Anda di halaman 1dari 1

KEADILAN SOSIAL (katanya)

Saya pengajar muda, usiaku 21 tahun kala di sumpah sebagai sarjana pendidikan. Yah.. Tepat dihari
ulang tahunku yang ke 21. Cukup sederhana tapi aku bangga, bahwa lulus dengan IPK cumloude
yang selama ini di idam-idamkan adalah kado yang ku dapat. Pesta syukuran sederhana setelah
wisudapun digelar dengan penuh suka cita walau hanya sekadar makan soto buatan mama.
Hahaha...

Namaku Ane, gadis yang sudah tak mau dipanggil gadis karena sudah merasa menjadi perempuan
dewasa tak lagi belia. Mencoba menjadi mandiri dalam hitungan hari melamar kerja, Ternyata jauh
lebih sulit ketimbang menemui dosen pembimbing skripsi. Ahhh.. Apa aku lebay? Biarlah.

Satu persatu sekolah aku singgahi, dengan bermental tempe ato bahkan kerupuk sagu duhh berat
rasanya. Tapi rejeki tak kemana, aku menjadi guru sesungguhnya.

Tapi? Ada rasa duka dalam hati. Ternyata senioritas masih saja ada, bahkan ini dunia pendidikan
yang seyogyanya memberi contoh untuk saling mengayomi bahkan jelas tertera dalam ruang-ruang
kelas jaman sekolah dasar dulu “tutwuri handayani ing ngarso sung tulodho ing madyo mangun
karso”. Tapi? Teori hanyalah teori. Motto hanyalah tulisan pemanis tanpa ada rasa empati.

Apakah di tempat lain juga demikian? Entahlah. Mungkin ini ujian para pengajar muda. Tak sampai
disitu, menjadi guru baru dengan jam terbang tak banyak tak membuat ku cukup santai. Karena
ketika pulang cepat dan terlihat berangkat siang dari rumah ada saja nyinyiran. Lebih tepatnya
perhatian yang berlebihan.

“belum berangkat? Jam berapa ini? “ ucapnya tiba-tiba saat melihatku masih santai beberes rumah.

“hari ini libur karena ngajar Cuma hari selasa dan rabu” jawabku.

Atau kadang ku jelaskan panjang lebar sampai ingin rasanya aku tunjukkan jadwal mengajar dan
sebagainya. Walau apakah itu penting?

Dilain hari dengan orang yang berbeda lagi.

“kok sudah pulang? Kan masih pagi” selidik yang lain saat melihatku baru sampai di rumah.

“jam ngajarku hanya sampai jm11. 00” terangku seraya memberi senyum paksa.

Sering rasanya apakah ini namanya hidup sosial? Karena jauh menengok kebelakang sebagai
manusia kost-kostan membuat ku sedikit acuh dengan lingkungan atau lebih tepatnya meranya
nyaman dengan lingkungan idealis. Hahaha

Oh kampungku...

Bagaimanapun aku bangga jadi orang kampung, namun aku belum siap untuk keadilan sosial
(katanya) harus aku terima seutuhnya.

Anda mungkin juga menyukai