Professor Doktor Harun Nasution, Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, pernah memperkenalkan sebuah istilah yang ia sebut “faham peri- kemakhlukan”. Dalam bukunya Islam Rasional, ia mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan perikemakhlukan ialah kasih sayang kepada alam binatang dan alam tumbuh-tumbuhan serta alam benda mati, mencintai seluruh nature ciptaan Tuhan. Faham perikemakhlukan ini didasarkan pada ayat al-Qur’an surat al-An’±m ayat 38 yang berbunyi : ير ِب َجنَا َح ْي ِه إِ ََّل أ ُ َم ٌم أ َ ْمثَالُ ُك ْم ِ َو َما ِم ْن دَابَّ ٍة فِي ْاْلَ ْر ُ ض َو ََل َطائِ ٍر يَ ِط Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu Ayat ini menjelaskan bahwa binatang, hewan dan burung-burung juga adalah ummat yang dari segi posisinya sebagai makhluk Tuhan tidak berbeda dengan manusia. Jadi, sama-sama makhluk, sama-sama diakui oleh Tuhan sebagai ummat. Di dalam hadis, Rasulullah SAW menyebut binatang, antara lain semut, juga sebagai umat. Nabi bersabda : ْاء فَأ َ َم َر بِ َق ْريَ ِة النَّ ْم ِل فَأُحْ ِرقَت َ سلَّ َم أَنَّ نَ ْملَةً قَ َر ِ َصتْ نَبِيًّا ِم ْن ْاْل َ ْنبِي َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى َ َُّللا َ َِّللاَّ سو ِل ُ ع َْن أَبِي ه َُري َْرةَ ع َْن َر َ ُ صتْكَ َن ْملَةٌ أَ ْهلَكْتَ أ ُ َّمةً ِم ْن ْاْل ُ َم ِم ت س ِّب ُح َ َّللاُ إِلَ ْي ِه أَفِي أَ ْن قَ َر َّ فَأ َ ْوحَى Dari Abu Huraerah, dari Nabi SAW : Sesungguhnya pernah seekor semut menggigit salah seorang Nabi. Nabi tersebut lalu menyuruh untuk mendatangi sarang semut dan dibakarnya. Tetapi kemudian Allah menurunkan wahyu kepadanya : “Apakah hanya gara-gara seekor semut menggigitmu lantas kamu akan membinasakan suatu umat yang selalu membaca tasbih?” (H.R. Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa semut itu juga adalah salah satu umat yang selalu bertasbih (kepada Tuhan), dan karenanya terlarang membinasakannya. Jadi secara tegas al-Qur’an dan Hadis tidak membatasi pengertian ummat hanya pada kelompok manusia saja. Dalam bentuk aplikatif, prinsip perikemakhlukan ini tercermin dalam sunnah Nabi SAW. Mengenai kasih sayang kepada binatang, Nabi SAW menjelaskan dalam hadisnya, bahwa wanita yang mengikat kucingnya kemudian tidak memberi makanan kepada binatang itu akan masuk neraka kelak di akhirat. Tetapi sebaliknya, wanita jahat yang memberi minum kepada anjing yang akan mati karena kehausan, diampuni dosanya oleh Tuhan. Hadis Nabi SAW (artinya) Dari Abdullah (Ibnu Umar r.a.), bahwa Nabi SAW telah bersabda: seorang perempuan disiksa karena seekor kucing yang ditawannya sehingga kucing itu mati, maka perempuan itu masuk neraka, karena perempuan itu tidak memberinya makan dan minum, dan tidak pula membiarkannya memakan serangga di muka bumi (H. R. Muslim). Sementara tentang anjing, dalam hadis Nabi SAW ada diriwayatkan (artinya), dari Abu Huraerah r.a., sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda : ketika seorang lelaki tengah berjalan di jalanan, dia merasa kehausan, lalu dia menemukan sebuah sumur; kemudian dia turun ke dalam sumur itu, lalu dia minum, lantas keluar. Sesampai di luar, tiba-tiba terdapat seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya memakan-makan tanah karena hausnya. Maka orang itu berkata, sungguh anjing itu telah begitu kehausan seperti yang aku rasakan. Lalu orang itu turun ke dalam sumur dan memenuhi terompahnya dengan air; kemudian dia memegangnya dengan mulutnya hingga dia sampai di atas, lalu dia beri minum anjing itu. Maka Allah pun bersyukur kepadanya dan mengampuni dosanya. Mereka bertanya, wahai Rasulullah, apakah kita memperoleh pahala dalam menolong binatang? Nabi menjawab, di dalam menolong setiap yang bernyawa yang hidup itu ada pahalanya (H. R. Bukhari dan Muslim). Untuk lebih memperkuat pendapat tentang adanya prinsip perikemakhlukan ini, (dalam aksi), kiranya perlu dikemukakan kisah Abu Yazid Al-Bustami, seorang sufi kenamaan, yang tidak mau menyakiti binatang, semut sekalipun. Diceriterakan, bahwa suatu hari beliau harus berjalan kaki kembali ke tempat ia berkunjung untuk mengembalikan semut yang terbawa olehnya (tanpa sengaja). Ditambahkan pula bahwa Khalifah Umar bin Khattab r.a. menegur seseorang yang menyeret dengan kasar kambing yang akan disembelih. Kata beliau, celakalah engkau, tariklah binatang itu dengan lemah lembut dalam menghadapi mautnya. Suatu ketika Nabi bepergian bersama para sahabatnya, termasuk Ibnu Mas’ud, yang meriwayatkan hadis ini. Dalam perjalanan itu sahabat-sahabat Nabi, ketika Nabi sedang pergi buang hajat, melihat seekor burung yang mempunyai dua ekor anak, lalu sahabat tersebut mengambil kedua anaknya, kemudian datanglah induknya terbang di atas mereka. Ketika (Nabi kembali dan) menyaksikan kejadian itu, Nabi SAW bersabda : “Siapakah yang menyusahkan burung ini dengan mengambil anaknya. Kembalikan anaknya kepadanya.” Adapun mengenai tumbuh-tumbuhan, Nabi SAW melarang menebang pohon yang akan berbuah. Kepada tentara yang mau berperang Nabi mengeluarkan perintah : jangan rusak pohon korma, jangan cabut pepohonan, dan jangan runtuhkan rumah. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar, ketika ia menjadi khalifah, mengirim pasukan ke Syam, dia berpesan agar pasukan dalam melakukan peperangan (sedapat mungkin) tidak memotong atau menebang pohon di daerah peperangan itu. Riwayat tentang kebijakan Khalifah Abu Bakar tersebut telah dikemukakan oleh Malik bin Anas dalam al-Muwaththa’ (artinya): Saya berwasiat kepada anda sepuluh macam: 1) Janganlah membunuh perempuan; 2) Janganlah membunuh anak- anak; 3) Janganlah membunuh orang-orang yang sudah tua; 4) Janganlah memotong pohon yang sedang berbuah; 5) Janganlah meruntuhkan bangunan; 6) Janganlah memotong domba; 7) Janganlah memotong unta, kecuali bila domba dan unta itu untuk dimakan; 8) Janganlah membakar pohon kurma dan jangan pula menenggelamkannya (memusnahkannya); 9) Janganlah berlaku khianat; dan 10) Janganlah menakut-nakuti (rakyat) (H. R. Malik, dari Yahya bin Sa’id). Dari wasiat tersebut (poin 4 dan 8) dapat difahami, bahwa dalam keadaan perang pun sedapat mungkin dihindari pembabatan pohon-pohon, terutama yang sedang berbuah, karena pohon-pohon tersebut sangat bermanfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Bahkan, sebaliknya, pada hadis lain Nabi SAW malah sangat menganjurkan untuk bertanam (bibit) pohon atau tanaman. Rasulullah SAW bersabda (artinya) : Tiadalah seseorang dari kalangan orang Islam yang menanam tanaman, kecuali dia mendapat pahala sedekah atas hasil tanaman yang telah dimakannya. Apa yang telah dicuri (oleh orang) dari tanaman itu, maka dia (si penanam) mendapat pahala sedekah. Apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman itu, maka dia (si penanam) juga mendapat pahala sedekah, dan apa yang dimakan oleh burung dari tanaman itu, maka dia (si penanam) mendapat pahala sedekah. Dan tidaklah seseorang dapat mengambilnya, terkecuali bahwa si penanam tetap mendapat pahala sedekah (H. R. Muslim, dari Jabir). Menurut penjelasan ulama, hadis tersebut memberi petunjuk tentang keutamaan menanam pohon-pohonan, menebar benih tanaman, dan menggarap tanah pegunungan agar tanahnya menjadi makmur (lebat) oleh tanaman. Dari uraian di atas dapat dirumuskan, bahwa kasih sayang kepada binatang dan tumbuhan dalam rangka memelihara dan melindungi lingkungan hidup, adalah ajaran yang penting dalam Islam. Ajaran ini berasal dari konsep tauhid yang mengandung arti bahwa manusia, binatang, tumbuh- tumbuhan dan benda tidak bernyawa lainnya, semuanya adalah makhluk Tuhan, dan semuanya tunduk kepadaNya. Inilah makna dari prinsip perikemakhlukan itu.