Ibu ku menggeleng, “Hari ini adalah hari pertama ujianmu, pergilah. Ibu
tidak apa-apa sendiri di sini, dapatkan nilai yang terbaik agar ibu
bangga.”
Kulihat Lisya masih duduk di kursinya, entah sedan apa. Aku hanya fokus
dengan keadaan ku, yang terlihat buruk. Ku memainkan jariku dengan
geisah, entah mengapa aku merasa ingin cepat pulang dan menemuni
ibu. Ku lirik jam di dinding, hampir magrib. Astaga! Mengapa mereka tak
pulang, menyusahkan saja.
Detik demi detik terlewatkan, aku sudah bosan menunggu, jika ku
hitung sampai sepuluh mereka tak pergi, maka aku yang akan pergi.
Bodoamat dengann cemohan mereka, yang penting aku bertemu ibu,
lagian jika di bully aku sudah biasa.
“Ayo ku antar pulang, ini sudah sore tidak ada kendaraan umum yang
lewat di sini lagi.”
“Tidak, nanti merepotkan Lis. Lagian aku kotor dan bau, nanti mobilmu
bisa kotor,”Tolakku, membuat dia mendengus kesal.
“Sudah, tidak usah pikirkan itu. Mobil bisa di bersihkan nanti,” Paksanya,
menyeretku masuk ke dalam mobil mewahnya.
Dengan terpaksa aku duduk dengan gelisah, takut jika bajuku membuat
noda membandel di sana. Lisya yang melihatku hanya mendengus kesal,
lalu memasangkan sabuk pengaman untukku. Di perjalanan menuju
rumahku, Lisya tak henti-hentinya memaki anak-anak yang menjailiku.
Aku yang melihat itu hanya tersenyum.
Aku beranjak pergi dari sana, mengecek kondisi ibuku yang ada di kamar.
Aku tersenyum saat melihatnya sedang tertidur pulas, setelah itu aku
memanaskan air dan mengganti baju sekolahku yang kotor. Beberapa
menit kemudian, teh hangat untuk Lisya pun siap. “Lis ini teh mu, gula
sedikit, tak terlalu panas, tak terlalu dingin, dan jika di minum di jamin
tak membuat bibir melepuh, silahkan di coba,” Ucapku panjang lebar.
“Kalau aku ibu wartek, kamu cocok jadi kucing warteknya,” Balasku
padanya, lalu kami saling tertawa.
Di saat kami asik tertawa, tiba-tiba aku mendengar suara ibu terbatuk di
kamar. Dengan sigap aku berlari mengmapirinya, membiri minum yang
sudah tergeletak di atas meja. “Ibu tidak apa-apa?” Tanya ku khawatir.
Aku tak percaya dengan perkataan ibuku, dengan sigap aku meraih
tangannya yang sengaja dia sembunyikan dariku. “Lihat bu, ini darah.
Bagaimana bisa iu bilang ini tak apa-apa?”
“Ibu betulan tak apa-apa nak. Mending kau temani Lisya, kasihan dia
menunggumu di sana,” Ucap ibuku menunjuk Lisya yang berdiri di
depan pintu sambil tersenyum.
“Tidak! Lisya, bisakah kau mengantarku ke rumah sakit, aku takut terjadi
apa-apa dengan ibuku.”
Aku tak berhenti menatap ruang rawat ibu, berdoa kepada Tuhan
semoga ibu baik-baik saja. Aku tak ingin ke hilangannya, satu-satunya
orang di dunia yang amat ku sayangi hanyalah ibuku. Lisya, dia tak
bosan menenangkanku, mengatakan ibuku akan baik-baik saja.
Aku lega dan langsung saja masuk ke ruangan itu dan melihat kondisi
ibuku. Mataku melihat ibu tengah terbaring lemah, aku mendekat dan
memeluknya erat.
“Sst! Jangan nangis, gak malu apa di liati Lisya?” Ucap ibu menghiburku.
“Iya sayang.”
“Permisi, boleh aku bicara dengan ibumu Git?” Tanya Lisya yang
tiba-tiba berada di sampingku.
Aku berjalan kembali ke ruangan ibu, di sana aku melihat Lisya keluar
dari ruangan ibu dengan wajah yang tak dapat ku artikan.