Anda di halaman 1dari 51

Referat

EMERGENSI PADA LUKA BAKAR

Disusun Oleh:

Nurul Yuli Permata Sari, S.Ked 04084821820046

Beverly Ann D Silva, S.Ked 04084841820005

Pembimbing:

dr. Iqmal Perlianta, Sp.BP-RE

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG PERIODE 29 JULI - 23 SEPTEMBER 2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat:
LUKA BAKAR EMERGENSI

Oleh:
Nurul Yuli Permata Sari, S.Ked 04084821820046
Beverly Ann D Silva, S.Ked 04084841820005

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 29 Juli s.d. 23
September 2019.

Palembang, Agustus 2019

dr. Iqmal Perlianta, Sp.BP-RE

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................2
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................47
BAB I
PENDAHULUAN

Luka bakar dapat dialami oleh siapa saja, dan dapat terjadi dimana saja. Baik itu
dirumah, tempat kerja, bahkan di jalan atau di tempat-tempat lain. Penyebab luka bakar
pun bermacam-macam bisa berupa api, cairan panas, uap panas bahkan kimia, aliran listrik
dan lain-lain.
Luka bakar adalah masalah kesehatan publik yang menyebabkan kematian hingga
195.000 jiwa. Sebagian besar korban luka bakar terbanyak di Negara dengan sosioekonomi
menengah kebawah terutama bagian Asia. Di Negara berkembang, kematian akibat luka
bakar telah mengalami penurunan dan kematian anak akibat luka bakar mengalami
penurunan sebanyak 7 kali daripada Negara yang sedang berkembang.
Wanita mengalami luka bakar lebih banyak daripada pria. Wanita di Asia Tenggara
mengalami luka bakar lebih sering 27% daripada Negara lainnya dan 70% lebih banyak
daripada wilayah sekitarnya. Frekuensi tersebut kebanyakan disebabkan oleh ledakan
kompor gas. Selain wanita, anak anak sering mengalami luka bakar. Anak-anak usia 1-9
tahun memiliki resiko tinggi terkena luka bakar.
Faktor resiko lainnya adalah tingginya pajanan terhadap api, wilayah padat
penduduk, merokok, pemakaian cairan kimia, pemakaian kompor gas dan alat-alat listrik
yang tidak benar.
Dua puluh tahun yang lalu, orang dewasa yang mengalami 50% luka bakar
mempunyai kesempatan untuk bertahan hidup kurang dari 50%. Pada saat ini orang dewasa
dengan luka bakar seluas 75% mempunyai kesempatan untuk hidup 50% dan ini bukan hal
yang luar biasa jika pasien mendapatkan perawatan yang serius di unit perawatan khusus
luka bakar.1
Pendapat diatas tidak akan terwujud tanpa adanya penanganan yang cepat dan tepat
terhadap luka bakar untuk mencegah komplikasinya. Penanganan pada luka bakar
tergantung pada usia, keadaan, letak dan luasnya luka bakar. Diperlukan penanganan
intensif yang mengacu pada fisiologi cairan dan elektrolit, pencegahan infeksi,
pemeliharaan nutrisi, perawatan terhadap luka bakar.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Dalam ilmu kedokteran luka bakar disebut dengan “combustion” dari bahasa
latin atau “combustion” dalam bahasa inggris kuno dan “burn injury” dalam bahasa
inggris modern. Secara istilah luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan dan atau
kehilangan jaringan yang mengenai lapisan epidermis, dermis, dan lemak yang
disebabkan oleh kontak dengan sumber termis yang memiliki suhu sangat tinggi
(misalnya api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi) atau suhu yang sangat
rendah).1

2.2 EPIDEMIOLOGI

Luka bakar adalah bentuk umum dari trauma. Sebagian luka bakar terjadi
akibat kecelakaan murni, tetapi sebagian besar disebabkan oleh kelalaian atau
kurangnya perhatian, kondisi medis yang sudah ada (kondisi yang menyebabkan
pasien kolaps), atau penderita penyalahgunaan alkohol dan narkoba.

Sekitar 1% dari penduduk Australia dan Selandia Baru (220. 000) menderita
luka bakar dan membutuhkan perawatan medis setiap tahunnya. Dari mereka, 10%
memerlukan rawat inap, dan 10% dari tergolong luka bakar berat yang mengancam
jiwa. 50% pasien mengalami keterbatasan dalam kegiatan kehidupan sehari–hari.
(Sumber 2001 Survei Kesehatan Nasional Australia). Luka bakar 70% mungkin
menghabiskan biaya 700. 000 dolar untuk perawatan fase akut, belum termasuk biaya
rehabilitasi, cuti kerja, dan hilangnya kesempatan mendapatkan penghasilan. Baik
pada dewasa maupun anak–anak, umumnya kecelakaan terjadi di rumah. Pada anak–
anak, lebih dari 80% terjadi di rumah. Lokasi paling berbahaya adalah dapur dan

2
kamar mandi. Selain itu, larutan pencuci yang mengandung bahan kimia berbahaya,
dan garasi atau gudang berisi bahan kimia dan cairan berbahaya yang mudah terbakar.

2.3 ETIOLOGI

Kulit merupakan organ tubuh terbesar, dengan luas area 0.25 m 2 pada bayi baru
lahir hingga 1.8m2 pada orang dewasa. Organ ini memiliki peran yang sangat penting
dalam perlindungan tubuh terhadap lingkungan baik bakteri maupoun zat- zat kimia.
Secara mikroskopis kulit terdiri dari dua lapisan yaitu epidermis dan dermis, dimana
lapisan dalam epidermis merupakan bagian yang aktif secara metabolic untuk
melakukan replikasi setiap dua minggu. Lapisan dermis terdiri dari pembuluh darah,
persarafan dan apendigus epitel yang juga berfungsi untuk mengatur hilangnya cairan
dari tubuh, selain itu kulit juga memproduksi vitamin D yang dengan bantuan sinar
matahari.15

Luka bakar terjadi karena adanya kontak tubuh dengan sumber termis dimana
kulit merupakan organ pertama yang akan terkena. Sumber termis disini bukan hanya
api atau panas, namun ada beberapa hal seperti:

2.3.1 Luka bakar karena api dan atau benda panas lainnya (“burn”)

Luka bakar api dibagi menjadi dua bagian, luka bakar api ledakan dan luka
bakar api bukan ledakan.8 Api yang menyala merupakan penyebab tersering dari
luka bakar, biasanya berasal dari api rumah, api unggun, dan pembakaran daun
atau sampah.6 Ledakan api juga merupakan sumber yang cukup umum dan
biasanya berasal dari hasil pembakaran propana atau bensin.6 Luka bakar akibat
api merupakan penyebab tersering kematian akibat luka bakar, sementara luka
bakar akibat cairan panas merupakan penyebab tersering kedua. 8 Pada luka bakar

3
akibat api, jika pakaian pasien ikut terbakar, biasanya luka bakar yang terjadi
adalah dengan ketebalan yang penuh.6 Luka bakar akibat api ledakan biasanya
melukai kulit yang terlihat (paling sering wajah dan ekstremitas) dan biasanya
mengakibatkan luka bakar ketebalan parsial.6

2.3.2 Luka bakar karena minyak panas

2.3.3 Luka bakar karena air panas (scald)

Luka bakar akibat cairan panas merupakan etiologi tersering dari luka bakar
pada populasi sipil.6 Luka bakar akibat cairan panas dibagi menjadi tiga, yaitu
akibat cairan kental yang panas, akibat cairan encer yang panas, serta akibat uap
panas, dan luka bakar akibat cairan encer yang panas yang dibagi lagi menjadi
dua, yaitu akibat tumpahan cairan panas dan akibat tercelupnya ke dalam cairan
yang panas.8 Kedalaman dari luka bakar akibat cairan panas tergantung dari
temperatur dari cairan, durasi kontak cairan panas dengan kulit, dan viskositas
cairan (biasanya terjadi kontak yang lebih lama pada cairan yang lebih kental). 6,9
Hal ini penting untuk diperhatikan pada penderita yang sangat muda atau sangat
tua dimana dermis yang ada lebih tipis dari biasanya.9 Jika diterapkan untuk
waktu yang cukup lama, air pada suhu 45 C akan menyebabkan kerusakan
ketebalan penuh. Hal ini sering menjadi mekanisme luka bakar tragis di masa
kanak-kanak.9

2.3.4 Luka bakar karena bahan kimia yang bersifat asam kuat dan basa kuat
(chemical burn)

Tangan dan tubuh bagian atas merupakan area yang paling sering mengalami
cedera dan biasanya terjadi pada populasi sipil karena sangat berhubungan erat
dengan kehidupan sehari- hari.

4
Zat kimia ini dapat bersifat asam maupun basa, tingkat keparahan kerusakan
jaringan tergantung pada kekuatan atau konsentrasi agen, kuantitas agen, cara
dan lamanya kontak dengan kulit/ kontak mukosa, daya penetrasi ke dalam
jaringan, dan mekanisme kerja. perbedaan utama luka bakar termal dan kimia
adalah lamanya waktu kerusakan jaringan berlanjut setelah kontak sehingga perlu
dinonaktifkan menggunakan bahan penetral atau pengenceran menggunakan air.
Cedera sel pada keadaan ini terjadi karena berbagai reaksi kimia seperti asam
yang menghasilkan nekrosis koagulasi, alkali menghasilkan nekrosis likuifaktif,
vesicantsi menyebabkan nekrosis iskemia dan anoksia sehingga terbentuknya
bula dan semuanya akan menyebabkan koagulasi protein melalui proses oksidasi,
korosif atau penggaraman protein.

Toksisitas sistemik beberapa zat kimia dapat memberikan gambaran berupa


hipokalsemia, kerusakan sel hati dan ginjal, cedera inhalasi, methemoglobinemia
dan hemolysis massif serta perforasi septum nasi. Berbeda dengan luka bakar
lain, zat kimia mempunyai banyak port de entry sehingga terdapat komplikasi
anatomic khusus seperti pada gastrointestinal, mata dan saluran trakeobronkus.

2.3.5 Luka bakar karena listrik dan petir (electric burn/electrocution/


lightning)

Pada kelompok ini luka bakar dibagi menjadi tiga bagian (tabel X). kerusakan
jaringan pada luka bakar listrik terjadi karena panas yang dihasilkan oleh adanya
resistensi jaringan, durasi kontak dan besar arus listrik. Setiap jaringan
menujukkan perbedaan karakteristik resistensi listrik sesuai dengan isi
elektrolitnya. Resistensi kulit bervariasi berdasarkan ketebalan, serta basah atau
keringnya kulit. Kulit tebal dan kering memiliki resistensi yang tinggi
dibandingkan kulit tipis dan lembab. Tingginya suhu yang dihasilkan konduktor
tergantung pada panas yang melampaui konduktor tersebut melalui proses
konduksi, konveksi dan radiasi. Tulang merupakan konduktor yang buruk

5
sehingga listrik melampaui tulang sebagai suatu konduktor yang menyebabkan
kenaikan suhu bermakna karena panas akan diserap. kenaikan suhu ini akan terus
berlanjut bahkan setelah listrik behenti dan mengakibatkan kerusakan sekunder
(the joule effect), panas akan dilepas perlahan dan menyebabkan kerusakan pada

periosteum, otot dan saraf sekitarnya.

Pada cedera tegangan tinggi akan terjadi proses arcing (loncatan arus listrik)
Kulit Kedalaman Gangguan
Tegangan
jaringan irama jantung
Luka masuk dan Jarang mencapai Henti jantung

Rendah (<1000V) luka keluar kedalaman atau tidak ada


sama sekali

Luka bakar Kerusakan otot Aliran melalui


percikan api dan rabdomiolisis toraks dapat
dengan luka dan sindroma menyebabkan
masuk dan keluar kompartemen kerusakak
Tinggi (>1000V)
mencapai seluruh miokardial dan
ketebalan kulit gangguan
(full thickness) ritmik yang
timbul lambat
Luka bakar Perfirasi gendang Henti napas
percikan api telingan dan dan resusitasi
superfisial atau kerusakan kornea berkepanjangan
Sambaran petir
sedalam dermal.
luka bakar keluar
di kaki
pada sendi seperti pergelangan tangan dan siku yang menyebabkan kulit menjadi
gosong dan luka dalam.

6
Luka keluar pada kaki atau telapak tangan terjadi karena tingginya resistensi dan
ketebalan kulit yang menghasilkan panas tinggi.

2.3.6 Luka bakar karena radiasi

Luka bakar radiasi dapat disebabkan oleh sinar matahari.Sering berhubungan


dengan pekerjaan, seperti nelayan dan peselancar, serta aktivitas seperti berjemur
di bawah sinar matahari langsung tanpa pelindung kulit yang mengandung spf.8

2.3.7. Luka bakar karena ledakan yang harus disebutkan penyebab


ledakannya misalnya bom,tabung gas, dll

2.3.8 Trauma akibat suhu sangat rendah (frost bite)

2.4 PATOFISIOLOGI

Pada prinsipnya kerusakan yang terjadi akibat luka bakar merupakan hasil dari
proses nekrosis koagulasi jaringan yang mengalami luka bakar terdiri dari tiga zona
yang berbeda menurut Jackson, yang pertama adalah zona nekrosis koagulatif yang
disebabkan oleh panas yang tidak dapat dikonduksi secara baik sehingga terjadi
koagulasi protein sel serta tidak ada aliran darah kapiler yang menyebabkan kematian
sel secara cepat dan bersifat irreversible. Zona yang berada di sekelilingnya
merupakan zona injury atau stasis yang ditandai dengan aliran darah kapiler yang
lemah serta terjadi gangguan mikrosirkulasi, terjadi kerusakan sel namun jaringannya
masih viable tapi kerusakan ini dapat terjadi lebih lanjut akibat produk-produk
inflamasi seperti oxidant dan mediator vasokonstriktor, selain itu faktor lingkungan
seperti hipoperfusi, pengeringan atau infeksi juga dapat menyebabkan jaringan

7
menjadi nekrosis dalam 3-5 hari pasca luka bakar, proses ini dinamakan “wound
conversion” atau degradasi luka. Zona ketiga adalah hyperemia yang merupakan
respon jaringan sehat atau dengan kerusakan minimal terhadap proses inflamasi yaitu
berupa vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Zona hyperemia ini dapat
terjadi di seluruh tubuh jika luas luka bakar melebihi 10% pada anak dan 20% pada
dewasa.

Hilangnya cairan dan protein intravaskuler terjadi secara cepat pada kapiler yang
rusak akibat panas dalam 6-8 jam pertama dan integritas kapiler akan kembali normal
dalam 36-48 jam. peningkatan permeabilitas vascular juga terjadi pada jaringan yang
sehat, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya pelepasan mediator- mediator
vasoaktif. peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan transport zat melalui
difusi, filtrasi dan transport molekul ke extravaskular

Respon sistemik akan muncul pada kondisi luka bakar yang luas dimana akan terjadi
pelepasan oxidant dan mediator- mediator inflamasi lainnya ke jaringan yang sehat
sehingga akan terjadi penurunan energy dan membrane potensial sel secara
menyeluruh. Hal ini akan menyebabkan pindahnya natrium dan air dari ekstrasel
menuju intrasel sehingga terjadi kondisi hypovolemia seiring dengan keadaan
hipoalbuminemia.

Respon metabolic tubuh teraktivasi oleh sitokin proinflamasi dan oxidant yaitu
berupa sekresi katekolamin, cortisol, glucagon, renin-angiotensin, antidiuretic
hormone, dan aldosterone. Awalnya energy akan dibentuk dari hasil pemecahan
glikogen melalui proses glikolisis anaerob, hipermetabolisme dan katabolisme terjadi
pada periode postburn yang ditandai dengan peningkatan metabolic rate dua kali dari
basal rate serta hilangnya komponen lean body mass ( >1 pound otot per hari) secara
cepat pada luka bakar yang parah. Hal ini juga akan diperparah oleh faktor- faktor
lingkungan seperti nyeri, dingin, sepsis. Di minggu pertama metabolic rate dan
konsumsi oksigen mengalami peningkatan progressive dari awal resusitasi hingga

8
luka menutup smpai tidak ada ada lagi proses inflamasi yang terjadi. peningkatan
katekolamin dan sekresi kortisol yang terus terjadi diduga merupakan faktor utama
dimana hal ini akan meningkatkan sitokin proinflamasi dan endotoksin yang diserap
dari luka atau usus.

Hilangnya cairan melalui proses evaporasi dari luka bisa mencapai 300ml/m2/jam
yang akan menghilangkan panas sebanyak 580kcal/L air yang terevaporasi.
peningkatan katekolamin dan kortisol dalam sirkulasi yang terjadi secara persisten
akan menstimulasi gluconeogenesis dan pemecahan protein yang berlebih dimana
katabolisme protein, intoleransi glukosa akan mengakibatkan hilangnya total berat
tubuh.

Kondisi imunologi pada pasien luka bakar biasanya akan mengalami gangguan
dimana kadar serum IgA, IgM, dan IgG akan mengalami penurunan yang
menandakan adanya penurunan fungsi sel-B begitu juga dengan sel-T. Hal ini
merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi. Terjadi penekanan aktivitas
kemotaktik dari sel polimorfonuklear sehingga terjadi gangguan dalam pembunuhan
bakteri disertai penurunan konsumsi oksigen yang akan memacu terjadinya sepsis
dalam beberapa hari.

Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu:

1. Fase awal, fase akut, fase syok


Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran
nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar
melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi
seperti keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal
ini merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase
pertama dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)

9
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan.
Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik,
kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur
tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama

2.5 KLASIFIKASI

2.5.1 Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan (luka)

Dalamnya kerusakan jaringan akibat luka bakar ditentukan oleh beberapa faktor
seperti penyebab luka dan lama kontak dengan sumber termis. Kerusakan jaringan
terparah biasanya disebabkan oleh sumber listrik dan zar kimia serta lamanya kontak
dengan sumber. Kedalaman kerusakan jaringan ini menjadi dasar pembagian derajat
keparahan luka bakar, yaitu:

 Luka bakar derajat I (1o)

Kerusakan jaringan terbatas pada bagian superfisial epidermis dimana


dermal-epidermal junction tetap terpelihara dengan baik, kulit kering dan hiperemis
yang memberikan efloresensi eritema. Luka akan terasa nyeri karena ujung saraf
sensorik yang teriritasi. Proses penyembuhan (regenerasi epitel) terjadi secara
spontan dalam 5-7 hari, derajat kerusakannya tidak termasuk dalam masalah klinik
yang berarti dan tidak dicantumkan dalam perhitungan luas luka bakar, contoh kasus
ini adalah luka bakar akibat sengatan matahari (sun-burn)

Gambar 1. Luka bakar derajat I

10
 Luka bakar derajat II (2o)

Kerusakan jaringanmeliputi seluruh epidermis dan sebagian superfisial


dermis, diikuti dengan timbulnya reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi
sebagai respon, ujung saraf sensorik teriritasi sehingga menimbulkan rasa nyeri. Luka
derajat 2 ini dibagi berdasarkan kedalamannya yaitu sedang dan dalam.

Gambar 2. Luka bakar derajat II-a superficial

 Luka bakar derajat II dangkal

11
Hanya mengenai 1/3 bagian dermis dimana dermal-epidermal junction
mengalami kerusakan sehingga terbentuk bula yang menjadi karakteristiknya, saat

epidermis terlepas maka dasar luka akan terlihat kemerahan-kadang pucat-edematus


dan eksudatif. Apendises kulit (integument, adneksa kulit) seperti folikel rambut,
kelenjar keringat dan kelenjar sebasea sebagai sumber proses epithelialisasi tetap
utuh sehingga proses penyembuhan luka terjadi secara spontan selama 10-14 hari.

Gambar 3. Luka bakar derajat II-b dalam

 Luka derajat II dalam

Kerusakan mengenai 2/3 bagian dermis dimana apendises kulit rusak


sebagian sehingga proses penyembuhan terjadi lebih lama (>2 minggu),
pada derajat ini kerap dijumpai eskar tipis di permukaan yang harus
dibedakan dengan luka derajat III

 Luka bakar derajat III (3o)

Kerusakan meliputi seluruh bagian kulit (epidermis dan dermis) serta lapisan
yang lebih dalam dimana apendises kulit mengalami kerusakan seluruhnya begitu
juga dengan ujung-ujung serabut saraf sensorik sehingga tidak penderita tidak
akan merasa nyeri secara teoritis. Terjadi pembentukan eskar yaitu jaringan yang
mengalami kerusakan melalui proses denaturasi (koagulasi) protein akibat trauma

12
termis, sehingga kulit yang terbakar tampak berwarna pucat atau lebih putih.
Proses penyembuhan akan terjadi lebih lama lagi karena tidak memungkinkan
terjadinya proses epithelialisasi spontan akibat rusaknya struktur penyokong
proses tersebut.

Gambar 4. Luka bakar derajat III

Namun saat ini klasifikasi pembagian luka bakar berdasarkan kedalamannya


dibagi menjadi lima kelompok yang dinilai melalui beberapa aspek, mulai dari
pemeriksaan klinis luka termasuk capillary refill, penyebab dan mekanisme luka
(tingkat kepanasan, konsentrasi zat kimia dan lama kontak dengan sumber
termis), penanganan awal luka yang dapat membantu mencegah kerusakan lebih
lanjut dari zona stasis, usia serta kondisi medis pasien itu sendiri.

Gambar 5. Tingkat Kedalaman Luka Bakar

13
Gambar 6. Diagnosis Kedalaman Luka Bakar

Kedalaman luka bakar sebanding dengan suhu, durasi penggunaan dan


berbanding terbalik dengan faktor–faktor yang merusak jaringan. Salah satu faktor
adalah ketebalan kulit. Pada anak–anak, kulit lebih tipis dibanding dewasa. Atas dasar
ini, cedera termal menyebabkan kerusakan deep–dermal atau bahkan seluruh
ketebalan kulit; dibandingkan suhu dan durasi yang sama pada dewasa. Air dengan
suhu 60°C akan menyebabkan luka bakar seluruh ketebalan kulit dalam waktu kurang
dari satu detik pada bayi, anak yang sudah besar hanya mampu bertahan sampai lima
detik dan pada dewasa akan mendapat luka bakar yang dalam setelah 20 detik. Hal ini
juga dipengaruhi oleh reflex menghindar dimana pada bayi dan anak-anak reflex
menghindar belum terlalu baik bahkan belum terbentuk sehingga dapat memperparah
luka.

14
Gambar 7. luka bakar epidermis

Gambar 8. luka bakar supercial dermal

Gambar 9. luka bakar mid­dermal

15
Gambar 10. luka bakar deep dermal

Gambar 11. luka bakar full thickness

2.5.2 Berdasarkan luas luka bakar

Perhitungan luas luka bakar pada orang dewasa dan anak adalah berbeda,
pada orang dewasa berlaku Rule of nine yang didasari atas perhitungan kelipatan 9
dimana 1% luas permukaan tubuh adalah telapak tangan penderita. pada anak-anak
menggunakan tabel dari Lund and Browder yang mengacu pada ukuran kepala bayi/
anak sebagai bagian tubuh terbesar.

16
Gambar 12. Rule of Nine

Gambar 13. Lund and Browder

17
2.6 Diagnosis

Penegakaan diagnosis luka bakar umumnya dapat langsung dilakukan saat


pasien datang ke bagian emergensi namun tetap saja diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang guna mengetahui keadaan pasien secara holistik.
Pada anamnesis harus diperoleh informasi mengenai modus dan waktu terjadinya
cedera. Catatan khusus harus diperoleh dari anamnesis tersebut adalah adanya
inkonsistensi dari riwayat dengan dengan temuan pada pemeriksaan fisik atau
keterlambatan karena ada kemungkinan berhubungan dengan luka bakar yang bukan
terjadi karena kecelakaan. Masalah jalan napas yang tidak nyata tampak seperti sleep
apnoea atau asma harus teridentifikasi, demikian pula halnya dengan hubungan
psikologik anak dengan keluarganya. Informasi penting lainnya yang perlu diperoleh
adalah pertolongan yang sudah diberikan. Pada kasus air panas, berapa suhu air,
termasuk jenis pakaian yang dikenakan saat terjadi cedera. Hal ini akan membantu
memperkirakan kedalaman luka bakar dan perlunya diberikan edukasi lebih lanjut.

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama di seluruh tubuh guna


menilai luas area permukaan tubuh yang mengalami cedera berdasarkan rule of nine
pada dewasa dan tabel Lund dan Bowder pada anak-anak serta kedalaman luka di
masing- masing area serta menilai adanya komplikasi di bagian tubuh. Pemeriksaan
kedalaman luka bakar pada anak–anak lebih sulit dibanding pada dewasa. Pada anak–
anak, luka bakar superfisial (dengan lepuh) lebih umum dibandingkan luka bakar api
dan kedalamannya sangat sulit dinilai. Kulit tipis pada anak–anak menyebabkan
kesulitan dalam asesmen kedalaman luka bakar. 16 Perubahan warna kulit yang
terbakar pada anak tidak selalu sama dengan dewasa. Warna merah tua dengan sedikit
bintik pada anak merupakan indikasi dari deep–dermal atau seluruh ketebalan
kulitdan beberapa hari berikutnya akan berubah suram bahkan kekuningan yang

18
menunjukkan kerusakan seluruh ketebalan kulit.

2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Penatalaksanaan Konservatif

Pre-Hospital
Prinsip dari pertolongan pertama hentikan kontak dengan sumber panas,
hentikan proses pembakaran segera (stop), jatuhkan (drop), dan gulingkan (roll)
orang itu agar api segera padam. Bila memiliki karung basah, segera gunakan air atau
bahan kain basah untuk memadamkan apinya. Sedang untuk kasus luka bakar karena
bahan kimia atau benda dingin, segera basuh dan jauhkan bahan kimia atau benda
dingin. Matikan sumber listrik dan bawa orang yang mengalami luka bakar dengan
menggunakan selimut basah pada daerah luka bakar. Pada anak-anak juga gunakan
air dingin, namun harus diingat bahwa risiko hipotermia lebih besar pada anak
dibandingkan dengan dewasa. Buka pakaian dan perhiasan yang dikenakan korban,
Beri pendinginan dengan merendam korban dalam air bersih yang bersuhu 20 oC
(jangan menggunakan es) selama 20 menit segera setelah terjadinya luka bakar.
Selama stabilisasi dan selama transportasi, selimut sangat sangat berguna
mencegah kehilangan panas tubuh melalui evaporasi dan konveksi. Bagian tubuh
yang terpapar harus ditutup, sebaiknya gunakan lembaran yang menjaga kelembaban
semacam plastik. Kaji kesadaran, keadaan umum dan tanda vital, luas dan kedalaman
luka bakar serta cedera lain yang menyertai luka bakar. Segera bawa korban ke rumah
sakit untuk penanganan lebih lanjut.

Hospital
A) Resusitasi A, B, C, D, E, F13

19
Setiap pasien luka bakar harus dianggap sebagai pasien trauma, karenanya harus
dicek Airway, breathing dan circulation-nya terlebih dahulu.
1) Airway
Nilai patensi jalan napas, cara termudah adalah berbicara dengan pasien. Jika
tidak paten, bersihkan jalan napas dari benda asing dan membuka jalan napas
dengan manuver chin lift/jaw thrust. Jaga gerakan tulang servikal seminim
mungkin dan jangan melakukan fleksi dan ekstensi kepala dan leher.15,16
Apabila terdapat kecurigaan adanya trauma inhalasi, maka segera pasang
Endotracheal Tube (ET). Tanda-tanda adanya trauma inhalasi antara lain adalah:
riwayat terkurung dalam api, luka bakar pada wajah, bulu hidung yang terbakar,
dan sputum yang hitam. Tindakan yang dilakukan untuk pembebasan airway
adalah:
a. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan
manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan
sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas.
b. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan
menimbulkan morbiditas lebih besar dibanding intubasi. Krikotiroidotomi
memperkecil dead space, memperbesar tidal volume, lebih mudah

20
mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat berbicara jika
dibanding dengan intubasi.

2) Breathing
Eschar yang melingkari dada dapat menghambat gerakan dada untuk
bernapas, segera lakukan escharotomi. Periksa juga apakah ada trauma-trauma
lain yang dapat menghambat gerakan pernapasan, misalnya pneumothorax,
hematothorax, dan fraktur costae
a. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi
jalan nafas yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian
oksigen dosis besar karena dapat menimbulkan stress oksidatif, sehingga
akan terbentuk radikal bebas yang bersifat vasodilator dan modulator
sepsis.

3) Circulation
Luka bakar menimbulkan kerusakan jaringan sehingga menimbulkan edema.
pada luka bakar yang luas dapat terjadi syok hipovolumik karena kebocoran
plasma yang luas dan perdarahan. Manajemen cairan pada pasien luka bakar,
ada 2 cara yang lazim dapat diberikan yaitu dengan Formula Baxter dan
Evans
Pada anak volume darah 80mL/kg, sedangkan pada dewasa 60–70mL/kg.
Kapasitas konsentrasi tubulus renalis pada anak lebih kecil dibanding dewasa.
Berdasarkan hal ini, kehilangan cairan pada anak lebih besar dan mungkin
lebih cepat dibandingkan dewasa dan asupan cairan berlebihan sulit ditangani.
Disisi lain, depresi fungsi kardio–respirasi dan cadangan renal yang dijumpai
pada dewasa tidak terjadi pada anak–anak. Oleh karenanya, kecuali ada
penyakit pre–morbid, fisiologi anak dapat diandalkan untuk mengatasi beban
cairan dengan cepat, meskipun ekses cairan dalam jumlah besar kurang
mudah ditangani seperti yang disebutkan di atas. Edema serebri lebih
mungkin dijumpai pada anak dengan kelebihan cairan terutama disertai
hiponatremia. Risiko ini dapat dikurangi dengan meninggikan posisi kepala

21
dalam 24 jam pertama. Atas dasar perbedaan ini, resusitasi cairan dimulai
pada anak dengan luka bakar 10% bukan 20% seperti dewasa. Pertanda yang
memberikan informasi ketidak cukupan sirkulasi merupakan indikator yang
direkomendasikan pada kursus Advanced Paediatric Life Support (APLS)
yaitu:

 Takikardia(sesuai usia)

 Waktu pengisian ulangkapiler >2 detik

 Suhu perifer (akral)dingin, pucat atau berbintik

 Disfungsi organ,takipnu, perubahan status mental

4) Disability
Tetapkan derajat kesadaran:
- A– dari Alert (Sadar, waspada)
- V– dari Vocal (Respon terhadap rangsang suara)
- P– dari Pain (Respon terhadap rangsang nyeri)
- U– dari Unresponsive (Tidak memberi respon)
Lakukan pemeriksaan respon pupil terhadap cahaya. Harus cepat dan sama.
Tanggap terhadap hipoksemia dan syok yang menyebabkan kegelisahan dan
penurunan derajat kesadaran

5) Exposure
Kontrol paparan dan lingkungan pasien luka bakar terutama luka bakar berat
atau major burn. Pakaian yang menempel pada pasien dibersihkan dan pasien
diisolasi dalam keadaan ruangan steril. Jaga agar pasien tetap hangat. Area
luka bakar dihitung menggunakan metode Rule of Nines atau palmaris (Rule
of One).

6) Fluid Resucitation

Luas luka bakar harus ditentukan dan kemudian dilanjutkan dengan resusitasi
cairan. Tujuan resuscitasi cairan adalah untuk mempertahankan perfusi organ

22
vital serta menghindari komplikasi terapi yang tidak adekuat atau berlebihan.
Kalkulasi kebutuhan cairan dimulai sejak saat terjadi cedera, bukan terhitung
sejak masuk rumah sakit.

Perhitungan formulasi cairan:


Dewasa : 3–4 mL kristaloid (larutan Hartman atau Plasmalyte) / berat badan /
luas luka bakar (%)
Anak–anak : 3–4 mL kristaloid (larutan Hartman atau Plasmalyte) / berat
badan / luas luka bakar (%) di tambah maintenance glukosa 5% + 20 mmol
Kcl dalam larutan salin 0. 45%
 10 kg pertama 100 mL/kg
 0–20 kg 50 mL/kg

Cairan diberikan melalui dua buah kanul berdiameter besar (pada dewasa
16G) sedapat mungkin di daerah non–luka bakar. Pertimbangkan akses intra–
osseous (IO) bila diperlukan. Larutan salin normal umumnya dikemas
bersama dekstrosa 2.5% lalu ditambahkan 25mL dekstrosa 50% ke dalam
kantong berisi 500 mL cairan. Bila larutan yang tersedia merupakan larutan
salin hipotonik tanpa glukosa, tambahkan 50 mL dekstrosa 50% ke dalam
kantong berisi 500mL cairan). Kalkulasi volume yang diestimasi dalam 24
jam pertama saat edema terbentuk beberapa saat pasca luka bakar:

 Separuh kebutuhan berdasarkan kalkulasi volume diberikan dalam 8 hours


[3] dan separuh sisanya diberikan dalam16 jam berikutnya

 Cairan maintenance bagi anak–anak dibagi dalam 24 jam secara merata.

Pengurangan cairan tidak sebanding dengan berkurangnya pembentukan


edema sehingga formula ini hanya merupakan petunjuk (panduan, guidelines)
yang harus disesuaikan sesuai kebutuhan individu.

Bila produksi urine tidak mencukupi, berikan bolus cairan ekstra 5–10 mL/kg

23
dan / atau tingkatkan jumlah cairan berikutnya sejumlah 150% volume
sebelumnya. Dalam 24 jam kedua pasca luka bakar, larutan koloid dapat
diberikan untuk restorasi volume sirkulasi menggunakan formula 0. 5mL
albumin 5% x kg berat badan x % luas luka bakar. Disamping itu, larutan
elektrolit harus diberikan untuk kebutuhan evaporative loss dan kebutuhan
maintenance normal. Untuk tujuan ini, larutan yang umum digunakan adalah
larutan salin normal Kcl (+ dekstrosa untuk anak–anak)

Pemantauan kecukupan resusitasi cairan

Metode yang paling baik dan mudah adalah melakukan pemantauan jumlah
produksi urine.

 Dewasa 0. 5mL/kg/jam = 30–50mL/jam

 Anak (< 30kg): 1. 0mL/kg/jam (rentang 0. 5–2mL/kg/jam)

Bila jumlah produksi urine berkisar pada nilai ini, maka kecukupan perfusi ke
organ akan terpelihara. Produksi urine yang berlebih menunjukkan pemberian
cairan berlebihan dan akan menyebabkan terbentuknya edema massif,
sedangkan produksi urine yang rendah menunjukkan perfusi ke jaringan yang
buruk yang diikuti kerusakan sel. Terlihat bahwa pemasangan kateter urine
sangat penting untuk memantau dan menjadi suatu keharusan dilakukan pada
luka bakar >10% pada anak–anak dan luka bakar >20% pada dewasa.

Pemantauan hemodinamik invasif sentral diperlukan pada luka bakar dengan


kondisi pre– morbid seperti adanya penyakit jantung atau cedera penyerta
yang disertai kehilangan darah seperti adanya fraktur multipel. Asidosis yang
nyata (pH<7. 35) pada analisis gas darahu menunjukkan perfusi jaringan yang
tidak tercukupi dan menyebabkan asidosis laktat. Pada konsisi demikian,
penambahan cairan resusitasi merupakan indikasi. Bila tindakan koreksi

24
mengalami kegagalan dan dijumpai adanya hemochromogen di urine,
pertimbangkan pemberian bikarbonat setelah melakukan diskusi dengan
intensivis. Asidosis juga menunjukkan kebutuhan, atau ketidakcukupan
(inadekuasi) prosedur eskarotomi.

Pada luka bakar luas, tekanan darah yang diukur menggunakan


sphygmomanometer kerap tidak akurat karena edema, pengukuran akurat
hanya didapatkan pada pemeriksaan melalui jalur arterial. Laju jantung kerap
mengalami peningkatan karena nyeri dan faktor emosional; merupakan
indikator yang buruk untuk digunakan pada pemantauan kecukupan resusitasi
cairan.

Elektrolit serum harus diukur pada kesempatan awal dan selanjutnya secara
regular dalam interval waktu tertentu. Adanya hiponatremia ringan merupakan
hal yang umum akibat dilusi karena pemberian cairan infus dan sangat
tergantung pada konsentrasi natrium pada larutan kristaloid yang diberikan
(larutan NaCl Hartmann hanya mengandung natrium 130 mEq/L).
Hiperkalemia merupakan hal umum dijumpa karena terjadi kerusakan jaringan
pada luka bakar. Bikarbonat dan glukosa ditambah insulin mungkin
diperlukan untuk melakukan koreksi. Gelisah, perubahan mental dan ansietas
sering dijumpai dan merupakan indikator hipovolemia; dan harus diamati
sebagai respon pertama dalam menilai kecukupan resusitasi cairan.
Pemasangan kateter harus dilakukan untuk mengukur produksi urine setiap
jam. Output urine merupakan indikator yang reliable untuk menentukan
keadekuatan dari resusitasi cairan.

Hemoglobinuria

Kerusakan jaringan khususnya jaringan otot akibat cedera termal, trauma


tumpul atau iskemia (eskarotomi) menyebabkan dilepaskannya mioglobin dan

25
hemoglobin. Pertimbangan kuat untuk melakukan fasiotomi (eskarotomi tidak
membebaskan fasia otot). Urine yang mengandung hemochromogen ini
menunjukkan warna merah gelap. Gagal gnjal akut (GGA, Acute kidney
injury, AKI) merupakan suatu kondisi yang sangat mungkin dijumpai karena
penimbunan deposit haemochromogen di tubulus proksimal dan memerlukan
terapi yang sesuai berupa emberian cairan hingga produksi urine mencapai 2
mL / kg / jamPertimbangkan pemberian Mannitol 12.5g dosis tunggal selama
1 jam / L dalam pola resusitasi cairan dan observasi respon yang terjadi

Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya
dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar
maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang
diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan
25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fngsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usu. Dengan demikian
diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah
terjadinya SIRS dan MODS.
Menghitng kebutuhan kalori yang tepat dari pasien luka bakar
merupakan suatu hal yang menantang. Rumus yang biasa digunakan pada
pasien tanpa luka bakar adalah persamaan Harris-Benedict, yang menghitung
kebutuhan kalori dengan menggunakan faktor-faktor seperti jenis kelamin,
usia, tinggi badan dan berat. Formula ini menggunakan faktor aktivitas untuk
cedera tertentu, dan untuk luka bakar pengeluaran energi basal dikalikan dua.
Persamaan Harris-Benedict mungkin tidak akurat pada luka bakar kurang dari
40% LPTT, dan pada pasien ini, rumus Curreri mungkin lebih tepat. Formula
ini memperkirakan kebutuhan kalori = 25kkal/ kg per hari + 40 kkal/ %LPTT
per hari.5

Survei Sekunder

26
Merupakan pemeriksaan menyeluruh mulai dari kepala sampai kaki.
Pemeriksaan dilaksanakan setelah kondisi mengancam nyawa diyakini
tidak ada atau telah diatasi

Riwayat Penyakit:
A – Alergy
M – Medicine (obat–obatan yang baru dikonsumsi)
P – Past illness (penyakit sebelum terjadi trauma)
L – Last meal (makan terakhir)
E – Event (peristiwa yang terjadi saat trauma)

Mekanisme trauma
Informasi yang harus didapatkan mengenai interaksi antara pasien dengan
lingkungan:
- Durasi paparan
- Jenis pakaian yang dikenakan
- Suhu dan kondisi air, jika penyebab luka bakar adalah air panas

- Kecukupan tindakan pertolongan pertama..

Pemeriksaan Neurologik
- Pemeriksaan Glasgow Coma Scale

Respon Skor
Pembukaan mata Spontan 4
Untuk Nama 3
Untuk nyeri 2
Tidak ada 1
Tanggapan verbal terbaik Berorientasi 5

27
Bingung 4
Tidak tepat 3
Tidak dimengerti 2
Tidak ada 1
Tanggapan motor yang terbaik Mematuhi 6
Melokalisir 5
Penarikan 4
Abnormal Fleksi 3
Perpanjangan 2
Tidak ada 1
15

Pada pasien luka bakar, paresis tungkai mungkin disebabkan oleh


insufisiensi vaskular akibat eskar yang kaku. Pada kondisi ini,
eskarotomi merupakan indikasi.

Tatalaksana Luka Emergensi


Tujuan tatalaksana adalah untuk memperkecil terganggunya fungsi baik di
tingkat lokal maupun sistemik. Prinsip penanganan pertamanya adalah
menghentikan proses pembakaran untuk mengurangi kerusakan jaringan dan
menurunkan suhu luka untuk mengurangi produksi mediator inflamasi
(cytokines) dan promosi maintenance viabilitas di zona stasis. Oleh karena
itu, hal ini sangat membantu pencegahan progres kerusakan yang terjadi
pada luka bakar dalam 24 jam pertama.
 Menghentikan proses pembakaran
Pada luka bakar api, penderita berguling di tanah secara aktif maupun pasif
menerapkan Stop, Drop, Cover (face) & Roll technique. Pakaian yang
terbakar harus segera dilepaskan ecepat mungkin. Perhatikan jangan sampai

28
penolong mengalami cedera akibat pertolongan ini.Pada luka bakar karena
air panas, pakaian yang dibasahi air panas berperan sebagai reservoir,
karenanya segera lepaskan sesegera mungkin. Selain melepaskan pakaian,
setiap jenis perhiasan juga harus dilepaskan[2]. Bila pakaian melekat pada
permukaan kulit, potong dan biarkan melekat di tempatnya. Namun, pakaian
terbuat dari bahan sintetik yang meleleh melekat pada kulit yang tidak vital
akan mudah dilepaskan

 Menurunkan suhu luka

Permukaan luka harus diturunkan suhunya menggunakan air mengalir. Suhu


ideal adalah 15°C atau berkisar antara 8°C sampai 25°C. Dengan
menurunkan suhu permukaan luka, reaksi inflamasi diredam dan
menghentikan progress pengrusakan zona stasis.

Berbagai cara dapat diterapkan untuk tujuan ini. Menyemprotkan air atau
melekatkan busa basah di atas luka, handuk basah atau hidrogel dapat
dilakukan, namun tidak seefektif air mengalir dan hanya dianjurkan saat air
mengalir tidak ada (misalnya saat meminta pertolongan ke pusat pelayanan
medik). Handuk basah tidak efektif karena tidak seluruhnya melekat dengan
permukaan luka dan cepat menjadi panas akibat proksimitas terhadap tubuh
sehingga harus sering diganti. Lamanya aplikasi
minimal adalah dua puluh menit, kecuali tidak dimungkinkan. Misalnya
pada penderita multi trauma dan tidak ada petugas yang memberi
pertolongan pertama untuk menerapkan metode tersebut. Lebih lanjut,
diperoleh data bahwa pertolongan pertama efektif bila dilakukan dalam tiga
jam pertama pasca luka bakar.

Anak–anak terpapar pada risiko hipotermia dan hal ini terdeteksi pada
pengukuran suhu saat asesmen klinik dimana dijumpai anak kebiruan dan

29
mengigil. Aplikasi penurunan suhu luka harus dihentikan. Pada keadaan
seperti ini, dianjurkan mengupayakan suhu si atas 30°C dan membungkus
anak bersangkutan.

Es atau air es jangan pernah digunakan untuk menurunkan suhu. Suhu yang
ekstrim dingin ini akan menyebabkan vasokonstriksi dan secara eksperimen
menunjukkan luka yang semakin dalam; disamping risiko hipotermia.

Penurunan suhu permukaan sekaligus merupakan analgetik yang efektif.


Saat nyeri timbul kembali dalam beberapa menit setelah aplikasi penurunan
suhu dihentikan, dan bila tidak ada kontra indikasi, maka lanjutkan
penurunan suhu hingga dicapai efek analgetik.

Manajemen Awal
Setelah pertolongan pertama, luka ditutup menggunakan bungkus plastik atau
bahan kering yang tidak melekat selama prioritas manajemen lainnya
dilakukan. Bila luka sebelumnya tidak diturunkan suhunya, lanjutkan metode
penurunan suhu sebagaimana dianjurkan dalam waktu tersisa hingga
mencapai tiga jam. Setelah tiga jam, tidak ada efek benefit. Karenanya, luka
kemudian dicuci menggunakan air atau salin, dengan sabun atau larutan
klorheksidin 0. 1% Antiseptik lain jangan digunakan.

Pada penyiapan prosedur transpor, luka dibalut. Tergantung waktu terjadinya


trauma, saat transportasi dan waktu tempuh, diperlukan lebih dari sekedar
pembalutan luka menggunakan kain kering. Lembar plastik dapat dipakai
terutama pada anak–anak untuk membatasi penguapan dan kehilangan panas
tubuh. Klorheksidin pada tulle (misal: Bactigras®) dibalut dengan kasa akan
sangat bermanfaat pada penderita yang memerlukan perjalanan beberapa jam
ke pusat rujukan. Aplikasi krim topikal seyogyanya dihindari karena akan

30
memperpanjang waktu dan menyebabkan keterlambatan transportasi ke pusat
rujukan.

Elevasi

Elevasi ekstremitas yang mengalami cedera sangat bermanfaat selama


tatalaksana awal dan selama prosedur transpor karena akan mengurangi
edema. Pada tungkai, dijumpai perbedaan bermakna dengan kasus–kasus yang
tidak dilakukan elevasi dalam hal perlunya dilakukan eskarotomi.

Area khusus

Pada luka bakar dengan cedera inhalasi kerap diikuti berkembangnya edema
jalan napas sehingga diperlukan intubasi.Luka bakar perineum memerlukan
pemasangan kateter lebih awal untuk mencegah kontaminasi. Bila
pemasangan kateter terlambat, prosedur insersi pada saat edema akan
mengalami kesulitan.

Luka bakar pada kepala dan leher. Kepala harus dilakukan elevasi untuk
menghambat edema jalan napas bagian atas. Pada anak–anak dengan luka
bakar luas, prosedur elevasi kepala ini sangat bermanfaat karena risiko besar
terjadinya edema serebral pada resusitasi cairan.

Eskarotomi

Bila luka bakar melibatkan seluruh ketebalan dermis dan kulit mengalami
kehilangan elastisitas saat edema berkembang, maka diperlukan tindakan
melakukan sayatan pada kulit hingga kedalaman subkutis. Prosedur ini
disebut eskarotomi.

Trunkus

31
Bila trunkus mengalami luka bakar ekstensif, elastisitas dinding dada
menurun diikuti penurunan compliance yang menyebabkan berkurangnya
ventilasi. Pada dewasa, kerap terlihat luka bakar melingkar
(sirkumferensial) di dada dengan atau tanpa melibatkan abdomen. Pada
anak–anak yang bernapas terutama dengan diafragma, terlihat eskar di
dinding anterior dan abdomen tanpa luka bakar di sisi posterior. Insisi
dilakukan longitudinal sepanjang linea aksilaris anterior ketepi kosta atau
ke abdomen bagian atas . Pada kasus berat, mungkin diperlukan insisi yang
menghubungkan kedua insisi sebelumnya (kanan dan kiri) berbentuk
konvekspada sisi atas (kranial) dinding dada, di bawahklavikuladan
melintang di abdomen.

Ekstremitas

Bila pada ekstremitas dijumpai luka bakar melingkar (sirkumferensial), dengan


adanya edema di bawah kulit yang tidak elastik tersebut maka aliran sirkulasi
akan terganggu dan menyebabkan gangguan perfusi diikuti kematian jaringan
bagian distal. Gangguan ini bersifat progresif lambat dan tidak terduga. Adanya
peningkatan tekanan kompartemen dapat diamati dengan adanya gejala dan
tanda berupa:

 Pain (nyeri): Nyeri saat istirahat, saat menggerakkan sendi–sendi distal

 Pallor (pucat): sirkulasi ke distal terganggudan pengisian kapiler


terhambat (terutama di kuku). Saturasi oksigen tidak terdeteksi pada
pemeriksaan pulse oximetry dan akral dingin

 Pulseless (nadi tidak teraba: tidak ada denyut nadi terutama pada
pemeriksaan USG Doppler

 Parestesia: Kesemutan hingga hilang rasa (numbness)

32
Interpretasitanda–tanda ini mungkin sulit karena terbakarnya kulit (yang
menyebabkan palpasi denyut nadi sulit teraba), suhu dingin (gambaran aliran
darah terganggu), dan adanya hipovolemia. Pemeriksaan akurat didapatkan
dengan melakukan USG Doppler. Perubahan paling awal ditandai hilangnya
sinyal Doppler pada pembuluh di jari–jari. Eskarotomi harus segera dilakukan
sebelum pulsasinadi hilang dan saat menurunnya sirkulasi. Sayatan dilakukan
hingga kulit sehat beberapa milimeter di proksimal dan distal; di garis mid–
aksial antara permukaan fleksor dan ekstensor. Hindari melakukan sayatan
melintas lengkung fleksura pada sendi–sendi. Sayatan harus dilakukan hingga
ke lemak subkutis dan kulit terpisah secara nyata. Perabaan menggunakan jari
akan dapat meraba adanya sisa tahanan. Kadang satu insisi cukup namun
kadang diperlukan sayatan di kedua sisi untuk restorasi sirkulasi. Perabaan
mengenai ketegangan ekstremitas bersangkutan merupakan petunjuk yang
sangat berharga. Penyulit eskarotomi adalah tercederainya struktur di bawah
kulit. Disisi medial siku, saraf ulnaris berjalan dan di sisi lateral lutut berjalan
saraf peroneal komunis. Jangan melakukan sayatan transversal di ekstremitas.
Batas distal dari suatu eskarotomikadang sulit ditentukan. Di ekstremitas atas,
sayatan lateral dapat dilakukan sepanjang batas lateral tangan hingga pangkal
jari kelima. Di sisi medial, sayatan dapat dilakukan hingga proksimal ibu jari.
Kadang–kadang beberapa sayatan tambahan di tangan diperlukan, dan sebelum
memberangkatkan penderita, hubungi unit luka bakar yang menjadi rujukan.

Prosedur

1. tentukan lokasi sayatan. Bila operator belum terbiasa, maka tandai


dengan tinta sementara ekstremitas bersangkutan berada pada posisi
anatomik.

2. Perhatikan kembali garis sayatan.Lengan dalam posisi supinasi sebelum


member tanda dan sayatan berjalan di depan epikondilus medialis untuk

33
menghindari cedera saraf ulnaris. Pada tungkai, insisi medial berjalan di
belakang maleolus medialis untuk menghindari cedera pembuluh darah
dan saraf safena. Bila diperlukan sayatan lateral, hindari tercederainya
saraf peroneus komunis yang melintas leher fibula karenanya lokasi
sayatan terletak pada garis mid–lateral.

3. Persiapan instrumen yang diperlukan yaitu pisau atau elektrokauter dan


sarana haemostasis seperti klem arteridan benang, diatermi atau
hemostatiktopikal misalnyacalcium alginate. Perdarahan akan terjadi
dalam jumlah ekstrim.

4. Anestesi lokal diperlukan hanya diperlukan di tepi luka ke daerah


normal. Selain itu, penderita umumnya sudah terintubasi, sehingga
sedasi ringan dapat diberikan.

Prosedur ini dikerjakan dalam kondisi steril. Kasa disiapkan untuk membalut
luka sayatan dan balutan ini seyogyanya tidak menekan agar efektivitas
prosedur tercapai.Pada penderita yang sadar, penjelasan mengenai prosedur
harus diberikan sebelum melakukan tindakan (informed consent)

Dokumentasi
- Buatcatatan
- Mintakan persetujuan untuk dokumentasi fotografi dan persetujuan
prosedur
- Berikan profilaksis tetanus jika diperlukan

Re–evaluasi
Re–evaluasi Survei Primer – khususnya untuk:
- Gangguan pernapasan
- Insufisiensi sirkulasi perifer
- Gangguan neurologis

34
- Kecukupan resusitasi cairan
- Penilaian radiologi: foto radiologi toraks
- Warna urine untuk deteksi haemochromogens
- Pemeriksaan laboratorium:
 Hemoglobin / hematokrit
 Urea / kreatinin
 Elektrolit
 Urine mikroskopik
 Analisis gas darah
 Karboksihaemoglobin (jika tersedia)
 Kadar gula darah
 Skrining obat (mungkin diperlukan oleh Polisi)
 Elektrokardiogram

35
Indikasi Rujukan

Pada anak–anak, batas kebutuhan untuk prosedur transfer lebih kecil


dibandingkan dewasa. Anak dengan luka bakar > 5%, prosedur transfer harus
dipertimbangkan. Pada beberapa kasus, alasan prosedur transfer mungkin
demikian sederhana, misanya untuk manajemen nyeri, karena pemberian opioid
perkontinum tidak tersedia. Pada beberapa kasus lain, prosedur transfer timbul
pada kasus bukan kecelakaan yang memerlukan konsultasi dini dengan unit luka

36
bakar dan transfer secepat mungkin. Kriteria lainnya yang berlaku pada dewasa,
seperti luka bakar di area khusus (tangan, wajah, kaki dan perineum), dan
diketahui atau diduga cedera inhalasi, luka bakar disertai trauma berat lain, luka
bakar pada pasien dengan kondisi pre–morbid, juga berlaku pada kasus anak.

Australian and New Zealand Burn Association menetapkan kasus–kasus berikut


memerlukan rujukan ke unit luka bakar:

 Luka bakar > 10% luas permukaan tubuh pada dewasa dan >5% pada
anak–anak

 Luka bakar seluruh ketebalan kulit (luka bakar dalam, full thickness
burns)> 5%

 Luka bakar mengenai area khusus, termasuk wajah, tangan, kaki, genitalia
dan perineum, persendian serta luka bakar melingkar pada dada dan
tungkai

 Luka bakar dengan cedera inhalasi

 Luka bakar listrik

 Luka bakar kimia

 Luka bakar dengan penyakit pre–morbid

 Luka bakar dengan trauma berat lainny

 Luka bakar pada usia tertentu: anak–anak dan usia lanjut

 Luka bakar pada wanita hamil

 Luka bakar bukan karena kecelakaan

Bila penderita memiliki kelainan yang menyebabkan tatalaksana menjadi sulit


dengan risiko yang semakin besar, diperlukan penatalaksanaan oleh tenaga dalam

37
tim spesialis yang akan memberi kesempatan sebesar mungkin untuk
mendapatkan hasil optimal. Penderita–penderita dengan trauma penyerta harus
dibawa ke unit trauma atau unit luka bakar sesuai dengan beratnya trauma. Harus
ada pertimbangan antara temuan klinik saat asesmen emergensi dan diskusikan
dengan pengelola petugas di unit luka bakar rujukan. Pada trauma berat yang
memiliki risiko besar, maka perlu prioritas penaganan dan stabilisasi sebelum
dirujuk. Perawatan luka bakar dilaksanakan dan prosedur rujukan direncanakan
segera setelah penderita berhasil menjalani prosedur emergensi yang diperlukan.
Bila luka bakar merupakan kondisi yang dominan dalam hal mortalitas dan
morbiditas, maka prosedur rujukan ke unit luka bakar merupakan tindakan yang
tepat. Prioritas merupakan suatu pertimbangan klinik yang didiskusikan oleh
dokter yang merujuk, ahli luka bakar dan tim trauma serta ahli intensivis; dengan
mempertimbangkan usiapenderita yang memiliki mortalitas tinggi. Hal ini
disebabkan respon pada kelompok usia tertentu yang tidak dapat diprediksi
sehingga mereka memerlukan penanganan spesialistik oleh tim multidisipliner.

Persiapan rujukan

Dalam keadaan stabil secara fisiologik, penderita luka bakar masif dapat dan
aman ditransfer meski dalam waktu yang relatif lama. Namun untuk dapat
ditransfer, penderita harus stabil. Stabilisasi mencakup semua aspek yang
diuraikan sebelumnya.

1. Sistem respirasi

 Semua penderita cedera berat diberi oksigen 15L/menit

 Karena obstruksi jalan napas bagian atas dapat mengalami progres dengan
cepat dan mencapai puncaknya saat penderita ditransfer, maka pentiing
untuk mempertimbangkan intubasi endotrakea sebelum penderita di rujuk.

 Cedera inhalasi dengan kerusakan infraglotik kerap menimbulkan masalah


saat transportasi berlangsung.

38
2. Sistem sirkulasi

Prinsip tatalaksana gangguan sirkulasi akibat perpindahan cairan dan el ektrolit


sebagaimana diuraikan sebelumnya diberikan untuk stabilisasi penderita sebelum
proses transfer.

 Bila insersi 2 kanul (16G pada dewasa, 20G pada anak–anak) tidak
dimungkinkan, ambil rute lain untuk pemberian cairan, dan diskusikan
sebelumnya dengan unit luka bakar rujukan.

 Metode akses vaskular umumnya tergantung pengalaman tim baik di


perifer maupun di unit luka bakar rujukan.

 Rute yang dapat digunakan antaralain adalah jalur vena sentral perkutan
(femoral, subklavia, atau jugularinterna), intra–osseous atauvena seksi
(ankleatausiku).

 Regimen pemberian cairan dibahas pada diskusi di bab 6. Ringkasnya,


mulai resusitasi cairan 3–4mL krstaloid (misal, larutan Hartmann atau
Plasmalyte) /kg / % luas luka bakar dalam 24 jam, 50% diberikan dalam 8
jam pertama, tambahkan cairan maintenancepada anak–ana

 Kecukupan resusitasi ditentukan berdasarkan observasi penderita, dalam


hal ini terutama jumlah produksi urine (yang dipantau melalui kateter)
bertujuan mencapai 30–50 mL/jampada dewasa, dan 1 mL/kg/jam (0. 5–2
mL/kg/jam) pada anak sampaidengan 30 kg.

 Bila dijumpai haemochromogenuria sebagaimana kerap dijumpai pada


luka bakar listrik, kebutuhan cairan ditujukan untuk menghasilkan urine
75–100 mL/jam pada dewasa, dan> 2 mL/kg/jam pada anak–anak.

Luka

Luka dicuci dengan air mengandung larutan klorheksidin 0. 1% atausalin

39
normal dan dibungkus dengan plastik atau kain kering bila prosedur transfer
harus disegerakan. Plasticwrapyang kerap digunakan untuk membungkus
makanan sangat bermanfaat digunakan untuk mencegah evaporasi,
mempertahankan panas dan mencegah desikasi (luka mengering). Hanya bila
prosedur transfer tertunda, gunakan balutan atau pembalut formal (misalnya,
slow–release silver dressings, krim antibakteri atau chlorhexidine impregnated
vaseline gauze; dan bahan penutup absorben). Hal ini dikerjakan setelah
melakukan konsultasi dengan unit luka bakar.

Manajemen nyeri

Luka bakar diikuti nyeri yang ekstrim. Meski sensasi kulit hilang pada luka
bakar dalam, area sekitar luka dirasakan sangat nyeri; karenanya pemberian
analgetika sangat diperlukan [9]. Pada semua kasus, kecuali luka bakar ringan,
pemberisan analgetika diberikan secara intra vena. Dosis awal diberikan relatif
kecil selang waktu tiap 3–5 menit, dan dosis akhir sangat tergantung respon
penderita. Trauma penyerta maupun kelainan yang ada sebelumnya harus
diperhitungkan dalam menetapkan dosis, umumnya diberikan morfin dengan
dosis awal 0. 05– 0. 1 miligram per kilogram berat badan.

Sistem gastrointestinal

Bila dimungkinkan, segera memulai pemberian nutrisi enteral dini melalui


akses pipa oro– atau naso–gastrik. Selama proses transfer, umumnya lebih
aman lambung dalam keadaan kosong untuk memperkecil risiko aspirasi saat
terjadi muntah. Untuk tujuan ini, pipa oro– atau naso– gastrik secara reguler
diaspirasi dan dilakukan drenase terbuka. Hal ini diterapkan pada kasus
dewasa dengan luka bakar>20% atau anak–anak dengan luka bakar >10%.

Tetanus

Profilaksis tetanus diberikan pada kesempatan pertama. Detilnya dapat dilihat


dalam lampiran 1. Untuk mendapatkan hasil optimal, lakukan kontak secara

40
berkesinambungan dengan unit luka bakar rujukan, lengkapi semua
dokumentasi termasuk hal–hal yang diuraikan di atas.

Mekanisme Transfer

Hubungan telefon dengan unit luka bakar rujukan saat penderita memerlukan
prosedur rujukan. Bila keputusan untuk rujukan telah ditetapkan, unit luka
bakar rujukan berkewajiban menyiapkan tempat dan unit luka bakar rujukan
bertanggungjawab mengatur prosedur transportasi. Prosedur transpor
mengikuti protokol yang ada.

Pusat pelayanan yang melakukan rujukan bertanggungjawab pada stabilisasi


penderita dan membuat dokumentasi asesmen awal (survei primer dan
sekunder) serta tatalaksana yang sudah dilakukan; termasuk saat melakukan
pemeriksaan, balans cairan, terapi termasuk dosis obat yang diberikan. Pada
saat transfer, sertakan dokumentasi ini. Metode pengiriman ditentukan oleh
pusat pelayanan yang melakukan rujukan beserta tim dan petugas yang
selanjutnya mengambil alih tugas dalam asesmen dan tindakan selama
pengiriman.

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang sering dialami oleh klien luka bakar yang luas antara lain:
1. Burn shock (shock hipovolemik)
Merupakan komplikasi yang pertama kali dialami oleh klien dengan luka
bakar luas karena hipovolemik yang tidak segera diatasi.
2. Trauma Inhalasi

Gagal napas atau komplikasi pada sistem pernapasan merupakan penyebab


kematian yang paling utama pada kasus luka bakar saat ini, angka
mortalitas luka bakar meningkat hingga 30% dengan adanya cedera
inhalasi dan menjadi 60% jika disertai dengan pneumonia. Cedera inhalasi
asap yang masih menjadi sumber utama saat ini disebabkan oleh
pembakaran tidak sempurna suatu produk (tabel X). Cedera inhalasi dibagi
menjadi tiga kelompok menurut lokasiny

41
1. kerusakan jalan napas diatas laring (obstruksi), hal ini biasanya
disebabkan oleh terhirupnya uap panas karena terperangkap di ruang
tertutup yang dipenuhi api maupun uap panas. Pelepasan mediator
inflamasi sebagai respon pasca paparan menyebabkan edema saluran napas
hingga hilangya fungsi proteksi mukosa. edema umumnya terjadi selama
12-36 jam.

2. kerusakan jalan napas di bawah laring (kerusakan pulmoner), hal ini


terjadi karena terhirupnya produk pembakaran (tabel x). Partikel kurang
dari 1um yang mengandung partikel zat kimia bersifat iritan akan
menyebabkan kerusakan alveolus jika terhirup. zat- zat kimia ini terlarut
dalam cairan yang ada di saluran napas (mucus,dll) akan menginisiasi
produksi mediator inflamasi dan ROS yang memicu edema dan melapisi
mukosa trakea-bronkus. obstruksi juga mungkin terjadi akibat
terbentuknya cast hingga akhirnya merusak parenkim paru. Terjadi
gangguan membrane alveolar-kapilar , terbentuknya eksudat inflamasi dan
hilangnya surfaktan dimana kondisi ini akan menyebabkan atelectasis,
edema interstisium dan edema paru yang mengakibatkan hipoksemia dan
menurunnya compliance paru.

Sumber Senyawa toksik yang dihasilkan


Kayu, Cotton Aldehydes (acrolein), nitrogen
dioxide, CO
Polyvinylchloride Hydrochloric acid, phosgene, CO
Karet Sulfur dioxide, hydrogen sulfide, CO
Polystyrene Copious black smoke and soot—CO2,
H2O and some CO
Acrylonitrile, Polyurethane, Hydrogen cyanide
Nitrogenous compounds
Racun api yang dapat menghasilkan Halogens (F2, Cl2, Br2), ammonia,
uap toksik hydrogen cyanide, CO

42
3. intoksikasi sistemik (hipoksia sel)

Zat yang dapat menyebabkan keadaan ini adalah CO dan sianida. CO yang masuk
kedalam darah akan berdifusi dengan Hb menggantikan O2 karena mempunyai
afinitas 240 kali lebih kuat yang selanjutnya akan membentuk COHb, sehingga
terjadi hipoksia jaringan dengan cara mengurangi oxygen delivery dan utilisasi di
tingkat sel. Selain Hb, CO juga memiliki afinitas yang kuat dengan sistem
cytochrome intrasel yang memiliki dampak toksik langsung diikuti abnormalitas
fungsi sel sebagai komponen utama toksisitas CO. hal ini dapat menyebabkan
ensefalopati sebagai gejala sisa (sequelae) serius yang diduga akibat proses
peroksidasi lipid serebral. Namun hal ini tidak memengaruhi kadar oksigen
terlarut dalam plasma, pasien luka bakar dengan perubahan status kesadaran harus
dianggap mengalami intoksikasi CO hingga terbukti tidak, hal ini bisa di nilai
melalui analisa gas darah dengan co-oximetry.

Keracunan sianida terjaid karena terbakarnya plastic atau lem yang memproduksi
hydrogen sianida (HCN). Zat ini diabsorpsi melalui paru dan berikatan dengan
sistem cytochrome sehingga terjadi metabolism anaerob. zat ini akan di
metabolism oleh enzim hati (rhodenase), kadar letal perokok mencapai 1 mg/L
dengan gejala yang ditimbulkan berupa hilangnya kesadaran, neurotoksisitas dan
konvulsi.

Indikasi pasien dengan cedera inhalasi yang kemungkinan akan membutuhkan


intubasi endotrakeal dan ventilasi adalah sebagai berikut:

 Sebuah riwayat luka bakar atau luka bakar api dalam ruang tertutup
 Stridor, takipnea atau dispnea
 Rambut hidung hangus
 Ketebalan penuh atau luka bakar kulit dalam ke wajah, leher atau
bagian atas tubuh
 Perubahan suara dengan suara serak atau batuk yang keras
 Eritema atau pembengkakan orofaring pada pemeriksaan langsung
3. Sepsis

43
Kehilangan kulit sebagai pelindung menyebabkan kulit sangat mudah
terinfeksi. Jika infeksi ini telah menyebar ke pembuluh darah, dapat
mengakibatkan sepsis.
4. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) & MODF (Multi
Organ Disfunction Failure)
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka
mortalitas pada pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam
penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab 81%
kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri
mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbuknya SIRS, yaitu
infection, injury, inflammation, inadequate blood flow, dan ischemia-
reperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil
konsensus American College of Chest Phycisians dan The Society of
Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih
manifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
a. Hipertermia (suhu>38C) atau hipotermia (suhu < 36C)
b. Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
c. Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial
CO2 rendah (PaCO2 < 32 mmHg)
d. Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (<
4000 sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk
imatur (band).
5. Eschar
Eschar pada kulit diakibatkan koagulasi protein yang menyebabkan stress
atau penarikan pada jaringan kulit dan dibawahnya. Eschar pada jaringan
ekstremitas yang cukup luas dapat menyebabkan hipertensi hingga
terhentinya aliran darah, sedangkan yang terjadi pada regio thoraks dan
abdomen dapat menyebabkan kesulitan bernafas akibat terbatasnya
pergerakan dinding dada.
Eschar pada regio thoraks membutuhkan tinda.kan bedah yaitu
escharotomi untuk membebaskan pergerakan dinding dada. Sedangkan
eschar pada tungkai diperlukan untuk melancarkan sirkulasi dan
memperbaiki perfusi jaringan.
6. Curling’s Ulcer

44
7. Syndrom kompartemen
8. Ileus paralitik
9. Gagal jantung akut
10. Defisit kalori protein

2.9 Prognosis
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam
dan luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga
penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan
kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada
luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan
sepsis, serta parut hipertrofik dan kontraktur.

45
BAB IV
KESIMPULAN

Luka bakar merupakan kasus emergensi yang sangat serimg terjadi karena sangat
erat hubungannya dengan aktivitas sehari- hari . Penilaian awal yang tepat
mengenai area injuri, luas permukaan tubuh yang terkena, kedalaman luka serta
status generalis pasien merupakan faktor- faktor yang sangat mendukung untuk
memberikan terapi yang adekuat. Pada prinsipnya luka bakar ditanggulangi
menggunakan cara yang sama dengan kasus- kasus emergensi lainnya yang
dimulai dari survey primer guna menghentikan progresivitas dan dilanjutkan
dengan survey sekunder. Terapi cairan merupakan ujung tombak dari
penatalaksanaan kasus ini mengingat karena penderita luka bakar sangat rentan
untuk mengalami dehidrasi baik dari proses evaporasi maupun hilangnya cairan
intravaskuler karena peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Oleh karena itu
kasus luka bakar ini membutuhkan penangan cepat dan tepat dimana hal ini akan
sangat menentukan mortalitas dan morbiditas pasien

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Feller I, Jones CA. The National Burn Information Exchange. In: J.A. Boswick (Ed.),
Surgical Clinics of North America, Burns, 67:2. 1987. P187
2. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: EGC.2002
3. Moenadjat Y. Luka Bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2003
4. Sudjatmiko G. Anatomi Kulit, Skin Graft, dan Luka Bakar. In: Petunjuk Praktis Ilmu
Bedah Plastik Rekonstruksi. Jakarta: Yayasan Khasanah Kebajikan. 2007. P2-3, 27-
29, 79-87.
5. Brunicardi FC. Burns. In: Schwartz’s Principles of Surgery. Ed 9th. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc. 2010. Chapter 8.
6. Thorne CH. Thermal, Chemical, and Electrical Injuries. In: Grabb & Smith’s Plastic
Surgery. Ed 6th . Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. 2007. P132-149
7. Gallagher JJ, Wolf SE, Herndon DN. Burns. In: Townsend: Sabiston Textbook of
Surgery, 18th Ed. Philadelphia: Saunders-Elsivier. Chapter 22.
8. Lee JO, HerndoN DN. Burns and Radiation Injuries. In: Trauma. 6th Ed. New York:
McGraw-Hill. 2008. Chapter 50.
9. Burkitt HG, Quick CRG, Reed JB. Burns. In: Essential Surgery: Problems, Diagnosis
and Management. Ed 4th. New York: Churcill Livingstone. Chapter 17
10. McLatchie G; Borley N, Chikwe J. Burns-Plastic Surgery. Oxford Handbook of
Clinical Surgery. Ed 3rd. Oxford: Oxford University Press.Chapter 15.

11. Gottschlich MM, Jenkins ME, Mayes T. et al. The 2002 Clinical Research Award:
An Evaluation of the Safety of Early vs. Delayed Enteral Support and Effects on
Clinical Nutritional, And Endocrine Outcomes After Severe Burns. J Burn Care
Rehabilitation 23:401.2002
12. Nerin JPB, Herndon DN. Principles and Practice of Burn Surgery. New York:
Marcel Dekker. 2005

47
13. Connolly S. Clinical Practice Guildelines: Burn Patient Management: ACI
Statewide Burn Injury Service. New York: Agency for Clinical Innovation. August
2011
14. Sabiston, D.C.,Jr, M.D. S abiston Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC. P. 364-384.2004.
15. Delming R H, Current Diagnosis and Treatment Surgery: Burns and Other
Thermal Injuries. United States: McGraw-Hill Education.2015
16. Williams C. Assessment and management of paediatric burn injuries. Nurs
Stand. 2011. 25(25):60–4,66,68.

17.

48

Anda mungkin juga menyukai