Anda di halaman 1dari 9

CLIFFORD GEERTZ : AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA

Oleh:

Bagus Bayu Satriawan (2014410171)


Jeremia Edward Bonardo (2017420142)
Michelle Hana Andradjadi (6051801003)
Valentin Putri (6131801058)
Ellen Etienne Tannasya (6141901022)
Stefanus Eleazar Wjaya (6141901030)
Catherine Elizabeth Josephine (6181801057)

Kelas : DB
Dosen : Kurniasih, M.Hum.

LEMBAGA PENGEMBANGAN HUMANIORA


UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
BANDUNG
2019
Kehidupan dan Karir
Clifford Geertz lahir di San Fransisco, tahun 1926. Clifford memasuki Antioch College
di Ohio dalam bidang filsafat. Dari sana ia melanjutkan studi antropolog di Harvard University.
Selama tahun kedua studinya ia dan istrinya hildred pergi ke Jawa untuk melakukan kerja
lapangan, yang menjadi landasan untuk seorang antropologis.
Clifford tinggal di Indonesia selama 2 tahun ia mempelajari masyarakat multiagama dan
multiras yang kompleks. Setelah kembali ke Harvard Greetz pada tahun 1956 memperoleh gelar
doctor dari Harvards Department of Social Relations dengan spesialis antropologi.
Dengan istrinya ia lalu kembali kerja lapangan dan kali ini mereka melakukannya di Bali,
tidak seperti jawa di mana Islam adalah agama yang dominan, Bali memiliki agama sendiri yang
sebagian besar diambil dari Hinduisme.
Di Jawa dan Bali misi pertama Geertz adalah melakukan etnografi untuk menyiapkan
deskripsi yang detail tentang masyarakat non-Barat, khususnya memperhatikan bagaimana aspek-
aspek kehidupan yang berbeda bercampur dalam satu kesatuan budaya.
Menurut Geertz karyanya di Jawa dan Bali menjadi landasan bagi esai dan analisisnya.
Khususnya dari segi agama. Geertz memiliki pandangan jika seperti yang diklain fungsionalis,
agama selalu dibentuk oleh masyarakatnya, tidak kurang benar bahwa sebuah masyarakat juga di
bentuk oleh agamanya.
Pada tahun 1958 ia selesai dengan tugas lapangan dan mengajar di Universutas California
setelah itu University of Chicago. Pada 1960 ia menerbitkan buku dengan judul The Religion of
Java adalah catatan tentang kepercayaan, symbol, ritual, dan adat kebiasaan tempat ia mengerjakan
tugas lapangan pertamanya. Di dalam budaya Jawa, Islam, Hinduisme, tradisi animis pribumi,
semua mengklain suatu temmpat dalam sitem social.
Greetz juga menghasilkn beberapa buku. Agricultural Involution (1963) meneliti ekologi
dan ekonomi Indonesia dan memperkirakan kesulitan dan prospek di era paska colonial. Peddlers
and Princes, diterbitkan di tahun yang sama, mebandingkan kehidpudan ekonomis di suatu kota
kecil di pualu Jawa dengan Bali.
Setelah melakukan kerja di Indonesia Greetz meluaskan dasar penelitian lapangannya
dengan melakukan kerja lebih lanjut di dalam kebudayaan Islam di Maroko di Afrika Utara.
Sebagai hasilnya di dalam Islam Observed (1968), ia dapat membuat studi perbandingan tentang
suatu agama besar yaitu Islam ketika berada dalam dua latar belakang budaya yang berbeda. Pada
1970 Geertz menjadi satu satunya antropolog yang pernah disebut professor di Institute for
Advanced Study di Princeton, New Jersey.
Greetz menarik perhatian orang - orang bijak dari banyak bidang dengan serangkaian esai
yang kristis, yang membicarakan beberapa isu teoritis yang penting dalam antropologi modern.
Dalam pembicaraan yang tajam ini lah ia mengemukakan pertamakalinya keberatan atas sebgaian
besar ilmu social sebelumnya, dengan menyatakan banyak kesalaahan arah dalam tujuan
metodenya.

Latar Belakang : Teori Sosial dan Antropologi


Geertz adalah seorang pelajar di Harvard University, Amerika. Dengan fakta tersebut kita
mengetahui bahwa Geertz berada dalam 2 pengaruh utama, yaitu tradisi antropologi amerika yang
kuat juga independen dan ilmu sosial yang ia pelajari dari Talcott Parsons. Pada abad ke 20 M di
Amerika sudah ada penelitian antropologi yang profesional, kemudian para tokoh Amerika yang
ikut serta di dalamnya menegaskan bahwa setiap teori harus berasal dari partikular yang teliti atau
studi yang berpusat pada komunitas. Teori ini sangat berkebalikan dengam teori-teori besar Tylor
dan Durkheim yang pada masa itu sedang disebarluaskan yang berlandas metode perbandingan.
Para tokoh Amerika tidak mengikuti teori para peneliti Eropa karena mereka melihat kesalahan-
kesalahan pada teori tersebut.
Seperti ilmuwan Amerika, Boas yang meneliti suku di sepanjang pantai Pasifik Kanada
dan Kroeber bersama Lowie yang meneliti suku di daratan Amerika. Mereka kemudian
menekankan bahwa terdapat istilah yang lebih tepat di balik sikap dan emosi dalam tatanan hidup
masyarakat, yaitu budaya. Murid dari Boas, Ruth Benedict juga menemukan bahwa ada perbedaan
sifat antara orang Indian Pueblo (tenang dan lemah lembut) dengan suku Pima (Beringas) yang
disebabkan oleh budaya Pueblo yang menekankan harmoni. Benedict menekankan bahwa
kebudayaan adalah sebuah kepribadian kelompok yang tiap anggota mempertimbangkan untuk
melakukannya. Para peneliti Eropa tidak meneliti psikologi indiviual karena tidak konkret dan
objektif sedangkan para peneliti Amerika sebaliknya. Itulah yang menjadikan keduanya amat
berbeda.
Dari teori-teori Boas, Kroeber, dan Benedict, Geertz kemudian memberikan perspektif
antropolginya sendiri. Menurutnya penelitian terhadap suatu lingkungan tidak bisa hanya dilihat
dari pola atau struktur kemasyrakatannya, tetapi juga harus dapat menangkan motif dan kegiatan
yang saling berkaitan yang disebut budaya. Menurut pandangan Amerika, perilaku individu
merupakan intepretasi dari budaya. Namun kemudian ditemukan kebenaran teori Prancis yang
mengatakan bahwa suatu teori harus bersifat objektif. Karena adanya ketidaksinambungan antara
teori-teori yang dipelajari Geertz, ia kemudian dibantu oleh gurunyanya, Talcott Parsons yang
merupakan seorang sosiolog terkemuka di Amerika.

Teori Sosial Amerika: Parsons dan Weber


Meskipun tidak dapat diketahui pengaruh langsungnya, namun Talcott Parsons
tampaknya telah memengaruhi Geertz melalui dua cara.
Pertama, Parsons dipengaruhi oleh sosiolog jerman, Max Weber. Parsons
menerjemahkan beberapa karya dan pokok-pokok ide Weber pada orang-orang Amerika. Bukan
kebetulan bahwa konsep-konsep utama Weber yang dibawa oleh Parsons ke Amerika juga
mendapatkan tempatnya di dalam pendekatan interpretatif Geertz terhadap kebudayaan. Di
seluruh esai-esai Geertz yang teoritis dan juga beberapa etnografinya, tak seorang pun yang lebih
sering dirujuk Geertz dibandingkan Max Weber.
Kedua, Parsons juga memberi Geertz suatu cara penyelesaian masalah kebudayaan yang
telah ditinggalkan oleh para antropolog. Di dalam The Structure of Social Action, Parsons
bersandar pada Weber dan mengembangkan pandangan bahwa semua kelompok manusia berada
pada tiga tingkat organisasi yaitu;
1. Kepribadian individu, yang akan dibentuk dan diatur oleh,
2. Suatu sistem sosial, yang akan dibentuk dan diatur oleh,
3. Suatu sistem budaya yang terpisah.
Poin terakhir merupakan suatu jaringan kompleks dari nilai, simbol, dan kepercayaan
yang berinteraksi dengan individu dan masyarakat. Tetapi untuk tujuan analisis, ia dapat
dipisahkan dari dua poin di atasnya.
Jika Weber telah menunjukan bagaimana memahami suatu budaya, Parsons telah
menunjukan tempat untuk menemukannya. Baginya, budaya adalah sesuatu yang riil dan
permanen, sesuatu yang objektif, yang memiliki pengaruh pada emosi pribadi, tetapi terpisah
dari dirinya. Sistem simbolik seperti ini diakui oleh masyarakat dan oleh karenanya, ia dapat
diketahui oleh para antropolog dan para ahli yang berada di luarnya.
Geertz secara jelas menganut ide kebudayaan sebagai suatu sistem yang objektif
sehingga beberapa pengamat lebih suka menyebut pendekatannya dengan antropologi simbolik,
bukan interpretatif.

Revolusi Kaum Skripturalis


Akhir – akhir ini islam Indonesia dan Maroko harus menghadapi 2 masalah yaitu para
penguasa kolonial dan tantangan modernasi. Menurut Gertz, hal penting dari kekuasaan kolonial
terjadi pada tahun 1820 – 1920. Pengalaman tersebut membuat rakyat lebih sadar bahwa mereka
adalah muslim sedangkan para penguasa Kristen tidak. Agama islam kemudian diidentifikasi
dengan protes, nasionalisme, dan harapan kemerdekaan. Namun, di dalam prosesnya, kepercayaan
tersebut mulai berubah. Corak – corak klasik – illuminasionisme Indonesia dan marobitisme
Maroko – pada masa sekarang menemukan diri mereka mendapat tantangan dari gerakan baru
yang kuat, yang mengklaim telah menemukan sesuatu yang sangat tua. Ini adalah islam
“skripturalis”.
Di Indonesia, revolusi skripturalis dimulai tahun 1800-an di saat kekuasaan Belanda, dan
ketika sentiment nasional sangat kuat menenang kekuasaan kolonial. Dengan mendapat inspirasi
dari kesempatan berhaji di Mekah, orang – orang Indonesia mulai menemukan islam yang berbeda
yang kemudian diajarkan di sekolah – sekolah baru yang didirikan.di dalam institusi santri
tersebut, islam illuminasionis yang lebih tua dan lebih fleksibel dikesampingkan untuk memberi
ruang pada tradisi asli yang lebih “murni”. Di sejumlah pusat perdagangan yang tumbuh di
Indonesia, Islam corak baru yang berdasarkan kitab suci ini menyebar dengan cepat. Di saat yang
bersamaan, skripturalisme juga terjadi di Maroko. Dikenal sebagai Salafi, atau “para leluhur yang
saleh” dan dipimpin oleh para nasionalis yang keras dan penuh nafsu. Gerakan baru ini pada tahun
1900 mulai membuka konflik dengan corak islam murobit yang lama – atau dengan “wali”.
Sebagaimana di Indonesia, kaum skripturalis baru ini menentang Perancis, dan corak muslim
klasik yang lebih tua.
Kritik
Untuk mengemukakan setiap kritik terhadap pandangan Geertz adalah hal yang tidak
mudah untuk dilakukan. Kemahsyuran Greetz dalam ilmu sosial amerika, dan di luarnya, mungkin
betul-betul di luar kritisisme, tetapi cukup mengagumkan. Para pengkritik Greetz hanyalah sedikit;
sedangkan pengagumnya sangat banyak.
Tetapi, setidaknya ada dua isu substansif lagi yang dapat dikemukakan; yang pertama
tentang pandangan Greetz yang agak membingungkan mengenai antropologi sebagai “sains”; yang
kedua tentang perbenturan antara prinsip-prinsipnya dengan praktiknya di dalam menafsirkan
agama.

1. Antropologi sebagai sains


Dalam mempromosikan programnya tentang antropologi interpretif, Greetz menegaskan
bahwa ia tidak memiliki maksud untuk meninggalkan kepercayaan bahwa disiplinnya adalah
sebuah sains. ia juga menyatakan bahwa bentuk analisis budayanya “bukanlah sains eksperimental
yang mencari suatu kaidah, tetapi sain interpratif yang mencari makna.”. Dalam padangan Paul
Shankman, salah seorang pengkritik Greetz yang paling keras, berpendapat bahwa jika antropologi
interpretif hanya mencari “arti”, apa pun arti itu, dan tidak berusaha untuk mengembangkan teori-
teori yang ilmiah untuk menjelaskan apa yang ditemukan, maka ide-ide Greetz mungkin menarik,
tetapi tentu bukan merupakan hasil sebuah sains. bagaimanapun, kaidah-kaidah teoretis adalah hal-
hal yang menyangkut sains. Maka mungkin Greetz, si penafsir makna itu, tidaklah senang
merekomendasikan sains; ia sedang merekomendasikan akhir dari sains, setidaknya dalam
antropologi.
Para kritikus ini sebagian benar. Greetz sedang memaklumkan akhir sains di dalam
antropologi. para antropolog yang menghargai sains alam sebagai model studi mereka masih
merasa was-was. Mereka melihat bahwa suatu problem lebih lanjut dari pendekatan interpretif
adalah pengaruhnya yang melumpuhkan pada motivasi kita untuk menjelaskan. Pengkritik
penjelasan interpretif yang lain, Richard Franke, melihat bahwa, dalam suatu artikelnya, Greetz
membicarakan fakta bahwa puluhan ribu petani Bali dibantai setelah jatuhnya presiden soekarno
pada tahun 1965. Para sarjana yang lain telah menunjukan bahwa sebenarnya tidak ada yang unik
dari Bali tentang sensibilitas yang mengakibatkan pembunuhan ini. Pembunuhan itu terjadi akibat
perebutan kekuasaan antar orang-orang komunis dengan kaum militer – suatu perebutan yang
muram sebagai kekhasan dari apa yang terjadi di seluruh Asia. Terkadang, Greetz tampak sadar
akan kecenderungan untuk melebih-lebihkan penafsiran ini. Tetapi di dalam pandangan para
pengkritik, kecenderungan yang lebih kuat dari pemikiran Greetz adalah secara diam-diam
melupakan peringatan yang muncul dari saat-saat yang lebih baik.
2. Menafsirkan Agama
Di dalam hal-hal yang lebih religious, kita harus memusatkan perhatian pada ide utama
Greetz: bahwa agama selalu merupakan sebuah pandangan dunia dan sebuah etos. Agama terdiri
atas ide dan kepercayaan tentang dunia dan suatu kecenderungan untuk merasa berprilaku sesuai
dengan ide-ide tersebut. Ia adalah semacam truisme, orang selalu bertanya bagaimana agama
selalu dapat menjadi segalanya kecuali serangkaian kepercayaan dan perilaku yang berhubungan
satu sama lain.
Greetz benar-benar menafsirkan perilaku agama, hanya ada satu dari dua unsur yang ia
anggap sentral bagi agama. Ia cenderung berbicara banyak tentang etos – tentang tingkah laku,
sikap, nilai, estetika, watak, dan emosi – tetapi benar-benar sangat sedikit berbicara tentang
pandangan dunia. Henry Munson Jr., seorang pengkritik mutakhir, secara prespektif mencatat
bahwa dalam pembicaraannya tentang pertunjukan Rangda dan Barong yang dramatis di Bali,
Greetz dengan lancar dan luas menulis tentang etos Bali, gabungan emosi horror dan kegembiraan,
suasana ketakutan yang suram dan komedi yang lucu, yang naik turun disepanjang pertunjukan.
Tetapi Greetz hampir melewatkan seluruh mitos pribumi yang menjadi dasar dari cerita itu.
Misalnya, pada saat dikatakan bahwa para penonton takut dengan dukun sihir Rangda, apa yang
sebenarnya mereka takutkan? Kejelekannya? Ancamannya kepada anak-anak, mengapa ia dikenal
suka memakan mereka? Kematian itu sendiri, yang ia simbolkan? Atau sesuatu yang menakutkan
yang terjadi setelah mati? Mungkin hanya satu dari hal-hal ini? Ataukah semuanya? Dari catatan
Greetz kita benar-benar tidak tahu. “pandangan dunia” dari persamaan agama yang dalam teori
Greetz sama-sama penting sebagai “etos”, dalam praktiknya, sering dilupakan.
Semua persoalan ini mengarah pada ciri pendekatan interpretasi Greetz yang agak aneh,
terutama dalam kasus agama. Meskipun dalam teori greetz terus-menerus menyatakan bahwa cap
dagang dari metodenya adalah caranya membicarakan “arti”, caranya menggarap simbol sosial
yang membawa ide, namun ia sering tampak sangat tidak tertarik dalam arti-arti ini.
Tentu tak ada dari persoalan-persoalan ini yang mungkin akan menodai kemilau dari
setiap penghormatan personal yang diberikan kepada Greetz dan karyanya oleh para koleganya.
Kesuksesan Greetz dalam membangun “perubahan interpretif” yang besar di dalam riset
antropolgis, dan dalam menunjukan jalan bagi para peneliti agama, telah membuat reputasinya
benar-benar kokoh. Neamun demikian, keraguan muncul, sehingga para antropolog yang lain dan
teoretisi pada masa depan yang melihat harapan pada pendekatan Greetz – sebenarnya memang
ada – akan betul-betul salah untuk menduga bahwa tidak ada perlunya lagi untuk menilai, merevisi,
dan memperbaiki pendekatan itu.

Analisis : Agama Sebagai Sistem Budaya Clifford Geertz


Agama dan budaya merupakan dua dimensi yang secara sederhana sulit untuk dipisahkan,
keduanya saling mempengaruhi. Budaya bisa mempengaruhi terhadap peranan agama sehingga
agama erat kaitannya dengan sistem budaya dalam memberikan pemaknaan terhadap nilai-nilai
keagamaan. Akan tetapi dua artikulasi nyata agama dan budaya akan saling berhubungan bila
dimensi budaya mempunyai peranan pada fungsi agama baik secara nilai ritualitas dan sistem
sosial yang mengatur pada tatanan masyarakat beragama. Untuk memberikan sebuah jawaban
antara agama dan budaya akan saling berhubungan bila dimensi budaya mempunyai peranan pada
fungsi agama baik secara nilai ritualitas dan sistem sosial yang mengatur pada tatanan masyarakat
beragama dan untuk memberikan sebuah jawaban antara agama dan budaya yang bisa menjadi
sebuah sistem, norma dan makna keagamaan, maka pemikiran Clifford Geertz menjadi penting
untuk diteliti dalam kerangka menumbuhkan kesadaran teologis dan kesadaran peranan agama
dalam realitas individu dan realitas masyarakat.
Melalui penelitian ini penulis bertujuan untuk mengungkap pemikiran Clifford Geertz
tentang agama sebagai sistem budaya. Penelitian ini bertolak dari kerangka pemikiran bahwa
agama bukan sekedar ideology hasil rekayasa sosial, akan tetapi Geertz mengulas bagaimana
agama berlaku sebagai sistem kebudayaan, sistem simbol yang berperan, mempunyai motivasi,
hasrat dan menciptakan konsepsi faktualitas yang nampak secara realistis dan unik. Maka dasar
dari agama sebagai sistem budaya adalah dilihat dari interpretasi makna simbol dan makna budaya
keagamaan pada masyarakat dalam mengaplikasikannya pada realitas tradisi dan budaya
keagamaan.
Secara umum penelitian ini didasarkan atas penggunaan book research (telaah
kepustakaan), dan juga lapangan sebagai bentuk penerapan agama sebagai system budaya pada
kasus masyarakat adat. Penelitiaan ini bermaksud menemukan konsep dari teori dasar yang
ditemukan Clifford Geertz berkenaan dengan pembahasan agama sebagai sistem budaya. Sumber
datanya didasarkan pada sumber data primer dan data sekunder. Sementara proses analisis datanya
ditempuh dengan menggunakan pendekatan antropologi dan sosiologi.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sebuah kesimpulan bahwa pemikiran Clifford
Geertz tentang agama sebagai sistem budaya merupakan sistem nilai yang berlaku pada budaya
masyarakat lokal dalam memberikan artikulasi dari sebuah nilai agama baik secara tekstual
maupun kontekstual, sehingga agama dijadikan sebagai interpretasi atas realitas budaya
masyarakat yang berkembang, baik budaya tersebut adalah warisan leluhur maupun tradisi baru
dalam memberikan penafsiran atas teks keagamaannya. Kemudian interpretasi ini yang akan
menghasilkan makna pada sistem-sistem simbol dan sistem nilai. Sehingga dari pemahaman
Geertz ini bisa didapatkan relasi budaya dan agama pada interpretasi cultural atas simbol dan
maknanya yang tertera dalam ritus dan adat-istiadat keagamannya.

Anda mungkin juga menyukai