Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas izin, rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah dengan judul
“Mitigasi Untuk Mengurangi Dampak Risiko Bencana Banjir dan Tanah Longsor” ini disusun
dengan tujuan untuk melengkapi tugas makalah Problem Based Learning 2 semester pertama
untuk mata kuliah MPKT B Sains. Melalui makalah ini, kami berharap agar penulis dan pembaca
mampu mengelola alam tempat kita tinggal menjadi lebih baik kedepannya dengan melakukan
mitigasi yang tepat terhadap bencana alam khusunya banjir dan tanah longsor.
Makalah ini telah kami selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang
telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini. Diluar itu, penulis sebagai
manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan
segala kerendahan hati, kami selaku penyusun menerima segala kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.
Dengan karya ini kami berharap dapat membantu pemerintah dalam mengelola alam dan
kawasan penghijauan agar alam Indonesia tetap lestari. Serta, kami berharap dengan karya ini
kami dapat membantu pemerintah serta masyarakat sekitar akan pentingnya mitigasi bencana di
daerah rawan bencana.
Demikian yang bisa kami sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khazanah
ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.
Penulis
2
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan …………………………………………………………………….. 35
B. Saran ……………………………………………………………………………. 35
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pengertian Bencana
4
Perubahan cuaca hanya pemicu saja, penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan yang
masif akibat penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan frekuensi dan intensitas bencana di Indonesia
terus meningkat selama 15 tahun terakhir.
Pada tahun 2016 Indonesia telah mengalami peningkatan jumlah kejadian bencana
hidrometeorologi hingga 16 kali lebih tinggi dari jumlah kejadian bencana di tahun 2002.
Bencana-bencana tersebut jelas akan memerikan dampak kerugian yang sangat besar. Kerugian
akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 diprediksi mencapai Rp 221 triliun, setara dengan
1,9 persen pendapatan ekonomi nasional.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengatakan,
banjir dan longsor erat kaitannya dengan curah hujan tinggi akibat kondisi cuaca ekstrem sebagai
konsekuensi dari perubahan iklim. Akan tetapi, curah hujan yang tinggi bukan merupakan satu-
satunya faktor penyebab terjadinya banjir di suatu wilayah. Faktor lingkungan, seperti
infrastruktur sungai atau drainase yang buruk, penggundulan hutan, dan faktor lainnya sangat
berpengaruh.
Berdasarkan data BMKG, dari peta frekuensi hujan lebat sepanjang tahun 2009-2016, wilayah
Papua merupakan wilayah dengan frekuensi tertinggi kejadian hujan lebatnya. Namun, jika
dilihat dari peta frekuensi kejadian banjir atau longsor dalam kurun ini, kejadian banjir di Papua
yang terendah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pulau Jawa sebagai wilayah dengan tingkat
pembangunan yang tinggi, frekuensi kejadian banjir dan longsornya juga sangat tinggi.
Frekuensi curah hujan tinggi tidak selalu dapat menimbulkan kejadian banjir dan longsor di
suatu wilayah, tetapi lebih bergantung pada kondisi lingkungan setempat. Kepala BNPB Willem
Rampangilei mengatakan, intensitas bencana alam yang terus meningkat adalah akibat daya
dukung lingkungan yang dari tahun ke tahun semakin lemah. Kerusakan ekologi terjadi secara
masif karena didorong oleh penyalahgunaan lahan.
Kawasan hulu yang seharusnya menjadi zona lindung, resapan air, dan penyangga sistem
hidrologi telah berubah menjadi pertanian, perkebunan, pertambangan, dan permukiman.
Perubahan tersebut telah berlangsung sejak lama sehingga dampak yang ditimbulkan saat ini
5
merupakan akumulasi dan memunculkan lahan kritis yang tersebar di wilayah-wilayah dengan
kepadatan penduduk yang tinggi seperti di Pulau Jawa. Berbagai kerusakan lingkungan akibat
ulah manusia yang memanfaatkan lahan tanpa memperhatikan fungsi kawasan, daya dukung dan
daya tampung dalam DAS telah “sukses” menambah laju jumlah DAS kritis di Indonesia.
Bertambahnya jumlah DAS kritis telah terbukti secara linier dengan bertambahnya jumlah
kejadian bencana hidrometeorologi. Penyerobotan kawasan hutan lindung di daerah hulu DAS
menjadi kawasan pertanian intensif seperti yang terjadi di daerah hulu DAS Serayu di
banjarnegara telah merubah wajah kawasan dataran tinggi Dieng menjadi tak bervegetasi,
akibatnya, kejadian-kejadian bencana rajin menghampiri setiap tahunnya.
6
Pengertian Bencana Tanah Longsor
Tanah longsor (landslide) didefinisikan sebagai proses yang menghasilkan pergerakan kebawah
maupun kesamping dari lereng alam maupun buatan yang memiliki kandungan material tanah,
batu, tanah timbunan buatan atau gabungan dari tanah dan batu. Secara teknis dapat dikatakan
longsoran terjadi jika kondisi lereng yang stabil berubah menjadi tidak stabil. Ketidak stabilan
terjadi karena gaya pendorong pada lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya pendorong
7
diakibatkan oleh oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban yang membebani tanah
diatasnya serta berat jenis tanah batuan. Sedangkan penyebab gaya penahan adalah kekuatan
batuan dan kepadatan tanah.
Hujan dalam periode yang panjang akan menjenuhkan tanah, melunakkan tanah
(decreasing in shear strength) dan akhirnya mengakibatkan terjadinya longsoran.
2. Gempa bumi
Gempa bumi menyebabkan terjadinya gaya dinamis akibat getaran dan rambatan dari
pusat gempa (epicentrum) yang mengakibatkan ketidak stabilan pada lereng (slope)
3. Letusan gunung berapi
Pada saat gunung berapi meletus aliran lahar yang melimpah dari kawah dapat
menyebabkan terjadinya ketidakstabilan lereng. Letusan gunung berapi dapat
mengakibatkan terjadinya gempa vulkanik sehingga dapat mengakibatkan ketidak
stabilan lereng
8
2. Akibat ulah manusia
Penggalian yang dilakukan pada lereng atau pada kaik lereng
Turunnya muka air tanah lereng (drawdown) akibat penyedotan air yang berlebihan
Penggundulan hutan
Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, rawan bencana
adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial,
budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang
mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan
untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Ciri-ciri daerah yang berpotensi/rawan
mengalami tanah longsor, adalah sebagai berikut:
Kemiringan lereng curam (lebih dari 40%), dan/atau kawasan rawan gempa.
Kawasan yang dijumpai banyak alur air dan mata air yang berada di lembah-lembah
subur dekat sungai.
Lereng-lereng pada belokan sungai, sebagai akibat proses erosi atau penggerusan oleh
aliran sungai pada bagian kaki lereng.
Daerah tekuk lereng, yakni peralihan antara lereng curam dengan lereng landai yang di
dalamnya terdapat pemukiman. Lokasi seperti ini merupakan zona akumulasi air yang
meresap dari bagian lereng yang lebih curam. Oleh karena itu daerah tekuk lereng ini
sangat sensitif mengalami peningkatan tekanan air pori yang akhirnya melemahkan
ikatan antar butir-butir partikel tanah dan memicu terjadinya longsor.
9
Daerah yang dilalui struktur patahan/sesar yang umumnya terdapat hunian. Dicirikan
oleh adanya lembah dengan lereng yang curam (diatas 30%), tersusun dari batuan yang
terkekarkan (retakan) secara rapat, dan munculnya mata air di lembah tersebut. Retakan
batuan dapat mengakibatkan menurunnya kestabilan lereng, sehingga dapat terjadi
jatuhan atau luncuran batuan apabila air hujan meresap ke dalam retakan atau saat terjadi
getaran pada lereng.
Geologi (jenis batuan, sifat batuan, stratigrafi dan tingkat pelapukan). Jenis-jenis
batuan/tanah antara lain:
2. Kembang kerut tanah tinggi seperti pada tanah dengan kadar liat tinggi dengan tipe
mineral seperti monmorillonite
7. Erosi lateral intensif sehingga menyebabkan terjadinya penggerusan di bagian kaki lereng,
akibatnya lereng semakin curam.
1. Erosi lateral dan erosi mundur (backward erosion) yang intensif menyebabkan terjadinya
penggerusan di bagian kaki lereng, akibatnya lereng semakin curam. Semakin curam
suatu kemiringan lereng, semakin kecil nilai kestabilannya.
1. Korban Jiwa
Masyarakat akan merasa kesulitan ketika bencana Tanah longsor, karena terjadi secara
mendadak dan kadang kala tidak ada gejala akan terjadinya bencana tersebut. Kebanyakan
10
bencana alam terjadi di dunia ini memakan korban jiwa, salah satunya bencana tanah longsor ini.
Bencana pada umumnya terjadi ketika hujan lebat dan masyarakat pasti berteduh dirumah
masing-masing. Sementara itu, tanah longsor merupakan bencana alam yang datang secara tiba-
tiba seperti halnya bencana tsunami. Kemungkinannya sangat kecil ketika terjadi bencana
tersebut dan masyarakat mau menyelamatkan diri. Semakin meningkatnya korban jiwa akibat
bencana alam tanah longsor ini, juga berdampak mengurangi sumber daya manusia yang
mempunyai potensi. Ketika bencana longsor terjadi sebenarnya kita dapat meminta bantuan
terhadap relawan SAR yang mempunyai potensi sumber daya manusia dalam bidang tersebut.
Para relawan pun juga kesulitan dalam mengevakuasi korban dari bencana tersebut, karena tidak
semudah yang dibayangkan. Dalam mengevakuasi harus berhati-hati karena posisi korban
tertimbun tanah. Selain mereka kesulitan dalam mengevakuasi, mereka juga harus waspada jika
ada longsor susulan. Hal tersebut menyebabkan menghambat proses evakuasi yang kadang kala
korban berhasil dievakuasi hingga berhari-hari.
Penyebab utama hal tersebut, karena tanah yang dekat dengan lereng itu mudah mengalami
pergeseran setiap waktu. Pergeseran tanah di daerah lereng terjadi tidak hanya pada musim hujan,
namun di musim kemarau pula. Sehingga ketika musim hujan tiba, rongga tanah akibat
pergeseran di musim kemarau terisi air dan longsor dengan cepat. Sekuat apapun cakar ayam
sebuah rumah di daerah lereng, kemungkinan besar tetap tidak bisa bertahan atau pun kokoh.
11
kendaraan. Jalur transportasi yang berada disekitar perbukitan, lembah, hutan dan pegunungan
itu sering terjadi pengalihan jalur karena terjadi bencana lonsor.
4. Perekonomian Tersendat
Yang dimaksud dengan perekonomian tersendat, saat tanah longsor terjadi tentunya akan
merusak sumber mata pencaharian para warga. Ketika hal itu terjadi, alur perekonomian mulai
terputus, seorang produsen tidak dapat memproduksi barang dagangannya lagi. Sedangkan
konsumen mempunyai kebutuhan yang aktif selalu, neraca perekonomian masyarakat mulai
terputus karena dampak bencana ini. Sumber daya alam yang biasanya dimanfaatkan masyarakat
untuk kebutuhan sehari-hari juga semakin berkurang, karena punah terkena dampak bencana ini.
5. Rusaknya Infrastruktur
Bencana ini juga berakibat fatal pada infrastruktur terutama pada pemukiman penduduk disekitar
tanah longsor itu. Pemukiman masyarakat tentu akan mengalami kerusakan sesuai
berdasarkan separah apa kejadian longsor tersebut. Selain itu, berdampak pula pada kerusakan
sarana kesehatan, pendidikan serta tempat peribadatan. Jika dihitung materi, selain memakan
korban jiwa yang banyak juga sangat merugikan dalam hal materi. Terutama bagi masyarakat
sekitar daerah tanah longsor tersebut.
6. Trauma Psikis
Bencana longsor tidak hanya menimbulkan kerugian fisik, namun juga menimbulkan kerugian
psikis bagi masyarakat sekitar. Pada umumnya makhluk hidup didunia ini, terutama manuasia
mempunyai mental seseorang berbeda-beda, ada yang tidak bisa menerima keadaan yang terjadi
pada dirinya, keluarganya atau pun orang terdekat. Akibat tanah longsor dapat membahayakan
kondisi psikis masyarakat sekitar,karena kurangnya pengetahuan dapat menjadi diri sendiri (fisik
dan psikis). Salah satu bentuk trauma psikis masyarakat menjadi bingung, dimana akan tinggal,
bagaimana melangsungkan kehidupannya tanpa rumah dan lahan pertaniannya.
12
masyarakat belum paham tentang ciri-ciri lahan basah, seringkali membeli tanah yang kiranya
dapat harga murah dan bisa di tanami padi. Namun tidak lama terjadi longsor di lahan tersebut
yang membuat pemilik harus menjualnya kembali. Karena pemilik tidak ingin menanggung
resiko dan berfikir bahwa lahan tersebut sudah tidak ada gunanya lagi. Maka dari itu sebelum
tanah tersebut longsor dan harga tanah turun, masyarakat juga harus paham tentang cara
melestarikan tanah agar lubang pori-pori tidak terlalu dalam dan tanah tersebut padat.
Banjir merupakan salah satu bencana alam di mana daratan tergenang oleh aliran air yang
berlebihan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menunjukkan bahwa banjir berarti “berair
banyak dan deras kadang-kadang meluap atau peristiwa terbenamnya daratan karena peningkatan
volume air”.
1. Kondisi Topografi
13
Daerah dengan kondisi topografi rendah atau disebut dataran rendah akan beresiko lebih tinggi
dilanda banjir daripada dataran tinggi. Hal ini umum terjadi karena air mengalir dari tempat
tinggi ke tempat yang lebih rendah. Selain itu, daerah hilir dari suatu DAS (Daerah Aliran
Sungai) cenderung memiliki kemiringan lereng yang rendah sehingga lebih berpeluang terjadi
bencana hidrometeorologi ini.
Penyumbatan aliran air baik di sungai maupun di selokan karena sampah yang menumpuk akan
menyebabkan terganggunya aliran air. Hal ini tentunya akan membuat aliran air cepat meluap
sehingga menyebabkan bencana hidrometeorologi ini.
Area reesapan air sangatlah penting untuk meresapkan air yang ada di permukaan menuju ke
dalam tanah. Pada saat ini, area resapan air sangat jarang ditemukan terlebih di daerah perkotaan.
Daerah yang seharusnya menjadi area peresapan air justru tertutup oleh bangunan aspal ataupun
beton sehingga air yang seharusnya meresap akan menggenang di permukaan.
5. Penggundulan Hutan
Hutan dengan banyak pohon-pohon di dalamnya berfungsi untuk menahan dan menyerap air
sehingga aliran air di permukaan tidak menggenang. Apabila terjadi penebangan pohon yang
14
berlebihan atau penggundulan hutan, fungsi hutan ini akan hilang, akibatnya air akan langsung
mengalir ke daerah yang lebih rendah dalam jumlah yang banyak dan menyebabkan banjir di
daerah hilir suatu DAS.
Hal yang satu ini sangat berhubungan erat dengan relief permukaan bumi. Sebagaimana yang
kita ketahui, beberapa daerah banjir terkadang merupakan sebuah daerah cekungan, sehingga
ketinggiannya berada di bawah ketinggian tanah normal. Bisanya daerah dengan kategori ini
banyak terjadi banjir air yang bisa saja berupa banjir bandang atau banjir biasa. Daerah cekungan
ini biasanya memiliki ketinggian muka tanah yang berada di bawah atau sama dengan ketinggian
permukaan laut.
Untuk ciri-ciri daerah rawan banjir yang satu ini masih memiliki hubungan dengan tingkat
ketinggian tanah. Namun, biasanya daerah ini lebih ke berupa daerah penampungan air. Bentuk
daerah yang satu ini bisa saja seperti daerah rawa atau daerah yang berada di kawasan delta
sungai.
Pada dasarnya tidak semua kawasan aliran sungai bisa dikatakan sebagai kawasan rawan banjir.
Ketika kawasan DAS yang masih dalam kondisi normal dan baik maka tidak akan menjadi
kawasan banjir. Namun, ketika terjadi kondisi DAS tersebut rusak dalam kondisi yang kritis dan
parah barulah menjadi kawasan yang rawan banjir.
Ketinggian curah hujan suatu daerah akan sangat berhubungan erat dengan Dinamika perubahan
atmosfer. Daerah dengan kawasan iklim tropis merupakan darah yang cukup tinggi curah
15
hujannya. Indonesia sendiri memiliki beberapa kawasan yang memiliki curah hujan cukup tinggi
jika dibandingkan dengan kawasan daerah lain.
Biasanya hal ini banyak terjadi dan banyak sekali ditemukan pada kawasan perkotaan. Kawasan
dimana sistem drainasi dan sistem penyerapan air oleh tanah sangat berkurang sangat tinggi. Hal
ini biasanya diperparah dengan banyaknya tumpukan sampah yang menghambat laju dari debit
air yang ada. Maka bukan suatu hal yang mengherankan ketika banyak sekali kota-kota besar
yang menghadapi masalah banjir sebagai masalah tahunan.
Daerah pesisir merupakan salah satu daerah dengan ciri-ciri daerah rawan banjir yang bisa kita
temukan. Untuk daerah pada pesisir ini biasanya yang sering terjadi adalah banjir rob. Banjir ini
tidak terjadi dan berhubungan dengan curah hujan. Biasanya lebih dipengaruhi oleh adanya efek
bada tropis yang muncul. Salah satunya adalah dengan timbulnya pergantian iklim.
Muara sungai merupakan salah satu ciri-ciri daerah rawan banjir yang selanjutnya. Biasanya
banjir yang terjadi pada kawasan muara sungai ini sangat dipengaruhi oleh kondisi daerah aliran
sungai tersebut. Ketika terjadi kerusakan pada kawasan tersebut, secara otomatis aliran sungai
akan menjadi terganggu dan dapat menimbulkan banjir yang cukup besar.
Banjir lumpur merupakan salah satu jenis banjir yang sangat mungkin terjadi pada kawasan ini.
Ketika vegetasi pada kawasan tersebut berkurang, maka laju air hujan tidak akan bisa tertahan.
Air yang bercampur dengan lumpur bisa memberikan efek kerusakan yang cukup berbahaya dan
sangat mengkhawatirkan.
Pada kawasan yang satu ini yang sering muncul adalah terjadinya banjir lahar dingin. Banjir
lahar dingin ini akan terjadi ketika puncak gunung mengalami curah hujan yang sangat tinggi.
16
Biasanya banjir yang terjadi akan dibarengi juga dengan membawa bebatuan yang cukup
membahayakan.
Terjadinya banjir menyebabkan rusaknya berbagai sarana dan prasarana umum yang ada. Arus
banjir yang dasyat bahkan dapat menghancurkan rumah dan bangunan-bangunan lainnya.
Bencana ini juga dapat merusak aliran listrik sehingga akan terjadi pemadaman listrik dalam
jangka waktu yang cukup lama. Ketika bencana ini terjadi listrik juga bisa saja konslet dan
menyebabkan banyak aktivitas terhenti, bahkan bisa saja sangat membahayakan nyawa manusia.
Banjir dengan arus yang kuat dapat menyebabkan hanyutnya berbagai macam material yang
berharga bagi pemiliknya. Dalam mengantisipasi adanya kerugian material selama bencana
banjir berlangsung sebaiknya daerah yang rawan terkena bencana ini melakukan rencana
kegiatan-kegiatan mitigasi.
Terjadinya banjir juga akan menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari. Sebagian besar
kegiatan di daerah yang terkena bencana ini tidak akan berjalan dengan normal, contonya adalah
berhentinya kegiatan belajar mengajar di sekolah, tidak beroperasinya sektor-sektor vital
perekonomian, terputusnya akses distribusi darat, dan lain sebagainya. Lumpuhnya kegiatan ini
merupakan salah satu dampak yang menimbulkan suatu kerugian yang sangat besar.
Banjir menyebabkan lingkungan sekitar menjadi kotor dan kumuh. Air akan menggenangi
tempat-tempat sampah dan membuat sampah berserakan. Hal ini tentunya akan memicu
timbulnya banyak bibit penyakit seperti diare, disentri, berbagai penyakit kulit (panu, jamur kulit,
gatal-gatal), dan lain sebagainnya.
17
5. Mengakibatkan Adanya Korban Jiwa
Banjir yang sangat dahsyat dan mendadak akan banyak menimbulkan korban jiwa. Arus air
banjir yang sangat kuat dapat menyebabkan orang hanyut dan tenggelam sehingga banyak
korban meninggal. Rusaknya berbagai sarana dan prasarana publik pun dapat menyebabkan
korban meninggal.
Pengertian Mitigasi
Tujuan Mitigasi
Tujuan dari mitigasi adalah mengurangi suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu
masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi
materi, ekonomik atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk
mengatasi dengan menggunakan sumberdaya‐sumberdaya mereka sendiri. Selain itu mitigasi
juga betujuan untuk menimalisir risiko dan/ atau dampak yang mungkin terjadi karena suatu
bencana, seperti korba jiwa (kematian), kerugian ekonomi, dan kerusakan sumber daya alam,
serta sebagai pedoman bagi pemerintah dalam membuat perencanaan pembangunan di suatu
tempat, dan membantu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi
risiko dan dampak bencana.
Jenis-jenis Mitigasi
18
1. Mitigasi Struktural
Mitigasi struktural adalah upaya mengurangi risiko bencana dengan cara melakukan
pembangunan prasarana fisik dengan spesifikasi tertentu dan memanfaatkan teknologi. Beberapa
contoh penggunaan teknologi misalnya;
2. Mitigasi Non-Struktural
Mitigasi non-struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana yang mungkin terjadi melalui
kebijakan atau peraturan tertentu. Beberapa contoh mitigasi non-struktural adalah;
Berdasarkan siklus waktunya, dalam penanganan bencana terdapat empat kategori, yaitu;
sebelum bencana (mitigasi), saat terjadi bencana (perlindungan dan evakuasi), sesaat setelah
bencana (pencarian dan penyelamatan), pasca bencana (pemulihan).
19
Dari empat kategori penanganan bencana tersebut, kegiatan sebelum terjadinya bencana
(mitigasi) dapat meminimalisir dampak bencana yang terjadi. Mengacu pada arti mitigasi,
adapun beberapa kegiatan dalam mitigasi adalah sebagai berikut:
Bagian terpenting dalam kegiatan mitigasi adalah pemahaman tentang sifat bencana karena
setiap tempat memiliki berbagai tipe bahaya yang berbeda-beda. Misalnya, beberapa negara
sangat sering mengalami gempa bumi, sedangkan negara lainnya sangat rentan terhadap
ancaman banjir.
20
BAB II
PERMASALAHAN
A. Pokok Masalah
Mitigasi untuk menanggulangi bencana alam hidrometeorologi berupa banjir dan tanah
longsor
B. Analisis Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mitigasi?
2. Apa yang dimaksud dengan mitigasi bencana tanah longsor dan banjir?
3. Siapa pihak yang berwenang dalam melaksanakan mitigasi bencana?
4. Bagaimana tahap-tahap pelaksanaan mitigasi bencana tanah longsor dan banjir?
5. Mengapa mitigasi bencana perlu dilakukan?
C. Hipotesis
Pemetaan wilayah serta pemasangan EWS merupakan mitigasi yang tepat untuk bencana
tanah longsor
Pemetaan daerah rawan bencana banjir dan pembangunan sumur resapan merupakan
mitigasi yang tepat untuk bencana banjir
21
BAB III
PEMBAHASAN
22
Mitigasi non struktural terhadap bencana longsor terdiri dari beberapa cara, yaitu pemetaan
terhadap kerawanan bencana longsor di suatu wilayah secara visual, hal ini menjadi data dasar
dalam melakukan pembangunan. Kedua, pemeriksaan yang dilakukan pada saat dan setelah
terjadi bencana untuk mengetahui penyebab dan cara penanggulangannya. Ketiga, pemantauan di
daerah rawan bencana agar diketahui tingkat bahayanya oleh masyarakat setempat. Lalu
sosialisasi dalam memberikan pemahaman kepada Pemerintah Provinsi/Kabupaten dan
masyarakat umum tentang bencana tersebut serta simulasi bencana yang dilakukan saat
mendekati musim hujan bersama para pihak yang terkait kebencanaan.
1. Membangun sistem peringatan dini bencana longsor (EWS) dan memasang alat pemantau
gerakan tanah. Pemasangan EWS dilakukan oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan
Universitas Gadjahmada. Sedangkan alat pemantau gerakan tanah dipasang oleh Badan Geologi.
Pemasangan kedua alat tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir korban jikaaterjadi bencana
tanah longsor.
2. Membangun jalan dengan kontruksi beton, bronjong kawat, membangun saluran air dan
memperkuat lereng di sisi kanan kiri jalan dengan material beton. Pembangunan fasilitas umum
tersebut dilakukan secara bergotong royong. Pembiayaan dilakukan secara swadaya dan dengan
bantuan pemerintah setempat. Membantu masyarakat membangun pos kesehatan permanen pada
area yang rawan terhadap longsor. Pembangunan pos kesehatan terdapat di Dusun Guyon yang
merupakan area yang sangat rawan terhadap longsor.
3. Pembagunan pos kesehatan di lokasi rawan longsor sangat penting agar korban longsor dapat
segera tertolong.
4. Memasang papan peringatan longsor di jalan dan didaerah yang rawan terhadap longsor.
Pemasangan papan peringatan longsor di tepi jalan dilakukan oleh Dinas Perhubungan
bekerjasama dengan kepolisian. Sedangkan pemasangan papan peringatan rawan longsor di
kawasan hutan dilakukan oleh PT. Perhutani.
23
5.Membangun tempat-tempat evakuasi. Masyarakat memanfaatkan masjid, balai desa dan
sekolah sebagai tempat evakuasi sementara. Jika terjadi bencana pemerintah bekerja sama
dengan stakeholder yang lain membagun tenda-tenda darurat dan dapur umum.
Mitigasi non structural terhadap bencana banjir, yaitu pemetaan untuk daerah rawan banjir
disertai dengan rute pengungsian, lokasi posko, dan lokasi pengamat banjir. Membuat prosedur
operasi standar bencana banjir untuk tahap darurat yang nantinya melibatkan semua anggota
yang bertujuan untuk mengidentifikasi daerah rawan banjir, rute evakuasi, dan mempersiapkan
peralatan evakuasi. Lalu, pengamatan atau evaluasi tempat rawan banjir sehingga apabila ada
tanggul yang tidak kuat dapat diperbaiki. Selain itu, mengadakan pelatihan dan penyuluhan
untuk melatih, mendidik, memberikan pelatihan kepada masyarakat akan bahaya banjir serta
pelatihan lapangan. Pembuatan atau pembentukan LSM yang bergerak di bidang kepedulian
terhadap bencana alam terutama banjir juga sangat berpengaruh dalam meningkatkan kesadaran
untuk selalu siap apabila bencana tersebut terjadi.
24
bertujuan untuk menampung, menyimpan, dan menambah cadangan air tanah serta dapat
mengurangi limpasan air hujan ke saluran pembuangan dan badan air lainnya, sehingga dapat
dimanfaatkan pada musim kemarau sekaligus mengurangi peluang timbulnya banjir.
25
Bendungan kering (Dry dam) adalah bangunan bendung yang dibangun untuk mengontrol
banjir. Biasanya tidak mengandung turbin ataupun pintu air, dan ditujukan untuk membiarkan
saluran (sungai dsb) untuk mengalir dengan bebas selama kondisi normal. Pada periode
dengan curah hujan tinggi yang berpotensi menimbulkan banjir, bendungan ini menahan
kelebihan air dan mengalirkannya secara terkontrol. Pengembangan dry dam dirintis oleh
Miamy Conservancy District yang membangun lima dam pada Sungai Miami Raya (Great
Miami River) untuk mencegah banjir di lembah Miami dan Dayton, Ohio.
Mitigasi Nonstruktural yang Tepat Untuk Bencana Tanah Longsor berupa Pembuatan
Peta Wilayah Rawan Tanah Longsor
Berdasarkan analisis Peta Rupa Bumi Indon1esia dari Bakosurtanal dengan skala 1 : 25.000
kondisi Topografi suatu wilayah dapat dikelompokkan kelerengannya menjadi 15 o – 30 o , 30 o –
45 o dan >45o , semakin besar sudut kelerengan maka kondisi tanah semakin tidak stabil dari segi
mekanika batuan tetapi belum tentu rawan longsor. Untuk menduga suatu daerah rawan longsor
peta kelerengan tersebut di tumpang-tindihkan dengan tata guna lahan, jika daerah
tersebuttanahnya kritis/gundul maka peluang longsor semakin tinggi. Hasil peta selanjutnya
ditumpang-tindihkan dengan kondisi batuan dan struktur geologi, jika batuan lapuk atau lunak
atau adanya struktur sesar/patahan maka peluang longsor makin besar.Hasil peta selanjutnya di
tumpang-tindihkan dengan peta hujan / Isohyet jika curah hujan > 2000 mm/tahun maka pemicu
terjadinya longsor semakin jelas di depan mata, tinggal cek di peta apakah zonasi tersebut dekat
pemukiman / infrastruktur atau jika longsor berada pada jalur longsor. Sebagai mekanisme ricek
dilakukan pemetaan lapangan untuk memastikan kondisi sebenarnya apakah kondisi sebenarnya
sangat rawan longsor atau baru berpotensi longsor.
26
Peta Jenis Tanah
Peta curah hujan
Peta Penggunaan Lahan.
Informasi yang diperlukan berupa peta kontur, peta geologi, peta landsystem, peta penggunaan
lahan, peta tanah, peta iklim (curah hujan). Dari peta-peta tersebut dilakukan
teknik overlay dan skoring dengan bantuan software GIS. Dalam kegiatan ini, dilakukan
analisa data berdasarkan data yang tersedia dengan memperhatikan faktor – faktor pemicu
terjadinya bencana. Faktor-faktor yang diperhitungkan disini adalah :
1. Faktor kelerengan
2. Faktor geologis
3. Faktor litologis
5. Faktor patahan
6. Faktor jalan
7. Faktor pemukiman
Hasil dari estimasi longsor ini diklasifikasikan menjadi 5 kelas. Yaitu kelas longsor sangat
rendah, rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi. Pembagian kelas ini dengan melihat sebaran nilai
27
yang dihasilkan dari perhitungan kemudian dibagi secara merata menjadi 5 bagian, nilai dapat
dilihat pada Tabel berikut.
Mitigasi struktural yang tepat untuk bencana tanah longsor berupan Pemasangan Alat
Pendeteksi Dini Bencana Longsor (Early Warning System)
Bencana longsor mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit dan bahkan dapat menimbulkan
korban jiwa, terdapat banyak titik rawan longsor yang masih belum dipasangkan dengan Early
Warning System (EWS). Alat ini berfungsi untuk memberikan sinyal tanda bahaya jika
terjadinya longsor.
28
Pemantauan dengan menggunakan EWS juga bisa digunakan untuk longsor, dipasangkan alat ini
dapat mengetahui tekanan pori tanah, pergeseran tanah dan kemiringan tanah. Untuk mengetahui
tekanan pori tanah dan pergeseran yang terjadi bisa dilakukan dengan menggunakan sensor
Inclinometer sedangkan untuk permukaan tanah dipasangkan sensor Tiltmeter untuk mengetahui
kemiringan pada lereng.
Cara Kerja EWS sangat sederhana, sinyal EWS akan bekerja mengirimkan tanda ketika kondisi
tanah sudah akan melewati batas aman yang telah ditentukan. Pengawas yang ada di pos
pemantau akan memberikan sinyal tanda bahaya melalui radio, pesan singkat maupun sosial
media kepada masyarakat. Peringatan awal ini akan memberikan waktu bagi masyarakat untuk
dapat segara pindah ke tempat aman menyelamatkan diri. Sehingga ketika bencana longsor
terjadi area tersebut sudah aman dan tidak menyebabkan korban jiwa. Selain untuk bencana alam,
pemasangan EWS juga bisa digunakan untuk pekerjaan proyek yang sangat beresiko tinggi untuk
menghindari terjadi kecelakaan pada saat bekerja. Pemasangan EWS dibantu dengan
menggunakan sensor Tiltmeter untuk memantau batas aman kemiringan bangunan.
Mitigasi Nonstruktural yang Tepat Untuk Bencana Banjir berupa Pembuatan Peta
Wilayah Rawan Banjir
29
Karakteristik DAS sangat dipengaruhi pula oleh letaknya di dalam DAS itu sendiri. Untuk
daerah hulu dengan alur sungai yang relatif curam dan bukit-bukit terjal, maka banjir dengan
waktu datang sangat singkat sering terjadi. Namun di daerah ini banjir akan datang dengan waktu
yang singkat, demikian pula dengan waktu berakhirnya, karena elevasi daerah yang relatif lebih
tinggi sehingga air banjir dengan mudah mencari alur keluar. Untuk daerah tengah banjir yang
terjadi datangnya tidak secepat pada daerah hulu, demikian pula air banjir biasanya masih mudah
untuk diatuskan keluar daerah dengan gaya beratnya sendiri. Pada derah hilir, kemiringan dasar
sungai maupun kemiringan tanah di kawasan ini biasanya sangat kecil dan relatif datar. Biasanya
waktu datang banjir cukup lama, namun pengatusan air genangan juga mengalami kesulitan. Hal
ini biasanya disebabkan oleh energi air yang sudah kecil, sehingga air genangan tidak mungkin
diatuskan dengan gaya berat. Jika kondisi ini dibarengi dengan pasang surut air laut pada kondisi
tinggi, maka pengatusan air tanpa bantuan pompa, hampir tidak mungkin. Pada daerah ini,
penanganan banjir harus mengintegrasikan pengaruh aliran banjir di sungai dengan
hidrodinamika gerakan pasang surut di laut (Luknanto, 2002).
Metode pemetaan banjir di pedesaan maupun perkotaan daerah hulu maupun hilir yang
relatif dangkal, menggunakan data sekunder peta geologi skala 1 : 100.000 sebagai dasar
pengenalan jenis batuan secara regional. Selanjutnya dengan analisis peta topografi skala 1 :
25.000 di studio untuk memperkirakan zona banjir dari sebuah sungai berstadia dewasa
(berkelok-kelok) berdasarkan sebaran dataran banjirnya. Dengan bekal peta dasar minimal skala
1 : 25.000 dilakukan survai geologi lapangan untuk mencari data primer berupa : tebal endapan
aluvial di tebing, jenis endapan aluvial di tebing, bentuk fragmen batuan, lebar dan sebaran
dataran banjir, jenis sedimen di dalam alur sungai, kelerengan sungai.
Pada lembah sungai yang dalam apalagi kelerengan dasar sungai masih cukup besar
umumnya tidak mempunyai dataran banjir, karena air sungai tidak pernah melimpas ari bibir
sungai, tetapi yang ada adalah teras-teras sungai yang terjadi secara alami atau buatan manusia
30
untuk pemukiman. Endapan teras secara geologi adalah sedimen yang diendapkan di kiri-kanan
sungai, di dalam bantaran dan prosesnya terjadi saat muka air sungai tinggi ketika ada kenaikan
debit.
Untuk memetakan posisi dan koordinat pemukiman yang ada di bantaran sungai secara
cepat, lebih efektif menggunakan interpretasi citra IKONOS / QUICKBIRD atau FOTO
UDARA dengan skala 1 : 1000 – 1 : 10.000. Daerah pemukiman yang diperkirakan terkena
banjir ditumpang tindihkan dengan kontur tinggi banjir tertentu yang di dapat dari perhitungan
hidrologi dengan kala ulang tertentu. Kontur tinggi banjir tertentu harus di cek di lapangan
karena akurasi kontur dari citra belum tentu benar.
Metode pemetaan banjir yang efektif adalah hasil perhitungan hidrologi di uji silang
dengan survey geologi lapangan terhadap teras sungai, yang di amati adalah : ketinggian endapan
teras, tebal endapan, jenis endapan diplot pada peta dasar 1 : 1000 sampai 1 : 10.000. Pada banjir
yang masih baru terjadi, yaitu kejadiannya 1-3 tahun yang lalu biasanya indikator sampah yang
tersangkut di bambu/tebing masih bisa terlihat sebagai data pengontrol bagi hasil wawancara
dengan masyarakat.
Data yang dibutuhkan adalah data peta kontur dari peta rupa bumi indonesia skala 1 : 25.000 dan
peta DAS mencakup seluruh daerah Kabupaten Kutai Kertanegara.
Model data yang digunakan adalah data Digital Elevation Model (DEM). DEM ini dibuat dengan
interpolasi data digital kontur. DEM merupakan data raster atau grid yang merepresentasikan
ketinggian diatas permukaan laut.
Dari data tersebut, dapat diturunkan berbagai macam data. Yaitu, slope (kelerengan), flow
direction (arah aliran), flow accumulation (akumulasi aliran), stream power index (index
kekuatan aliran) dan wetness index (index kebasahan).
Topographic Wetness index (index kebasahan) yang telah dibuat diklasifikasi menjadi tingkat
kerawanan banjir. Klasifikasi yang dilakukan menjadi 5 kelas dengan, yaitu kelas sangat rawan,
rawan, agak rawan, potensial rawan dan tidak rawan.
31
Tidak Rawan 5.01 – 7.37
Potensial Rawan 7.37 – 9.73
Agak Rawan 9.73 – 12.091
Rawan 12.091 – 14.451
Sangat Rawan 14.451 – 16.812
Sumur resapan menurut Dwi et al. (2008) merupakan sumur atau lubang pada permukaan tanah
yang digunakan untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah. Berdasarkan
Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 68 Tahun 2005, pembuatan sumur resapan bertujuan untuk
menampung, menyimpan, dan menambah cadangan air tanah serta dapat mengurangi limpasan
air hujan ke saluran pembuangan dan badan air lainnya, sehingga dapat dimanfaatkan pada
musim kemarau sekaligus mengurangi peluang timbulnya banjir. Menurut Standar Nasional
Indonesia (SNI), ada beberapa persyaratan umum dalam membangun atau membuat sumur
resapan.
Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan:
1. Sumur resapan harus berada pada lahan yang datar, tidak pada tanah berlereng, curam atau
labil.
2. Sumur resapan berjarak minimal 5 meter dari tempat penimbunan sampah dan septic
tank dan berjarak minimal 1 meter dari fondasi bangunan.
3. Kedalaman sumur resapan bisa sampai tanah berpasir atau maksimal 2 meter di bawah
permukaan air tanah. Kedalaman muka air (water table) tanah minimum 1,50 meter pada
musim hujan.
4. Struktur tanah harus mempunyai permeabilitas tanah (kemampuan tanah menyerap air)
minimal 2,0 cm per jam yang berarti dalam satu jam mampu menyerap genangan air setinggi
2 cm.
Bentuk sumur resapan dapat berupa segi empat atau silinder dengan kedalaman tertentu dan
dasar sumur terletak di atas ketinggian muka air tanah.
32
Cara Membuat Sumur Resapan:
1. Buat lubang sumur dengan diameter 80 - 100 cm sedalam 1,5 m. Perlu diperhatikan supaya
kedalaman ini tidak mencapai atau melebihi muka air tanah.
2. Perkuat dinding sumur, gunakan buis beton, pasangan bata kosong (tanpa plesteran) atau
pasangan batu kosong. Hal ini supaya menjaga agar dinding sumur tidak gugur dan longsor.
3. Buatlah saluran water inlet yang mengalirkan air hujan dari talang air ke dalam sumur
resapan dengan menggunakan pipa paralon.
4. Buatlah saluran pembuangan water outlet dari sumur resapan menuju selokan. Saluran ini
berfungsi mengeluarkan limpahan air saat sumur resapan kelebihan air. Ketinggian pipa
pembuangan harus lebih tinggi dari ketinggian permukaan air pada selokan. Hal ini supaya
saat hujan deras, air selokan tidak mengalir masuk sumur resapan.
5. Isilah bagian bawah sumur resapan air dengan koral setebal 15 cm.
6. Tutup bagian atas sumur resapan dengan plat beton. Di atas plat beton ini dapat diurug
dengan tanah.
1. Penutup Sumur
a. Pelat beton bertulang setebal 10 cm, yang merupakan campuran satu bagian semen, dua bagian
pasir, dan tiga bagian kerikil.
33
b. Pelat beton tidak bertulang setebal 10 cm, yang merupakan campuran dengan perbandingan
yang sama, berbentuk cubung dan tidak diberi beban di atasnya atau Ferocement (setebal 10 cm).
Untuk dinding sumur dapat digunakan buis beton. Dinding sumur bagian atas bisa menggunakan
batu bata merah, batako, campuran satu bagian semen, empat bagian pasir, diplester dan diaci
semen.
3. Pengisi Sumur
Pengisi sumur dapat berupa batu pecah ukuran 10 - 20 cm, pecahan bata merah ukuran 5 - 10 cm,
ijuk, serta arang. Pecahan batu tersebut disusun berongga.
Dapat menggunakkan pipa PVC berdiameter 110 mm, pipa beton berdiameter 200 mm, dan pipa
beton setengah lingkaran berdiameter 200 mm.
34
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kejadian bencana hidrometeorologi khususnya bencana banjir dan tanah longsor yang
terjadi di kawasan rawan bencana di Indonesia cukup tinggi. Bencana ini juga menimbulkan
berbagai macam dampak negatif terhadap masyarakat sekitar yang mempengaruhi seluruh segi
kehidupan mereka. Untuk itu, mitigasi bencana perlu dilakukan agar dapat mengurangi dampak
bencana yang ditimbulkan.
Mitigasi bencana dibagi menjadi dua, yaitu Mitigasi Struktural dan Mitigasi Non-
struktural. Mitigasi struktural adalah upaya mengurangi risiko bencana dengan cara melakukan
pembangunan prasarana fisik dengan spesifikasi tertentu dan memanfaatkan teknologi.
Sedangkan Mitigasi non-struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana yang mungkin
terjadi melalui kebijakan atau peraturan tertentu.
Alternatif penyelesaian yang dipilih untuk mitigasi bencana tanah longsor adalah Mitigasi
Nonstruktural yang tepat untuk bencana tanah longsor berupa pembuatan peta wilayah rawan
tanah longsor dan juga Mitigasi struktural berupa Pemasangan Alat Pendeteksi Dini Bencana
Longsor (Early Warning System). Dan untuk bencana banjir, alternatif penyelesaian masalah
yang dipilih adalah Mitigasi Nonstruktural berupa Pembuatan Peta Wilayah Rawan Banjir serta
pembuatan sumur resapan.
B. Saran
Pemerintah dapat menambah logistik manajemen bencana pada masing – masing jenis
penanganan bencana seperti menambah alat deteksi bencana longsor. Serta melibatkan
masyarakat secara aktif dalam penaggulangan bencana, memberikan informasi yang baik kepada
masyarakat yang mendiami suatu wilayah rawan bencana, serta memberikan pendidikan yang
baik dalam melakukan penanganan bencana. Menambah alokasi dana untuk melaksanakan
semua rangakaian proses manajemen penanggulangan bencana juga sangat penting, alokasi dana
35
terdiri dari pencegahan, tanggap darurat serta pasca bencana di daerah rawan bencana, serta
dapat menyiapkan anggaran siap pakai untuk penanganan bencana saat tanggap darurat.
Pemerintah juga dapat menambah kualitas pengetahuan para sumber daya manusia yang
dimiliki oleh BPBD yang ada di Indonesia, dengan cara memberi pelatihan ataupun pendidikan
manajemen penanggulangan bencana dari ahli yang berkompeten ataupun mengirim para
personel yang dimiliki untuk menimba ilmu kepada instansi penanggulangan bencana di negara
lain yang pernah menghadapi bencana dalam lingkup internasional. Memperjelas tugas pokok
dan fungsi dari masing – masing dinas atau instansi yang terlibat dalam penanggulangan bencana
juga sangat penting, karena beberapa dinas ataupun instansi yang terlibat belum seluruhnya
mengetahui apa yang menjadi tugas mereka dalam penanggulangan bencana serta menambah
jaringan BPBD dalam hal mitigasi bencana, seperti Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas
Pendidikan dan BPPLH dengan tujuan untuk memperkuat pencegahan bencana yang dilakukan
oleh BPBD setempat.
36
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Amni Zarkasyi. 2015. Kajian Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Kabupaten
Banjarnegara. Jurnal Manajemen dan Kebijakan Publik. Gema Publica. Diakses pada tanggal 9
Desember 2018.
Setiawan, Heru. 2015. Kajian Bentuk Mitigasi Bencana Longsor Dan Tingkat Penerimaannya
Oleh Masyarakat Lokal. Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Makassar. Diakses pada tanggal 9 Desember 2018.
37
Karnawati, D. Syamsul, M. Teuku, F. Wahyu, W. 2012. Development of Socio-Technical
Approach for Landslide Mitigation and Risk Reduction Program in Indonesia. www.seed-
net.org/download/C1-1_Paper3.pdf. Diakses pada tanggal 9 Desember 2018.
Hadmoko DS, Lavigne F, Sartohadi J, Hadi P,Winaryo (2010) Landslide Hazard and risk
assessment and their application in risk management and landuse planning in eastern flank of
Menoreh Mountains, Yogyakarta Province, Indonesia. Natural Hazards 54(3): 623 – 642.
Diakses pada tanggal 9 Desember 2018.
38