Anda di halaman 1dari 6

KEBAHAGIAAN DI BALIK DERITA

Matahari menyinari seluruh alam raya, di susul suara burung-burung


kecil yang menambah keindahannya. Ku awali pagi ini dengan berdoa ke
pada Tuhan untuk meminta petunjuk dan ridhonya. Setelah selesai
berdoa, aku pun pergi ke kamar ibu untuk meminta doa padanya, agar
hari pertama ujianku berjalan lancar.

Saat aku memasuki kamarnya, ibu ku menyambutku dengan senyum


manis di wajah tuanya, aku yang melihat itu pun membalas tersenyum.
Ku dudukan diriku di sampingnya yang terbaling lemah, ku ambil
tanganya lalu ku cium penuh kasih. Tanganya terasa kasar, tapi sangat
berarti bagiku.

Entah mengapa air mataku jatuh, membasahi telapak tangannya. Ibu ku


menatapku bingung, lalu menghapus air mata di wajahku dengan
lembut. “Mengapa kau menangis, Nak?” Tanya ibu ku bingung.

Aku menggeleng, lalu tersenyum menatapnya. “Aku bangga memiliki ibu


sepertimu,” Ucap ku lalu memeluk tubuhnya yang terbaring lemah di
atas tempat tidur.

Ibu ku membalas pelukanku dengan sangat lembut. “Ibu juga bangga


memiliki anak yang pintar dan baik sepertimu,” Ucap Ibu ku lalu
mengecup keningku lama.

“Bolehkah aku menemanimu di sini hari ini?” Ucapku tanpa pikir


panjang.

Ibu ku menggeleng, “Hari ini adalah hari pertama ujianmu, pergilah. Ibu
tidak apa-apa sendiri di sini, dapatkan nilai yang terbaik agar ibu
bangga.”

Aku cemberut mendengar ucapannya. “Mengapa bu, aku bisa mengikuti


ujian susulan?”

“Kau ingin ibu sembuhkan?” Ujar Ibu ku, membuatku mengangguk.


“Maka, belajarlah dengan giat, dan jadilah Dokter yang sukses agar kau
bisa menyembuhkan ibu,” Lanjutnya.
Aku mengagguk mengerti. “Kalau begitu aku pamit, Ibu jaga diri
baik-baik. Assalamualaikum!” Pamitku lalu beranjak pergi ke sekolah.
..
Setibanya di sekolah, aku langsung di sambut dengan tatapan tajam dari
para siswa dan siswi. Aku hanya tersenyum, kerena aku sudah terbiasa
dengan itu. Dengan langkah berani aku berjalan ke ruang ujianku, di
depan pintu sudah ada sahabatku yang menunggu dengan senyum di
wajah ayunya.

Lisya, sahabat terbaiku. Dia menghampiriku, dan menggandeng


tanganku masuk. “Gita, ayo duduk, sebentar lagi pengawas akan
datang!” Suruhnya yang langsung ku angguki.

Aku berjalan dengan senyum ke arah bangku ujianku, selangkah, dua


langkah, mendekat senyumku luntur. Mataku berkaca-kaca menatap
bangku ujianku yang kotor di penuhi tepung dan terlur di sana. ‘Astaga
mengepa mereka jahat sekali?’Batinku berteriak.

Aku mentapa anak-anak yang tersenyum puas melihatku, dengan


menahan air mata aku membalasnya dengan senyuman. Aku melangkah
ke arah pintu untuk mencari kursi lain, tapi belum sempat aku membuka
pintu itu, pengawas sudah masuk dan menyuruhku duduk.
Dengan pasrah aku duduk di bangku yang di penuhi tepung dan telur itu,
membuat semua nak yang mengerjaiku tertawa puas. Aku memejamkan
mata menahan air mataku yang ingin jatuh, ku atur napasku dengan
perlahan. Di pikiranku hanya ada wajah ibu ku yang tersenyum
menatapku penuh dengan harapan. Aku menatap soal di hadapanku
dengan senyum ‘Bismillah’ Ucap ku lalu mulai mengerjakan soal itu
dengan cepat dan teliti.

Setelah selesai, aku terdiam di kursiku, menunggu kelas kosong. Sirnalah


rencanaku untuk pulang cepat dan menemui ibu. Lima menit aku
menunggu, beberapa anak masih berada di kelas. Aku menghela napas
berat, susuah sekali mendapatkan hari tanpa bully-an.

Kulihat Lisya masih duduk di kursinya, entah sedan apa. Aku hanya fokus
dengan keadaan ku, yang terlihat buruk. Ku memainkan jariku dengan
geisah, entah mengapa aku merasa ingin cepat pulang dan menemuni
ibu. Ku lirik jam di dinding, hampir magrib. Astaga! Mengapa mereka tak
pulang, menyusahkan saja.
Detik demi detik terlewatkan, aku sudah bosan menunggu, jika ku
hitung sampai sepuluh mereka tak pergi, maka aku yang akan pergi.
Bodoamat dengann cemohan mereka, yang penting aku bertemu ibu,
lagian jika di bully aku sudah biasa.

Aku pun mulai menghitung, dan tepat di hitungan ke sepuluh, kelas


masih ramai. Dengan berani aku berdiri dan jalan melewati orang-orang
yang menatapku jijik. Hingga sampai di depan gerbang, Lisya tiba-tiba
menahanku, menatap dari atas ke bawah penampilanku.

“Ada apa?” Tanya Lisya padaku.

Aku menggeleng, dan memegang pundaknya. “Biasa anak-anak jail.


Kenapa kamu menahanku?”

“Ayo ku antar pulang, ini sudah sore tidak ada kendaraan umum yang
lewat di sini lagi.”

“Tidak, nanti merepotkan Lis. Lagian aku kotor dan bau, nanti mobilmu
bisa kotor,”Tolakku, membuat dia mendengus kesal.

“Sudah, tidak usah pikirkan itu. Mobil bisa di bersihkan nanti,” Paksanya,
menyeretku masuk ke dalam mobil mewahnya.

Dengan terpaksa aku duduk dengan gelisah, takut jika bajuku membuat
noda membandel di sana. Lisya yang melihatku hanya mendengus kesal,
lalu memasangkan sabuk pengaman untukku. Di perjalanan menuju
rumahku, Lisya tak henti-hentinya memaki anak-anak yang menjailiku.
Aku yang melihat itu hanya tersenyum.

Sampai di rumahku, Lisya tak langsung pulang, dia mengikutiku kedalam


rumah, katanya takut terjadi apa-apa denganku. Aku mengetuk pintu
rumah kecil kami, tak ada sautan dari dalam. Aku mencoba membuka,
tak terkunci, dengan sopan aku menyuruh Lisya duduk di lantai rumah
kecilku.

“Duduklah, aku akan bikinkan kamu teh hangat.”


“Jangan terlalu banyak gulanya ya, kan aku sudah manis takutnya nanti
kolestrol.”

Aku beranjak pergi dari sana, mengecek kondisi ibuku yang ada di kamar.
Aku tersenyum saat melihatnya sedang tertidur pulas, setelah itu aku
memanaskan air dan mengganti baju sekolahku yang kotor. Beberapa
menit kemudian, teh hangat untuk Lisya pun siap. “Lis ini teh mu, gula
sedikit, tak terlalu panas, tak terlalu dingin, dan jika di minum di jamin
tak membuat bibir melepuh, silahkan di coba,” Ucapku panjang lebar.

Lisya tersenyum menyambut teh buatanku, dengan perlahan di


seruputnya teh hangat itu. “Pas! Kamu cocok jadi ibu wartek,” Ucap
Lisya asal.

“Kalau aku ibu wartek, kamu cocok jadi kucing warteknya,” Balasku
padanya, lalu kami saling tertawa.

Di saat kami asik tertawa, tiba-tiba aku mendengar suara ibu terbatuk di
kamar. Dengan sigap aku berlari mengmapirinya, membiri minum yang
sudah tergeletak di atas meja. “Ibu tidak apa-apa?” Tanya ku khawatir.

Ibuku tersenyum dan menggeleng, “Ibu tak apa-apa, hanya batuk


biasa.”

Aku tak percaya dengan perkataan ibuku, dengan sigap aku meraih
tangannya yang sengaja dia sembunyikan dariku. “Lihat bu, ini darah.
Bagaimana bisa iu bilang ini tak apa-apa?”

“Ibu betulan tak apa-apa nak. Mending kau temani Lisya, kasihan dia
menunggumu di sana,” Ucap ibuku menunjuk Lisya yang berdiri di
depan pintu sambil tersenyum.

“Tidak ibu, kau harus ke rumah sakit.”

“Tidak usaha, ibu baik-baik saja nak.”

“Tidak! Lisya, bisakah kau mengantarku ke rumah sakit, aku takut terjadi
apa-apa dengan ibuku.”

“Tentu saja, ayo!”


Lisya dan aku mengangkat ibu menuju mobil lalu membawanya ke
rumah sakit, sampai di sana ibu langsung di bawa oleh para perawat.
Aku menyusul dengan khawatir, semoga saja ibuku baik-baik saja. Lisya
yang melihat ke khawatiranku langsung menenangkanku. “Sudah kamu
tenang saja, ibumu pasti baik-baik saja. Kau tau, beliau adalah wanita
yang sangat kuat.”

Aku tak berhenti menatap ruang rawat ibu, berdoa kepada Tuhan
semoga ibu baik-baik saja. Aku tak ingin ke hilangannya, satu-satunya
orang di dunia yang amat ku sayangi hanyalah ibuku. Lisya, dia tak
bosan menenangkanku, mengatakan ibuku akan baik-baik saja.

Beberapa menit kemudian dokter keluar dengan wajah leganya. Aku


langsung saja menghampiri dokter, menanyakan keadaan ibu. “Ibumu
baik-baik saja, jangan khawatir.”

Aku lega dan langsung saja masuk ke ruangan itu dan melihat kondisi
ibuku. Mataku melihat ibu tengah terbaring lemah, aku mendekat dan
memeluknya erat.

“Ibu!” Ucapku dalam dekapannya.

“Sst! Jangan nangis, gak malu apa di liati Lisya?” Ucap ibu menghiburku.

Aku tak memperdulikannya, aku hanya sibuk menangis di dekapan


hangatnya, meluapkan seluruh emosiku dengan air mata. Ibu menepuk
punggungku lembut, dan mengecup pelipisku lembut. “Sudah, Gita.”

Ku lepas pelukanku, dan menatapnya sendu. “Jangan buat Gita khawatir


lagi,” Ucapku dengan air mata yang tak dapat ku bendung.

“Iya sayang.”
“Permisi, boleh aku bicara dengan ibumu Git?” Tanya Lisya yang
tiba-tiba berada di sampingku.

Aku mengangguk menyetujuinya, “Aku akan mengurus


administrasinya.”
Aku beranjak pergi dari sana, meninggalkan ibu dan Lisya yang sibuk
entah membicarakan apa. Sampai di tempat Administrasi, aku terdiam
menatap total harga yang harus ku bayar. Ya Tuhan, ini benar-benar di
luar kemampuanku. Aku berpikir sejenak, bagaimana aku bisa
membayar ini semua, apa yang harus ku lakukan?!

Aku berjalan kembali ke ruangan ibu, di sana aku melihat Lisya keluar
dari ruangan ibu dengan wajah yang tak dapat ku artikan.

BACA GIMANA INI?


KASIH SARAN, DAN KRITIK CEPAT!!!

HARIPERTAMA IBUNYA MASUK RUMAH SAKIT


HARI KE DUA UJIAN DIA RAWAT DAN BELAJAR KERJA BULLY KARENA
PEKERJAANNYA
HARI KE EMPAT DI SAAT DIA UJIAN TERAKHIR, DI DI PECAT KARENA
TEMAN YANG BULLY DIA BERJKUASA DAN DI SITU DIA HARU BAYAR
OPRASI OR GK JDI OPRASI
HARI DI MANA DIA MENERIMA HASIL UJIAN, GRA2 NILAINYA YANG
TINGGI ANAK2 IRI DIA DI SEKAP DI BULLY DAN DI SELAMATKAN EH
SEKALINYA IBUNYA MENINGGAL.

Anda mungkin juga menyukai