendapat bahwa bank telah
menyalahgunakan keadaan nasabah yang lemah dan tidak berdaya dalam menghadapi
bank yang bargaining power-nya lebih kuat. Sementara nasabah sangat membutuhkan
yang memberatkan itu bank akan menolak untuk memberikan fasilitas pembiayaan
yang sangat dibutuhkan oleh nasabah itu. Bila pengadilan menganggap bahwa bank
telah melakukan penyalahgunaan keadaan, berarti perjanjian itu telah tidak dibuat
berdasarkan kesepakatan murni antara bank dan nasabah yang merupakan unsure
yang menentukan sahnya pembuatan perjanjian itu. Akibat dari dinilainya perjanjian
17
Baca lebih lanjut mengenai masalah ini dalam Sutan Remy Sjahdeni, Op.cit.