DEMAM TIFOID
Pembimbing:
dr. Faisal Syarifuddin, Sp.PD
Disusun oleh:
Karel Respati (2011730144)
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi
adalah strain bakteri anggota Salmonella. Salmonellosis ditularkan melalui makanan dan
minuman yang tekontaminasi oleh kotoran atau tinja dari penderita demam tifoid. Penyakit
ini dianggap serius karena dapat disertai berbagai penyakit dan juga mempunyai angka
kematian yang cukup tinggi, yaitu 1-5 % dari penderita.1
Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya dengan
melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung dengan
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang pun tersedia
dalam berbagai pilihan, antara lain : kultur darah, kultur agar darah, identifikasi biokimia,
aglutinasi antibodi, dsb. Pada intinya, segala jenis pemeriksaan tersebut bertujuan untuk
mengidentifikasi bakteri penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella enterica subsp. enterica
serotipe Typhi (Salmonella Typhi).3
Berikut ini akan dibawakan kasus mengenai Demam Tifoid.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Demam sejak ± 6 hari Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS).
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih dengan keluhan demam
sejak 6 hari SMRS, demam timbul perlahan, terus-menerus, yang lebih sering meningkat
pada sore dan malam hari. Demam awalnya tidak terlalu tinggi namun semakin lama
demamnya semakin meningkat. Menurut pasien demam tidak disertai keringat dingin dan
menggigil. OS juga mengeluh mual dan muntah sebanyak dua kali, muntah berisi makanan,
lendir, tidak ada darah dan terasa nyeri pada ulu hati. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala
sebelah kanan, nyeri seperti ditusuk-tusuk. Kepala kadang terasa berat jika pasien bangun
dari tidur untuk duduk atau berdiri, tidak ada keluhan seperti kepala pusing berputar. Pasien
juga mengeluh belum BAB sejak 2 hari SMRS. BAK normal, warna kuning jernih.
3
Riwayat Pengobatan
- Pasien mengkonsumsi obat penurun panas pada hari kedua demam.
Riwayat alergi
- Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan, debu, cuaca, dll.
Riwayat Pekerjaan, Sosial dan Ekonomi
- Pasien keseharian sebagai mahasiswa, selama 6 hari dalam seminggu, masuk kuliah
sejak pukul 8 pagi-3 sore.
- Pasien sering mengonsumsi makan makanan dipinggir jalan dan sumber air minum
rumah berasal dari air ledeng.
- Pasien jarang berolahraga.
- Riwayat konsumsi alkohol (-).
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 70 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 38 °C
BB : 46 kg
TB : 155 cm
IMT : 19 (Normoweight)
Kepala : Normocephal, rambut hitam lurus, tidak mudah rontok, distribusi merata.
Mata : Alis mata madarosis (-/-), bulu mata rontok (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), refleks pupil (+/+), diameter 2 mm, isokor kanan-kiri.
Hidung : Deviasi septum (-/-), sekret (-/-), darah (-/-), polip nasal (-/-), nyeri tekan (-/-).
Telinga : Normotia, nyeri tekan tragus (-/-), otore (-/-), darah (-/-), membran
timpani intake (+/+).
Mulut : Bibir kering (+), stomatitis (-), lidah kotor dan tremor (+), tepi lidah hiperemis
(+), dinding tonsil hiperemis (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-).
4
TORAKS
Paru :
Inspeksi : Normochest, Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, tidak terdapat
bagian dada yang tertinggal, retraksi (-/-).
Palpasi : Vokal Fremitus teraba simetris kanan dan kiri, nyeri tekan (-/-).
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-).
Jantung :
Inspeksi :Ictus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra, kuat
angkat
Perkusi : Batas jantung atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Batas jantung kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak datar, sikatrik(-), distensi (-).
Auskultasi : Bising usus (+) 10 kali/menit
Perkusi : Timpani di seluruh regio abdomen
Palpasi : Perut supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (-)
Ekstremitas :
Akral hangat
CRT < 2 detik
Edema (-/-)
Sianosis (-)
Deformitas (-)
5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. DARAH (28-02-2019)
Tes Hasil Nilai Rujukan
Hematologi Rutin
MCV 78 fL 80-100
MCH 28 pg 26-34
IMUNOSEROLOGI (28-02-2019)
Pemeriksaan Hasil
6
RESUME
Nn. A, 26 tahun, datang dengan keluhan demam sejak 6 hari yang lalu, demam timbul
perlahan, terus-menerus, yang lebih sering meningkat pada sore dan malam hari. Demam
awalnya tidak terlalu tinggi namun semakin lama demamnya semakin meningkat. OS juga
mengeluh mual dan muntah sebanyak dua kali. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala
sebelah kanan, nyeri seperti ditusuk-tusuk dan belum BAB sejak 2 hari SMRS.
7
DAFTAR MASALAH
1. Febris
S : Demam timbul perlahan, terus-menerus, yang lebih sering meningkat pada
sore dan malam hari sejak 6 hari SMRS.
O : TD 110/70 mmHg, Nadi : 70x/menit, Napas 20x/menit, Suhu 38°C, IMT
Normoweight, NTE (+).
A : Demam Tifoid dd/ Demam Dengue
P :Planning Diagnostik : Hematologi Rutin, Imunoserologi
Planning Farmakologi : IVFD RL 28 tpm, Parasetamol 3 x 500mg
Planning Non-Farmakologi : Tirah baring, kompres hangat, anjurkan banyak
minum.
2. Cephalgia
S : Pasien mengatakan nyeri pada kepala sejak 3 hari SMRS.
O : TD 110/70 mmHg, Nadi : 70x/menit, Napas 20x/menit, Suhu 38°C, IMT
Normoweight, NTE (+).
A : Demam Tifoid dd/ Demam Dengue
P : Planning Farmakologi : Parasetamol 3 x 500mg
Planning Non-Farmakologi : Tirah Baring.
3. Dyspepsia
S : Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sebanyak dua kali, muntah berisi
makanan, lendir, tidak ada darah dan terasa nyeri pada ulu hati sejak 6 hari
SMRS.
O : TD 110/70 mmHg, Nadi : 70x/menit, Napas 20x/menit, Suhu 38°C, IMT
Normoweight, NTE (+)..
A : Demam Tifoid
P : Planning Farmakologi: Inj Ranitidin 2 x 50mg
Inj Ondansetron 3 x 4mg
Planning Non-Farmakologi : Tirah Baring, diet tinggi kalori, perbanyak
minum air putih.
DIAGNOSTIK
Working Diagnosis : Demam Tifoid
Differential Diagnosis : Demam Dengue
RENCANA TINDAKAN
8
- Planning Diagnostik
Rencana Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap.
Rencana Pemeriksaan Imunoserologi
- Planning Terapi
Infus RL 28 tpm.
Ciprofloxacin 2x500 mg
Ranitidin 2x150 mg
Ondansentron 3x4 mg
- Planning Monitoring
Observasi keadaan umum dan vital sign
9
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
ABD : NT (+)
epigatric
HT : 34%
MCV : 78
Uji Serologi :
(+)
10
01/03/2019 Demam (-) Composmentis Demam - Obs TTV
Mual dan Tifoid - Obs H2TL/24jam
T: 120/80
muntah(-) - Infus RL 28 tpm
mmHg
Sakit Kepala (+) - Parasetamol 3 x 500mg
lemas (+) N: 60x/menit - Ciprofloxacin 2x500 mg
- Ranitidin 2x50 mg
S: 36,7 C
- Ondansetron 3 x 4mg
P: 20 x/menit
P: 22 x/menit
11
BAB II
ANALISIS KASUS
Nn. A datang dengan keluhan utama demam sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam naik turun dan meningkat terutama pada malam hari. Demam tidak disertai
menggigil, tidak berkeringat malam hari, dan tidak disertai kejang. Berdasarkan anamnesis
awal, keluhan utama pasien tersebut yaitu demam akut (< 7 hari) dan bersifat remiten.
Demam yang bersifat akut biasanya disebabkan oleh suatu proses infeksi atau inflamasi dan
jarang disebabkan karena proses keganasan maupun penyakit autoimun. Demam akut dan
bersifat remiten tidak spesifik untuk suatu penyakit. Beberapa penyakit yang dapat terkait
dengan keluhan utama demam pada pasien ini antara lain adalah demam dengue, infeksi
saluran nafas, infeksi saluran kemih, morbili, varisela, otitis media, demam tifoid, meningitis,
malaria, dan tuberkulosis, hepatitis. Keluhan pasien tidak disertai menggigil, keringat malam
hari, nafsu makan menurun, iritabilitas, dan kejang sehingga dapat memastikan tidak adanya
gejala sistemik yang menunjukkan keadaan sakit berat.
Berdasarkan anamnesis selanjutnya didapatkan pasien tidak mengeluh batuk, pilek,
nyeri menelan, sakit tenggorokan, dan tidak ada riwayat keluar cairan dari telinga maupun
sakit telinga sehingga dapat menyingkirkan suatu fokal infeksi di saluran pernapasan dan
telinga. Pasien tidak mengeluh adanya nyeri sendi, pegal-pegal, ruam kemerahan di tubuh
maupun ekstrimitas, mimisan, perdarahan lainnya, dan bintik-bintik merah sehingga dapat
menyingkirkan beberapa penyebab akibat infeksi dan inflamasi seperti demam berdarah,
morbili, dan varisela. Pasien juga mengeluh sulit BAB sehingga dapat diperkirakan adanya
konstipasi atau gejala dari traktus gastrointestinal. Berdasarkan anamnesis riwayat penyakit
demam dengan gejala yang sama sebelumnya disangkal sehingga menyingkirkan diagnosis
penyakit yg bersifat kronis dan berulang seperti penakit autoimun atau keganasan. Pasien
juga tidak memiliki riwayat batuk lama, keringat malam hari, penurunan berat badan, serta
tidak ada riwayat TB dalam keluarga dan kontak dengan penderita TB sehingga diagnosis
banding TB dapat disingkirkan. Berdasarkan riwayat kebiasaan pasien jarang mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan serta sumber air minum keluarga pasien berasal dari air ledeng
yang dimasak sehingga dapat disimpulkan terdapat faktor resiko transmisi infeksi melalui
rute fekal-oral. Berdasarkan pemeriksaan fisik spesifik hanya ditemukan adanya coated
tongue pada pemeriksaan rongga mulut dan tidak ditemukan adanya kelainan pada organ
spesifik lainnya sehingga memastikan tidak adanya suatu fokal infeksi dan inflamasi pada
12
organ tertentu. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak didapatkan sklera ikterik
dan hepatomegali sehingga diagnosis hepatitis dapat disingkirkan. Pada pasien ini juga tidak
ditemukan adanya cairan keluar dari telinga sehingga diagnosis otitis media dapat
disingkirkan. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya pembesaran KGB dan massa,
sehingga diagnosis keganasan dan infeksi di region tertentu dapat disingkirkan. Pada
pemeriksaan fisik pada pasien ini juga tidak ditemukan mata merah dan berair serta ruam
kemerahan sehingga diagnosis morbili dapat disingkirkan.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan pasien ini, keluhan demam pada pasien ini
lebih mengarah pada demam tifoid, yaitu berupa demam naik turun yang meningkat terutama
pada malam hari dan tidak pernah mencapai suhu normal, dengan gejala gastrointestinal
berupa sulit BAB. Dari anamnesis juga didapatkan bahwa pasien jarang mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan yang mengarahkan diagnosis kerja ke demam tifoid. Dari
pemeriksaan fisik juga didapatkan lidah kotor yang sesuai dengan manifestasi klinis demam
tifoid. Untuk lebih menunjang diagnosis kerja dan menyingkirkan diagnosis banding pada
pasien ini maka dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah rutin,
pemeriksaan malaria (DDR), IgG dan IgM dengue, serta widal test. Dari hasil pemeriksaan
penunjang yang mendukung didapatkan pada pemeriksaan serologi didapatkan titer O
aglutinin sebesar 1/320, bila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 sekali periksa atau pada
titer terjadi kenaikan 4 kali (dalam satu minggu), maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan (positif). Oleh karena itu, berdasarkan kesesuaian antara dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik pada pasien ini, yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium, dapat
disimpulkan bahwa diagnosis pada pasien ini adalah demam tifoid. Penatalaksanaan pada
pasien ini meliputi penatalaksanaan supportif, simptomatik, kausatif, dan edukatif. Karena
invasi kuman pada plaque payeri ileum distal yang dapat menimbulkan perforasi, maka
penatalaksanaan supportif pada pasien ini meliputi tirah baring dan diet yang dapat
meringankan kerja usus. IVFD diperlukan karena pasien lemas dan anoreksia sehingga tidak
dapat makan per oral. Pada pasien ini diberikan Infus RL 28 tetes/menit. Terapi simptomatik
meliputi antipiretik (bila suhu diatas 38,5o C), pada pasien ini diberikan paracetamol 3x500
mg per oral. Terapi kausatif meliputi antibiotik. Antibiotik yang diberikan berupa
Ciprofloxacin 2x500 mg. Edukasi juga sangat diperlukan pada kasus ini agar pasien tidak
terjangkit penyakit yang sama dan keluarga pasien juga dapat terhindar dari demam tifoid.
Edukasi meliputi Higiene perorangan dan lingkungan seperti tidak jajan di sembarang tempat,
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, pengamanan pembuangan limbah feses (tinja),
pemberantasan lalat, penyediaan air minum yang memenuhi syarat.
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Demam Tifoid adalah penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Salmonella typhi yang dapat ditularkan melalui konsumsi makanan atau
minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi.4
3.2. Epidemiologi
3.4. Patogenesis
14
dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan baktermia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik.3
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
diperut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi jelas berupa demam,
bradikardi relatif ( adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi
8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor,
koma, delirium, atau psikosis.3
15
3.5. Manifestasi Klinik
Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari status
kesehatan dan kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit, penderita demam
tifoid selalu menderita demam dan banyak yang melaporkan bahwa demam terasa
lebih tinggi saat sore atau malam hari dibandingkan pagi harinya. Ada juga yang
menyebut karakteristik demam pada penyakit ini dengan istilah ”step ladder
temperature chart”, yang ditandai dengan demam yang naik bertahap tiap hari,
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan tinggi, dan
selanjutnya akan turun perlahan pada minggu keempat bila tidak terdapat fokus
infeksi.
Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah malaise, pusing,
batuk, nyeri tenggorokan, nyeri perut, konstipasi, diare, myalgia, hingga delirium dan
penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya lidah kotor
(tampak putih di bagian tengah dan kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali,
splenomegali, distensi abdominal, tenderness, bradikardia relatif, hingga ruam
makulopapular berwarna merah muda, berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan
roseola spot.
3.6. Diagnosis
A. Anamnesis
Gejala yang paling menonjol adalah prolonged fever (38.8º-40.5ºC), dan berlanjut
hingga 4 minggu jika tidak ditangani. S. paratyphi A dapat mengakibatkan gejala penyakit
yang lebih ringan daripada S.typhi, dengan predominan gejala gastrointestinal. Pada minggu
pertama, gejala yang ditemukan adalah sakit kepala, menggigil, batuk, berkeringat, myalgia,
malaise, dan atralgia. Gejala gastrointestinal yang ditemukan yaitu anoreksia, nyeri abdomen,
mual, muntah, diare, konstipasi.4
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah
meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua
gejala-gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardia relatif(peningkatan suhu 1ºC, tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput(kotor ditengah, tepi, dan
ujung merah serta tremor), hepatomegaly, splenomegali, meteorismus, gangguan mental
16
berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada orang
Indonesia.4
C. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar
hemoglobin, trombositopenia, kenaikan LED, aneosinofilia, limfopenia, leukopenia,
leukosit normal, hingga leukositosis. Gold standard untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid adalah pemeriksaan kultur darah (biakan empedu) untuk Salmonella
typhi. Pemeriksaan kultur darah biasanya akan memberikan hasil positif pada minggu
pertama penyakit. Hal ini bahkan dapat ditemukan pada 80% pasien yang tidak
diobati antibiotik. Apabila hasil tes widal menunjukkan hasil negatif, maka hal
tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis demam tifoid, karena mungkin
disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut : 1) telah mendapat terapi antibiotik.
Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif, 2) Volume darah
yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah), Bila darah dibiak terlalu sedikit
hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung
dimasukkan ke dalam media cair empedu untuk pertumbuhan kuman; 3) Riwayat
vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien.
Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif,
4). Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat. Pemeriksaan lain untuk demam tifoid adalah uji serologi Widal dan
deteksi antibodi IgM Salmonella typhi dalam serum.4
17
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu : 1). Pengobatan dini
dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan antibody, dan pemberian
kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemik atau non-endemik,
5) Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7). Faktor teknik pemeriksaan
antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan
untuk suspense antigen.4
Tubex TF. Pemeriksaan Anti S. typhi IgM dengan reagen Tubex TF sebagai
solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi penyebab demam
akibat infeksi bakteri S. typhi Pemeriksaan Anti S. typhi IgM dengan reagen Tubex
TF dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang
sangat spesifik terhadap bakteri S. typhi. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk
deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitif, karena antibodi IgM muncul paling awal
yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam sensitivitasnya > 95%.4
18
3.7. Tata laksana
a. Non-Medikamentosa
a). Istirahat dan perawatan, tirah baring dan perawatan bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan,
minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat
masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai. Posisi klien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus serta
higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.4
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam
tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita
akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.4
Tiamfenikol. Dosis 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol.4
Ampisillin dan amoksisilin. Dosis 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.4
Sefalosporin generasi ketiga. Sefriakson dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram.4
19
dalam gram dekstrose 100cc diberikan selama ½ jam per infus sekali sehari, diberikan
selama 3-5 hari.4
Golongan Florokuinolon
20
Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal atau
Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu.
Setelah eradikasi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti
diatas
Komplikasi ekstra-intestinal.
3.9 Prognosis
Jika tidak diobati, angka kematian pada demam tifoid 10-20%, sedangkan pada kasus
yang diobati angka mortalitas demam tifoid sekitar 2%. Kebanyakan kasus kematian
berhubungan dengan malnutrisi pada balita dan lansia.4
21
DAFTAR PUSTAKA
2. Buckle. C, Walker F., Black E. (2012), Typhoid Fever and Paratyphoid Fever :
Systematic Review to Estimate Global Morbidity and Mortality for 2010, Journal of
Global Health, Vol.2 No.1.
3. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
5. Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006:
1774.
22