Tulisan ini merupakan artikel pertama dari tiga seri tulisan tentang industri sawit
Tidak ada yang memungkiri saat ini minyak sawit telah menjadi komoditas penting dunia.
Minyak sawit dapat diproduksi menjadi produk pangan dan non pangan. Turunan minyak
sawit dapat digunakan untuk memproduksi margarin, sereal, bubuk pembersih, sabun,
kosmetik dan kebutuhan lainnya.
Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Indonesia menduduki urutan
pertama pengekspor minyak kelapa sawit sebesar 44%. [1] Pada tahun 2014, Indonesia
memproduksi 33,5 juta ton minyak sawit, yang menghasilkan USD 18,9 miliar dari
pendapatan ekspor. [2]
Menurut data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), total ekspor Indonesia
pada tahun 2015 untuk minyak sawit dan produk turunannya mencapai 26,40 juta ton. Angka
tersebut naik apabila dibandingkan dengan total ekspor Indonesia tahun 2014 yang mencapai
21,76 juta ton. [3]
Komoditas minyak sawit merupakan komoditas yang melibatkan investasi dan perdagangan.
Investasi global ditandai dengan eksploitasi sumber daya alam dalam komoditas perdagangan
ini dan penciptaan rantai konsumsi.
Di sisi lain, industri kelapa sawit Indonesia banyak dikritisi karena dituding memiliki dampak
negatif, terutama dampak lingkungan hidup dan dampak pelanggaran hak asasi manusia
(HAM).
Dampak lingkungan hidup yang sering disebut adalah permasalahan kebakaran lahan yang
diakibatkan oleh pembukaan kebun sawit. Hilang dan rusaknya kawasan tutupan hutan,
terancamnya keragaman hayati hingga timbulnya masalah kesehatan akibat dampak kabut
asap kebakaran lahan. Dampak lanjutannya adalah potensi banjir ataupun longsor akibat
hilangnya kawasan hutan penyangga.
Dampak pelanggaran HAM sawit timbul dari munculnya persoalan hak penguasaan lahan,
yaitu masalah klaim lahan masyarakat ulayat oleh pihak industri atau pengusaha sawit atau
bahkan negara. [4] Masa pasca reformasi tahun 1998 pun, permasalahan lahan ulayat tidak
menjadi surut malah semakin kompleks. Lahan-lahan ini terfragmentasi dalam bentuk
perkebunan negara, lahan pertanian, lahan masyarakat adat, serta garapan-garapan rakyat. [5]
Pada era pelaksanaan otonomi daerah, PP No.60 Tahun 2012 yang merupakan revisi atas PP
No.10 Tahun 2010 mengenai Tata Cara Perubahan Peruntukkan dan Fungsi Kawasan Hutan,
serta PP No.61 Tahun 2012 mengenai perubahan PP No.24 Tahun 2010 tentang Penggunaan
Kawasan Hutan dianggap berpengaruh terhadap meluasnya pembukaan lahan perkebunan
sawit secara masif serta mendorong ilegalitas penggunaan kawasan hutan. [6]
Penanaman sawit di lahan gambut yang terbakar. Industri sawit dituding memberikan dampak
negatif pada lingkungan. Photo courtesy: Greenpeace
Lemahnya konsistensi implementasi hukum ini menimbulkan dampak negatif bagi operasi
industri sawit. Hal ini dilihat dapat menguntungkan bagi kalangan pengusaha lokal maupun
asing untuk memasuki industri ini dengan memanfaatkan celah yang ada.
Di tingkat internasional, dorongan memperkuat tata kelola lahan dan hutan untuk menuju
ekonomi hijau menjadi persyaratan pembangunan ekonomi, termasuk upaya untuk
mengurangi emisi karbon dari pembukaan lahan hutan dan deforestasi. [7]
Seperti dijelaskan dalam skema RETRAC (Resources Trade Cycle Analysis), sebuah
komoditas melibatkan sistem yang kompleks serta melibatkan aktor seperti pemerintah suatu
negara, komunitas pemerintahan internasional, NGO (Non Governmental Organization),
perusahaan, lembaga perdagangan, lembaga keuangan, dan bank.
Hal ini berlaku pula bagi industri sawit. Tantangan ini memunculkan respon dari kalangan
pelaku sawit, yang meliputi produsen (pekebun), pembeli minyak sawit, financier, pengolah
hingga industri manufaktur yang terlibat dalam bisnis ini. Aktor lainnya, NGO, membidik
target strategis kepada kebijakan pemerintah ataupun perusahaan terkait pengaruh terhadap
lingkungan hidup dan sosial. [8]
Para pihak ini pun lalu mencoba merumuskan model bisnis yang paling pas untuk
‘menurunkan kegaduhan’ dari dampak perkebunan sawit, yang dirumuskan dalam aturan
main yang perlu diikuti oleh para pemain kunci.
Rantai konsumsi yang ada menuntut kredibilitas produk yang dihasilkan, sesuai dengan
standard dan skema sertifikasi yang dibentuk dan diakui oleh komunitas internasional.
Selanjutnya, skema tersebut perlu didukung kekuatan peraturan yang merupakan kebijakan
pemerintah.
Buah sawit. Foto: Rhett A. Butler
Sebuah forum yang bernama Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) didirikan tahun
2004 oleh para pemangku kepentingan sawit, sebagai respon yang muncul dari tantangan
industri sawit lewat kewajiban pemberlakuan minyak sawit berkelanjutan yang bermula dari
pasar Eropa.
Pemberlakuan 100 persen minyak sawit berkelanjutan bermula di Belanda, yang kemudian
diikuti oleh Belgia, Inggris, Perancis dan Jerman sebagai bentuk implementasi komitmen
nasional. [9] Standard RSPO yang diterapkan di negara-negara Eropa tersebut, kemudian
diikuti menjadi standard umum yang harus diterima di komunitas internasional.
Menurut RSPO produksi sawit berkelanjutan perlu berpedoman pada people, planet dan
profit yang tercantum dalam Prinsip dan Kriteria. RSPO merupakan inisiatif bisnis di mana
para anggotanya secara sukarela mengikatkan diri pada mekanisme yang ada pada RSPO.
Bagi Indonesia sendiri, UE merupakan mitra strategis untuk mendapatkan pangsa pasar
minyak sawit yang tinggi. Berdasarkan data GAPKI, volume ekspor minyak sawit Indonesia
ke negara-negara Uni Eropa mencapai 4,23 juta ton dan terdapat kenaikan sekitar 2,6 persen
dibandingkan ekspor tahun 2014. [12]
Mentan saat itu, Suswono, menyatakan sebanyak 4,4 juta hektar perkebunan milik petani
kecil atau 44 persen dari total perkebunan sawit menjadi target untuk revitalisasi dan
pengelolaan yang lebih baik. Dukungan untuk petani kecil lewat sertifikasi ISPO dianggap
akan meningkatkan produktivitas, memperbaiki legalitas dan menurunkan deforestasi. [14]
ISPO berlaku wajib bagi perusahaan perkebunan tetapi sukarela bagi usaha perkebunan kecil.
Pelaksanaan sertifikasi berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No.7 Tahun 2009 mengenai
Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan. [15]
Mencermati tujuan diatas, ISPO tidak menerapkan standard seketat sebagaimana RSPO.
ISPO diklaim lebih mencerminkan kepentingan nasional. Namun disebutkan beberapa
standard ISPO nampak normatif dan rentan terhadap celah penyalahgunaan. Dibandingkan
standard RSPO, tidak ada kewajiban transparansi, tanggung jawab terhadap lingkungan dan
tanggung jawab untuk pekerja. [16]
ISPO merupakan upaya pemerintah untuk menerapkan standard, namun bagi sebagian
kalangan terkesan penerapannya setengah hati. ISPO lebih menekankan AMDAL (Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan) dengan efektifitas dan konsistensi penerapan yang masih
dipertanyakan dan minim dampak analisa sosial.
Di sisi lain, meski standard RSPO terlihat lebih ketat, tapi karena sifat keanggotaan
sukarelanya, RSPO memiliki masalah dalam efektifitas ketegasan dan sanksi. RSPO pun
kerap dicap sebagai upaya mencari ‘citra baik’ industri sawit untuk menggenjot produksi,
menguntungkan kelompok usaha besar alih-alih menerapkan etika pengelolaan lingkungan
hidup dan etika sosial.
Tandan buah sawit dipanen. Foto: James/ Mongabay.com
Senada, NGO seperti disuarakan oleh WWF menyebutkan kelompok hijau dapat mendukung
ISPO jika terdapat standard yang kuat tentang lingkungan hidup. NGO mempertanyakan
kelemahan pengawasan dan kekurangan dalam kebijakan pemerintah terkait perlindungan
Nilai Konservasi Tinggi Hutan (High Conservation Value Forest) di perkebunan sawit yang
sering dipertanyakan dimana letak ‘keberlanjutannya’. [18]
Sebagai reaksi dari kendala yang terjadi, pada bulan September 2014 di sela-sela KTT
Perubahan Iklim PBB di New York, lewat fasilitasi KADIN, dideklarasikan forum IPOP
(Indonesian Palm Oil Pledge). IPOP ditandatangani oleh industri besar sawit termasuk
Wilmar, Golden Agri Resources, Cargill, dan Asian Agri.
IPOP bertujuan untuk fokus memperkuat kebijakan dan regulasi. Anggota IPOP
berkomitmen memperluas manfaat sosial melalui peningkatan produktivitas petani sawit
sehingga memperkuat daya saing sawit Indonesia. [19]
Kedua konsideran ini dianggap akan mampu untuk membuat aturan efektif bagi pembelian
antara pemasok minyak sawit dan standard pengelolaan sawit yang dibeli oleh anggota IPOP.
Sebaliknya anggota IPOP akan mencabut kontrak pembelian dari produsen yang dianggap
tetap melakukan praktik deforestasi, pembukaan lahan semena-mena, merusak lingkungan,
serta tetap melanjutkan pembukaan lahan gambut dan hutan primer.
Bagi Kementan, IPOP tak lebih dari alat legitimasi untuk merayu pasar dengan slogan
keberlanjutan. Menjalankan standard tanpa arahan yang jelas tentang kriteria baku non
deforestasi dianggap sangat mahal harganya. Hal ini kemudian menjadi jurang pemisah
antara perusahaan besar dan petani sawit kecil. Disebutkan petani kecil belum mampu
menjalankan praktek tanpa deforestasi karena berbiaya mahal. Ditambah standard yang
dipergunakan oleh IPOP belum jelas rinciannya.
Apakah dengan demikian dapat dikatakan dunia industri sawit telah berubah dari praktek
business as usual menuju pengelolaan industri berkelanjutan sepenuhnya?
Perusahaan-perusahaan besar membangun sertifikasi dengan biaya yang tidak murah. RSPO
memungkinkan keterbatasan gerak perusahaan karena memiliki standardisasi yang cukup
ketat, namun tidak memiliki kekuatan untuk memberi sanksi bagi pelanggarnya.
ISPO tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pasar dan konsumennya, karena
dianggap lokal dan memiliki kelemahan dalam kriterianya. Sedangkan IPOP sejauh ini
dianggap sekedar agen internasional untuk menyetir kedaulatan negara, dimana aturan negara
pun akhirnya tunduk kepada permintaan pasar kapitalistik.
Seharusnya standard dan kriteria yang dibuat harus mampu menjawab model kelemahan
tatakelola perizinan, pengawasan, inkonsistensi kebijakan, minimnya transparansi dan
lemahnya penegakan hukum yang terus terjadi. Kebakaran hutan dan lahan yang terus terjadi
hingga tahun 2015 lalu, setidaknya menjadi indikasi jelas tentang hal ini.
Catatan: seri lanjutan tulisan ini dapat dibaca pada tautan ini: Industri Kelapa Sawit dan
Perjalanan Politik Komoditas ini di Indonesia
Rujukan
[2] Mongabay. Mengapa Sawit Menjadi Komoditas Utama Indonesia. 17 April 2015.
[4] Norman Jiwan. The Political Ecology of the Indonesian Palm Oil Industry. Hal. 65.
Oliver Pye dan Jayati Bhattacharya (edited by). 2013. The Palm Oil Controversy in Southeast
Asia. A Transnational Perspective. ISEAS. Singapura.
[5] Edy Ikhsan. Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum. Hilangnya Ruang Hidup
Orang Melayu Deli. 2015. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta. Hal. 148.
[6] Hukum Online. LSM Minta Regulasi Merugikan Kehutanan Dicabut. 6 September 2012.
[7] Ica Wulansari. Dampak Deforestasi Indonesia Terhadap Perubahan Iklim. Jurnal Ilmiah
Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan. Volume 5 Nomor 1, Maret 2009.
Hal. 110.
[8] Eric Wakker. The Palm Oil Controversy in Southeast Asia. Op.Cit. Hal. 225
[10] Studi Bersama Persamaan dan Perbedaan Sistem Sertifikasi ISPO dan RSPO. 2015.
ISPO, RSPO&UNDP. Hal. 249.
[11] Membangun Modal Alam: Bagaimana REDD+ Dapat Mendukung Ekonomi Hijau.
2014. UNEP (United Nations Environment Programme). Hal. 70.
[13] Eric Wakker. Leveraging Product and Capital Flows to Promote Sustainability in The
Palm Oil Industry. Hal. 231. The Palm Oil Controversy in Southeast Asia. Op. Cit.
[14] Studi Bersama Persamaan dan Perbedaan Sistem Sertifikasi ISPO dan RSPO. 2015.
ISPO, RSPO&UNDP. Op.Cit. Hal. 7.
[15] The Jakarta Post. Palm Oil Certification Gets Int`l Support. 4 Oktober 2014.
[18] Mongabay. Indonesia Could Collaborate with RSPO, Officials Study Finds. 19 Februari
2016.
[19] Mongabay. Komitmen Sektor Swasta Jadikan Sawit Peduli Lingkungan, Benarkah? 27
Agustus 2015.
[20] Mongabay. Kala Kementerian Pertanian Ancam IPOP, Serikat Petani dan Pegiat
Lingkungan Angkat Bicara. 23 Februari 2016.