Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ANASTESIOLOGI REFERAT

DAN TERAPI INTENSIF SEPTEMBER 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

OBAT NYERI NEUROTROPIK

Oleh :

Lidya Hardiyanti Yamin

K1A1 12 084

Pembimbing :

dr. Fitriani Asrul, Sp.An

BAGIAN ANASTESIOLOGI DANTERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
OBAT NYERI NEUROTROPIK

Lidya Hardiyanti, Fitriani Asrul

A. DEFINISI

Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP)

nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan

akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang

digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.1,2

Vitamin neurotropic berfungsi menormalkan fungsi saraf dengan

memperbaiki gangguaan metabolisme saraf melalui pemberian asupan yang

dibutuhkan.

B. MEKANISME NYERI

Serabut saraf ke arah bawah/descending dari korteks, thalamus, atau

batang otak dapat menghambat penerusan impuls yang bergerak melalui jalur

nyeri ascending. Serabutserabut saraf ini berhenti pada kolom abu-abu dorsal

korda spinalis. Neurotransmiter (misalnya epinefrin, norepinefrin, serotonin,

berbagai opioid endogen) terlibat dalam modulasi sensasi nyeri. Jalur nyeri

descending bertanggung jawab untuk menghambat transmisi nyeri dari korda

spinalis3

Mekanisme timbulnya nyeri terdiri dari 4 proses, antara lain: 3,4

a. Transduksi

Merupakan perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi

aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti

1
prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium,

histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi

reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung

bebas serat-serat aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak

dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan

tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta dan C adalah serat-serat saraf

sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke

sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor

nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.

b. Transmisi

Merupakan proses perambatan impuls nyeri melalui serabut A-

delta dan C yang menyusul proses tranduksi. Oleh serabut aferen A-delta

dan C, impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medula spinalis, ke sel

neuron di kornu dorsalis. Sel-sel neuron di medula spinalis kornua dorsalis

yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi.

Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serabut aferen A-

delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornu

antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornu

anterior medula spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu antero-lateral

akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis

dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel

neuron di kornu anterior medula spinalis akan menimbulkan peningkatan

tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.

2
c. Modulasi

Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin,

NA, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri

yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi

di kornua dorsalis medula spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral

lewat traktus spinotalamikus. Di daerah ini akan terjadi interaksi antara

impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen

maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan.

Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan

sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka

penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.

d. Persepsi

Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses

yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang

akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.

Gambar 1. Mekanisme nyeri4

3
C. KLASIFIKASI

Menurut timbulnya nyeri 4

a. Nyeri akut

Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau

intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas

bervariasi dari berat sampai ringan. Nyeri ini terkadang bisa hilang

sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area

yang rusak. Misalnya nyeri pasca bedah. 4

b. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas

bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari tiga bulan. Nyeri ini

disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan

kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Misalnya nyeri

post-herpetic, nyeri phantom atau nyeri karena kanker. 4

Nyeri akut di bagi menjadi 2 : 3

 Nyeri Somatik, jika organ yang terkena adalah organ soma seperti

kulit, otot, sendi, tulang, atau ligament karena di sini mengandung kaya

akan nosiseptor. Terminologi nyeri muskuloskeletal diartikan sebagai

nyeri somatik. Nosiseptor di sini menjadi sensitif terhadap inflamasi,

yang akan terjadi jika terluka atau keseleo. Selain itu, nyeri juga bisa

terjadi akibat iskemik, seperti pada kram otot. Hal inipun termasuk

4
nyeri nosiseptif. Gejala nyeri somatik umumnya tajam dan lokalisasinya

jelas, sehingga dapat ditunjuk dengan telunjuk. Jika kita menyentuh

atau menggerakan bagian yang cedera, nyerinya akan bertambah berat.

 Nyeri viseral, jika yang terkena adalah organ-organ viseral atau

organ dalam, meliputi rongga toraks (paru dan jantung), serta rongga

abdomen (usus, limpa, hati dan ginjal), rongga pelvis (ovaruim, kantung

kemih dan kandungan). Berbeda dengan organ somatik, yang nyeri

kalau diinsisi, digunting atau dibakar, organ somatik justru tidak. Organ

viseral akan terasa sakit kalau mengalami inflamasi, iskemik atau

teregang. Selain itu nyeri viseral umumnya terasa tumpul, lokalisasinya

tidak jelas disertai dengan rasa mual-muntah bahkan sering terjadi nyeri

refer yang dirasakan pada kulit.

Nyeri Somatik Nyeri Fiseral


Penyebaran Situs terlokalisir dengan Seringkali distribusi
radiasi dermatomal samar dengan radiasi
yang menyebar
Karakter Variabel mulai dari yang Kusam, kram
sakit hingga tajam
Durasi Mungkin konstan namun Colik dan periodik
memiliki terobosan 'insiden',
mis. Pada gerakan
Fitur Beberapa asosiasi otonom Sering dikaitkan
autonomik dengan gejala otonom
mis. Berkeringat,
jantung berdebar

5
D. Tipe – Tipe Nyeri Akut 8

Beberapa tipe nyeri akut antara lain :

E. PENILAIAN INTENSITAS NYERI AKUT

Terdapat beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai

intensitas nyeri, antara lain: 6

1. Numerical Rating Scale (NRS)

Metode ini menggunakan angka-angka untuk

menggambarkan range dari intensitas nyeri. Umumnya pasien akan

menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-

6
10. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10” menggambarkan

nyeri yang hebat.

2. Visual Analogue Scale (VAS)

Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas

nyeri. Metode ini menggunakan garis sepanjang 100 mm yang

menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat.

Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri

yang dirasakan.

3. Verbal Rating Scale (VRS)

Metode ini menggunakan suatu gambaran kata untuk

mendiskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata

atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan

dari gambaran kata yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk

mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap

penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:

 Tidak nyeri (none)

 Nyeri ringan (mild)

 Nyeri sedang (moderate)

 Nyeri berat (severe)

 Nyeri sangat berat (very severe)

7
4. Self-report pain scales for young children

Untuk anak usia sekitar 3 tahun, skala nyeri dengan ekspresi wajah dengan

senang dan tidak senang dapat digunakan untuk menilai seberapa parah

nyeri yang dirasakan. Ada beberapa skala nyeri yang dapat di gunakan

sepertiskala nyeri Wong-Baker..

Gambar 2. Penilaian intensitas nyeri akut

F. Teknik manajemen nyeri

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkenalkan tangga analgesik pada

tahun 1986 untuk memberikan panduan global untuk pengobatan nyeri.

8
Gambar 3.Three step ledder WHO

Tangga analgesik menyarankan obat berikut untuk digunakan pada setiap

tingkat:

Tingkat 1:

• NSAID (aspirin, ibuprofen)

• Parasetamol.

Tingkat 2: opiat lemah untuk nyeri ringan sampai sedang (kodein, tramadol).

Tingkat 3: opiat untuk nyeri sedang sampai parah (morfin, oksikodon,

fentanil dan metadon).

Obat ajuvan

Pada semua tingkat obat ajuvan dapat digunakan untuk menunjang obat

analgesia dan meminimalkan efek samping.

 Antiemetik: terutama dengan opioid.

 Obat pencahar: untuk mengurangi konstipasi akibat opioid.

9
 Kortikosteroid: berguna untuk mengurangi rasa sakit yang terkait

dengan kompresi saraf atau meningkatkan tekanan intrakranial.

 Obat psikotropika: membantu kegelisahan, tidur, mood, kejang, dan

juga analgesia.

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step

Analgesic Ladder. Strategi ini merupakan bagian dari metode manajemen nyeri

yang berpusat pada 4 prinsip, yaitu. 6

a. “By Mouth” berarti menggunakan rute oral bilamana memungkinkan,

bahkan untuk opiat.

b. “By the Clock” berarti untuk nyeri yang persisten, obat diberikan

berdasarkan interval obat tersebut daripada diberikan hanya ketika

dibutuhkan atau “on demand”.

c. “By the Ladder” yaitu tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk

pengobatan nyeri, antara lain:

Langkah 1:

· Untuk nyeri ringan sampai sedang sebaiknya dimulai dengan obat

analgesik non opioid dan tingkatkan dosisnya. Jika dibutuhkan dapat

ditingkatkan sampai dosis maksimum yang direkomendasikan. Dapat

digunakan obat adjuvan seperti antidepresan atau antikonvulsi jika

dibutuhkan. Jika pasien dengan nyeri sedang atau berat maka dapat dlewati

langkah 1.

10
Langkah 2:

Apabila masih tetap nyeri, maka dapat naik ke tangga atau langkah

kedua, yaitu ditambahkan obat opioid lemah, misalnya kodein. Tambahkan

atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.

Langkah 3:

· Apabila ternyata masih belum reda atau menetap, maka sebagai

langkah terakhir, disarankan untuk menggunakan opioid kuat yaitu

morfin. Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.

d. “For the Individual” berarti rencana terapi harus berdasarkan tujuan

pasien.

Pada dasarnya, prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat

diterapkan untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu: 6

 Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.

Gambar 4. Panduan terapi inflamasi nyeri akut dan nyeri kronik

11
Mengembangkan rencana untuk prosedural dapat meningkatkan tingkat

psikososial dan fisik pasien. 7

G. METODE PEMBERIAN ANALGESIK 6,9,10

Ada lima jalur pemberian analgesik, yaitu secara oral, intravena,

epidural, inhalasi, dan transkutan. Bentuk pemberian yang paling umum,

adalah dengan pemberian obat penghilang rasa sakit secara oral. Misalnya,

jika sakit kepala tidak berkurang dengan dosis kecil analgesik oral, dosis

ulangan yang lebih besar dapat dikonsumsi.

Untuk pemberian intravena morfin untuk analgesia pascaoperasi. Di

rumah sakit, sebuah PCA mengacu pada pompa infus yang dikendalikan

secara elektronik yang memberikan sejumlah analgesic intravena (biasanya

opioid). Dapat digunakan untuk kedua pasien nyeri baik akut maupun kronis.

Hal ini biasanya digunakan untuk manajemen nyeri pasca operasi, dan untuk

pasien stadium akhir kanker.

Sebuah inhaler sekali pakai yang memungkinkan pemberian sendiri

uap methoxyflurane untuk analgesia. Karena kesederhanaan analgizer dan

karakteristik farmakologi dari methoxyflurane, mudah bagi pasien untuk

mengelola obat sendiri dan cepat mencapai tingkat analgesik yang dapat

dipelihara dan disesuaikan seperlunya selama periode waktu yang

berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa jam.

Sistem pemberian transkutan, termasuk sistem iontophoretic, telah

tersedia. Metoda ini adalah populer untuk pemebrian opioid seperti fentanyl,

atau anestesi local seperti lidokain.

12
H. Vitamin Neurotropik11

Tiamin (Vitamin B1)

Tiamin tersusun dari pirimidin tersubsitusi yang dihubungkan oleh jembatan

metilen dengan tiazol tersubsitusi. Bentuk aktif dari tiamin adalah tiamin

difosfat, di mana reaksi konversi tiamin menjadi tiamin difosfat tergantung

oleh enzim tiamin difosfotransferase dan ATP yang terdapat di dalam otak dan

hati.Tiamin difosfat berfungsi sebagai koenzim dalam sejumlah reaksi

enzimatik dengan mengalihkan unit aldehid yang telah diaktifkan yaitu pada

reaksi :

1. Dekarboksilasi oksidatif asam-asam á keto ( misalnya á-ketoglutarat,

piruvat, dan analog á - keto dari leusin isoleusin serta valin).

2. Reaksi transketolase (misalnya dalam lintasan pentosa fosfat).

Semua reaksi ini dihambat pada defisiensi tiamin. Dalam setiap keadaan

tiamin difosfat menghasilkan karbon reaktif pada tiazol yang membentuk

karbanion, yang kemudian ditambahkan dengan bebas kepada gugus

karbonil,misalnya piruvat.Senyawa adisi kemudian mengalami dekarboksilasi

dengan membebaskan CO2.Reaksi ini terjadi dalam suatu kompleks

multienzim yang dikenal sebagai kompleks piruvat dehidrogenase.

Dekarboksilasi oksidatif á - ketoglutarat menjadi suksinil ko-A dan CO2

dikatalisis oleh suatu kompleks enzim yang strukturnya sangat serupa dengan

struktur kompleks piruvat dehidrogenase.

Defisiensi tiamin

13
Pada manusia yang mengalami defisiensi tiamin mengakibatkan reaksi yang

tergantung pada tiamin difosfat akan dicegah atau sangat dibatasi, sehingga

menimbulkan penumpukan substrat untuk reaksi tersebut,misalnya piruvat

,gula pento dan derivat á- ketoglutarat dari asam amino rantai bercabang

leusin, isoleusin serta valin. Tiamin didapati hampir pada semua tanaman dan

jaringan tubuh hewan yang lazim digunakan sebagai makanan, tetapi

kandungannya biasanya kecil .Biji-bijian yang tidak digiling sempurna dan

daging merupakan sumber tiamin yang baik. Penyakit beri-beri disebabkan

oleh diet kaya karbohidrat rendah tiamin,misalnya beras giling atau makanan

yang sangat dimurnikan seperti gula pasir dan tepung terigu berwarna putih

yang digunakan sebagai sumber makanan pokok. Gejala dini defisiensi tiamin

berupa neuropati perifer, keluhan mudah capai, dan anoreksia yang

menimbulkan edema dan degenerasi kardiovaskuler, neurologis serta

muskuler. Encefalopati Wernicke merupakan suatu keadaan yang

berhubungan dengan defisiensi tiamin yang sering ditemukan diantara para

peminum alcohol kronis yang mengkomsumsi hanya sedikit makanan

lainnya. Ikan mentah tertentu mengandung suatu enzim (tiaminase) yang labil

terhadap panas,enzim ini merusak tiamin tetapi tidak dianggap sebagai

masalah yang penting dalam nutrisi manusia.

Vitamin B6

Vitamin B6 terdiri atas derivat piridin yang berhubungan erat yaitu

piridoksin, piridoksal serta piridoksamin dan derivat fosfatnya yang

bersesuaian. Bentuk aktif dari vitamin B6 adalah piridoksal fosfat, di mana

14
semua bentuk vitamin B6 diabsorbsi dari dalam intestinum , tetapi hidrolisis

tertentu senyawa-senyawa ester fosfat terjadi selama proses pencernaan.

Piridksal fosfat merupakan bentuk utama yang diangkut dalam plasma .

Sebagian besar jaringan mengandung piridoksal kinase yang dapat

mengkatalisis reaksi fosforilasi oleh ATP terhadap bentuk vitamin yang

belum terfosforilasi menjadi masing- masing derivat ester fosfatnya.

Piridoksal fosfat merupakan koenzim pada beberapa enzim dalam

metabolisme asam aimno pada proses transaminasi, dekarboksilasi atau

aktivitas aldolase. Piridoksal fosfat juga terlibat dalam proses glikogenolisis

yaitu pada enzim yang memperantarai proses pemecahan glikogen.

Defisiensi Vitamin B6

Kekurangan vitamin B6 jarang terjadi dan setiap defisiensi yang terjadi

merupakan bagian dari defisiensi menyeluruh vitamin B kompleks. Namun

defisiensi vitamin B6 dapat terjadi selama masa laktasi, pada alkoholik dan

juga selama terapi isoniazid. Hati, ikan mackel, alpukat, pisang, daging,

sayuran dan telur merupakan sumber vitamin B6 yang terbaik.

Vitamin B12

Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin yang kompleks (cincin

corrin) dan serupa dengan cincin porfirin, yang pada cincin ini ditambahkan

ion kobalt di bagian tengahnya. Vitamin B12 disintesis secara eksklusif oleh

mikroorganisme. Dengan demikian, vitamin B12 tidak terdapat dalam

tanaman kecuali bila tanaman tersebut terkontaminasi vitamin B12 tetapi

tersimpan pada binatang di dalam hati temapat vitamin B12 ditemukan dalam

15
bentuk metilkobalamin, adenosilkobalamin, dan hidroksikobalamin. Absorbsi

intestinal vitamin B12 terjadi dengan perantaraan tempat-tempat reseptor

dalami ileum yang memerlukan pengikatan vitamin B12, suatu glikoprotein

yang sangat spesifik yaitu factor intrinsik yang disekresi sel-sel parietal pada

mukosa lambung.. Setelah diserap vitamin B12 terikat dengan protein plasma,

transkobalamin II untuk pengangkutan ke dalam jaringan. Vitamin B12

disimpan dalam hati terikat dengan transkobalamin I. Koenzim vitamin B12

yang aktif adalah metilkobalamin dan deoksiadenosilkobalamin.

Metilkobalamin merupakan koenzim dalam konversi Homosistein menjadi

metionin dan juga konversi Metiltetrahidrofolat menjadi tetrafidrofolat.

Deoksiadenosilkobalamin adalah koenzim untuk konversi metilmalonil Ko A

menjadi suksinil Ko A. Kekurangan atau defisiensi vitamin B12

menyebabkan anemia megaloblastik. Karena defisiensi vitamin B12 akan

mengganggu reaksi metionin sintase. Anemia terjadi akibat terganggunya

sintesis DNA yang mempengaruhi pembentukan nukleus pada ertrosit yang

baru. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan sintesis purin dan pirimidin

yang terjadi akibat defisiensi tetrahidrofolat. Homosistinuria dan

metilmalonat asiduria juga terjadi. Kelainan neurologik yang berhubungan

dengan defisiensi vitamin B12 dapat terjadi sekunder akibat defisiensi relatif

metionin.

16
DAFTAR PUSTKA

1. Tjandrawinata R, dkk. 2017. Dexa Media. Jurnal kedokteran dan farmasi.No.

4. Vol 20. Jakarta Selatan.

2. 2016. Pain Management. Australian Physiotherapy Association. Australia.

3. Tandram H. Departemen Ilmu Anastesi, Perawatan Intensive dan Manajemen

Nyeri, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin Makassar

4. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis

Proses-Proses Penyakit, E/6, Vol.1. Jakarta: EGC, 1063-1089

5. Boulton, Thomas B., Blogg, Colin E,. 2010. Anestesiologi, Edisi 10. Jakarta:

EGC, 13-20 Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi:

Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, E/6, Vol.1. Jakarta: EGC, 1063-1089

6. Brok, P. Conelly, J. 2011. Pain Management. Oxford University. New York

7. Czarnecki, M. et al. 2011,.Procedural Pain Management. American.

8. Management of Acute Pain and Chronic Noncancer Pain. National

Pharmaceutical Council.

9. Permatasari, S. Penatalaksanaan Nyeri Akut Pada Pasien Dengan Patient-

Controlled Analgesia. Universitas Udayana.

10. Mowat, I. Jhonson, D. 2013. Acute Pain Management Part 2 Assessment And

Management Anaesthesia Tutorial Of The Week 295.

11. Triana.V. 2016. Macam-macam vitamin dan fungsinya terhadap tubuh. Studi

Literatur.

17

Anda mungkin juga menyukai