ULTRASONIC ANEMOMETER
ME-4112 METEROROLOGI LAPISAN BATAS
Studi Kasus : Komplek Cimindi Raya Blok B No.1, Cimahi, Jawa Barat
Disusun Oleh :
BANDUNG
2019
BAB I.
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan dari pengamatan ini adalah:
1. Verifikasi kebenaran formula perata-rataan Reynolds untuk kuantifikasi heat flux
berdasarkan hasil pengamatan selama 60 menit.
2. Menganalisis kecepatan angin rata-rata dalam waktu perata-rataan 0-60 menit dengan
menggunakan data pengamatan selama 60 menit.
3. Menganalisis data kecepatan angin selama 60 menit pada dua kondisi yang berbeda dengan
metode Fast Fourier Transform (FFT).
4. Menganalisis variasi harian nilai turbulence kinetic energy dan heat flux di wilayah Kota
Cimahi.
Gambar 2.2 Arah a) Timur Pada Lokasi Penempatan Alat, b) Barat Pada Lokasi Penempatan
Alat
= ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅
(𝐴̅𝐵̅ + 𝑎′ 𝐵̅ + 𝐴̅𝑏′ + 𝑎′ 𝑏′)
= ̅̅̅̅̅̅̅
(𝐴̅𝐵̅) + ̅̅̅̅̅̅̅
(𝑎′ 𝐵̅) + ̅̅̅̅̅̅̅
(𝐴̅𝑏′) + ̅̅̅̅̅
𝑎′𝑏′
= ̅̅̅̅̅̅̅
(𝐴̅𝐵̅) + 0 + 0 + ̅̅̅̅̅
𝑎′𝑏′
= 𝐴̅𝐵̅ + ̅̅̅̅̅
𝑎′𝑏′
Variabel nonlinear ̅̅̅̅̅
𝑎′𝑏′ tidak dibutuhkan untuk bernilai nol. Hal ini juga berlaku
𝑎′2 , ̅̅̅̅̅̅̅
2
untuk variabel nonlinear lainnya seperti: ̅̅̅̅ 𝑎′𝑏′ , ̅̅̅̅̅̅̅̅
𝑎′2 𝑏′2 . Variabel nonlinear ini
seharusnya dipertahankan untuk pemodelan turbulen yang lebih baik. Namun, dalam
beberapa teori seringkali diabaikan ketika pendekatan orde pertama.
2.1.3. Variansi dan Kovarians
𝑎′2 , ̅̅̅̅̅̅̅
̅̅̅̅̅ , ̅̅̅̅ 2
Variabel nonlinear seperti 𝑎′𝑏′ 𝑎′𝑏′ , ̅̅̅̅̅̅̅̅
𝑎′2 𝑏′2 disebut sebagai eddy atau
fluks turbulen. Perhitungan statistical disperse data adalah variansi 𝜎 2 yang
didefinisikan sebagai berikut:
𝑁−1
1
𝜎𝐴2 = ∑(𝐴𝑖 − 𝐴̅)2 = ̅̅̅̅
𝑎′2
𝑁
𝑖=0
Nilai variansi dan kovariansi tersebut dapat bernilai nol namun hanya berlaku
pada beberapa kasus. Karena variabel nonlinear turbulen memiliki arti yang sama
dengan dispersi atau kovarians, itulah sebabnya variabel nonlinear turbulen tidak
dibutuhkan untuk bernilai nol.
Menghitung deret ini secara langsung memerlukan operasi aritmetika sebanyak O(N 2).
Sebuah algoritma FFT hanya memerlukan operasi sebanyak O(N log N) untuk menghitung
deret yang sama. Secara umum algoritma tersebut tergantung pada pemfaktoran N. Setiap
algoritma FFT, dengan penyesuaian, dapat diterapkan pula untuk menghitung DFT invers.
Ini karena DFT invers adalah sama dengan DFT, namun dengan tanda eksponen berlawanan
dan dikalikan dengan faktor 1/N.
Oleh karena itu, itu adalah praktik standar untuk mengalikan jendela data dengan
taper sebelum melakukan transformasi Fourier. Taper terdiri dari fungsi yang secara halus
membusuk ke nol di dekat ujung setiap jendela, yang bertujuan untuk meminimalkan efek
diskontinuitas antara awal dan akhir deret waktu. Meskipun kebocoran spektral tidak dapat
dicegah, ia dapat dikurangi secara signifikan dengan mengubah bentuk fungsi taper dengan
cara untuk meminimalkan diskontinuitas yang kuat di dekat tepi window.
Dalam analisis data seismik lancip cosinus sering digunakan, karena keduanya
efektif dan mudah untuk dihitung, meskipun fungsi berbentuk lonceng dan segitiga
kadang-kadang diterapkan juga. Dalam bentuk matematika, taper cosinus dapat ditulis
sebagai:
dengan rasio waktu dan taper a. Windowing kosinus mewakili upaya untuk dengan
mulus mengatur data ke nol pada batas sementara tidak secara signifikan mengurangi
tingkat transformasi berjendela. Taper seperti itu akan menyebabkan efek mengurangi
kebocoran daya spektral dari puncak spektral ke frekuensi dan ‘mengkasarkan’ resolusi
spektral oleh faktor1 / (1 - a) untuk kemiringan kosinus di atas.
2.9. Windrose
Windrose adalah sebuah grafik yang memberikan gambaran tentang bagaimana arah
dan kecepatan angin terdistribusikan di sebuah lokasi dalam periode tertentu. Windrose
menampilkan frekuensi dari arah mana angin berhembus. Panjang dari masing-masing
kriteria yang mngelilingi lingkaran diasumsikan sebagai frekuensi waktu dimana angin
berhembus dari arah tertentu. Keadaan ditentukan sebagai angin teduh (calm) jika kecepatan
kurang dari satu knot atau ± 0.5 m/s.
BAB III.
DATA DAN METODE
3.2. Metode
Pada tahap metode pengolahan data digunakan teori/ rumus yang telah dijelaskan pada
Bab II mengenai kajian pustaka.
BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Verifikasi Kebenaran Formula Perata-Rataan Reynolds Untuk Kuantifikasi Heat Flux
Persamaan di bawah ini adalah persamaan vertical heat flux dengan menggunakan
aturan perata-rataan Reynolds.
(𝑊. 𝜃) = ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅
̅̅̅̅̅̅̅̅̅ ̅ + 𝑤 ′ ) + (𝜃̅ + 𝜃 ′ )
(𝑊
= ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅
(𝑊̅ 𝜃̅ + 𝑤′𝜃̅ + 𝑊 ̅ 𝜃 ′ + 𝑤 ′ 𝜃′)
= ̅̅̅̅̅̅̅
(𝑊̅ 𝜃̅ ) + ̅̅̅̅̅̅̅̅
(𝑤 ′ 𝜃̅) + ̅̅̅̅̅̅̅̅
(𝑊̅ 𝜃′) + ̅̅̅̅̅̅
𝑤′𝜃′
= ̅̅̅̅̅̅̅
(𝑊̅ 𝜃̅ ) + 0 + 0 + ̅̅̅̅̅̅
𝑤′𝜃′
̅̅̅̅̅̅̅̅̅
(𝑊. 𝜃) = 𝑊 ̅̅̅̅̅̅
̅ 𝜃̅ + 𝑤′𝜃′
Gambar 6 merepresentasikan kecepatan angin pada pukul 13.00 WIB s/d 14.00
WIB memiliki fluktuasi yang cukup besar.
Kecepatan angin selalu berfluktuasi, oleh karena itu energi dari angin selalu
berubah. Seberapa besar variasi itu tergantung pada cuaca dan kondisi permukaan.
Aliran kecepatan fluida secara terus menerus mengalami perubahan pada kedua besar
dan arahnya, disebabkan oleh turbulensi. Oleh karena itu pada Gambar 6 kecepatan
angin sangat fluktuatif. Untuk memudahkan dalam visualisasi data, maka dilakukan
perata-rataan kecepatan angin setiap 1 menit yang ditunjukkan oleh Gambar 7.
Gambar 7. Kecepatan Angin Rata-Rata Setiap 1 Menit
Dari Gambar 7 plot kecepatan angina rata-rata 1 menit dapat terlihat lebih jelas
bahwa adanya trend kecepatan angin yang meningkat. Hampir di seluruh lokasi di
bumi, kecepatan angin pada siang hari lebih tinggi dibandingkan malam hari. (Danish,
2003). Variasi yang besar ini dapat disebabkan karena perbedaan temperatur antara
siang dan malam. Akibat dari pemanasan permukaan oleh radiasi matahari sedang
dalam puncak pemanasan pada waktu tersebut sehingga menyebabkan panas thermal
naik dan menghasilkan turbulensi (Kakiailatu dan Munandar). Gaya gesek permukaan
menyebabkan angin dekat permukaan lebih lambat daripada lapisan atasnya juga dpat
menyebabkan turbulensi mekanis (adanya geser angin (wind shear) yaitu perubahan
kecepatan dan arah angin terhadap ketinggian (Golding, 2000)).
̅ vs P
4.2.2. Plot 𝐔
Gambar 8. Kecepatan Angin Rata-Rata Terhadap Periode
Perata-rataan waktu berlaku pada satu titik tertentu dalam ruang, dan terdiri dari
jumlah atau periode waktu integral (Stull, 1988). Pada Gambar 7 dan Gambar 8
keduanya dapat terlihat adanya fluktuasi, namun pada Gambar 7 plot kecepatan angin
terhadap waktu memiliki magnitude yang lebih bervariasi dibandingkan Gambar 8 plot
kecepatan angin rata-rata terhadap periode (lebih smooth). Pada plot kecepatan angin
terhadap waktu, pertubasi yang dimiliki data lebih banyak. Sementara, pada data
kecepatan angin rata-rata terhadap periode, semakin tinggi periodenya (waktu
perata-rataan) maka menunjukkan nilai yang semakin mendekati rata rata sebenarnya
(pertubasi kecil). Lapisan Batas Atmosfer didefinisikan Stull (1999) sebagai bagian
dari troposfer yang dipengaruhi langsung oleh pemukaan bumi dan merespon karakter-
karakter permukaan dalam rentang waktu satu jam atau kurang. Kalimat yang
menyatakan merespon karakter permukaan dalam rentang waktu satu jam atau kurang
bukan berarti bahwa Lapisan Batas Atmosfer mencapai keseimbangannya dalam waktu
tersebut, hanya saja perubahan paling kecil dimulai dalam rentang waktu tersebut (Stull
1999).
Gambar 10. Plot Kecepatan Angin Terhadap Waktu Pukul 14:00 WIB
Gambar 10 menunjukkan fluktuasi angin zonal pada siang hari pukul 14.00
sampai pukul 15.00. Kecepatan angin cenderung menurun, hal ini dapat disebabkan karena
intensitas penyinaran matahari berkurang seiring dengan pertambahan waktu. Dengan
menurunnya temperatur, dinamika udara di mixing layer yang terbentuk di siang hari juga
menurun sehingga kecepatan angin juga ikut menurun.
Kecepatan angin pada pukul 14.00 lebih kencang dari pada saat pukul 06.00. Hal ini
dapat diakibatkan karena pada pagi hari, lapisan batas masih cenderung stabil sehingga
pergerakan parsel udara juga cenderung stabil yang menghasilkan kecepatan angin yang
tidak terlalu kencang.
Gambar 12. Plot Periodogram Hasil FFT Kecepatan Angin Pukul 14:00 WIB
Analisa Spektrum pada kecepatan angin zonal (Gambar 11) menunjukan adanya
puncak spektrum yang signifikan di periode 8.3 menitan, begitu juga pada kecepatan
angin zonal (Gambar 12) menunjukan adanya puncak spektrum yang signifikan di
periode 8.3 menitan namun dengan magnitude yang berbeda. Magnitude spectrum
pada kecepatan angina zonal di pagi hari (Gambar 11) lebih kecil dibanding pada siang
hari (Gambar 12). Hal tersebut mengindikasikan kecepatan angin dipengaruhi oleh
adanya turbulensi.
Gambar 14. Plot Kecepatan Angin Turbulen Terhadap Waktu Pukul 14:00 WIB
Berdasarkan hasil plot dapat dilihat bahwa turbulensi pada siang hari (gambar
14) lebih besar daripada pagi hari (gambar 13). Hal ini akibat terjadinya turbulensi
termal, yakni ketika suhu udara permukaan telah menghangat sampai suhu maksimum.
Pada prosesnya udara yang lebih hangat dan tidak stabil akan naik dan udara yang
dingin dan stabil akan turun. Hal ini karena udara yang lebih hangat memiliki densitas
yang lebih rendah dan akan naik ke atas lapisan udara yang lebih dingin (yang memiliki
densitas lebih tinggi).
Gambar 15. Plot Periodogram Hasil FFT Kecepatan Angin Turbulen Pukul 06:00 WIB
Gambar 16. Plot Periodogram Hasil FFT Kecepatan Angin Turbulen Pukul 14:00 WIB
Turbulensi dapat terjadi karena berbagai macam faktor. Di dalam Lapisan Batas
Atmosfer, turbulensi dapat dihasilkan dari akibat pemanasan (buoyant production), serta akibat
gesekan dan ketidakstabilan (mechanical production). Udara yang bergerak lebih cepat
mengalir di atas udara yang lebih lambat akibat gesekan dengan permukaan, sehingga terjadi
windshear, yang menyebabkan adanya turbulensi. Selain itu, Ketika radiasi matahari
memanaskan permukaan, menyebabkan lapisan thermal naik dari permukaan yang
menghasilkan turbulensi. Hal ini selaras dengan Gambar 17 bahwa pemanasan matahari yang
intens memicu nilai maksimum TKE terjadi pada pukul 13.00 WIB.
Siklus diurnal TKE ini disebabkan oleh hubungan yang kuat antara turbulensi dan
stabilitas atmosfer. Ketika kondisi atmosfer cenderung tidak stabil di atas permukaan yang
hangat (suhu udara lebih dingin dibandingkan suhu permukaan), dan atmosfer tercampur
dengan baik (terbentuk mixed layer), artinya intensitas fenomena turbulensi yang terjadi
cenderung tinggi. Lapisan campuran terjadi setelah matahari terbit dan berlangsung sampai
sore hari atau ketika evening trantition terjadi. Oleh karena itu, nilai TKE yang ditunjukkan
pada Gambar 17 terlihat mulai meningkat sejak pagi hari. Penyebab ketidakstabilan adalah
suhu udara lebih dingin dibandingkan dengan suhu permukaan. Penyebab suhu permukaan
menjadi lebih hangat yaitu: pemanasan matahari pada siang hari, aliran udara hangat yang
dibawa oleh angin, dan pergerakan udara yang melalui permukaan yang hangat.
Pada malam hari, intensitas fenomena turbulensi turun ke level yang rendah. Karena
pada sejak matahari terbenam hingga malam hari, intensitas radiasi matahari menurun terus
menerus, yang akhirnya membuat suhu permukaan menjadi dingin. Hal ini menyebabkan
kondisi atmosfer cenderung stabil karena suhu permukaan lebih dingin dibandingkan dengan
suhu udara di atasnya.
Kondisi Lapisan Batas Atmosfer dapat dipengaruhi oleh kondisi topografinya yang
memiliki efek terhadap besar dan arah angin. Besar dan arah angin dekat permukaan serta
variasinya terhadap ketinggian di Lapisan Batas Atmosfer memiliki karakter yang unik yaitu
turbulensi yang tidak terdapat pada lapisan-lapisan atmosfer lainnya (Arya 2001). Angin ini
bervariasi terhadap ketinggian. Angin dekat permukaan akan lebih lambat daripada angin pada
lapisan yang lebih atas karena adanya gaya gesekan dengan permukaan, dan hal ini dapat
menjadi salah satu penyebab adanya turbulensi. Namun, karena keterbatasan data maka yang
dapat ditijau hanya besar dan arah angin dekat permukaan yang ditunjukkan oleh grafik
windrose.
Angin rata-rata pun melakukan transportasi seperti kelembaban, panas, momentum,
dan polutan secara horizontal. Angin rata-rata ini melakukan perpindahan udara secara
horizontal yang disebut sebagai adveksi. Adveksi ini menjadi salah satu penyebab suhu
permukaan menjadi lebih hangat pada siang hari, dan suhu permukaan menjadi lebih dingin
pada malam hari, yang akan berefek pada kestabilan atmosfer.
Pada pagi hari (pukul 06.00 WIB-11.00 WIB), dimana intensitas turbulensi yang masih
cenderung kecil, kecepatan angin permukaan yang juga relatif kecil dibawah 2 m/s, berhembus
datang dari berbagai arah, namun arah angin didominasi dari arah timur hingga selatan. Dan
pada siang hari (pukul 12.00 WIB-17.00 WIB), intensitas turbulensi terus meningkat hingga
mencapai puncaknya pada pukul 13.00 WIB, kecepatan angin permukaan pun meningkat
namun tetap moderate, dan arah angin yang berhembus dominan dari barat hingga tenggara.
Setelah matahari terbenam, intensitas turbulensi biasanya berkurang, dan gaya gesek
permukaan menghasilkan angin di lapisan bawah. Tetapi bagaimanapun, tanpa turbulensi,
udara di tengah Lapisan Batas Atmosfer tidak akan merasakan gaya gesek permukaan dan
tidak akan mengalami percepatan. (Pratikasari, 2011)
Gambar 18. Windrose Pada: a) Pagi Hari, b) Siang Hari
Turbulence Kinetic Energy (TKE) tentu memiliki hubungan terhadap proses transfer di
Lapisan Batas. Jika angin rata-rata melakukan transportasi secara horizontal, maka turbulensi
melakukannya secara vertikal. Salah satunya adalah proses transfer panas atau vertical heat
flux yang ditunjukkan dengan Gambar 19.
Turbulensi dapat menyebabkan transportasi panas secara vertikal. Pada siang hari,
ketika kondisi atmosfer cenderung tidak stabil yaitu apabila suhu udara lebih dingin
dibandingkan dengan suhu permukaan. Oleh karena itu, parsel udara yang bergerak ke bawah
(𝑤′ negatif) akan menjadi lebih dingin dibandingkan sekitarnya (𝜃′ negatif), yang
menghasilkan 𝑤′𝜃′ bernilai positif. Dan parsel udara yang bergerak ke atas (𝑤′ positif) akan
menjadi lebih hangat dibandingkan sekitarnya (𝜃′ positif), sehingga juga menghasilkan 𝑤′𝜃′
yang bernilai positif. Baik upward maupun downward keduanya menghasilkan 𝑤′𝜃′ yang
̅̅̅̅̅̅) bernilai positif
bernilai positif. Oleh karena itu, rata-rata dari kinematic eddy heat flux (𝑤′𝜃′
untuk proses pencampuran yang dilakukan oleh eddy pada siang hari. Dan pada malam hari,
ketika kondisi atmosfer cenderung stabil yaitu apabila suhu permukaan lebih dingin
dibandingkan dengan suhu udara di atasnya. Hal ini membuat parsel yang bergerak ke atas (𝑤′
positif) menjadi lebih dingin dibandingkan sekitarnya (𝜃′ negatif), sehingga menghasilkan nilai
𝑤′𝜃′ yang negatif, sementara parsel yang bergerak ke bawah (𝑤′ negatif) menjadi lebih hangat
dibandingkan sekitarnya (𝜃′ positif) juga menghasilkan nilai 𝑤′𝜃′ yang negatif. Efek dari small
eddy menyebabkan nilai ̅̅̅̅̅̅
𝑤′𝜃′ bernilai negatif, yang artinya panas ditransfer ke bawah.
Pada hasil pengamatan, diperoleh heat flux bernilai positif, sedangkan pada malam hari,
permukaan kehilangan energi karena tidak ada radiasi matahari. Kehilangan energi ini akan
dikompensasi dengan menerima panas dari udara dan media tanah. Namun pada data, heat flux
yang bernilai negatif hanya pukul 03.00 WIB-05.00 WIB. Hal ini mengindikasikan bahwa
adanya vegetasi yang dapat menyimpan energi panas yang lebih lama mempengaruhi nilai heat
flux.
BAB V.
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
1. Persamaan heat flux dengan menggunakan perata-rataan Reynolds yaitu ̅̅̅̅̅̅̅̅̅
(𝑊. 𝜃) = 𝑊̅ 𝜃̅ +
̅̅̅̅̅̅
𝑤′𝜃′ dapat terbukti.
2. Pada data kecepatan angin rata-rata terhadap periode, menunjukkan nilai yang semakin
mendekati rata rata sebenarnya (pertubasi kecil) ketika semakin tinggi periode (waktu
perata-rataan) nya, dibandingkan data kecepatan angin sebenarnya.
3. Nilai kecepatan angin turbulen pada siang hari lebih besar daripada pagi hari akibat nilai
fluktuasi kecepatan angin yang tinggi pada siang hari
4. Pemanasan radiasi matahari mempengaruhi siklus diurnal intensitas terjadinya fenomena
turbulensi yang terjadi (diindikasikan oleh TKE), serta transfer heat flux. Ketika siang hari,
nilai TKE dan heat flux mencapai nilai maksimum pukul 13.00 WIB karena kondisi
atmosfer yang tidak stabil. Dan pada malam hari, kondisi atmosfer cenderung lebih stabil
sehingga nilai TKE dan heat flux menjadi lebih rendah.
BAB VI.
DAFTAR PUSTAKA
Garratt, J. (1992). The Atmospheric Boundary Layer. Cambridge: Cambridge University Press.
Julie Lundquist, Andrew Clifton. (2012). How Turbulence Can Impact Power Performance.
Diambil kembali dari National Wind Watch: https://www.wind-
watch.org/documents/how-turbulence-can-impact-power-performance/
Mukhtar, K. (2016). Perbandingan Fluks Panas Hasil Observasi dan Estimasi Bulk
Parameterization. Bandung: Tugas Akhir Strata-1, Program Studi Meteorologi, Fakultas
Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung.
Pratikasari, R. (2011). Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan Temporal Parameter-
Parameter Atmospheric Boundary Layer (Studi Kasus: Bogor, Karawang, dan Pulau
Pramuka). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Setyawan, F. (2015). Hubungan Variasi Nilai Harian Turbulence Kinetic Energy dan Fluks
Panas di Wilayah Kota Bandung. J. Pijar MIPA, Vol. X No.2, 8-11.
Stull, R. B. (2000). Meteorology for Scientist and Engineers Second Edition. USA: Brooks/Cole.
Young, R. (2004). Instruction Ultrasonic Anemometer Model 8100. R.M. Young Company.